Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4051 articles
Browse latest View live

Menjaga Kelestarian Pesisir dan Wisata Air Tulamben

$
0
0
Sunrise Tulamben yang jadi salah satu favorit wisatawan kala berkunjung ke daerah ini. Foto: Anton Muhajir

Sunrise Tulamben yang jadi salah satu favorit wisatawan kala berkunjung ke daerah ini. Foto: Anton Muhajir

Situs kapal karam (ship wreck) USS Liberty  di perairan dangkal Tulamben, Karangasem, Bali Timur menjadi magnet utama penyelam dari penjuru dunia. Namun, situs ini terancam rusak hingga perlu perlindungan segera.

“Kondisi kapal rentan roboh. Untuk membantu tetap pada posisi mungkin bisa dipasangkan plat pada beberapa bagian kapal sebagai penunjang,” kata Dive Guide Tulamben, Nyoman Suastika.

Coral reef Alliance dan Reef Check Indonesia, tahun 2013 menyebut perputaran ekonomi di sini US$10 juta per tahun. Dari akomodasi wisata, bisnis wisata air dan pendukung. Program kajian cepat kelautan Bali (marine rapid assessment program/MRAP) pada 2011 menyatakan, Tulamben adalah aset penting bagi pembangunan daerah.

Data Disbudpar Karangasem 2013–2014 menunjukkan, sekitar 70.000 wisatawan ke sini setiap tahun. Namun, ada yang membuat resah, warga, guide local, dan pengusaha wisata air di ujung timur pulau Bali ini.

Di Tulamben, ada sekitar 10 titik penyelaman lai. Namun kapal ini menjadi ikon. Ia ditumbuhi terumbu karang dan rumah bagi ikan-ikan hias cantik. Sekitar 100 penyelam biasa mengerumuni bangkai kapal Amerika yang karam ditembak torpedo Jepang masa perang dunia II ini dalam waktu bersamaan.

Suastika mengatakan, untuk penyebaran penyelam perlu ada dive site alternative yang menarik. Organisasi dive guide sudah mencoba bekerjasama dengan LSM untuk transplantasi karang. Beberapa hotel juga berinisiatif membuat taman buatan dalam air namun belum bisa menjadikan ikon baru.

Selain perlu upaya konservasi bangkai kapal agar tak roboh atau hancur dimakan karat, katanya, juga perlu upaya perlindungan lain. Misal, pembatasan penggunaan kapal atau boat ke lokasi penyelaman. Penggunaan boat berlebihan khawatir mempengaruhi biota seperti jakfish yang selama ini menjadi ikon wisata di Tulamben.

Nyaris sepanjang hari, terjadi kerumunan penyelam di pesisir Tulamben. Para porter hampir semua perempuan pengangkut alat selam seperti tabung hilir mudik. Setelah menelusuri sejumlah titik terumbu karang indah, puluhan penyelam ini akan bertemu di ship wreck.

Warga desa setempat sudah membuat sejumlah kesepakatan melindungi biota laut, misal larangan memancing.

Pemerintah juga menetapkan Tulamben menjadi kawasan strategis pariwisata, yakni konservasi dan cagar budaya bawah laut.

September lalu, Conservation International (CI) Indonesia mengadakan diskusi kelompok untuk memetakan solusi upaya konservasi ini.

I Nyoman Ardika, kepala Desa Tulamben mengatakan, Liberty menjadi andalan utama perkembangan pariwisata di Tulamben.  Dia berharap, situs ini dipertahankan dalam waktu lama, hingga memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Pejabat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem I Wayan Purna menjelaskan pariwisata Tulamben menyumbang sekitar Rp500 juta per tahun untuk pendapatan daerah Karangasem. Pendapatan ini menempatkan Tulamben urutan kedua setelah Pura Besakih, pura induk di Bali. Tantangan ke depan, katanya, bagaimana pariwisata ini dikelola agar tekanan terhadap sumberdaya seminimal mungkin.

Dalam kebijakan tata ruang, Tulamben termasuk kawasan strategis provinsi maupun kabupaten baik buat pariwisata maupun kelautan dan perikanan.

Para penyelam, penikat wisata air di Tulamben. Foto: Anton Muhajir

Para penyelam, penikmat wisata air di Tulamben. Foto: Anton Muhajir

Cipto Aji Gunawan, pejabat Kementerian Pariwisata dan Industri Kreatif memaparkan, pariwisata di Tulamben menunjukkan perkembangan pesat dari 90an sampai sekarang. Hingga dikenal satu titik penyelaman paling ramai di Indonesia.

Untuk menanggulangi dampak terhadap Liberty, katanya,  harus ada manajemen pengunjung yang tegas. Bangkai kapal ini suatu saat pasti rusak dan hilang. Yang bisa dilakukan memperpanjang usia hingga mampu memberikan manfaat ekonomi lebih lama dengan jalan intervensi manajemen maupun teknologi.

Menurut dia, antaranya dengan pembatasan pengunjung maupun investasi, hingga perkembangan pariwisata bisa terawasi.

Perkembangan pariwisata di Bali selatan, khusus di Kuta bisa menjadi contoh, saat ini kenyamanan menurun akibat tekanan tinggi  seperti kemacetan dan persaingan usaha.

I Wayan Kariasa dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Karangasem khawatir persaingan investasi pariwisata khusus diving di Karangasem karena didominasi asing.  “Pelaku wisata lokal harus mendapat peningkatan kapasitas.”

Sejumlah tokoh masyarakat Tulamben menceritakan aktivitas perlindungan oleh masyarakat dilakukan sejak 80an melalui imbauan tidak mengambil karang dan ikan hias. “Dulu karang ditambang untuk kapur,” kata Bendesa Adat Tulamben Nyoman Kariasa.

