Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4085 articles
Browse latest View live

Soal Negosiasi Kontrak PT Freeport, Ini Kata Menteri ESDM

$
0
0

Pekerja tengah menambang di terowongan bawah tanah PT Freeport Indonesia. Foto: PT Freeport Indonesia

Soal perpanjangan kontrak PT Freeport belum ada keputusan. Guna negosiasi inilah, pada 23 Januari 2014, pemerintah memperpanjang memorandum of understanding (MoU) dengan PT Freeport Indonesia, selama enam bulan ke depan. Bahasan ini, terkait poin-poin yang belum disepakati antara kedua belah pihak.

“Juli 2014 pemerintah membuat MoU untuk enam bulan negosiasi berkaitan perpanjangan kontrak karya Freeport yang habis 2021. Saya turut mempelajari termasuk berkonsultasi dengan presiden dan wakil presiden,” kata Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Minggu (25/1/15).

Dia mengatakan, menjelang akhir Desember, KESDM beberapa kali diskusi dengan Freeport dan menyepakati hampir semua hal, antara lain soal penyesuaian wilayah, privatisasi, meningkatkan lokal konten dan peran masyarakat setempat, termasuk kesepakatan dengan pemerintah daerah.

“Kecuali beberapa hal berkaitan kontribusi Freeport kepada pemerintah juga pembangunan smelter. Ini masih menggantung saat pembicaraan Desember lalu.” Inilah, katanya, yang melandasi perpanjangan MOU.

Mengenai pembangunan smelter, katanya, sudah tidak ada lagi ruang bernegosiasi. Freeport harus membangun smelter pengelolaan konsentrat. Lokasi pabrik smelter sudah ditetapkan.

“Ikatan-ikatan yang akan membangun smelter sudah disepakati. Prinsipnya mereka setuju. Kita terus ikuti dan  review perkembangan terakhir. Kita memberikan pesan kepada Freeport harus ada progres signifikan terhadap pembangunan smelter. Jika tidak, izin ekspor akan dibekukan sementara sampai ada penyelesaian.”

Menurut dia, hal itu sesuai instruksi Presiden Jokowi. Pemerintah berharap, Freeport bisa memberi kontribusi signifikan bagi pembangunan Papua dan ekonomi Indonesia keseluruhan. “Pemerintah ingin memberikan ruang kepada Freeport mereview komprehensif aspek-aspek apa yang bisa dikontribusikan  lebih kepada pembangunan Papua. Jadi tidak hanya kontribusi penuh, juga peran di daerah, pelibatan putra-putra daerah sampai lokal konten. Ini kita tekankan.”

Untuk itu, MoU diperpanjang dengan maksud kedua belah pihak memiliki waktu. “Banyak  prioritas dan cara pandang muncul belakangan berkaitan Papua. Kita ingin memanfaatkan Freeport mendorong dan mempercepat pembangunan Papua.”

Pemerintah, kata Sudirman, berkepentingan agar operasional Freeport lancar. Karena perusahaan ini memiliki 12.000 karyawan dan 19.000 lebih karyawan kontrak.  Jadi, sangat berpengaruh signifikan di lokal maupun nasional.

Pemerintah dan Freeport juga menyepakati soal tambang bawah tanah yakni penggunaan teknologi robotik dan connected. “Sekarang ini baru digarap yang atas. Disiapkan tambang bawah tanah. Kendaraan yang masuk ke bawah menggunakan remote control teknologi canggih.”

Kontrak

Dia mengatakan, tidak ada istilah perpanjangan kontrak. Pasca Freeport berakhir 2021, akan menjadi rezim izin perpanjangan operasi.”Kita sepakat divestasi 30%. Kita memiliki 9,36 persen. Sisanya didivestasikan. Akan mulai Oktober ini tambahan 10% kepada pemerintah. Tidak melalui pasar modal,” katanya.

Mengenai pelibatan masyatakat sekitar, KESDM mengaku bertemu Gubernur Papua beberapa kali. “Ia menyampaikan beberapa hal yang disepakati dengan Freeport. Pemda Papua sudah berkomunikasi dengan Freeport juga. Juga komunikasi dengan Bappeda dan Dinas Pertambangan. Asipirasi lain kita dengar.”

R Sukhyar, Dirjen Minerba ESDM mengatakan, ada beberapa hal dibahas antara pemerintah dan Freeport.”Luas wilayah, penerimaan negara, proses pemurnian, investasi dan lokal konten. Tentu masih memerlukan waktu lagi.”

Dalam membangun smelter, ada hal penting ditekankan seperti lokasi, siapa yang membangun, luas lahan dan analisis lingkungan. “Karena pemurnian konsentrat itu bukan hanya tembaga, juga produk ikutan.”

Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur Freeport Indonesia mengapresiasi upaya ini. “Waktu enam bulan harus dimanfaatkan dengan baik agar harapan kontribusi-kontribusi Freeport dapat memberikan manfaat kepada negara.”

Freeport, katanya, berkomitmen membangun smelter US$2,3 miliar dan telah penentuan lokasi. Untuk berkontribusi lebih, Freeport juga tak keberatan. “Kami sebagai investor memiliki hitung-hitungan. Tak ada satupun perusahaan ingin merugi. Karena merugi, kontribusi kepada pemerintah pasti berkurang.”

 

 


Soal Negosiasi Kontrak PT Freeport, Ini Kata Menteri ESDM was first posted on January 27, 2015 at 1:56 am.

Keren!!! Harimau Ini Bersihkan Sampah yang Kotori Kolamnya…

$
0
0
Sang harimau ini akhirnya bisa 'membersihkan' kolam  dari kotoran botol mineral dan siap membawa ke daratan. Foto: Sapariah Saturi

Sang harimau ini akhirnya bisa ‘membersihkan’ kolam dari kotoran botol mineral dan siap membawa ke daratan. Foto: Sapariah Saturi

Taman Margasatwa Ragunan, yang terletak di Jl Harsono, Pasar Minggu, Jakarta, salah satu tujuan wisata terutama warga Jakarta dan sekitar. Kalau sudah akhir pekan, tempat ini cukup ramai dipadati pengunjung. Beberapa pekan lalu, saya datang ke sini.

Saya menyusuri beberapa ‘rumah’ satwa, dari primata, gajah, jerapah, sampai babi rusa dan harimau Sumatera. Kala tiba di tempat babi rusa, melihat satwa endemik dan langka dari Sulawesi ini mendekat ke pagar. Pengunjung juga mendekat walau terlihat takut melihat wajah aneh satwa ini. Beberapa dari mereka merasa heran dengan hewan seperti babi tetapi memiliki bentuk wajah yang ‘tak biasa.’

Sang harimau, melihat ke atas seakan bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah mebuang sampah ke wilayahnya. Foto: Sapariah Saturi

Sang harimau, melihat ke atas seakan bertanya-tanya, siapa gerangan yang telah mebuang sampah ke wilayahnya. Foto: Sapariah Saturi

Sayangnya, dari mereka ada yang teledor dan gampang membuang sampah sembarangan. Ada yang membuang bungkus makanan dari plastik ke dalam kandang. Tak lama,  sang babi rusa medatangi lalu memakan bungkusan plastik itu sampai habis.  Miris!

Setelah itu, saya beranjak ke kandang berikutnya, harimau Sumatera. Tampak  beberapa harimau sedang beristirahat. Ada yang duduk santai sambil menguap. Ada yang bergurau sambil saling gigit. Sebagian, masuk ke parit, dan berenang ke sana kemari.

Satu harimau tampak asik berjalan ulang alik sambil memainkan kepalanya di air. Namun, tak berapa lama, satwa ini melihat ke atas, ke kiri ke kanan. Seolah-olah dia mencari sesuatu setelah melihat ada satu ada botol minuman mineral berenang mengotori kolamnya. Mungkin harimau ini berpikir, dari mana sampah ini muncul.

Sang harimau berusaha mengambil botol ini dengan mulutnya, tetapi beberapa kali terlepas. Coba digigit lagi dan akhirnya berhasil...Foto: Sapariah Saturi

Sang harimau berusaha mengambil botol ini dengan mulutnya, tetapi beberapa kali terlepas. Coba digigit lagi dan akhirnya berhasil…Foto: Sapariah Saturi

Iapun mendekat ke botol itu dan berupaya mengambil.  Sang harimau tampak kesulitan mengambil botol mengambang dengan mulutnya. Terlihat beberapa kali botol itu terlepas setelah berhasil digigit. Namun, akhirnya ia lega karena ‘sukses’ menggigit botol dan tak lepas. Ia lalu mengibas-ngibas botol itu di air. Botol ditenggelamkan, lalu diangkat lagi. Begitu ia lakukan berkali-kali.

Tak berapa lama, ia naik ke daratan sambil membawa botol minuman bekas yang entah terjatuh atau dibuang oleh pengunjung. “Ah, harimau saja sadar kebersihan. Kalah, manusia, yang datang ke sini, malah tak sadar kebersihan,” kata Yani, salad satu pengunjung.

Secara umum,  taman suaka ini relatif bersih namun masih tampak  sampah berserakan di beberapa titik. Padahal di beberapa sudut tempat itu, pengelola sudah memasang plang-plang mengingatkan tentang larangan membuang sampah sembarangan. Bahkan, peringatan itu disertai denda dan hukuman bagi pelanggar. Tong sampah buat beragam jenis sampahpun disediakan.  Namun, masih  saja pengunjung ada yang seenaknya membuang sampah.

Pengumuman yang dipasang di bagian atas 'kandang' harimau Sumatera ini. Namun, ada saja pengunjung yang cuek dan tetap membuang sampah seenaknya. Foto: Sapariah Saturi

Pengumuman yang dipasang di bagian atas ‘kandang’ harimau Sumatera ini. Namun, ada saja pengunjung yang cuek dan tetap membuang sampah seenaknya. Foto: Sapariah Saturi

Meskipun kawasan ini terbilang bersih, tetapi di beberapa titik masih terlihat sampah berserakan. Foto: Sapariah Saturi

Meskipun kawasan ini terbilang bersih, tetapi di beberapa titik masih terlihat sampah berserakan. Foto: Sapariah Saturi

Di banyak sudut Taman Margasatwa Ragunan, tempat sampah ini tersedia. Foto: Sapariah Saturi

Di banyak sudut Taman Margasatwa Ragunan, tempat sampah ini tersedia. Foto: Sapariah Saturi

 


Keren!!! Harimau Ini Bersihkan Sampah yang Kotori Kolamnya… was first posted on January 27, 2015 at 2:04 am.

Perempuan Rentan Perubahan Iklim, Pemerintah Cuek?

$
0
0
Hutan di Sulsel mencapai 46,42% dari total luas provinsi. Sebagian besar warga yang tinggal di sekitar hutan masih sangat menggantungkan hidup dari hasil hutan dan umumnya mereka adalah perempuan. Foto: Wahyu Chandra

Hutan di Sulsel mencapai 46,42% dari total luas provinsi. Sebagian besar warga yang tinggal di sekitar hutan masih sangat menggantungkan hidup dari hasil hutan, terutama  perempuan. Foto: Wahyu Chandra

Perempuan paling rentan mengalami dampak perubahan iklim tetapi masalah ini jarang mendapat perhatian pemerintah. Alih-alih memberdayakan, atau membuat kebijakan responsif perempuan, yang terjadi malah proses pemiskinan. Hal ini mengemuka pada Dialog Publik bertajuk Perubahan Iklim dan Perempuan oleh Solidaritas Perempuan, di Makassar, pekan lalu.

Zohra A Baso dari Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel, mengatakan, pemiskinan bagi perempuan kerap terjadi seperti petani tambak di Sulsel. “Jika mereka melapor Dinas Perikanan tak pernah disikapi. Padahal, itu bisa saja dampak industri.”

Zohra tak sepakat ketika penanganan perubahan iklim selalu diukur dengan anggaran. Harus ada perhatian lebih dari sekadar dana dan melibatkan setiap pengambilan kebijakan.

Menurut dia, pemberian negara selama ini tak sebanding dengan kerusakan. Pemerintah, katanya, harus ada perbaikan dengan pembiayaan tidak lagi bergantung utang, namun dari sumber lain.

“Dalam perubahan iklim kita tidak hanya bicara kerusakan lingkungan tapi harus mendorong apa upaya ekonomi oleh negara dengan tidak menambah utang.”

Wahidah Rustam, Ketua Solidaritas Perempuan, menuntut pemerintah Sulsel dalam kebijakan lebih sensitif dan responsif gender khusus dampak perubahan iklim.

Sebagian Sulsel,  katanya, kawasan hutan hingga berpotensi besar penyumbang emisi dengan risiko deforestasi akibat kerusakan hutan, kebakaran lahan dan alih fungsi hutan. Sulsel, memiliki luas hutan 2.725.796 hektar (46,42% ) daratan.

Sulsel juga provinsi kerentanan tinggi dampak perubahan iklim, karena dikelilingi kawasan pesisir, selain bergantung pada pertanian.  Kontribusi pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) 25,95%, menunjukkan ketergantungan ekonomi sektor pertanian.

“Perubahan iklim mengubah pola curah hujan menjadikan petani kesulitan menentukan masa tanam yang bisa berdampak pada gagal panen. Ini menunjukkan kebutuhan masyarakat Sulsel terkait adaptasi perubahan iklim tinggi. Perempuan paling merasakan dampak.”

Dia mencontohkan Sabbangparu, Pinrang, petani harus menyemai tiga kali karena banjir hingga biaya tanam tinggi. Anggaran rumah tangga keluar lebih banyak dan beban kerja kepada perempuan bertambah.

Kelompok perempuan lain paling merasakan dampak perubahan iklim adalah nelayan. Mata pencaharian mereka tergantung iklim.

Menurut Syamsuniar, warga pesisir Makassar, perubahan iklim meningkatkan beban perempuan nelayan memenuhi ekonomi keluarga.

“Tidak menentu penghasilan akibat cuaca buruk atau gelombang pasang membuat perempuan harus mencari kerjaan lain, seperti jadi tukang batu, buruh cuci, mencari sampah dan lain-lain. Ini untuk memastikan dapur tetap mengepul.“

Ironisnya, pemerintah bukan mengatasi persoalan justru menambah masalah baru dengan mengeluarkan kebijakan yang menutup akses melaut, seperti reklamasi dan penutupan jalan yang selama ini dilalui nelayan.

Perempuan nelayan  harus berkutat dengan kondisi cuaca  tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim  ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra

Perempuan nelayan harus berkutat dengan kondisi cuaca tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra


Perempuan Rentan Perubahan Iklim, Pemerintah Cuek? was first posted on January 28, 2015 at 12:09 am.

Resmi, BP REDD+ dan DNPI Lebur di Kementerian LHK

$
0
0

Abdon Nababan, Sekjen AMAN (kiri) kala penandatanganan penyerahan peta wilayah adat sebanyak 4,8 juta hektar kepada Kepala BP REDD+, Heru Prasetyo, awal pekan lalu di Jakarta. BP REDD+ menjadi wali data sementara peta adat. Bagaimana nasib peta adat ini kala BP REDD+ lebur di Kementerian LHK, sedang Kementerian Dalam Negeri yang bersedia menjadi wali data belum siap infrastruktur? Foto: Sapariah Saturi

Presiden Joko Widodo, sudah menandatangani Peraturan Presiden mengenai struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lewat Peraturan Presiden No 16 Tahun 2015 tertanggal 23 Januari 2015. Dalam struktur baru yang memiliki sembilan direktorat jenderal ini, disebutkan BP REDD+ dan DNPI lebur ke kementerian ini.

Poin buat kedua lembaga ini tercantum dalam Pasal 59,  yang menyebutkan, tugas dan fungsi penurunan emisi gas rumah yang diselenggarakan Badan Pengelola REDD+,  sesuai Presiden Nomor 62 Tahun 2013 diintegrasikan menjadi tugas dan fungsi Kementerian LHK.

Begitu juga DNPI. Perpres itu menyatakan, tugas dan fungsi perumusan kebijakan dan koordinasi kebijakan pengendalian perubahan iklim oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagaimana diatur PP Nomor 46 Tahun 2008 menjadi tugas dan fungsi Kementerian LHK.

“Lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Kementerian LHK ditetapkan oleh menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan aparatur negara.” Begitu bunyi peraturan itu.

Kabar mengenai peleburan kedua badan ini memang santer belakangan, sejak Jokowi  menekankan pemerintahan ‘ramping’ dan efisien. Sekitar 10 badan lain di pemerintahan sebelumnya sudah dihapuskan.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyatakan, sudah mengusulkan ke presiden untuk melebur BP REDD+ dan DNPI ke kementerian yang dia pimpin demi menghindari tumpang tindih. Kala itu, usulan Siti sudah disetujui Menteri Aparatur Negara, tinggal menanti persetujuan Jokowi.

 

DNPI dan Badan REDD+ 

DNPI terbentuk pada 2008. Tujuannya, mengkoordinasikan pengendalian perubahan iklim dan memperkuat posisi Indonesia di forum internasional.

Tugas pokok badan yang dipimpin Rahmat Witoelar ini antara lain, merumuskan kebijakan nasional, strategi program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim, mengoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim meliputi adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan.

Ia juga merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon, melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim,  memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negara-negara maju lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim.

Sedangkan Badan REDD+, terbentuk diawali dari Satgas REDD+ pada 2010. Setelah masa tugas Satgas REDD+ ketiga berakhir, lahirlah BP REDD+ lewat Peraturan Presiden No. 62/2013. Badan ini langsung melapor ke presiden. Presiden menyepakati, lembaga ini harus lintas-disiplin ilmu yang dilakukan lebih baik, lebih cerdas, lebih benar. BP REDD+ diberi kewenangan nasional sebagai badan setingkat kementerian dimotori  satu kepala, empat deputi dengan 60 tenaga profesional.

