Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4026 articles
Browse latest View live

Dari Daerah Sikapi PP Gambut, Apa Kata Mereka?

$
0
0
Kebakaran lahan gambut di Kalimantan  Barat. Kala gambut dibuka, kanal-kanal dibuat, ketika kemarau, potensi kebakaran sangat besar. Harapan dengan keluar PP Gambut ada perlindungan maksimal terhadap kawasan gambut hingga bencana asap tak terulang. Bisakah perlindungan gambut terwujud? Sapariah Saturi

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Barat. Kala gambut dibuka, kanal-kanal dibuat, ketika kemarau, potensi kebakaran sangat besar. Harapan dengan keluar PP Gambut ada perlindungan maksimal terhadap kawasan gambut hingga bencana asap tak terulang. Bisakah perlindungan gambut terwujud? Sapariah Saturi

Peraturan Presiden No 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut akhirnya selesai pertengahan September 2014, setelah pembahasan sekitar sembilan tahun. Namun, aturan ini dinilai belum mampu melindungi gambut karena tarik menarik yang kuat, terutama kepentingan pelaku usaha. Daerahpun bersuara menyikapi PP ini.  Apa kata mereka?

Dari Sumatera Selatan, Walhi menilai PP Gambut ini membuka peluang perusakan dan penghancuran ekosistem gambut tersisa saat ini.

“Berkaca dari fakta, kebakaran hutan dan lahan sebagian besar terjadi di ekosistem gambut. Sejauh ini pemerintah tidak mampu menanggulangi maksimal. Justru terkesan membiarkan kebakaran hutan dan lahan terjadi selama bertahun-tahun,” kata Hadi Jatmiko, direktur Walhi Sumsel, Sabtu (25/10/14).

Dia mengatakan, beberapa indikasi tidak ada komitmen kuat pemerintah, antara lain, tidak menghentikan pemberian izin konversi hutan dan ekosistem gambut. Juga enggan mendorong penegakan hukum yang memberikan efek jera bagi perusahaan.

PP Gambut,  justru makin melemahkan semangat penegakan hukum dan membuka peluang muncul izin-izin konsesi baru di atas lahan gambut. Sebab, PP ini tetap mengatur fungsi budidaya di gambut. Fungsi budidaya ini, membuka peluang baru perkebunan skala besar maupun pertambangan.

Proses pembuatan PP, katanya, juga terkesan tertutup dan diam-diam, serta mengabaikan konsultasi publik dengan kelompok-kelompok masyarakat sipil. “Sangat besar dugaan PP ini disahkan diam-diam akhir masa SBY untuk mengamankan beberapa investasi perkebunan yang sedang dalam masalah, atau bahkan mengamankan beberapa investasi yang dalam daftar antrian mendapatkan izin usaha perkebunan di gambut.”

Sikap Walhi Sumsel, kata Hadi, pertama, protes kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai institusi yang mengkoordinir pembuatan PP ini. Seharusnya, secara substantif mengupayakan keras menjaga semangat perlindungan ekosistem unik ini.

Kedua, menuntut pemerintahan Jokowi-JK memerintahkan penghentian segala bentuk kegiatan konversi merusak integritas kawasan ekosistem gambut, terutama berbagai bencana ekologis kebakaran hutan dan lahan di berbagai wilayah.

Ketiga, menuntut pemerintah Jokowi segera menyeret penjahat lingkungan yang mengakibatkan bencana ekologis kebakaran hutan dan lahan yang berdampak buruk pada masyarakat.

Keempat, revisi PP dan menekankan perlindungan total ekosistem gambut dari konversi dan perusakan integritas, dengan proses terbuka dan melibatkan publik. “Ini menjadi urgen jika pemerinahan Jokowi-JK benar-benar berkomitmen menghentikan bencana asap.”

Kala perlindungan gambut lemah, lahan gambut dalam pun tereksploitasi hingga berpotensi kebakaran, seperti di Jambi ini. Akankah PP Gambut, menjawab perlindungan gambut tersisa di Indonesia? Foto: Elviza Diana

Kala perlindungan gambut lemah, lahan gambut dalam pun tereksploitasi hingga berpotensi kebakaran, seperti di Jambi ini. Akankah PP Gambut, menjawab perlindungan gambut tersisa di Indonesia? Foto: Elviza Diana

Terbebani izin

Dari Kalimantan Barat,  Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan menilai PP Gambut ini patut dicermati bijak. Secara prinsip, regulasi ini terbilang cukup bagus karena bisa memaksa perusahaan yang memiliki konsesi di lahan gambut bertanggung jawab mengelola kawasan secara lestari.

“Tetapi, ada beberapa aspek patut digarisbawahi seperti sosial budaya berkaitan langsung kearifan lokal masyarakat secara turun-temurun. Masyarakat sudah berinteraksi dengan gambut sejak lama, terbukti mereka mampu mengelola gambut lestari,” kata Fajri Nailus Subchi, direktur Perkumpulan Sampan Kalimantan, di Pontianak, Senin (27/10/14).

Dalam FGD soal gambut di Kalbar September lalu, Fajri menjelaskan kondisi gambut di Kalbar saat ini masuk fase sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisis spasial dengan overlay peta perizinan dengan peta gambut, diketahui 45,87 persen lahan gambut Kalbar atau 726 ribu hektar terbebani izin.

Rinciannya, 386.000 hektar izin pertambangan, 136.000 untuk delapan perusahan hak pengusahaan hutan (HPH), 635.000 hektar buat 240 perusahaan sawit dan 60 hektar hutan tanaman industri.

Analisis spasial juga menunjukkan, 344 desa (19%) dari 1.804 desa di Kalbar di dalam atau sekitar kawasan gambut. “Masalah pengelolaan gambut mulai mengemuka sejak industri berbasis hutan dan lahan marak. Kondisi ini diperparah ketika perusahaan tidak memiliki manajemen tata air gambut hingga gambut mengalami kerusakan.”

Sedang Lorens, vocal point Kalimantan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), menilai PP ini harapan sekaligus ancaman. “Ada dualisme tafsir PP ini. Satu sisi gambut dianggap penting. Sisi lain, membuka peluang usaha dalam bentuk budidaya.”

Lorens menegaskan, dengan memberikan ruang budidaya menunjukkan pemanfaatan hingga ada pertentangan dengan visi pengelolaan gambut ke depan. Dia menduga, PP ini dibuat atas kepentingan pengusahaan, bukan pengelolaan.

Saat ini, lahan gambut tersisa di Kalbar ada di areal penggunaan lain (APL). Artinya, regulasi ini juga salah satu instrumen menguasai lahan dalam skema bisnis giral. “Kalau masuk kawasan budidaya, pasti ada HGU. Implikasi PP ini akan melahirkan peluang ekonomi baru yang tidak berkelanjutan, bahkan bakal mengancam lingkungan.”

Dari Sumatera Utara, Wilmar Eliaser Simandjorang, ketua Dewan Pendiri Hoetagindjang Pusuk Buhit Eco-Turism Movement, dan Dewan Pendiri Save Lake Toba Fondation, menegaskan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, tidak boleh menganggap remeh PP Gambut karena celah pemodal menghancurkan lahan masih besar.

Siti, katanya, harus lakukan langkah cepat dengan membuat keputusan menteri lebih kuat dan mengikat. Dia menilai, PP Gambut lemah kala kepentingan pribadi dan golongan bermain. “Dolar sudah bicara, semua tutup mata. Semua diabaikan tanpa mempertimbangkan dampak buruk yang akan datang. Ini contoh, aturan terbit, tetapi belum bisa diandalkan menyelamatkan gambut di Indonesia, ” katanya, akhir Oktober 2014.

Penyelamatan gambut perlu karena menjadi “sumur air” cukup besar dan menjaga kelestarian eksosistem hidup. “Minimal peraturan ini diperkuat lewat aturan turunannya.”

Jika Menteri tidak bersikap, gambut bisa habis oleh perusahaan besar yang sudah mengantongi izin di kawasan itu, seperti perkebunan sawit. Sawit, katanya,  membutuhkan air cukup besar, hingga mareka mengincar lahan gambut buat alihfungsi menjadi perkebunan.

Kabut asap Oktober 2014 di Kalimantan Tengah, dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Kabut asap ini berdampak pada berbagai aktivitas (dari sekolah libur sampai penerbangan tertunda). Udara pun menjadi tidak sehat sampai berbahaya. PP Gambut yang ditandatangani, berharap bisa melindungi gambut hingga bisa menekan dampak buruk kerusakan gambut, salah satu bencana asap ini. Foto: Walhi Kalteng

Kabut asap Oktober 2014 di Kalimantan Tengah, dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Kabut asap ini berdampak pada berbagai aktivitas (dari sekolah libur sampai penerbangan tertunda). Udara pun menjadi tidak sehat sampai berbahaya. PP Gambut yang ditandatangani, berharap bisa melindungi gambut hingga bisa menekan dampak buruk kerusakan gambut, salah satu bencana asap ini. Foto: Walhi Kalteng

Di Sumut, lahan gambut masih terdapat di Siborong-Borong, di kawasan hutan tele, di Samosir. “Pulau Samosir juga ada gambut meski kecil, lalu Dairi, Langkat berbatasan dengan Aceh, dan Batubara, Asahan serta Tanjung Balai.”

Dari data Dinas Perkebunan Sumut, area perkebunan sawit di lahan gambut sudah 217.305 hektar. Artinya, jika PP itu tidak direvisi, kawasan lahan gambut di provinsi ini akan hancur lagi.

Wilmar pernah mendapatkan Danau Toba Award bidang Badan Pelaksana Badan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba, pada 2011 dari Gubernur Sumut.  Namun piagam itu dikembalikan sebagai bentuk protes kerusakan kawasan hutan di Sumut.

Berbuah nestapa

Perlindungan gambut harus maksimal jika tidak, bencana akan selalu datang. Contoh nyata, di Jambi, dari 710.078 hektar, lahan gambut,  226.928 hektar dikelola perusahaan untuk HTI dan perkebunan sawit. Kebakaran di kawasan gambut baik HTI maupun kebun sawit, terjadi. Kanalisasi di lahan gambut oleh perusahaan memicu kebakaran.

Data Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2011, di Jambi, luasan hutan gambut mencapai 736.224 hektar, sebagian besar di bagian timur. Kabupaten Tanjung Jabung Timur terluas 312.006 hektar, dan Muarojambi 229.665 hektar.

Sebagian besar kawasan ini sudah budidaya pertanian, seperti di Tanjungjabung Timur konversi seluas 289.809 hektar.  Sedang hutan lindung gambut hanya 23.748 hektar.

Rudi Syaf, manager Kominfo KKI Warsi, menyebutkan, eksploitasi besar-besaran gambut  terjadi lewat pembuatan kanal-kanal untuk pengangkutan kayu dan hasil perkebunan. Hampir sebagian besar kawasan gambut tercincang-cincang menjadi parit-parit dalam. Akibatnya, air hilang, kebakaran mudah sulit dihindarkan.

Dia menyarankan, kawasan yang terlanjur berkanal, harus diperbaiki menjadi sistem kanal tertutup. “Ini harus dilakukan mencegah gambut kehilangan air pada musim kemarau,” katanya.

Aksi ini memungkinkan karena musim panas bisa diprediksi beberapa bulan sebelum itu. “Seperti tahun ini, akhir April, ada informasi el nino yang berdampak kemarau panjang. Pemerintah seharusnya bersiap menghindari kekeringan gambut.”

Namun terpenting,  katanya, memulihkan dan mengembalikan gambut ke fungsi semula. “Lahan gambut kedalaman tiga meter lebih kembali sebagai rawa gambut, tidak jadi HTI atau perkebunan.”

Selain itu, mencegah kebakaran lahan gambut perlu tindakan tegas pemerintah dengan tidak mengubah hutan gambut menjadi peruntukan lain. Penegakan hukum juga harus tegas.

Sayangnya, kata Rudi, pembakar seakan tak tersentuh hukum. “Kalaupun ada ditahan hanya operator lapangan, pemilik modal sama sekali tidak tersentuh, hingga tidak ada efek jera.”

Gambut Sumsel

Gambut dalam dbuka, kanal-kanal dibuat. Gambutpun menjadi rusak. Kala kemarau, ia mudah terbakar. Foto: Elviza Diana

Gambut dalam dbuka, kanal-kanal dibuat. Gambutpun menjadi rusak. Kala kemarau, ia mudah terbakar. Foto: Elviza Diana


Dari Daerah Sikapi PP Gambut, Apa Kata Mereka? was first posted on November 3, 2014 at 11:15 pm.

Nestapa Warga Dongi, Tersingkir di Tanah Leluhur

$
0
0
Dulu, lapangan luas ini adalah Kampung DOngi. Kini, lapangan golf PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Dulu, lapangan luas ini adalah Kampung Dongi. Kini, lapangan golf PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Yadin Wololi, berjalan melintasi lapangan golf PT Vale Indonesia Tbk. Pria berusia 60 tahun ini menginjakkan kaki di rumput yang tertata. Tiba-tiba dia melambatkan langkah. “Ini letak Kampung Dongi dulu. Rumah di sini rumah berjejer membentuk huruf L besar,” katanya.

“Di tengah kampung, ada lapangan. Di sana ada gereja.”

Dia menyebut beberapa nama orang. Menunjukkan letak rumah tetapi hanya bayangan. “Ini pohon jambu monyet, saya ingat. Jambu di halaman rumah.” “Saya kira ini juga pohon mangga ada sejak dulu, juga kelapa. Ada rumpun bambu,”

Dia menunjuk lagi. “Nah tempat kita berdiri ini dulu sawah. Tanah datar, tak ada bukit seperti ini. Semua rata. Ini sawah kepala suku kami.”

Yadin juga menceritakan, di kawasan itu ada mata air yang tak pernah kering. Air buat sawahpun selalu melimpah. “Tahun 1950-an saya menggembalakan kerbau sekitaran sini. Kadang-kadang membawa minum di pinggiran danau.”

Yadin bercerita seakan tak terputus. Derap langkah tak terlihat lelah, padahal kami hampir mengelilingi lapangan golf sekitar delapan hektar. Ketika dia memandang sekitar, satu mobil melintas di dekat kami. Petugas cekatan, memutar dan memindahkan selang penyemprot air untuk menumbuhkan dan menjaga kesuburan rumput.

Tambang PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Tambang PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Saya mencoba memegang air yang keluar dari keran, segar dan dingin. Di depan lapangan golf, tepat seberang jalan, berdampingan dengan lapangan perkemahan, puluhan rumah warga Dongi dari Suku Karunsie, Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, harus mengirit air.

Rumah-rumah warga Dongi itu non permanen. Berlantai semen halus, atau rumah panggung dengan tiang dan dinding sederhana. Tak ada penerangan jalan di sekitar kampung. Begitu gelap, saat malam tiba.

Sebagian besar orang-orang Dongi menggarap kebun, atau menjadi  buruh, tukang ojek, memulung dan beberapa bekerja di perusahaan kontraktor Vale dengan upah kelas rendah. Mereka bak tuan rumah yang terlupakan.

Teror sepanjang masa

Pada 1952 ketika pergolakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berlangsung besar di Kecamatan Nuha– meliputi Sorowako, Towuti, Wasuponda– dan Malili, penduduk meninggalkan kampung.

Tahun 1953, warga di Kampung Dongi, mayoritas memeluk Nasrani, berpindah ke Malaulu–sekarang Kecamatan Malili. Hingga 1959, situasi tak kondusif, warga berpindah ke Mangkutana hingga akhir 1961.

Pergolakan refresif pasukan DI/TII makin kuat, Mangkutana pun dikuasai. Tahun 1962, warga Dongi kembali mengemas barang dan menuju Kampung Gontara di Beteleme, Sulawesi Tengah.

Di Gontara, warga Dongi bertahan dan memulai kehidupan hingga sekarang. Mereka bertani dan bercocok tanam. Beberapa warga menuai keberhasilan. Namun apakah mereka melupakan kampung leluhur? “Tidak sama sekali,” kata Yadin.

Kampung Dongi kini. Hanya ada 50 rumah dengan lahan pas-pasan. Warga bercocok tanam di lahan terbatas di samping rumah mereka. Foto: Eko Rusdianto

Kampung Dongi kini. Hanya ada 50 rumah dengan lahan pas-pasan. Warga bercocok tanam di lahan terbatas di samping rumah mereka. Foto: Eko Rusdianto

Pada masa pengungsian, katanya, beberapa orang tua kampung termasuk ayahnya, selalu mengunjungi Kampung Dongi. Mereka melewati belukar dan tebing tinggi Pegunungan Verbeek. Orang-orag Dongi dengan begitu hati-hati memasuki kampung, memanen beberapa tanaman yang dapat diangkut menuju tempat pengungsian. Tak sedikit dari mereka ditemukan pasukan DI/TII dan berakhir dengan kematian.

Pergolakan DI/TII berakhir tahun 1965. Kondisi kampung sekitar masih mencekam. Doktrin agama masih kuat. Saat itu, Yadin sudah menamatkan sekolah lanjutan pertama tahun 1967 di Manado. Saat pulang liburan, dia bersama empat orang tua dari Dongi menuju kampung mereka.

Alangkah terperanjat, ketika mendapati rumah dan kampung menjadi arang. Yadin menggambar dan menghitung letak-letak rumah yang hangus. Jumlah mencapai 57 unit.  “Saya ingat sekali, hanya gereja tidak terbakar, tapi atap sudah tidak ada,” ucap dia.

Tahun 1968, anggaran dasar pembentukan PT Inco (belakangan berganti Vale) disepakati. Tahun 1978 penandatanganan kontrak karya dengan pemerintah Indonesia untuk konsesi seluas 118 ribu hektar, termasuk pemukiman warga Dongi.

Saat pengembangan penambangan berjalan, ada beberapa proyek infrastruktur dan fasilitas, seperti rumah karyawan, sekolah dan sarana pendukung lain seperti tempat olahraga. Pada tahap inilah, Kampung Dongi rata dengan alat berat dan disulap menjadi lapangan golf.

Awal 1970-an, orang-orang Dongi mencoba mengunjungi kampung halaman. Namun hanya mampu mengelus dada, melihat sisa-sisa rumah sudah tak ada lagi.

Tak ada yang dapat diperbuat. Tahun 1977, beberapa warga mengadu kepada pemerintah, karena melihat kampung teracak-acak. Sayangnya, jawaban Pemerintah Kecamatan Nuha– saat itu berkantor di Wasuponda–, tegas memihak perusahaan. “Lebih baik  kami kehilangan masyarakat daripada kehilangan perusahaan,” kata camat saat itu, ditirukan Yadin.

Kondisi masyarakat Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto

Kondisi masyarakat Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto

***

Rabu 15 Oktober 2014, mulai petang, Husein akhirnya menyelesaikan tugas di nursery kawasan taman Wallacea dan pembibitan PT Vale. Dia menyiram tanaman dan mematikan keran air. Husein bekerja di perusahaan kontraktor dengan upah Rp2,8 juta setiap bulan dengan jam kerja lembur padat.

“Untuk hidup dengan keluarga ya seperti ini. Harus sabar dan bersyukur.”

Di tempat pembibitan itu, Husein tak hanya merawat tanaman, juga menjaga 10-an rusa totol putih, anoa dataran tinggi dan anoa dataran rendah. Juga memberi makan, dan menyiapkan air untuk kubangan anoa. Tak ada seorangpun bekerja di nursery Vale yang paham tentang binatang, kecuali dia.

“Anoa itu liar tetapi begitu manja. Juga kotor, air kubangan ditempati mandi, buang kotoran dan minum, disitu.”

