Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4031 articles
Browse latest View live

Tak Siap Jawaban, MMP Sulit Cari Argumen Lawan Wargakah?

$
0
0
Tepian pantai di Pulau Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan tambang mulai beroperasi . Foto: Themmy Doaly

Tepian pantai di Pulau Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan tambang mulai beroperasi . Foto: Save Bangka Island

Sidang gugatan izin pertambangan PT Mikgro Metal Perdana (PT MMP) di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, Rabu (7/1/15) PTUN Jakarta Timur, tertunda lagi karena dokumen eksepsi perusahaan belum siap.  Sidang ditunda 15 Januari, jika MMP tak siap eksepsi, sidang akan tetap lanjut. 

“MMP sudah diberikan waktu tiga minggu buat jawaban ternyata belum siap,” kata Johny Nelson Simanjuntak, pengacara warga.

Ketidaksiapan MMP, katanya, mengindikasikan perusahaan tidak mempunyai argumen mendasar melawan gugatan warga Bangka. ”Saya tanya mereka mengapa? Kata mereka data-data perusahaan belum siap. Belum lengkap.”

Sebelumnya, sidang 17 Desember 2014, pembacaan eksepsi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. ESDM tegas menolak seluruh dalil-dalil gugatan. Mereka beranggapan, PTUN tidak berwenang memeriksa perkara.

Eksepsi dibuat tim kuasa hukum ESDM, antara lain Susyanto, Supriadi, Shanty Octora, Sony Heru Prasetyo , serta Rahmat Fitriyadi.

Kementerian ESDM mengatakan, penggugat mencampuradukkan obyek gugatan mengenai perbuatan melawan hukum dengan sengketa tata usaha negara. Padahal, tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.

ESDM juga beranggapan obyek sengketa bukan perkara tata usaha negara. “Kita melihat jawaban ESDM tidak sesuai persoalan. Sepertinya mereka tidak bisa memberikan jawaban pas dengan masalah. Jadi mereka berbelok mengatakan gugatan kita tidak semestinya di-PTUN-kan.”

Pemegang saham

Sementara pemegang saham mayoritas MMP perusahaan asal Hongkong. Hanya tiga persen oleh Indonesia dengan rincian PT Allindo Indonesia 89%, PT Abang Resorces Indonesia 8%, PT Anugrah Multi Investama 1% dan Mangantar S Marpaung 2%. Mangantar S Marpaung, pernah menjabat sebagai Dirjen Teknik Lingkungan Kementerian ESDM. Kini pensiun.

“Kalau dia masih aktif bisa jadi yang membuat perizinan lebih cepat. Memang persoalan bukan siapa menteri, masalah di eselon satu dan dua,” kata Hendrik Siregar, Direktur Eksekutif Jatam.

Pemain, katanya, pejabat eselon satu dan dua lalu terbawa ke menteri.”Bisa jadi menteri terpengaruh atau memang pemain. Proses perizinan cepat atau tidak, dipengaruhi siapa di situ.” Namun, jika sudah tidak aktif di ESDM, sesuatu yang lumrah.

Harapan pada menteri baru

Menurut Hendrik, jika menteri ESDM menyadari ada mallpraktik dalam izin MMP, seharusnya siap memeriksa dan siap kalah. ”Jelas-jelas ada putusan peradilan dilabrak. Perintah pengadilan belu dijalankan.”

Dia mengatakan, Menteri ESDM seharusnya menyadari, prosedur izin MMP tidak benar. “Aneh ketika sedang proses peradilan, pengambil keputusan membuat izin baru. Itu  jadi alat mengeluarkan izin produksi. Ini sudah salah,” kata Hendrik.

Menteri ESDMpun, katanya,  harus siap mengatakan, izin itu kesalahan. Terlebih, buat dia yang membuat  kebijakan itu, hingga dia tidak harus menanggung beban atas dosa menteri lalu.

Luas Pulau Bangka sekitar 4.800 hektar, dengan 2.649 jiwa tersebar pada tiga desa yaitu Desa Libas, Kahuku, dan Desa Lihunu. Izin tambang biji besi itu pada areal sekitar 2.000 hektar, hingga akan ada relokasi kurang lebih 750 keluarga dari Desa Kahuku ke Kecamatan Likupang Timur.

Sejak awal, sebagian besar warga sudah menolak kehadiran perusahaan tambang ini. Penolakan berujung gugatan warga atas izin tambang yang dikeluarkan Bupati Minahasa Utara, ke PTUN Manado. Perjuangan lewat jalur hukum ini berjalan hingga Mahkamah Agung dan dimenangkan warga. Pada September 2013, surat putusan dari MA keluar. Izin tak juga dicabut.

Pada awal 2014, PTUN Manado mengeluarkan iklan di media lokal meminta pemerintah daerah mencabut izin MMP. Sayangnya, teriakan penegak hukum tak berguna. MMP tetap kokoh, pemerintah daerah cuek hukum. PTUN Manadopun mengirimkan surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pemerintah daerah mengikuti putusan hukum. Lagi-lagi tak digubris. Bahkan, Kementerian ESDM, pertengahan 2014, malah mengeluarkan izin operasi produksi buat perusahaan tambang ini. Wargapun kembali mencari keadilan lewat jalur hukum, menggugat izin ke PTUN di Jakarta.


Tak Siap Jawaban, MMP Sulit Cari Argumen Lawan Wargakah? was first posted on January 12, 2015 at 2:10 am.

Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial dan Ekologis

$
0
0
Rekahan tanggul sisi utara di titik 68 menjadi jalan keluarnya lumpur panas Lapindo yang meluber. Foto : Petrus Riski

Rekahan tanggul sisi utara di titik 68 menjadi jalan keluarnya lumpur panas Lapindo yang meluber. Foto : Petrus Riski

Presiden Joko Widodo dalam kampanye lalu di Sidoarjo,  mengungkapkan selama ini negara absen lumpur Lapindo. Jadi, negara harus hadir sebagai wujud kedaulatan rakyat. Setelah terpilih, Jokowi baru-baru ini memberikan dana talangan buat Lapindo Rp781 miliar karena perusahaan berdalih tak mampu membayar. Upaya Jokowi dinilai berbagai kalangan bukan solusi, bahkan mengkerdilkan kehadiran negara. Presiden semestinya mampu memberikan jaminan pemulihan sosial, lingkungan dan hak-hak dasar yang selama ini terenggut dari warga Sidoarjo, sekitar. Salah satu rekomendasi KontrAs agar pemerintah audit lingkungan Lapindo menyeluruh.

“Dengan dana talangan dan sita aset, Jatam melihat itu tindakan mengkerdilkan kehadiran negara. Solusi pemerintah Jokowi tidak menyeluruh,” kata Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, baru-baru ini.

Dia mengatakan, temuan Jatam dan Walhi Jatim menunjukan terjadi penurunan kualitas Sungai Porong sangat drastis. Air tanah di sekitar terdampak  lumpur Lapindo, tercemar logam berat dan zat kimia lain. “Pemerintahan Jokowi tidak bisa hanya mengartikan kehadiran negara dari dana talangan.”

Menurut dia, jika permasalahan finansial perusahaan  dan pelanggaran HAM diselesaikan dengan uang negara, ke depan kasus ini akan terulang kembali. “Hanya pertolongan dana pajak dan uang rakyat?”

Semestinya, kata Bagus, pemerintha perlu memberikan pemulihan sosial dan ekologis. Pemerintah,  harus meluaskan horison pandangan tidak hanya fokus wilayah tergenang. “Artinya melihat sebaran dari daya rusak praktik lumpur Lapindo, tidak hanya terpusat wilayah tergenang.”

Dia mencontohkan, sebaran korban mengungsi, mencari kerja di wilayan lain, karyawan bekerja di sana meskipun tidak berdomisili di wilayah itu. “Permasalahan utama tidak ada data korban valid. Baik korban rumah terendam, maupun yang kehilangan hak sosial ekologis.”

Tak jauh beda dengan KontraS.  Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kebijakan Jokowi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Justru,  hanya menguntungkan kelompok tertentu. “Hanya menggelontorkan dana kompensasi kepada korban Lapindo menurut kami itu tindakan sangat tidak tepat. Merendahkan nilai penanganan kasus juga merendahkan penderitaan korban,” katanya.

Bahkan, langkah itu justru berujung pada pendekatan bisnis. Padahal, kasus lumpur Lapindo ada banyak aspek harus diperhatikan. “Wapres Jusuf Kalla hanya  mengatakan akan mengambil alih aset Lapindo jika tak mampu membayar dana talangan.”

Haris menilai, respon Jokowi tidak sebanding dengan besaran dampak, kerugian warga di beberapa desa itu. “Ketika Jokowi mengatakan negara harus hadir, itu tidak bisa hanya memberikan Rp781 miliar. Seolah-olah dengan uang itu, permasalahan selesai.”

Dalam Lapindo,  jelas ada kejahatan patut diduga itu sudab disadari sejak awal, meliputi berbagai aspek. “Harusnya ada upaya tidak sekadar menghitung kerugian materil belaka. Penting juga ada penghukuman kejahatan korporasi.”

Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Ekosoc KontraS mengatakan,  dalam perspektif hukum dan HAM kebijakan ini tidak bisa meniadakan proses advokasi dan pertolongan kepada warga, terutama di Kecamatan Porong dan sekitar.

Dia mengatakan, Jokowi mengundang pemerintah Sidoarjo, Gubernur Jatim ke Jakarta, hanya memberikan kompensasi. “Kita melihat pendekatan hanya nilai rupiah. Bukan pendekatan melihat sejauh mana proses normalisasi masyarakat lokal.”

KontraS mengajukan, delapan rekomendasi kepada Presiden Jokowi,  dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pertama, mendesak kapolri selaku orang yang bertanggung jawab terkait SP3 pidana Polda Jatim. Kedua, meminta Kementerian Keuangan, menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis membeli aset PT. Minarak Lapindo.

Ketiga, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan terhadap Lapindo secara menyeluruh.  Karena kegiatan mereka berdampak terhadap lingkungan.

Keempat, meminta Jaksa Agung menggugat perdata karena ada indikasi wanpresrasi dan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo. Kelima, meminta presiden tidak hanya mengeluarkan dana talangan, juga membentuk tim percepatan pemulihan non judicial terpadu. “Tim terdiri dari beberapa kementerian berbasiskan HAM. Ini penting karena ada beberapa pabrik tutup. Ribuan terdampak.”

Keenam, meminta Kementerian Pekerjaan Umum aktif menyampaikan bukti-bukti kepada Polri terkait penyalahgunaan tata ruang oleh Lapindo.  Ketujuh, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi  membuka data seluas mungkin karena hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada banyak fakta ditutup-tutupi oleh Lapindo. “Ini yang kita sesalkan seakan-akan itu kejadian biasa.”

Kedelapan, meminta BPK berkoordinasi dengan kementerian terkait, terutama Energi Sumber Daya Mineral.”Dalam pemeriksaan Komnas HAM, muncul bukti dari BPK yang menguatkan bahwa proses pengeboran tidak prosedur. Tahapan-tahapan ada dilewati dan tidak sistematis. Sayang, bukti-bukti tidak ditindaklanjuti pemerintah. Baik pemerintah SBY maupun Jokowi. Padahal sangat kuat,” ucap Munir.

Puri Kencana Putri, Kepala Biro Riset KontraS mengatakan, dalam laporan Komnas HAM dua tahun lalu, ada 15 kasus pelanggaran HAM yang berdimensi serius. “Bisa dipakai mendorong langkah-langkah judicial dan non judicial. Juga bisa dihadirkan untuk pemulihan terhadap hak-hak korban,” katanya.

Laporan pelanggaran HAM itu  antara lain, hak atas hidup,  hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, dan hak atas kesehatan. Lalu, hak atas pekerjaan, pendidikan, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, kesejahteraan, jaminan sosial, pengungsian, kelompok rentan terutama mereka penyandang cacat, lansia dan anak-anak.


Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial dan Ekologis was first posted on January 14, 2015 at 12:20 pm.

Parah! 8 Tahun Putusan MA Tumpul, Sawit Masih Kuasai Register 40

$
0
0
Sawit bak menyihir banyak kalangan hingga penegakan hukum pun seakan dilupakan. Seperti kebun sawit bercokol di kawasan hutan lindung Registes 40, Sumut, tetap aman. Walaupun sudah ada putusan Mahkamah Agung sejak Maret 2007, agar lahan itu disita negara bersama bangunan yang ada di atasnya. Foto: Sapariah Saturi

Sawit bak menyihir banyak kalangan hingga penegakan hukum pun seakan dilupakan. Seperti kebun sawit bercokol di kawasan hutan lindung Register 40, Sumut, tetap aman. Walaupun sudah ada putusan Mahkamah Agung sejak Maret 2007, agar lahan itu disita negara bersama bangunan yang ada di atasnya. Foto: Sapariah Saturi

Sejak 2008, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara akan eksekusi lapangan, lahan 47.000 hektar di kawasan hutan lindung Register 40 Padang Lawas (Palas), Sumatera Utara, yang dirambah Darius Lungguk (DL) Sitorus, Direktur Utama PT Torganda, menjadi kebun sawit. Namun, penyitaan lahan sesuai putusan Mahkamah Agung pada 2007 itu hingga 2015 belum berjalan. Delapan tahun putusan MA diabaikan.

DL Sitorus menjalani penjara delapan tahun denda Rp5 miliar, subsider enam bulan kurungan, karena terbukti menduduki Register 40 Padang, tanpa izin Kementerian Kehutanan. Sitorus mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia 31 Desember 2009.

Muhammad Yusni, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut, menyatakan hal sama seperti pimpinan yang lalu. Soal hutan lindung Register 40 yang dirambah PT Torus Ganda (Torganda), terus ditangani.

Pada Agustus 2009,  tim jaksa eksekutor telah eksekusi administrasi hutan yang rusak dan menjadi kebun sawit. Namun saat itu, eksekusi ini ditangani Perhutani—kala itu bernama Inhutani, Kementerian Kehutanan, bahkan sempat oleh Menko Polhukam karena isu nasional. Dia beralasan, hal itu  menyebabkan eksekusi fisik belum bisa dijalankan jaksa selaku eksekutor.

“Waktu itu jajaran Kementrian Kehutanan mengambil alih. Kami tidak dapat berbuat banyak. Sekarang kita tangani lagi dan segera eksekusi fisik,” katanya.

Kajati Sumut bersama tim Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD), katanya, beberapa waktu lalu rapat serius membahas ini. Tim dari Dinas Kehutanan Sumut memberikan data-data area eksekusi perkara pembalakan hutan lindung  itu.

Hasil rapat, dibentuk tim melibatkan TNI jajaran Kodam I Bukit Barisan dan diharapkan segera membantu tim JPU menangani perkara  ini.

Kebun sawit makin meluas

Juru Bicara Tim Penyelamatan Hutan Register 40, Ricky Sembiring, menyatakan, hasil investigasi lapangan di hutan lindung itu hingga kini masih ada aktivitas. Kerusakan hutan Register 40 makin  parah, lahan gundul, dan sebagian besar ditanami sawit. Data terbaru, perusahaan bukan saja merambah hutan di Simangambat, Padang Lawas, juga di Kabupaten Padang Lawas Utara, hingga ke Riau, persis di Rokan Hilir. Luas kerusakan hutan ditaksir lebih 47.000 hektar, melibatkan perusahaan Torganda, KPKS Bukit Harapan, dan Koperasi Parsub.

Dia menduga, ada unsur kesengajaan, tidak segera eksekusi. Permainan diduga disusun Kejaksaan dan Kementerian Kehutanan. Targetnya, agar sawit bisa terus jalan.

Menurut Dongan Nauli S, Tim Penyelamatan Hutan Register 40, Menteri Kehutanan kala itu, MS Kaban, harus bertanggungjawab atas kerusakan hutan lindung ini. Sebab, dampak kebijakan dia konflik terus terjadi dan eksekusi lahan terjadi.