Pada 90an disepakati tidak menangkap ikan di sepanjang dua km Pantai Tulamben hingga jarak 100 meter dari bibir pantai. Saat ini, pengelolaan secara sederhana oleh desa adat.

I Nyoman Degeng, kepala Dusun Tulamben menyebut sejak 1975 sudah ada turis ke Tulamben. Untuk membantu wisatawan menyelam di Tulamben dibentuklah organisasi buruh angkut “Sekar Baruna” tahun 1981. Beberapa persoalan lain adalah ketiadaan lahan parkir, banyak penyelam datang membawa perbekalan sendiri atau termasuk paket penyedia jasa perjalanan. Keadaan ini mengurangi masukan warung-warung. Juga belum ada mooring buoy untuk penambatan boat hingga cukup berbahaya jika boat melintas di atas penyelam dan perlu bantuan penataan dive site alternative hingga situs kapal tenggelam tidak terlalu ramai.

Made Iwan Dewantama dari CI Indonesia mengatakan, model pengelolaan terpadu dan upaya konservasi menjadi tantangan. Manajemen pengelolaan, harus memberikan manfaat pada warga lokal.

Wisata pesisir Pantai Tulamben, juga salah satu tujuan wisata di daerah ini. Foto: Anton Muhajir

Wisata pesisir Pantai Tulamben, juga salah satu tujuan wisata di daerah ini. Foto: Anton Muhajir


Menjaga Kelestarian Pesisir dan Wisata Air Tulamben was first posted on October 24, 2014 at 1:01 pm.

Aparat Tembak Warga Dayak Meratus, Polda Kalsel Turunkan Tim Investigasi

$
0
0

Keindahan hutan di Pegunungan Meratus, tempat hidup masyarakat Dayak Meratus. Namun, keindahan ini terancam. Sebab, perusahaan sudah masuk di mana-mana. Sebagian wilayah (hutan) adat ini sudah terbagi-bagi kepada perusahaan, baik HPH, sawit sampai tambang. Hutan terbabat oleh perusahaan lancar dan aman. Ketika, warga dituding melakukan illegal logging, terlebih di ‘wilayah perusahaan’ aparat sigap  bertindak. Kala warga adat kehilangan hutan yang menjadi  tempat hidup mereka oleh  perusahaan, tak ada yang membela. Foto: Greenpeace

Pada, Rabu (22/10/14) malam, Polres Tanah Bumbu dengan 35 personel Sabhara dan Reskrim mengadakan razia illegal logging di Baturaya, Kecamatan Menteweh, Tanahbumbu, Kalimantan Selatan. Kamis (23/10/14) sekitar pukul 01.00, terjadi penembakan terhadap warga Dayak Meratus hingga menyebabkan satu tewas, dan tiga luka-luka. Enam warga diamankan tetapi sudah dilepas.

Korban tewas, Inus (35), warga Malinau, Kabupaten Ulu Sungai Selatan. Masyarakat dituding melakukan illegal logging di kawasan yang masuk konsesi perusahaan HPH, PT Kodeko Timber.

Yasir Al Fatah, ketua PW Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel kepada Mongabay, Kamis malam (23/10/14) mengatakan, konsesi perusahaan itu masuk kawasan adat Batu Lasung. Kala aparat razia,  bentrok dengan warga. Mereka melawan karena merasa mengambil kayu di Batu Lasung.

Menurut dia, meskipun korban bukan warga Lasung, biasa kalau membuka lahan baik berladang atau berkebun dengan izin kepala adat setempat.

“Mungkin perusahaan gerah hingga ada razia dan terjadi penembakan ini,” ujar dia.

Aman Kalsel, katanya, akan berkirim surat ke Kapolda Kalsel tembusan Kapolri, dan Komnas HAM. “Ke Kapolda kami minta penjelasan resmi aparat atas penembakan terhadap masyarakat adat  ini.”

AMAN juga meminta Komnas HAM menurunkan tim untuk menginvestigasi kasus ini. “Kami minta penembakan ini diungkap. Meskipun mereka dicap penebang liar,  namun status lahan berkonflik dan batas-batas dengan konsesi juga tak jelas.”

Sedangkan, wilayah adat Batu Lasung, katanya, sudah pemetaan partisipatif.  Masyarakat adat di sana sebagian besar berladang dan berkebun.

Namun, mereka hidup dalam ancaman karena berada di tengah-tengah konsesi kebun sawit dan HPH. “Kampung mereka hampir habis.”

Bahkan, dua warga Batu Lasung sedang proses pengadilan karena berusaha mempertahankan lahan adat.

“Tanah adat mereka diambil, sejak 2005, perusahaan sawit masuk tanpa ganti rugi, akhirnya sawit dibabat warga, dilaporkan perusahaan lalu diproses hukum,” ujar Yasir.

Polda turunkan tim Propam

Mendapat kabar ini, kapolda Kalsel Brigjen Machfud Arifin mengirimkan tim investigasi ke lokasi penembakan di Desa Tamunih, Kusan Hulu, Tanahbumbu.

“Tim yang ke sana dari Propam. Langsung dipimpin Kabid Propam AKBP Midi Siswoko,” kata Kabid Humas Polda Kalsel AKBP Sunyipto di Banjarmasin, Kamis (23/10/14), seperti dikutip dari Metro Banjar.

Dia mengatakan, ada pertimbangan khusus menerjunkan tim dari Propam guna menelusuri informasi yang menyebutkan ada oknum polisi terlibat.

Sunyipto mengimbau masyarakat memercayakan penanganan persoalan ini ke kepolisian. “Jangan terprovokasi.”

Menanggapi kasus ini, kepada Mongabay, Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM mengatakan, Komnas HAM terus memantau kasus ini. “Kami akan laporkan kasus ini saat pertemuan khusus dengan Polri dalam proses inkuiri nasional,” ujar dia.