Dia mengajak saya ke taman itu melalui pintu belakang bersama Yadin. Ada pagar kawat setinggi dua meter mengelilingi taman dan menutup jalur penduduk menuju tempat pembuangan akhir sampah Nuha.

TPA disediakan Vale sebagai bagian kepedulian dengan masyarakat. Terletak di belakang kantor General Facilities and Service Vale, masih konsesi perusahaan. Beberapa warga Dongi mengatakan, akses ke TPA tertutup membuat mereka berpikir lebih keras lagi menambah penghasilan. “Ada banyak warga menjadi pemulung, mengumpulkan beberapa sisa air mineral kemudian dijual.”

“Jadi jika ada pertemuan pramuka, kami mengumpulkan sisa air mineral. Kami tak malu, itu kerjaan halal. Tapi perkemahan hanya ada beberapa kali dalam setahun, jadi tak berharap banyak,” kata Tini Lanapu, juga istri dari Husein.

“Saat akses belum tutup (akses ditutup petengahan 2014), setiap hari saya dan beberapa warga ke TPA. Mengambil sisa-sisa sampah yang dapat dijual kembali.”

Salah satu kuburan tua di Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto

Salah satu kuburan tua di Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto

“Saya ikut andil dalam memagari akses ke TPA. Tapi itu perintah perusahaan dan saya lakukan. Saya hanya jadi buruh. Kepada keluarga-keluarga lain, saya sudah minta maaf,” kata Husein.

Sebelum meninggalkan nursery Vale, Yadin menjelaskan jejak taman yang dilalui. Pohon dan rumput tertata apik, jalan-jalan beton untuk tempat berlari, dan duduk bersantai. Gundukan-gundukan tanah menopang kegiatan outdoor. “Coba lihat, kami sudah tak ada bukti. Dulu kawasan ini tanah adat yang luas. Ini lahan pertanian orang Dongi. Gundukan ini, dulu tak ada, ini sisa tanah kerukan dari Gunung Buton yang ditambang,” katanya.

Kini, Buton sudah terkelupas. Rasanya tak elok menggunakan kata gunung untuk Buton, lebih tepat bukit. “Dulu gunung ini tinggi. Ada pancuran yang menjadi tempat warga mengambil air. Dekat pancuran itu, ada tasima (kuburan leluhur). Tapi ya itu, semua sudah tak ada, sudah dikeruk dan diratakan,” ujar Yadin.

Kampung Dongi yang saat ini (samping depan lapangan golf) dihuni pertama kali oleh Yadin tahun 2003. Dia membuka dan membersihkan belukar. Membangun tenda kecil bersama keluarga. Beberapa hari kemudian, aparat kepolisian dan pengamanan dari perusahaan mendatangi. Yadin diancam.

Pada Oktober 2003 pagi, Yadin, sedang mencangkul di halaman rumah. Beberapa polisi menghampiri, mengokang senjata dan menyatakan dia sebagai keras kepala. “Saya disuruh keluar dari tempat ini. Padahal ini kampung leluhur saya. Tidak mungkin saya meninggalkannya. Apapun yang terjadi. Mati sekalipun,” kata Yadin.

Akhirnya, polisi membawa menuju kantor keamanan Vale. Dalam ruangan yang bersuhu dingin, Yadin diinterogasi, dibentak dan diancam. Setelah kejadian itu, beberapa orang memasang plang larangan untuk tidak beraktivitas dalam kawasan konsesi perusahaan.

Yadin tentu tak menghiraukan. Akhirnya beberapa kali dia dijemput polisi dan pemerintah.

“Apakah bapak pernah dipukul?” “Soal seperti jangan ditanya. Saya sudah melalui dan sudah tak terhitung. Tetapi hingga sekarang saya masih ada disini.”

Beberapa kali perusahaan dan pemerintah daerah membuat kesepakatan mengeluarkan penduduk Dongi dari kawasan itu. Salah satu, membuat relokasi 2010 ke wilayah di Wasuponda.

Tahun 2010, perusahaan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah membangun 57 rumah sesuai jumlah di Kampung Dongi (di lapangan golf). Letak perumahan baru di sisi bukit, dari pusat Kecamatan Wasuponda perlu sekitar 30 menit berkendara. Saat hujan mengguyur akan lebih lama, karena jalan batu dan tanah.

Saat terjadi perjanjian, beberapa warga Dongi tak menyetujui. Namun tetap berjalan. Dalam perjanjian awal rumah yang dibangun memiliki ukuran 6×8 meter, halaman 15 meter, dengan fasiitas air dan listrik. Kenyataan, bangunan rumah hanya 4×5 meter. Sangat kecil, dengan dinding batako rapuh. Bahkan tak ada fasilitas air bersih dan listrik. “Begitukah perusahaan dan pemerintah memanusiakan orang?” kata kepala Suku Karunsie (Mohola) Bali Pombu.

Akhir 2012, kemewahan listrik baru menyentuh perumahaan itu. Sebelumnya warga hanya menggunakan penerangan seadanya. Genset hanya cukup menerangi beberapa rumah dan dengan swadaya. “Alhamdulilah sudah ada listrik. Tapi untuk air bersih kami masih menggunakan air sumur. Saat kemarau seperti ini, kami membeli air bersih di Wasuponda untuk keperluan minum dan masak,” kata Elis, seorang warga.

PT Vale dari kejauhan. Foto: Eko Rusdianto

PT Vale dari kejauhan. Foto: Eko Rusdianto

***

Pertengahan 2014, Tini Lanapu bergegas membawa anaknya yang hendak melahirkan ke rumah sakit Vale. Petugas rumah sakit enggan memeriksa, dia meminta kartu pengenal sebagai masyarakat asli kawasan. Ironisnya, warga Dongi tak masuk daftar dan harus membayar sejumlah uang.

Beruntung seorang kawan dari Sorowako yang tergabung dalam Kerukunan Wawoinia Asli Sorowako membantu. Maka dia bisa berobat gratis. “Kalau dari Dongi, kami tak pernah dilayani. Itu terjadi beberapa kali,” kata Tini.

Dari segi pendidikan, masyarakat di Kampung Dongi, hanya mampu menyekolahkan anak hingga sekolah menengah dengan alasan biaya pendidikan tinggi. Padahal, 2000-an awal hingga 2013, program beasiswa perusahaan dan pemerintah daerah berjalan dan menelorkan beberapa alumni. Warga Dongi hanya mendengar, tak pernah merasakan.

Saat mengunjungi Kampung Dongi, hanya berupa jalan tanah. Jumlah rumah sekitar 50 unit. Halaman rumah jadi kebun-kebun kecil untuk menanam sayur dan tanaman musiman lain.

Secara administrasi pemerintahan, kampung ini masuk Kelurahan Magani, Kecamatan Nuha, Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kepala Kecamatan Nuha, Kamal Rasyid mengatakan, kondisi masyarakat Dongi menjadi perhatian utama. “Saya tahu, disana listrik dan air diambil dari fasilitas perusahaan. Itu akan kami koordinasikan untuk mencari jalan terbaik.”

Beberapa tahun lalu, kata Kamal, ada kesepakatan antara pemerintah, perusahaan dan warga Dongi. Dalam perjanjiann, jika wilayah adat saat ini yang menjadi Kampung Dongi akan menjadi cagar budaya.

Bagaimana  konsep cagar budaya itu? “Inilah yang kami belum tahu seperti apa, karena belum dilakukan. Apakah warga bisa mendiami lokasi atau tidak?”

Orang Dongi dari Suku Karunsie. Masa awal bermukim di Witamorini di Lembo Mbo’o (lembah yang busuk). Penamaan Lembo Mbo’o karena masyarakat Karunsie memiliki usaha pertanian sangat maju, tanaman melimpah terkadang tak mampu di panen keseluruhan dan tinggal membusuk.

Karunsie berarti tiang lumbung pangan. Sekitar tahun 1880, saat Belanda masuk, penduduk Karunsie meninggalkan tempat secara terpisah, seperti di Lawewu, Kaporesa dan Balo-balo (masih dalam kawasan Luwu Timur). Dari Lawewu masyarakat berpindah ke Salonsa dan Tapulemo.

Tahun 1920, kepala distrik Nuha menyatukan kampung yang dikenal dengan sebutan kampung baru – sekarang lapangan golf Vale. Dari kampung inilah nama Dongi muncul.

Dongi adalah nama pohon yang memiliki buah masam dan kecut. Biasa buat memasak ikan. Dongi atau dengen tumbuh subur di beberapa tempat di sekitar Danau Matano. Bentuk buah lucu, seperti jeuk manis. Ketika matang, kulit terbuka dan jatuh ke tanah.

Perumahan sekitar Vale, di luar Kampung Dongi. Jalanan dan bangunan rumah tampak tertata dan bagus. Foto: Eko Rusdianto

Perumahan sekitar Vale, di luar Kampung Dongi. Jalanan dan bangunan rumah tampak tertata dan bagus. Foto: Eko Rusdianto


Nestapa Warga Dongi, Tersingkir di Tanah Leluhur was first posted on November 4, 2014 at 10:50 pm.

Pesona Karst Sangkulirang, dari Biota Unik sampai Cap Tangan Purba

$
0
0
Salah satu  lukisan tangan purba ditemukan di Goa Bloyot.  Ini menandakan pada ratusan tahun silam masyarakat pernah menempati goa sebagai tempat tinggal. Foto: Lawalata IPB

Salah satu lukisan tangan purba ditemukan di Goa Bloyot. Salah satu pertanda gua ini pernah menjadi hunian tempat tinggal ratusan bahkan ribuan tahun silam . Foto: Lawalata IPB

Pebukitan karst Sangkulirang, dari jauh tampak hijau nan indah. Dari dekat, begitu menakjubkan. Tak heran,  kala sebanyak 13 mahasiswa Institut Pertanian Bogor melakukan ekspedisi ke sana pada 1-28 Juli 2014. Dari ekspedisi mereka yang tergabung dalam Lawalata IPB di Kampung Merabu, Kecamatan Kela, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, ini menemukan beragam biota unik dan langka sampai cap tangan purba.

Viedela, dari Departemen Manajemen Lawalata IPB mengatakan,  memiliki karst Sangkulirang karena akan diajukan menjadi warisan dunia. “Jadi, dari ekspedisi ini diharapkan menjadi masukan,” katanya kepada Mongabay via surat elektronik.

 Karst Sangkulirang kala dilihat dari atas puncak Bukit Ketepu. Karst Sangkulirang termasuk ke dalam tipe bentukan tower karst karena bentuk menyerupai tower-tower yang menjulang tinggi. Foto: Lawalata IPB

Karst Sangkulirang kala dilihat dari atas puncak Bukit Ketepu. Karst Sangkulirang termasuk ke dalam tipe bentukan tower karst karena bentuk menyerupai tower-tower yang menjulang tinggi. Foto: Lawalata IPB

Mereka mulai ekspedisi ke Kampung Merabu, awal Juli 2014. Tim terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, tim endokarst, yakni,  menelusuri, pemetaan, dan inventarisasi biota goa. Kedua,  tim biodiversitas eksokarst, yang menganalisis vegetasi di sekitar mulut gua. Ketiga, tim sosial budaya, yang melakukan kajian pemanfaatan sumber daya hutan dan sejarah masyarakat adat.

Menurut dia, mereka mengkaji beberapa gua, yakni, Bloyot, Sedepan Bu, dan Lubang Tembus. “Setiap goa di sana memiliki keunikan masing-masing, seperti cap tangan dan beberapa lukisan gua purba di Bloyot, aliran air sungai di dalam Gua Sedepan Bu dan pancaran sinar unik dari jendela-jendela gua di Lubang Tembus,” ujar dia.

Tak hanya itu. Mereka menemukan beberapa keunikan biota gua, seperti jenis famili Scuttigeridae dengan warna ungu dan ukuran kecil. Biota ini, katanya sangat langka dan belum pernah ditemukan di goa-goa di Jawa.  “Ini menunjukkan ada perbedaan morfologi unik.”

Amblypigi  yang ditemukan di Goa Sedepan Bu, karst Sangkulirang Kaltim. Foto: Lawalata IPB

Amblypigi yang ditemukan di Goa Sedepan Bu, karst Sangkulirang Kaltim. Foto: Lawalata IPB

Dia mengatakan, pepohonan di hutan Kampung Merabu masih sangat lebat dan beragam. Air sungai jernih mengalir dari hutan. Masyarakatpun mendapatkan air dengan mudah.  “Air jernih dan menyimpan kekayaan biota sungai seperti ikan, kepiting, dan labi-labi. Bisa makan ikan segar hasil memarang (menangkap ala Suku Dayak) sungguh sangat mengesankan,” ucap Viedela.

Selain itu, Kampung Merabu juga memiliki kearifan lokal dan adat istiadat cukup kuat. Masyarakat sana percaya, mereka dari sosok bidadari cantik, bernama Bunga Inu. “Cap dan lukisan purba dipercaya miliki Bunga Inu.”

Hal lain yang menarik di kampung ini adalah Telaga Nyadeng dan Puncak Ketepu. Air di Telaga Nyadeng berwarna biru segar dan meiliki beragam ikan yang terlihat dari permukaan. Dari Puncak Ketepu, keindahan karst bisa terlihat. Ada juga Danau Tebo, konon memiliki air sangat jernih dan hamparan lahan luas dengan flora dan fauna masih liar. “November ini kita fokus pembuatan buku agar pengalaman dan pelajaran ini bisa dinikmati banyak orang.”

Diplopoda, salah satu jenis biota goa yang beradaptasi secara morfologi dengan hilangnya pigmen warna dalam tubuh.Biota ini dapat ditemukan di Goa Lubang Tembus, karst Sangkulirang. Lawalata IPB

Diplopoda, salah satu jenis biota goa yang beradaptasi secara morfologi dengan hilangnya pigmen warna dalam tubuh.Biota ini dapat ditemukan di Goa Lubang Tembus, karst Sangkulirang. Lawalata IPB

Goa Lubang Tembus, sebagai pintu untuk memasuki  dunia gelap sistem pergoaan. Uniknya, mulut goa ini berupa dinding yang jarang ditemukan di goa-goa di Jawa. Foto: Lawalata IPB

Goa Lubang Tembus, sebagai pintu untuk memasuki dunia gelap sistem pergoaan. Uniknya, mulut goa ini berupa dinding yang jarang ditemukan di goa-goa di Jawa. Foto: Lawalata IPB

Scutigeridae, famili dari jenis ini ditemukan di Goa Sedepan Bu. Jenis ini menunjukkan ciri yang berbeda dengan kerabatnya yang banyak ditemukan di goa-goa di Jawa.  Warna tubuh memiliki corak ungu. Foto: Lawalata IPB

Scutigeridae, famili dari jenis ini ditemukan di Goa Sedepan Bu. Jenis ini menunjukkan ciri yang berbeda dengan kerabatnya yang banyak ditemukan di goa-goa di Jawa. Warna tubuh memiliki corak ungu. Foto: Lawalata IPB

Genangan air di Goa Sedepan Bu, yang menjadi salah satu obyek  menarik. Foto: Lawalata IPB

Genangan air di Goa Sedepan Bu, yang menjadi salah satu obyek menarik. Foto: Lawalata IPB


Pesona Karst Sangkulirang, dari Biota Unik sampai Cap Tangan Purba was first posted on November 5, 2014 at 2:37 pm.

Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta

$
0
0
Sebagian pengacara pemohon gugatan UU P3H kala sidang di MK, Selasa (4/11/14) di Jakarta. Pada sidang lanjutan ity mendengarkan pandangan dari Presiden dan DPR. Sayangnya, DPR tak hadir. Foto: Sapariah Saturi

Sebagian pengacara pemohon gugatan UU P3H kala sidang di MK, Selasa (4/11/14) di Jakarta. Pada sidang lanjutan ity mendengarkan pandangan dari Presiden dan DPR. Sayangnya, DPR tak hadir. Foto: Sapariah Saturi

Pandangan pemerintah yang diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Hukum dan HAM dinilai normatif dan mengabaikan fakta di lapangan. Pemerintah juga coba membantah kriminalisasi masyarakat sekitar dan di dalam hutan dengan dalih ada pasal pengecualian. Padahal gugatan judicial review UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) ini muncul gara-gara sejak terbit hanya menyasar warga. Pasal pengecualian jerat hukum bagi masyarakat yang turun menurun berladang di kawasan hutan, tak pernah menjadi pertimbangan hakim.

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan, mengatakan, baik pemerintah maupun pemohon melihat kriminalisasi petani, masyarakat lokal dan adat harus dihindari.

Sayangnya, dalil pengecualian dalam Pasal 11 ayat 4 seakan tak berfungsi dan tak terefleksi dalam pasal-pasal pemidanaan. Sejak UU P3H ada, sudah beberapa masyarakat yang tidak di dalam kawasan hutan terjerat, seperti empat warga Semende Agung di Bengkulu. Pengadilan memutus petani ini hukuman maksimal tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar!

“Di Bengkulu ini jelas-jelas masyarakat adat berladang tradisional yang dikecualikan UU ini, tapi juga kena. Pengecualian ini tidak terejawantahkan dalam pasal-pasal pemidanaan, jadi percuma,” katanya usai sidang gugatan UU P3H dengan agenda mendengarkan pandangan Presiden dan DPR di Mahkamah Konstitusi, Selasa (4/11/14). DPR tak hadir dalam sidang ini.

Edo Rakhman, dari Walhi Nasional mengatakan, hak masyarakat terancam dengan UU ini. Dengan UU P3H, seakan pemerintah berupaya menghilangkan sekaligus tidak mengakui masyarakat adat.

“Pemerintah tidak ingin ada komunitas adat hidup di kawasan hutan. Dengan UU ini masyarakat bisa setiap saat dikriminalisasi dan ditangkap. Karena mereka tinggal dan beraktivitas di kawasan hutan. Hidup memanfaatkan kawasan hutan.”

Pemerintah mengatakan, UU ini bisa mencegah kebakaran hutan.  Menurut kami, sama sekali tidak masuk akal. “Ada UU ini kebakaran hutan makin menjadi, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Jawaban mereka sangat normatif. Tidak melihat fakta di lapangan. Tidak melihat komunitas adat sangat bergantung dan hidup dari hutan.”

UU P3H, katanya, tidak memberikan manfaat berarti. UU ini, katanya, tak mampu menindak perusahaan yang nyata-nyata membakar hutan.  Masyarakat terus menjadi korban.

“Mereka tidak menyebut perusahaan, padahal perusahaan yang menebang di luar konsesi tidak dipidana. Masyarakat dijadikan sasaran.”

Saat penyampaian pandangan dari Presiden itu, diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Hukum dan HAM. Pemerintah membacakan lebih dari 20 halaman pandangan terkait gugatan warga dan organisasi masyarakat sipil terhadap UU P3H dan UU Kehutanan.

Dalam pandangan itu, Sony Partono, dirjen PHKA KLH dan Hut  mengatakan, harus melihat landasan filosofis pembentukan UU P3H dan UU Kehutanan. “UU Kehutanan karena memandang hutan anugerah Tuhan yang tak ternilai. Harus dikelola dengan akhlak mulia demi pembangunan nasional berkesinambungan. Hutan harus dijaga. Negara sebagai pengelola bukan pemilik, tetapi membuat regulasi mengatur kejahatan kehutanan yang tertuang dalam UU.”

Landasan filosofis UU P3H, karena perusakan hutan terus terjadi. Pemanfaatan hutan harus terencana dan bertanggung jawab. UU Kehutanan, katanya, belum efektif menindak kejahatan kehutanan. “UU P3H hadir. Tanpa bermaksud menyingkirkan masyarakat adat.”