Perpres Nomor 16 Tahun 2015

Struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan:

a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata
Lingkungan
c. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem
d. Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai
dan Hutan Lindung
e. Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
f. Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Lingkungan
g. Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan
Bahan Beracun Berbahaya
h. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim
i. Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan
j. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
k. Inspektorat Jenderal
l. Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia
m. Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi
n. Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Pusat dan
DaerahDibantu beberapa staf ahli:

o. Staf Ahli Bidang Industri dan Perdagangan Internasional
p. Staf Ahli Bidang Energi
q. Staf Ahli Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam
r. Staf Ahli Bidang Pangan

Sumber: PP No 16 Tahun 2015


Resmi, BP REDD+ dan DNPI Lebur di Kementerian LHK was first posted on January 28, 2015 at 5:10 am.

Kayu-kayu Bersertifikasi dari Hutan Kelola Rakyat dan UKM

$
0
0
Pohon jati dari Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang di hutan tanaman rakyat. Foto: Indra Nugraha

Pohon jati dari Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang di hutan tanaman rakyat. Foto: Indra Nugraha

Sutrisno, pengumpul kayu jati dari Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang mengajak kami melihat hutan jati milik warga, Selasa (20/1/15). Menapaki jalan setapak. Kanan kiri rumput dan semak belukar tampak tumbuh subur. Beberapa pohon jati sudah tinggi.”Pohon ini 20 tahun,” katanya. Berarti pohon siap panen.

Sutrisno mengatakan, hutan yang terjaga itu milik rakyat.  Dia juga punya lahan jati sekitar tujuh hektar di hutan. Hutan jati milik warga total 60.000 hektar. “Pohon dipilah dulu setiap kali akan ditebang. Pohon jadi tabungan buat warga,” katanya.

Jati kumpulan dari petani, dijual ke berbagai daerah. Dia selalu memastikan kelengkapan dokumen lebih dulu sesuai mekanisme sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK).

“Saya minta KTP petani. Ke kelurahan diajukan pemberkasan. Kecamatan, kabupaten dan Perhutani. Ada petugas mengukur kayu. Saya membeli, saya mengurus surat-surat,” katanya.

Dia mengirim kayu kepada industri permebelan seminggu tiga truk.  Semua kayu dijual ada catatan, seperti diameter, pemilik asal dan lain-lain. Semua berkas kayu diberikan kepada supir truk lalu diserahkan kepada pembeli. “Saya gak berani jual tanpa dokumen lengkap.”

Penjualan jati hutan Dadapayam ke berbagai daerah seperti Jepara, dan Yogyakarta. Salah satu ke UKM, CV Max, Yogyakarta. Pemilik Max,  MS Wahyu Hidayat mengatakan, memilih membeli bahan baku hutan rakyat Dadapayam karena dokumen penjualan lengkap hingga aspek legalitas terpenuhi. Hal itu memudahkan dalam mengurus lacak balak dalam SVLK.

“Ada berita acara serah terima kayu. Ini setiap kali transaksi. Deklarasi pemasok hutan hak. Bahkan sekarang ada persyaratan baru, penjual harus melampirkan forocopy letter C yang membuktikan lokasi pohon ditanam. Itu harus dilampirkan.”

Dia tidak menemui banyak kesulitan dalam mengurus SVLK karena sejak dulu selalu mendata bahan baku. Hanya, dalam sistem SVLK harus lebih detail dan sistematis. “Sistem perusahaan sejak awal saya buat terkontrol. Dari hulu sampai hilir. Jangan sampai ada bagian lepas. Jadi sistem sudah diterapkan, kebetulan ketika SVLK berlaku gak jauh-jauh amat.”

Max mulai mengurus SVLK 2012 dan akhir 2013 mendapatkan sertifikat. “Manfaat SVLK mungkin terasa pertengahan tahun ini. Kalau sudah SVLK bisa tahu berapa kapasitas produksi per tahun.”

CV Max, yang menerima kayu-kayu dari hutan warga yang sudah bersertifikasi. Foto: Indra Nugraha

CV Max, yang menerima kayu-kayu dari hutan warga yang sudah bersertifikasi. Foto: Indra Nugraha

Max satu dari 16 usaha kecil menengah (UKM) dampingan WWF Indonesia yang berhasil memperoleh SVLK. Ada 30 UKM dampingan di Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sisanya, masih proses memperoleh sertifikat. “Target kami, 30 UKM mendapatkan SVLK Januari 2016. Dua UKM sedang proses,” kata Nur Maliki Arifiandi, Senior Trade and Pulp & Paper Officer WWF Indonesia.

Sebelumnya, WWF Indonesia mengadakan pelatihan UKM terkait SVLK. Peserta 217 UKM. Ada tes sebelum dan setelah pelatihan dan 30 UKM yang lolos didampingi WWF mendapatkan SVLK. Program ini kerjasama WWF dan Switch Asia didanai Uni Eropa. Bantuan proyek Euro1,3 juta. Hampir semua UKM dampingan WWF berorientasi ekspor dan kayu dari hutan warga.

Mengenai kesulitan UKM memperoleh SVLK, katanya, tergantung pemikiran UKM itu. Jika merasa perlu memperoleh SVLK, pasti mudah. “Kita sekarang mengajarkan mereka mendokumentasikan semua. Harus tahu bahan baku masuk, keluar, harga dan lan-lain. Bagaimana mereka mendokumentasikan lacak balak sesuai peraturan. Ini kita tekankan. Mereka beli legal, tetapi dokumen tidak disimpan.”

Meski tak jarang Oki menemukan ada kelalaian pemilik industri, misal SVLK tidak diperpanjang atau harus ada dokumen UKL/UPL tiap enam bulan, tak dilakukan.  “Proses pendampingan tiap UKM beragam. Umumnya tiga bulan dapat SVLK. Ada juga enam atau satu tahun.”

Indrawan, Koordinator Proyek EU-FAO Flegt Program Aspindo mengatakan, ada empat prinsip memperoleh SVLK.  Pertama, proses perizinan membuktikan mendukung legalitas usaha. Kedua, sistem penelusuran kayu. Ketiga, perdagangan produk yang dihasilkan. Keempat, ketaatan peraturan.

Pasar industri mebel Indonesia untuk ekspor lebih banyak ke Eropa dan Amerika. Proporsi Eropa 40%, dan Amerika 25%. Sisanya, Jepang dan negara lain.

Rudi T Luwia, Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengatakan, masih ada keengganan UKM memperoleh SVLK karena sebagian besar menganggap untuk mendapatkan perlu biaya besar. “Kalau dibandingkan dengan omzet, nilai untuk SVLK tak ada apa-apanya. Itu akan memudahkan masuk pasar Eropa.”

R. Sutarto, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta mengatakan, kayu untuk industri mebel DIY hampir 90% dari hutan rakyat. “Dalam menerapkan SVLK, kami tidak hanya fokus industri, juga di hutan. Kami mendorong kawasan hutan rakyat mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan bersama masyarakat berbasis lestari.”

Ada tujuh hutan rakyat mendapatkan SVLK di Yogyakarta, tersebar di Bantul (2), Sleman (1), Gunung Kidul (2), dan Kulon Progo (2). Untuk penerapan, katanya, belum semua tetapi jaminan kayu legal sudah sesuai ketentuan. “Semua kayu harus ada legalitas.”

Sedang UKM permebelan ada 196 di Yogyakarta. Ada 23 UKM bersertifikasi. Dia optimistis, batas akhir 2015, semua UKM ber-SVLK bisa tercapai.

Ahmad Nasrudin, Kabid Rehabilitasi Produksi Hutan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta  mengatakan, ada aturan pemerintah mempermudah UKM urus SVLK.

Biaya pengurusan SVLK dari Rp12,197 juta, kini Rp6 juta. UKM juga bisa memperoleh SVLK berkelompok. Satu sertifikat maksimal lima UKM. “Kami sudah sosialisasi. Biaya SVLK lebih murah dibanding lalu.”

Pekerja di CV Max, UKM yang sudah memiliki sertifikasi SVLK. Mereka menerima kayu bersertifikasi juga dari hutan warga. Foto: Indra Nugraha

Pekerja di CV Max, UKM yang sudah memiliki sertifikasi SVLK. Mereka menerima kayu bersertifikasi juga dari hutan warga. Foto: Indra Nugraha


Kayu-kayu Bersertifikasi dari Hutan Kelola Rakyat dan UKM was first posted on January 29, 2015 at 9:20 am.

Kelompok Tani Timbo Abu: ‘Memanen’ Hutan, Membentengi dari Serbuan Sawit

$
0
0
Tampak pohon durian yang di bagian bawahnya ditanami jagung. Untuk tanaman jangka pendek, warga menanam antara lain jagung, ketela dan sayur mayur. Tanaman musiman dari durian, rambutan sampai jengkol. Foto: Sapariah Saturi

Tampak pohon durian yang di bagian bawahnya ditanami jagung. Untuk tanaman jangka pendek, warga menanam antara lain jagung, ketela dan sayur mayur. Tanaman musiman dari durian, rambutan sampai jengkol. Foto: Sapariah Saturi

Kelompok tani ini mengajukan HKm agar bisa memanfaatkan hutan bagi peningkatan ekonomi warga dengan tak merusak. Pengajuan hutan kelola rakyat ini sekaligus upaya membentengi hutan dari serbuan sawit.  

Pagi itu, udara begitu dingin. Mungkin di bawah 16oC. Warga desa mulai beraktivitas. Ada yang ke kebun, ladang dan ke pasar membawa sayur mayur. Anak-anak berangkat ke sekolah. Kambing, ayam dan anjing hilir mudik di tengah jalan desa.

Sardi bersiap ke hutan sambil membawa perlengkapan. Ada parang, minuman dan nasi goreng untuk sarapan pagi. Motor trail siap di depan rumah. “Ayo, kita ke sana naik ini. Jalan sangat jelek. Jalan kaki saja susah,” katanya, kala itu.

Sardi adalah Sekretaris Kelompok Tani Maju Bersama di Jorong Timbo Abu, Kecamatan Talamau, Nagari Kajai. Daerah ini berada di Kaki Gunung Talamau, Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Kelompok tani ini memperoleh izin hutan kemasyarakatan (HKm) dari Kementerian Kehutanan seluas 145 hektar di kawasan dengan hutan masih terjaga. Mereka ingin mengelola HKm ini dengan memanfaatkan produk hutan bukan kayu, seperti madu, asam kandis, rotan dan lain-lain. Di kawasan itu juga ada air terjun yang bisa dikembangkan sebagai eko wisata.

“Kami ingin hutan itu tetap terjaga tetapi bermanfaat ekonomi bagi warga,” kata Arianto, ketua kelompok tani.

Jalan ke hutan dan kebun warga cukup memprihatinkan, lebih menyerupai parit daripada jalan. Mereka mengeluhkan masalah ini karena sulit membawa hasil panen ke bawah, maupun bibit ke atas. Foto: Sapariah Saturi

Jalan ke hutan dan kebun warga cukup memprihatinkan, lebih menyerupai parit daripada jalan. Mereka mengeluhkan masalah ini karena sulit membawa hasil panen ke bawah, maupun bibit ke atas. Foto: Sapariah Saturi

Menurut dia, penting menjaga hutan alam yang tersisa di sana, salah satu sebagai penabung sumber air bersih bagi warga. Air dari hutan ini begitu bersih dan jernih. Warga memasang semacam pipa hingga air mengalir langsung ke masing-masing rumah. Ia digunakan berbagai keperluan warga dari makan, minum, mandi dan mencuci dan lain-lain.

Jika melihat sepanjang kabupaten ini, kata Arianto, mayoritas hutan sudah berganti menjadi kebun sawit. Untuk itu, warga bertekad mempertahankan hutan mereka dan tak menanam sawit.

“Salah satu upaya kami menjaga hutan dengan mengajukan izin HkM ini. Kalau tidak, siapa tahu suatu hari nanti, ada izin di lahan kami buat sawit?”

Kala, saya memasuki Kabupaten Pasamat Barat ini, kiri kanan jalan dipenuhi perkebunan sawit. Truk-truk dan mobil-mobil kecil bak terbuka pun hilir mudik membawa sawit ke pabrik. Tumpukan tandan sawit habis petik tampak di halaman-halaman rumah warga.

Pasaman Barat, salah satu sentra sawit di Sumbar. Data BPS Sumatera Barat 2013, kebun sawit seluas 153.676 hektar, tertinggi di provinsi itu.

Kebun karet warga. Foto: Sapariah Saturi

Kebun karet warga. Foto: Sapariah Saturi

Kelompok tani ini mengajukan lagi, 150 hektar lahan untuk agroforestry. Selama ini, di lahan ulayat itu sudah ditanami warga dengan beragam tanaman. Berhubung secara legal masih hutan negara, karena khawatir, mereka mengajukan izin HkM ke Kementerian Kehutanan—kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Saya ingin melihat langsung hutan warga yang mendapat izin Kementerian Kehutanan pada Juli 2013 sekaligus yang diusulkan. Saya ikut ke hutan bersama Sardi.

Kamipun menaiki motor menelusuri jalan desa. Sampai pengujung desa, jalan berubah berlubang-lubang dengan tanah bercampur bebatuan. Menanjak dan berliku-liku. Hanya separuh jalan bisa menggunakan motor. Sebagian besar, berjalan kaki. Yang disebut jalan pun hanya galian-galian menyerupai parit hingga sulit dilewati, sekalipun bagi pejalan kaki! Saya tak membayangkan kala musim penghujan bagaimana warga menuju kebun dan hutan mereka. “Inilah keadaan kami. Kebun di hutan dengan jalan seperti ini. Sangat sulit bagi kami,” kata Sardi.

Wilayah HKm dengan hutan yang masih lebat ini akan dimanfaatkan hasil hutan non kayu, seperti madu, rotan, aren dan lain-lain. Bagi warga, hutan ini harus tetap terjaga guna melindungi kawasan dan penyimpan sumber air. Foto: Sapariah Saturi

Wilayah HKm dengan hutan yang masih lebat ini akan dimanfaatkan hasil hutan non kayu, seperti madu, rotan, aren dan lain-lain. Bagi warga, hutan ini harus tetap terjaga guna melindungi kawasan dan penyimpan sumber air. Foto: Sapariah Saturi

Kesulitan akses ke hutan ini menjadi salah keluhan warga. Mereka meminta, pemerintah bisa membantu memperbaiki jalan itu. Warga tak memerlukan jalan besar dan mulus, cukup jalan kecil berbeton atau aspal, hingga sepeda motor atau pejalan kaki mudah melewati. “Sulitnya, kalau panen, seperti bawa jagung atau kacang. Kami harus angkut bolak balik berulang kali dengan jalan jelek seperti ini. Sangat berat, tapi tak ada pilihan lain.”

Di kiri kanan kebun-kebun tampak menghijau. Tanaman beragam. Ada durian, cengkih, jengkol, kayu manis, pinang, kemiri sampai karet. Saya mengamati dan mengambil foto pohon durian tinggi menjulang dengan buah lebat. Saking asik mengambil foto saya tak sadar ancaman mengintai. “Buk!!!” Satu durian jatuh nyaris menimpa saya.

Di bagian bawah pohon-pohon keras itu, ditanami juga beragam tanaman cepat panen. Ada singkong, ubi ketela, cabai, sayur mayur, jagung sampai pisang.

Di perjalanan itu, ada pemandangan unik, tampak pohon-pohon sawit dengan daun memutih. “Itu sengaja dibunuh oleh yang punya. Mereka mau ganti dengan tanaman lain.”

Durian, salah satu buah musiman andalan kampung ini. Foto: Sapariah Saturi

Durian, salah satu buah musiman andalan kampung ini. Foto: Sapariah Saturi

Di sekitar itu tak ada sawit, kecuali ratusan pohon dengan daun kering dan memutih itu. “Kami memang sepakat tak mau tanam sawit. Kami tak mau hutan kami ini jadi sawit. Hanya tinggal daerah sekitar sini yang  aman,” ujar dia.

Setelah perjalanan hampir satu jam, barulah kami sampai di tepian hutan kelompok tani ini. Tampak hamparan hijau tanaman jagung muda berbunga diterpa angin ke kiri dan ke kanan. Sebagian, pohon jagung mengering baru usai panen. Di atas ladang ini juga ada durian, kayu manis, surian, cengkih dan sampai bambu.

“Di bagian atas kami mau tanami kopi. Bibit sudah disiapkan. Mulai berangsur kami naikkan bibit ke sini,” kata Sardi.

Sedang kawasan HKm yang berada di hutan lebat, tak mereka ganggu. Tampak pohon-pohon besar menjulang dengan bagian atas puncak gunung yang masih tertutup awan putih.  “Hutan yang itu harus terjaga. Kebun dan ladang kami, batasnya sampai sana,” katanya, sambil menunjukkan batas terakhir kebun warga.

Sebagian besar warga kampung ini menanam jagung. Hasil per hektar cukup menjanjikan sekitar enam ton. Namun, sebagian besar petani terjerat utang dengan para tengkulak. Foto: Sapariah Saturi

Sebagian besar warga kampung ini menanam jagung. Hasil per hektar cukup menjanjikan sekitar enam ton. Namun, sebagian besar petani terjerat utang dengan para tengkulak. Foto: Sapariah Saturi

Tata cara kelola tanaman dengan menjaga hutan yang masih bagus dan memanfaatkan semak belukar sebagai kebun sesuai dengan kearifan lokal warga Minang ini. Adat istiadat warga juga masih terjaga. Mereka memiliki ketua adat yang membawahi beberapa niniek mamak.