MS Kaban, mengeluarkan SK Nomor 358/Menhut-II/2008 tentang penunjukan Badan Pengelola Sementara lahan yang dikelola Torganda, Torus Ganda, Koperasi Parsub, dan Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit (KPKS) Bukit Harapan. Atas dasar itulah mengapa Kajati Sumut tidak bisa eksekusi. Padahal, sesuai aturan, dilakukan jaksa eksekutor. Namun mereka takut dan berdampak pada terjadinya penguasaan kawasan hutan lindung Register 40 oleh perusahaan dan anak perusahaan milik DL Sitorus.

“Berdasarkan keputusan MA 12 Februari 2007, Sitorus bersalah dan merampas kebun sawit di Register 40, berserta seluruh bangunan untuk negara. Mengapa putusan peradilan itu tidak jalan? Apa sebenarnya yang ditakutkan? Ini sudah berkekuatan hukum tetap.”

 

 


Parah! 8 Tahun Putusan MA Tumpul, Sawit Masih Kuasai Register 40 was first posted on January 14, 2015 at 2:01 pm.

Industri Minta Revisi Aturan, Upaya Perlindungan Gambut Terancam? (bagian 1)

$
0
0
Lahan gambut yang dibelah-belah untuk aktivitas perusahaan (kegiatan ekonomi). Bagaimana, kita akan membenarkan aksi ini sebagai kegiatan berkelanjutan? Foto dari presentasi Azwar M'aas

Lahan gambut yang dibelah-belah untuk aktivitas perusahaan (kegiatan ekonomi). Bagaimana, kita akan membenarkan aksi ini sebagai kegiatan berkelanjutan? Foto dari presentasi Azwar M’aas

 Belum sampai setengah tahun usia Peraturan Presiden (PP) Perlindungan  dan Pengelolaan Gambut, setelah hampir 12 tahun pembahasan, muncul desakan dari industri terutama sawit dan HTI agar pemerintah merevisi kebijakan ini. Mereka ingin revisi antara lain, penetapan tinggi muka air gambut 0,4 meter karena dinilai bisa mematikan usaha. Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan membuka ruang diskusi seperti dihelat Rabu (14/1/15). Dari asosiasi perusahaan, pakar beragam tipe, dan beberapa organisasi masyarakat sipil hadir. Hasilnya, PP Gambut tetap jalan. Namun, potensi melemahkan aturan ini masih ada karena kementerian membuka kemungkinan revisi soal tinggi muka air tanah dengan catatan harus memiliki asas keilmuan.

Hadi Daryanto, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, saat ini akan menjalankan perintah dalam PP Gambut, seperti harus membuat peta kesatuan hidrologis gambut dalam dua tahun. Revisi PP, katanya, mungkin terjadi tetapi harus ada asas keilmuan. “Ga bisa langsung terbit langsung berubah. Kita sepakat, ada tugas PP tentang peta hidrologis. Penuhi ini dulu. Menteri tetapkan fungsi lindung dan fungsi budidaya ekosistem gambut. Ini kerjaan besar. Kalau ini cepat, orang akan tahu, mana fungsi lindung dan  budidaya,” katanya di Jakarta, hari itu.

Dia mengatakan, industri harus membaca teliti aturan ini hingga mengerti bahwa gambut harus terjaga dan tak ada keinginan membunuh industri karena sudah tercantum dalam aturan peralihan. “Mereka gak baca dalam ketentuan peralihan…”

Hadi menceritakan, aturan yang ada saat ini sudah terbilang longgar karena kala pembahasan dia berusaha agar jangan sampai memberatkan industri. “Itu saya sebagai sekjen yang menghalangi. Pada awalnya keras PP itu. Pak Arief (deputi di Kementerian Lingkungan Hidup—dulu) saksi. Jam 7.00 pagi saya datangi. Pak Arief ini gak boleh.” Lalu, muncullah aturan peralihan yang menyebutkan, izin yang ada jalan terus, sampai berakhir, pemanfaatan ekosistem gambut di fungsi lindung  dan telah ada izin usaha tetap berlaku dengan menjaga fungsi hidrologis.

“Jadi jangan lagi noreh-noreh kubah. Dulu saya juga gak tahu itu. Saya bela-belain eko hidro waktu orang jahit mulut di sini (warga Pulau Padang protes). Karena katanya atur tata air seperti subak di Bali. Kalau hujan tadah air, agar gak banjir. Kita pikir orang atur air. Ternyata setelah belajar dari Azwar (Prof Azwar M’aas), ini kubah gambut yang ditoreh. Orang tak sadar karena basis perizinan ada.  Gak melihat ekosistem gambut.”

Menurut dia, selama ini izin HPH keluar di tanah mineral, bukan gambut. “Ketika di gambut, jadi tahu, PP ini harus dilaksanakan. Lindungi dulu. Karena orang butuh air. Betul lo Azwar.”

Arief Juwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian LHK  juga memberi tanggapan terkait desakan revisi kalangan industri ini. Menurut Arief, kala dalam perjalanan yang selama ini perusahaan berada di zona ‘nyaman’ dan mesti berubah setelah ada kebijakan baru, biasa kalau ada reaksi. “Ini kita jalan aja, kemudian ada sebagian dari isu krusial, ibu (menteri) akan tugaskan panel ahli untuk selesaikan. Krusial, hanya kedalaman 0,4 meter. Yang lain gak.”

Api masih menyala di areal perusahaan. Sejak belasan tahun, warga kepulauan di Riau ini menanam sagu dan lahan tak pernah terbakar. Namun, kala sagu menjadi tanaman monokultur oleh perusahaan dan kanal-kanal dibuka, kebakaran pun mulai terjadi seperti awal tahun 2014 ini. Apakah PP Gambut, bisa melindungi gambut dengan kondisi seperti ini? Bagaimana jadinya kala aturan ini direvisi menjadi lebih longgar lagi? Foto: Walhi RIau.

Hasil pakar nanti, katanya, belum bisa dipastikan sekarang apakah tinggi muka air gambut akan berubah lebih tinggi dari 0,4 meter atau tetap pada angka itu. “Kan kalau kajian belum tentu revisi.”

Dia mengatakan, soal gambut budidaya sudah ada dalam ketentuan peralihan. Berikutnya, ada pengaturan. “Jadi ada kubah diamankan, daerah tengah dan hilir dirapikan. Kalau sekarang kan semua pengusahaan basis konsesi yang ada. Tak melihat fungsi ekologis atau kubah gambut. Bisa kelihatan di Riau, kubah gambut di bagian pinggir ada saluran. Yang masih baik kita amankan dulu.”

Seiring dengan itu, sesuai amanat PP, akan dilakukan inventarisasi dengan citra satelit untuk membuat peta kesatuan hidrologis gambut. “Ini semua jadi dasar pengelolaan dan perlindungan berikutnya.  Semua kita inventarisasi. Ini aturan berlaku untuk semua kawasan gambut, semua perusahaan. Gak sepotong-sepotong.”

Dari peta itu juga akan ketahuan mana daerah gambut aman, sudah rusak, atau setengah rusak. “Nanti perlakuan berbeda-beda. Kalau ada perusahaan yang belum jalan tapi di kubah, ya mesti keluar dari situ. Kalau dibiarkan, misal ada menara air, air diambil bukan hanya air yang habis, yang di bawah juga kekeringan. Nah, kekeringan ini ada kaitan dengan karhutla,” ucap Arief.

Menurut dia, dari masukan Prof Azwar M’aas, harus ada manajemen baru, misal, perusahaan yang berada di kubah gambut harus keluar dan kawasan direhabilitasi. “Yang sudah aman dilindungi. Nanti, ikutan dalam pedoman pelaksana akan diatur  keharusan ini, ada instruksi pemerintah.”

Senada diucapkan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia belum bisa memastikan apakah akan ada revisi atau tidak PP Gambut itu. “Saya meminta eselon I mengakomodasi dulu berbagai masukan. Jadi belum ada stand point-nya.”

Menurut dia, terpenting bagaimana mekanisme mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang berkembang. “Karena saya sudah bertemu Gapki, APHI udah ketemu. Mereka punya apppeal. Saya juga sudah  bertemu LSM-LSM dan mereka punya permintaan. Jadi saya buka saja diskusi. Di sinilah benar-benar diuji antara dimensi konservasi dan ekonomi. Akan kita lihat.”

Usulan revisi

Supiandi Sabiham, dari Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian IPB mengatakan, pada pasal perencanaan, menyebutkan, menteri wajib menetapkan kawasan lindung pada kesatuan hidrologis gambut yang mempunyai ketebalan gambut tiga meter atau lebih.  Menurut dia, dalam kenyataan, banyak lahan gambut mempunyai ketebalan gambut lebih dari tiga  meter memberikan hasil baik, terutama untuk kebun baik rakyat maupun perusahaan besar.

Selain itu, katanya, dalam pasal pengendalian di PP Gambut menyatakan, ekosistem dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila muka air di lahan gambut lebih dari 0.4 meter di bawah permukaan gambut. “Bila GWL lahan gambut kurang 0.4 meter, produksi TBS turun secara cukup signifikan. Kala pasal itu berlaku akan berakibat lahan gambut yang sedang diusahakan kebanyakan masuk kriteria rusak,” katanya.

Untuk itu, ucap Supiandi, aturan terkait dengan pasal-pasal itu perlu dipertimbangkan kembali hingga dapat diterima semua pihak.

Derom Bangun dari Dewan Minyak Sawit Indonesia, mengamini apa yang diucapkan Supiandi. “Saya pikir apa yang digambarkan Pak Supiandi agar dijadikan bahan pertimbangan untuk revisi,” ujar dia. (bersambung)

 

 


Industri Minta Revisi Aturan, Upaya Perlindungan Gambut Terancam? (bagian 1) was first posted on January 15, 2015 at 8:16 pm.

Menjaga Desa, Melindungi Hutan Adat Tenganan Pegringsingan

$
0
0
Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang di kelilingi hutan. Foto: Anton Muhajir

Desa Adat Tenganan Pegringsingan, yang di kelilingi hutan. Foto: Anton Muhajir

Durpa Adnyana, petani 33 tahun ini menyajikan teh campur madu ramuan sendiri. Dua cangkir teh tandas sebelum dingin. Belasan turis asing membuat testimoni menyenangkan usai jalan-jalan di tengah hutan Desa Tenganan Pegringsingan, tertempel di tembok dan pondokan bambu.

Durpa, adalah penyakap (buruh kebun) yang berdampingan dengan kawasan hutan desa di Kabupaten Karangasem, Bali Timur. Dia dan warga lain punya kewajiban menjaga kelestarian hutan. Ada peraturan tertulis maupun lisan tentang perlindungan, seperti larangan keras menebang pohon dan berburu.

Sebelum ada Indonesia, desa ini sudah memiliki awig-awig (aturan adat tertulis) dalam menjaga hutan. Aturan itu, antara lain berbunyi, hutan adalah tanah di luar permukiman merupakan tanah perbukitan sekeliling wilayah desa. Lahan tidak boleh dijual atau dipindahtangankan kepada orang lain di luar desa adat. Lahan harus tetap dijaga dan penebangan pohon boleh kalau sudah tua atau mati  atas izin desa adat.

“Ada pernah dikeluarkan karena melanggar,” kata Durpa. Dia bukan asli Tenganan Pegringsingan. Leluhur dari desa lain di Karangasem tetapi sudah turun temurun menetap di sekitar hutan itu.

Selaras upaya perlindungan hutan desa, Durpa mengadaptasi kesepakatan dengan budidaya lebah madu terbatas. Dia menggantungkan wadah-wadah bambu bulat panjang sebagai rumah koloni di pepohonan dan dalam rumah.

“Kalau ada enam bongkahan berisi madu, hanya dua yang saya ambil. Kalau diambil semua, kita tidak berperasaan sama lebah.” Dia meyakini, lebah memberikan manfaat bagi manusia namun tak boleh rakus mengambil semua. Jadi, dia tak khawatir lebah bakal meninggalkan hutan.

Ada dua koloni yang menghasilkan jenis madu beda rasa. Pertama, lebah bunga mangga menghasilkan madu dominan manis segar. Kedua, lebah kele berukuran kecil seperti semut hitam dan menghasilkan madu rasa asam. “Madu kele diyakini ampuh mengobati banyak penyakit hingga diburu balian (seperti dukun tradisional).” Masa panen kelepun, lebih lama sekitar enam bulan sekali. Lebah mangga panen dua bulan sekali.

Tiap panen, dia mengolah sekitar 60 bongkah sarang lebah. Hasilnya, sekitar satu liter seharga Rp400.000. Artinya, tiap bulan Durpa mendapat penghasilan kurang Rp500.000. Namun, tak mendorong dia mengeksplotasi satwa liar dan hutan desa.

Hutan Tenganan Pegringsingan terlihat asri. Aneka pepohonan dan buah untuk upacara adat mudah dijumpai. Para turis asing menikmati arsitektur dan tata ruang desa unik ini. Durpa juga pemandu lokal.

Durpa dengan rumah-rumah lebahnya. Foto: Anton Muhajir

Durpa dengan rumah-rumah lebahnya. Foto: Anton Muhajir

Ada juga I Nyoman Suwita, yang kerap bertugas di pos sumbangan sukarela pintu masuk desa. Suwita ramah menyambut turis datang dan minta mereka menuliskan nama dan keterangan lain di buku sumbangan sukarela. Desa adat tak ingin mematok tarif masuk.

“Hutan desa terus didatangi monyet-monyet yang makan nenas saat panen,” kata Suwita. Nenas tumbuh di bebukitan Karangasem terkenal dengan rasa dan tekstur. Serbuan monyet ekor panjang (macaca) terjadi saat kemarau sampai hujan.

Dia mengatakan, warga sedang merencanakan ritual penyucian, salah satu agar tak terjadi konflik dengan primata liar itu.

Suwita, anak muda aktif dalam pemetaan tata ruang desa secara mandiri. Tujuannya, agar tak mudah dialihfungsikan oleh pemerintah.

Peraturan Daerah tentang RTRW Bali 2010 menyebut, kawasan lindung adalah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup mencakup sumberdaya alam.  Tujuannya, meningkatkan fungsi lindung dari air,  tanah dan mempertahankan keragaman hayati serta ekosistem maupun keunikan alam.

Yayasan Wisnu, sebagai mitra desa dalam pengembangan ekowisata memetakan vegetasi alam dan hutan, baik pohon, semak (perdu), dan tanaman di wilayah pertanian atau perkebunan.  Pepohonan, seperti lamtoro, bunut, waru, mangga, delundung, nangka, kelapa, juwet, jambu air, sonokeling, albesia, durian, mangga, teep, beringin, gamal, jaka, sukun, bayur, melinjo, mahoni, belalu, kayu cang, ata, pangi, dan kepuh.

Tanaman semak seperti putri malu, rumput, pandan berduri, dan blatung.  Sedang vegetasi di pertanian sawah adalah padi, lombok, kacang tanah, kacang panjang, jagung, ketela, dan sayur-sayuran. Di kebun, ada pisang, kopi, alpokat, rambutan, dan nenas.

Berdasarkan sangkep (rapat) tim tata ruang, kawasan lindung tidak boleh berubah fungsi.   Hutan juga sebagai perkebunan yang sebagian besar oleh penyakap (penggarap). Luas kawasan hutan lebih 583.000 km2 merupakan perbukitan, dengan  kemiringan rata-rata 40%.

Yayasan Wisnu mencatat, ada lahan telah disertifikasi menjadi milik pribadi. Milik negara disebut tanah GG. Awalnya, semua tanah milik komunal dan dikelola masyarakat. Untuk menjaga tanah tidak diperjualbelikan, desa adat memberlakukan awig guna  pengaturan pemanfaatan kolektif.

I Nyoman Sadra, tokoh masyarakat Tenganan mengatakan, lahan desa tak boleh bersertifikat dan alihtangan. Menurut dia, pernah ada kejadian, warga kena sanksi karena mensertifikatkan tanah sebagai agunan pinjaman bank. “Dia kena denda desa.”