Andi Muttaqien, koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) mengatakan, aksi tembak aparat hingga menyebabkan warga tewas dan luka-luka ini jelas pelanggaran HAM serius.

“Masyarakat adat demi memenuhi kebutuhan hidup saja ditembak tepat di kepala dan perut,” katanya.

Atas aksi ini, pelaku dari Polres Tanah Bumbu harus diusut segera dan mendapatkan hukum berat. “Kapolres harus bertanggung jawab. Kapolri dan Kapolda harus segera membenahi perilaku beringas anak buahnya ini.”

Insiden ini terjadi, kata Andi,  sebagai bukti ketidakpahaman aparat akan pengakuan masyarakat adat, dan hak-hak mereka. Sebab, kawasan itu wilayah adat meskipun satu sisi diklaim masuk konsesi perusahaan. “Harusnya aparat memahami, terlebih MK 35 mengakui keberadaan hutan adat .”

Andiko Sutan Mancahyo, direktur eksekutif Perkumpulan Huma mengatakan, kejadian ini menunjukkan konflik penguasaan. “Kalau itu konflik, pendekatan tak bisa dengan kekerasan. Harus menggunakan cara-cara layak dan persuasif,” ujar dia.

Aparat, katanya, perlu menggunakan pendekatan penyelesaian sengketa.  Untuk itu, polisi harus memperbaiki standar operasi mereka. “Pelaku harus diperiksa.”


Aparat Tembak Warga Dayak Meratus, Polda Kalsel Turunkan Tim Investigasi was first posted on October 24, 2014 at 4:19 pm.

Mereka yang Terabaikan Kala To Jambu Masuk Kawasan Konservasi

$
0
0
Kampung To Jambu. Warga di sana tak tahu kala kampung mereka masuk kawasan konservasi. Pemerintah tak memberikan informasi sama sekali, padahal mereka tinggal di sana jauh sebelum penetapan kawasan konservasi. Foto: Eko Rusdianto

Kampung To Jambu. Warga di sana tak tahu kala kampung mereka masuk kawasan konservasi. Pemerintah tak memberikan informasi sama sekali, padahal mereka tinggal di sana jauh sebelum penetapan kawasan konservasi. Foto: Eko Rusdianto

Kampung To Jambu. Ia memanjang mengikuti liukan jalan di kaki pegunungan Verbeek, Kelurahan Battang Barat, Kecamatan Wara Barat, Palopo. Rumah-rumah berdiri di antara tebing gunung dan kaki jurang. Air segar dan pepohonan lebat. To Jambu menjadi tempat istirahat para pesiar kala hendak ke Toraja maupun Palopo.

Warung-warung makan dan penjual penganan khas berderet. Ketika kendaraan menepi, para perempuan penjaja makanan menghampiri tersenyum ramah. Di siang hari laki-laki hampir tak terlihat,  mayoritas menghabiskan waktu di kebun.

Siang itu, kemarau panjang. Beberapa orang tanpak beristirahat di bawah kolong rumah. Ada laki-laki bertelanjang dada,  beberapa yang lain menikmati kopi.

Seorang dari mereka menemani saya berjalan-jalan. Dia menunjuk pohon durian di sisi jalan, lalu memutar bada dengan telunjuk tegak seperti hendak membuat garis lurus. “Dari jembatan bawah itu dan pohon durian ini, itulah batas kawasan konservasi.” “Jadi semua warung dan sekitar 300 keluarha bermukim di tempat ini, masuk kawasan konservasi dan harus keluar.”

Kampung To Jambu menjadi kawasan koservasi dan taman wisata alam (TWA) dengan nama Nanggala III tahun 1990 seluas 400 hektar. Pada masa itu, tak banyak persinggungan dengan warga, semua berjalan baik. Meskipun warga tak pernah dilibatkan dalam pemetaan ruang.

Akhir 2004, luas kawasan menjadi 900 hektar. Lagi-lagi masyarakat tak tahu menahu. Baru 2010, seorang warga, Dani Anton ditangkap dengan tuduhan merambah kawasan hutan. Dani di penjara enam bulan.

Warga kampung mendatangi Pemerintah Kota Palopo, BKSDA dan DPR. Mereka mendapatkan SK Walikota pada 2004  menyatakan, wilayah Ba’tan sebagai kawasan konservasi. “Jadi rumah saya masuk kawasan, tapi kebun saya tidak,” kata Ayyub. “Mungkin saya disuruh berumah di kebun saja.”

Ayyub memperkirakan, lahir 1948 dan dibesarkan di To Jambu. Namun, secara administratif dalam tata kelola pemerintahan Palopo kampung ini menjadi Kelurahan Battang Barat.

Kelurahaan Battang Barat berbatasan langsung dengan Toraja Utara. Di bagian lain, dengan Kelurahan Battang dan Desa Padang Lambe. Pada masa lalu di tiga wilayah ini – Battang Barat, Battang dan Padang Lambe – dikenal dengan sebutan orang-orang Ba’tan sebagai satu kesatuan wilayah adat.

Ba’tan dikepalai tokoh adat bergelar To Makaka. Setiap wilayah diwakili seorang To Matoa. Ayyub,  To Matoa di To Jambu atau Battang Barat.

Hutan sekitar terjaga. warga yang sudah turun menurun di sana tak menjarah hutan, bahkan menjaga. Namun, belakangan, datang orang-orang, banyak di antara mereka duduk di pemerintahan membeli lahan di sana, dan mulailah terjadi pembukaan lahan. Foto: Eko Rusdianto

Hutan sekitar terjaga. warga yang sudah turun menurun di sana tak menjarah hutan, bahkan menjaga. Namun, belakangan, datang orang-orang, banyak di antara mereka duduk di pemerintahan membeli lahan di sana, dan mulailah terjadi pembukaan lahan. Foto: Eko Rusdianto

Kearifan lokal masyarakat Ba’tan

Di Ba’tan sebagian besar masyarakat menggarap lahan berkebun dan bercocok tanam. Membudidayakan tanaman jangka panjang, seperti cengkih, kopi, dan kakao. Lalu, sayur mayur  tetapi sulit karena ‘dijarah’ babi hutan.