Terjerat tengkulak

Di jorong (desa) seluas 500 hektar dengan sekitar 700 keluarga ini sekitar 80% warga menanam jagung. Produk ini menjadi salah satu andalan selain sayur mayur. Sayangnya, sebagian besar petani masih terperangkap tengkulak. Keperluan tanam mereka ditanggung atau boleh berutang terlebih dahulu, dengan syarat menjual hasil panen dan harga sesuai tengkulak.

Mawardi, seorang petani mengatakan, sekarung urea 100 kg, kalau tunai Rp250 ribu, warga bisa utang Rp320-Rp350 ribu. Racun per liter, harga tunai Rp50.000 dan utang Rp80.000. Bibitpun boleh ambil. “Karena diberi terus, warga jadi tergantung. Tiba panen, mesti jual ke mereka.”

Kayu manis, salah satu hasil dari hutan warga. Kayu yang biasa dipakai buat bumbu masakan ini dijual Rp15.000 per kg. Foto: Sapariah Saturi

Kayu manis, salah satu hasil dari hutan warga. Kayu yang biasa dipakai buat bumbu masakan ini dijual Rp15.000 per kg. Foto: Sapariah Saturi

Untuk itulah, kata Sardi, kelompok tani ini pelahan berupaya melepaskan warga dari para tengkulak. Jika petani bisa melepaskan diri dari tengkulak, katanya, kehidupan mereka akan jauh lebih baik. “Kalau dari hasil tanam cukup bagus, per hektar jagung bisa enam ton.”

Selain jagung dan sayur mayur, yang bisa panen tanpa musiman pinang per kg Rp15.000, asam kandis Rp5.000 per kg. Lalu kayu manis per kg Rp15.000, kemiri Rp5.000 per kg.

Ada juga yang membuat gula aren, seperti dilakukan Mawardi.Hampir tiap pagi dia mencari nira. Kadang, satu kali masak dia mendapat empat kg gula aren. “Saya jual ke pasar per kg Rp14.000,” katanya.

Setiap hari, gula aren yang dibuat bulat pipih dengan diameter sekitar 20 cm itu dikumpulkan. Kala sudah banyak, barulah dijual. Mawardi tak bisa memasak nira dalam jumlah besar karena kuali yang dimiliki kecil. Dia berharap, ada bantuan pemerintah buat membeli peralatan masak gula yang lebih  besar.

Cengkih, salah satu tanaman potensial dikembangkan warga kampung ini di hutan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Cengkih, salah satu tanaman potensial dikembangkan warga kampung ini di hutan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Bibit bambu, yang dibawa satu-satu dari kampung untuk ditanam di kebun warga. Foto: Sapariah Saturi

Bibit bambu, yang dibawa satu-satu dari kampung untuk ditanam di kebun warga. Foto: Sapariah Saturi

Mawardi, usai mengambil air nira dan siap dimasak menjadi gula aren. Foto: Sapariah Saturi

Mawardi, usai mengambil air nira dan siap dimasak menjadi gula aren. Foto: Sapariah Saturi

Sardi, sekretaris kelompok tani (tengah), berbincang dengan petani yang berpapasan di kebun. Foto: Sapariah Saturi

Sardi, sekretaris kelompok tani (tengah), berbincang dengan petani yang berpapasan di kebun. Foto: Sapariah Saturi

Beginilah warga membawa bibit dari bawah (kampung) menuju hutan mereka. Bibit dibawa sedikit demi sedikit menggunakan motor melewati medan jalan yang sulit. Foto: Sapariah Saturi

Beginilah warga membawa bibit dari bawah (kampung) menuju hutan mereka. Bibit dibawa sedikit demi sedikit menggunakan motor melewati medan jalan yang sulit. Foto: Sapariah Saturi

Beginilah jalan menuju ke kebun warga. Foto: Sapariah Saturi

Beginilah jalan menuju ke kebun warga. Foto: Sapariah Saturi

Beginilah penampakan Jorong Timbo Abu kala pagi hari. Udara dingin dan segar, dari kejauhan tampak jejeran bukit barisan masih diselimuti awan putih. Indahnya...Foto: Sapariah Saturi

Beginilah penampakan Jorong Timbo Abu kala pagi hari. Udara dingin dan segar, dari kejauhan tampak jejeran bukit barisan masih diselimuti awan putih. Indahnya…Foto: Sapariah Saturi

Arianto, ketua kelompok tani. Foto: Sapariah Saturi

Arianto, ketua kelompok tani. Foto: Sapariah Saturi


Kelompok Tani Timbo Abu: ‘Memanen’ Hutan, Membentengi dari Serbuan Sawit was first posted on January 30, 2015 at 11:06 pm.

Arang Briket Solusi Atasi Sampah di Tanah Lot. Bagaimana Caranya?

$
0
0

Proses batok kepala menjadi arang briket. Foto: Anton MuhajirProses batok kepala menjadi arang briket. Foto: Anton Muhajir

Tanah Lot, salah satu pusat wisata di Bali. Tiap hari 5.000-6.000 turis mengunjungi kawasan ini. Dengan cuaca pantai relatif panas, es kelapa muda jadi salah satu minuman paling laris.

Tak pelak, per hari, sekitar 1.000 batok kelapa menjadi sampah di sini. Saat sepi turis, batok kelapa minimal 800 butir. Kalau ramai bisa 2.000 butir. Batok-batok itu dari ratusan pedagang dan puluhan restoran di Tanah Lot, Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan.

Sampah batok kelapa menumpuk. Begitu juga jenis sampah lain. Per hari, sampah mencapai 9-10 kuintal.

Jika sampah lain diangkut petugas DKP Tabanan ke tempat pembuangan akhir, tidak demikian batok kelapa. Semua dibiarkan. Pedagang-pedagang membuang begitu saja batok kelapa itu. Tidak ada yang mengolah.

Melihat sampah menumpuk, warga didukung Yayasan Korpri Universitas Warmadewa, PT Aqua Investama Lestari, dan Pemerintah Tabanan, mengolah batok-batok kelapa itu menjadi bahan bakar briket. Warga tergabung dalam Gemaripah, sebuah komunitas pengelola sampah di Tanah Lot.

“Kita harus berbuat sesuatu menangani sampah. Biar tidak saling menyalahkan,” kata Ketua Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, Ketua Yayasan Korpri Universitas Warmadewa.

Menurut dia, sampah memang tak cuma masalah Tanah Lot. Beberapa tempat wisata lain mengalami hal sama, serbuan sampah tak terkendali. Salah satu Kuta. Ketika musim hujan, sampah-sampah menyerbu pantai tempat berjemur, bersantai, berwisata, dan berselancar ini.

Tiga tahun lalu, majalah TIME menulis masalah sampah di Bali. Dengan judul agak sarkas, menyebut Bali sebagai neraka gara-gara sampah. Artikel ini menyodok banyak pihak. Mereka gerah dan gelagapan karena tulisan yang sebenarnya sering diangkat media lokal itu. Mereka khawatir merusak citra Bali dan berpengaruh buruk bagi kunjungan wisata.

Setelah batok kelapa halus, dicampur serbuk kayu. dijemur lalu dibakar dan menjadi arang briket. Foto: Anton Muhajir

Setelah batok kelapa halus, dicampur serbuk kayu. dijemur lalu dibakar dan menjadi arang briket. Foto: Anton Muhajir

Bisnis pariwisata adalah bisnis citra. Karena itu, citra Bali pulau bebas sampah harus dijaga. Ini pula yang memengaruhi warga Tanah Lot mengolah sampah, salah satu batok kelapa menjadi briket.

Ketua Gemaripah Made Sulindra, mengatakan, para pedagang dan warga di Tanah Lot mulai rajin gotong royong membersihkan sampah.Mereka mulai mengolah batok kelapa menjadi briket. Tempat pengolahan briket di bagian utara Tanah Lot, menempati satu bangunan berukuran 5 x 5 meter persegi.

Setiap hari ada petugas mengolah batok-batok kelapa dari berbagai warung dan restoran di sana. Pengolahan termasuk cepat, sekitar 10 menit. Tiap batok kelapa, masih basah sekalipun, bisa langsung dipakai. Ia dimasukkan mesin pencacah hingga seperti sabut-sabut kasar. Perlu dua atau tiga kali pencacahan agar sabut-sabut lebih halus.

“Makin halus sabut, makin bagus kualitas briket.”

Sabut halus itu dicampur serbuk kayu dengan perekat tepung kanji. Ada takaran tertentu dari masing-masing bahan agar briket berhasil bagus.

Adonan sabut kelapa dan serbuk kayu dipres dengan alat cetak berbentuk bulat serupa mangkuk terbalik. Bentuk briket mulai terlihat meski masih basah.

Briket basah dijemur antara 3-4 hari dan siap dibakar. Dalam sehari, warga bisa memproduksi 500 briket dengan harga Rp7.000 per kg.

Menurut Sulindra, briket-briket itu bagus sebagai pengganti arang. Beberapa hotel sekitar sudah mencoba. Jadi, briket batok kelapa itu potensial dikembangkan. Sayangnya, penjualan belum lancar. Pembeli briket olahan masih eceran. “Kami belum berani menjual jumlah besar karena takut kewalahan.”

Kala musim penghujan, mereka kesulitan menjemur briket. Namun, kata Sulindra, penjemuran sudah dengan para-para di ruangan yang memakai atap tembus cahaya matahari. “Tapi tetap tidak bisa cepat seperti dijemur langsung sinar matahari.”

Selain terkendala cuaca, karena pengeringan manual, pengolahan briket menghadapi tantangan keterbatasan produksi. “Kami masih mencari solusi agar memproduksi briket kering meskipun musim hujan dan bagaimana menghasilkan dalam jumlah besar.”

Menggiling batok kelapa menjadi bagian-bagian kecil dan siap menjadi briket. Foto: Anton Muhajir

Menggiling batok kelapa menjadi bagian-bagian kecil dan siap menjadi briket. Foto: Anton Muhajir


Arang Briket Solusi Atasi Sampah di Tanah Lot. Bagaimana Caranya? was first posted on January 31, 2015 at 12:01 am.

Bagaimana Nasib REDD+ Pasca Peleburan?

$
0
0

Lahan gambut di Desa Selingsing, Riau terbakar Maret 2014. Pada Juni, 95 persen titik api Sumatera berada di Riau. Pada Oktober lalu, BP REDD+ bersama kementerian selesai audit kepatuhan perusahaan dan pemerintah daerah terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan ini. Dari 17 perusahaan yang diaudit semua buruk. BP REDD+ terus memonitoring audit ini bersama pemerintah daerah. Perbaikan dimulai dengan langkah-langkah detil. Bagaimana nasib monitoring ini? Rencana awal tahun ini audit akan lanjut ke Kalteng. Bagaimana kelanjutannya setelah BP REDD+ ‘mati’? Foto: Zamzami

“Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menandatangani pembentukan  Badan REDD+  pada 31 Agustus 2013…. Badan baru ini terbentuk lewat Keputusan Presiden No 62/2013 dengan tujuan memastikan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut.” Begitulah pembuka berita saya kala badan ini terbentuk,  lebih setahun lalu.

Sekitar tiga bulan pembentukan itu, lewat Kepres tertanggal 12 Desember 2013, presiden menunjuk Heru Prasetyo, memimpin badan ini. Saat itu, Heru menjabat deputi I UKP4.

Kala itu, keseriusan presiden membentuk badan yang diisyaratkan dalam letter of intent (LoI) dengan Norwegia ini sempat dipertanyakan karena terkesan lambat. Persiapan sekitar tiga tahun, baru lembaga ini lahir.

Belum genap dua tahun,  nyawa badan ini dicabut alias sudah ‘almarhum’ lewat Peraturan Presiden tentang struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 21 Januari 2015.

Bagaimana kelanjutan kerja-kerja badan ini? Akankah upaya penurunan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan lebih baik atau lebih buruk kala dilebur dengan Kementerian LHK?

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, angkat bicara.  Meskipun belum ada langkah-langkah detil, tetapi dia berusaha meyakinkan, dengan melekat di satu organ pemerintahan (Kementerian LHK), kata Siti, interaksi dengan daerah akan makin kokoh dalam menjalankan kerja-kerja REDD+. “Makin jejek, tajem, dan kokoh. Koordinasi pemerintah ke daerah itu sering dan itu instrumennya. Kalau badan lepas, itu tidak gampang buat instruksi langsung,” katanya di Jakarta.

Tak hanya itu, katanya, dengan peleburan ini lebih baik  karena akan berbagi tanggung jawab pendanaan.  Untuk hal-hal yang bersifat seperti keilmuan, peningkatan kapasitas masyarakat, monitoring sistem, sampai data base development bisa didanai luar negeri. Ketika berbicara belanja operasional kerja, personil, bisa menggunakan dana APBN. “Itu keungggulan kalau di direktorat jenderal.”

Untuk itu, nanti ada semacam dewan penasehat atau board of director (BOD). BOD ini, kata Siti, bisa mendevelop sistem finansial seperti apa yang tak akan tercampur dengan APBN.  “Karena memang sistem seperti itu. Nanti silakan bisa dikembangkan, mau super fund, trust fund.”

Dari sanalah, sistem keuangan dikembangkan.  “Hanya saya gak tahu, setelah jadi nanti, tentu harus berkonsultasi ke menteri keuangan. Saya gak ngerti.  Tapi paling tidak kita siapkan konsep-konsep itu sambil jalan.”

Bagaimana posisi BOD dalam kementerian ini?  Siti mengatakan, hubungan menteri dengan BOD bisa koordinatif atau instruktif. Hubungan board ini ke direktorat, saling melengkapi.

Mengenai bentuk dan siapa saja yang bakal ada di BOD ini, menteri menyerahkan urusan desain kepada San Avri Awang, Kepala Balitbang Kementerian LHK. “Misal, ada perguruan tinggi, akademisi, LSM, kerja sama teknik luar negeri.”

Para pihak yang duduk di BOD ini, katanya, orang-orang bebas jadi semacam in house consultant. “Bukan atas perintah kita. Ia akan pengaruhi cara berpikir saya. Independen. Yang tidak represif, tak ada intrik, tak ada policy diem-diem.”

Siti membuat BOD ini guna menjawab isi letter of intent (LoI) yang menyatakan mesti ada badan independen. “Yang diminta Norwagia itu independen. Agar orang yang menghadap ke presiden, dalam hal ini saya,  gak boleh ada agenda terselubung.”  Dia tak keberatan, kala bertemu dengan presidenpun bersama koordinator BOD. “Saya gak ada masalah.”

Terkait peleburan, bagaimana komunikasi dengan Norwegia? Menurut dia, sudah mengundang dan bertemu Duta Besar Norwegia.  “Terus saya bicara dengan Menlu Retno. Saya jelaskan dan minta tolong, keliatan bisa-bisa salah mengerti soal ini. Ada arahan dari presiden harus hindari tumpang tindih. Saya minta tolong didiplomasikan dengan baik,” ujar dia.

Siti mengatakan, kala penyusunan LoI memang perlu special agency karena Kementerian Kehutanan dianggap tak reform. Saat ini, Kementerian LHK bertekad mengubah diri.  “Paling tidak harus ke sana. Tak ada pilihan lain karena memang harus berubah. Orientasi kerja harus berubah.”

Posisi dirjen terbuka

Guna mendapatkan sosok-sosok kuat dalam memegang urusan perubahan iklim dan penegakan hukum di kementerian, pemilihan sang direktur jenderal pun terbuka buat umum. “Bisa swasta, LSM, bisa siapa saja yang layak,” katanya.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah bersalaman dengan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo disaksikan Wakil Dubes Norwegia Per Cristiansen usai penandatanganan nota kesepahaman di Pendopo Gubernur Aceh, Senin (17/11/14). Bagaimana kelanjutan MoU ini pasca BP REDD+ lebur ke Kementerian LHK? Foto: BP REDD+

Lalu, apa juga tanggapan dari orang-orang BP REDD+ kala badan ini ‘mati’ mendadak? Heru Prasetyo, mantan kepala badan yang baru likuidasi ini mengatakan, perpres itu mengatur Kementerian LHK dengan memasukkan pasal yang menyatakan, membatalkan dan mencabut Perpres 62/2013,  yang menjadikan BP REDD+. “Jadi, kalau bicara BP REDD+, tugas dan fungsi diambil alih Kementerian LHK sejak 21 Januari 2015,” katanya.

Anehnya, dalam aturan peralihan tak mengatur jelas soal BP REDD+. “Peraturan peralihan hanya menyebutkan seluruh jabatan yang ada……Yang dibilangin hanya Kementerian LHK. Tak ada pasal lain yang atur fungsi dan peran BP REDD+ selama masa transisi itu.”

Artinya, kata Heru, BP REDD+,  bisa menjalankan fungsi sampai terbentuk perpres baru. “Ini satu pandangan. Ada juga pandangan, tidak ada aktivitas lagi karena tugas dan fungsi sudah tak ada.” Yang jelas, kata Heru, sesuai peraturan tadi, jabatan-jabatan BP REDD+ tak ada lagi.

Sejak ada Satgas REDD+ dan BP REDD+, kata Heru, dunia melihat Indonesia terbuka dalam tataran REDD+, baik soal  REDD+ more than carbon, keterbukaan dan dialog dengan banyak orang. Seharusnya, Indonesia bangga. Heru pun tak bisa memastikan apakah setelah lebur di Kementerian LHK hal-hal itu akan berjalan konsisten atau tidak.