 

Pola perkampungan di sini mengelompok di tengah-tengah desa dikelilingi Bukit Kangin (Timur), Kauh (Barat), dan Kaja (Utara). Di Selatan adalah pintu keluar menuju desa tetangga.

Berbeda dengan desa lain di Bali, warga Tenganan meyakini desa merupakan hadiah Dewa Indra. Mereka penganut kepercayaan Hindu beraliran Indra. Dewa Indra sebagai dewa perang mempengaruhi struktur permukiman desa terkait pertahanan diri. Struktur dinamakan ”jaga satru” artinya waspada terhadap musuh, dilindungi benteng dengan empat pintu di setiap mata angin. Salah satu ritual paling terkenal, mekare-kare atau perang pandan.


Menjaga Desa, Melindungi Hutan Adat Tenganan Pegringsingan was first posted on January 15, 2015 at 10:08 pm.

Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar (bagian 2)

$
0
0
Gambut yang tercabik-cabik kanal. Apakah ini yang dibilang pengelolaan berkelanjutan? Foto: dari presentasi Azwar M'aas

Gambut yang tercabik-cabik kanal. Apakah ini yang dibilang pengelolaan berkelanjutan? Foto: dari presentasi Azwar M’aas

Mengelola gambut tak bisa seenaknya. Ia tak dapat dibelah-belah semau hati, terlebih pada kubah. Pengelolaan harus melihat satu kesatuan hidrologis (lansekap). Tanamanpun harus beradaptasi dengan gambut. Bukan sebaliknya, gambut dipaksa mengikuti keinginan hati yang menggunakan lahan. Gambut tempat menyimpan air. Kala, eksploitasi tak memperhatikan karakteristik, bahaya mengintai. Gambut kering, memicu kebakaran. Inilah yang terjadi di negeri ini selama belasan tahun, tak pelak, kebakaran bak jadi “tamu” tahunan.  Apa kata para pakar gambut soal ini?

Prof Azwar M’aas, Pakar Gambut dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan, kala membahas gambut harus membicarakan hukum air yang mengalir dari atas ke bawah. Kala, kubah gambut ditoreh oleh kanal-kanal, maka air akan lepas.

Diapun menjabarkan beberapa hal prinsip dalam pengelolaan gambut. Menurut dia, mempertahankan kubah gambut sangat penting agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, dan terhindar dari banjir maupun kekeringan. Satuan hidrologis, katanya,  menjadi dasar peruntukan, zona konservasi (kubah), zona penyangga,  dan zona pemanfaatan, dengan densitas saluran makin sedikit ke arah kubah. “Satuan hidrologis dengan pengelolaan berbeda dan tak ada ketergantungan dengan ekosistem akan jadi sumber bencana,” katanya kala berbicara dalam diskusi soal gambut, Rabu (14/1/15) di Jakarta.

Lalu, pilihan komoditas adaptif ke lingkungan alami untuk zona yang makin mendekati kubah. “Jika gambut ini dijadikan pada pohonan atau tanaman lahan kering, dengan memaksa gambut yang basah untuk kering. Ini bahaya….”

Jadi, katanya, air tanah harus tetap segar bergerak, tidak stagnan. Azwar mencontohkan, pada kubah tetap hutan alami , zona penyangga, HTI dengan tanaman adaptif rawa,  zona kanalisasi terbatas HTI, pada zona aerasi, perkebunan. Lalu pada zona tanggul alam dan pasang surut itu tanaman pangan atau tanaman semusim.

Microsoft Word - Document5

Kondisi di lapangan, banyak gambut tercabik-cabik kanal (drainase) termasuk pada kubah. Hal ini, katanya, akan menimbulkan dampak lingkungan antara lain, laju penurunan muka tanah (subsiden), emisi, kering tidak balik, dan bahan organik terlarutkan (DOC). Ditambah lagi, bahaya kebakaran, perubahan iklim, pemanasan global, peningkatan muka air laut, kelangkaan air bersih musim kemarau, polusi air, dan berdampak bagi masyarakat lokal setelah ada perubahan lingkungan.

Berbicara gambut daratan dan kepulauan, kata Azwar, dalam pengelolaan harus dengan perlakuan berbeda. Pemanfaatan gambut kepulauan harus minimal gangguan.

Pengelolaan, katanya, berpedoman pada satuan hidrologis gambut dengan mengedepankan desain fungsional (zonasi konservasi, konversi). Juga hubungan serasi antara penguasaan lahan skala besar dan masyarakat dalam satuan hidrologis atau landscape yang saling terhubung. “Masalah selama ini, dalam satu kesatuan hidrologis banyak penguasaan dan satu sama lain berbeda-beda kepentingan.”

Selama ini,  praktik-praktik masyarakat, misal di Pulau Padang, terbukti lebih lestari dan tak merusak tatanan hidrologi. Warga menanam karet 7.931 hektar, sagu 8794 hektar, kelapa 1766 hektar, sampai perikanan.

Untuk itu, kata Azwar, perlu sinkronisasi peraturan perundangan biofisik terkait pemanfaatan dan konservasi.  Termasuk, pemerataan kesempatan akses terhadap lahan gambut dalam mendukung kesejahteraan masyarakat.

Sebenarnya, mengelola gambut itu sulit mau dibilang  berkelanjutan. Azwar lebih senang menyebut dengan memperpanjang pengelolaan gambut. Untuk itu, katanya, hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain,  perhitungan neraca air/lengas tanah di zonasi peruntukan dalam satuan hidrologis, gambut tidak kering di permukaan, lembab dan mampu menyerap air, dan minimum usikan. Kemudian, tanaman menyesuaikan ekisistem gambut, bukan sebaliknya. “Jangan ekosistem gambut yang harus menyesuaikan diri dengan tanaman.”

Kanal-kanal ini menyodet gambut. Airpun keluar dan lepas hingga mendorong gambut kering dan memicu kebakaran. Foto: presentasiAzwar M'aas

Kanal-kanal ini menyodet gambut. Airpun keluar dan lepas hingga mendorong gambut kering dan memicu kebakaran. Foto: presentasiAzwar M’aas

Selain itu, gambut, jangan dibiarkan terbuka tanpa tumbuhan penutup, jangan diberi input berlebihan dan memperbaiki suasana untuk perombakan oleh mikrobia. Untuk tujuan penataan air, ucap Azwar, perhitungan neraca air, perlu peta lebih rinci, misal, peta skala 1:5.000. LiDAR dapat sebagai dasar peta skala 1 : 2.000.

Peta ini, katanya, sekaligus sangat berguna  bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah, konservasi dan pemanfaatan, perancangan zona adapatasi. Peta juga bermanfaat buat menilai, dampak lingkungan versus ekonomi di lahan gambut, termasuk bahaya kebakaran lahan.

Dalam presentasi, Azwar menyebutkan beberapa hal penyebab gambut mudah terbakar seperti terjadi selama ini. Antara lain, aturan pengelolaan air berbasis neraca lengas tetapi tak memperhatikan satuan hidrologis,  hanya berdasar konsesi atau penguasaan lahan, dan tak ada sumber air di posisi lebih tinggi karena kubah rusak. Lalu, saluran dan bangunan pengontrol, drainasi berlebihan hingga menguras air ke posisi lebih rendah, kemarau, lama tidak hujan berurutan dan akumulasi penguapan. Penyebab lain, air tanah terlalu dalam hingga kemampuan aliran kapiler gambut rendah, kesadaran lingkungan rendah, dan cara termudah membuka lahan dengan membakar. Selain itu, terjadi konflik kepentingan, pengawasan lemah, permainan oknum. Kondisi tambah parah kala antarpemegang kendali kewenangan tidak sinergi.

Untuk itu, dia menawarkan beberapa upaya pencegahan kebakaran di lahan gambut. Pertama, satu satuan hidrologis dengan satu pengelolaan, sama dengan pengelolaan sungai dan DAS-nya. “Siapa berbuat apa dan kompensasi perlindungan dari hulu sampai hilir.”

Kedua, menerapkan eko-hidro yang arif, bukan hanya menata air di saluran, tetapi lebih penting menjamin ada cukup air di posisi lebih tinggi. Hingga secara grafitasi mampu membasahi gambut di bagian bawah, dan kubah terlindungi.

Ketiga, penutupan kanal pembatas yang terlanjur dibuat di batas satuan penguasaan dalam satu kesatuan hidrolgis. Keempat, kejelasan status lahan, hindari kawasan abu-abu yang tidak ada penanggungjawab.

Kelima, penyatuan sistem peringatan dini potensi mudah terbakar, baik aspek hidrometeorologi, posisi gambut terhadap bentang lahan. Juga kondisi fisik gambut dan tumbuhan di atasnya, muka air tanah, keterlintasan, status penguasaan, kerawanan sosial, sampai kesiapan sarana pemadaman dini. Juga pengelolaan airpun mesti bersama-sama, baik, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, Kemendagri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Bappenas, UKP4, akademisi dan lain-lain.

Haris Gunawan, Pakar Gambut dari Universitas Riau juga memberikan pandangan tak jauh beda. Menurut dia, dalam mengelola, harus sesuai watak asli gambut  yang basah. “Jadi itu sebenarnya, pilihan. Pilihan tak mudah diambil. Jelas dalam konteks lebih besar harus akomodir semua kepentingan tetapi pelahan harus kembalikan pembangunan  sesuai karakter gambut.” Yang jelas, katanya, mengelola gambut tak bisa  menjeneralisir, misal HTI akasia dan sawit dipaksakan massif seperti saat ini, sekitar 2,7 juta hektar lebih lahan gambut dari total 7 juta. “Ini menurut saya sudah cukup apapun diskusi akademiknya. Gitu lo.”

Microsoft Word - Document5

Menurut Haris, Indonesia, sudah harus mengembangkan pendekatan baru dengan tetap mempertahankan watak alami atau watak asli ekosistem gambut. “Yang sudah ada itu pelahan terus tingkatkan value. Misal, HTI 3 juta hektar itu value jadi 7 juta hektar, tetapi lahan tetap 3 juta hektar. Jadi bukan lagi perluasan lahan bisnis. Itu filosofi yang harus diambil,” ujar dia.

Revisi

Mengenai PP Gambut, Haris melihat beberapa asosiasi dan akademisi getol ingin merevisi aturan, terutama terkait ketebalan dan batas muka air gambut budidaya. “Itu bagian proses. Yang penting, diketahui siapapun, pemerintah memberi ruang kepada siapapun berpendapat. Tapi jangan buru-buru revisi. Naskah akademik penting. Lalu bercermin juga dengan pengalaman kerusakan gambut 1 juta hektar.”

Bagaimana ke depan? Menurut dia, pemerintah harus lebih konsen mengimplementasikan dan membangun sistem pengawasan. Dari pengalaman, aturan ada tetapi tak jalan karena pengawasan lemah. Dia mencontohkan, aturan larang kelola lahan gambut tiga meter ke atas hanya jadi kebijakan di atas kertas. “Di berbagai daerah, banyak pengusahaan di lahan gambut tiga meter atau lebih.”

Untuk itu, katanya, bagaimanapun kembali ke muara. “Kalau mau revolusi mental ya orang-orangnya. Karena ada celah di sana. Aturan bagus, kalau orang-orangnya atau belum terbangun sistem akan sulit.”

Teguh Surya, dari Greenpeace mengatakan, jikapun PP Gambut nanti direvisi, menteri harus memastikan semua itu demi memperkuat komitmen presiden dalam melindungi gambut total. Mengenai revisi mungkin dilakukan atas landasan keilmuan, dia mengingatkan, agar berhati-hati.  “Karena kelompok ahli juga terbelah. Menteri harus jadikan realitas di lapangan sebagai pertimbangan.”

Menurut dia, pengelolaan HTI dan sawit di lahan gambut jelas tindakan bunuh diri ekosistem. Sebab, katanya, pengelolaan gambut mesti dengan tanaman beradaptasi dengan gambut hingga tak ada kanalisasi yang mengeringkan lahan.

Dia menilai, aturan peralihan dan penutupan dalam aturan itu, masih menjadi batu ganjalan dalam melindungi ekosistem gambut. “Menteri juga perlu segera merealisasikan janji presiden dengan mereview perizinan terutama di lahan gambut.” (habis)

 

 


Mau Kelola Lahan Gambut? Inilah Pesan Para Pakar (bagian 2) was first posted on January 16, 2015 at 9:38 pm.

Berikut Fakta Unik Ulat Kaki Seribu

$
0
0
Ulat kaki seribu di Penang, Malaysia. Spesies ini memakan sisa-sisa tumbuhan dan kotoran yang keluar bisa meningkatkan zat hara. Foto: Ayat S Karokaro

Ulat kaki seribu di Penang, Malaysia. Spesies ini memakan sisa-sisa tumbuhan dan kotoran yang keluar bisa meningkatkan zat hara. Foto: Ayat S Karokaro

Namanya ulat kaki seribu (millipede), masuk kelas Diplopoda. Satwa artropoda ini, sempat menggemparkan dunia karena ditemukan memiliki tubuh cenderung terlalu besar mencapai 15,2 inci. Dia dapat di temukan di hutan Afrika Timur. Spesies ini masuk dalam Guinness Book of World Records, karena hewan terbesar dalam jenisnya.

Di Asia, millipede ukuran besar ini ada di Butterfly Farm, Teluk Bahang, Penang, Malaysia. Di sini, ukuran mereka panjang mencapai 20-25 cm bahkan ada 30 cm. Besar tubuh mencapai telunjuk orang dewasa, ada juga hampir sebesar ibu jari dewasa. Mereka diletakkan di ruang lembab dan sejuk, dengan makanan buah dan daun-daunan.

Bisma Rehaldi Bin Manaf, mahasiswa pascasarjana di Malaysia sedang meneliti spesies ini ketika berbincang dengan Mongabay, mengatakan, secara umum hewan ini memiliki penampang tubuh berbentuk bundar, empat kaki di setiap ruas tubuh.

Umumnya, hewan ini masuk herbivora, dan memiliki antena di bagian depan kepala. Spesies ini, memiliki dua pasang kaki per segmen, minus di bagian kepala hanya satu.

Namapun tak sesuai jumlah kaki. “Jangan kira ulat kaki seribu, kaki ada seribu. Salah besar. Kaki tergantung panjang tubuh masing-masing. Ia bisa membesar dan panjang. Bicara kaki, ya tergantung berapa besar tubuh. Setiap segmen tubuh memiliki 17-100 pasang kaki,” kata Rehaldi.

Dia mengatakan, hewan ini masuk katagori decomposer, artinya pemakan sisa-sisa tumbuh-tumbuhan. Kotoran sisa pengolahan makanan yang dikeluarkanpun, mampu meningkatkan zat hara di tanah. Hingga mampu menyuplai kebutuhan dan kesuburan tanah, yang bermanfaat bagi tumbuhan. “Itu alasan mengapa saya meneliti ulat kaki seribu. Sebab ada yang omnivora juga, pemakan tumbuh-tumbuhan dan daging.”

Spesies ini, sangat membantu keseimbangan alam khusus kawasan hutan perawan dan memiliki kelembaban cukup tinggi. Mereka memerlukan uap air cukup banyak dalam tubuh buat bertahan hidup. Kebutuhan cairan itulah, mengapa bisa ditemukan di hutan lembab dan berlumut.

Hewan ini tak berbahaya. Mereka banyak mengalah. Kulit tubuh menjadi alat perlindungan serangan pemangsa. Ciri khas, kalau terdesak melingkar melindungi diri. “Tapi kalau memegang jangan dekat mata, ia punya cairan yang bisa disemprotkan. Bahaya kalau kena mata.”

Bagaimana membedakan jantan dan betina? Bida dilihat dari kaki. Jantan memiliki kaki khusus bernama gonopod. Jantan akan menampung dan menyalurkan sperma di gonopod ke kelamin betina. Si betina, sebagian mampu kawin hingga berulang kali, dan mampu menelurkan sedikitnya 1.200-2.000 butir. “Ada juga sekali kawin dan bertelur, setelah itu mati.”