Mengenai gugatan pemohon untuk frasa “dalam kawasan hutan telah ditetapkan, ditunjuk, ataupun sedang diproses penetapan oleh pemerintah.” Frasa ini dianggap tidak memberikan kepastian hukum, karena menyamakan status hutan tetap dengan yang baru sebatas penunjukan. Menurut Sony, kawasan hutan sudah penetapan atau baru sebatas penunjukan tetap berlaku secara UU. “Kawasan hutan yang ditunjuk atau ditetapkan sebelum ada putusan MK 45 tetap memiliki kekuatan hukum. Jadi ini tidak bertentangan,” katanya.

Terkait hak-hak masyarakat adat, katanya, pemerintah mengakui sesuai putusan MK 35. Masyarakat adat diakui sepanjang ada pengakuan dari pemerintah daerah. Masyarakat yang sudah lama tinggal di sekitar atau dalam kawasan hutan, mendapat pengecualian.

Namun, katanya, dalam pelaksanaan hukum, pemerintah merujuk pasal 27 UUD 1945, bahwa semua warga memiliki kedudukan sama dalam hukum termasuk norma dalam UU P3H. “Semua pihak tanpa terkecuali bisa saja dijerat dengan UU ini. Termasuk masyarakat adat.”

“Masyarakat  tetap kita akomodir. Sepanjang diakui hak-hak oleh pemerintah daerah. Bedakan antara masyarakat asli dengan pendatang. Ini yang kita lindungi, masyarakat asli, yang bisa dibuktikan jelas asal-usul bukan dari daerah lain.”

Sony mengatakan, UU P3H untuk menyasar kejahatan hutan korporasi. Dalam UU Kehutanan, pasal bisa menjerat korporasi dan perorangan. “UU P3H justru fokus korporasi. Kita prioritaskan ditangani,” katanya kepada wartawan usai sidang.

Meskipun begitu, dia mengakui kalau belum ada satupun korporasi terjerat UU ini.

Sebaliknya, lebih setahun ini, UU ini telah menjerat belasan warga biasa. Entah memang tak tahu atau apa, Sony membantah. Dia mengatakan, belum ada warga terjerat UU P3H. “Belum ada masyarakat adat kena. UU P3H belum kita perkenalkan. Pemilik modal yang kita sasar. Bukan masyarakat .”

Menurut dia, UU P3H akan menjerat pelaku perorangan setelah diteliti kemungkinan ada keterkaitan dengan korporasi. “Bisa jadi, perorangan melakukan kerusakan hutan, didanai korporasi.”

Pemerintah berharap, MK menolak seluruh gugatan ini.

Sidang lanjutan pekan depan penggugat akan menghadirkan saksi warga dan ahli. “Kami akan hadirkan ahli hukum pidana, masyarakat adat, antropologi hukum, sampai administrasi peradilan,” kata Andi.


Sidang Gugatan UU P3H, Pemerintah Dinilai Abai Fakta was first posted on November 6, 2014 at 12:05 pm.

Pakai Hutan Lindung buat Jalan ke Relokasi Pengungsi Sinabung, Inilah Pesan Menteri

$
0
0
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kala bersiap-siap blusukan ke hutan lindung yang akan dibuat jalan menuju relokasi pengungsi Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (berbaju putih), kala bersiap-siap blusukan ke hutan lindung yang akan dibuat jalan menuju relokasi pengungsi Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Izin penggunaan kawasan hutan lindung dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah keluar. Menteri LH dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menegaskan Dinas Kehutanan dan pejabat terkait agar mengawasi kawasan hutan yang menjadi jalur relokasi pengungsi bencana Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Dia menjelaskan, 11 hektar kawasan hutan lindung sebagai lalulintas jalur ke relokasi ribuan pengungsi Sinabung itu, berstatus pinjam pakai. “Semua pihak harus memahami itu, dan tidak boleh ada pelanggaran UU Kehutanan,” katanya, kala peninjauan langsung ke kawasan hutan jalur relokasi pengungsi di Karo, Kamis (6/11/14).

Di hadapan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, dan para pejabat KLH dan Kehutanan ikut blusukan ke hutan di Desa Siosar, Kecamatan Merek di Karo, Siti memerintahkan pengawasan ketat. Pemberian izin, katanya, jangan sampah salah guna buat kepentingan pribadi atau golongan. “Karena akan berujung tindak pidana kehutanan dan peraturan lain yang mengikat.”

Dalam kunjungan itu, Siti, menyusuri jalan tanah hanya bisa dilalui kendaraan khusus. Jalan sekitar 12 Km ini, berlumpur dan terjal, membelah hutan. Jalan yang akan dibangun lebih singkat, sepanjang 6,5 km, di hutan lindung. Jalan lintas selatan menuju lokasi relokasi selain jalan lintas utara dari Desa Kati Nambun menuju hutan Siosar.

Menteri juga menghitung kontur jalan dan melihat lanskap sekaligus merancang pemukiman bagi korban Sinabung, termasuk bagaimana hutan lindung bisa tetap terjaga.

“Jalan ini melalui kawasan hutan lindung. Jadi jangan sampai ada pelanggaran pidana kehutanan. Para pengungsi dan semua pihak harus tahu itu. Sekali lagi, jangan sampai disalahgunakan,” ucap Siti.

Jalan 6,5 km dengan biaya Rp11,5 miliar. Sedang lahan tempat tinggal bagi pengungsi Sinabung sekitar 30 hektar dan daerah perladangan 450 hektar. Lokasi ini cukup dekat dengan Kota Kabanjahe, Karo, sekitar tujuh km. Relokasi pengungsi 1.700 keluarga secara bertahap.

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut, mengatakan, bencana Sinabung sudah menjadi bencana alam daerah, maka siap bertanggungjawab menangani relokasi pengungsi ke lokasi baru. Awalnya, kata Gatot, jalan menuju lokasi pengungsian sekitar 12 km, tetapi akan dibangun jalan pintas.

“Beruntung Menteri Siti Nurbaya memberikan izin kawasan hutan buat jalan baru lebih dekat ke kota.”

 


Pakai Hutan Lindung buat Jalan ke Relokasi Pengungsi Sinabung, Inilah Pesan Menteri was first posted on November 6, 2014 at 11:06 pm.

Menteri Ingin Perjelas Aturan Hubungan Masyarakat dengan Hutan

$
0
0
Chalid Muhammad (ketua board Perkumpulan HuMA) bersama Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dalam diskusi dengan organisasi masyarakat sipil di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Chalid Muhammad (ketua board Perkumpulan HuMA) bersama Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dalam diskusi dengan organisasi masyarakat sipil di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Konflik di kawasan hutan marak terjadi antara warga dan perusahaan, maupun  warga dan pemerintah dengan penyelesaian tak jarang kekerasan atau jerat hukum menimpa masyarakat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ingin hadir dengan paradigma baru, bahwa rakyat berhak hidup di hutan dan mendapatkan lingkungan yang sehat. Untuk itu, kebijakan hubungan manusia dengan hutan– yang selama ini minim–harus dibuat jelas.

“Ke depan, aturan-aturan itu harus jelas, bagaimana hubungan anak manusia dengan hutan. Selama ini, banyak aturan jelas bagaimana endanger species, species yang dilindungi. Tapi bagaimana anak manusia di hutan belum diatur,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan usai bertemu dengan organisasi masyarakat sipil di Jakarta, Rabu (5/11/14).

Saat di DPD, dia juga sering membahas mengapa Kehutanan tidak mengatur hubungan antara hutan dan anak manusia. “Kenapa kebih banyak tentang satwa dilindungi?”

Bukan itu saja. Pemerintah,  katanya, dalam 10 tahun terakhir, seakan ingin gampang mengatasi persoalan masyarakat hanya lewat pendekatan hukum. “Birokrat itu jeleknya, aturan hanya prosedur, administratif,” katanya. Birokrat tak menyadari, apa yang mereka lakukan itu berdampak ke depan. “Penyederhanaan-penyederhanaan seperti itu, kami juga lakukan koreksi diri dan pengembangan. Interaksi dua kementerian ini cukup kental. Kita lihat apa kurang dan lebihnya.”

Dalam menghadapi masalah, katanya, tak cukup sesuai prosedur dan administratif tetapi harus memperhatikan hak-hak masyarakat, seperti tercantum dalam Pasal 28 UU 45 antara lain “Setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

“Ke depan kalau kita lihat situasi memang harus kembali ke pijakan paling dasar Pasal 28 itu. Bahwa masyarakat, rakyat kita berhak mendapatkan perlindungan dalam lingkungan hidup. Jadi dia punya HAM di situ.”

Menurut dia, pemenuhan hak rakyat sudah diatur dalam konstitusi. Secara konstitusional, negara harus memberi akses kesejahteraan bagi rakyat. “Termasuk juga menjaga ketertiban. Paling penting citizenship yaitu membuat warga negara menjadi warga yang terhormat.”

Setelah izin massif diberikan, tambang-tambang nikel marak beroperasi. Bahkan, di tepi jalan raya dan dekat pemukiman seperti di Kecamatan Badohopi, Morowali, Sulawesi Tengah ini. Kini perusahaan sudah pergi, tinggal galian tambang dengan kolam menganga ini berada di tepian jalan dan bisa mengancam keselamatan warga sekitar terutama anak-anak. Foto: Sapariah Saturi

Dari diskusi dengan para NGO itu, katanya, banyak masukan diperoleh. “Kita akan susun dan akan saya bagikan kepada semua dirjen dan akan follow up dalam diskusi-diskusi intens dari semua kelompok stakeholders.” Dalam pertemuan itu hadir para sekjen, dirjen dan deputi dari kementerian gabungan ini.

Dalam pertemuan dengan para NGO, Siti menekankan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ingin mempertegas tiga hal. Pertama, wibawa negara terkait birokrasi, dan menjaga hal-hal yang harus dijaga. “Kalo negara tak bisa lindungi warga namanya tak wibawa. Batas hutan tetap jadi masalah, legitimasi tak jelas, itu negara tak berwibawa.” Kemandiran ekonomi, katanya, harus mensejahterakan rakyat. Dalam konteks lingkungan dan kehutanan, yang dibahas dengan melihat sumber daya alam dan lingkungan sebagai dua sisi berdampingan.

“Ekonomi tinggi, tapi sengsarakan rakyat, itu boong. Angkat lingkungan sama kuat atau strata power sama dengan pertumbuhan ekonomi. Di dalamnya, ada perspekstif kehormatan warga negara. Kalau rakyat dikejar-dikejar, maka negara kita tak ada kehormatan.” 

Kedua, pemerintahan demokratis. Konsep kepentingan publik, katanya,  tak hanya dokumen tetapi harus melihat bagaimana dinamika dan peluang-peluang interaksi (dengan masyarakat). Ketiga, dalam menangani isu lingkungan, tak hanya melihat secara teknis. “Isu lingkungan itu isu politik negara yang cukup tinggi. Endorse lingkungan itu paling utama kampanye informasi publik, pemberdayaan, regulasi, lalu intrumen pengawasan dan pengendalian.”

Dalam diskusi itu, hadir perwakilan antara lain dari AMAN, ICEL, Huma, Epistema Institute, Kiara, JKPP, KPA,Kemitraan, ICRAF, Greenpeace Indonesia dan Warsi.

Beragam masalah lingkungan dan kehutanan disampaikan. Dari kebakaran hutan, lahan gambut, konflik di dalam kawasan hutan, kriminalisasi warga, limbah B3, sampah, pencemaran sungai, laut, udara dari tambang dan lain-lain. Lalu kemiskinan warga yang hidup di sekitar hutan bahkan gizi buruk.

Dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan pelaksanaan putusan MK 35 mengenai hutan adat bukan hutan negara. Kala, dua kementerian bergabung, hendaknya, fungsi lingkungan hidup menjadi poin utama, bukan rezim perizinan.

Mina Susana Setra dari AMAN mengatakan, banyak masalah menimpa masyarakat adat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Ada komunitas dipenjara karena tinggal di kawasan hutan yang diklaim taman nasional. “Ada penembakan warga di Kalsel.  Ada banyak kasus masyarakat adat.  Ada persoalan tenurial. Ini poin penting harus jadi perhatian ke depan, untuk perjelas hak-hak tenurial,” katanya.

Tambang yang beroperasi di dalam hutan Papua, di tepian Sungai Degeuwo, Nabire. Masyarakat pemilik ulayat makin tersingkir. Hutan mereka hancur, lingkungan mereka rusak. Sungai tercemar, penyakit sosial seperti miras, narkoba sampai HIV/AIDs merebak dampak kehadiran tambang emas ini. Foto: Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Tambang yang beroperasi di dalam hutan Papua, di tepian Sungai Degeuwo, Nabire. Masyarakat pemilik ulayat makin tersingkir. Hutan mereka hancur, lingkungan mereka rusak. Sungai tercemar, penyakit sosial seperti miras, narkoba sampai HIV/AIDs merebak dampak kehadiran tambang emas ini. Dengan penggabungan dua kementerian menjadi Kementerian LHK harus mampu menyelamatkan kehidupan masyarakat adat dan lingkungan dari kerusakan lebih parah.  Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Yance Arizona dari Epistema Institute menyatakan, mendesak revisi UU Kehutanan. Selain itu, perlu unit yang mengurus hutan hak dan adat demi kemaslahatan masyarakat.

Selama ini, katanya, kriminalisasi masyarakat terus terjadi. “Masyarakat dituduh merambah hutan dan merusak lingkungan. Dengan penggabungan kementerian ini diharapkan tidak melakukan pendekatan hukum pidana bagi masyarakat yang mengelola hutan.”

Chalid Muhammad, ketua Board Perkumpulan Huma, sekaligus moderator diskusi mengatakan, pendekatan resolusi konflik dari Kementerian Kehutanan selama ini belum memadai. “Malah memandang seolah Kemenhut pemilik hutan dan masyarakat sebagai penumpang dan sering kalah.” Untuk itu, katanya, penting pembentukan unit resolusi konflik. Dia menyarankan, Kementerian LHK mulai ada diskusi guna menyusun semacam road map. “Duduk bersama untuk setup road map hingga ada usulan partisipatif.”

Dia juga menceritakan tentang kerusakan lingkungan dari operasi tambang.  Salah satu PT Freeport dengan tailing-nya. Di Kalimantan Timur, banyak anak-anak meninggal di lubang-lubang tambang batubara dan banyak lagi masalah lingkungan, sosial dan kesehatan dampak tambang. “Parahnya, gak ada sanksi pada perusahaan tambang ini.”

Sedangkan Longgena Ginting, kepala Greenpeace di Indonesia menyampaikan agar kementerian ini memperkuat perlindungan gambut.  “Kami memandang perpanjangan moratoriun hutan alam dan lahan gambut sangat tepat . Kami mendukung one policy system untuk perlindungan lingkungan agar mengurangi ego sektoral.”

Kiki Taufik, kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia, mengatakan, pentingnya One Map policy guna transparansi data hingga masyarakat sipil dapat monitor pemerintah. Publikpun, katanya, bisa mudah memperoleh data yang diperlukan.

Aksi protes warga di Medan, meminta pembebasan murni masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan, yang hingga kini masih menjadi tersangka. Mereka berusaha mempertahankan hutan adat yang berisi tanaman kemenyan dari perusahaan HTI, yang akan mengubah kemanyan menjadi ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro

Aksi protes warga di Medan, meminta pembebasan murni masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Humbang Hasundutan, yang hingga kini masih menjadi tersangka. Mereka berusaha mempertahankan hutan adat yang berisi tanaman kemenyan dari perusahaan HTI, yang akan mengubah kemenyan menjadi ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro


Menteri Ingin Perjelas Aturan Hubungan Masyarakat dengan Hutan was first posted on November 8, 2014 at 3:02 pm.

Kala 9 Komunitas Adat di Jayapura Peroleh Pengakuan

$
0
0
Masyarakat adat di Jayapura, berpesta menyambut pengakuan keberadaan mereka dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Masyarakat adat di Jayapura, berpesta menyambut pengakuan keberadaan mereka dari Pemerintah Kabupaten Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Pieter Yanuaring mengusap peluh di wajah. Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Jayapura ini, berjalan menuju panggung penuh percaya diri, diikuti sejumlah tokoh adat lain di Jayapura.

“Saya mewakili sembilan suku masyarakat hukum adat di Kabupaten Jayapura menyampaikan ucapan terima kasih atas pengakuan keberadaan kami. Semoga hari ini di tanah ini, sejarah baru terjadi,” katanya.

Sembilan Dewan Adat Suku (DAS) di Kabupaten Jayapura, itu adalah, DAS Suku Sentani-Buyakha, DAS Imbi-Numbai, DAS Oktim, DAS Tepra, DAS Djoukari, DAS Elseng, DAS Demutru DAS Moi dan DAS Yowari.

“Masyarakat adat di negeri dianggap sudah mati. Hukum di negeri ini  bilang tanah, hutan, laut dan seluruh sumber daya alam semua milik negara. Tetapi hari ini Bupati Jayapura, Mathius Awoitouw bilang kamu masih ada, kamu masih hidup kamu punya jati diri dan harga diri.”

Jumat (24/10/14), menjadi hari penting bagi masyarakat adat di Jayapura. Ratusan orang dari sembilan komunitas adat berkumpul di halaman kantor bupati. Mereka memperingati setahun hari kebangkitan masyarakat hukum adat Papua.

Sembilan komunitas adat di Jayapura, Papua membacakan deklarasi, yang menandai pengakuan mereka melalui SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Sembilan komunitas adat di Jayapura, Papua membacakan deklarasi, yang menandai pengakuan mereka melalui SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Satu persatu komunitas adat tampil membawakan tari-tarian khas dari suku masing-masing. Iringan bunyi-bunyian alat musik dan nyanyian, disertai sentakan kaki. Tua muda berbaur menyanyi dalam kegembiraan. Tarian mereka tampak berirama, tanpa henti.

Para pejabat daerah hadir dan menjadi saksi pembacaan deklarasi komunitas dan pengesahan surat keputusan Bupati Jayapura tentang pengakuan sembilan masyarakat hukum adat Jayapura oleh sekda.

Pengakuan ini, kata Pieter, penghargaan tak bernilai bagi masyarakat Papua, melebihi triliunan rupiah anggaran pemerintah pusat melalui otonomis khusus selama ini.

“Kami tak butuh otsus plus. Kami tak butuh uang triliunan rupiah. Kami hanya perlu diakui sebagai pemiliki hak utama atas tanah, hutan dan sumber daya alam.”

Meskipun telah mendapatkan pengakuan dari pemerintahan setempat namun, kata Pieter dalam kenyataan akan menghadapi sejumlah tantangan, antara lain dari pemerintah pusat yang belum serta merta menerima.

Tari-tarian oleh warga adat di Jayapura, yang telah mendapatkan pengakuan lewat SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Tari-tarian oleh warga adat di Jayapura, yang telah mendapatkan pengakuan lewat SK Bupati Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Tantangan lain, internal komunitas itu yang dilemahkan konflik antara mereka. Masing-masing dipastikan menuntut berdiri sendiri dan khawatir saling menjatuhkan.

Dia menilai, komitmen pemerintah daerah mengawal kebijakan ini dengan baik menjadi tantangan tersendiri. “Jangan sampai ini hanya kata-kata tanpa isi. Jangan sampai hari ini kami memuji bapak bupati, belakang kami terpkasa harus menghujat.”

Bupati Jayapura, Mathius Awoitouw, mengatakan, peringatan hari kebangkitan masyarakat adat Papua ini momentum kebangkitan kesadaran jati diri Papua.

Mathius menilai, selama ini masyarakat Papua hampir melupakan budaya. Ketika model pembangunan berdasarkan APBD datang dengan segala hak-hak warga, ada anggapan inilah yang terbaik bagi mereka hingga cenderung melupakan budaya sendiri.