Masyarakat mengelola lahan sesuai tradisi turun temurun. Tidak mengganggu hutan lebat dan tidak menggarap tanah miring atau terjal. Dalam pemahaman orang Ba’tan, lahan terjal (awa morrok) akan membawa petaka jika digarap.

Menurut Ayyub, masyarakat menggarap awa morrok akan kena denda pembayaran satu kerbau dan dianggap serakah.  “Jadi tak ada orang berani.”

Seiring waktu, beberapa lahan dengan hingga beratus hektar dimiliki pendatang dengan pangkat dan jabatan tinggi dalam pemerintah. Pembukaan lahan, kata Ayyub dimulai periode 1980-an. Masyarakat dipaksa melepaskan tanah dengan harga murah. “Mereka datang menenteng senjata. Mereka tak buat kekerasan, tapi orang-orang tua kami takut, lalu melepaskan,” katanya.

Akhirnya, aturan penggarapan lahan dilupakan. Awa morrok menjadi kenangan. “Coba lihat semua tempat menjadi lahan garapan. Saya bisa jamin, yang melakukan pendatang, sedikit orang Ba’tan.”

Beberapa nama pejabat disebut memiliki lahan di Ba’tan khusus To Jambu dan bersertifikat. Sementara warga yang menempati dan mengelola lahan turun temurun tak memiliki sertifikat, tetapi membayar pajak setiap tahun. “Tahun 2012, orang kehutanan datang, bilang pada kami. Rumah milik kami tapi tanah punya kawasan konservasi. Jadi kami bingung,” kata Zaenal Ahmadi, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat .

Relokasi 

Tahun 1998, To Jambu dilanda longsor. Ruas jalan penghubung utama Toraja ke Palopo terputus. Saat inilah Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, mengajak masyarakat mengikuti pelatihan kader usaha tani menetap. Pelatihan dilakukan di Desa Lara, Sabbang, Luwu Utara.

Zaenal saat itu mengikuti pelatihan selama sebulan. Saat bersamaan 303 rumah ukuran sederhana dibangun di Sabbang, sesuai jumlah keluarga To Jambu. “Saat selesai, kami baru tahu tujuan pelatihan untuk bekal menetap di tempat baru.”

Tak menunggu waktu lama, relokasi berjalan dalam tiga gelombang. Zaenal ikut perpindahan gelombang ketiga. Setiap keluarga memperoleh lahan seluas , hektar termasuk rumah. Jaminan kehidupan bahan pokok selama dua tahun.

Kampung To Jambu, yang tak memiliki lagi pusat kesehatan. Warga tak boleh membangun fasilitas kesehatan di kampung--yang sempat rusak--karena masuk kawasan konservasi. Foto: Eko Rusdianto

Kampung To Jambu, yang tak memiliki lagi pusat kesehatan. Warga tak boleh membangun fasilitas kesehatan di kampung–yang sempat rusak–karena masuk kawasan konservasi. Foto: Eko Rusdianto

Namun Zaenal dan beberapa tokoh masyarakat,  membuat kesepakatan agar tidak mengosongkan rumah awal. Mereka menolak pindah. Meskipun akhirnya melunak atas bujukan kecamatan. Namun yang terjadi selama dua tahun di Desa Lara, Sabbang, perebutan lahan dengan warga lokal. “Kami dituduh menduduki tanah mereka. Jelas kami tak ingin konflik, kami kembali ke To Jambu.”

Infrastruktur minim

Tahun 2009, Pemerintah Palopo membangun pusat kesehatan kelurahan. Melalui rembug bersama, masyarakat mengusulkan bangunan di samping Kelurahan Battang Barat. Tak disetujui karena tidak strategis dengan akses kendaraan yang mendaki.

Akhirnya, pusat kesehatan didirikan di sisi jalan utama desa. Warga mengucap syukur karena tak perlu lagi menempuh perjalanan ke kelurahan tetangga, jika ada yang sakit. Malang tak dapat ditolak, tahun sama terjadi lagi longsor dan merusak bangunan kesehatan. “Sebenarnya sangat menyedihkan. Kini kami tak memiliki Puskeskel.”

Harapan muncul pada 2010. Puskeskel menjadi bahasan serius. Usulan membangun kembali mencuat. Namun pemerintah mementahkan. Warga menunjukkan lokasi di tengah kampung. “Tim pembangunan bilang, tempat harus rata. Harus selesai cepat, kalau tidak anggaran pembangunan dipindahkan ke tempat lain,” kata Ayyub.

Akhirnya, masyarakat To Jambu urunan, setiap keluarga menyumbangkan Rp50.000 dan berhasil mengumpulkan Rp10 juta. “Uang itu untuk menyewa doser selama dua hari. Tampat pun rata, dan siap.”

“Minggu pertama, tak ada berita. Minggu kedua belum ada kabar juga. Akhirnya pada minggu ketiga tim pembangunan datang dan bilang kalau tidak boleh lagi membangun bangunan baru di wilayah konservasi,” kata Ayyub.

Tahun 2013, dengan beragam persoalan, dari fasilitas umum hingga hak kelola lahan berbenturan dengan BKSDA. Zaenal bersama beberapa perwakilan warga dan pemerintah Palopo menemui Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan.

Pertemuan di salah satu ruangan Kemenhut di Jakarta. Tak banyak bahasan. Hasilnya, warga diminta kembali ke kampung dan pemerintah menentukan tata ruang hingga batas wilayah.