Ulat kaki seribu, umumnya karnivora, tetapi ada yang omnivora. Ia relatif tak berbahaya, tetapi memiliki  senjata rahasia, yang bisa disemprotkan sewaktu-waktu serta berbahaya jika kena mata. Spesies ini sebagai penyubur tanah. Foto: Ayat S Karokaro

Ulat kaki seribu, umumnya herbivora, tetapi ada yang omnivora. Ia relatif tak berbahaya, tetapi memiliki senjata rahasia, yang bisa disemprotkan sewaktu-waktu serta berbahaya jika kena mata. Spesies ini sebagai penyubur tanah. Foto: Ayat S Karokaro


Berikut Fakta Unik Ulat Kaki Seribu was first posted on January 17, 2015 at 5:51 am.

Soal Usul BP REDD+ Lebur di Kementerian LHK, Inilah Tanggapan Mereka

$
0
0

Petugas pemadam kebakaran PT Arara Abadi sedang memadamkan api di kebun akasia di Desa Balam Merah, Bunut, Pelalawan, Sabtu (31/08/13). Akhir tahun ini, BP REDD+ bersama kementerian membuat audit kepatuhan kepada perusahaan-perusahaan dan pemerintah daerah di Riau. Hasilnya, dari 17 perusahaan yang diaudit kepatuhan, semua buruk. Kini, bersama pemerintah daerah, BP REDD+ membuat rencana aksi guna pencegahan kebakaran. Foto : Zamzami

AMAN menilai, BP REDD+ bak alat diagnosis beragam masalah. Sedang bagi Greenpeace, badan ini bisa jadi agen akselerasi perubahan. Dalam masa ini, saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru ‘hidup’ dengan budaya Kementerian Kehutanan yang dipastikan masih kuat,  sangat rawan menggabungkan BP REDD+ ke kementerian ini.

Era pemerintahan Presiden Joko Widodo, usia BP REDD+ baru setahun lebih tetapi kini mengalami ketidakjelasan status. Padahal, masa pembentukan saja memakan waktu sekitar tiga tahun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ingin badan ini lebur menjadi bagian dalam Direktorat Perubahan Iklim. Berbagai kalangan menilai terlalu rawan karena kementerian ini baru terbentuk, dan khawatir kefleksibelan badan ini hilang dan agenda mandek.

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, ada risiko besar kalau dalam waktu dekat presiden meleburkan BP REDD+ ini dengan Kementerian LHK.  Mengapa? “Kementerian LHK baru lebur. Apalagi dengan paradigma di kehutanan terhadap masyarakat adat selama ini.  Mau bereskan ini saja mungkin dua tahun.”

Untuk itu, AMAN akan meminta resmi kepada presiden dapat mempertahankan BP REDD+ setidaknya dalam dua tahun ke depan. “Sampai semua sistem di LHK siap dan paradigma mereka bener. Minimal, dua tahun ini BP REDD+ hidup dan bersama-sama masyarakat adat,” ujar dia.

AMAN,  katanya, sebenarnya tak mempersoalkan siapa yang akan mengurus masyarakat adat. “Tapi saya mau mengatakan, kalau urusan baru mulai bekerja dengan benar, kok mau dibubarkan?”

Bagi dia, BP REDD+ merupakan media transformasi. “Reduce emission itu bonus karena kita bisa sumbang lebih besar. Lewat badan itu banyak masalah terbongkar,” katanya dalam diskusi catatan awal tahun BP REDD+ di Jakarta, Kamis (15/1/15).

Sebenarnya, REDD+ itu investasi yang tak komersial. “Ketika investasi tak pakai duit suap menyuap memang jadi terbuka. Ini sulit di Indonesia karena ketidakpastian luar biasa. Batas-batas tanah tak jelas. Izin tumpang tindih. BP REDD ini ada sebagai alat diagnosis.”

Kini penguasa berubah. Jangan sampai, katanya, pemerintahan baru tak tahu kerja-kerja BP REDD+. “Diagnosis ini akan menyembuhkan kalau ke dokter yang benar,  kalau dokter salah,  maka sakit makin parah.”

Sejak Indonesia merdeka, kata Abdon, masyarakat adat belum hadir di dalam negara. Meskipun ada dalam UU Pokok Agraria Tahun 1960. “Tetapi sampai sekarang tak ada administrasi buat hak ulayat. Disebut UUPA dan tak pernah dilaksanakan. UUPA bubar setelah UU Kehutanan hadir. Tak penah masyarakat adat hadir. Bahkan, kala masyarakat adat masih beragama leluhur tak bisa dapat KTP. Bayangkan. Ada persoalan.”

Dalam menghadirkan masyarakat adat di dalam negara inilah, katanya, UKP4 dan BP REDD+ banyak berperan. Setelah satu tahun BP REDD+, ada banyak kemajuan buat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. “Saya tak bisa anggap enteng kontribusi UKP4 dan BP REDD+. Ini sangat penting.”

Satu contoh teranyar, BP REDD+ mengambil peran sebagai walidata peta wilayah adat sementara. Setelah terima peta, diperiksa dan dicek. “Hal sama kami lakukan dengan BIG. Peta adat diserahkan pada 2012, dan kami tak tahu apa yang sudah dilakukan.”

“Terima kasih atas keberanian BP REDD+ ambil jadi walidata sementara. Selama ini, belum orangnya, data aja gak ada yang urus. Keberanian BP REDD jd walidata itu suatu kebanggaan, walaupun BP REDD masa depan belum jelas.”

Abdon kembali mengenang  pada 2010,  ketika ada pembicaraan antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia, Agus Purnomo, kala itu staf alhi presiden  meminta bagaimana peran masyarakat adat. “AMAN minta ada penataan izin-izin, ada lembaga atau wajah negara yang bisa adukan persoalan masalah-masalah masyarakat adat. Komitmen presiden buat turunkan emisi karbon serahkan saja ke masyarakat adat. Saya ingin pastikan masyarakat adat itu bagian dari negara.” Lalu, Abdon bertemu Kuntoro Mangkusubroto, selaku kepala UKP4. “Pak Kun bilang ok, sebagai kepala UKP4, mau masyarakat adat hadir dulu dalam negara.”

Bustar Maitar, Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia Greenpeace mengatakan, kehadiran BP REDD+ membuat akselerasi perubahan atau reform yang selama ini diinginkan di darat laut dan udara. “Menurut saya masih dibutuhkan buat akselerasi itu. BP REDD+ harus bisa bantu akselerasi dorong tata kelola. REDD itu hanya satu bagian. Buat capai itu dorong perbaikan tata kelola. Itu yang susah. Saya lihat, saat ini mengakselerasi kementerian masih susah. Dengan BP REDD+ ada di luar kementerian malah bisa ambil bagian.” 

Pemerintahan baru, katanya, ada harapan besar kepada Presiden Jokowi. “Bagaimana dengan menteri? Apakah optimis? Belum juga karena banyak yang datang dari parpol,” ucap Bustar. Dalam kondisi seperti ini, katanya, BP REDD+ jangan dulu lebur dengan Kementerian LHK.

Bustar belum percaya karena Kementerian LHK baru, leburan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Karena dalam bertahun-tahun  partai politik sebagai perpanjangan tangan untuk kepentingan politik. Biarlah ini berjalan dulu sampai beberapa tahun ke depan. Baru dinilai pantas atau tidak dilebur.”

Kasmita Widodo, koordinator BRWA (paling kiri) diikuti Hudoyo, staf ahli Menteri LHK; Abdon Nababan, Sekjen AMAN; Heru Prasetyo Kepala BP REDD+ dan Deny Rahadian, koordinator JKPP, usai menandatangani penyerahan peta wilayah adat di Jakarta, Senin (22/12/14). BP REDD+ selaku walidata peta adat sementara tetapi nasib badan ini belum jelas. Apakah peta adat ini akan mengalami nasib sama dengan peta-peta yang diserahkan pada 2012 kepada BIG tanpa kejelasan? Foto: Sapariah Saturi

Bagi dia, BP REDD+ ini agenda transpormasi dan perubahan. Selama ini, katanya, BP REDD+ tak berjalan sendiri. Mereka melibatkan berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga akademisi. “Datang ke sana tak susah. Ini yang dirindukan dari pemerintahan sebelumnya. Dengan ini bisa duduk bersama. Ada otoritas lain dan diskusi cari jalan terbaik. Dukungan industri juga meningkat dan banyak komitmen dibuat dan dilaksanakan. Walau ada juga yang baru komitmen” Namun, katanya, masih banyak perusahaan di Indonesia tak berkomitmen tak babat hutan alam dan selesaikan konflik. “Ini bagian proses yang bisa digiring BP REDD+ ke depan,” kata Bustar.

Dia juga memberikan catatan ke depan, bagaimana menjadikan BP REDD+ gerakan dan membumi serta masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari inisiatif ini.  “Jika bicara REDD turunkan emisi itu tak sebatas tak boleh tebang tetapi bisa bermanfaat maksimal buat pencapaian ekonomi masyarakat. Lindungi lingkungan tetapi masyarakat di pedalaman dan kampung bisa rasakan manfaat ekonomi dari REDD itu.”

Dalam diskusi itu, Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ memaparkan capaian-capaian dalam 2014 dan rencana kerja 2015. Hadir dalam acara itu perwakilan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, perwakilan kementerian. Ada Duta Besar Norwegia Stig Traavik, Beathe Trankmann Direktur UNDP Indonesia dan lain-lain.

Gerakan perubahan

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mengatakan, dari awal menyadari, agenda REDD+ yang ditugaskan punya rentang 2010-2020 guna menuju komitmen presiden pengurangan emisi karbon 26% sampai 40%. Lembaga ini, katanya dibangun lewat pendekatan multistakeholders dari masyarakat, pemerintah, swasta sampai akademisi. “Hingga REDD+ bukan program atau proyek tetapi movement. Badan dibentuk presiden, tugas lintas sektor dan lintas disiplin ilmu.”

BP REDD+, katanya, mengupayakan gerakan nasional yang dilakukan oleh semua pihak. “Kami ingin gerakan ini berkelanjutan, mengubah paradigma, dan menjadi agenda reformasi kongkrit.”

Dalam 2014, badan ini membangun indikator penyeimbang antara penurunan emisi, ekologi dan ekonomi lewat REDD+, action and performance indicator (RAPI).

“Misal, daerah ada ekonomi bagus, lingkungan hancur, ada ekonomi jelek tetapi ekologi bagus. Nah, BP REDD+ turun  buat perbaiki kondisi itu.” .

Setahun lalu, BP REDD+ menjalin kerja sama dengan 11 provinsi dan 76 kabupaten yang memiliki hutan dan lahan gambut. Provinsi-provinsi ini meliputi Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua Barat, dan Papua.

Tahun ini, jejaring akan makin diperkuat dan dikapitalisasi ke tingkat nasional melalui program strategis dalam 10 aksi imperatif. Sepuluh agenda itu yakni, memantau moratoriumdan  one map, penataan perizinan berbasis lahan, dan dukungan penegakan hukum. Lalu, pemetaan hutan adat dan pengembangan kapasitas masyarakat adat, pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut, desa hijau, dan sekolah hijau. Ditambah lagi, dukungan pada perencanaan tata ruang, dukungan resolusi konflik, dan program strategis penyelamatan taman nasional dan hutan lindung.

Agenda pemantauan moratorium, katanya, lewat aktivasi situation room. “Usaha ini sambil menjaga moratorium ditaati. Pada 2013, moratorium diperpanjang. Transparansi peta indikatif penundaan izin baru, tiap enam bulan direvisi dan diunggah.”

Pada 2015, BP REDD+ mengharapkan ketegasan pemerintah memperpanjang moratorium izin hutan dan lahan gambut dengan ukuran bukan tahun tetapi capaian. Lalu, menyediakan laporan reguler dari situatuion room di tiga lokasi, yakni, Riau, Jambi dan Kalteng. “Mereka monitor lapangan dan laporkan capaian dalam kaitan moratorium.”

Mengenai one map, selama ini, citra satelit tersebar dan untuk mendapatkan berbagai data itu Lapan harus memiliki alat. ”BP REDD+ beri alat itu.” Terkait, peta tematik juga dibuat percontohan di Kalteng. Ada 67 lapis informasi di atas peta satu itu. “Ini sudah disampaikan ke BIG untuk dikelola. Nanti akan ada walidata untuk sambung dan sahkan itu buat jadi informasi tunggal.”

Rencana tahun ini, katanya, menambahkan peta masyarakat adat ke dalam one map. BP REDD+ sudah menjadi walidata sementara. “Peta adat ini nanti harus ada dalam peta nasional sebagai satu tema penting buat lahan dan hutan dengan hak dan benar,” kata Heru.

Dia menambahkan, pada 2014, BP REDD melakukan penataan perizinan berbasis lahan, bersama UKP4, KPK dan provinsi di Kalteng. Juga mendukung Kementerian LHK dalam pengukuhan kawasan hutan, dengan metode klaim dan verifikasi.

Dalam tahun ini, badan ini ingin mendorong penataan perizinan, misal bekerja sama dengan BKPM dalam mengembangkan satu perizinan terpadu. “BP REDD+ akan mengawal, bahwa yang akan masuk itu sesuai rencana dan memberikan pemastian itu terjadi. Memastikan aksi itu sampai sesuai rencana.”

BP REDD+ juga mendukung pendekatan multidoor atau penegakan hukum berlapis. “BP REDD+ kerja sama dengan UKP4. Juga dukung pelatihan terintegrasi dengan penegak hukum dan meeting rutin, misal buat penanganan kebakaran  hutan dan lahan.”  Saat ini, memonitor kasus penegakan hukum di Riau. Bersamaan dengan itu, perusahaan ingin memperbaiki tata kelola lewat audit kepatuhan. Tahun ini, BP REDD+ akan memfasilitasi pemberantasan mafia sumber daya alam. “Badan ini berupaya memastikan apa yang dilakukan kementerian jalan dengan baik dan benar.”

 


Soal Usul BP REDD+ Lebur di Kementerian LHK, Inilah Tanggapan Mereka was first posted on January 17, 2015 at 11:28 pm.

Tangani Pengaduan Masyarakat, Kementerian LHK Bentuk Tim Khusus

$
0
0
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Foto: Sapariah Saturi

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Foto: Sapariah Saturi

Selama ini, banyak warga melapor berbagai kasus lingkungan dan kehutanan kepada pemerintah. Sayangnya, mayoritas kasus tak ada kejelasan penanganan. Guna menindaklanjuti berbagai pengaduan kasus-kasus laporan masyarakat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membentuk tim khusus.

Tim penanganan pengaduan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan ini tertuang dalam SK Menteri LHK tertanggal 15 Januari 2015. Tim diketuai Himsar Sirait selaku Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan, dan Inspektur Jenderal Kehutanan, Prie Supriadi.

Tim ini memiliki beberapa tugas. Pertama, menampung dan menganalisis kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan dari masyarakat. Kedua, menyiapkan langkah-langkah penanganan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan. Ketiga, komunikasi dengan stakeholder terkait kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan. Keempat, menghasilkan rumusan kerja berupa output,  langkah, regulasi, operasional, rencana kerja penanganan kasus.

“Hasil kerja tim ini berupa rekomendasi disampaikan kepada menteri untuk langkah-langkah kebijakan,” kata Menteri LHK, Siti Nurbaya, dalam rilis kepada media di Jakarta, Sabtu (17/1/15).

Dia mengatakan, pengaduan masyarakat perlu segera ditindaklanjuti dan ditangani secara sistematis. Dia berharap, dengan pembentukan tim ini, penyelesaian kasus-kasus lingkungan makin cepat dan pasti.

Menurut dia, tim juga melibatkan lembaga swadaya masyarakat sebagai pengarah. “Pelibatan LSM perlu untuk lebih memastikan status pengaduan dan arah penyelesaian lebih berpihak kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup,” ujar dia.

Dia menyebutkan, beberapa organisasi masyarakat sipil yang bakal dilibatkan dalam kerja-kerja ini antara lain, HuMa, Walhi, AMAN, Sajogyo Institute, Ecosoc, Epistema, Greenpeace Indonesia, dan PH & H Public Policy Interest Group.