Kini, katanya, kesadaran warga Papua mulai bangkit dan makin menguat setahun terakhir. Mereka mencoba menginventarisasi struktur dan segala potensi kekayaan.

Dengan pengakuan ini, diharapkan mereka bisa hidup dan mengelola kekayaan alam tanpa gangguan. Foto: Wahyu Chandra

Dengan pengakuan ini, diharapkan mereka bisa hidup dan mengelola kekayaan alam tanpa gangguan. Foto: Wahyu Chandra

Mathius membandingkan apa yang terjadi di Jayapura, dengan di Jepang melalui Restorasi Meiji– momentum kebangkitan bangsa Jepang kembali ke akar budaya.

“Kaisar Meiji menyadari, satunya-satunya bisa bangkit dengan kembali ke akar budaya, pada nilai-nilai budaya yang mereka anut.”

Selama ini, kata Mathius,  masyarakat Papua lama hidup dalam pembiaran, tak ada demokrasi dan saluran bagi mereka menyalurkan aspirasi. “Mereka merasa tak dianggap oleh negara.”

Baru era reformasi, ada sedikit keterbukaan dan mulai muncul peluang partisipasi setelah ada UU Otonomi Daerah.

“Kita tak tahu dengan Papua yang lain. Di Jayapura tahun 2000-an sudah bisa bicara. Ada alokasi dana desa, 10 persen dari DAU APBD kabupaten dan kota. Jayapura pertama di Papua menjalankan itu.”

Sejak 2005, di Jayapura sudah perencanaan partisipatif. Pemetaan kampung-kampung sudah dilakukan meski berupa sketsa-sketsa.

“Mereka mulai memetakan situasi kampung dengan segala permasalahan, memotret diri sendiri dan potensi mereka dan bisa kelola sendiri.”

Masalah lain yang disoroti Mathius terkait program transmigrasi pemerintah yang sarat dengan masalah dan terkesan harus jalan.

Berkumpul bersama merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Papua di Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Berkumpul bersama merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Papua di Jayapura. Foto: Wahyu Chandra

Keberadaan otonomi khusus pemerintah juga dianggap tidak memberi soulasi tepat. Sebab, yang lebih banyak muncul hanyalah uang dibanding isi dan subtansi.

“Uang itupun banyak orang berebut. Itupun tidak jelas untuk siapa. Karena situasi belum disiapkan untuk menjalankan kebijakan-kebikana itu.”

Papua, katanya, memiliki kekhasan tersendiri terkait kepemilikan tanah. Di Papua, kepemilikan tanah hanya oleh masyarakat hukum  adat.

“Mereka bervairasi dengan latar belakang budaya masing-masing. Ada sekitar 270 bahasa di Papua yang menggambarkan budaya. Di Jayapura, ada sembilan komunitas sudah dipetakan ternyata lebih dari itu. Perlu kajian khusus mengetahui lebih lanjut,” katanya.

Mathius berharap, dengan pengakuan ini akan berbentuk peraturan daerah (perda) sebagaimana amanat UU. “Itu memang menjadi bagian dari visi dan misi saya ketika mencalonkan diri sebagai Bupati Jayapura.”

Perempuan adat Papua. Foto: Wahyu Chandra

Perempuan adat Papua. Foto: Wahyu Chandra

Dengan pengakuan ini, semoga memberikan harapan lebih baik bagi generasi muda adat ini. Foto: Wahyu Chandra

Dengan pengakuan ini, semoga memberikan harapan lebih baik bagi generasi muda adat ini. Foto: Wahyu Chandra


Kala 9 Komunitas Adat di Jayapura Peroleh Pengakuan was first posted on November 8, 2014 at 6:20 pm.

Generasi Muda Gerakkan Pertanian Berkelanjutan di Amerika Selatan. Bagaimana di Indonesia?

$
0
0
Gledy dengan bibit kopi yang dia jual sebagai bagian dari bisnis pertanian organik mereka. Foto: Anton Muhajir

Gledy dengan bibit kopi yang dia jual sebagai bagian dari bisnis pertanian organik mereka. Foto: Anton Muhajir

Indonesia memiliki banyak persamaan dengan dua negara di Amerika Selatan yaitu Peru dan Ekuador. Indonesia dan Ekuador dilintasi garis Khatulistiwa. Adapun Peru berada di sekitar garis ini, seperti sebagian besar wilayah Indonesia. Ketiga ini negara ini memiliki ciri-ciri tak jauh beda, misal sektor  pertanian. Komoditas utama Indonesia, seperti kakao, kopi, dan sawit juga andalan dua negara itu.

Dalam obrolan di Lima pertengahan November lalu, Duta Besar Indonesia untuk Peru, Moenir Ari Soenanda mengatakan, bidang pertanian, Indonesia dan Peru lebih sebagai kompetitor sekaligus mitra. Satu contoh, Peru rumah bagi 3.000 varietas kentang. Peru menjadi tempat The International Potato Center (IPC), lembaga riset di bawah PBB.

IPC ini memiliki cabang di Lembang, Bandung, Jawa Barat. “Karena itulah, Indonesia bisa belajar lebih banyak tentang budidaya dan pengolahan kentang dari Peru,” kata Moenir.

Selain kentang, Indonesia juga bisa belajar kampanye pertanian berkelanjutan bagi anak-anak muda di dua negara ini, Peru dan Ekuador. Berdasarkan perjalanan di dua negara ini pada November lalu, saya mencatat ada beberapa hal yang bisa jadi pelajaran bagi Indonesia.

Pertama, pendidikan bisnis pertanian bagi anak-anak muda.“Pengetahuan rencana bisnis sangat penting untuk anak-anak muda agar paham pertanian,” kata Bruno Soyel Maldonado, Kepala Sekolah Pachacutec, Rio Venado, Junin, Peru.

Memasukkan pertanian ke sekolah termasuk hal baru di sana. Sejak 2011, sekolah berjarak sekitar 500 km dari Lima ini memasukkan pertanian sebagai pelajaran tambahan. Ia diberikan tiap Jumat hingga Minggu selama dua jam untuk siswa IV–VI atau setingkat Kelas I–III SMP di Indonesia.

Menurut Bruno, bisnis pertanian ini sesuai program Pemerintah Peru memberikan tambahan materi education for work. “Kami ingin memberikan materi tambahan lebih relevan dengan kondisi lokal.”

Bisnis pertanian juga dipelajari dalam pelatihan koperasi petani di Satipo, Junin. Mereka mengikuti kompetisi kewirausahaan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendukung pertanian berkelanjutan.

Gledy Sulca Solano (24), salah satu pemuda yang mengikuti pelatihan dan kompetisi kewirausahaan itu. Bermodal sekitar Rp60 juta, dia mengelola bisnis bibit kopi. Dia bekerja di Departemen Pertanian Junin selain memiliki dua hektar kebun kopi yang dikelola sendiri.

“Setelah memiliki pengetahuan tentang bisnis pertanian, saya merasa lebih percaya diri berbisnis bibit,” kata Gledy.

Kedua, memberikan peran-peran baru bagi anak muda di dunia pertanian. Pertanian merupakan rantai panjang budidaya hingga menjadi produk siap saji, misal, cokelat dan kopi. Di Ekuador dan Peru, anak-anak muda mulai mengambil peran dalam rantai ini.

Di San Martin dan Junin, Peru ataupun di Esmeraldas, Ekuador, para pemuda tidak hanya menjadi petani kakao atau kopi juga penguji kualitas, seperti Javier Meza di Ekuador dan Jerry Fabian Cardinas di Junin, Peru.

Salah satu gerakan apara pemuda di Indonesia, kampanye pangan sehat ke pasar-pasar. Foto: Anton Muhajir

Salah satu gerakan apara pemuda di Indonesia, kampanye pangan sehat ke pasar-pasar. Foto: Anton Muhajir

Javier Meza, penguji kualitas kakao dan Jerry Fabian, penguji kualitas kopi (cupping tester). Setelah belajar cupping test, Jerry baru sadar pertanian tak sekadar bekerja di kebun.

“Memproduksi kopi tak hanya budidaya, ada pengolahan pasca-panen seperti pengujian rasa hingga penyajian kopi berbeda-beda (barista).”

Sejak setahun terakhir, bersama beberapa anak petani, Jerry belajar cupping test. Dia menjadi salah satu cupping tester dan belajar penyajian kopi. “Dulu saya bercita-cita jadi tentara. Setelah tahu pengolahan kopi, sekarang bercita-cita membuat perusahaan kopi bersama teman-teman.”

Kini Jerry belajar menjadi Q-Grader, tingkat tertinggi penguji cita rasa kopi, di laboratorium Koperasi Satipo, Junin. Begitupula Javier jadi penguji kualitas kakao di perusahaan cokelat Uoprpcae.

Direktur Utama Koperasi Satipo Zacaris Cristobal Carhuamaca mengatakan, koperasi harus menemukan cara-cara baru melibatkan anak muda dalam pertanian. Cara itu antara lain, tukar pengalaman sesama petani muda atau kunjungan ke tempat lain, termasuk luar negeri. “Anak-anak muda harus bekerja keras di rantai kopi karena mereka minum kopi.” Lalu, memberikan nilai tambah untuk komoditas andalan. Inilah dilakukan koperasi-koperasi petani di Peru atau organisasi tani di Ekuador.

Kakao dan kopi juga menjadi barang siap saji, misal, cokelat batangan atau kopi bubuk. Seperti Koperasi Oro Verde di San Martin, Koperasi Pangoa di Junin, dan lain-lain. Koperasi-koperasi milik petani ini memiliki usaha pengolahan kopi dan kakao dengan merek sendiri.

Di Koperasi Pangoa, petani lokal membuat kopi organik dengan merek pasar Pangoa Coffee. Koperasi dengan 702 anggota ini memasarkan kopi siap saji tak hanya ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat juga lewat kafe di kantor mereka.

Albino Nunez Cainicela, Manajer Pemasaran dan Keuangan Koperasi Pangoa, mengatakan, koperasi ingin melibatkan anak muda dalam semua rantai pertanian. “Keterlibatan anak muda sangat penting untuk masa depan pertanian,” katanya.

Gerakan di Indonesia

Di Indonesia, upaya melibatkan anak muda dalam pertanian sudah dilakukan, seperti di Bali dan Solo, Jawa Tengah. Namun, anak-anak muda lebih banyak terlibat dalam bagian terakhir rantai pertanian yaitu konsumen.

Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Yayasan Pangan Sehat Indonesia (YAPSI) Solo membuat program kampanye pangan sehat untuk anak-anak muda. Begitu pula dengan Perkumpulan Indonesia Berseru (PIB) di Jakarta.

Kampanye pangan sehat itu dilaksanakan melalui berbagai kegiatan termasuk melalui media sosial. Di Bali, PPLH mengadakan kunjungan rutin ke pasar tradisional. Di Solo, YAPSI kampanye ke sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Adapun PIB rutin mengadakan Festival Pangan Lokal, Festival Desa, ataupun Youth Camp. “Kami ingin pangan lokal menjadi pilihan utama bangsa ini terutama anak muda,” kata Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator PIB.

Pelajaran bisnis pertanian di sekolah Peru. Foto: Anton Muhajir

Pelajaran bisnis pertanian di sekolah Peru. Foto: Anton Muhajir


Generasi Muda Gerakkan Pertanian Berkelanjutan di Amerika Selatan. Bagaimana di Indonesia? was first posted on January 2, 2015 at 4:12 pm.

Menanam Pakan, Menjaga Kehidupan Kupu-kupu Bantimurung

$
0
0
aneka kupu-kupu cantik tengah beristirahat di tanah. Foto: Rusman Muliady

Aneka kupu-kupu cantik tengah beristirahat di tanah. Foto: Rusman Muliady

Berwarna warni. Ada kuning, merah, hitam, bintik-bintik, loreng dan banyak lagi. Itulah si kupu-kupu. Ia hinggap di bunga, menjulurkan belalai kecil menghisap nektar. Kaki menempel di pucuk-pucuk bunga membawa tepung sari lalu menghasilkan penyerbukan tanaman.

Begitu juga di pusat penangkaran kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Bunga-bunga merah tengah mekar. Puluhan kupu-kupu silih berganti mendatangi. Berputar-putar, singgah sejenak lalu berpindah ke bunga-bunga yang lain. 

Ada Papilio blumei, spesies kupu-kupu berwarna biru terang di punggung dan seperti memiliki ekor, mengepak-ngepak perlahan. Ada juga Troides helene, terbang dengan warna kuning di bagian belakang sayap.

Pada Minggu (21/12/14), Kepala Resort Taman Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Suci Achmad mengajak saya melihat pra-pupa Torides helena sebelum menjadi pupa (kepompong).

Prapupa dari Troides helena di Bantimurung. Foto: Eko Rusdianto

Prapupa dari Troides helena di Bantimurung. Foto: Eko Rusdianto

Bentuk prapupa Troides, sungguh menakjubkan. Melihat sekilas, seperti ulat kering dan mati. Sekujur badan tumbuh duri lunak dan bagian leher terdapat benang pengikat agar tetap bergantung di dahan, tangkai atau inang.

Proses perkembangan kupu-kupu mulai telur, larva, prapupa, pupa (kepompong) dan imago (kupu-kupu bersayap).

Ada beberapa pemangsa dalam proses perkembangan kupu-kupu yang perlu diwaspadai. “Larva dan prapupa, bisa dimangsa semut, burung, bakteri hingga jamur. Kelembaban dan perubahan suhu ikut berpengaruh,” kata Suci.

“Jika suhu cepat berubah, larva bisa stres. Malas makan dan bisa mati.”

Graphium androcles androcles. Foto: Kamajaya Saghir

Graphium androcles androcles. Foto: Kamajaya Saghir

Habitat berubah

Taman kupu-kupu itu terletak di sisi jalan menuju kawasan wisata Bantimurung, yang setiap akhir pekan dipenuhi pengunjung. Para pengunjung bermain di air terjun, membawa bekal makanan, membakar ikan bahkan menghamburkan sampah plastik.

Di sini,  dibangun beberapa penginapan, lapangan parkir beralas batako dan semen kasar.  “Ini perkembangan yang tak dapat dihindari. Habitat mulai berubah dan pakan kupu-kupu mulai berkurang, maka kami melakukan penanaman,” kata Siti Chadidjah, Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.

Penanaman pakan kupu-kupu dilakukan di beberapa titik, tersebar di taman nasional ini sebanyak 5.000 pohon. Tiga jenis pohon pakan larva, seperti pohon lada-lada (micromelum minutum), jeruk (citrus sp), dan tiga daun (evodia lepta). Juga tujuh jenis bunga pakan kupu-kupu dewasa (imago) seperti pagoda, jatropha, bunga kupu-kupu, asoka, turnera, dan lantana.

Taman Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Foto: Eko Rusdianto

Taman Kupu-kupu Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung. Foto: Eko Rusdianto

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hadir kala itu, memberi apresiasi baik. Dia mengatakan, setiap pengembangan pasti ada perubahan keseimbangan dan habitat. Salah satu syarat paling penting adalah konservasi.

“Jadi ujung-ujungnya koservasi harus benar-benar dijaga, apakah menggunakan teknologi atau menjaga alamiah. Penanaman pakan ini semacam investasi mengganti lahan yang digunakan paving blok.”

Dalam Taman Nasional, katanya, jika pembangunan menggunakan lahan besar syarat dan kajian harus benar-benar transparan. “Kalau lebih banyak merusak, kita gak akan kasih izin.”

Alfred Russel Wallacea dalam The Malay of Archipelago (Kepulauan Nusantara), yang mendatangi Bantimurung pada 1857, mencatat sekitar 270 jenis serangga menghuni kawasan itu. Di tempat ini, Wallace menuliskan kekaguman menemukan beberapa spesies langka, termasuk rangkong Celebes (Buceros cassidix).

Roides helena hephaestus. Foto: Kamajaya Saghir

Roides helena hephaestus. Foto: Kamajaya Saghir

Hal lain yang menjadi tujuan utama Wallacea adalah kupu-kupu. Dalam laporan perjalanan itu, Wallacea menulis, “Di hutan-hutan berbatu ini, terdapat beberapa jenis kupu-kupu paling cantik dunia. Tiga spesies Ornhitoptera memiliki sayap berbintik-bintik kuning…dan Papilio Rhesus langka berekor walet.”

Dari laporan Wallacea inilah, wisata Bantimurung merupakan bagian Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung dikenal dengan nama Kingdom of Butterfly. Gerbang utama memasuki kawasan ini pun merupakan patung besar kupu-kupu jenis Papppilio blumei.

Pada 1977, Anis Mattimo, peneliti Universitas Hasanuddin Makassar menuliskan laporan kupu-kupu di kawasan itu 103 jenis. Pada 1997, Mappatoba Sila menemukan 147 jenis. Ironis, pada 1998, peneliti lain, Amran Ahmad  hanya menemukan 80 jenis.

Suci mengaku, selama ini populasi kupu-kupu berkurang. Namun, dalam jenis, tak berkurang secara spesifik. Dari analisis empat tahun terakhir, masih ditemukan 225 jenis, bahkan kemungkinan bertambah. “Kupu-kupu berkurang saat kemarau, akan banyak saat hujan. Kelembaban baik. Setelah hujan muncul matahari. Kupu-kupu akan banyak.”

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menanam pohon pakan kupu-kupu di Taman Wisata Bantimurung. Foto: Eko Rusdianto

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menanam pohon pakan kupu-kupu di Taman Wisata Bantimurung. Foto: Eko Rusdianto


Menanam Pakan, Menjaga Kehidupan Kupu-kupu Bantimurung was first posted on January 2, 2015 at 7:42 pm.

Aziil Anwar, Penanam Mangrove di Batu Karang

$
0
0
Inilah mangrove yang ditanam Aziil di batu karang. Kok bisa? Aziil punya cara. Foto: Wahyu Chandra

Inilah mangrove yang ditanam Aziil di batu karang. Kok bisa? Aziil punya cara. Foto: Wahyu Chandra

Aziil Anwar berjalan agak cepat, melewati jalan setapak ditumbuhi padang ilalang. Lelaki setengah baya itu sebelumnya menegaskan kami harus segera tiba di lokasi. “Harus cepat tiba di lokasi sebelum air pasang. Ini sudah agak siang. Kalau terlambat air bisa setinggi dada,” katanya.

Kami tiba di rumah panggung kecil di tepi  pantai, sekitar 50 meter dari jalan raya. Dia menunjuk  tujuan selanjutnya, sekitar 100 meter lagi. Melewati rerimbunan mangrove yang tergenang air berlumpur.

Aziil, pendiri Yayasan Pemuda Mitra Masyarakat Desa (YPMMD) Majene, sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat dan perlindungan mangrove.  Pagi itu, Kamis (19/12/14),  dia mengajak saya mengunjungi lokasi pembibitan mangrove, di Desa Binanga, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.

Aziil antusias menunjukkan pembibitan sekitar 400.000 bibit dari sejumlah spesies.

Lokasi itu tepat di lahan dengan sekeliling tumbuh beragam mangrove. Luasnya, termasuk kawasan konservasi mangrove sekitar 40 hektar, meski yang tercatat di BPH hanya 20 hektar.

Bibit-bibit yang disusun berpetak-petak rapi dalam polibag kecil ini diberi nama latin sesuai spesies, antara lain Rhizophora stylosa, Cerios decandra, Bruguiera gymnorrhiza, Aigiceras corniculatum, Ceriops tagal,  Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Pelabelan baru dilakukan akhir-akhir ini, bantuan Yayasan Kehati.

“Kebetulan kemarin ada kerjasama dengan Kehati. Tak semua bisa dilabeli. Baru 500 papan bisa disiapkan.”

Seluruh bibit itu milik warga  yang tergabung dalam Rimbawan Muda. Anggota 17 orang,  adalah ibu rumah tangga.