“Apakah Kementerian LHK sekarang sama dengan yang lalu? Saya tak bisa berikan penilaian karena bukan pemerhati. Saya pegiat REDD+.  Kalau memang LHK bisa berubah dan mampu tangani spesifik seperti  ini bisa lanjut. Kalau gagal, dan yang terjadi business as usual dari birokrasi ya…”

Dia mencontohkan, kerja-kerja di kementerian yang mandek mesipun sudah puluhan tahun. Salah satu KPH. Konsep itu, kata Heru, sudah ada sejak 1984 dan mulai dikembangkan di luar Jawa. “Dari 1984 sampai 2014, KPH gak jalan. Andai kata perilaku masih sama ya gak jalan…Ini satu contoh saja,” ujar dia.

Saat ini, yang terjadi, BP REDD+ sudah tak ada dan kelanjutan belum jelas. “Apa mungkin nanti ada pembicaraan lagi? Apa tunjukkan komitmen Indonesia turun? Kulitnya yang katakan komitmen itu ada. Dalamnya, gak tau. Karena tak punya label.”

Menurut Heru, dalam menggabungkan satu badan atau lembaga, jika hanya memikirkan agar tak tumpang tindih, itu suatu hal mudah. Yang sulit itu, katanya, bagaimana konsep bisa jalan. “Itu yang perlu ilmu. BP REDD+, coba buat lebih efektif di lapangan.”

Mengenai pembuatan perpres, apakah harus mengacu LoI?  “Harusnya, kalau kita sehat, waras, lihat value dari masing-masing.”  Kemudian dicari solusi yang paling pas untuk dua hal itu. “Kalau di sini benefit paling banyak masak di-drop? Masa’ tak dilakukan? Kalau memang dua-duanya benefit banyak, mbok ya mikir lagi, bagaimana memanfaatkan dua benefit itu jangan saling melemahkan,” ucap Heru.

William Syahbandar, mantan Deputi Operasional BP REDD+ mengatakan, BP REDD+ fokus kepada beberapa hal, antara lain, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, perlindungan dan pengakuan  masyarakat adat, mendorong pelaksanaan moratorium hutan dan lahan gambut, reforma agraria lewat penataan perizinan. Lalu, penyelesaian konflik hutan dan lahan, pembaruan dan penegakan hukum serta pemberantasan mafia kejahatan hutan dan lahan gambut.

“Ini yakin tak akan efektif kalau dikerjakan di LHK. Karena pelaku-pelaku kejahatan itu punya kaitan erat dengan struktur eksisting sekarang.”

Untuk itu, dia berharap, masyarakat sipil dan seluruh mitra, mendorong inisiatif ini bersama. “Selamatkan agenda ini bersama-sama. Terutama, sangat diharapkan, komitmen yang disampaikan presiden adalah memperpanjang  moratorium.”

Terkait peleburan BP REDD+ ini, bagaimana kaitan dengan LoI? “Pengalihan tugas BP REDD+ ini tak sesuai dengan LoI. Karena dalam LoI kalimat tertulis dan ditandatangani Menlu dan Menteri Norwegia, itu spesifik banged special agency buat implementasikan REDD+,” kata Heru.

Untuk itu, tak ada keraguan Heru kala peleburan badan ini jelas-jelas tak sesuai LoI. “Kriteria badan itu, koordinasi dan lapor langsung kepada presiden. KLHK berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.”

Apalagi kalau dikaitkan tugas Kementerian LHK itu menjalankan urusan pemerintahan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. “Artinya, KLHK tak menuhi syarat dalam Pasal 6 LoI tadi karena bukan badan khusus yang bisa jalankan REDD+. Perpres 16 itu juga tak khusus atur BP REDD+ tapi buat atur LHK.”

Dalam LoI, katanya, para pihak , baik Indonesia maupun Norwegia, bisa saja membatalkan kapanpun melalui tertulis.  Dalam perspektif hukum, kata Heru, LoI ini termasuk hukum lunak (soft law), tak mengikat. “Dalam isi LoI juga harus dituangkan dalam perjanjian lebih lanjut dengan para pihak. Tak ada sanksi apapun. Apakah  bisa modifikasi? Bisa mungkin saja.”

Meskipun LoI tak ada sanksi, bukan berarti bisa melanggar begitu saja. Mas Achmad Santosa, mantan Deputi UKP4 mengatakan, secara etika hubungan luar negeri seharusnya memberitahu ke Kementerian Luar Negeri. Nanti, Kemenlu  yang akan berkomunikasi dengan Norwegia.

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, sejak September 2014. Kebakaran menyebabkan, asap tebal menyelimuti daerah ini hingga berbagai aktivitas terganggu. Akankah audit kepatuhan karhutla sesi II berlanjut setelah BP REDD+ tiada? Foto: Zenzi Suhadi/Walhi

Pastikan kerja berjalan

Kalangan badan inipun mendapat tanggapan dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan akademisi. Teguh Surya dari Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya pencapaian target penurunan emisi khusus sektor kehutanan dan penggunaan lahan bisa lebih terarah, terukur dan terkoordinasi dengan baik.  Dengan begitu, peleburan ini memberikan makna positif bagi Indonesia bukan hanya perdebatan eksistensi kelembagaan.

Pada masa transisi, katanya, KLHK harus menyiapkan skenario transisi terbaik agar proses peralihan berjalan mulus. Belajar dari pengalaman, proses transisi sering terganjal pada hal-hal bersifat politis. Untuk itu, katanya, dukungan BP REDD+ terhadap kebijakan baru ini sangat menentukan proses transisi.

Selain itu, katanya, perlu ada kepastian  bahwa kerja-kerja dan komitmen BP REDD+ yang sedang berjalanpun, tidak terganggu. “Banyak terobosan positif sedang dikerjakan BP REDD+.”

Dengan peleburan ini, kata Teguh, salah satu tantangan pada kewenangan berkoordinasi lintas kementerian dan lembaga. Sebab, dimensi perubahan iklim sangat luas.

Tak jauh beda dengan Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dia berharap, proses pelembagaan tugas pokok dan fungsi BP REDD+ dan DNPI lancar dan segera berjalan sesuai harapan. Termasuk,

BP REDD+ sebagai wali data peta adat. Karena BP REDD+ lebur ke KLHK, seharusnya tugas dan fungsi walidata peta wilayah adat otomatis menjadi tugas dan fungsi kementerian ini.

Avi Mahaningtyas, dari Climate and land Use Alliance menilai, akan baik bagi kementerian menerapkan kerja-kerja dari bawah seperti yang sudah dilakukan BP REDD+ sebagai dasar bagi manajemen tata kelola dan reformasi kehutanan maupun sumber daya alam. Semua itu, katanya,  akan membantu Menteri LHK, Siti Nurbaya, agar kementerian ini fokus–termasuk prioritas melakukan perubahan, dan berkoordinasi bersama kementerian-kementerian lain.

Menteri LHK, kata Avi, akan sangat berperan dalam membantu presiden menjalankan komitmen dan meningkatkan kepemimpinan Indonesia dalam menangani perubahan iklim dari mengurangi deforestasi. “Jadi, bantuan semua orang dapat diberikan kepada Siti Nurbaya,  demi melihat perubahan di dalam pemerintahan ini,” katanya.

Untuk itu, lebih baik membantu menteri baru dalam melanjutkan kerja-kerja penting, seperti review perizinan, audit kepatuhan pada konsesi perkebunan dan izin-izin kehutanan, pemetaan wilayah adat. Juga implementasi putusan MK 35,  satu peta, MRV, pengawasan dan monitoring kebakaran hutan, pengurangan deforestasi sampai pengukuhan kawasan hutan di bawah koordinasi KPK.

Deni Bram, pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara mengatakan, secara struktur hirarki perpres lebih tinggi dari LoI. Namun, terpenting saat ini bukan soal ratifikasi justru harus perubahan secara substansil.  “Mari kita mulai “pemutihan” dan aksi nyata terkait perubahan iklim saat ini.”

Menyangkut, BP REDD+ selaku wali data sementara peta adat, Deni menilai, tak masalah. “AMAN tidak perlu gusar karena itu mengikat pada program dan dipastikan tidak berubah selama dasar hukum masih valid.”

Menurut dia, program REDD+ yang berjalan tak seketika batal demi hukum dengan peleburan institusinya. Bahkan, katanya, bisa menjadi momentum bagi pemerintah menguatkan pelaksanakan MK 35.


Bagaimana Nasib REDD+ Pasca Peleburan? was first posted on February 1, 2015 at 5:09 pm.

Puisi Jerinx Semangati Massa Tolak Reklamasi Benoa

$
0
0
Jerinx menciptakan puisi dana membacakan kala aksi di DPRD Bali. Foto: Luh De Suriyani

Jerinx menciptakan puisi dan membacakan kala aksi di DPRD Bali. Foto: Luh De Suriyani

“Diserang culasnya wewenang, pulau ini siap berperang. Bersenjatakan mesin dan lencana, pagar ketulusan engkau robohkan. Tunggu aku di jalan, tulusku sudah menjadi bara dan hari ini kau kan kulawan. Teruslah hisap hingga habis darah dan identitasku, bersama kepulan tebal kanabisku. Tapi tuan, jam pasir ini berbalik, detik-detikmu tak bertuan, menunggu barisan badai.Yang kan ledakkan istanamu. Susunan speaker menjulang tinggi, frekuensinya lantang pecahkan nusantara. Speaker separatis kan tebas tanganmu, menggilas pionmu, mengubur kuasamu. Speaker separatis.”

Begitulah puisi yang dibuat I Gede Ary Astina aka Jerinx,  personil Superman Is Dead (SID). Dia menyemangati publik Bali dengan membacakan puisi cukup provokatif berjudul Speaker Separatis, kala aksi di DPRD Bali, Jumat (29/1/15). Puisi ini begitu menyemangati massa.

Berbalik dengan galaknya kata-kata puisi itu, Jerinx membacakan dengan nada santai. Bahkan diiringi musik reggae racikan manajer SID, Dodix. Istilah “speaker separatis” bak menjadi kata penyemangat bagi fans dan warga penolak reklamasi.

Hari itu, kembali aksi longmarch memobilisasi massa oleh Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) Teluk Benoa. Kali ini, mereka memberi pesan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti agar tak gentar menolak rencana investor yang bakal mereklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektar.

Massa berkumpul sejak pukul 14.00, lalu berbaris dan bergerak. Tiap orang mengambil alat aksi seperti poster, spanduk, dan wayang berbentuk fauna laut. Makin meriah dengan gong dan barong bangkung (barong berbentuk babi hitam) dari Sekaa Teruna (kelompok muda) Banjar Taensiat, Denpasar.

Pande Ketut Merta, warga Tanjung Benoa berorasi dengan membuat perumpamaan satir tentang investor yang berencana mereklamasi teluk itu. Di atas pikap yang membawa soundsystem, Pande mendapat tepuk tangan meriah di antara 1.000 massa.

“Jangan tertipu istilah revitalisasi. Itu hanya janji manis investor. Kalau mereka memaksakan diri reklamasi di teluk akan ditanjung (ditendang). Kalau di Bali timur diculik, di Bali barat dicekik. Kalau di Bali utara digigit,” katanya lantang. Tanjung, Culik, Cekik, dan Gitgit adalah nama-nama daerah di empat mata angin pulau Bali.

Anak-anak muda dengan bersemangat meneriakkan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Anak-anak muda dengan bersemangat meneriakkan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Pande risau karena investor tak henti mengampanyekan rencana reklamasi ini dengan berbagai cara. Pria tua ini berharap warga sekitar Teluk teguh menolak.

Dikomando beberapa anak muda di mobil pikap, massa bergerak menuju Monumen Perjuangan Rakyat Bali Bajra Sandhi. Lalu mengarah ke kantor DPRD Bali. Longmarch kembali masuk ke kantor legislatif provinsi ini karena Ketua DPRD Adi Wiryatama dianggap ingkar janji. Pansus reklamasi Teluk Benoa urung dibentuk dengan alasan tak mencapai mufakat  di internal dewan.

I Wayan “Gendo” Suardana, koordinator ForBALI menganggap DPRD tidak punya niat menelusuri indikasi manipulasi di rencana reklamasi. Ketua DPRD Bali disebut gagal memenuhi harapan publik. “Padahal jika Pansus terbentuk ada upaya melihat gambaran utuh manipulasi proyek untuk kepentingan investasi ini.”

Gendo menyebut reklamasi ini bisa memperlihatkan betapa bahaya jika proyek besar melalui keputusan sembunyi-sembunyi. Dia mengatakan, ini tak hanya di Teluk Benoa juga Bali dan Indonesia. “Ini tentang keberpihakan pada upaya konservasi lingkungan.”

DPRD Bali juga dianggap lemah karena tak berani membuat surat pernyataan menolak reklamasi dan pembatalan Perpres 51 yang dibuat Susilo Bambang Yudhoyono.

Untuk Susi Pudjiastuti, Gendo menyukai istilah Menteri Susi menjawab DPR, seperti dikutip media. “Suka pernyataan Susi. Kalau investor mau reklamasi harus buat dam 700 hektar. Ini seperti legenda Lara Jonggrang minta dibuatkan 1.000 candi sebelum fajar.”

Sang pangeran hampir berhasil, namun Jonggrang bersiasat membangunkan ayam dengan kentongan hingga mahluk halus mengira sudah pagi dan kurang satu candi yang belum dibangun. “Syarat Susi hampir mustahil. Namun bisa jadi karena berhadapan dengan kekuasaan besar. Jangan lengah terus berjuang.”

Pande Merta, warga Teluk Benoa, yang berteriak lantang menolak reklamasi dalam aksi itu. Foto: Luh De   Suriyani

Pande Merta, warga Teluk Benoa, yang berteriak lantang menolak reklamasi dalam aksi itu. Foto: Luh De Suriyani


Puisi Jerinx Semangati Massa Tolak Reklamasi Benoa was first posted on February 2, 2015 at 3:45 pm.

Keren! Walhi Kembangkan Listrik Tenaga Surya di Negeri Laskar Pelangi

$
0
0
PLTSu yang dibangun Walhi dan kini sudah bisa menerangi 24 rumah warga 24 jam penuh di Bangka Belitung. Foto: Walhi

PLTSu yang dibangun Walhi dan kini sudah bisa menerangi rumah- rumah warga 24 jam penuh di Bangka Belitung. Foto: Walhi

Organisasi lingkungan, Walhi Bangka Belitung, ingin memberikan satu contoh nyata pengembangan energi ramah lingkungan. Krisis istrik di Kepulauan Bangka Belitung dijawab Walhi lewat pembangkit listrik tenaga surya di Desa Rebo, Sungailiat Bangka. Kini, listrik dari surya ini sudah mampu mengaliri rumah-rumah warga 24 jam penuh.

Ratno Budi, Direktur Eksekutif Kepulaua Babel mengatakan, kegiatan ini sejak setahun lalu, dan selesai Desember 2014. PLTSu Desa Rebo, katanya,  mampu menghasilkan energi listrik lima kilowatt (KW), dan menyuplai untuk 14 rumah tangga di sana.

“Walhi menggandeng perusahaan kontruksi listrik dari Korea Selatan. Alhamdulillah, akhirnya Babel memiliki pembangkit listrik ramah lingkungan,” katanya dalam rilis kepada media, Selasa (3/2/15).

Pembangkit listrik yang dibangun Walhi, bersama organisasi lingkungan Korea Selatan (Korean for Environment Movement-KFEM) inimelibatkan warga dalam proses perakitan. Tujuannya, agar warga ikut belajar bagaimana merakit sistem. “Syukur ke depan kita bisa bangun sendiri, jadi siapkan dulu sumber daya.”

PTLSu di desa ini, katanya, sudah mengaliri rumah-rumah warga selama 24 jam penuh.

Menurut Uday, biasa dia disapa, pembangunan PLTSu ini jawaban atas keinginan pemerintah membangun PLTN di Negeri Laskar Pelangi ini.

“Babel belum memerlukan energi dari nuklir. Ini jawaban buat pemerintah dan pihak-pihak yang ngotot membangun PLTN di Kepulauan Babel. Batan harus tidak memaksakan membangun PLTN di Babel. Kita memiliki sumber energi lain jauh lebih ramah lingkungan,” katanya.

PLTSu ini dibangun dengan dana Rp600 juta. Meskipun cukup besar, namun hasil bagi warga lebih besar. Pembangkit ini mampu bertahan hingga 20 tahun ke depan.

Uday meminta, pemerintah bijak menanggapi wacana PLTN di Babel. “Jangan terjebak dengan kepentingan proyek semata. Untuk membangun PLTN di Babel, Batan mendapatkan Rp159 miliar. Itu saja dipakai hanya untuk riset. Bayangkan, jika uang itu untuk membangun PLTSu seperti ini, berapa banyak wilayah di Babel ini atau di Indonesia teratasi krisis listrik?”

Dia berharap, pemerintah daerah  bisa bersama-sama membangun pembangkit listrik ramah lingkungan di sana. Potensi daerah ini, kata Uday, sangat besar. Babel memiliki semua,  dari angin, panas, sampai gelombang. “Tinggal bagaimana mengajak anak-anak muda riset energi terbarukan. “Mahasiswa, pelajar dan masyarakat harus dilibatkan. Jika ini dilakukan, tidak ada lagi namanya byar pet di Babel ini.”

Walhi, katanya, juga sedang riset sumber listrik lain seperti panas bumi, tenaga angin, dan gelombang laut. “Ke depan akan membangun pembangkit listrik terbarukan model lain di Babel.”

Koperasi pengelola

Meskipun sudah dipakai sehari-hari oleh warga, PLTSu ini baru akan diresmikan Kamis (5/2/15). Pada hari itu, kata Uday, sekaligus deklarasi Koperasi Hijau untuk mengelola PLTSu ini.