 

 

 


Tangani Pengaduan Masyarakat, Kementerian LHK Bentuk Tim Khusus was first posted on January 18, 2015 at 4:13 am.

Sinyal Baik bagi Lingkungan Awali 2015. Benarkah?

$
0
0
Kanal-kanal dibuah dengan membelah gambut. Kala, gambut kering, ia menjadi pemicu kebakaran lahan. Foto: Indra Nugraha

Kanal-kanal dibuat dengan membelah gambut. Kala, gambut kering, ia menjadi pemicu kebakaran lahan. Foto: Indra Nugraha

“Ini supaya tidak ada kebakaran hutan lagi.” Itu ungkapan Presiden Joko Widodo, seraya membawa potongan papan kayu sagu dan menutup saluran air yang keluar dari sekat kanal kala blusukan ke Desa Sungai Tohor, Meranti, Riau, 27 November 2014. Dia datang atas ‘undangan’ yang dibuat Abdul Manan, warga Desa Sungai Tohor lewat petisi di Change.Org.

Jokowi menghargai inisiatif warga Tohor membuat sekat-sekat kanal. Menurut dia, pola warga ini mesti ditindaklanjuti pemerintah. Lahan gambut harus selalu basah  agar tidak mudah terbakar atau dibakar.

Di sana, Jokowi juga berjanji melindungi ekosistem gambut. “Kita akan perlindungan menyeluruh gambut. Kemarin saya sudah perintahkan kepada menteri. Ide-ide dan gagasan masyarakat seperti ini harusnya diangkat. Ini bisa diaplikasikan. Ini bisa dipermanenkan.” Aksi ini dilanjutkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dengan mengkaji ulang izin perusahaan yang ada di pulau itu dan lahan kelola akan diberikan kepada warga.

Pada akhir tahun ini, Kementerian LHK juga memoratorium seluruh izin-izin  kehutanan kepada pebisnis, sekitar empat atau enam bulan. Menteri Siti berjanji, menjadikan perizinan bukan lagi transaksi tetapi instrumen pengawasan bagi pemerintah.

Dalam visi misi Jokowi-Jusuf Kalla, salah satu dalam Nawa Cita, akan menjalankan reforma agraria dengan mendistribusikan sekitar sembilan juta hektar lahan kepada masyarakat, sebagian dari kawasan hutan. Dari Kementerian LHK, juga mencanangkan 40 juta hektar kawasan hutan dibangun dengan konsep kemitraan bersama masyarakat.

Bagaimana tanggapan para pegiat lingkungan dengan berbagai komitmen ini ke depan?

Teguh Surya dari Greenpeace, mengatakan, melihat  kondisi 2015,  mesti kilas balik perjalanan satu tahun ke belakangan.  Awal 2014, katanya, sempat cemas, pada perbaikan lingkungan karena pada fokus pesta demokrasi.

Harapan baru muncul, dan baru sekali dalam sejarah Indonesia, debat calon presiden dan calon wakil presiden ada tema khusus lingkungan. “Meskipun ketika debat, kedua kubu belum memiliki pemahaman yang dalam tentang lingkungan. Perdebatan tidak subtantif dan jauh dari harapan. Visi misi lupa mereka dibicarakan,” katanya pertengahan Desember 2014 di Jakarta.

Lalu, pemilu berjalan dan Jokowi-JK terpilih. “Banyak harapan baru untuk demokrasi tapi konteks lingkungan masih tanda tanya besar,” ujar dia.

Menjelang akhir 2014, keragu-raguan masyarakat sipil terjawab kuat oleh Jokowi dengan simbolis menyekat kanal di Riau.  “Tahun 2014, berakhir manis. Walau masih harapan, blusukan asap ke Riau, presiden lakukan sesuatu yang tak pernah terpikirkan pemerintah. Dia juga menyampaikan saatnya tegas pada kelompok bisnis dan blocking kanal.”

Meskipun begitu, katanya, tak cukup dengan aksi ini saja. Sebab, kalau berbicara mengenai pemecahan masalah, harus sampai pada jaminan implementasi. Untuk mencapai ini, kata teguh, ganjalan cukup besar karena banyak banyak pihak penentu. “Ada Kementerian LHK, kabinet, kementerian lain sampai ke pemerintah daerah. Kerja berat.”

Untuk itu, kunci keberhasilan komitmen baik presiden ini,  bagaimana kementerian terkait sampai ke tingkat lokal menterjemahkan dan melaksanakan dengan benar. “Kami harap Jokowi menjalankan komitmen, misal, ada pejabat yang tidak jalankan komitmen atau lambat bisa diganti. Itu indikator. Misal, mandek di mana, ya diganti,” ujar dia.

Tahun 2015, katanya, bisa menjadi indikator, apakah komitmen-komitmen tahun lalu yang pada level presiden sudah bagus, bisa berjalan.  Empat indikator itu, yakni, sekat kanal jadi agenda nasional dalam merestorasi gambut, review perizinan menjadi agenda nasional dan memastikan jalan untuk perlindungan hutan tersisa, kawasan hutan (lahan) buat kelola masyarakat dan moratorium izin. “Kalo gak jalan, komitmen jadi pertanyaan besar…ini mau dipastikan terjadi di tahun depan. Ini juga indikator untuk menteri tahun 2015,” ujar dia.

Teguh juga mengingatkan, jika komitmen perbaikan lingkungan dan kehutanan Jokowi bisa cidera jika gagal menyelesaikan konflik-konflik sosial yang terjadi. Terlebih konflik sosial yang berujung pada pelanggaran HAM, seperti di Paniai, Papua, beberapa orang Papua diduga kuat ditembak mati oleh aparat dan belasan luka-luka. “Ini upaya-upaya menciderai komitmen. Ini juga ujian kekonsistenan Jokowi. Selain komitmen baik di kehutanan, Jokowi harus bisa memastikan bekerja cepat atas pelanggaran HAM aparat. Kalau Jokowi lambat, bisa berikan efek buruk bagi pemerintah.”

Dia menilai, tantangan Jokowi begitu berat.  Untuk itu, Jokowi mesti memperkuat konsolidasi dan membuka ruang partisipasi kepada masyarakat sipil. “Karena itu yang selama ini mengkhawatirkan bisnis.  Kelompok-kelompok perusak lingkungan ini, merasa terganggu atas kedekatan Jokowi dengan masyarakat sipil. Ini harus diperkuat. Kalau Jokowi lengah dan tak memperkuat konsolidasi, diuntungkan kelompok bisnis perusak lingkungan,” kata Teguh.

Eksploitasi kekayaan alam dengan tak memperhatikan lingkungan  dan masyarakat berharap bisa ditekan era ini. Salah contoh, yang terjadi di Pulau Bangka, Sulut, tambamg sudah membabat  lahan termasuk hutan dan mulai mencemari laut. Foto: Save Bangka Island

Eksploitasi kekayaan alam dengan tak memperhatikan lingkungan dan masyarakat berharap bisa ditekan era ini. Salah contoh, yang terjadi di Pulau Bangka, Sulut, tambamg sudah membabat lahan termasuk hutan dan mulai mencemari laut. Foto: Save Bangka Island

Martua Sirait, dari Dewan Kehutanan Nasional mengatakan, ada langkah positif harus diapresiasi pada pemerintahan lalu, seperti pemerintah mendorong pembentukan BP REDD+, sampai nota kesepahaman bersama 12 kementerian dan lembaga yang dimotori KPK. Dilanjutkan oleh pemerintahan baru, juga banyak hal-hal menarik, misal review izin-izin, pencabutan izin-izin tambang bermasalah oleh daerah.

Dia menilai, agenda pemerintahan baru cukup buat matahari bersinar kembali di ufuk timur pada 2015.  Martua mencontohkan, ada penambatan gambut Tohor oleh presiden, target hutan pengelolaan hutan masyarakat 8-10 juta hektar,  didiskusikan kembali buat revisi MP3EI bermasalah. “Ini tiga hal cukup menjanjikan.”

Meskipun begitu, DKN menilai masih banyak agenda ke depan yang perlu diselesaikan, antara lain, pengakuan hak-hak masyarakat adat dan restitusi hak-hak adat serta rehabilitasi atas kerusakan-kerusakan hutan dan lingkungan yang terjadi, review perizinan,  sampai pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi penyelesaian konflik DKN. “Banyak konflik ini sudah ada rekomendasi DKN, sebenarnya tinggal menjalankan saja. Banyak sekali kasus bisa cepat diselesaikan. Selama ini rekomendasi DKN digantung aja gak pernah eksekusi. Ditolak tidak, diterima tidak. Hanya diundur-undur saja,” ucap Martua.

Optimisme perbaikan tahun ini juga datang dari Khalisah Khalid, Walhi Nasional. “Harus optimis tata  kelola hutan ke depan lebih baik,” katanya.

Meskipun begitu, katanya, optimisme tetap harus dibarengi kerja-kerja lanjutan. “Saya mau katakan presiden terpilih oleh partisipasi politik luar biasa. Jadi untuk membangun optimistis  ke depan,  gimana pemerintah libatkan partisipasi warga juga.”

Selama ini, ucap Alin, biasa dia disapa, negara ataupun pemerintah tak mau percaya kalau masyarakat bisa mengelola hutan. “Pengalaman Cik Manan (pembuat petisi blusukan Jokowi ke Riau), membuktikan. Terbukti kalau warga mau terlibat tata sumber-sumber kehiduan jauh lebih lestari. Ini mempermudah kerja pemerintah. Banyak Cik Manan Cik Manan lain. Itu kekuatan Indonesia buat bangun ekonomi,” katanya.

Dia percaya, pengelolaan hutan dengan pengetahuan lokal jauh lebih lestari daripada ditangani pemodal besar. “Jangan takut deh dengan ekonomi bangsa ke depan kalo dikelola masyarakat. Pengalaman Riau, itu jadi catatan penting.”

Terlebih, katanya, Jokowi sudah menyampaikan 18 komitmen politik buat lingkungan hidup. “Ini akan sama-sama dikawal. Misal, Jokowi mau lindungi gambut dan hutan, lalu penegakan hukum terhadap aktor-aktor perusak hutan yang sebagian besar investor skala besar,” ujar dia.

Untuk itu, dengan terobosan-terobosan pemerintahan saat ini, dia optimistis masa depan hutan Indonesia, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan akan lebih baik. “Konflik agar diselesaikan. Beri perlindungan, pengakuan kepada masyarakat.”

Inisiatif warga Desa Sungai Tohor menyekat kanal guna  menahan agar gambut tetap basah patut menjadi contoh. Praktik-praktik warga terbukti lebih bersahabat dengan lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Inisiatif warga Desa Sungai Tohor menyekat kanal guna menahan agar gambut tetap basah patut menjadi contoh. Praktik-praktik warga terbukti lebih bersahabat dengan lingkungan. Foto: Indra Nugraha


Sinyal Baik bagi Lingkungan Awali 2015. Benarkah? was first posted on January 19, 2015 at 4:43 am.

Kembangkan Tanaman Pangan, Mentan “Minta” 1 Juta Hektar Kawasan Hutan

$
0
0

Salah satu bagian di Merauke, hutan-hutan adat Suku Malind di Papua, yang terampas dan telah berubah menjadi perkebunan sawit yang terakomodir lewat MIFEE. Food estate yang katanya buat ketahanan pangan, eh yang dibangun malah kebun sawit. Pemerintah harus belajar dari pengalaman ini. Foto: Sawit Watch

Kementerian Pertanian berencana mengembangkan tanaman pangan, seluas satu juta hektar dan meminta penyediaan lahan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Lahan seluas itu, untuk membangun 10 pabrik gula sekaligus kebun dan tanaman palawija serta padi. Kedua menteripun bertemu pada 8 Januari lalu membahas ini.

Amran Sulaiman, Menteri Pertanian mengatakan, keperluan lahan ini untuk membangunan 10 pabrik beserta kebun seluas 500.000 hektar. Sisanya, sekitar 500.000 hektar buat tanaman palawija dan padi.

Dari perhitungan, katanya, satu unit pabrik dan kebun tebu memerlukan sekitar 50.000 hektar, dari bangunan, jalan, sungai, sampai alur alam. “Kalau 10 unit, ya sekitar 500.000 hektar,” katanya, belum lama ini di Jakarta.

Untuk 500.000 hektar yang lain, kemungkinan dibangun food estate, untuk palawija seperti jagung dana kedelai, serta padi.

Dia diam sebentar kala diingatkan kalau Kementerian Pertanian pernah punya program food estate, yang dikenal dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), juga melepaskan ratusan ribu hektar kawasan hutan. Namun, hingga kini baru sukses ‘menyulap’ hutan jadi lapangan tetapi ‘swasembada pangan’ yang digembar-gemborkan tak ada. Bahkan, serangan investasi skala besar menciptakan konflik dengan warga adat yang kehilangan tempat hidup. “Lihat dulu dimana yang cocok, masih cek kondisi lahan, elevasi, kontur. Harus ahli yang lakukan,” ujar dia.

Apakah akan melihat lahan-lahan yang pernah dicanangkan menjadi food estate di Merauke? “Bisa saja kita cek kalau sesuai kita lanjutkan.”

Menurut dia, pengembangan ini guna mencapai swasembada pangan yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo. Namun, dia belum menargetkan kapan mulai berjalan. “Doakan secepatnya. Saya sudah sampaikan ini pada rapat kabinet.”

Kebun tebu PTPN di Sulawesi Selatan. Kebun terkesan tak terurus dan banyak lahan 'nganggur." Proses pngambilan lahan juga bermasalah karena banyak lahan-lahan warga, hingga kehadiran kebun yang digadang-gadang buat pemenuhan pasokan gula nasional malah menyusahkan warga sekitar. Penyediaan lahan kawasan hutan pemerintah saat ini mesti belajar dari pengalaman-pengalaman buruk ini. Foto: Sapariah Saturi

Kebun tebu PTPN di Sulawesi Selatan. Kebun terkesan tak terurus dan banyak lahan ‘nganggur.” Proses pengambilan lahan juga bermasalah karena banyak yang dikelola warga, hingga kehadiran kebun yang digadang-gadang buat pemenuhan pasokan gula nasional malah menyusahkan warga sekitar. Penyediaan lahan kawasan hutan pemerintah saat ini mesti belajar dari pengalaman-pengalaman buruk ini. Foto: Sapariah Saturi

Saat ini, katanya, terjadi penurunan rumah tangga petani dari 31 juta menjadi 26 juta, atau sekitar 500 ribu per tahun. “Ini harus diganti dengan alat pertanian. Jadi, kita bicarakan yang satu juta hektar ini.”

Siapa yang bakal mengelola? “Bisa BUMN, bisa swasta,” kata Amran.

Dia mengatakan, pemerintah menargetkan swasembada pangan padi, kedelai dan jagung. Untuk mencapai itu dilakukan berbagai hal, antara lain perbaikan irigasi rusak sekitar tiga juta hektar, pemberian benih, distribusi pupuk yang selama ini kerab terlambat, penyediaan alat pintal sampai pengembangan lahan baru.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, sudah bertemu Mentan dan membahas permintaan lahan. Kementerian LHK,  menyiapkan lahan dengan melihat potensi yang ada dan bisa dipakai untuk keperluan tanaman pangan dengan syarat tanaman padi, palawija, dan tebu. Referensi lokasi dari Kementerian Pertanian.

Beberapa rencana awal lokasi tanaman pangan, yaitu Kalimantan Tengah 119.000 hektar dan Kalimantan Barat 178.000 hektar. Di area PT. Inhutani 100.000 hektar dan KPH 100.000 hektar untuk tanaman pangan. Untuk tebu di Sulawesi Tenggara 300.000–400.000 hektar, serta Gorontalo dan Sulawesi Tengah 100.000–200.000 hektar.

Rencana ini, katanya,  lebih rinci didalami bersama antara Dirjen LHK dan Kementan, antara lain, mengenai pola manajemen yang akan dipakai, misal, menggunakan tenaga kerja masyarakat lokal. Pada dasarnya usaha tani rakyat memerlukan orang kerja cukup banyak terutama padi dan palawija.