Bibit-bibit mangrove yang diusahakan yayasan Aziil dan para ibu rumah tangga. Foto: Wahyu Chandra

Bibit-bibit mangrove yang diusahakan yayasan Aziil dan para ibu rumah tangga. Foto: Wahyu Chandra

Ibu-ibu ini alumni sekolah lapang pembibitan yang digagas Aziil beberapa tahun lalu. Mereka terampil membibit  termasuk membedakan jenis mangrove.

Lokasi pembibitan sebenarnya terbentuk sejak 1990-an. Kala Aziil bersama beberapa teman membentuk YPMMD. Awal berdiri mereka fokus  penyelamatan pesisir. Mereka memungut bibit-bibit berserakan di pantai, yang terbawa ombak dari berbagai daerah.

“Kami yakin bibit-bibit mangrove terdampar di sini banyak dari Mamuju bahkan Kalimantan.”

Tidak hanya membibit dan menanam mangrove, YPMMD juga mengadvokasi warga sekitar tidak lagi menebang  di kawasan itu.

Penebang mangrove sebenarnya  banyak nelayan pendatang yang  tinggal sementara di situ. Mereka mengambil mangrove untuk bahan bakar. “Kami  sampaikan  sebaiknya jangan tebang mangrove. Kini  tak ada lagi. Mungkin karena ada tabung gas tiga kg,  mudah dibawa-bawa.”

Pada mulanya, YPMMD membibit sekadar dibagi-bagikan kepada warga. Sejak 2010, muncul keinginan bersama menjual bibit.

Penjualan bibit ini bermula ketika PT Inhutani Mamuju memesan bibit mangrove 110.000 pohon. Mereka mendapat bayaran cukup besar. “Ibu-ibu kerja suka rela tanpa gaji. Yayasan pun menyiapkan polybag. Kami kasih makan siang. Setelah menghasilkan mereka tak mau diberi makan siang. Toh kepentingan bersama juga.”

Terdapat sekitar 400 ribu bibit mangrove diproduksi pertahunnya di kawasan ini, dari berbagai jenis mangrove. Ini sekaligus menjadi sumber mata pencaharian warga. Foto: Wahyu Chandra

Terdapat sekitar 400 ribu bibit mangrove diproduksi pertahunnya di kawasan ini, dari berbagai jenis mangrove. Ini sekaligus menjadi sumber mata pencaharian warga. Foto: Wahyu Chandra

Bibit-bibit ini dijual Rp700. Pelanggan dari pemerintah dan perusahaan. Dari penjualan ini, warga mendapatkan Rp300 per batang, selebihnya YPMMD.

“Jika mereka punya 1.000 bibit, ya dapat Rp300.000. Sekali jual bisa 10.000-20.000 bibit. Baru-baru ini dari Lingkungan Hidup Rp20 juta. Mereka bagi hasil merata ke anggota dan lembaga.”

Untuk menghasilkan bibit siap tanam memerlukan waktu tumbuh tujuh sampai delapan bulan. Kadang juga ada bibit sampai dua tahun. Bibit lama biasa dipotong dipindahkan ke polybag lain, untuk menghambat pertumbuhan.

Kala mendampingi ibu-ibu, katanya, hal paling ditekankan bagaimana mereka memperlakukan mangrove bak merawat anak sendiri.

Aziil mengajak kami ke bagian depan pantai. Tempat warga dan siswa pecinta alam menanam beberapa bulan lalu. Air setinggi mata kaki.

“Itu daerah terluar masih bisa ditumbuhi Aviecenna. Umur sekitar enam bulan. Kalau paling dekat ini Rhizophora styloza. Ini dua tahun. Kelihatan kecil karena tak cocok tanam di sini.”

Lokasi itu, kawasan yang dipenuhi karang mati karena marak pengeboman dan racun ikan era 1990-an. Menaman mangrove di sini biasa diistilahkan menumbuhkan mangrove di pantai berbatu karang.

Tahun 1990-an, katanya,  marak penangkapan ikan dengan bom dan racun hingga merusak terumbu karang di sini. Karang mati. “Dulu,  banyak tak percaya kalau mangrove bisa tumbuh. Bahkan peneliti dari luar negeri juga tak percaya. Saya membuktikan itu bisa.”  Rhizophora dikenal hanya bisa di lahan masih berlumpur.

Perawatan yang dimaksud Aziil, rutin membersihkan karang atau tiram yang menempel di batang mangrove,  per bulan hingga tanaman melewati usia kritis, yaitu dua tahun. Dengan pendekatan ini keberhasilan mangrove tumbuh bisa 60%.

Rhizophora meskipun tanaman laut namun batang tak tahan air. Luka di batang karena kerang dan tiram bisa membuat kering dan mati.

“Supaya tumbuh baik, gunakan propagul jangan bibit. Kita gali karang dengan linggis ketika laut surut dan diberi sedikit tanah sebagai pemancing.”

Kreativitas Aziil  ternyata menarik minat sejumlah peneliti asing datang dan belajar. “Mereka selalu bilang ini tak mungkin, tapi sudah lihat hasil dan bisa.”

Menurut Aziil, menghijaukan pesisir bukanlah mudah. Apalagi di daerah itu dia sebagai pendatang karena dari Ternate, Maluku Utara. Larangan tak menebang mangrove kadang tak digubris warga.

Namun penentangan perlahan berkurang dan sekarang tak ada. Warga menyadari manfaat mangrove, tidak hanya ekonomi, juga tangkapan ikan, kepiting dan usaha pembibitan. Mangrove juga benteng pelindung dari ombak dan degradasi pantai.

Atas usaha selama ini, Aziil mendapatkan banyak penghargaan dari pemerintah. Antara lain, 1993 dia menerima Pemuda Pelopor dari Presiden RI.

Pada 2003, Aziil menerima Kalpataru dari Presiden Megawati. Terakhir 2013, menerima Satyalencana, diserahkan Wakil Presiden RI, Boediono. Tahun ini, Aziil dinominasikan menerima Kehati Award dari Yayasan Kehati.

Ini adalah kawasan yang telah ditanami oleh Aziil bersama warga sejak tahun 1990 silam. Luasnya kini mencapai 40 hektar, meski yang tercatat di pemerintah hanya 20 hektar. Foto: Wahyu Chandra

Ini adalah kawasan yang telah ditanami oleh Aziil bersama warga sejak tahun 1990 silam. Luasnya kini mencapai 40 hektar, meski yang tercatat di pemerintah hanya 20 hektar. Foto: Wahyu Chandra

Aziil berharap, kawasan kelola ini kelak menjadi Mangrove Learning Center di Sulbar bahkan Sulawesi. Dia berkeinginan bisa membangun kawasan ekowisata.

“Saya rencana membuat tree to tree. Jembatan antarpohon ke pohon. Lalu ada flying fish, seperti terbang ke laut. Atau juga path away atau jalan-jalan setapak dengan bambu.”

Aziil berharap ada kemitraan dari lembaga lain dalam pengembangan kawasan itu.“Saya rencana mengusulka ke Kehati kalau mereka mau menjadikan tempat ini pusat mangrove mereka. Seperti taman Kehati di Sumatera. Kehati bisa klaim dan pasang plang kalau ini milik mereka.”

Menanam mangrove kadang banyak gagal. Kata Aziil, disebabkan beberapa faktor, seperti tidak mempertimbangkan kondisi lahan. “Kalau Majene jangan gunakan bibit, lebih cocok propagul. Tapi kan pemerintah tak senang propagul karena biaya kecil. Hanya Rp100. Bandingkan dengan bibit Rp700.”

Di proposal, mereka biasa mencantumkan harga bibit per batang Rp1.900, harga beli cuma Rp700. “Tidak hanya untung selisih harga, dari volumepun bisa dimainkan. Tertulis 50.000 pohon, cuma beli bibit 10.000 bibit, misal. Mereka bisa untung banyak dari situ.”

Pemilihan waktu tanam juga menentukan keberhasilan. Pada bulan-bulan tertentu ombak tinggi membuat bibit sulit bertahan.  “Kalau propagul bisa kapan saja karena ditancapkan dan diberi penahan. Selama ini, orang hanya berpikir menanam mangrove, tak peduli tumbuh atau tidak. Seharusnya, kita gunakan istilah menumbuhkan mangrove, bukan menanam.”

 

 

 


Aziil Anwar, Penanam Mangrove di Batu Karang was first posted on January 4, 2015 at 11:55 am.

Mereka yang Setia Berkarya dengan Serat dan Warna Alami

$
0
0
Bahan-bahan pewarna alami yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Foto: Luh De Suryani

Bahan-bahan pewarna alami yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Foto: Luh De Suryani

“Kalau di Tenganan hemat, tidak perlu beli banyak kamen (kain) dan kebaya karena kami selalu pakai kain geringsing kalau ke pura.” Begitu komentar Ni Ketut Sumiartini, penenun bahan alami ketika mendengar perempuan Bali mengeluarkan biaya mahal untuk trendi dengan kebaya dan kain-kain baru.

Tenganan Pegringsingan, desa kecil terkenal dengan ritual dan tradisi di Kabupaten Karengasem, sekitar dua jam dari Denpasar. Industri tenun dengan pewarna alami dan desa ekowisata bersinergi di sana.

Kain geringsing dari kata gering (sakit) dan sing (tidak) artinya tidak sakit. Konon, mengenakan kain ini, bisa menghindar dari bahaya penyakit atau wabah. Karena itu termasuk sakral, hanya dikenakan sembahyang atau spiritual lain. Tiap ritual, misal, Perang Pandan,  sangat terkenal di Tenganan, laki atau perempuan terlihat elok, tubuh terlilit kain warna tanah dominan merah kecokelatan, hitam, dan kekuningan.

Kain diciptakan dengan alat tenun bukan mesin atau cagcag ini tergolong mahal. Bukan hanya karena nilai kesakralan, tetapi ketekunan pewarnaan bahan alami.

“Menenun kain ini paling seminggu selesai, tetapi menunggu pewarnaan benang bisa sampai tiga bulan,” kata Sumiartini. Dia menunjukkan, selembar selendang, panjang 1,5 meter dan lebar 30 sentimeter. Harga sekitar Rp900.000. Jadi, selembar kain 2×1 meter bisa Rp2 juta.

Hasil tenun perempuan ini tidak diberi merek khusus, seperti produksi perajin geringsing lain di Tenganan. Kain dijual atas nama suami, I Putu Suarjana yang sering pameran, seperti dalam Swarna Fest 2014 dihelat 4-7 Desember di Denpasar. Acara ini khusus perajin yang setia menggunakan serat dan warna alami.

Jika ingin menikmati sebagian besar produksi kain geringsing dengan teknik ikat ganda (double ikat), lebih asyik langsung ke Desa Tenganan Pegringsingan. Ini termasuk desa kuno, dengan deretan pemukiman tradisional Bali zaman dulu dan etalase kain geringsing di sebagian rumah warga.

Warga melestarikan sumber pewarna alami di hutan desa. Misal, kemiri diambil minyak untuk warna kekuningan. Tenganan membuat peraturan adat tertulis (awig-awig) melarang menebang pohon sembarangan di hutan desa. Akar pohon mengkudu memberi warna merah disebut makin jarang dan mulai didatangkan dari Lombok.

Untuk menjaga desa dari penumpukan limbah, Tenganan juga menerapkan aturan pelarangan usaha pencelupan walau semua pewarna alami, seperti kulit akar sunti atau mengkudu (Morinda citrifolia), nila/taum (Indigofera tinctoria). “Pusat pencelupan di desa lain, Bugbug karena ada awig-awig tak mencelup di sini.”

Selain akar mengkudu dan indigofera, juga  kunyit (Curcuma domestica), pinang (Areca catechu), bunga sidawayah (Woodfordia floribunda), secang ( Caesalpinia sappan L.), kulit delima (Punica granatum), loba (symplocos), daun mangga (Mangifera indica), dan lain-lain.

Bahan tenunan Sumiartini dan kain geringsing. Foto: Luh De Suryani

Bahan tenunan Sumiartini dan kain geringsing. Foto: Luh De Suryani

 Ada perajin, I Wayan Karya dari Dusun Kangin, Desa Seraya Timur, Karanagsem. Dia melestarikan kain bebali untuk upacara,  sebagai busana, maupun penghias pratima (simbol dewa-dewa). Ia berbahan kapas budidaya sekitar desa. Kapas dipintal manual dengan jantra, oleh ibu-ibu anggota Kelompok Karya Sari Warna Alam.

Ada juga Siti Malikhah dengan merek Batik Manggur dari Probolinggo, Jawa Timur di Swarna Fest. Dia cekatan membuat batik canting sambil menjual hasil karya. Ketapang menjadi salah satu sumber warna alami.

Perajin-perajin khas daerah ini  berdampingan dengan perajin akademis dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang fokus pada aplikasi pewarnaan alami bukan tenun. Misal, merek Skinesics Barkcloth by Intan Prisanti. Dia mendesain  baju-baju perempuan dan tas  olahan kulit  murbei dicelup warna biru dari daun indigo.

Euis Saedah, Dirjen Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian mengatakan, tak  memerangi sintetis atau warna kimiawi tetapi serat alam hadir untuk menyadarkan Indonesia punya warisan kaya budaya dan ekonomi. “Kenapa dibiarkan?”

Dia ingin konsep dan warna serat alami ini bisa distandardisasi menjadi rangkaian industri berkelanjutan. Misal, tak sembarang membuat serat dan pewarna alam yang bertentangan dengan lingkungan.

Euis mendorong industri dan perajin memanfaatkan limbah organik pewarna alami. “Sampah teh celup disebutkan 10 ton per bulan dari produksi teh botol.” Dari pengalaman, warna hasil celupan limbah teh celup ini bagus.

Swarna Fest memberikan edukasi pada publik soal pewarnaan kimia dan alami. Dalam papan pengetahuan tertulis, pewarna alami disebut digunakan sebelum 1856 ketika zat kimia sintetis ditemukan ilmuwan Inggris William Henry Perkin. Ini yang membuat industri tekstil mudah beralih ke warna kimiawi. Kelemahan pewarnaan alami di antaranya pencelupan lama bisa 20-50 kali, warna monoton seperti biru, coklat, hitam, tidak praktis serta bahan baku tumbuhan terbatas karena tak dibudidayakan.

Pada 1995 digelar konferensi ecolabeling di Geneva menghasilkan pelarangan produk tekstil menggunakan bahan senyawa AZO yang bisa memicu kanker.

Sejak 1996, ada aturan di Jerman melarang penjualan produk  senyawa ini karena berdampak pada penggunaan minimal 10 tahun lewat oral dan kulit. Penelusuran Balai Besar Industri Kerajinan dan Batik menyebutkan, sebagian besar perajin batik di Indonesia,  dengan warna sintetik menggunakan  senyawa AZO.

Untuk itu, katanya, penelitian warna alami harus segera dilakukan,  inventarisasi tumbuhan menentukan teknologi tepat guna dan perlu katalogisasi warna alam, rekayasa powderisasi, identifikasi zat, serta lain-lain.

Tanun sutra dengan pewarna alami. Foto: Luh De Suryani

Tanun sutra dengan pewarna alami. Foto: Luh De Suryani


Mereka yang Setia Berkarya dengan Serat dan Warna Alami was first posted on January 5, 2015 at 2:58 pm.

Menteri Agraria Janji Percepat Pengakuan Wilayah Adat, Menteri LHK Siapkan Satgas

$
0
0

Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra

Koalisi masyarakat sipil di penghujung Desember 2014, roadshow ke beberapa kementerian, seperti Kementerian Agaria dan Tata Ruang, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, guna mendesak percepatan pengakuan hak wilayah masyarakat adat. Mereka membawa hasil penelitian Perkumpulan HuMA di 13 wilayah adat yang bisa menjadi model. Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan menyambut positif dan meminta waktu enam bulan buat menyelesaikannya.

Dia mengatakan, salah satu roadmap kementerian ini adalah pengakuan dan pemberian hak kepada masyarakat adat. “One map policy,  salah satu jalan menyelesaikan konflik tenurial melibatkan masyarakat adat. Saya akan follow up penelitian di 13 wilayah ini. Saya kira ini menyangkut kebijakan di daerah. Saya akan kirim surat,” katanya, siang itu.

Ferry akan memperlajari 13 wilayah adat hasil penelitian HuMA sekaligus meminta konfirmasi pemerintah daerah untuk mengeluarkan wilayah adat dari kawasan HGU. “Saya minta waktu enam bulan selesaikan ini.”

Menurut dia, penyelesaian konflik tenurial berkaitan dengan HGU, lebih mudah. Kawasan berkonflik bisa dikeluarkan asal betul-betul menjadi milik komunal, bukan pribadi. “Nanti kita identifikasi supaya tidak menjadi wilayah yang dimiliki siapapun. Pemerintah punya mekanisme sendiri.”

Dia telah meminta kepala daerah seperti Kalimantan Barat, Papua, dan lain-lain memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. “Tak usah banyak-banyak dulu. Satu hingga lima dulu. Apakah pengakuan dalam perda, SK atau yang lain. Kalau sudah, kita panggil yang bersangkutan untuk keluar dari HGU.”

Ferry mengatakan, masyarakat adat atau lokal yang sudah lama di kawasan HGU harus dihormati.

“Paling penting bagi kami, bagaimana mem-foĺow up putusan mahkamah konstitusi. Memang tidak mudah. Kita akan ukur ulang. Hampir semua perusahaan HGU takut pengukuran ulang. Karena batas tidak jelas.”

Untuk itu, pihaknya akan mengirimkan surat kepada pemerintan daerah guna memastikan identifikasi ini hingga bisa disiapkan hak komunal masyarakat adat. “Kementerian ini menegaskan tak hanya pada masyarakat adat, juga masyarakat dalam kawasan HGU.”

Dia juga mengatakan, Agraria ingin memberikan pengakuan masyarakat di wilayah perbatasan. “Ini sangat penting. Soal rasa nasionalisme. Ketia dia di kawasan Indonesia sementara tidak punya hak apapun, ketika disuruh geser oleh negara tetangga ya geser begitu saja,” katanya.

Untuk itu, masyarakat adat di perbatasan harus ada kepastian hak agar mempertahankan eksistensi tanah dan negara. “Ini langkah strategis. Kita coba di beberapa wilayah perbatasan.”

Mandat peraturan bersama

Myra Savitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute mengatakan, kurun waktu enam bulan merupakan mandat peraturan bersama Menteri Dalam Negeri, Agraria, Pekerjaan Umum dan LHK,  yang keluar Oktober 2014. Perber itu memerintahkan penyelesaian konflik tenurial di kawasan hutan selama enam bulan.

“Persoalannya, kantor pertanahan di daerah belum mengetahui peraturan bersama ini. Ada persoalan persepsi yang perlu diluruskan bersama. Karena itu petunjuk teknis,  saya kira mendesak. Kalau memungkinkan proses dibuka hingga melibatkan pihak-pihak yang mengetahui persis persoalan di lapangan.”

Myrna menyinggung, pemerintab daerah yang mengeluarkan perda pengakuan masyarakat adat. “Kemudian pemda itu bertanya, kalau sudah keluar perda apa jaminan tanah itu diakui oleh BPN?  Apakah proses otomatis, atau harus mengikuti proses lain? Pengetahuan soal ini di lapangan masih belum sama.”

Dia menekankan, Menteri Agraria perlu memberikan arahan dan membuat kesepakatan antarkementerian untuk menjawab permasalahan ini.”Kemudian tentu one map adalah hal yang baik. Tetapi hal harus kita perjuangkan satu administrasi pertanahan,” katanya.