Apakah ada perubahan? Zaenal dan beberapa warga To Jambu mengatakan tak ada perubahan.

Masih  dalam 2013, perwakilan warga To Jambu menemui Walikota Masih Palopo, Judas Amir. Mereka meminta status lahan dan kesigapan pemerintah Palopo memberi jalan keluar. Juga meminta hak kelola lahan 400 hektar. “Saya tak bisa berbuat banyak untuk Battang Barat, karena saya takut dengan hukum,” kata Judas Amir ditirukan Ayyub.


Mereka yang Terabaikan Kala To Jambu Masuk Kawasan Konservasi was first posted on October 25, 2014 at 5:33 pm.

Video: Kala Muntahan Sinabung Belum Berhenti

$
0
0

Warga Desa Gurukinayan hanya bsa melihat rumah yang hancur akibat terkena debu panas dan bebatuan dari Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Gunungapi Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara terus erupsi. Setahun lebih sudah mengeluarkan debu vulkanik panas dan lahar dingin disertai gelundungan bebatuan.

Sejumlah desa pada radius kurang tiga kilo meter dari Gunung Sinabung, terdampak erupsi. Bangunan rumah hancur dihantam batu ukuran besar.

Data Dinas Pertanian Sumut, akibat debu vulkanik, tanaman dan kebun masyarakat desa di Karo seluas 2.959 hektar hancur dan terancam gagal panen.

Mongabay, mengambil video di Desa Gurukinayan, Karo, berjarak tiga kilometer dari kaki Sinabung. Desa ini, salah satu yang dikosongkan karena berbahaya. Tampak gunung erupsi dan mengeluarkan awan panas dan lahar dingin. Guguran awan panas ini telah menelan 17 warga desa, satu jurnalis

Video diambil Minggu 12 Oktober 2014, terlihat Desa Gurukinayan hancur, dan warga terpaksa mengungsi di sejumlah lokasi di Karo yang sudah disiapkan pemerintah.

Data BNPB, pada Minggu, (12/10/14), status Sinabung Siaga Level III. Terjadi guguran 142 kali. Semoga Sinabung berhenti erupsi, dan tidak lagi menelan korban jiwa.


Video: Kala Muntahan Sinabung Belum Berhenti was first posted on October 25, 2014 at 7:07 pm.

Opini: Quo Vadis Institusional Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

$
0
0

Kayu-kayu yang ditumpuk usai proses penebangan oleh perusahaan di Pulau Padang. Hutan alam terbabat berkat izin pemerintah (Kementerian Kehutanan). Kementerian pemberi izin-izin di kawasan hutan ini akan digabungkan bersama Kementerian Lingkungan Hidup. Apa jadinya? Apakah akan terwujud perlindungan lingkungan termasuk lingkungan hutan, atau sebaliknya? Foto: Bambang Aswandi/Serikat Tani Riau

Optimisme sempat menghampiri para pemerhati dan pegiat lingkungan hidup kala Presiden Joko Widodo merencanakan perampingan kabinet. Efektivitas dan efisiensi dua hal tujuan utama. Bahkan dalam beberapa momentum Jokowi berjanji akan menguatkan institusional Kementerian Lingkungan Hidup dengan menjadikan Kementerian Koordinator agar langkah penyelamatan lingkungan lebih terpadu pada satu atap. Ini sudah terlacak saat visi dan misi Presiden dengan mencantumkan dalam Nawa Cita secara eksplisit mengatakan negara wajib hadir dalam sengketa berbasis sumber daya alam. Sebuah langkah progresif yang mutlak dan akan timbul didasari kesadaran bahwa negara cenderung absence selama satu dekade terakhir.

Namun, penggiat lingkungan hidup dibuat bingung dengan kebijakan terkini dari Presiden saat injury time jelang pengumuman kabinet. Dalam postur dan struktur versi terakhir akan terjadi peleburan dua institusi: sektor lingkungan Hidup dan kehutanan. Ini menjadi pertanyaan besar terhadap komitmen Jokowi dalam penguatan institusi KLH– saat Presiden ke kantor Walhi—secara eksplisit terucapkan. Paling tidak terdapat beberapa argumentasi layak menjadi pertimbangan Presiden dalam konteks administrasi negara dan upaya menghadirkan lingkungan hidup lestari.

Mengukur kebijakan (policy)

Dalam mengukur keseriusan dari rezim pemerintahan terkait kebijakan politik hukum, paling tidak dapat direpresentasikan dari eksistensi instrumen hukum dan institusi hukum ideal. Konteks ini menitikberatkan bukan hanya ada, jauh lebih dalam ketepatan proses dan ketepatan isi dalam pengaturan dan kelembagaan. Dari sudut regulasi memang tidak dapat diharapkan terjadi proses yang baik.

Merujuk catatan Pusat Studi Hukum & Kebijakan (PSHK) Indonesia, pada 2010, DPR hanya mampu mengesahkan 16 UU, tahun 2011 24 UU, dan 2012 sebanyak 30 UU. Jumlah itu turun dratis 2013, DPR hanya menyelesaikan 16 UU dari target 75 UU. Ini menjadi indikasi jelas,  dalam tataran legislasi tidak ada perencanaan matang untuk menghadirkan aturan menjadi berbeda kiblat dan orientasi secara reaktif.

Potret tidak jauh berbeda hadir dalam tataran sektor SDA dan lingkungan hidup baik, tidak ada sinkronisasi maupun harmonisasi. Terkait sinkronisasi hukum, walaupun masih tahap pengujian di Mahkamah Konstitusi namun contradictio in terminis menjadi terlihat saat hak subyektif tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara mendapatkan lingkungan hidup bersih dan sehat tidak berbanding lurus dengan kriminalisasi masyarakat lokal/adat.