Menurut Siti, permintaan lahan pertanian lagi deras ke Kementerian LHK. Tak hanya Kementerian Pertanian, juga dari pemerintah-pemerintah daerah. “Yang sudah datang, Menteri Pertanian satu juta hektar, dan Pemerintah NTT mau bikin agrosilvopastur, minta 50.000 hektar. Lampung buat tanaman pangan minta 117.000 hektar. Jadi kita masih diskusikan terus. Begitu ada permintaan, saya langsung minta dirjen cek.”

Penyediaan lahan ini, kataya, tetap berpegang pada visi presiden, ketahanan pangan dengan pembangunan berkelanjutan yang kongkrit.  Jadi, kata Siti, penyediaan lahan terpenuhi, tetapi berhati-hati betul. “Jangan sampai lepas dari observasi lapangan. Terjemahkan, kebijakan hati-hati. Persyaratan konservasi tinggi, juga perspektif ekonomi di depan. Mau pertumbuhan ekonomi tinggi, artinya ada pengelolaan dan eksploitasi.”

Jangan abai lingkungan dan masyarakat

Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace di Indonesia, menanggapi rencana ini. Menurut dia, dalam menyediakan lahan, harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, apakah lahan itu dari sisi lingkungan hidup masih berhutan atau memiliki nilai ekologi tinggi. Kedua, bagaimana  kondisi lahan apakah dalam kelola masyarakat atau masuk wilayah adat.

Greenpeace menilai, pengembangan pangan itu hal penting bagi pemerintah dan harus dilakukan. Namun, katanya, pertimbangan kelangsungan lingkungan hidup dan masyarakat,  sangat penting.

Selama ini, Kementerian Kehutanan, menyatakan, masih ada jutaan hektar lahan terdegradasi  yang belum termanfaatkan. “Sebaiknya itu dilihat terlebih dahulu, apa mungkin dikembangkan. Baru lihat areal lain yang masih berhutan. Bukan tak boleh tapi harus berhati-hati,  dengan memperhatikan kelangsungan hutan dan lingkungan hidup.”

Para petani yang aksi karena lahan tanam mereka tak pasti, karena dikuasai perusahaan, dan negara. Pemerintah mau mengembangkan lahan pangan buat swasembada pangan, dengan membuka satu juta hektar lahan, tetapi pelaksana cenderung BUMN dan swasta. Mengapa tidak ribuan bahkan jutaan petani di negeri ini yang berteriak meminta lahan demi kelangsungan pertanian mereka ini yang dikembangkan dan diberi lahan kalau memang sasaran ketahanan pangan? Foto: Sapariah Saturi

Para petani yang aksi karena lahan tanam mereka tak pasti, kalau tidak  dikuasai perusahaan ya  negara. Pemerintah mau ekspansi lahan pertanian  buat swasembada pangan, dengan membuka satu juta hektar kawasan hutan, tetapi pelaksana cenderung BUMN dan swasta. Mengapa tidak ribuan bahkan jutaan petani di negeri ini yang berteriak meminta lahan demi kelangsungan pertanian mereka ini yang   diberi lahan kalau memang sasaran ketahanan pangan? Foto: Sapariah Saturi


Kembangkan Tanaman Pangan, Mentan “Minta” 1 Juta Hektar Kawasan Hutan was first posted on January 19, 2015 at 1:48 pm.

Sidang UU P3H: Soal Masyarakat Adat, Inilah Kata Para Ahli

$
0
0

Ini contoh salah satu nagari di Sumbar, Nagari Sei (Sungai) Buluh namanya. Mereka membagi-bagi kawasan sesuai aturan adat ( kerarifan lokal). Ada hutan yang boleh terjamah, bernama hutan larangan. Ia berada di hulu (dataran paling tinggi) yang harus terjaga guna melindungi mereka dari bencana. Di bagian lain ada hutan cadangan, hutan kelola dan lain-lain.  Foto: Sapariah Saturi

Para saksi ahli dalam sidang gugatan uji materil UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) makin menegaskan, UU itu melanggar hak masyarakat adat yang sudah dilindungi konstitusi. Seharusnya, pemerintah wajib melindungi mereka.

Kurnia Warman, Dosen Hukum Agraria Universitas Andalas Padang mengatakan, UU P3H inkonstitusional karena melanggar hak masyarakat adat. “Jika negara membentuk pemerintahan sebagai bagian NKRI, keberadaan masyarakat adat harus menjadi pertimbangan serius. Jangan sampai pemerintah daerah justru mengancam kesatuan-kesatuan dan hak-hak masyarakat adat,” katanya, Kamis (15/1/15).

Dia mengatakan, terkait status hutan adat, MK mengeluarkan putusan 35 tahun 2012 menegaskan hutan adat bukan hutan negara. Hal ini jelas mengakui hutan adat sebagai entitas tersendiri dikelola masyarakat hukum adat. “MK telah memulihkan hak masyarakat adat atas hutan.”

Dengan begitu, setiap UU negara wajib mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat karena dilindungi konstitusi. Jika tidak, UU itu dapat dikualifikasi karena bertentangan UUD 1945.

Penguasaan negara, katanya, tidak boleh merugikan rakyat, apalagi sampai menimbulkan kriminalisasi. “Sejarah membuktikan, selama hutan masih dikelola masyarakat adat, tidak mengalami kerusakan. Justru kerusakan massif sejak negara mengambil alih penguasaan hutan dari masyarakat adat.”

Dia mencontohkan, di hutan lindung yang kini Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tanpa harus mengklaim hutan adat sebagai hutan negara, pada 1926, Pemerintah Belanda berkolaborasi dengan masyarakat melindungi hutan. Kesepakatan tertuang dalam produk hukum bernama Solok Regeling.

“Solok Regeling ini pedoman pengelolaan hutan simpanan dan hutan nagari di nagari-nagari di Sumbar. Mengatur bagaimana penerapan bunga kayu bagi setiap orang yang mengambil hasil hutan.”

Kondisi ini, menunjukkan masyarakat adat tidak menentang perlindungan hutan, malah mendukung. Kolaborasi antara Belanda dan masyarakat adat berhasil menjaga hutan tanpa ada ketegangan kedua pihak. “Permaslahan baru muncul setelah pemerintah nasional mengambil alih TNKS. Kemudian perluasan tanpa melibatkan masyarakat adat di sekitar. Ini justru menimbulkan konflik dan meningkatkan laju kerusakan hutan. Ini membuktikan upaya perlindungan hutan tanpa melibatkan masyarakat itu gagal.”

Begitu juga penyeragaman bentuk dan nama pemerintahan terendah menjadi pemerintahan desa bertentangan dengan pesan asli Pasal 18 B ayat 2 UUD’45. Pembentukan pemerintahan desa harus mempertimbangkan kesatuan masyarakat adat seperti nagari di Sumbar, marga di Sumsel, mukim di Aceh dan lain-lain.

“Penyelenggaraan pemerintah negara dalam berbagai bidang urusan seperti pertanahan, kehutanan, pertambangan, perkebunan dan lain-lain tidak boleh menghapus hak ulayat atas tanah dan kekayaan alam mereka.”

Tak jauh beda dengan Eddy O.S. Hiariej, guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada. Dia mengatakan, ketentuan pidana UU P3H tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat yang hidup di kawasan hutan. UU itu juga mengingkari fungsi melindungi hukum pidana.

Dia memberikan catatan kritis pada beberapa pasal. Dalam Pasal 1 angka 3 tertulis perusakan hutan adalah proses, cara atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, atau yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah.”Bagaimana jika masyarakat adat sudah hidup turun menurun dalam kawasan hutan? Pasal ini bisa mereka dikriminalisasikan.”

Lalu Pasal 84 ayat 2 menyebutkan, orang perseorangan karena kelalaian membawa alat-alat yang lazim digunakan menebang, memotong atau membelah pohon dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat berwenang bisa dipidana penjara delapan bulan dan paling lama dua tahun. Serta denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

“Konstruksi pasal jelas tidak memberikan jaminan penghidupan layak. Bagaimana jika orang perseorangan menebang pohon untuk kepentingan sendiri? Ini bisa dijerat pasal itu?”

Begitu juga Pasal 92 ayat 1 mensyaratkan bentuk kesalahan berupa kesengajaan. Padahal syarat kesengajaan, mengetahui dan menghendaki.”Sedangkan dalam pasal itu terdapat kalimat patut diduga. Ini berarti tidak lagi mensyaratkan kesengajaan melainkan kealpaan. Terdapat pertentangan bentuk kesalahan hingga membahayakan kepastian hukum.”

 

 


Sidang UU P3H: Soal Masyarakat Adat, Inilah Kata Para Ahli was first posted on January 21, 2015 at 12:43 am.

Bengkel-bengkel Solar Cell di Sekolah Merauke

$
0
0
Penyerahan seperangkat panel surya kepada SMKN III Merauke. Foto: Agapitus Batbual

Penyerahan seperangkat panel surya kepada SMKN III Merauke. Foto: Agapitus Batbual

Beberapa kampung di Merauke sudah menggunakan solar cell dalam memenuhi kebutuhan listrik. Namun, mereka kerap kesulitan kala terjadi masalah. Untuk itu, bengkel-bengkel solar cell mulai dibangun di sekolah-sekolah. Bengkel pertama di SMK Negeri III. Menyusul SMK Santo Antonius.

Marthin Rummar, Kepala SMKN III itu mengatakan, guna mendukung bengkel ini mereka menempatkan enam guru eletro enam dan menangani solar cell dua orang.

Sebelum dibangun bengkel, para  guru telah mengikuti pelatihan di Bandung dan WWF mengadakan diskusi terbatas mengenai implementasi bengkel solar cell dan energi terbarukan di Merauke.

Paschalina Ch Rahawarin, Southern Leader Yayasan WWF Indonesia Program Papua mengatakan, masyarakat sudah banyak memakai solar cell di Merauke. Terutama di pedalaman yang tidak terjangkau PLN.

Sejumlah kampung telah menggunakan solar cell, misal Kampung Yanggandur, Tomer, Kaliki, Buepe, Zanegi, dan Wayao. Pemanfaatan solar cell memiliki kesulitan tinggi terutama karena pemahaman kurang, penguasaan ekonologi masih rendah. Untuk itu, kala terjadi kerusakan, mereka kesulitan. Bengkel-bengkelpun perlu ada.

Solar cell, katanya, menggunakan energi matahari hingga bisa hemat. “Tidak memerlukan bahan bakar, dapat dipasang dimana saja dan dapat dipindahkan sesuai kebutuhan. Solar cell dapat sentralisasi.”

Dengan sistem sentralisasi ini listrik disalurkan melalui jaringan distribusi ke tempat-tempat yang membutuhkan. Bisa juga desentralisasi alias berdiri sendiri atau individual dan tak memerlukan jaringan distribusi.

Wanto Talubun, Fasilitator Kegiatan asal WWF Merauke mengatakan, solar cell dapat beroperasi otomatis dan manual, tanpa suara serta tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.

Alat utama menangkap sinar matahari, pengubah dan penghasil listrik adalah modul/panel solar cell. Dengan alat ini, sinar matahari menjadi listrik.

Benhur Renandatu, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran menyambut baik pemasangan bengkel solar cell ini. Menurut dia, kebutuhan listrik memanfaatkan solar cell membantu guru di pedalaman yang belum tersentuh listrik negara.


Bengkel-bengkel Solar Cell di Sekolah Merauke was first posted on January 21, 2015 at 1:30 am.

Ribuan Rumah di Langkat Terendam Banjir, Gejala Apa?

$
0
0

Langkat diterjang banjir bandang hingga ribuan warga harus mengungsi ke tempat-tempat aman. Foto: Ayat S Karokaro

Langkat diterjang banjir bandang hingga ribuan warga harus mengungsi ke tempat-tempat aman. Foto: Ayat S Karokaro

Banjir besar merendam Kabupaten Langkat, sejak pertengahan Januari 2015, mengakibatkan ribuan rumah terendam antara satu hingga 1,5 meter. Kerusakan hutan dan mangrove dinilai menjadi pemicu banjir.

Hermansyah, tokoh masyarakat Melayu pernah menjadi Kepala Desa Pekubuan, Kecamatan Tanjungpura, Langkat, akhir pekan lalu, mengatakan, banjir besar karena curah hujan tinggi sejak sepekan lalu.

Curah hujan tinggi, katanya, tidak didukung fasilitas baik. Kondisi lingkunganpun rusak parah.  Mengapa? “Sungai dangkal, tanggul hancur karena banyak bendungan buat tambak ikan, kepiting, dan udang,” katanya. Belum lagi,  alih fungsi kawasan konservasi dan hutan lindung dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Ketika hujan deras, air meluap karena aliran Sungai Tanjung Pura, tidak lagi mampu menampung debit air. Kayu hutan dan mangrove kini hancur dan tidak mampu menahan air yang menuju pedesaan.

Dari banjir ini, setidaknya dari 23 kecamatan, 12 terendam banjir. Terparah di Kecamatan Tanjungpura. Disini, dari 19 kelurahan atau desa, ada 10 desa terendam setinggi satu sampai 1,5 meter.

“Banjir selama satu minggu terakhir ini paling besar selama lima tahun terakhir. Warga mengungsi, sebagian laki-laki dewasa tetap di posko TNI menjaga desa. Pagi hari penduduk desa kembali ke rumah melihat tempat tinggal.”

Senada diungkapkan Mahyuddin, dari masyarakat Melayu tolak perusakan hutan mangrove Langkat, mengatakan, perusakan hutan mangrove sejak 1990. Terbesar di Desa Kuala Serapuh, Desa Telak Kuda, Desa Jaring Halus, dan Desa Bubun. Empat desa ini, lebih 87 hektar mangrove menjadi tambak ikan. Sebagian  jadi perkebunan sawit.

Kebun sawitpun terendam. Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, dituding menjadi salah satu penyebab terjangan banjir ke daerah ini. Foto: Ayat S Karokaro

Kebun sawitpun terendam. Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, dituding menjadi salah satu penyebab terjangan banjir ke daerah ini. Foto: Ayat S Karokaro

Anehnya, meskipun hutan mangrove menjadi tambak ikan ini, masuk hutan konservasi, Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA), seolah tutup mata.

Begitu juga kawasan hutan TNGL, saat ini ditebang menjadi perkebunan sawit dengan luas mencapai 121 hektar khusus di Langkat,  yang berbatasan dengan Aceh.

“Boleh lihat, sejauh mata memandang hanya ada sawit. Yang punya pengusaha bermodal uang banyak. Lihatlah jika hujan lebat datang, air tak mampu ditahan karena hutan hancur.”

Data Tim SAR Sumatera Utara menyebutkan, banjir di Langkat, tercatat 6.210 rumah terendam. Terparah di Desa Desa Hinai, Batang Serangan, Pekubuan, Paya Prupuk, Baja Kuning, Lalang, dan Pematang Cengal Barat. Ada ribuan warga mengungsi ke sejumlah lokasi yang disiapkan BPBD baik Langkat maupun provinsi.

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut ketika meninjau lokasi banjir mengatakan, fokus utama penyelamatan warga di sekitar bantaran sungai, mengingat ketinggian air di Sungai Tanjungpura terus naik. Seanjutnya, penyediaan obat-obatan dan selimut hangat, terutama anak-anak, orang tua, dan perempuan.

Menurut dia, ada lima kecamatan terparah. Di Tanjungpura,  4.184 keluarga terdampak banjir, Sawit Seberang (285), Batang Serangan (667). Disini ada satu korban tewas, bernama Zendamia Sitepu karena terbawa ombak deras. Di Hinai (1.700) dan Wampu (252). “Semua ditangani.” Gatot mengatakan,  soal pendangkalan sungai, akan melakukan pengerukan tanpa menyinggung penanganan hutan dan mangrove rusak, seperti keluhan warga.


Ribuan Rumah di Langkat Terendam Banjir, Gejala Apa? was first posted on January 22, 2015 at 9:58 pm.