Sebenarnya, kewenangan BPN harus menjangkau kawasan hutan. Namun, kesalahkaprahan selama bertahun-tahun, membuat kewenangan itu berkurang. Dia berharap, kementerian ini bisa menyelesaikan kesalahkaprahan itu.

Menanggapi itu, Ferry mengatakan, kurang suka membuat petunjuk teknis karena daerah tak akan membaca. “Saya lebih tertarik membuat surat isi selembar, dua lembar. Kemudian bertemu yang bersangkutan. Saya kira dengan itu banyak hal bisa dilakukan.”

Menurut Ferry, petunjuk teknis biasa hanya dibaca saat ada masalah. Karena itu, dalam meningkatkan pelayanan, dia lebih senang memakai pola sidak. Dia ingin memperbaiki pelayanan dengan membuka komunikasi bersama masyarakat seluas-luasnya. Salah satu, media sosial.”Jadi kalau ada ngadu ke saya di twitter, saya langsung lempar ke kantor BPN terkait untuk segera diselesaikan. Agar berani menjawab keluhan warga.”

Tinjau HGU

Nurul Firmansyah, Koordinator Program Perkumpulan HuMa,  mengatakan, penelitian HuMA merespon putusan MK 35. “Kita menemukan dua hal. Pertama, mengidentifikasi apakah masyarakat adat masih ada di lapangan? Tentu sesuai indikator perundang-undangan. Kedua, mereview hukum. Apakah sudah ada kebijakan daerah sebagai prasyarat terkait pengakuan masyarakat hukum adat?” katanya.

Dari riset di 13 lokasi menunjukkan, de facto masyarakat hukum adat ada. Namun, keberadaan mereka tumpang tindih dengan kawasan hutan dan belum semua mendapatkan pengakuan. Juga tumpang tindih di HGU. “Ada diakui melalui perda, ada lewat SK Bupati. Persoalan perda terkait penguasaan tanah di kawasan hutan, harapan kami 13 wilayah  ini bisa menjadi momentum ujicoba permen terkait dengan identifikasi dan verifikasi hak ulayat di kawasan hutan.”

Nurul meminta, Menteri Agraria me-review izin. “Baik HGU sesuai proses hukum, memperhatikan hak masyarakat adat atau tidak. Itu perlu diselidiki lebih lanjut.”

Sardi Razak, Ketua AMAN Sulawesi Selatan menceritakan,  soal masyarakat adat Kajang. “Wilayah masyarakat Kajang sangat kompleks. Ini berkaitan HGU PT London Sumatera luasan masuk wilayah adat 2.985,52 hektar. Ini menimbulkan konflik berkepanjangan.”

“Dengan HGU itu, berharap menteri meninjau ulang. Ini sangat berdampak pada kehidupan mereka.”

Nia Ramdaniati dari Rimbawan Muda Indonesia mengadukan hal sama di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. “PT Havea Indonesia HGU habis akhir Desember 2013. Sampai hari ini HGU tidak terbit.  Luas HGU 310 hektar dikelola 800 petani. Sejak awal, masyarakat menolak dan meminta HGU tidak diperpanjang. “Kami berharap menteri meninjau ulang agar HGU tak diperpanjang.”

Siapkan Satgas penyelesaian konflik

Setelah audiensi dengan Ferry, rombongan bergerak menuju Manggala Wanabakti. Mereka bertemu Siti Nurbaya, Menteri LHK. Topik masih sama, soal konflik agraria hingga UU P3H.

Siti mengatakan, Kementerian LHK sedang merancang satgas penyelesaian konflik tenurial dan masyarakat adat. Dia mengatakan 13 wilayah penelitian HuMa bisa jadi model penyelesaian konflik tenurial. “Kita selama satu-dua bulan ini sedang memikirkan dan merumuskan kira-kira bagaimana pengertian hutan untuk kesejahteraan rakyat. Semua stakeholder memformulasikan ulang agar lebih jelas legalitasnya.  Apa yang disebut hutan kemasyarakatan, desa, tanaman rakyat dan lain-lain.”

Satgas ini, katanya,  akan memverifikasi identitas masyarakat adat, wilayah teritorial, perspektif hukum terkait legalitas dan legitimasi. Pedoman ideal ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah. “Jangan lupa masyarakat adat dan di luar itu dalam kaitan dengan wilayab teritorial juga membawa pesoalan konflik. Ini harus teridentifikasi dengan baik,” ujar dia.

Selama ini, katanya, kalau ada persoalan, pemerintah menggiring penyelesaian di ranah hukum. “Padahal itu tidak sama dengan keadilan. Kalau ke ranah hukum, biasa asal dokumen cukup, yang menang. Masyarakat kalah.”

Siti mengatakan, kerja satgas nanti sampai resolusi konflik. “Bagaimana menyelesaikan konflik, permasalahan hukum, review perizinan, dan lain-lain.” Bahkan, katanya, LHK sedang memikirkan bagaimana memfasilitasi registrasi wilayah adat secara berkeadilan dan setiap pengambilan kebijakan terkait masyarakat adat/lokal sesuai pedoman yang akan diberikan kepada semua stakeholder.  “Kira-kira nanti arah kerja seperti itu.”

Satgas ini, tak hanya bicara di tataran pemerintah pusat juga harus kuat interaksi dengan pemerintah daerah. Fasilitasi kepada pemerintah daerah, katanya,  tidak hanya mendorong lahir perda pengakuan masyarakat adat, juga registrasi dan resolusi konflik.

“Kita tak usah ragu pemerintahan Jokowi mempertegas pengakuan masyarakat adat di berbagai sektor. Dalam lingkungan hidup sangat berbeda. Saya menerjemahkan sebagai kebijakan berpihak rakyat.”

Sumber air terjaga baik. Sungai di komunias adat Taa-Wana, Sulteng, jernih dan menjadi sumber air bagi warga sekitar. Baik buat keperluan sehari-hari maupun irigasi pertanian bagi warga sekitar, terutama yang berada di hilir. Foto: perkumpulan HuMA


Menteri Agraria Janji Percepat Pengakuan Wilayah Adat, Menteri LHK Siapkan Satgas was first posted on January 6, 2015 at 9:32 pm.

Mongabay Travel: Pesona “Perut” Karst Pangkep

$
0
0
Ornamen dalam Gua Kalibong Alloa. Foto: Indra Permana

Ornamen dalam Gua Kalibong Alloa. Foto: Indra Permana

Hari itu, Sabtu  (27/12/14), kami menuju Gua Kalibong Alloa, di tebing curam pegunungan karst, Desa Belae, Kecamatan Minasa Te’ne, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Ia masuk kawasan Taman Nasional Bantimurung- Bulusaraung. Dalam bahasa setempat Kalibong berarti lubang dan Alo adalah penamaan untuk burung Julang Sulawesi.

Saat tiba di mulut gua, cucuran keringat dan beberapa luka lecet karena goresan batu karst tajam, menjadi tak berarti. Hamparan pemandangan bikin saya terpukau. Kendaraan 4WD yang membawa kami di pinggiran desa, terlihat seperti mainan anak-anak. Sekecil jempol. Hamparan sawah berpetak-petak kecil, seperti buatan anak sekolah dasar saat menggambar. Begitu menyenangkan.

Tiga jam kemudian, semua anggota tim berada di mulut gua. Tiga tenda didirikan dan peralatan masak dikeluarkan. Pukul 16.00 kami memasuki Kalibong Alloa.

Ornamen tirai pengantin. Foto: Eko Rusdianto

Ornamen tirai pengantin. Foto: Eko Rusdianto

Menakjubkan

Desember adalah awal musim hujan di sebagian wilayah Sulsel. Beberapa kali saat berkendara dari Makassar menuju Pangkep, harus berhenti berteduh. “Apakah di gua akan basah dan berair,” kata saya kepada Indra anggota tim lain yang beberapa kali mengunjungi Kalibong.

“Mungkin. Susah menebak. Sepertinya cukup kering,” katanya.

Bagai latihan baris berbaris, satu persatu kami memasuki ceruk gua yang tak begitu luas. Berjalan dengan menenteng kamera, menjaga kepala dari benturan dan memperhatikan pijakan kaki yang mulai licin. Sekitar lima meter, ruangan besar tepat di hadapan, seperti aula sekolah yang menampung ratusan bahkan ribuan murid.

Seakan tak berada dalam gua. Udara tak lembab. Plafon gua di hiasi stalagtit, di dinding-dinding gua ada ornamen gorden, lantai berdiri stalagmit, terdapat danau-danau kecil,  hingga aliran air dari batuan kalsit berkilau.

Yunus Muhammed, Kepala Resort Minasa Te’ne Pangkep Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mengatakan, Kalibong Alloa memiliki panjang 1,2 kimoleter. Salah satu bagian ada rute vertikal sedalam 90 meter.

Rute awal menuju gua Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto

Rute awal menuju gua Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto

Di pertengahan perjalanan kami, Yunus berhenti dan memperkenalkan ornamen yang dinamakan tirai pengantin. Ornamen ini tak lain gorden lebar.  Saat disorot lampu, kilau seperti kristal. Putih bersih.

Pada ujung-ujung masih menetes air  dan membentuk ornamen lain dari dasar lantai gua. Proses inilah yang disebut sebagai karstifikasi. Air hujan yang merembes melalui punggung-punggung karst membuka celah atau retakan dan menyimpan dalam batuan. Perjalanan membentuk ornamen gua, melalui proses kimia dari unsur air (H2O), udara (O2), dan karbon (CO2) yang larut bersama kalsit (CaCO3). Pada dasarnya sama dengan pembentukan karang di bawah laut.

Kami juga menemukan pilar, yakni proses panjang puluhan bahkan ratusan tahun yang menyatukan stalagtit dan stalagmit. Tak hanya satu pilar, ada puluhan.

Kami juga terbalalak menyaksikan aliran kalsit dari plafon gua hingga lantai. “Kami menamakan air terjun beku,” kata Yunus.

Ungkapan itu tak keliru. Aliran-aliran kalsit yang membeku itu seperti gelombang air meliuk mengikuti lekukan tebing. Sangat indah. Putih bak salju. Saya meminta izin memegang dan meraba, seperti parutan kecil kasar.

Empat jam menjelajah perut Kalibong terasa begitu singkat. Kami mencoba mematikan lampu dalam kegelapan. Saat keluar, sudah pukul 20.00. Kami disambut pendar kecil cahaya bintang.

Sebagian rusak

Langkah kami berhenti di aula pertama,  saat menapaki jalan awal gua. Dengan senter kepala, Yunus menyorot puluhan stalagmit patah. Dia menunjuk inti stalagmit berwarna coklat dan mencoba menjelaskan guratan-guratan seperti pada batang pohon.

Salah satu ornamen dalam Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto

Salah satu ornamen dalam Kalibong Alloa. Foto: Eko Rusdianto

Stalagtit, stalagmit dan beberapa ornamen gua lain, katanya,  adalah langkah awal memprediksi iklim masa lalu. “Jika semua rusak seperti ini,  itu salah satu kecelakaan dalam ilmu pengetahuan.”

Di beberapa bagian gua, terdapat beberapa ornamen rusak. Patahan berhamburan di lantai. “Orang-orang yang mencari bongkahan batu giok. Mereka menghancurkan dan mencari inti batuan, padahal ornamen gua yang dibentuk air itu sangat rapuh.”

“Saya kira dibentuk bagaimanapun, inti ornamen gua itu bukanlah hiasan untuk manusia. Ornamen adalah hiasan gua, menjaga kelembaban dan menyimpan misteri ilmu pengetahuan,” ucap Yunus.

Siti Chadidjah, Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, yang ikut rombongan mengatakan, akan menjaga dan melindungi gua-gua kawasan ini. “Ada usulan membuat tangga menuju Kalibong,  saya kira itu tak penting.”

Menurut dia, membuka akses dengan membangun anak tangga akan membuat kunjungan berlebihan. Padahal, ada banyak kemungkinan, kelembaban dan biota gua bisa terganggu. “Coba bayangkan, rute terjal dan susah seperti ini saja, gua sudah dijamah dan mulai rusak.”

Pukul 09.00, diskusi kami usai di mulut Kalibong. Sarapan, kopi dan gelas-gelas teh sudah habis terteguk melewati kerongkongan. Kami bersiap kembali dan melewati jalur terjal. Satu persatu dipandu menggunakan tali.

Di tebing ini, bagi penjelajah pemula, harus abseil – meluncur turun dengan menapak tebing menggunakan tali – seseorang di bagian bawah lain bertugas sebagai bilayer (mengatur laju penurunan).

Saat kami tiba di pinggiran desa, semua bergegas membersihkan sepatu dari lumpur. Meski kelelahan, semua bersuka cita.

Salah satu rute menuju gua Kalibong Alloa. Foto: dokumentasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Salah satu rute menuju gua Kalibong Alloa. Foto: dokumentasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Yunus (paling kanan) menjelaskan inti stalagmit di depan bongkahan yang dirusak para pencari batu giok. Foto: Eko Rusdianto

Yunus (paling kanan) menjelaskan inti stalagmit di depan bongkahan yang dirusak para pencari batu giok. Foto: Eko Rusdianto

 


Mongabay Travel: Pesona “Perut” Karst Pangkep was first posted on January 6, 2015 at 11:13 pm.

Soal Hutan Kelola Rakyat pada 2015, Berikut Kata Kementerian LHK

$
0
0

Kampung komunitas adat Pekasa, masih tampak puing-puing pepohonan yang dibakar tim gabungan bersama rumah-rumah warga beberapa tahun lalu. Kampung mereka di tengah hutan nan asri terjaga di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa. Masyarakat adat ini hidup damai bersama hutan tapi tak damai oleh pemerintah. Mereka diusir, kampung dibakar dengan alasan bermukim di kawasan hutan, padahal di balik itu izin-izin tambang telah dikeluarkan pemerintah kepada pengusaha. Bagaimana nasib hutan dan masyarakat adat ini ke depan? Akankah komitmen pemerintahan baru akan menjadi angin segar bagi mereka? Foto: Sapariah Saturi

Satu masalah besar negeri ini adalah ketimpangan penguasaan lahan. Pemegang kuasa lahan didominasi pengusaha dan pemerintah dan warga makin terhimpit. Konflik lahan dan sumber daya alam terjadi di berbagai daerah.

Visi misi Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, salah satu dalam Nawa Cita, tercantum komitmen reforma agraria dan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Dari komitmen itu, terjabarkan, komitmen distribusi lahan kepada rakyat seluas 9 juta hektar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menargetkan kemitraan 40 juta hektar kawasan hutan kepada warga. Rencana ini diyakini bisa mulai berjalan pada 2015.

San Afri Awang, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, dari 9 juta hektar distribusi lahan itu, sekitar 4,5 juta hektar dari kawasan hutan. “Kalau nanti diambil 4,5 juta hektar buat land distribution,  ya kurangi dari kawasan ini (target 40 juta hektar),” katanya, Desember lalu di Jakarta.

Sedang pola kemitraan, target per tahun delapan juta hektar, terbagi dalam dua tipe. Pertama, bagi 35 juta hektar kawasan hutan yang sudah terbebani izin konsesi bisa kemitraan antara warga dan pemegang izin. Kala ada konflik di kawasan ini,  pemerintah akan hadir menyelesaikan dan menawarkan kemitraan.

Kedua, kemitraan warga dan negara pada 30 jutaan hektar–dari 66 juta hektar total hutan produksi –yang belum terbebani perizinan. Dari jumlah ini, katanya, sebagian kemungkinan diberikan kepada 30 ribuan desa yang ada di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Juga buat warga yang memerlukan lahan, misal bencana erupsi Sinabung hingga perlu lahan rekolasi. “Salah satu buat itu. Itu maksudnya.”

Siapa tangan negara yang akan menjalankan? “Ada unit pelaksana teknis di lapangan tergantung case nanti apa dengan balai, KPHP dan lain-lain. Sudah ada kelembagaan semua.”

Di yakin, target kemitraan 8 juta hektar per tahun mulai berjalan pada 2015. Menurut dia, aturan mengenai kemitraan sebenarnya sudah ada sejak lama hanya berjalan lamban. Bagi San, bukan mustahil dari 35 juta hektar konsesi, kemitraan bisa 15 juta hektar. “Bisa jadi. Karena kan kita (pemerintah) masuk, negara hadir untuk tengahi kedua pihak.”

Bagaimana jika warga menolak kemitraan? “Negara harus  hadir di situ. Caranya bagaimana? Amandemen areal, tetap punya negara tetapi keluar dari pemegang izin.”

Namun, kata San, kalau desa atau wilayah itu diklaim hutan adat,  maka akan masuk skema adat. “Jadi walaupun di dalam ada pemegang izin dan ada klaim adat, kita urus,” ujar dia.

Dia mengakui, selama ini, pengakuan wilayah kelola masyarakat terutama wilayah adat belum berjalan. Alasan dia karena belum ada petunjuk. UU masyarakat hukum adat belum disahkan. Namun, saat ini, bisa mulai berjalan karena sudah ada peraturan bersama empat kementerian (Kementerian LHK, Pekerjaan Umum, Agraria dan Tata Ruang serta Kemendagri) yang terbit Oktober 2014.  “Dalam 2015, insya Allah bisa terealisasi.”

San menekankan, model kelola rakyat tak harus kemitraan. “Kalau kasus MK 35 (hutan adat), kita selesaikan dengan MK 35. Kalau kasus di luar itu,  ya di luar itu.”

Namun, kata San, dalam pelaksaaan atau teknis di lapangan tak mudah.  “Misal rakyat tuntut di sini, tapi yang tersedia (lahan) di sana. Apa mau rakyat pindah? Emang mudah? Itulah teknis sehari-hari hingga kadang-kadang target tak dicapai. Lebih rumit di tingkat teknis. Bukan kita tak mau.”

Menurut dia, alokasi ideal pengelolaan sumber daya alam yang sesuai UUD’45 itu, 30% pengusaha,  35% BUMN dan 30% rakyat. “Itu perintah UUD. Kalau bicara proporsional keadilan. Selama ini, buat rakyat sangat jauh…Kebijakan pemerintah kurang tepat.”

Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Humbahas, Sumut, hingga saat ini terus mempertahankan hutan adat (hutan kemenyan) mereka dari klaim pemegang izin. Akankah, pengakuan hutan adat mereka bisa terealisasi era pemerintahan saat ini? Foto: Sapariah Saturi

Jangan sebatas target

Menyikapi target pemerintah memberikan hak kelola hutan kepada rakyat ini, Christian Purba, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengingatkan, pengalaman pemerintahan lalu.

Bob, biasa dia dipanggil mengatakan, dalam lima tahun lalu pemerintah juga memiliki target pengelolaan hutan kepada rakyat seluas dua juta hektar, baik lewat hutan tanaman rakyat, hutan desa dan lain-lain. “Fakta bisa dilihat, hanya terealisasi 500 ribuan hektar… Artinya, ini memang bisa dikatakan sebuah kesempatan tetapi harus realistis, serius gak?”

Pengalaman lalu, katanya, masyarakat tak mudah mendapatkan izin hutan kelola karena peraturan rumit bahkan tata cara disamakan dengan perusahaan besar.

Begitu juga terkait pelaksanaan putusan MK 35, yang menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. “Sudah ada keputusan MK  yang pastikan hutan adat tetapi fakta bisa dilihat bersama, saat ini, setelah dua tahun belum terjadi apapun.”

Dia menyadari, dalam pelaksanaan ada kendala baik di pemerintah pusat, salah satu Kementerian Kehutanan, maupun di daerah. “Kalau komitmen serius, good will ada, apapun yang ditawarkan pemerintah bisa dilakukan.”