Koperasi ini, akan mengelola PLTSu, mulai pungutan ke rumah-rumah warga, manajemen keuangan, perawatan hingga hal-hal teknis lain. “Ini diserahkan kepada masyarakat. Kita ingin warga tak hanya menikmati listrik murah, tetapi ikut menjaga dan mengorganisir diri mereka. Walhi tidak lepas tangan. Kami akan mengontrol PLTSu dan koperasi ini,” ujar dia.

Warga, ikut andil bersama-sama membangun pembangkit listrik tenaga surya di Bangka Belitung. PLTSu ini seagai jawaban kepada pemerintah yang berniat membangun PLTN di sana. Foto: Walhi

Warga, ikut andil bersama-sama membangun pembangkit listrik tenaga surya di Bangka Belitung. PLTSu ini sebagai jawaban kepada pemerintah yang berniat membangun PLTN di sana. Foto: Walhi


Keren! Walhi Kembangkan Listrik Tenaga Surya di Negeri Laskar Pelangi was first posted on February 3, 2015 at 10:59 pm.

SPI Desak Pemerintah Evaluasi Izin Toba Pulp Lestari

$
0
0
Inilah kawasan register 41 Humbahas,  PT TPL   memiliki izin konsesi. Hutan dulu lebat kini dibabat dan berganti ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro

Inilah kawasan register 41 Humbahas, PT TPL memiliki izin konsesi. Hutan dulu lebat kini dibabat dan berganti ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro

Serikat Petani Indonesia (SPI), mendesak pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla, mengevaluasi izin PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara. Perusahaan ini,  kala bernama PT Indorayon, sempat mati, lalu hidup lagi era Presiden Megawati, berganti baju menjadi TPL.

Henri Saragih, Ketua Umum SPI mengatakan, pemerintah membolehkan perusahaan menguasai lahan hingga 125.000 hektar.  Hingga hampir semua hutan di pinggir Danau Toba, dan wilayah lain seperti Kabupaten Karo, Simalungun, Tapanuli Utara dikuasai satu perusahaan. Bukan itu saja, konsesi TPL pun berada di dalam wilayah masyarakat adat.

Kondisi ini, katanya, jelas-jelas mengangkangi UU Pokok Agraria yang mengakui keberadaan hak ulayat. Namun, UU Kehutanan tidak merujuk UU Agraria hingga hak-hak masyarakat adat terabaikan.

Dia mendesak, izin TPL ditinjau kembali dan mengembalikan lahan kepada masyarakat adat. “Itu hak mereka yang telah menjaga dan mengelola hutan tanpa merusak,” katanya, baru-baru ini.

Ancam Danau Toba

Keberadaan perusahaan yang menebangi hutan juga mengancam Danau Toba.   Berdasarkan analisis SPI, terjadi pendangkalan Danau Toba. Hutanpun rusak, karena sebagai penyimpan air nyaris hilang, kekayaan hayati hilang dan Sungai Asahan tercemar hingga ikan-ikan berkurang bahkan mati.

“Kita nenyesalkan mengapa dulu Indorayon kembali beroperasi. Jangan gara-gara keserakahan satu perusahaan, mengakibatkan satu kekayaan dunia yang luar biasa bernama Danau Toba terancam, dan kehidupan masyarakat di sekitar tidak makin baik.”

Sumber pangan

Sebenarnya,  kawasan-kawasan mulai Porsea sampai Balige, merupakan sumber pangan dan perikanan luar biasa. Sungai Asahan, dulu sumber ikan bagi masyarakat Danau Toba hingga Asahan. “Ini harus dibuat studi kelayakan. Dulu penghentian perusahaan merusak lingkungan kala Orde Baru berhasil. Zaman reformasi, malah keluar lagi. Diharapkan, era Jokowi bisa meninjau ulang perusahaan ini.”

Dia mengatakan, gerakan petani dan lingkungan hidup mendesak TPL tutup. Mereka meminta kawasan menjadi hutan kembali “Lalu mana yang bisa menjadi sumber kehidupan, diserahkan kepada rakyat, dengan catatan harus mengelola dengan baik dan benar, serta memperhatikan ekologi.”

Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak, Guru Besar Sosiolog-Antropologi Universitas Negeri Medan mengatakan, TPL beroperasi di Tanah Batak, akibat ulah Brigjen EWP Tambunan dan Lundu Panjaitan, saat itu Bupati Tapanuli Utara. Melalui pengusulan mereka Presiden Soeharto mengeluarkan izin operasi Indorayon.

Masyarakat Batak, katanya,  tidak pernah menjual tanah kepada Indorayon. Jadi, sah saja menolak, dan meminta perusahaan tutup karena merusak hutan adat, salah satu di Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas).

“Tanah adat berganti pago-pago. Padahal, itu dianggap penyalahgunaan adat, hingga sah saja jika banyak masyarakat adat menolak perusahaan.”

Menurut dia, sumber kehidupan rakyat Batak itu hutan haminjon terbabat habis dan berganti ekaliptus. “Saya setuju TPL ditutup. Yang bertanggungjawab masa Soeharto dan Megawati.”

Mongabay mencoba mengkonfirmasi kepada TPL. Perusahaan meminta dua hari menjawab pertanyaan. Setelah dinanti berhari-hari, jawaban perusahaan tak ada.

Danau Toba, menghadapi beragam ancaman, dari pendangkalan, limbah sampai kerusakan hutan di sekitarnya. Foto: Ayat S Karokaro

Danau Toba, menghadapi beragam ancaman, dari pendangkalan, limbah sampai kerusakan hutan di sekitarnya. Foto: Ayat S Karokaro


SPI Desak Pemerintah Evaluasi Izin Toba Pulp Lestari was first posted on February 4, 2015 at 11:03 am.

Kasus Alih Fungsi Hutan Riau, Gulat Manurung Dituntut 4,6 Tahun

$
0
0

Gulat Manurung. Foto: Riau  Corruption Trial/Toni

“Saya tak pernah menyuap pak Annas.” Kalimat itu berulang-ulang diucapkan terdakwa kasus alih fungsi hutan di Riau,  Gulat Medali Emas Manurung,  kala awak media bertanya sesaat,  setelah sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor, Kamis (5/1/15).  Pertanyaan perihal pidana korupsi yang menjerat dia sama sekali tak digubris. Dia sempat meneteskan air mata. Empat penasihat hukum menemani. Memapah dia menuju ruang terdakwa.

Gulat dituntut 4,6 tahun penjara dikurangi masa tahanan plus denda Rp150 juta subsider enam bulan penjara dan  harus menyerahkan semua alat bukti. Dia dianghap bersalah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor maksimal pidana penjara lima tahun.

Tuntutan dibacakan tim jaksa penuntut umum, terdiri dari Kresno Anto Wibowo, Agus Prasetya Raharja, Ikhsan Fernandi, Luki Dwi Nugroho dan Roy Riady.

Dalam pemeriksaan, Gulat  mengatakan kebun dia cs di Kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah di Rokan Hilir 1. 214 hektar masuk usulan revisi kawasan hutan Riau, merupakan wewenang Gubernur Riau, kala itu, Annas Maamun. Tim JPU memandang alasan tidak bisa diterima. “Sebab bertentangan dengan keterangan saksi lain, seperti Annas Maamun yang membenarkan terdakwa meminta bantuan memasukkan perkebunan sawit terdakwa dan teman-teman ke usulan revisi,” kata Kresno.

Kresno mengatakan, atas permintaan itu, Annas memerintahkan Gulat berkoordinasi dengan Cecep Iskandar, Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau. Cecep bersedia melakukan atas permintaan Annas.”Fakta ini diakui saksi lain.”

Jaksa menilai, Gulat sengaja tidak memberikan keterangan jujur selama persidangan. Gulat juga menyangkal beberapa keterangan saksi ahli. ”Annas mengakui Gulat memberikan uang Rp2 miliar.”

Hal lain memberatkan Gulat adalah posisi sebagai pengajar di Universitas Riau dan Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasi) yang memberikan contoh tidak baik.

Kebun sawit Gulat, PT Anugerah Kelola Artha, seluas 150 hektar masuk revisi. Lokasi kebun di Kuantan Singingi, sisa milik teman-temannya. Namun, hal ini tidak meringankan atau menghapuskan tindakan pidana dia.”Berdasarkan keterangan saksi Cecep Iskandar, perkebunan sawit masuk usulan revisi asal dari terdakwa.” Jadi,  jelas menunjukan ada kepentingan Gulat dalam usulan revisi luas hutan menjadi area penggunaan lain (APL) yang tertuang dalam SK Menhut No 673.

Dalam pemeriksaan, Gulat menyangkal memberikan suap kepada Annas. Dia beralasan pemberian uang merupakan bantuan pinjaman untuk Annas.

“Pada usulan revisi perubahan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain di Riau memasukkan perkebunan terdakwa dan teman-teman. Jelas-jelas ada kepentingan. Ini dibenarkan saksi Cecep Iskandar.”

Sidang sebelumnya, Cecep mengatakan, Gulat pernah menanyakan apakah lahan perkebunan sawit dia masuk ke lampiran usulan revisi atau belum. Gulat memberikan uang kepada Cecep Rp26.800.000. Ini dibenarkan Annas yang mengatakan, pemberian uang untuk mengurus revisi kawasan hutan kepada Kementerian Kehutanan.

“Ini makin nampak perbuatan terdakwa menyediakan uang US$164.100 atau Rp2 miliar, dari Edison Marudut Marsadauli Siahaan Direktur PT Citra Hokai Triutama US$125.000 setara Rp1,5 miliar. Sisanya, Rp500 juta uang milik terdakwa.”

Pada 29 September 2014, kala Gulat di tahanan KPK, menelepon bawahannya, Hendra Poangodian Siahaan, untuk membuatkan kuitansi peminjaman uang Rp1,5 miliar kepada Edison. Tanggal dibuat mundur. Dalan kuitansi itu tertulis 23 September 2014. Tandatangan dipalsukan.

Gulat tertangkap tangan KPK saat hendak memberikan uang suap kepada Annas,  25 September 2014 di kediaman eks gubernur itu di Cibubur, Jakarta. Saat penyergapan, ditemukan uang $156.000 Singapura dan Rp400 juta di rumah Annas. Juga uang Rp60 juta di tas milik Gulat.

Aradila, Divisi Hukum ICW setelah persidangan mengatakan,  seharusnya JPU memberikan hukuman maksimal lima tahun.”Ada poin-poin memberatkan. Dia dosen. Sebagai akademisi memberikan contoh tidak baik. Tindakan dia mencederai upaya pemerintah memberantas korupsi.”

Namun, Aradila cukup puas meskipun semestinya ada hukuman tambahan berupa pencabutan hak, seperti hak politik. “Sebagai pengajar, kami meminta Universitas Riau memecat yang bersangkutan. Sampai sekarang belum. Ini mencoreng nama universitas.”

 

 

 


Kasus Alih Fungsi Hutan Riau, Gulat Manurung Dituntut 4,6 Tahun was first posted on February 5, 2015 at 8:23 am.

Tahun Kedua Komitmen Konservasi Hutan APP, Bagaimana Perkembangannya?

$
0
0

Alat berat milik PT Mutiara Sabuk Katulistiwa (MSK) dengan PT Setia Agro Lestari (SAL) melakukan pembuatan kanal di areal moratorium SMG/APP di kawasan yang menjadi komitmen moratorium pada Agustus 2014. Foto: Jikalahari

Asia Pulp and Paper (APP), memasuki tahun kedua komitmen kebijakan konservasi hutan (forest conservation policy/FCP) pada 5 Februari 2015 ini. Atas permintaan perusahaan anak usaha Sinar Mas ini, Rainforest Alliance  melakukan penilaian independen pada konsesi-konsesi APP dan menemukan ada kemajuan tetapi banyak menghadapi beragam tantangan dalam implementasi di lapangan.

Dalam laporan, secara umum, Rainforest menemukan, APP telah memenuhi komitmen menghentikan pemotongan hutan alam untuk membangun areal perkebunan baru, dan para pemasok setop pembangunan kanal baru di lahan gambut. Perusahaan juga menghentikan semua pengiriman mixed tropical hardwood (MTH) untuk pasokan suplai mereka sejak 31 Agustus 2013.

Sejak 15 Agustus 2014, pabrik pulp APP di Indonesia hanya menerima serat kayu dari sumber-sumber di perkebunan Indonesia. APP  juga sudah mengembangkan langkah-langkah menilai rantai pasokan global dengan membuat prosedur visi jaringan pemasok kayu pulp. Ia juga memastikan pemasok memenuhi kebijakan pengadaan dan pengolahan serat bertanggung jawab. Perusahaan juga memutus salah satu pemasok  yang tak bisa bekerja sama.

Rainforest juga melihat, ada perkembangan dalam membangun transparansi informasi dan melakukan proses free, prior, inform and consent (FPIC)  di pabrik pulp baru di Sumatera Selatan.

Meskipun begitu, Rainforest menyatakan, dalam menerapkan komitmen ambisius ini APP banyak tantangan dan masih banyak pekerjaan besar harus diselesaikan. Antara lain, memenuhi komitmen FCP di hutan alam, lahan gambut dan perkebunan pada 38 konsesi pemasok dan masyarakat yang terkena dampak langsung.

Untuk bergerak maju, APP perlu memastikan kebijakan konservasi berjalan konsisten dan terimplementasi di lapangan, pada semua konsesi. Ini termasuk kebijakan, prosedur, pedoman dan rencana aksi, pelatihan serta peningkatan kapasitas. Semua itu, mesti dilengkapi oleh informasi dan inventarisasi serta sistem pengawasan internal maupun eksternal. Berbagai hal itu, guna memastikan semua terlaksana di lapangan dan di masyarakat.

Laporan Rainforest Alliance ini dibuat antara 17 Mei-14 Agustus 2014, tim dengan delapan penilai mengunjungi 21 konsesi di pemasok APP pada empat provinsi. Mereka wawancara, mengkaji dokumen, peta dan laporan-laporan serta membuat observasi lapangan. Mereka mewawancarai pekerja, masyarakat dan berbagai stakeholders.

Terlalu dini

Rainforest Action Network’s pun angkat bicara. Lafcadio Cortesi dari RAN mengatakan, dari temuan Rainforest Alliance, RAN berkesimpulan masih terlalu awal buat melanjutkan bisnis dengan APP.  APP, katanya, perlu  mengimplementasikan kebijakan FCP, rencana aksi baru dan menangani temuan evaluasi maupun laporan-laporan berbagai organisasi.

Dia mencontohkan, dari evaluasi Rainforest Alliance menemukan masih ada ratusan konflik sosial dan lahan pada konsesi-konsesi APP. Sedang kesepakatan hanya dicapai di satu  masyarakat.

Selain itu, katanya, terlalu awal  mengevaluasi APP jika rencana pengelolaan hutan berkelanjutan terintegrasi (Integrated Sustainable Forest Management Plans/ISFMPs) akan memberikan standar konservasi lansekap terukur karena belum ada satupun rencana berjalan. Tanpa rencana-rencana itu—yang menjadi bagian penting dalam strategi konservasi APP– dan tanpa peningkatan capaian resolusi konflik serta pelibatan masyarakat yang efektif maupun stakeholder kunci lain dalam membangun rencana aksi serta kesepakatan resolusi konflik, komitmen APP bakal berisiko signifikan tak bisa terpenuhi dan tak memberikan dampak baik di lapangan.

RAN menyarankan, guna memperluas resolusi  konflik dan  mencegah deforestasi lebih lanjut oleh pihak ketiga di hutan alam tersisa pada konsesi mereka, perusahaan perlu mengatasi masalah lahan dan pendapatan.  APP, kata  Cortesi, mesti mengembalikan lebih banyak lahan yang kini digunakan untuk HTI yang menjadi pemicu utama deforestasi dan konflik.

RAN yakin, para investor dan konsumen menuntut hasil dan kinerja di lapangan sebelum melanjutkan berbisnis dengan APP. “Ini akan menjadi motivasi kuat bagi APP untuk meningkatkan dan mengimplementasikan rencana aksi dan kebijakan konservasi hutan mereka.”

Greenpeace pun menanggapi dua tahun komitmen APP ini. Organisasi ini menyambut baik evaluasi independen Rainforest Alliance tentang kemajuan APP dalam komitmen nol deforestasi dan rantai pasokan APP. Laporan ini,  mengidentifikasi bidang-bidang penting yang perlu ditangani APP. Greenpeace percaya perusahaan berada di jalur benar untuk tetap komitmen.

Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, Greenpeace percaya perusahaan berada di jalur benar untuk tetap komitmen.

Laporan Rainforest Alliance, katanya, menemukan APP memenuhi komitmen mendorong moratorium pemasok agar menghentikan konversi kawasan hutan alam dan lahan gambut menjadi perkebunan. Saat sama, penulis laporan mendokumentasikan penebangan berlangsung dalam konsesi pemasok APP oleh pihak lain.

APP, katanya, perlu lebih serius mengatasi tantangan ini dengan membuat kemajuan tambahan dalam melaksanakan komitmen konservasi hutan. Greenpeace berharap,  APP bisa sepenuhnya transparan tentang bagaimana memenuhi komitmen kebijakan itu.

“Kami ingin melihat APP segera mengambil tindakan konkret mengatasi konversi hutan dan degradasi oleh pihak lain di dalam konsesi pemasok. Ini berarti akan ada perubahan mendasar dalam hubungan dengan masyarakat adat dan lokal terhadap sebagai mitra dalam pelestarian hutan,” katanya dalam rilis kepada media.

Greenpeace juga mendesak APP memprioritaskan  penanganan ratusan keluhan di konsesi dan memperkuat pelaksanaan kebijakan dalam melindungi hak-hak masyarakat, termasuk penerapan prinsip FPIC.