Rainforest Alliance Dampingi Petani Kakao Bantaeng Bersertifikasi Lingkungan, Seperti Apa?

$
0
0
Sertifikasi lingkungan kakao mempersyaratkan perlindungan pada satwa liar. Di setiap lahan petani kini terdapat plang larangan untuk berburu burung dan satwa liar lain. Foto:Wahyu Chandra

Sertifikasi lingkungan kakao mempersyaratkan perlindungan pada satwa liar. Di setiap lahan petani kini terdapat plang larangan untuk berburu burung dan satwa liar lain. Foto:Wahyu Chandra

Sebagian besar petani di Bantaeng, Sulawesi Selatan, menganggap tanaman kakao tak perlu diurus. Kebun-kebun banyak terbengkalai tanpa perawatan dan hanya dikunjungi saat panen. Akibatnya, produksi kakao menurun kualitas dan kuantitas. Lahan juga rentan hama penyakit. Bahkan, serangan hama berkontribusi penurunan produktivitas sampai 30-50%.

Kondisi ini berubah sejak dua tahun belakangan. Penyuluh muda dari Rainforest Alliance, NGO internasional berbasis di New York melakukan pendampingan dan penyuluhan intens. Mereka menyebar ke-13 desa di tiga kecamatan di Bantaeng.  Mereka mendatangi petani-petani di kebun guna mendorong sertifkasi lingkungan untuk pertanaman kakao melalui program conserving biodiversity on cocoa farms.

Program ini kerjasama Rainforest dengan Pemerintah Bantaeng dan Universitas Hasanuddin, didanai Toyota Foundation.

Najemia Fahiruddin, Manager Indonesia- Sustainable Agricuture Rainforest, mengajak Mongabay mengunjungi lahan petani Bantaeng, akhir Desember 2014. Dia bercerita, bagaimana program ditawarkan ke petani ini tidak serta diterima begitu saja. Banyak tantangan mereka hadapi.

“Petani hanya bersedia terlibat jika melihat ada cerita sukses. Butuh waktu meyakinkan sertifikasi lahan penting, bukan hanya keberlajutan lingkungan, juga peningkatan taraf hidup mereka.”

Melalui pendampingan intens mulai terasa perubahan. Banyak petani berminat terlibat. Mereka dilibatkan dalam kelompok-kelompok tani. Dalam dua tahun, dari 4.000 petani kakao di Bantaeng, 1.320 bergabung.

Petani-petani ini otomatis menjadi bagian Rainforest menuju sertifikasi, kemudian diberikan berbagai macam penyuluhan. Ada teknis  pengelolaan kakao, seperti cara pemangkasan, sambung samping, pembuatan pupuk nabati, pembuatan lubang pembuangan daun dan ranting kakao yang disebut rorak dan lubang resapan. Lalu, materi-materi tambahan terkait konservasi dan keragaman hayati.

Menurut Najemia, antusiasme warga cukup besar.“Selalu ada permintaan keanggotaan. Ada sekitar empat gelombang, awalnya 400, menjadi 600, lalu 800. Sekarang, 1.320 petani. Itupun masih banyak menyusul.”

Antusiasme petani mengikuti sertifikasi ini, katanya, kemungkinan setelah ada nilai ekonomis yang dirasakan. Rainforest dalam pendampingan tidak hanya penyuluhan petani, juga memberikan akses pasar.

Najemia mengatakan, salah satu pasar potensial Rainforest yakni PT MARS, perusahaan pengolahan kakao ternesar dunia. MARS bersedia membeli kakao petani meski lahan belum bersertfikasi resmi atau pra sertifikasi. Harga pembelian cukup tinggi dibanding harga umum petani.

“Jika biasa di pasaran Rp 17.000 per kg, MARS berani Rp36.000-Rp40.000 per kg.”

Guna mendapatkan harga jauh lebih besar ini petani dituntut lebih perhatian merawat kakao.

Nurman dan petani kakao lain kini membuat rorak sebagai tempat pembuangan limbah tanaman dan lubang resapan yang berfungsi sebagai tempat pembuangan air dan pencucian peralatan penyemprot yang masih mengandung bahan kimia. Bahan pestisida dan pupuk disimpan dalam tempat khusus yang ditempatkan di tengah-tengah kebun.Foto: Wahyu Chandra

Nurman dan petani kakao lain kini membuat rorak sebagai tempat pembuangan limbah tanaman dan lubang resapan yang berfungsi sebagai tempat pembuangan air dan pencucian peralatan penyemprot yang masih mengandung bahan kimia. Bahan pestisida dan pupuk disimpan dalam tempat khusus yang ditempatkan di tengah-tengah kebun.Foto: Wahyu Chandra

Untuk memperoleh sertifikasi syarat memang cukup ketat dan tak mudah. Salah satu syarat tak terpenuhi, sertifikasi gagal.

Sertifikasi di Bantaeng menggunakan standar Sustainable Agriculture Network SAN), dengan 10 prinsip dan 99 kriteria. Kesepuluh prinsip antara lain, terkait sosial dan sistem manajemen lingkungan, konservasi ekosistem, perlindungan marga satwa, konservasi air, perlakuan adil dan kondisi kerja yang baik bagi pekerja. Lalu, kesehatan dan keselamatan kerja, hubungan masyarakat, pengelolaan tanaman terpadu, pengelolaan dan konservasi tanah dan pengelolaan limbah terpadu.

Sebagian besar telah dijalankan petani, termasuk larangan tanaman transgenik di sekitar lahan yang akan disertifikasi.

“Kini petani sudah menggunakan pestida nabati. Ada larangan menanam tanaman transgenik.”

Sertifikasi ini juga mempersyaratkan perlindungan pada satwa liar dan memperhatikan aspek keberagaman hayati. Lahan-lahan yang disertifikasi dipasangi plang berisi larangan berburu satwa.

Di Bantaeng, salah satu satwa liar banyak ditemukan itu kuskus, atau dangkasa (kecil) dan tongali (kuskus beruang, lebih besar).  Selama ini,  satwa ini ditangkap dan dibunuh warga karena dianggap hama.

“Sekarang dangkasa dan tongali tidak lagi diburu, bahkan sering ditemui di pekarangan rumah, dibiarkan begitu saja.”

Terkait keberagaman hayati, sertifikasi mempersyaratkan  keharusan ada pohon penaung dan pelindung, minimal 12 tanaman lokal.

“Ini mudah karena petani di sini tumpang sari. Mereka menanam kakao juga menanam cengkih. Banyak tanaman lain seperti jambu mente.”

Sungai-sungai di sekitar lahanpun harus dilindungi dari pencemaran bahan-bahan kimia pestisida.

Secara kelembagaan, salah satu syarat penting sertifikasi ini keharusan ada lembaga lokal disebut Internal Control System (ICS). ICS inilah menjadi refresentasi seluruh petani di lahan yang akan disertifikasi.

Nurman, Ketua ICS Bantaeng, mengatakan, ICS akan mengawasi seluruh lahan petani yang akan disertifikasi, termasuk setelah sertifikasi. Sebelum ada inspeksi dari lembaga sertfikasi, ICS akan insfeksi lebih dulu.

Sedangkan pengiriman kakao ke MARS, ICS harus memastikan kakao benar-benar dari lahan yang akan disertifikasi. ICS memperkuat di basis data. Semua petani anggota diberi nomor keanggotaan lengkap dengan data-data lahan dan perkiraan produksi kakao mereka.

“Jika tiba-tiba terjadi lonjakan volume kakao harus diteliti, apakah bukan dari petani lain yang disisipkan. Kami ketat. Kalau ada pelanggaran akan ada sanksi pencabutan keanggotaan.”

Dalam penjualan, kakao harus melalui uji kualitas, mulai kadar air, berat biji, jamur hingga sampah. Meskipun tidak dipersyaratkan ketat oleh MARS, namun ICS mendorong uji kualitas menggunakan 30 sampel, berdasarkan petani yang mengirim.

Nurman mengatakan, sejak ada pendampingan sertifikasi Rainforest di Bantaeng, terjadi perubahan perilaku petani. “Kini petani tiap hari datang ke lahan, memangkas dan membersihkan. Kakao dirawat baik, setiap kebun ada rorak dan lubang resapan. Tak ada lagi botol-botol racun sisa penyemprotan berserakan. Sungai pun tidak lagi sebagai tempat mencuci peralatan penyemprotan seperti selama ini.”

Manfaat lain, pengetahuan bertani lebih baik. Meskipun selama ini pemerintah banyak penyuluhan namun hasil tak seperti ini.

“Kalau pendekatan pemerintah hanya pada ketua kelompok atau orang-orang tertentu, Rainforest semua petani mendapatkan penyuluhan langsung di lapangan. Ini lebih mudah dicerna dan dipahami.”

Maneng, petani dari Desa Kaloling, Kecamatan Gantarangkeke, juga merasakan manfaat besar sejak pendampingan Rainforest. Menurut dia, ada peningkatan kualitas dan kuantitas kakao.

“Besar sekali manfaatnya. Serangan hama berkurang karena kebun dirawat baik. Apalagi harga kakao lebih tinggi. Pelatihanpun gampang. Saya bisa paham dan mengerjakan apa yang disarankan penyuluh. Saya bikin rorak, saya pangkas setiap hari.”


Rainforest Alliance Dampingi Petani Kakao Bantaeng Bersertifikasi Lingkungan, Seperti Apa? was first posted on January 22, 2015 at 10:50 pm.

Chevron Batalkan Proyek Geothermal Ciremai, Mengapa?

$
0
0

Seratusan warga dari lereng Gunung Ciremai yang mengadu ke Komnas HAM karena desa mereka akan masuk dalam wilayah eksplorasi geothermal Chevron. Padahal, sampai hari ini mereka tak mendapatkan informasi ataupun sosialisasi mengenai itu. Proyek terkesan diam-diam. Kini, Chevron melayangkan surat kepada Kementerian ESDM menyatakan mundur dari pemenang tender ini. Foto: Indra Nugraha

PT Chevron memutuskan tidak melanjutkan pembangunan proyek pembangkit listrik geothermal di Gunung Ciremai, Jawa Barat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,pun akan membuka tender kembali di sana. Demikian disampaikan Rida Mulyana, Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM dalam diskusi media di Jakarta, Jumat (23/1/15).

Rencana pembangunan proyek ini mendapatkan penolakan dari warga sekitar karena khawatir mengancam mereka. “Betul, di sana ada sedikit riak, meski tidak seheboh di Rajabasa. Tetapi kemarin kita mendapat surat tembusan Chevron berisi pengalihan penunjukan sebagai pemenang tender. Saya sedikit kaget,” katanya.

Rida mengatakan, Chevron belum mendapatkan izin eksploitasi. Hingga kini, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan belum mengeluarkan IUP pada Chevron. Meski Chevron sudah ditunjuk pemenang tender.”Saya pernah ngobrol dengan Aher terkait ini, jawabannya,  politis. Tidak dimengerti. Ada pertimbangan dari Pak Aher kenapa IUP belum keluar.”

Dengan pengunduran Chevron, katanya, kelanjutan proyek  ada di Kementerian ESDM. “Mereka mengundurkan diri. Katanya potensi di sana kecil. Karena diukur dari dua hal, tekanan sama panas. Kalau panas kurang, jika dipaksakan, proyek akan mahal. Apalagi ada potensi di tempat lain.”

Namun,  katanya, bukan berarti pembangkit listrik geothermal di Gunung Ciremai berhenti total. ESDM akan lelang ulang  proyek ini. “Kita sedang mendata 25 WKP segera lelang, ditambah Ciremai. Ini PLTP saja.”

Sesuai UU Panas Bumi baru, proses lelang penentu yang akan melanjutkan proyek oleh pemerintah pusat.”Paling lama tiga tahun kita lelang. Akan mulai dengan yang besar-besar seperti di Gunung Lawu.”

Jamin tak rusak lingkungan

Terkait penolakan proyek geothermal di beberapa daerah,  katanya, hal itu terjadi karena informasi tidak utuh. Warga hanya mendapatkan informasi setengah-setengah. Dia berani menjamin, pembangkit listrik geothermal benar-benar ramah lingkungan. Selama ini,  di negara manapun tidak pernah ada proyek panas bumi meledak.

“Entah ada provokator atau tidak. Padahal kita sedang mengejar krisis listrik. Justru di lapangan ada konflik horizontal. Ini bermula dari informasi tidak sama.”

Dia mengatakan, masyarakat harus mendapatkan informasi utuh soal risiko energi panas bumi.

Hal serupa dikatakan Tisnaldi, Direktur Panas Bumi Dirjen Energi Baru dan Terbarukan. ”Memang dulu masyarakat melihat referensi dari Lapindo Brantas yang meledak. Geothermal berbeda. Paling berbahaya dalam industri migas itu oil and gas. Khusus gas karena mereka mengebor dengan target tekanan tinggi. Ada lokasi-lokasi yang mempunyai gas tekanan tinggi juga hingga berbahaya. Ini terjadi di Lapindo.”

Sedang proyek geothermal Kementerian ESDM, tidak ada tekanan. Tidak ada lokasi gas tekanan tinggi yang bisa meledak dalam proyek geothermal.”Malahan kita meningkatkan produksi uap air melalui injeksi. Jadi tekanan tak ada, kita dorong pakai alat bantu untuk injeksi dengan air hingga operasional panas bumi tertutup siklusnya. Saat uap naik ke permukaan, dipisahkan antara air dan uap panas untuk memutar turbin hingga menghasilkan listrik. Setelah memutar turbin, karena perubahan temperatur di permukaan, uap panas jadi air untuk diinjeksikan kembali. Jadi terus memutar. Tidak mengganggu lingkungan,” ucap Tisnaldi.

Dia mengatakan, pembangkit geothermal tidak mengambil air di permukaan. “Isu masyarakat air di permukaan akan berkurang dan tercemar. Itu tidak mungkin terjadi.”  Mengapa? Karena sirkulasi kegiatan tertutup, di lokasi proyek ada penghijauan untuk membuat resapan air meningkat. Proyek ini memerlukan banyak air.


Chevron Batalkan Proyek Geothermal Ciremai, Mengapa? was first posted on January 23, 2015 at 9:58 pm.

Kementerian LHK Godok RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan

$
0
0
Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Kala itu presiden berperan, praktik-praktik warga ini bisa dikaji buat menjadi kebijakan skala nasional. RPP yang mengatur instrumen seperti ini sedang dibuat. Foto: Indra Nugraha

Instrumen ini akan melihat aturan daerah yang layak menjadi kebijakan nasional sampai menyediakan struktur dan mekanisme penyelesaian konflik.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup sesuai amanat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk itu, pada Jumat (23/1/15), kementerian ini mengadakan konsultasi publik dihadiri antara lain, Prof Akhmad Fauzi, Pakar Ekonomi berbasis sumber daya alam dan lingkungan.

Imam Hendargo Abu Ismoyo, Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian LHK mengatakan, RPP ini sesuai amanat dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Sedangkan lingkup instrumen ini, katanya, meliputi perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup dan insentif atau disinsentif.

RPP ini, ucap Imam, mengatur hal-hal baru seperti mensinkronkan antaraturan, mengkomplementer dengan aturan lain memperjelas misal dalam tentang pajak – retribusi dan lain-lain. Lalu, mengukuhkan aturan lokal yang dianggap layak menjadi kebijakan nasional, mengarahkan dan menertibkan aturan lokal yang tidak layak dan menyediakan struktur dan mekanisme penyelesaian konflik.

RPP IILH ini,  katanya, bertujuan meregulasi 19 bentuk instrument ekonomi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan. (lihat tabel)

“Ini seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong pemerintah, pusat dan daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian lingkungan hidup. Instrumen ini untuk mengintegrasikan nilai ekonomi lingkungan hidup dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional dan kegiatan ekonomi,” katanya, dalam rilis kepada media.

Instrumen ini, kata Imam, memastikan dana tersedia bagi upaya pemulihan dan penanggulangan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Juga buat mengubah pola pikir dan perilaku pemangku kepentingan dalam memperhitungkan nilai ekonomi lingkungan hidup ke pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.