Togu Manurung, Badan Pengurus FWI mengatakan, keberpihakan pemerintah sangat penting kepada masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Lewat komitmen pemerintah saat ini semoga bisa berjalan. Namun, dia mengingatkan, dengan kelola hutan kepada warga bukan berarti hutan boleh rusak. “Masyarakat harus dapat kelola hutan dengan kearifan lokal, dan difasilitasi lembaga buat tingkatkan kapasitas mereka.”

Untuk itu, proses perizinan hendaknya lebih sederhana dan biaya tak mahal hingga tak menjadi kendala bagi warga.  Hal penting lain, katanya, batas kawasan hutan (tata batas) di lapangan harus jelas alias clear and clear. Persoalan ini, kata Togu,  menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan dalam penetapan kawasan hutan,  proses pun harus partisipatif.

“Ini jadi hal penting. Karena fakta ada ribuan kasus konflik lahan hutan dan jadi sumber konflik sosial dan faktor risiko serta ketidakpastian bisnis kehutanan. Akhirnya semua rugi. Ini harapan ke depan melalui Kementerian LHK, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, diharapkan bisa dipercepat.”

 


Soal Hutan Kelola Rakyat pada 2015, Berikut Kata Kementerian LHK was first posted on January 7, 2015 at 6:40 pm.

Curi Ikan, Polda Tenggelamkan 1 Kapal Asing di Perairan Belawan

$
0
0
Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan     Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto:  Ayat S  Karokaro

Kapal berbendera Malaysia diledakkan di Perairan Belawan karena melakukan pencurian ikan di wilayah laut Indonesia. Foto: Ayat S Karokaro

Pada Kamis siang (8/1/15),  satu kapal asing berbendera Malaysia, diledakkan dan ditenggelamkan Kepolisian Air (Polair) Polda Sumatera Utara di perairan Belawan. Kapal asing diduga mencuri ikan  itu, diamankan di 16 mil Timur Laut dari Pulau Pandan. Penenggelaman, dikomandoi Kapolda Sumut, Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo.

Kapal yang disidik kasus pencurian ikan ini, hancur. Suara ledakan terdengar kuat. Tidak berapa lama, kapalpun perlahan tenggelam ke dasar laut.

Eko menjelaskan, dalam operasi ini Polair mengamankan empat awak kapal warga Myanmar. Dari penyidikan, menemukan barang bukti ikan 1,5 ton. Juga bahan bakar minyak, dan ratusan bal pakaian bekas yang akan diseludupkan ke Indonesia melalui jalur laut Belawan. “Penangkapan pada 9 Desember 2014. Ikan 1,5 ton dilelang, dan uang masuk kas negara,” kata Eko.

Setelah diperiksa dan mendapatkan izin Ketua PN Medan, kapalpun ditenggelamkan. Empat tersangka, Chen, kapten kapal dan tiga ABK, yakni Kyaw, Banmin, dan Htyata, menjalani proses hukum.

“Kami berharap nelayan dan masyarakat umum bisa memberikan bantuan untuk memberitahukan dan memerangi illegal fishing. Kita tidak ingin kekayaan alam Indonesia dicuri terus. Mari sama-sama perangi, supaya nelayan gak lagi sulit mencari ikan.”

Ketika tatap muka dengan presiden, dia menyampaikan penting memperkuat Polair di jalur Sumut, karena wilayah ini daerah perbatasan dengan lalulintas paling ramai di Selat Malaka. “Kita selalu koordinasi dengan TNI AL.”

Yahya Sikumbang, Ketua Ikatan Nelayan Batubara, mengapresiasi tindakan Polda Sumut. Dia menyatakan, ratusan ton ikan di Selat Malaka, tiap hari dicuri. Sikap tarik ulur dari oknum penegak hukum, yang memberikan hukuman ringan, menjadi faktor kapal asing berani masuk mencuri ikan dan kekayaan laut.

Di Kabupaten Batubara, Asahan, dan Tanjung Balai, 187 nelayan protes sejak lima tahun terakhir, soal pencurian ikan ini. Namun, hanya pengabaian. Pendapatan mereka terus menurun tajam. Nelayan tradisional hanya mampu mencari ikan di pinggir laut. Belum lagi pukat grandong dan kapal penghancur bawah laut saat ini terus beroperasi, mengakibatkan tempat ikan bertelur dan menetaskan anak- hilang. Merekapun sulit mendapatkan ikan.

Kapal nelayanasing yang siap ditenggelamkan hasil tangkapan Polair Polda Sumut, bulan lalu. Foto: Ayat S Karokaro

Kapal nelayanasing yang siap ditenggelamkan hasil tangkapan Polair Polda Sumut, bulan lalu. Foto: Ayat S Karokaro


Curi Ikan, Polda Tenggelamkan 1 Kapal Asing di Perairan Belawan was first posted on January 8, 2015 at 11:12 pm.

Tolak Reklamasi Teluk Benoa, ForBali Surati Menteri Susi dan Kepala Bappenas

$
0
0
Aksi ForBali terus berlanjut menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suryani

Aksi ForBali terus berlanjut menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suryani

Mengawali 2015, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) mengirim surat kepada Menteri Kelautan dan Perikanan,  Susi Pudjiastuti dan Menteri Perencanaan Pembangunan Negara/Kepala Bappenas Adrinof Chaniago pada Senin (5/1/15).

Surat juga ditembuskan ke Presiden Joko Widodo dan kementrian terkait yang memegang peran kunci atas penerbitan izin lokasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dalam surat ini,  Susi diminta menghentikan segala proses perizinan dan mendorong Jokowi membatalkan Perpres 51 tahun 2014 yang memberikan lampu hijau pada investor buat reklamasi.

“Harus diwujudkan kebijakan konservasi di Teluk Benoa demi terpelihara kebudayaan maritim selaras lingkungan hidup,” kata Direktur Walhi Bali,  Suriadi Darmoko.

Sedang surat buat Adrinof Chaniago,  ForBali meminta penghapusan rencana reklamasi di Teluk Benoa dari perencanaan pembangunan nasional dan mencoret di skema Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). “Rencana reklamasi ini berkedok revitalisasi dengan membuat mega proyek wisata.”

Dalam Perpres sebelumnya, No 45 tahun 2011, Teluk Benoa termasuk kawasan konservasi perairan hingga tak boleh direklamasi. Kawasan ini perairan dangkal dengan ekosistem unik dan menjadi muara lebih dari lima sungai.

Ekosistem unik dengan hutan bakau, padang lamun, dan biota laut lain menjadi sumber penghasilan dan lokasi mancing para nelayan. Keunikan ini juga menarik investor untuk mengelola kawasan.

Kawasan ini, subur industri jasa wisata air yang dikembangkan warga di Tanjung Benoa. Sedikitnya empat banjar sejak awal menolak rencana reklamasi. Pengelolaan pariwisata berbasis desa dan kolektif diyakini lebih baik dibanding pengelolaan eksklusif oleh kelompok usaha tertentu.

Suriadi mengharapkan, Menteri Susi dan Presiden Jokowi mencermati proses perubahan kebijakan memuluskan reklamasi ini. Awalnya, muncul di skema MP3EI dengan mengubah peruntukan Teluk Benoa dari kawasan konservasi menjadi budidaya-zona penyangga hingga bisa direklamasi seluas 700 hektar. Inilah yang dituangkan SBY dalam Perpres 51/2014.

Padahal, sebelumnya sejumlah regulasi tak memungkinkan reklamasi di Teluk Benoa. Selain Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita juga Peraturan Menteri KKP No 17/2013 tentang perizinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Salah satu ayat menyebut reklamasi tak bisa dilakukan dalam kawasan konservasi.

Namun, perpres baru menjadi legitimasi investor dan mendapat izin lokasi dari Menteri KKP yang lalu Sharif C. Sutardjo. Saat ini, proses berlanjut dengan penyusunan dokumen Amdal di Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Ini mengabaikan penolakan masyarakat,” kata Arya Ganaris, Direktur Yayasan Manikaya Kauci.

Ganaris menyoroti, konsultasi publik tertutup dalam penyusunan Amdal. “Akses informasi terbatas karena dua kali konsultasi publik cenderung tak mengundang pihak kontra.”

Suriadi Darmoko, Direktur Walhi Bali menunjukkan surat yang dilayangkan kepada dua menteri Jokowi. Foto: Luh De Suryani

Suriadi Darmoko, Direktur Walhi Bali menunjukkan surat yang dilayangkan kepada dua menteri Jokowi. Foto: Luh De Suryani

Survei kuatkan penolakan

Sebuah survei pada September lalu, peneliti menemukan 64% penduduk Kabupaten Badung menolak rencana reklamasi di Teluk Benoa. Sekitar 9% warga setuju dan 27% tidak tahu.

Angka ini didapatkan dari wawancara 430 responden dalam penelitian kuantitatif metode multistage random sampling oleh Kadek Dwita Apriani, dosen muda perempuan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Udayana. Inisiatif survei dari diri sendiri.

“Ini survei opini publik terkait rencana reklamasi, karena biasa hanya untuk politik seperti pilkada. Yang tak turun ke jalan juga harus kita cek sikapnya,” kata Dwita.

Penduduk Badung, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 589 ribu jiwa. Sebanyak 430 responden tersebar proporsional di enam kecamatan. Makin ke selatan, warga menolak makin tinggi. Dwita menyimpulkan, karena lokasi reklamasi di Badung Selatan.

Warga tidak setuju reklamasi menyebutkan masalah utama di Badung masih banyak. Berturut-turut dari besaran persentase adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ketimpangan Badung Utara dan Selatan, penduduk pendatang yang tak tertata, lapangan kerj, dan masalah lingkungan seperti banjir.

Sedang yang setuju reklamasi sekitar 9% itu menyebut masalah terbesar Badung adalah infrastruktur seperti transportasi dan kondisi jalan, ketimpangan utara dan selatan, pendidikan, dan lain-lain.

“Kami tak menanyakan alasan kenapa mereka setuju karena ini penelitian kuantitatif. Itu bisa tergali dari penelitian kualitatif.”

Menurut dia, syarat survei bisa jalan jika transformasi informasi berjalan. Dari 79% responden yang mendengar atau tahu isu reklamasi ini, paling banyak mengetahui dari media online, sosial media, koran, dan obrolan komunitas.

Dwita berharap,  bisa meluaskan responden ke seluruh kabupaten agar lebih komprehensif. “Saya tak perlu takut sepanjang untuk kepentingan publik. Ini seperti cermin pro kontra masalah asalkan tak terpusat di oligarki, perselingkuhan penguasa dan pengusaha.”

Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali

Dari reklamasi Serangan sampai integritas peneliti

A.A Ngurah Anom Kumbara, guru besar dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, mengatakan, Bali tak bisa mengabaikan pariwisata tetapi harus berkualitas sesuai wilayah. Saat ini,  dari kajian sosial, Badung Selatan sudah tak layak karena kelebihan daya tampung. “Pariwisata budaya jangan hanya normatif, pelestarian pertanian jangan hanya jadi pendukung.”

Dia mengingatkan, reklamasi di Pulau Serangan yang membuat pulau menyatu dengan Pulau Bali dan ditambah luasan menjadi empat kali lebih besar. “Sekarang Serangan malah jadi (kawasan) marjinal, nanti bisa terulang lagi kekerasan ekonomi, struktural, dan lain-lain karena daya dukung Bali terbatas.”

Reklamasi di Serangan sekitar 1995-1998, yang akan disulap menjadi resor mewah namun sampai kini terbengkalai. Sedang ekosistem kadung rusak dan warga beralih lapangan pekerjaan. Lebih dari 15 tahun, warga Serangan masih berkutat memperbaiki pesisir. Sebagian besar daratan hasil reklamasi masih gersang berkapur karena menjadi lahan mangkrak yang dimiliki, PT BTID.

Kumbara menceritakan, sebelum reklamasi warga bisa mendapat uang sekitar Rp15.000 dari mancing ikan selama dua jam. Nilai ini besar ketika itu. Umpan ikan seperti udang kecil mudah didapatkan di hutan-hutan bakau sekitar.

Pesisir Serangan dan Teluk Benoa berdampingan. Tak heran, warga mengambil contoh ini sebagai refleksi.

Kumbara yang menjadi salah satu tim peneliti di Lembaga Pengembangan dan Penelitian Masyarakat Unud (LPPM) menyebut Unud sudah resmi menyatakan hasil penelitian pendahuluan tentang reklamasi tidak layak. Ini merevisi hasil tim kecil LPPM sebelumnya yang mendapat dana dari investor kala pemetaan awal.

Namun investor menunjuk peneliti luar Bali. Hasil studi baru disampaikan oleh pimpinan peneliti dari IPB Prof Dietriech Geoffrey Bengen. Pria ini menyimpulkan revitalisasi (mengganti istilah reklamasi) ideal dilakukan 700 hektar dengan 40% ruang terbuka hijau.

Akademisi lain dari Unud, Anom Wiranatha mengatakan, sah-sah saja ada penelitian berbeda. “Kita harus berpihak pada kepentingan publik dibanding kepentingan modal. Kalau hanya karena bayaran, akan kehilangan integritas.”

Perbandingan Perubahan Perpres Serbagita

Sumber: presentasi perusahaan


Tolak Reklamasi Teluk Benoa, ForBali Surati Menteri Susi dan Kepala Bappenas was first posted on January 9, 2015 at 10:01 pm.

Ancaman Lingkungan Sulut, dari Tambang, Reklamasi Pantai hingga Sawit

$
0
0
Kondisi Pulau Bangka, pada pertengahan Desember 2014. Kerusakan alam makin meluas dampak operasi tambang. Foto: Save Bangka Island

Kondisi Pulau Bangka, pada pertengahan Desember 2014. Kerusakan alam makin meluas dampak operasi tambang. Foto: Save Bangka Island

Sejumlah masalah lingkungan di Sulawesi Utara (Sulut) masih berlanjut tahun ini dari pertambangan, reklamasi pantai, hingga perkebunan sawit. Parah lagi, program pembangunan yang sedang dan akan berlangsung, tidak melibatkan partisipasi masyarakat, sebagai pihak terdampak. Demikian dikatakan Edo Rakhman, Manajer Kampanye Walhi Nasional.

Menurut dia, pertambangan bijih besi di Pulau Bangka. Meski masyarakat menolak dan memenangkan proses hukum sampai Mahkamah Agung, pemerintah daerah tetap memberi dukungan pada PT Mikgro Metal Perdana (MMP).

Penolakan terjadi lewat berbagai cara. Di Jakarta, Walhi melibatkan diri dalam proses gugatan, MMP menjadi tergugat intervensi. Mereka juga membuka komunikasi dengan Siti Nurabaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menteri memerintahkan inspektorat investigasi kasus ini.

“Menteri ESDM berkomitmen kasus ini tidak boleh diteruskan dan segera diperjelas, termasuk melihat dari regulasi. Misal, kekuatan hukum gubernur dan bupati kenapa sampai mempertahankan pertambangan di Bangka,” katanya di sela-sela Konsultasi Daerah Lingkungah Hidup, di Manado, Kamis (8/1/15).

Menurut dia, maslaah Pulau Bangka juga disuarakan di level internasional. “Ketika pertemuan COP 20 di Peru, saya menggambarkan, di Indonesia, tambang tidak hanya hadir di daratan, juga mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil, salah Pulau Bangka.”

Ahmad, Kepala Departemen Keorganisasian Walhi Nasional, menyatakan, pertambangan merupakan usaha padat modal dan berteknologi tinggi. Hingga, aktivitas di Bangka justru menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemerintah daerah.

Dia menantang, pemerintah Sulut membuka dokumen pendapatan riil dari tambang, jika menilai sektor ini meningkatkan pendapatan daerah. “Kalau dinilai mendatangkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, kami meminta pemerintah daerah membandingkan antara kerusakan yang ditimbulkan dengan hasil tambang.”

Ahmad menilai, Sulut sebenarnya memiliki cita-cita baik sebagai daerah pariwisata dunia. Seharusnya, penekanan pembangunan diarahkan ke sana. “Tentu pariwisata berkelanjutan, bukan eksploitatif, lapar lahan dan menggusur mata pencaharian masyarakat. Pulau Bangka, lokasi luar biasa untuk pariwisata.”

Oariwisata berkelanjutan, katanya,  dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat, bukan membebankan pada investasi besar. “Merupakan sesuatu sesat pikir jika melihat pariwisata dari hotel mewah, resort besar, kemudian turis akan datang. Tidak.”

Desa tiberias di Bolaang Mongondow. Kebun kelapa pelahan mulai diselingi  sawit. Foto: Themmy Doaly

Desa Tiberias di Bolaang Mongondow. Kebun kelapa pelahan mulai diselingi sawit. Foto: Themmy Doaly

Reklamasi Pantai Kalasey dan Tanjung Merah

Pada 2015, reklamasi kembali mengancam kehidupan warga pesisir dan ekosistem bawah laut Sulut, yakni di Pantai Kalasey, Minahasa, dan Tanjung Merah, Bitung.

Reklamasi Kalasey sebenarnya sempat dihentikan pada 2011 karena penimbunan mengancam ekosistem laut, seperti terumbu karang, mangrove maupun padang lamun. Publik juga mempersoalkan izin dan dokumen Amdal, karena hanya menggunakan izin UKL-UPL, padahal wajib Amdal.

“Menghindari wajib Amdal, maka pengembang memecah diri menjadi tiga grup, hingga luasan reklamasi masing-masing menjadi 20 hektar. Awalnya 60 hektar,” kata Edo.

Dia menyayangkan, reklamasi akan berlanjut di Kalasey. Sejak pemberhentian penimbunan, pemerintah daerah seharusnya evaluasi. Tidak semata-mata karena investor mengantongi Amdal, penimbunan kembali berjalan.

“Pemerintah harus melihat banyak masyarakat dirugikan. Kalau klaim meningkatkan perekonomian, kami juga bisa mengeluarkan antitesis. Sesungguhnya reklamasi Kalasey menutup akses nelayan. Belum lagi menghitung kerusakan biodiversitas. Kerugian jauh lebih besar.”

Sedang reklamasi di Tanjung Merah masuk MP3EI, Bitung sebagai kawasan ekonomi khusus. Total luasan lahan reklamasi 1.000 hektar.

Walhi melihat, KEK Bitung berpotensi menggusur kehidupan nelayan tradisional. Kerusakan lingkungan dan pemiskinan nelayan berpotensi terjadi dampak reklamasi di sana. “Akan banyak pelanggaran HAM terjadi seperti konflik tanah ataupun sumber daya alam.”

Sawit di Bolaang Mongondow

Berdasarkan catatan Walhi Sulut, perkebunan sawit mulai merambah Bolaang Mongondow (Bolmong). Sebenarnya, informasi rencana perkebunan sawit sejak 2009, namun simpang-siur.

Saat ini, ada sembilan perusahaan sawit beroperasi di Bolmong, PT Anugrah Bolmong Indah, PT Anugrah Sulawesi Indah, PT Bol Indah Utama, PT Bol Indah Perkasa, PT Global Internasional Indah, PT Inobonto Indah Perkasa, PT Karunia Kasih Indah, PT Sino Global Perkasa, PT Tomini Indah Perkasa.

Sembilan perusahaan tadi tergabung dalam kelompok usaha IZZISEN Group, dengan total perkebunan 79.150,30 hektar. Dari luasan itu, 20% kebun plasma dan 80% inti.

“Sembilan perusahan itu telah pembibitan dan tahap pembayaran tanah. Kami terus investigasi, terutama dampak sosial dan lingkungan perkebunan sawit ini,” kata Angelin Palit, Direktur Eksekutif Walhi Sulut.

Perkebunan sawit skala besar diyakini tidak membawa kesejahteraan masyarakat. Sawit rakus air dan tidak memberi keuntungan signifikan bagi pemerintah daerah. Perkebunan sawit diduga berkontribusi terhadap kerusakan mangrove di Bolmong.