Pada tataran harmonisasi hukum pun tidak jauh berbeda. Upaya perumusan Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memberikan alas normatif justru dicederai oleh aturan lain yang memberikan peluang kriminalisasi masyarakat adat.  Sedangkan eksistensi hak masyarakat hukum adat telah diakui Mahkamah Konstitusi. Tidak dapat dibayangkan, betapa carut marut ini akan menular sistemik kepada institusi jika opsi peleburan ini terwujud.

Penguatan KLH akan makin jauh termasuk serangkaian institusi yang dibentuk pada tingkat daerah menjadi tidak jelas jika peleburan mencapai titik nyata. 

Aksi protes terhadap rencana tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi. Kemenhut rela melepaskan kawasan lindung demi tambang. Warga khawatir, tambang bakal merusak sumber air dan lingkungan mereka. Kini, yang ngurus lingkungan hidup mau digabung dengan yang mengeluarkan izin buat melepas hutan ke fungsi lain. Akan berdampak baik atau burukkah bagi lingkungan? Foto: BaFFEL

Melacak masalah

Salah satu penyebab konon menjadi alasan kuat peleburan KLH dan Kementerian Kehutanan adalah upaya penyelamatan hutan Indonesia. Kini, menduduki posisi negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Namun, jika dilacak lagi penyebab dari kondisi ini, maka penggabungan kedua institusi tidak berbasis problem solving karena terjadi justru karena efektivitas hukum buruk. Saat diketahui akar masalah pada efektivitas hukum, seharusnya penekanan utama pada upaya mereduksi norma yang tak berjalan. Bukan menggabung lembaga dengan kepentingan yang jelas berbeda.

Untuk itu, langkah cepat tanggap harus dapat dilakukan dengan strategi, antara lain,  pertama, seringkali rumusan norma yang disusun dalam pasal–pasal memiliki tingkat presisi lemah hingga membuka kemungkinan sangat besar ditafsirkan menurut kepentingan penegak hukum secara subyektif semata. Ini dapat terlihat, misal, dalam rumusan Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Hak atas lingkungan hidup menjadi suatu rumusan sumir. Akhirnya menjadi kepentingan pemutus pengadilan semata saat ditafsirkan jurist yang mempunyai prinsip bahwa seorang penegak hukum hanya boleh menerapkan norma utuh dan menyeluruh tanpa dipengaruhi paham lain.

Kedua, seringkali efektivitas hukum cidera saat terjadi pembenturan kepentingan antara kehendak perumus UU dalam kapasitas sebagai legislator dengan kehendak masyarakat sebagai pihak melaksanakan aturan itu. Hadirnya perumus norma dengan latar belakang pemahaman hukum berdimensi dinamis dalam konteks penyelamatan lingkungan hidup dan upaya pemaknaan substansial dari homo ethic menjadi eco ethic menjadi tumpuan utama dalam konteks ini. Sinergitas dan upaya mengakomodasi kepentingan ekologis secara terbarukan dalam melihat kepentingan serta kehendak masyarakat yang diatur menjadi syarat utama. Terakhir, efektivitas hukum akan hadir saat regulasi turunan dari sebuah UU hadir tepat waktu dan memberikan alas untuk diterapkan sebagai dasar hukum. Dalam konteks UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misal, beberapa tunggakan utang regulasi wajib diisi segera oleh KLH. Ini untuk menunaikan prestasi yang tertuang dalam UU itu. Langkah ini hendaknya menjadi acuan dalam perumusan norma agar makin efektif dan menghadirkan efektivitas hukum utuh dan menyentuh akar masalah utama. 

Merindukan rezim terpadu

Jika memang mengutamakan kelestarian dan keberlanjutan sektor SDA dan lingkungan hidup, perbaikan norma dan lembaga mutlak. Jika model reaktif institusional seperti peleburan dua kementerian ini terjadi, secara nyata tidak akan menyentuh akar masalah. Upaya perbaikan norma sebagai alas kebijakan politik hukum bisa dengan mengutamakan evaluasi legislasi dan regulasi di sektor SDA dan lingkungan hidup. Salah satu menjalankan amanat TAP MPR IX/MPR/2001 terkait pembaruan agraria dan pengelolaan SDA.

Mungkin perlu ditinjau ulang menghadirkan Undang Undang Pokok demi keterpaduan dan kejelasan tujuan yang sama antarlintas kementerian. Pada tataran institusional jika terdapat tumpang tindih tugas dan wewenang, alangkah baik perampingan. Namun dengan menentukan jelas tujuan dan orientasi tujuan karena kepentingan menjadi panglima dalam perampingan ini. Semoga ada perbaikan cara pandang dalam menghadirkan SDA dan lingkungan hidup lebih lestari.

 


Opini: Quo Vadis Institusional Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam was first posted on October 26, 2014 at 7:38 am.

Foto: Festival Desa, dari Pangan Lokal Organik sampai Produk Daur Ulang

$
0
0
Biji-bijian lokal yang ditanam para perempuan tani di Solo, sebagai sumber penghasilan, mengurangi ketergantungan impor dan menghindari produk transgenik juga sekaligus mengkonservasi lahan. Foto; Sapariah Saturi

Biji-bijian lokal yang ditanam para perempuan tani di Solo, sebagai sumber penghasilan, mengurangi ketergantungan impor dan menghindari produk transgenik juga sekaligus mengkonservasi lahan. Foto; Sapariah Saturi

Petani tergusur dari lahan, 59 orang per jam. Lahan pangan menghilang 12,7 hektar per jam. Respect protect, fulfill. 100 persen pangan lokal.” Poster ini terpasang di papan berbentuk petani menyambut pengunjung kala datang ke Festival Desa 2014 di Perkemahan Ragunan, Jakarta, pada 24-26 Oktober 2014.