Greenpeace mengapresiasi APP melibatkan Deltares untuk memimpin sekelompok ahli gambut internasional kembali memetakan-karakteristik sekitar 2 juta hektar lahan gambut di dalam dan sekitar konsesi pemasok  mereka. Data ini, kata Zulfahmi,  akan memberikan dasar dalam rekomendasi kepada APP untuk melindungi, memulihkan lahan gambut terdegradasi. Juga pengembangan standar baru dalam praktik pengelolaan terbaik lahan gambut tingkat lanskap.

Menurut dia, dalam menyelesaikan masalah lebih besar untuk mencapai nol deforestasi di Indonesia, pemerintah dan perusahaan wajib bekerja sama mengatasi masalah seperti tumpang tindih izin, konflik lahan dengan masyarakat, perambahan liar dan isu-isu lain yang melemahkan perlindungan hutan.

Kepada pembeli, Greenpeace menyarankan, perusahaan yang memilih berbisnis dengan APP, dalam kontrak harus mencakup klausul khusus memastikan APP terus membuat kemajuan terukur terhadap komitmen konservasi hutan.


Tahun Kedua Komitmen Konservasi Hutan APP, Bagaimana Perkembangannya? was first posted on February 5, 2015 at 11:23 pm.

Soal Penanganan Konflik, Warga Muara Tae Surati RSPO, Ada Apa?

$
0
0

Konflik masyarakat adat dan perusahaan. Masyarakat Muara Tae di Kaltim, menghentikan buldozer perusahaan yang beroperasi di wilayah adat, September 2012. Foto: Margaretha Seting Beraan, AMAN Kaltim

Harapan penyelesaian konflik PT Borneo Mining Jaya dan warga Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kutai Barat, Kalimantan Timur, tampaknya berakhir buram. Warga menolak cara-cara penyelesaian konflik oleh Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO) karena dinilai banyak kejanggalan. Bahkan, konflik dibelokkan menjadi antara warga bukan dengan perusahaan sawit, anak usaha First Resources itu. Merekapun mengirimkan surat penolakan ke RSPO pada 12 Januari 2015.

Dalam surat itu, warga tidak bersedia mengikuti proses penyelesaian konflik RSPO karena tidak sesuai kaidah-kaidah resolusi konflik. Perusahaan harus keluar dari Kampung Muara Tae karena warga bukan menuntut tali asih atau plasma.

Di sana, warga yang sejak awal didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Environmental Investigation Agency (EIA) ini,  memaparkan temuan sejumlah fakta dan kejanggalan dalam penyelesaian sengketa. Dampaknya,  hasil sangat buruk dan tidak sesuai kaidah-kaidah resolusi konflik.

Kejanggalan itu terlihat sejak awal. Pada 2012, EIA atas nama masyarakat adat Muara Tae mengajukan keluhan ke RSPO dan tak ditanggapi serius. Perusahaan terus masuk, menggusur warga dan menanami lahan dengan sawit.

Baru pada 2013, RSPO melarang BSMJ beroperasi, kala itu lahan warga sudah menjadi sawit. Itupun tak digubris perusahaan dan terus beroperasi tanpa tindakan apa-apa dari RSPO.

Parah lagi, RSPO membiarkan perusahaan ini menggunakan surat mengatasnamakan empat Ketua RT Muara Tae yang menyatakan mendukung BSMJ. Padahal surat itu palsu dan para Ketua RT sudah membuat surat bantahan.

Keadaan tambah rumit kala penentuan lembaga penilai, Links,  tak melibatkan warga Muara Tae. RSPO dan First Resources sepihak menunjuk Links tanpa kesepakatan dengan Muara Tae.

Surat yang ditandatangani para tetua adat antara lain, Mustari (Ketua BPK Muara Tae), Petrus Asuy selaku kepala adat ini menyatakan, Links yang ditunjuk RSPO tidak mampu menilai dengan adil dan netral. Penilaian buruk dan memihak BSMJ.

Hal ini terbukti,  dalam penilaian Links malah menggorganisir, Kampung Muara Ponaq untuk berhadapan dengan Muara Tae dalam proses penyelesaian konflik Muara Tae-BSMJ.  Padahal, Muara Ponak bukan para pihak dalam proses ini.

Links sepihak mengubah masalah yang dilaporkan Muara Tae kepada RSPO dari konflik Muara Tae dan BSMJ menjadi sengketa Muara Tae dengan Muara Ponaq. Lalu, pada pertemuan di Bogor, 23 Oktober 2014,  RSPO dan Links mengambil keputusan sepihak tanpa kehadiran Muara Tae.

Dari penilaian Links,  juga menetapkan masyarakat Kampung Muara Tae,  hanya memiliki hak kelola dan oknum masyarakat Muara Ponak memiliki hak waris atas tanah sengketa. “Ini suatu kesimpulan Links sepihak dan mengada-ada karena tidak berdasarkan proses verifikasi atau pembuktian sesuai hukum berlaku. Padahal,  jauh sebelum BSMJ masuk masyarakat Muara Tae pemilik wilayah dan tanah sengketa itu,” tulis surat ke RSPO itu.

Setelah itu, RSPO, First Resources, dan Links membuat kesepakatan mengatasnamakan kesepakatan bersama Muara Tae bahwa hasil penilaian Links menjadi dasar resolusi konflik. Padahal Muara Tae tidak pernah sepakat dengan penilaian Links ini. “Ini pemaksaan kepada Muara Tae demi membela  kepentingan First Resources.”

Pada, 10 Juli 2013, warga sudah menyampaikan penolakan terhadap Links kepada RSPO. Namun, lembaga ini tetap menggunakan Links.

Warga Muara Tae mengawasi operasi bulldozer. Sumber: Indiegogo team

Abdon Nababan, Sekjen AMAN, menyambut baik sikap masyarakat Muara Tae itu. “Proses RSPO rumit dan seringkali tidak berpihak pada korban,” katanya seperti dikutip dari Gaung AMAN.

Abdon mengatakan, lebih baik masyarakat adat menempuh jalur perjuangan lewat mekanisme negara, seperti inkuiri nasional daripada memberikan pada organisasi para pemodal. Untuk itu, AMAN baru terlibat dalam RSPO.  Dengan kejadian inipun akan mempertimbangkan apakah masih tetap atau keluar dari RSPO.

Mongabay mengkonfirmasi mengenai masalah ini kepada Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, menggunakan surat elektronik sejak Kamis (5/2/15). Namun, hingga berita ini turun, belum ada jawaban.

Pengaduan masyarakat Muara Tae kepada RSPO ini pada 17 Oktober 2012 difasilitasi EIA. Pada pertemuan RSPO ke 10 di Singapura akhir Oktober 2012, AMAN bersama-sama Masrani, pemimpin komunitas Muara Tae bertemu dengan Bambang Dwilaksono, yang mewakili First Resources untuk negosiasi terkait konflik lahan. Sayangnya, proses resolusi konflik RSPO berjalan buruk hingga warga menolak. 

Dari berita Mongabay sebelumnya, menyebutkan, Muara Tae, sebuah Kampung Dayak Benuaq. Sejak bertahun-tahun tidak pernah tenang dirundung berbagai persoalan konflik lahan.

Sejak 1971, ketika perusahaan HPH PT Sumber Mas membuka konsesi hutan di sana dilanjutkan penanaman HTI.  Sejak 1995 perusahaan perkebunan PT London Sumatra masuk berujung konflik dan penangkapan warga tahun 1999.  Selain konflik lahan dengan perusahaan sawit, di bagian lain bentang di Kecamatan Jempang juga berubah menjadi konsesi tambang batubara yang dimulai sejak PT Gunung Bayan Pratama Coal sejak 1993.

Tahun 2011, dua perusahaan sawit yaitu PT Munthe Waniq Jaya Perkasa dan BSJM membuka perkebunan sawit di lima kampung di Kecamatan Siluq Ngurai yaitu Kenyanyan, Rikong, Kiaq, Tendik dan Muara Ponak.  Namun blok hutan adat Utaq Melinau seluas 638 hektar terletak di perbatasan antara dua kampung yaitu Muara Ponak dan Muara Tae, bersengketa.

Bagi masyarakat Muara Tae, wilayah ini merupakan bagian wilayah yang digarap turun temurun. Lahan  itu telah dilepaskan sepihak oleh masyarakat Muara Ponak kepada perusahaan perkebunan.  Hingga saat ini, kedua komunitas bersikukuh bahwa blok hutan itu bagian wilayah adat mereka. Blok hutan ini berada di sepanjang jalan yang dibuat perusahaan kayu PT Roda Mas pada 1978.


Soal Penanganan Konflik, Warga Muara Tae Surati RSPO, Ada Apa? was first posted on February 6, 2015 at 3:59 pm.

Pembangunan Sulbar Dinilai Tak Jelas dan Abai Lingkungan

$
0
0
Di Mamuju Utara, konversi lahan besar-besaran juga terjadi. Daerah persawahan dan tambak kini banyak berubah menjadi perkebunan sawit. Foto: Wahyu Chandra

Di Mamuju Utara, konversi lahan besar-besaran juga terjadi. Daerah persawahan dan tambak kini banyak berubah menjadi perkebunan sawit. Dinas Kehutanan, sampai memasang plang agar lahan yang masuk kawasan lindung tak dialih fungsi. Foto: Wahyu Chandra

Sulbar belum memiliki RTRW. Tak pelak, pembangunan terkesan berjalan dalam ketidakjelasan dan berpotensi tak memperhatikan aspek lingkungan.

Nurlina menatap miris pantai di hadapannya. Dia seakan tak percaya kondisi pantai ini jauh berbeda dari setahun silam. Tak ada lagi pantai landai tempat menghilangkan penat. Garis pantai dan mangrove sampai nelayan-nelayan pencari ikan pun tak ada lagi. Nurlina, warga Kelurahan Rimoko, Kecamatan Mamuju, Sulawesi Barat. Sudah setahun ini kuliah di Makassar.

“Dulu sekitar jembatan itu nelayan menambatkan perahu. Entah kemana mereka sejak reklamasi pantai,” katanya kepada Mongabay, Januari 2015.

Masalah lain timbul. Puluhan mobil pengangkut pasir lalu lalang tiap hari menyisakan gundukan tanah di jalan. Di hujan, sisa-sisa tanah ini menjadi kubangan lumpur licin. Saat kemarau, debu betebangan. “Sering ada motor terpeleset ketika hujan, karena jalanan tak dibersihkan. Banyak warga mengeluh,  tapi inilah.”

Sebagai provinsi baru, Sulbar sedang membangun infrastruktur besar-besaran. Jalanan diperluas dengan menimbun pantai. Tanah dari bukit-bukit sekitar Mamuju yang sudah rata. “Dulu sekitar pintu masuk Mamuju ada bukit. Sekarang sudah rata.”

Direktur Walhi Sulbar, Ikhsan Welly, mengatakan, setiap reklamasi akan bermasalah karena melawan hukum alam. “Persoalannya, apakah setiap rencana pembangunan disertai pemulihan lingkungan? Ini tidak terjadi.”

Dia mengatakan, upaya-upaya pemulihan lingkungan tak pernah ada kala reklamasi berjalan. Ekosistem mangrove hilang dan terjadi sepanjang bentang pantai.

Tak hanya soal reklamasi juga pembangunan lain. Ikhsan menilai, arah pembangunan di Sulbar penuh ketidakjelasan, terutama infrastruktur. Tidak hanya di Mamuju, daerah-daerah lain di Sulbar bernasib sama. “Proyek masuk lebih banyak betonisasi. Semua jalan dibeton namun tidak disertai drainase baik. Mamuju Utara, contoh, kini identik dengan kabupaten kolam. Hujan sedikit langsung banjir.”

Ikhsan mengatakan, ketiadaan rencana tata ruang wilayah (RTRW) menjadi salah satu pemicu ketidakjelasan pembangunan ini. “Jadi saya anggap Sulbar membangun tanpa arah.”

Peta desa

Dalam kondisi seperti ini, katanya, mesti ada pemetaan agar ada kejelasan ruang. Untuk itulah, Walhi Sulbar, katanya, melakukan pemetaan partisipatif skala desa, seperti di Desa Allu, Kecamatan Allu, Kabupaten Polewali Mandar.

“Mudah-mudahan pemetaan di desa itu ditiru desa-desa lain. Kita berharap kelak semua desa dapat terpetakan dan masuk wilayah tata kelola rakyat. Kami mendorong ada peraturan desa terkait ini.”

Melalui upaya ini, Ikhsan berharap bisa mendorong masyarakat lebih memahami wilayah. Misal, dengan pemetaan ini teridenntifikasi ada 30 varietas padi lokal, mendapati banyak burung-burung lokal dan potensi sungai yang melimpah yang bisa dikembangkan.

Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra

Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra


Pembangunan Sulbar Dinilai Tak Jelas dan Abai Lingkungan was first posted on February 6, 2015 at 11:50 pm.

Dua Tahun Komitmen APP, FPIC dan Penyelesaian Konflik Masih Rendah

$
0
0

Konsesi pemasok APP di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Pada 5 Februari 2015, memasuki tahun kedua komitmen kebijakan konservasi hutan (forest conservation policy/FCP) Asia Pulp and Paper (APP). Hasil penilaian Rainforest Alliance tampak implementasi di lapangan masih jauh dari harapan, termasuk, penyelesaian konflik-konflik lahan. Dari Sumatera Selatan, tim monitoring free prior informed consent (FPIC) mempertanyakan pelaksanaan rekomendasi mereka. Tim ini,  memonitoring FPIC masyarakat sekitar pembangunan pabrik kertas milik APP,  yakni PT. OKI Mill Pulp dan Paper di Desa Bukit Batu, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Aidil Fitri, Wahana Bumi Hijau (WBH) Sumsel menjelaskan,  tim monitoring, terdiri dari WBH, Serikat Hijau Indonesia Sumsel, Yayasan Bakau dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sumsel memonitoring selama sebulan, Agustus-September 2014. Mereka memberikan tiga rekomendasi.

Pertama, memperbaiki standar operating procedure (SOP) FPIC dan memasukkan komponen minimal ketegasan bahwa FPIC dilaksanakan sebelum pembangunan. Lalu, ada tahapan penguatan kapasitas masyarakat obyek FPIC, membuat pengumuman publik mengenai tahapan FPIC guna memberikan kesempatan kepada pendamping masyarakat, serta ada kesepakatan tertulis terpisah dari berita acara. Kesepakatan ini,  antara masyarakat dan perusahaan,  apakah menolak atau menerima.

Kedua, APP meninjau kembali kekurangan dalam proses FPIC di OKI Mill yang harus dibangun bersama masyarakat dan melibatkan pemantau independen. Dalam pertemuan ini, minimal perusahaan menjelaskan dan memberikan informasi tertulis, seperti sifat proyek, luasan, lingkup dan tujuan kegiatan; alasan-alasan mengapa kegiatan dilakukan; durasi kegiatan, dan area akan terkena dampak. Juga, analisis awal dampak sosial, lingkungan, ekonomi dan budaya yang mungkin ditimbulkan, serta potensi risiko.

APP juga harus menjelaskan dan mendukung masyarakat mendapatkan pandangan hukum,  keuangan, lingkungan dan keahlian lain yang dianggap perlu secara independen. Selain itu, harus dipastikan kehadiran minimal 60% kelompok atau stakeholder masyarakat dari hasil pemetaan kelompok.

Ketiga, proses consent (keputusan) lebih lanjut dengan seluruh desa obyek FPIC. Sebab, pada pelaksanaan FPIC, proses consent-dengan pengecualian di Desa Kuala Sugihan-tidak tertulis. Bahkan, mayoritas responden dalam penelitian tidak mengetahui pasti dokumen yang ditandatangani merupakan persetujuan pembangunan OKI Mill, atau hanya berita acara pertemuan.

Aidil mencontohkan, kekurangan proses FPIC antara lain Dusun Sungai Rasau berjarak empat kilometer dari pembangunan pabrik tidak menjadi obyek. Tim merekomendasikan, dusun ini jadi wilayah studi karena dekat dengan pabrik. Perusahaan memberi tanggapan, FPIC Sungai Rasau akan dilakukan Desember 2014.“Sejak awal Januari 2015 kita tanyakan. Kami belum menerima informasi,” katanya kepada Mongabay.

Jika pelaksanaan FPIC tak optimal, katanya, berpotensi menimbulkan persoalan kemudian hari. “Ada potensi protes masyarakat yang keberatan karena merasa tak mendapat informasi lengkap dari awal. Seharusnya, pembangunan yang mulai sejak 2013 setop dahulu hingga FPIC menyeluruh. Itu lebih bijak.”

Tim monitoring, terdiri dari WBH, Serikat Hijau Indonesia Sumsel, Yayasan Bakau dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Sumsel memonitoring selama sebulan, Agustus-September 2014.

Mereka mewawancara terstruktur 67 perwakilan masyarakat dan unsur pemerintahan di delapan desa obyek FPIC. Wilayah ini, Desa Bukit Batu, Rengas Abang atau Sido Rahayu, Simpang Heran, Jadi Mulya, dan Kuala Sugihan atau Muara Sugihan. Lalu, Negeri Sakti atau Sapto Harjo, Pangkalan Sakti atau Timbul Harjo, dan Rantau Karya atau Panggung Harjo, ditambah Sungai Rasau yang tidak menjadi obyek FPIC.

FPIC,  merupakan proses yang memungkinkan masyarakat adat/lokal menjalankan hak-hak fundamental menyatakan apakah setuju atau tidak terhadap aktivitas, proyek, atau kebijakan yang berdampak pada tanah, kawasan, sumber daya dan perikehidupan masyarakat.