Untuk itulah, guna sinkronisasi dan penajaman substansi RPP ini, Kementerian LHK  mengadakan koordinasi internal, bilateral dengan sektor, konsultasi publik sampai pertemuan antarkementerian.

19 bentuk instrument ekonomi:

1.Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup
2.Produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto
3.Mekanisme kompensasi
4.Imbal jasa lingkungan hidup
5.Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup
6.Dana penanggulangan pencemaran atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup
7.Dana amanah
8.Pengadaan barang dan jasa lingkungan hidup
9.Pajak lingkungan hidup
10.Retribusi lingkungan hidup
11.Subsidi lingkungan hidup
12.Sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup
13.Pasar modal, sistem perdagangan
14.Izin pembuangan limbah dan atau emisi
15.Pembayaran jasa lingkungan hidup
16.Asuransi lingkungan hidup
17.Label ramah lingkungan hidup
18.Penghargaan kinerja di bidang Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH)
19.Sistem pengembalian dana deposit

Sumber: Kementerian LHK


Kementerian LHK Godok RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan was first posted on January 23, 2015 at 10:44 pm.

Kala Abrasi Rusak Keindahan Pantai-pantai Bali

$
0
0
Batu-batuan pelindung pantai dari ancaman abrasi yang makin parah. Foto: Anton Muhajir

Batu-batuan pelindung pantai dari ancaman abrasi yang makin parah. Foto: Anton Muhajir

Sejak, 15 tahun lalu, pantai di sisi selatan Kabupaten Gianyar, terkenal dengan warung-warung penyaji menu khas ikan laut. Akhir 1990-an, warga lokal menjual menu seperti sate lilit, sup kepala ikan, nasi sela, nasi campur singkong. Kini, tak ada lagi warung-warung  yang menghadap ke laut.

Satu daya tarik Pantai Lebih ini landai. Meskipun pasir hitam dan kasar, warung-warung makan membuat pantai menjadi tujuan wisata. Apalagi letak di tepi Jalan By Pass Ida Bagus Mantra, jalan besar penghubung Bali bagian timur dengan bagian selatan.

Pantai kini makin terancam. Makin hari, warung-warung di pantai makin terdesak abrasi.

Pekan lalu, tidak ada sama sekali warung menghadap ke pantai. Kini berpindah sekitar 10 meter dari tempat sebelumnya. Sebagai ganti, kini pantai dipasangi batu pelindung (krib) agar tidak terkena ombak yang terus menghantam pantai.

“Dulu, pasir pantai sampai di tengah. Mungkin sampe 1,5 km,” kata Made Budi, seorang warga. Sore itu, Made duduk di satu balai bersama dua teman.

Budi tidak tahu persis apa penyebab abrasi pantai parah. “Mungkin benar karena perubahan iklim. Saya baca-baca di koran atau lihat di televisi begitu. Yang jelas, permukaan laut terus naik dan pantai kami makin tenggelam.”

Kenaikan air laut dan ombak keras membuat abrasi Pantai Lebih kian parah. Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bali 2011, dari tiga km pantai Lebih, 2,5 terkena abrasi.

Pantai lain di Gianyar tak jauh beda. Dari total 18 km pantai, 6,5 km terkena abrasi. Mereka dua km di Pantai Gumicik, satu km di Pantai Saba, dan satu km di Pantai Siyut.

Tahun sama, panjang pantai di Bali mengalami abrasi 102,5 km dari total 437,7 km. Buleleng daerah dengan pantai terpanjang kena abrasi, 30,56 km. Kerusakan paling parah di Pantai Singaraja dan Air Sanih. Adapun Denpasar menjadi kota paling parah kerusakan pantai karena dari 10 km pantai, semua abrasi seperti di Sanur, Padanggalak, dan Serangan.

Kepala Dinas PU Bali Nyoman Astawa Riadi, mengataan, pantai terkena abrasi hingga 2013, bertambah menjadi 187,7 km. Hingga 2013, dikutip dari Pos Bali, pantai di Bali kena abrasi dan ditangani 93,35 km. Masih ada 88,3 km belum ditangani.

Anak-anak bermain di tepian pantai yang terus mengalami abrasi. Foto: Anton Muhajir

Anak-anak bermain di tepian pantai yang terus mengalami abrasi. Foto: Anton Muhajir

Penyebab abrasi di Bali karena beragam alasan. Menurut Made Mangku, Sekretariat Kerja Pelestari dan Penyelamat Lingkungan Hidup (SKPPLH) Sanur, mengatakan, sebagian besar abrasi karena perubahan arus akibat pembangunan fisik.

Mangku mencontohkan, abrasi pantai parah di Denpasar, seperti Serangan, Sanur, dan Padanggalak dampak reklamasi Pulau Serangan.

Pada dasarnya, karakter pantai dibagi dua yaitu pantai primer dan pantai sekunder. Pantai primer ini berupa tebing atau struktur keras. Misal, bentangan tebing sisi selatan Bali, seperti Uluwatu, atau sisi timur, terutama di Karangasem.

Adapun pantai sekunder merupakan pantai struktur pasir lebih labil, misal, di Sanur atau Kuta.

Saat ini, banyak terjadi perubahan tipe pantai dari sekunder menjadi primer akibat pembangunan krib atau batu-batuan pelindung pantai. Contohnya,  di Candi Dasa, Karangasem. Pantai-pantai Candi Dasa dilindungi krib hingga tipe menjadi primer, dulu hanya pasir.

“Pembangunan krib Candi Dasa menyebabkan kerusakan parah pantai-pantai sekunder di sekitar,” katanya yang meneliti isu pesisir sejak 1990-an awal.

Mangku mencontohkan, paling parah perubahan karakter pantai adalah reklamasi Pulau Serangan, Denpasar. Semula, luas pulau hanya 110 hektar. Oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID), direklamasi lebih 400 hektar.

Tepi pantaipun dilindungi dengan batu-batu besar hingga menjadi pantai primer. Akibatnya, terjadi abrasi parah di Sanur dan Nusa Dua. “Pengamatan saya, selama 10 tahun satu meter krib menghabiskan empat meter pantai sekunder.”

Selain pembangunan, abrasi juga akibat aktivitas manusia, seperti penambangan pasir atau batu sikat. Di Jembrana, penambangan pasir ilegal memperparah kerusakan di Pengambengan. Di Klungkung, pengambilan batu sikat massal membuat abrasi makin cepat di Pantai Watuklotok. Ironisnya, pemerintah Bali justru banyak membangun krib untuk melindungi pantai dari eksploitasi.

Batu-batu penahan abrasi di Watuklotok, Bali. Foto: Anton Muhajir

Batu-batu penahan abrasi di Watuklotok, Bali. Foto: Anton Muhajir


Kala Abrasi Rusak Keindahan Pantai-pantai Bali was first posted on January 24, 2015 at 4:04 pm.

Pakar: Vonis NSP Nodai Keadilan Lingkungan, Mengapa?

$
0
0

 

alah satu sumber panas yang terpantau akibat kebakaran yang disebabkan PT National Sagu Prima. Foto: Walhi Riau.

Catatan merah kembali bertambah dalam peradilan lingkungan di negeri ini. Pada 22 Januari 2015, Majelis Hakim PN Bengkalis, memvonis bebas dua petinggi PT. National Sago Prima (NSP), Erwin General Manager Cabang dan Manajer pabrik NSP, Rowo Dwi Priono. Hakim hanya menghukum perusahaan Rp2 miliar, jauh dari tuntutan jaksa Rp1,4 triliun. Vonis ini dinilai melukai keadilan lingkungan. 

Erwin dan Rowo, adalah terdakwa perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di lima desa, yaitu Desa Tapak Baru,  Desa Tanjung Suwir, Desa Teluk Buntal Tanjung Sari, Desa Lukut, dan Desa Tanjung Gadai, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau mencapai 21.418. hektar. Hakim hanya menghukum perusahaan Rp2 miliar, jauh dari tuntutan jaksa Rp1,4 triliun. Vonis ini dinilai melukai keadilan lingkungan.

Vonis NSP dipimpin Ketua Majelis Hakim Sarah Louis Simanjuntak, dan dua hakim anggota Renni Hidayati, Meilki Salahuddin. Vonis bebas ini jauh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk Nowa Dwi Priono 1,5 tahun dan Erwin enam 6 tahun. Hakim menyatakan, terdakwa tidak terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kebakaran hutan dan lahan.

Deni Bram, pakar hukum lingkungan hidup mengatakan, putusan NSP  menandakan semangat memperbaiki keadilan lingkungan kembali ternodai. Dengan hanya menghukum perusahaan membayar denda Rp2 miliar, katanya, sangat jauh dari rasa keadilan ekologis.  “Jangan hanya menghitung kerugian ekonomis dalam bentuk kerugian saat ini, kerugian masa depan harus dikalkulasi saat membuat putusan saat ini,” katanya kepada Mongabay.

Kabar bahwa hakim yang memimpin sidang tidak mempunyai sertifikasi lingkungan hidup wajib menjadi catatan khusus. “Putusan ini cacat formil yang berdampak pada cacat materiil. Ini berbahaya dan mengkhawatirkan.”

Dalam catatan Deni, setidaknya sudah tiga kali kasus lingkungan tak ditangani hakim bersertifikasi hingga menelurkan putusan ‘bahaya’ bagi lingkungan. Pertama,  kasus Gemulo di PN Malang, kedua, PTUN Semarang, kasus PT Semen Indonesia serta PN Bengkalis kasus NSP.  Pada kasus-kasus ini, majelis hakim tidak memenuhi kualifikasi sertifikasi lingkungan hidup, dan baru diubah di tengah jalan.

“Seandainya mau berdalih khilaf, sudah terlalu banyak khilaf. Sisi lain terpenting ini bentuk nyata pengabaian dari majelis hakim terhadap surat Mahkamah Agung Nomor 134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan,” ujar dia.

Menurut Deni, setidaknya  ada tiga hal penting wajib dilakukan dalam penanganan kasus lingkungan hidup. Pertama, tahapan awal majelis hakim wajib screening kasus untuk memastikan kompetensi sertifikasi hakim lingkungan.

Dalam surat MA itu, perumusan Pasal 5 secara eksplisit mengatakan, perkara administrasi, perdata dan pidana bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir dan kelautan, tata ruang, sumber daya air, energi, perindustrian dan atau konservasi sumber daya alam wajib dipimpin hakim sertifikasi lingkungan hidup.

Saat ini, katanya, sudah ada Tim Khusus Penanggulangan Perkara Lingkungan Hidup dari kepolisian.  “Kejaksaan harusnya sudah bisa koordinasi terkait perkara lingkungan hidup secara komprehensif dari hulu hingga hilir.”

Kedua, saat di satu daerah tak ada hakim bersertifikasi lingkungan, bisa dengan detasering atau meminjam dari luar atau tempat lain. Momentum ini,  seharusnya dibarengi peningkatan kuantitas hakim sertifikasi lingkungan hingga detasering bisa diminimalisir.

Ketiga, minimnya penegak hukum memiliki sertifikasi lingkungan menjadi indikator komitmen pemerintah masih lemah dalam penegakan hukum lingkungan. “Kasus lingkungan jelas membutuhkan keahlian khusus dan tidak dapat diperlakukan sama.”

Kondisi ini, katanya, mencederai tujuan sertifikasi hakim lingkungan yang dibuat untuk menghadirkan putusan lingkungan hidup efektif dan berperspektif keadilan ekologis.

 


Pakar: Vonis NSP Nodai Keadilan Lingkungan, Mengapa? was first posted on January 26, 2015 at 8:40 am.

Kala Para Tetua Adat Simalungun “Turun Gunung” Protes Kerusakan Hutan

$
0
0
Alat berat milik perusahaan perkebunan sawit  di  kawasan hutan Register 2 dan 18 Simalungun, tengah membuka kawasan hutan. Hutan   menjadi  kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro

Alat berat milik perusahaan perkebunan sawit di kawasan hutan Register 2 dan 18 Simalungun, tengah membuka kawasan hutan. Hutan menjadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro

Sekitar 21 perwakilan masyarakat adat Simalungun, tergabung dalam Lembaga Aspirasi Seruan Peduli Rakyat Siantar-Simalungun, mendatangi DPRD Sumatera Utara, pekan lalu.

Mereka perwakilan marga Purba, Sinaga, Sitinjak, dan Simanjuntak aksi protes kerusakan hutan Simalungun di Register 2 dan 18. Ada yang menjadi kebun sawit. Ada pohon ditebang dan kayu dijual.

Arnold Simanjuntak, tokoh adat Simalungun, mengatakan,  dari pemantauan lapangan mereka, ada delapan perusahaan diberi izin Dinas Kehutanan dan Perkebunan Simalungun buat eksplorasi kawasan hutan dan menjadi perkebunan sawit. Terbesar, dua perusahaan, yaitu PT SIA membabat kawasan Register 18, dan UD MAJS di Register 2 Simalungun.

Tak hanya menjadi kebun sawit. Kayu-kayu hutan yang ditebang inipun dijual kepada sejumlah mafia kayu dan menyelundupkan ke luar negeri melalui Pelabuhan Tanjung Balai dan Pelabuhan Sibolga.

“Jadi kami melihat modus dengan masuk hutan dan  jadi kebun sawit. Kayu diangkut malam hari ke dermaga kecil di Tanjung Balai, dan Sibolga. Kayu diselundupkan ke Malaysia, Thailand, Singapur.”

Simanjuntak mengatakan, mereka sudah lapor ke Dinas Kehutanan maupun meminta Dinas Perkebunan, mencabut izin perusahaan-perusahaan  itu. Namun, setelah enam bulan, tidak ada respon. Merekapun aksi ke provinsi. Kala respon tak ada, mereka akan mengumpulkan duit swadaya dan patungan, ke Jakarta menemui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya.

“Siti  Nurbaya, di Simalungun ada dua kawasan hutan yang sudah hancur. Kami berharap dapat melihat kesana, dan memberikan tindakan tegas, baik terhadap pelaku maupun oknum dinas terkait yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, ” jelas Arnold Simanjuntak.

Mereka menuntut, hutan Register 2 dan 18 kembali menjadi hutan dan tegakkan hukum bagi perusak. Mereka mendesak DPRD, membuat aturan soal hutan, dan menekan Pemerintah Sumut membuat peraturan perlindungan hutan..

“Bandung sudah membentuk tim satgas hutan dan lingkungan. Sumut seharusnya mengikuti, mengingat angka perusakan kawasan hutan tinggi, ” kata Joner Sinaga, tokoh adat dari Pematang Siantar.

Ikrimahamidi, Wakil Ketua DPRD Sumut, menyatakan, fokus membahas perusakan lingkungan dan hutan di Sumut.  Dia mengatakan, Register 2 dan 18 belum lama ini terbakar. Pelaku, tidak lain yang mengantongi izin. Register 2 di Sibatu Loting di Nagori Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Simalungun terbakar 10 hektar lebih.  Lalu, 12 hektar lahan masyarakat desa di Nagori Sibaganding, turut musnah.

Namun, proses hukum hanya sampai pada pekerja. Aktor intelektual buang badan hingga saat ini bebas. Bahkan, tetap menjalankan aktivitas.

Mahasiswa dari organisasi lingkungan Gema Mahasiswa Pecinta Alam (GMPA) Institut Teknologi Medan (ITM), menyatakan, hasil temuan mereka soal kerusakan hutan di Sumut, mencapai 115.543.03 hektar.

Haryono, Ketua GMPA mengatakan, penyebab kerusakan karena banyak izin pertambangan di hutan konservasi dan lindung. Juga alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit dan karet, illegal logging, serta hutan mangrove menjadi tambak, sawit dan properti. “Ini penyumbang kerusakan hutan Sumut.”

 


Kala Para Tetua Adat Simalungun “Turun Gunung” Protes Kerusakan Hutan was first posted on January 26, 2015 at 6:26 pm.
Viewing all 4031 articles
Browse latest View live