Ya, dalam tiga hari itu beragam suguhan bertajuk pangan lokal dan produk-produk organik ada di sana. Ada nasi kuning Ambon, Manado sampai  empek-empek Palembang. Ada suvenir terbuat dari koran-koran dan kertas bekas. Tak ketinggalan beragam kripik singkong, ganyong, ubi ungu sampai abon ayam, daging dan ikan.

Beragam produk kerajinan yang dibuat dari bahan bekas pakai, seperti koran-koran bekas. Foto: Sapariah Saturi

Beragam produk kerajinan yang dibuat dari bahan bekas pakai, seperti koran-koran bekas. Foto: Sapariah Saturi

Ada kopi organik dari berbagai daerah, seperti Flores dan Toraja hasil budidaya warga. Anak-anak juga mendapatkan kegiatan menyenangkan dengan membuat bentuk-bentuk satwa dari kertas dan koran bekas. Gula nira dari Pangandaran yang dibuat dengan cara-cara alami juga ada. Yayasan Kehati juga menyediakan buku-buku gratis dan beragam krupuk serta sayur mayur organik. Beragam pangan dari mangrove juga tersedia.

Dalam kegiatan ini ada beragam workshop, dari pembuatan tempe, rajutan sampai pangan lokal. Save Our Snake tak ketinggalan. Ia merupakan komunitas yang mengkampanyekan agar tak membunuh ular sebagai bagian dari kekayaan fauna Indonesia. Mereka juga membuka klinik bagi orang-orang yang phobia ular.

Anak-anak Pesantren Ekologi Ath-Thaariq bersama beragam produk organik dari teh herbal sampai bibit-bibit tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Beragam produk dari Pesantren Ekologi Ath-Thaariq  dari teh herbal sampai bibit-bibit tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Aneka ragam bibit lokal organik juga tampil, seperti dari Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut. Di stan ini,  bisa ditemukan beragam herbal (dari rosela, kunyit, jahe, mint) sampai bibit-bibit lokal seperti kacang koro. Semua organik.

Ada juga Gita Pertiwi dengan biji-biji kacang lokal, tempe koro, kecap koro, kue-kue sampai batik. Semua hasil dari perempuan-perempuan petani dan perajin di Solo raya.

Poster-poster yang mengingatkan pentingnya mengembangkan pangan lokal dan mempertahankan kehidupan petani di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi

Poster-poster yang mengingatkan pentingnya mengembangkan pangan lokal dan mempertahankan kehidupan petani di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi

Untuk pasar batik berjaringan, Gita Pertiwi bekerja sama dengan mitra. “Kebetulan ada bagian kami berkonsultansi dengan Indonesia Timur. Kami biasa share, di sana juga ada model pengelolaan ATBM. Kita coba kombinasikan dengan produk-produk dari Jawa. Itu populer. Sayangnya populer di luar negeri belum di dalam negeri,” kata kata Nunik Sulistiyani  koordinator program Gita Pertiwi kepada Mongabay, Sabtu (25/10/14).

Untuk biji-bijian lokal ini dikembangkan para petani perempuan untuk ekonomi mereka, sekaligus konservasi lahan.

Nunik Sulistiyani dari Gita Pertiwi bersama  Christiana Retnaningsih, kepala program Nutrisi dan Teknologi Kuliner Fakultas Teknologi Pertanian, Unika, memperlihatkan produk kecap gude yang masih tahap penelitian. Foto: Sapariah Saturi

Nunik Sulistiyani dari Gita Pertiwi bersama Christiana Retnaningsih, kepala program Nutrisi dan Teknologi Kuliner Fakultas Teknologi Pertanian, Unika, memperlihatkan produk kecap gude yang masih tahap penelitian. Foto: Sapariah Saturi

Dia mengatakan, petani perempuan di Solo menanam kacang-kacang lokal, seperti koro, gude dan lain-lain. Tujuannya, agar tak tergantung kedelai yang sebagian besar impor dan produk transgenik.

“Selama ini masyarakat tergantung kedelai. Kedelai impor sebagian besar transgenik. Ini yang mengkhawatirkan.”

Upaya ini, katanya,  bagian dari menggali potensi lokal yang cukup banyak tersedia. “Dan tak kalah kalau bicara sumber protein sekaligus bagian dari konservasi lahan.”

Rempah-rempah dari alam, produksi petani di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Rempah-rempah dari alam, produksi petani di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Pertanian ini bagian konservasi lahan, katanya, karena koro, misal,  merupakan tanaman leguminosae. Tanaman jenis ini,  sebagai pengikat netrogen dari udara untuk dikelola menjadi sumber nutrisi lahan. “Wilayah Wonogiri, lahan kritis. Dengan tanaman ini menjadi sangat bagus sekali. Produksi luar biasa di musim kemarau panjang. Kalau musim paceklik tidak ada panen, sumber penghidupan petani dari koro ini,” ucap Nunik.

Gita Pertiwi, bekerja sama dengan Unika Soegijapranata, untuk mengembangkan kacang-kacangan ini menjadi aneka ragam pangan seperti tempe, kecap dan snack.

Pangan alami, ada kerupuk ganyong sampai mie aren. Foto: Sapariah Saturi

Pangan alami, ada kerupuk ganyong sampai mie aren. Foto: Sapariah Saturi

Kini, mereka tengah mengembangkan—masih tahap penelitian–kecap dari gude dan koro. Sedang dari proses fermentasi dan penepungan, katanya, dibuat aneka snack. “Ini juga dari tepung gude. Ini masih tahap penelitian nanti bisa dikelola secara home industry. Ini bagian dari uji rasa. Belum produk massal,” ucap dia. Saya mencicipi kecap manis dan snack dari gude dan koro. Enak!