Tak hanya soal FPIC bermasalah, juga penyelesaian konflik, seperti terungkap dalam riset Forest Peoples Programme, Walhi dan Scale Up di salah satu konsesi APP, PT Wira Karya Sakti di Desa Senyerang, Jambi, pada Desember 2014. Laporan itu mengungkapkan, sejumlah konflik sosial belum tuntas di HTI APP itu. Proses penyelesain konflik cacat. 

Kala itu, dalam keterangan kepada media, Patrick Anderson, Penasihat Kebijakan FPP, yang memimpin survei di Jambi mengatakan, investigasi lapangan menunjukkan upaya-upaya rintisan penyelesaian konflik APP mengecewakan. Kesepakatan kepada Desa Senyerang dipaksakan dan tidak sejalan komitmen kebijakan APP. 

“Masyarakat hanya mendapatkan hak pemanfaatan untuk menanam karet di atas lahan hanya seperdelapan atau 12,5% dari luas keseluruhan tanah adat mereka, 7.224 hektar,” katanya.

Mereka, kata Anderson, hanya memperoleh pembayaran tak berarti untuk akasia yang ditanam perusahaan pada tiga perdelapan atau 37,5% tanah mereka.  “Mereka diperkirakan akan kehilangan hak atas tanah yang tersisa.”

Pada awal program Kebijakan Konservasi Hutan mereka, APP masih seringkali menerima laporan pelanggaran dan penebangan hutan alam di wilayah konsesi mereka. Seperti yang terlihat di foto ini saat tiga buah ekskavator tertangkap basah pada foto ini sedang melakukan penebangan pepohonan hutan alam di konsesi PT. RIA. Foto diambil oleh Eyes on the Forest pada lokasi 10 di Peta 1 (0o4’38.93″N, 102o57’4.18″E) tanggal 8 April 2013. Foto: Eyes on the Forest

Laporan ini,  mendokumentasikan bagaimana warga Senyerang–yang diakui pada zaman Belanda–kehilangan tanah karena klaim WKS.

Rudiansyah, dari Walhi Jambi menyatakan, lebih seratus desa di Jambi dirampas tidak adil oleh APP untuk HTI akasia. Tujuan awal proses penyelesaian konflik di Senyerang, sebagai rintisan. Namun,  hasil buruk hingga menimbulkan keraguan tentang ketulusan APP menangani warisan persoalan pelanggaran hak masyarakat.

Senada dikatakan Harry Oktavian, dari Scale Up, Pekan Baru, Riau. Menurut dia, apa yang disaksikan di lapangan, bukan apa yang mereka katakan di atas kertas. “Investigasi lapangan kami mengungkapkan banyak persoalan sosial serius dan pelanggaran komitmen oleh WKS. Perusahaan ini perlu berupaya lebih keras memulihkan malpraktik masa lalu sebelum kami yakin bahwa mereka memang berkelanjutan.”

Tak sekadar konservasi

WWF Indonesia juga menanggapi dua tahun komitmen FCP APP ini. Aditya Bayunanda, Leader Komoditas Hutan WWF-Indonesia mengatakan, APP sudah menghentikan penebangan hutan alam dan melakukan berbagai kajian di kawasan konsesi mereka. Sayangnya, belum banyak perubahan di tingkat tapak. “Hutan masih hilang, gambut masih dikeringkan dan konflik sosial belum terselesaikan. Bahkan APP gagal melindungi hutan yang diwajibkan pemerintah untuk dikonservasi,” katanya dalam keterangan tertulis, 5 Feberuari 2015.

WWF menilai,  kemajuan komitmen APP masih kurang terlebih dalam mengurangi dampak iklim dari konsesi APP yang banyak di lahan gambut.  Dari penilaian Rainforest Alliance, katanya,  APP sudah menghentikan pembangunan kanal baru. Namun belum ada tindakan nyata mengurangi emisi gas rumah kaca dari pengeringan jutaan hektar lahan gambut di bawah penguasaan perusahaan itu. 

Organisasi ini prihatin terhadap minimnya kemajuan APP menyelesaikan ratusan konflik sosial. “Temuan LSM lokal terkonfirmasi dalam audit Rainforest Alliance. Ini  mestinya jadi perioritas APP.” 

Menurut dia, WWF berpartisipasi dalam beberapa kali pertemuan pemangku kepentingan dan kegiatan kelompok kerja sejak pengumuman komitmen APP. Namun, diskusi itu belum menghasilkan kemajuan signifikan karena belum ada rencana konkrit tentang lokasi hutan yang akan direstorasi atau dikonservasi dan melalui pendanaan seperti apa. “Bahkan dalam lanskap prioritas APP, Bukit Tigapuluh, perusahaan belum bisa memenuhi janji menyediakan koridor satwa liar dan menghentikan pembalak liar serta perambah masuk ke hutan melalui jalan konsesi mereka.” 

Pertanyakan pasokan kayu APP

Tanggapan juga datang dari Christopher Barr, Executive Director Woods & Wayside International. Dia mengatakan, laporan Rainforest Alliance tak mengatakan apa-apa tentang apakah perkebunan APP yang ada mampu memenuhi pasokan serat kayu secara berkelanjutan dalam jangka menengah maupun jangka panjang.

Kepastian itu sangat penting, katanya, karena APP sedang membangun pabrik pulp di Sumsel, yang akan meningkatkan permintaan kayu tahunan kelompok usaha ini sekitar 7-10 juta meter kubik per tahun, tergantung kapasitas terpasang pabrik.

Dia berharap, Rainforest Alliance serius melihat masalah mendasar, seperti berapa banyak area APP dan pemasok-pemasoknya yang sudah menanam. “Bagaimana perkembangan dan capaian hasil kebun-kebun itu? Bagaimana juga perubahan perputaran tingkat produktivitas?” kata Barr.

Sebenarnya, mereka berharap, dalam laporan itu akan membahas banyak faktor risiko yang terkait dengan ketergantungan APP dengan perkebunan di lahan gambut tinggi karbon. Sayangnya, laporan Rainforest Alliance itu tak membahas masalah ini sama sekali.

Jawaban, Richard Donovan dari Rainforest Alliance, kala itu, masalah ini tak tercantum karena APP terlambat mengirimkan data pasokan kayu dan akan masuk dalam laporan selanjutnya.

Dengan keadaan ini, investor dan pemangku kepentingan lain, semestinya melihat jelas jika kebun-kebun APP gagal mencapai target produktivitas mereka, kemungkinan gagal memenuhi komitmen keberlanjutan bisa meningkat signifikan.

Wetlands International juga angkat bicara. Menurut mereka, APP berjuang memenuhi komitmen konservasi hutan mereka. Perusahaan juga masih berupaya mengendalikan pembalakan liar dan kebakaran di lahan gambut. Keadaan ini,  memperlihatkan, belum ada kejelasan perusahaan dalam mengimplementasikan peraturan baru pemerintah tentang gambut yang menyatakan, batas tinggi muka air gambut 40 cm di semua konsesi mereka.

Wetlands juga prihatin meskipun telah dua tahun komitmen APP, namun belum memenuhi target pengurangan emisi karbon dari mengkonversi dan drainase lahan gambut.

Marcel Silvius, Wetlands International dalam keterangan tertulis mengatakan, kebun akasia di lahan gambut menyebabkan pelepasan gas rumah kaca yang besar dan penurunan tanah serta banjir. “Mereka tidak berkelanjutan. Jika APP serius dengan komitmen, ia akan harus mempertimbangkan bertanggung jawab secara bertahap bagaimana keluar dari operasi di lahan gambut.”

 


Dua Tahun Komitmen APP, FPIC dan Penyelesaian Konflik Masih Rendah was first posted on February 7, 2015 at 5:04 pm.

Inilah Jasa Besar Monyet-monyet bagi Desa Padangtegal

$
0
0
Hutan konservasi Monkey Forest, di Ubud. Foto: :Luh De Suriyani

Hutan konservasi Monkey Forest, di Ubud. Foto: :Luh De Suriyani

Sekitar 600 monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) membuat desa di Ubud ini kaya. Monyet juga mendorong desa belajar memilah sampah.

Made Murdana dan Koming berteriak bersahutan memanggil para monyet. Suara mereka nyaring di sela-sela pepohonan hutan konservasi. Saat makan siang. Kedua pria ini memotong ubi jalar mentah dan timun. Belasan lalu puluhan monyet mendatangi pusat makanan yang berserak di tanah.

Seorang turis ingin mengajak monyet-monyet ini bermain. Dia mengambil beberapa potong timun dan ubi lalu menjulurkan ke monyet. Turis pria juga menyerahkan ponsel ke Koming untuk narsis. Si turis berteriak-teriak kegirangan saat beberapa monyet naik ke kepala dan punggung.

Orang Bali menyebut bojog, dalam bahasa daerah. Warna rambut keabu-abuan hingga coklat kemerahan. Ada jambang di pipi berwarna abu-abu, terkadang terdapat jambul di atas kepala. Hidung datar dengan ujung hidung menyempit. Ekor panjang.

Menurut catatan ProFauna, monyet yang umum dijumpai, tersebar luas di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Status tidak dilindungi. Namun di Desa Padangtegal, Ubud, monyet ini dilindungi. Mereka tinggal di lahan 12 hektar, di pusat keramaian,  salah satu desa turis terkenal di dunia. Mereka membuat Padangtegal kaya. Hutan monyet yang terkenal dengan nama Monkey Forest ini menjadi sumber oksigen di tengah makin macetnya Ubud.

“Luas hutan terus ditambah, ini pohon-pohon baru umur 10-15 tahun,” kata Murdana, menunjuk pohon kemiri dan jati. Tak mudah menumbuhkan pohon di habitat bojog ini. “Banyak bibit mati dirusak, dahan dipatahkan  atau dicabut buat mainan.” Monkey Forestpun punya tim khusus menangani hutan konservasi ini.  Bibit terjaga, kalau rusak segera diganti.

Melihat kerapatan pepohonan baru, tim konservasi ini terlihat bekerja keras. Ratusan bojog bisa bermain, bergelantungan dan memanjat tanpa mematahkan dahan.

Membuat hutan baru dan menumbuhkan dalam waktu cepat memerlukan pupuk. Mereka memutuskan menggunakan kompos agar alami dan tak meracuni habitat bojog.

Kalau kompos beli terus, biaya cukup besar. Bagaimana solusinya? Sejak 2013, mereka mulai merintis produksi kompos skala rumah tangga. Pengurus desa meminta tiap warga memilah sampah rumah, lalu mengolah menjadi kompos padat maupun cair. Tak berjalan mulus.

Tak banyak yang mau membuat kompos walau desa sudah memberikan tiga tempt sampah gratis: khusus organik, kering dan basah serta anorganik.

Untuk sampah basah seperti sisa makanan dan residu dapur ada tong khusus yang memudahkan pembuatan kompos cair. Sebuah tong warna biru dipasang pipa-pipa guna mempercepat pembusukan mikroba, lalu hasil langsung ditampung dari katup, seperti dispenser air.

Harga tong ini Rp250.000 per unit. Cukup mahal jika harus membeli. “Baru setahunan ini warga mau memilah sampah, kalau tak dipilah tak akan kami angkut,” kata I Wayan Miasa, petugas tim pengangkut sampah bentukan Desa Padangtegal. Namun, bisa dihitung jari yang mau membuat kompos sendiri.

Untungnya,  di Gianyar ada tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi yang mengelola sampah dengan composting. Setelah diangkut lebih dari 600 rumah dan hampir 300 restoran, hotel, café, dan usaha lain di desa, empat truk sampah membuang ke TPA Temesi. Karena sudah terpilah di truk antara organik dan anorganik, Temesi barter dengan kantong-kantong kompos tiap hari.

Temesi harus membayar upah pemilahan sampah pada puluhan pemulung yang menjadi langganan sebelum bisa mengolah jadi kompos. TPA ini sekitar 10 tahun menerapkan model pemberian upah pada pemulung. Tiap ton sampah organik terpilah Rp45.000. Pemulung cekatan dan bekerja delapan jam per hari bisa memilah sampai satu ton.

Dengan sistem aerob, kompos bisa diproduksi 10 ton per hari. Inilah sumber utama penghasilan TPA untuk operasional selain dana hibah dan program PBB, Clean Development Mechanism untuk mengurangi emisi global.

Tim Rumah Kompos. Foto: Luh De Suriyani

Tim Rumah Kompos. Foto: Luh De Suriyani

Dana dari monyet

Putu Negara, koordinator lapangan tim sampah di Padangtegal menyebut sangat bersyukur mendapat anggaran kebersihan dari para monyet. “Ngaben (upacara kematian) saja ditanggung desa apalagi sampah,” katanya.

Biaya angkut sampah yang dibayarkan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Rp35.000 per bulan per rumah tangga. Untuk usaha seperti resto dan hotel membayar sendiri. Bervariasi tergantung sampah antara Rp300.000-Rp1 juta lebih.

Belasan petugas angkut sampah mulai bekerja dini hari sekitar pukul 4.00, selesai sebelum pukul 11.00. “Di Ubud, angkut sampah harus selesai sebelum siang agar tak mengganggu wisatawan,” kata Supardi, Manajer Rumah Kompos Padangtegal jadi pusat pembelajaran pengelolaan sampah.

Rumah Kompos ini yang mengoordinir operasional pengangkutan sampah. Supardi mengatakan,  unit ini tak mungkin mengolah kompos sendiri karena tak ada lahan. Bahkan, sebelum unit ini berdiri, ada pengusaha yang komplain karena takut menimbulkan  bau.

Rumah Kompos  membuat model cara pengolahan, misal  petak model composting, petak kecil kebun, dan penampungan sedikit sampah anorganik. “Kami ingin mendidik anak-anak memilah sampah, mengolah sejak dini dan memperlihatkan cara di sini.”

Sebelum inisiatif pemilahan sampah, katanya, ada yang membuang sampah ke saluran air atau menumpuk di depan rumah. Di Rumah Kompos, sampah harus terangkut tiap hari.

Tiap enam bulan beberapa warga diberi hadiah jika menjadi pengolah sampah terbaik. Biasa yang terpilih karena berani mendaur ulang organik menjadi kompos padat atau cair.

Pelestarian hayati

Pihak desa berupaya menambah luasan hutan dan membuat program lain. I Nyoman Buana, Manajer Badan Pengelola Mandala Suci Wanara Wana Monkey Forest menyebut sejumlah ide sepetti program adopsi pohon dan hutan tanaman langka serta kebutuhan upacara. “Kalau ada wisatawan datang bisa beli bibit dan nanam sendiri. Juga ingin hutan tanaman langka dan tanaman yadnya (ritual).”

Suatu saat, Monkey Forest bermimpi jadi bank tanaman yadnya untuk desa lain yang memerlukan. Lahan sudah ada tapi belum berjalan karena ada permintaan membuat sentral parkir di Ubud.

Menurut dia, bahasa konservasi dan Tri Hita Karana baru muncul belakangan. Secara teknis upaya ini sudah dilakukan warga sejak abad 14, ketika hutan dan dan monyet ada di sekitar pura. Diyakini sebagai tempat sacral, secara alamiah masyarakat tak berani mengganggu satwa maupun tumbuhan.

Pada 70an, orang masih percaya kalau tindakan sembarangan di pura akan berbahaya, seperti tebang pohon. “Yang melakukan bisa masuk tapi tak bisa keluar. Itu cerita yang dipelihara sejak dulu.”

Upaya menjaga hutan dan satwa lestari itu kombinasi keyakinan dan lingkungan. Dia tidak pernah mendengar ada yang mengganggu monyet. Di tempat lain mungkin  diburu atau ditembak.

Buana menyebut, pada awalnya ada sekitar 40an ekor, sekarang menjadi 600an.“Tak ada upaya merusak kawasan hutan, apalagi sejak 90an sudah menjadi aset desa dan sumber penghasilan, kesadaran menjaga hutan monyet secara alamiah dan serasi menjadi kebutuhan,” katanya.

Hutan dan habitat sudah ada sebelum Desa Padangtegal ada. Sekitar 1.000-3.000 wisatawan rutin berkunjung tiap hari, dengan bayar tiket masuk Rp20.000-30.000 per orang. Retribusi ini menjadikan Padangtegal salah satu desa terkaya di Bali.

Hutan menjadi paru-paru U bud, habitat monyet terjaga, monyet terlindungi. Warga desa menikmati hasil dari turis yang datang.  Foto: Luh De Suriyani

Hutan menjadi paru-paru U bud, habitat monyet terjaga, monyet terlindungi. Warga desa menikmati hasil dari turis yang datang. Foto: Luh De Suriyani


Inilah Jasa Besar Monyet-monyet bagi Desa Padangtegal was first posted on February 8, 2015 at 6:04 am.

Renegosiasi Kontrak Freeport: Pemerintah Didesak Tekankan Pemulihan Hak Warga dan Lingkungan Papua

$
0
0

Tim evakuasi berupaya menemukan korban para pekerja yang tertimbun terowongan runtuh tambang PT Freeport Indonesia di Big Gossan, Papua. Sampai Selasa pagi, dilaporkan korban tewas 21 orang, diperkirakan masih tertimbun tujuh orang. Tragedi Mei 2013. Foto: PT Freeport Indonesia

Dalam renegosiasi kontrak PT Freeport Indonesia, seharusnya pemerintah  menekankan pemulihan hak-hak masyarakat dan lingkungan Papua dampak operasi perusahaan itu. Bukan terkesan, hanya sibuk urusan pembangunan pabrik smelter. Terlebih,Presiden Joko Widodo,  berjanji membangun Indonesia dari daerah pinggir.