Tepian pantai di Pulau Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan tambang mulai beroperasi . Foto: Themmy Doaly

Tepian pantai di Pulau Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan tambang mulai beroperasi . Foto: Save Bangka Island


Ancaman Lingkungan Sulut, dari Tambang, Reklamasi Pantai hingga Sawit was first posted on January 9, 2015 at 11:27 pm.

Bagaimana Nasib BP REDD+ Era Pemerintahan Jokowi?

$
0
0

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ (berbaju biru bertopi) tengah berbincang dengan Saharuddin, Wali Nagari Sei Buluh, Padang Pariaman, Sumatera Barat, 26 Agustus 2014. BP REDD+ sudah menjalin komunikasi dengan masyarakat-masyarakat adat di daerah dalam kaitan pengelolaan hutan lestari dengan memberikan manfaat bagi warga. Kini, pemerintahan baru, belum ada kejelasan status badan ini. Foto: Sapariah Saturi

“Kini, Indonesia memiliki peralatan lengkap untuk mengambil tempat sebagai pemimpin global dalam perlindungan alam, dan hutan tropis, yang berperan penting dalam perang melawan perubahan iklim.” Demikian pernyataan resmi dari Kementerian Lingkungan Norwegia,  menyambut kelengkapan BP REDD+ lewat penunjukan Heru Prasetyo menjadi kepala, pada Desember 2013.

BP REDD+, mungkin berbeda dengan badan atau lembaga lain, ia dibentuk dengan proses cukup lama, sekitar tiga tahun, dari 2010-2013! Lewat Keputusan Presiden No 62/2013 ia terbentuk dengan tujuan memastikan upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut. Badan ini bertanggung jawab langsung kepada presiden.

“Proses mendirikan badan ini berlangsung lama dan menyeluruh. Badan ini bukti komitmen Indonesia berkontribusi terhadap upaya global mengurangi emisi karbon, melestarikan hutan Indonesia yang memiliki keragaman hayati luar biasa,” kata Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden bidang Perubahan Iklim pada September 2013.

Badan ini, katanya, salah satu elemen utama dalam melaksanakan komitmen REDD+ di Indonesia, antara lain, memastikan keberlangsungan kemitraan REDD+ antara pemerintah Indonesia dan Norwegia.

Kini memasuki era pemerintahan baru. Presiden Joko Widodo, menekankan efesiensi di pemerintahan, sekitar 10 badan sudah dihapus. Nasib BP REDD+ belum diputuskan.  Baru-baru ini muncul usulan dari Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk melebur BP REDD+ ke dalam direktorat di Kementerian LHK.

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mengatakan, kala pemerintahan SBY akan berakhir, BP REDD+ mengajukan dua usulan, pertama, tetap seperti Perpres 62 berada di bawah sekretariat negara. Kedua, BP REDD+ menjadi badan mandiri dengan memodifikasi Perpres 62. “Dua hal ini belum tuntas. Ini masih bagian dari diskusi,” katanya di Jakarta, Jumat (9/1/15).

Pada pemerintahan Jokowi, katanya, BP REDD+ hampir tiap minggu melaporkan kepada presiden apa yang sudah, sedang dan akan dijalankan. Komunikasi dengan Sekretaris Kabinet, Andi Widjayanto, terus dilakukan. “Setiap surat yang kami kirim itu ada respon. Surat disambut setkab dan didisposisikan kepada Menko dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar dia.

Pada 6 Januari 2015, Heru Prasetyo, Andi Widjayanto dan Siti Nurbaya, bertemu membahas posisi BP REDD+. Dalam rapat itu dibahas struktur kementerian gabungan ini dengan sembilan direktorat, dan lima atau enam staf ahli. Salah satu Direktorat Pengendalian dan Perubahan Iklim. “Ada pemikiran perlu center atau institusi yang kepakarannya bisa dimanfaatkan Kementerian LHK untuk mem-back up soal perubahan iklim.” Di sini, Bu Siti berkeinginan BP REDD+ berada di dalam direktorat ini. “Dibahas struktur sebaiknya bagaimana? Masuk kementerian atau bagaimana? Saya bilang akan pikirkan dan diskusikan lagi,” katanya. Jadi, dalam pertemuan itu tak ada keputusan kalau BP REDD+ dilebur ke dalam Kementerian LHK.

Bagi Heru, hingga kini usulan BP REDD+ belum ada perubahan, diasuh setneg atau berdiri sendiri. “Harapannya, bangun BP REDD+ ini tak hanya dihentikan dalam satu pemerintahan, karena ini esensial.”

Pemerintahan baru, katanya, sedang berbenah dan mereformasi diri. “Keberadaan BP REDD+ bisa menjadi pantulan positif di dalam kementerian yang tengah reformasi.”

Dia berharap, Presiden Jokowi mendapatkan informasi mengenai peran penting keberadaan BP REDD+ dalam komitmen kaitan perubahan iklim. “Keputusan BP REDD+ itu di tangan presiden.”

Meskipun usia terbilang muda, tetapi beberapa aksi digagas badan ini, antara lain terkait usaha pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. Pada September 2014, BP REDD+ bersama beberapa kementerian launching pengukuhan dan pengakuan masyarakat adat lewat REDD+.  Bersama beberapa kementerian, BP REDD+ juga audit perusahaan dan pemerintah daerah terkait penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Audit pertama di Riau, dan hingga kini BP REDD+ terus memonitoring perkembangannya. Menyusul beberapa provinsi lain seperti Kalimantan Tengah. Pada akhir 2014, BP REDD+ juga menjadi wali data peta partisipatif wilayah adat sementara, sebelum diserahkan kepada Kementerian Dalam Negeri, yang masih melakukan persiapan infrastruktur.

Sumber: Ekuatorial.com

Siti Nurbaya, Menteri LHK membenarkan jika mengusulkan BP REDD+ masuk dalam direktorat di Kementerian LHK. Selama ini, katanya, pengendalian perubahan iklim ditangani beberapa lembaga antara lain, Kementerian LHK, BP REDD+ dan Dewan Nasional perubahan iklim (DNPI).  “Iya itu usulan saya. Agar tak tumpang tindih. Tapi itu usulan, keputusan ada pada presiden,” katanya, Kamis (8/1/15).

Bagaimana dana-dana yang dikelola BP REDD+ jika masuk direktorat di LHK? “Itu nanti tetap mereka yang tangani, tak ada masuk ke kementerian, malah susah kalau nanti kalau dikelola kita.”

Kementerian LHK, kata Siti,  telah menyelesaikan struktur kelembagaan meliputi sembilan fungsi lini yakni, Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Ditjen Konservasi SDA dan Ekosistem, dan Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung. Lalu, Ditjen Pengelolaan Hutan Produk Lestari, Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, serta Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Untuk direktorat perubahan iklim ini Siti ingin didukung tim advisory atau kepakaran, yang dirancang lebih teknis agar mencakup aspek-aspek kekuatan dukungan stakeholders gerakan sosial kemasyarakatan dalam dan luar negeri, termasuk skema pendanaan internasional.

Struktur LHK  belum teruji

Usulan Menteri Siti mendapat tanggapan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Abdon Nababan, Sekjen AMAN tidak setuju BP REDD+ bubar saat ini dan masuk ke Kementerian LHK.

Mengapa? Abdon punya beberapa alasan. Pertama, BP REDD+ baru terbentuk dan baru mulai kerja. Kedua, struktur Kementerian LHK baru dan belum teruji. Ketiga,  pada rancangan struktur Kementerian LHK masih bercokol Planologi Kehutanan yang menjadi jangkar doktrin kolonial sumber konflik dan korupsi. Keempat, setelah tatanan pemerintahan baru sudah efektif barulah dikaji kembali pembubaran BP REDD+.

“Saya mengusulkan kepada presiden agar memberi waktu dua tahun bagi BP REDD+ tetap ada dan bekerja bersama-sama atau bersebelahan dengan Kementerian LHK dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.”

Protes Planologi di LHK

Pernyataan resmi AMAN juga menyayangkan Ditjen Planologi masih ada dalam struktur Kementerian LHK. AMAN menyebut, Ditjen Planologi merupakan sumber utama penyebab pelanggaran hak-hak masyarakat adat, konflik dan korupsi sektor kehutanan. “Masih ada Ditjen Planologi dalam rancangan struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan sesungguhnya doktrin kolonial domain velklaring masih hidup dan menjadi roh di tubuh KLHK.”

AMAN mendesak, Presiden Jokowi agar urusan penunjukan, penataan batas dan pengukuhan kawasan hutan serta administrasi diserahkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Ditjen Planologi Kehutanan, cukup terkait urusan perencanan hutan. Ditjen Planologi dan Tata Lingkungan harus diubah menjadi Ditjen Perencanaan Lingkungan dan Kehutanan. “Jika Presiden Jokowi membiarkan Ditjen Planologi di LHK, berarti penjajahan masyarakat adat akan terus berlangsung. Presiden gagal revolusi mental,” demikian pernyataan AMAN.

Kasmita Widodo, koordinator BRWA (paling kiri) diikuti Hudoyo, staf ahli Menteri LHK; Abdon Nababan, Sekjen AMAN; Heru Prasetyo Kepala BP REDD+ dan Deny Rahadian, koordinator JKPP, usai menandatangani penyerahan peta wilayah adat di Jakarta, Senin (22/12/14). BP REDD+ menerima peta wilayah adat selaku wali data sementara. Foto: Sapariah Saturi

 

 


Bagaimana Nasib BP REDD+ Era Pemerintahan Jokowi? was first posted on January 10, 2015 at 9:44 pm.

Gober dan Si Kembar Kembali ke Alam Bebas, Namun…

$
0
0
Gober bersama Ginting, kala lepasliar di hutan jantho, Aceh. Sayangnya, Ganteng, tertinggal di belakang...Foto: SOCP

Gober bersama Ginting, kala lepasliar di hutan Jantho, Aceh. Sayangnya, Ganteng, tertinggal di belakang…Foto: SOCP

Sayangnya, si ibu dan salah satu anak kembarnya tak bisa bersama-sama. Ganteng, beberapa saat setelah lepasliar, tertinggal dari ibu dan saudaranya.

Gober, ibu orangutan bersama anak kembar, Ganteng dan Ginting,  pada 5 Januari 2015,  bisa menghirup udara bebas. Sayangnya, rencana pelepasliaran ibu orangutan yang pernah mengalami buta kedua mata ini dengan buah hati tak berjalan sesuai harapan. Salah satu anak, Ganteng, tak bisa menyesuaikan diri di hutan Jantho, Aceh. Sang ibu berusaha membawa kedua bayi bertahan dari pohon ke pohon. Sayangnya, Ganteng tampak kesulitan dan tertinggal kala sang ibu dan Ginting, berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain.

Bayi orangutan kembar ini terbilang unik, karena mereka lahir dari kedua orangtua buta. Leuser, ayah si kembar ini juga kehilangan penglihatan ketika terkena tembakan sekitar 62 kali dengan senapan angin. Si ibu, Gober, mengalami katarak dan baru bisa melihat setelah menjalani operasi pada 2012.

Ian Singleton, Direktur Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) mengatakan, beberapa hari terakhir menjadi masa-masa emosional semua di SOCP terutama Ganteng. “Mungkin Gober dan Ginting juga. Tidak ada yang percaya salah satu kembar tak bisa bersama-sama.”

Dikutip dari website Ian Singleton,  diceritakan, Gober diselamatkan pada 22 November 2008, oleh tim gabungan, SOCP, dan BKSDA Sumut. Penangkapan
menggunakan sumpit dan anak panah bius di lokai terisolasi dari kebun karet dan hutan dekat Desa Citra Kasih dan Sampan Getek di Kabupaten Langkat, Sumut. Setelah itu, Gober mendapat perawatan di Pusat Karantina Orangutan SOCP di dekat Medan.

Kala ditangkap, Gober dalam keadaan kedua mata buta karena katarak. Ia berusaha mengambil tanaman pangan dari petani di kampung untuk makan dan bertahan hidup. “Jika tak diambil dari kawasan itu, pastinya dia akan terbunuh,” tulis Singleton.

Pada Juni 2010, Gober berkenalan dengan orangutan cowok, Leuser, juga penghuni karantina SOCP. Mereka cocok dan menjadi pasangan. Pada 21 January 2011, lahir buah hati dari pasangan buta ini. Yang mengejutkan, tak hanya satu orangutan, tetapi kembar, Ganteng dan Ginting.

Gober dan Ginting sudah dilepasliarkan. Sayangnya, Ganteng, tak bisa bersama-sama mereka karena tertinggal kala mereka berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Mudah-mudahan mereka segera bisa bersama-sama lagi...Foto: SOCP

Gober dan Ginting sudah dilepasliarkan. Sayangnya, Ganteng, tak bisa bersama-sama mereka karena tertinggal kala mereka berpindah dari satu pohon ke pohon lain. Mudah-mudahan mereka segera bisa bersama-sama lagi…Foto: SOCP

Gober dan kedua buah hati, Ganteng dan Ginting. Foto: SOCP

Gober dan kedua buah hati, Ganteng dan Ginting. Foto: SOCP


Gober dan Si Kembar Kembali ke Alam Bebas, Namun… was first posted on January 10, 2015 at 11:47 pm.

Kenalkan Ekowisata Wilayah Adat sampai ke Oslo

$
0
0
Stand pameran GreenIndonesia dan komunitas adat yang hadir dengan beragam produk kerajinan. Mereka membuat produk dari alam dan berkomitmen menjaga alam. Foto: GreenIndonesia

Yuwono A Putranto, Dubes Indonesia untuk Norwegia di samping stand pameran Indonesia. GreenIndonesia dan komunitas adat yang hadir dengan beragam produk kerajinan. Mereka membuat produk dari alam dan berkomitmen menjaga alam. Ada kain tenun, ada madu dari Sumbawa, Flores sampai Tesso Nilo. Foto: Een Irawan Putra

“Kami ingin membagi keindahan hidup kami. Membagi nilai-nilai dan cara hidup kami dengan para pengunjung tanah.” Demikian kata tokoh adat dari Sui Utik, Kalimantan Barat,  Raymundus Remang, kala mewakili komunitas mereka di Reiselivsmessen Oslo, pameran pariwisata Skandinavia, awal Januari 2015.

Dalam pameran itu, dia memperkenalkan kearifan menjaga hutan dan budaya mereka. Komunitas ini berusaha menjaga hutan adat lebih 9.000 hektar, meskipun penebangan liar dan ekspansi perkebunan sawit ‘mengurung’ wilayah adat mereka. Di sana, di tengah-tengah hutan nan indah, rumah panjang tradisional berdiri.

“Ini ikatan kuat antara budaya yang berhubungan dengan alam. Kami tetap diberkati kekayaan berupa keindahan alam dan budaya kaya,” katanya dalam rilis GreenIndonesia kepada media, Sabtu (10/1/15).

Warga Sui Utik adalah  komunitas Dayak Iban. Mereka menjalankan sistem pengelolaan hutan tradisional dikenal dengan Tembawang. Yakni, sebagian kecil wilayah hutan dibuka tanam padi. Setelah lima tahun, wilayah dihutankan kembali dengan menanam beragam kayu, pohon buah-buahan dan banyak produk non kayu penting lain seperti rotan dan karet.

Rumah Betang mereka ditinggali empat generasi dengan total 250 penghuni.  Rumah ini bisa menjadi tempat wisatawan tinggal. Rumah wujud mahakarya masyarakat yang menggunakan hasil hutan mulai peralatan dapur dari kayu hingga anyaman keranjang dan tikar untuk kain.

Tak hanya komunitas adat Sui Utik. Dalam pameran itu, GreenIndonesia juga mengajak beberapa komunitas adat lain, seperti Masyarakat Mollo di Nausus, bagian Barat Pulau Timor; Kelompok penenun Paluanda Lama, di Sumba Timur; Masyarakat adat hutan Guguk di Jambi, Sumatra; Masyarakat Sawai di pulau Seram, Maluku; dan Komunitas masyarakat Jatiluwih di Tabanan, Bali.

Petronela Pihu, manajer pemasaran Paluanda Lama Hamu, mewakili kelompok tenun dari Sumba Timur. Mereka menenun menggunakan tanaman lokal sebagai pewarna alami dan unik.

Dari Mollo, “Mama Aleta” Baun, memimpin kelompok terdiri dari 150 penenun perempuan protes tambang marmer selama lebih setahun. Tambang merusak hutan Mollo dan mengancam kualitas air mereka. Para lelaki gantian bekerja rumah tangga. Empat perusahaan tambang tutup. Mama Aleta meraih Goldman Prize Award. Kini, mereka tetap menjaga tanah dan tradisi.

Saat ini, lokasi tambang menjadi pusat komunitas dan rumah para wisatawan kala ke Mollo. Turis bisa tinggal dan menikmati pembuatan tenun dan pertunjukan budaya.

Hutan masyarakat adat Sui Utik yang masih terjaga , di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana

Hutan masyarakat adat Sui Utik yang masih terjaga , di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana

Begitupula Komunitas Adat Guguk di Jambi.  Mereka bertahan meski penebangan liar dan ekspansi perkebunan sawit terjadi di lahan dan teluk mereka. Hutan mereka menjadi habitat harimau yang masih terjaga.  Lalu Masyarakat Sawai, di Seram, Maluku.  Dulu mereka pemburu burung langka kini pengelola hutan lestari.

Masyarakat Jatiluwih di Bali ini menjaga sumber daya air murni melalui Subak. Ia sistem pengelolaan air kuno dipandu filosofi hidup Tri Hita Karana. Filosofi ini menekankan pada tiga sumber kebaikan yang memandu hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, masyarakat dan alam.

Indonesia memiliki lebih 400 kelompok etnis tersebar di kepulauan terbesar di dunia. Negara ini memiliki lebih 14.000 pulau besar dan kecil dengan keragaman pemandangan indah dan unik.

GreenIndonesia melihat potensi besar pariwisata berbasis eco-budaya ini. Sebuah studi menemukan,  dari 26% populasi wisata, aspek keberlanjutan dan tanggung jawab memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan wisatawan.

Chandra Kirana, inisiator GreenIndonesia mengatakan, ada pasar cukup besar dari wisata petualangan. Wisatawan ini, katanya, ingin menjelajahi tempat-tempat baru dan budaya berbeda sambil membawa perubahan positif. “Indonesia diberkahi dengan tempat-tempat menakjubkan yang belum dijelajahi, dengan budaya yang sangat kaya dan beragam.“

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, Pemerintah Indonesia menyambut upaya peningkatan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan dengan memperkuat kapasitas mereka membangun ekonomi berkelanjutan. “Pemerintah juga menyadari mereka masih harus menghadapi masalah konflik lahan,” katanya.

Untuk itu, Kementerian LHK sedang merancang Keputusan Presiden mengenai pengakuan hak-hak masyarakat adat agar konflik bisa teratasi. Masyarakat adat yang bergantung hutan, katanya,  berperan penting mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia. “Kami tidak akan bisa bergerak maju sebagai sebuah negara tanpa mereka.”

Yuwono A. Putranto, Duta Besar Indonesia untuk Norwegia mengatakan, partisipasi dalam Reiselivsmessen 2015 upaya mempromosikan Indonesia sebagai tujuan wisata, Norwegia juga Skandinavia. “Ini juga pendekatan inovatif memperkuat kesadaran melestarikan lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.”

Mengolah sajian kuliner ikan sungai di Sui Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana

Mengolah sajian kuliner ikan sungai di Sui Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Nanang Sujana

 


Kenalkan Ekowisata Wilayah Adat sampai ke Oslo was first posted on January 11, 2015 at 6:47 pm.
Viewing all 4026 articles
Browse latest View live