“Jika begitu, seharusnya pemulihan hak-hak masyarakat Papua menjadi perhatian khusus. Bukan malah memperpanjang ekspor konsentrat,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), baru-baru ini di Jakarta.

Dia menilai, perpanjangan ekspor konsentrat juga mengabaikan rekomendasi Komnas HAM 2013 yang menetapkan perusahaan sebagai pelanggar HAM berat.  Pelanggaran HAM ini buntut 28 pekerja tertimbun longsoran tambang hingga tewas pada Mei 2013.

Namun, katanya, pemerintah tidak pernah mengambil tindakan tegas. Rekomendasi Komnas HAM dicuekin. Dalam renegosiasi, pemerintah hanya berpikir dari sisi ekonomi.

Padahal, kata Bagus, pembangunan smelter Freeport dalam renegosiasi bukan satu-satunya jawaban permasalahan. “Kalau cuma bicara soal smelter, artily cuma berbicara seberapa besar keuntungan didapat negara. Tidak berbicara bagaimana memulihkan lingkungan hidup yang sudah dirusak Freeport,”

Pemerintah, katanya, begitu mudah memberikan sinyal perpanjangan izin sampai 2040, bahkan mengubah kontrak menjadi izin khusus. Seharusnya,  pemerintah mempertimbangkan mencabut kontrak karya itu. Jikapun nasionalisasi dan dibiarkan tanpa aktivitas pertambangan. “Kenyataan selama ini pertambangan di Papua tidak mensejahterakan warga sekitar.”

Temuan Jatam menyebut, hingga 2009, Freeport sudah membuang limbah tailing 1,87 miliar ton yang dialirkan begitu saja ke Sungai Aghawagon, Otomona dan Ajkwa. Sebaran lahan pangan tercemar limbah tailing seluas 13.000 hektar dan  hutan bakau sekitar 3.600 hektar.

“Kita tidak bisa memastikan pencemaran limbah tailing hingga saat ini seberapa parah. Karena pemerintah tidak audit lingkungan terhadap Freeport. Tak mungkin mereka menghentikan pembuangan limbah tailing. Artinya ya peningkatan intensitas pencemaran terus ada,” kata Bagus.

Dia berpendapat, meskipun limbah tailing diolah sedemikian rupa, tetap berpengaruh terhadap lingkungan. Risiko pencemaran sangat besar. “Di Papua kurang terekspos. Walaupun pelanggaran HAM dan konflik dengan perusahaan ada. Sumbangsih Freeport tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan andaikatapun keuntungan seluruh operasi Freeport kembali ke Papua.” Menurut dia, lingkungan rusak dan masyarakat terancam penyakit dampak limbah tailing,  tak bisa dihitung dengan materi.

Advokasi ekosoc KontraS Syamsul Munir mengatakan, perpanjangan kontrak Freeport hanya menambah masalah baru.”Freeport akan menyewa tanah milik Petrokomia di Gresik untuk smelter 80 hektar selama 20-30 tahun. Kita tahu selama ini Gresik menolak kehadiran Petrokimia. Ada perlawanan massif dari warga seperti di Rembang.”

Namun, penolakan warga ini berbanding terbalik dengan sikap  pemerintah yang menyakinkan lahan Petrokimia bisa dipakai dengan alasan milik BUMN.

“Kita meminta pemerintah meninjau ulang. Cukup sudah penderitaan rakyat Papua. Bagaimana tanah-tanah suku adat dirampas dan tidak mendapatkan legitimasi,” katanya.

Dia mencontohkan, masyarakat adat Amungme sangat mengkhawatirkan karena lahan dipakai Freeport. ”Ini penghancuran tatanan adat. Juga kerusakan sendi-sendi ekonomi.”

KontraS meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan audit lingkungan sesuai UU Lingkungan Hidup. Kerusakan dampak atas Freeport sudah parah. Banjir, tanah longsor dan pekerja tertimbun.”Kita juga meminta kementerian tenaga kerja investigasi tindakan Freeport, seharusnya menghormati hak-hak pekerja,” katanya.

Dia mengatakan, Freeport juga mengangkat petinggi BIN masuk ke jajaran perusahaan. “Ini upaya penguatan Freeport. Ini mencoba menempatkan orang strategis masuk hingga bisa lobi pemerintah pusat.”

Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. Foto: Yoga Pribadi

 


Renegosiasi Kontrak Freeport: Pemerintah Didesak Tekankan Pemulihan Hak Warga dan Lingkungan Papua was first posted on February 9, 2015 at 10:28 am.

Subsidi BBM Lari ke Biodiesel-Bioethanol Berpotensi Picu Deforestasi dan Perampasan Lahan. Mengapa?

$
0
0

Salah satu perkebunan sawit di Kalteng, yang terus membabat hutan walau sudah diputuskan salah oleh Mahkamah Agung. Kebutuhan pasar yang tinggi membuat perluasan lahan sawit tiap henti. Kini, kebun sawit sudah sekitar 10 juta hektar di Indonesia. Adanya subsidi biodiesel yang naik drastis, bisa jadi salah satu pemicu pengembagan lahan sawit, yang bisa berarti pula berpotensi pembukaan hutan-hutan lagi. Foto: Save Our Borneo

Rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada 4 Februari 2015,  menyetujui kenaikan subsidi buat biodiesel menjadi Rp4.000 dan bioethanol Rp3.000 per liter. Dari pengajuan pemerintah, subsidi biodiesel Rp5.000 dari Rp1.500 per liter dan bioethanol Rp3.000 dari Rp2.000 per liter. Kenaikan subsidi buat bahan bakar nabati ini cukup drastis sebesar Rp14,31 triliun. Dari APBN 2015 sebesar Rp3,09 triliun menjadi Rp17,40 triliun pada APBN-perubahan 2015.

Pemberian subsidi besar kepada produk berbasis lahan ini pun memicu reaksi dari organisasi lingkungan, seperti Walhi. Mereka menilai, pengalihan subsidi BBM kepada biodiesel dan bioethanol ini hanya modus buat melayani pemilik modal yang berpotensi mendorong deforestasi dan perampasan-perampasan lahan warga.

Zenzi Suhadi,  Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, langkah pemerintah mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar nabati (BBN) berbasis lahan itu keliru.

Mengapa? Menurut dia, dari aspek lingkungan, pengalihan subsidi BBM ke BBN berbasis lahan ini akan memperparah laju deforestasi. “Karena pemerintah menstimulus peningkatan ekspansi perkebunan sawit di hutan Indonesia,” katanya di Jakarta, Senin (9/2/15)

Dia mengatakan, masuknya BBN dari minyak sawit (crude palm oil/CPO) ini diduga hasil lobi kelompok perkebunan sawit pasca penolakan parlemen Eropa menggunakan BBN berbasis lahan untuk transfortasi di sana. Peningkatan konsumsi CPO pasar Eropa gagal, membuat pelaku industri sawit mendorong pemerintah Indonesia mendongkrak penggunaan dalam negeri. Caranya, pemerintah dan rakyat menjadi pembeli tetap melalui pengalihan subsidi BBM.

Tak hanya itu, pengalihan subsidi BBM ini juga untuk kelompok pengusaha yang sedang mendorong HTI bioetanol yang mengancam satu juta hektar hutan di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua.

Kekeliruan lain, katanya. dari aspek ekonomi. Selama ini,  pemerintah telah memberikan lahan luas kepada perusahaan sawit dengan alasan perlu investasi. Namun, sisi lain pemerintah malah mengeluarkan uang untuk menjadi pembeli tetap minyak sawit mentah dengan modus pengalihan subsidi.

“Pengalihan subsidi ini susungguhnya menghadirkan keuntungan semu bagi pemerintah. Mengurangi alokasi dana dari BBM fosil Rp20 triliun tetapi mengeluarkan uang pembelian biodiesel dan bioetanol Rp17,40 triliun?”

Kebijakan ini,  juga membahayakan bagi lahan dan hutan. Alokasi ini, katanya,  justru akan makin meningkatkan perampasan lahan. Ia akan memicu perubahan status masyarakat  dari pemilik dan pengguna tanah menjadi pekerja yang bergantung kepada perkebunan sawit.

Dia menilai, penggunaan uang dari pencabutan subsidi BBM untuk pembelian CPO dinilai upaya mengunakan uang rakyat untuk membiayai proses perampasan hak rakyat atas tanah dan lingkungan.

Harusnya subsidi energi terbarukan

Seharusnya, kata Zenzi, dana pengalihan subsidi BBM itu menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk mengambil langkah strategis penanggulangan persoalan lingkungan.  Salah satu, dengan mendorong bahan bakar terbarukan yang melimpah di Indonesia, seperti angin, tenaga surya, nabati non lahan,  yang tak menimbulkan konsekuensi besar bagi lingkungan.

Pemerintah, katanya, juga bisa menggunakan dana pengalihan itu bagi pembiayaan penyelamatan lingkungan langsung oleh masyarakat, sektor mikro buat meningkatkan daya produksi masyarakat pedesaan atau pemulihan lingkungan dampak emisi penggunaan bahan bakar fosil.

“Bukan malah mengalihkan subsidi untuk pembelian CPO, dengan menutup mata dampak terhadap iklim dan lingkungan makin parah. Keputusan pemerintah ini bakal meningkatkan beban keuangan pemerintah untuk penangulangan bencana dan kerusakan lingkungan,” ujar dia.


Subsidi BBM Lari ke Biodiesel-Bioethanol Berpotensi Picu Deforestasi dan Perampasan Lahan. Mengapa? was first posted on February 9, 2015 at 11:16 pm.

Jakarta Banjir Lagi, Apa Kata Aktivis Lingkungan dan Menteri LHK?

$
0
0
Halaman parkir Universitas Krida, Jakarta, bak sungai kala tergenang bannir Senin (9/2/15). Foto: Indra Nugraha

Halaman parkir Universitas Krida, Jakarta, bak sungai kala tergenang bannir Senin (9/2/15). Foto: Indra Nugraha

Di sepanjang Jalan S Parman hingga Grogol, Jakarta, lumpuh total pada Senin (9/2/15). Ketinggian banjir mencapai satu meter membuat kendaraan yang melintas harus berputar arah. Ada mobil memaksakan menembus banjir, walau berakhir mogok.

Di Jalan Tanjung Duren, beberapa orang lalu lalang membawa gerobak. Menawarkan jasa angkut sepeda motor dari daerah tergenang menuju yang lebih aman. Tarif bervariasi. Antara Rp20.000-Rp50.000. Perahu karet milik BNPB dan kepolisian juga membantu warga melintasi kawasan ini. Beberapa orang silih berganti menunggu giliran naik ke perahu karet.

“Tadi mau berangkat pagi-pagi menjadi terlambat karena banjir,” kata Adhi Muhammad Daryono, warga Kedoya.”Saya harus membawa baju ganti mengantisipasi tidak basah saat berkendara,” katanya.

Tak hanya Grogol dan Tanjung Duren. Hujan yang mengguyur Jakarta sejak Minggu malam (8/2/15) hingga Selasa subuh (10/2/15) menyebabkan beberapa kawasan tergenang banjir. Pada Senin (9/1/15), banjir bahkan ‘mengepung” Istana Negara, dengan kedalaman berkisar 10-100 cm. Hari ini, pantauan Traffic Management Center Polda Metro Jaya, beberapa titik genangan masih terjadi di beberapa wilayah, seperti di Daan Mogot, Pasar Cipulir, Kebayoran Baru, sampai Duri Kosambi, antara 20-100 cm.

Banjir di kawasan tanjung Duren. Tampak gerobak menjadi angkutan alternatif kala kendaraan 'konvensional' tak bisa melalui air dengan selamat. Foto: Indra Nugraha

Banjir di kawasan tanjung Duren. Tampak gerobak menjadi angkutan alternatif kala kendaraan ‘konvensional’ tak bisa melalui air dengan selamat. Foto: Indra Nugraha

Dari perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam pekan ini, Jakarta, berawan,  hujan ringan, hingga hujan lebat. Potensi hujan ringan hingga sedang di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Hujan lebat bakal mengguyur Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, siang, sore, sampai malam hari. Ini dari sisi perkiraan cuaca. “Namun, penyebab banjir bukan sekadar soal hujan,  tetapi lebih dari itu,” kata Deddy Ratih, dari Walhi Nasional.

Menurut dia, banjir bak jadi ‘agenda’ rutin Ibukota dan warga sampai para ahli tata kota menyadari bagaimana bentang alam kota ini serta daerah mana saja yang mempengaruhi kondisi lingkungan di sini.

Ruang terbuka hijau di Jakarta, katanya, hanya tersisa 6%. Yang lain, sudah menjadi berbagai kegiatan komersil pembangunan seperti gedung-gedung bertingkat dengan basement bertingkat pula.

Kondisi ini, ucap Deddy,  membuat kemampuan lingkungan menurun alias daya dukung dan daya tampung lingkungan Jakarta sudah tak seimbang.

“Jakarta sudah over burden dengan begitu padat pembangunan kota ini,” katanya di Jakarta, Selasa(10/2/15).

Tim gabungan juga bersiap dengan kapal pelampung buat membantu warga yang perlu pertolongan dampak banjir di Tanjung Duren, Senin (9/2/15). Foto: Indra Nugraha

Tim gabungan juga bersiap dengan kapal pelampung buat membantu warga yang perlu pertolongan dampak banjir di Tanjung Duren, Senin (9/2/15). Foto: Indra Nugraha

Untuk itu, dalam melihat problem lingkungan di kota ini  tak bisa hanya lingkup Jakarta. Ada daerah-daerah lain berpengaruh atau setidaknya memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan, termasuk banjir di Jakarta.

“Nah, dari dulu para ahli itu sudah ngomong soal Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) selain Botabek (Bogor-Tangerang-Bekasi) mengenai model pembangunan terintegrasi,” katanya.

Sayangnya, dalam kenyataan, yang terintegrasi justru membangun jalan tol, kawasan industri atau kawasan ekonomi terpadu. Sedang

mengintegrasikan pembangunan dengan aspek lingkungan hidup berkelanjutan belum dilakukan.

Apa masih bisa diperbaiki? Deddy mengatakan, kemungkinan memperbaiki selalu ada.  Dia menyarankan, pemerintah menata ulang kawasan-kawasan yang memang harus dikonservasi dan menata wilayah-wilayah tetangga Jakarta, seperti Depok, Tangerang dan Bekasi.

Lalu, perbaikan sungai-sungai, memperbaiki tata air (drainase), mewajibkan biopori, dan menghentikan pengembangan bangunan komersial seperti gedung-gedung bertingkat.

Untuk menjalankan ini, katanya, memang mesti kerja  bersama pemerintah daerah dan pemerintah pusat. “Harusnya itu dikoordinasikan pemerintah pusat.”

Dia juga mengingatkan,  wacana pembangunan giant sea wall—yang katanya buat mengantisipasi banjir—bisa menjadi kebalikan alias malah berpotensi membahayakan lingkungan hidup di Jakarta.

Korban banjir RW 01 Kampung Pulo, jakafrta Timur, kala ngungsi di basement RS Hermina, jakarta, Senin (9/2/15). Foto: dari twitter TMC Polda Metro

Korban banjir RW 01 Kampung Pulo, jakafrta Timur, kala ngungsi di basement RS Hermina, jakarta, Senin (9/2/15). Foto: dari twitter TMC Polda Metro

Monitoring kementerian LHK dan daerah

Sebenarnya, pemerintah daerah dan pusat sudah berupaya mengantisipasi banjir ini. Sejak beberapa bulan lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah melakukan pengamatan terhadap hulu Sungai Ciliwung di Tugu dengan stasiun pengamatan tinggi muka air.

Baru-baru ini, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, langkah mengantisipasi banjir Jakarta, dari luapan Sungai Ciliwung, kementerian berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Jakarta. Mereka juga berkonsolidasi lewat kerja-kerja dinas, UPT di Jakarta dan Jabar, termasuk di kabupaten. “Soal banjir Jakarta, kita sudah antisipasi sejak November. Interaksi pemda terus berjalan,” katanya dalam refleksi kerja 100 hari Kementerian LHK di Jakarta.

Siti mengatakan, antisipasi banjir dari Sungai Ciliwung pada November-Desember 2014, dengan pengerukan sendimentasi drinase atau parit-parit di Jakarta dan kabupaten/kota sekitar Ibukota negara. “Sumur serapan dan biopori juga upaya dibangun meskipun masih terbatas.”

Sedang banjir luapan Sungai Citarum, kata Siti, memiliki karakter berbeda dari Ciliwung. Di Citarum, pada hulu Sungai Cisangkuy, jelas terjadi alih fungsi lahan sangat rentan. Lahan telah menjadi kebun sayur mayur seperti kentang, kubis dan wortel. Di lereng-lereng bukit, katanya, rentan longsor dan erosi.

Untuk itu, katanya, penanganan banjir Citarum,  kementerian berkoordinasi dengan Gubernur Jabar. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla, telah membagi tugas antara pemerintah Jabar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian LHK. “Menteri PU akan menangani pekerjaan konstruksi seperti bendung besar di wilayah tengah ke hilir, sedang Menteri LHK hulu sungai.”

Polisi di Pos Pam Petamburan, Jakarta Pusat, kala membantu warga korban banjir. Foto: dari twitter TMC Polda Metro

Polisi di Pos Pam Petamburan, Jakarta Pusat, kala membantu warga korban banjir. Foto: dari twitter TMC Polda Metro


Jakarta Banjir Lagi, Apa Kata Aktivis Lingkungan dan Menteri LHK? was first posted on February 10, 2015 at 11:17 am.
Viewing all 4085 articles
Browse latest View live