Festival Desa 2014, ajang tahunan yang menampilkan beragam produk lokal dan bersahabat dengan alam. Foto: Sapariah Saturi

Festival Desa 2014, ajang tahunan yang menampilkan beragam produk lokal dan bersahabat dengan alam. Foto: Sapariah Saturi

Anak-anak diajak bermain sambil belajar membuat dan mewarnai beragam bentuk binatang yang terbuat dari kertas dan koran bekas. Foto: Sapariah Saturi

Anak-anak diajak bermain sambil belajar membuat dan mewarnai beragam bentuk binatang yang terbuat dari kertas dan koran bekas. Foto: Sapariah Saturi

fe12-IMG_8195Tempe dari koro, yang dibuat para perajin perempuan dari Solo raya. Foto: Sapariah Saturi

Poster yang mengajak kita mencintai buah-buah lokal. Foto: Sapariah Saturi

Poster yang mengajak kita mencintai buah-buah lokal. Foto: Sapariah Saturi

Workshop yang diadakan di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi

Workshop yang diadakan di Festival Desa. Foto: Sapariah Saturi

Tempe dari koro, yang dibuat para perajin perempuan dari Solo raya. Foto: Sapariah Saturi

Kecap manis dari koro, yang dibuat para perajin perempuan dari Solo raya. Foto: Sapariah Saturi


Foto: Festival Desa, dari Pangan Lokal Organik sampai Produk Daur Ulang was first posted on October 26, 2014 at 10:16 am.

“Kawin” Kementerian LH dan Kehutanan, Kerja Berat Menanti Sang Menteri

$
0
0

Rumah warga adat yang dibakar dalam operasi gabungan TNBBS di Bengkulu. Konflik antara masyarakat adat dan taman nasional terus terjadi dan menyebabkan beberapa warga adat ditangkap. Dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang baru ini, semoga konflik-konflik masyarakat yang hidup di kawasan hutan baik dengan perusahaan maupun pemerintah bisa tertangani baik. Perspektif Kementerian LH dan Kehutanan pun bisa berubah dari logging timber based kepada ecosistem based (masyarakat adat bagian dari ekosistem karena sudah turun menurun tinggal di sana). Foto: AMAN Bengkulu

Siti Nurbaya Bakar, salah satu perempuan yang ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) buat memperkuat kabinet kerja, yang baru saja, Minggu (26/10/14) diumumkan. 

Siti, merupakan fungsionaris dari Partai Nasdem. Sebagai birokrat, terakhir masa jabatan sebagai sekretaris jenderal di Departemen Dalam Negeri pada 2005. Kini, dia juga ketua umum Himpunan Alumni Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di IPB.

Bagaimana tanggapan terhadap sosok menteri baru ini? Apa saja pekerjaan-pekerjaan yang mesti segera dijalankan? Berikut beberapa pandangan.

Martua Sirait,  dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN) mengatakan, Siti Nurbaya memiliki pengetahuan dan pengalaman mumpuni dalam memimpin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, katanya, dia pengajar lingkungan dan pemgembangan wilayah di pasca sarjana IPB. “Dia punya kemampuan me-main streaming perpektif lingkungan hidup ke dalam Kehutanan,” katanya kepada Mongabay, Minggu (26/10/14).

Meskipun begitu, katanya, kementerian ini kemungkinan menghadapi masalah besar mengintegrasikan perspektif lingkungan hidup dalam kerja-kerja nanti. Mengapa? Karena terkurung dalam pemahaman tentang kawasan hutan yang masih terjebak dalam teritori di luar atau di dalam kawasan hutan. Padahal, masalah lingkungan hidup melewati lingkup itu.

UU Kehutanan tahun 41 1999, ucap Martua, sebenarnya sudah meninggalkan perpektif lama kehutanan yaitu timber based kepada ecosistem based yang hampir sama dengan perpektif lingkungan hidup. “Namun, tidak mudah mengubah penjabaran dalam keseharian kerja, tanpa ada arahan jelas dari menteri-menteri sebelumnya. Mudah-mudahan ini bisa segera dijabarkan menteri yang baru.”

Menurut dia, ada beberapa pekerjaan urgen yang mesti mendapat perhatian segera. Pertama, pengkajian penerbitan izin-izin HTI diatas hutan gambut, konversi hutan gambut untuk kebun, pinjam pakai kawasan hutan untuk usaha tambang. “Ini semua tanpa kajian lingkungan hidup strategis. Ini contoh konkrit dari kesalahan paradigma pengurusan hutan,” ujar dia.

Kedua, pengalaman Siti Nurbaya sebagai sekjen Depdagri, meletakkan sentral untuk menyelesaikan status 30.000 desa beserta lahan lahan produktif di dalam kawasan hutan. Termasuk, pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang kini terus mengalami kriminalisasi.

Ketiga, Siti Nurbaya sebagai ahli pengembangan wilayah, tentu paham proses tata ruang di daerah. Jadi, diharapkan bisa mendorong penjabaran kawasan perdesaan di dalam UU Tata Ruang 2007 baik di dalam dan di luar kawasan hutan.”

Sampai saat ini, katanya, mengenai kawasan pedesaan tidak pernah ada aturan turunan  hingga ruang kelola masyarakat pedesaan habis dibagikan ke dalam izin-izin bagi usaha skala besar. “Saya rasa tiga hal mendasar ini harus dilakukan segera oleh Menteri LH dan Kehutanan yang baru guna menjawab buruknya tata kelola hutan dan lahan.”

Martua menyadari, dalam mewujudkan itu semua tidak dapat dijalankan sendiri oleh Menteri LH dan Kehutanan. Namun, perlu kerja koordinasi bersama antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri. “Ini sejalan dengan peraturan bersama Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan, Mendagri dan Kepala BPN di KPK pada 17 Oktober 2014, beberapa hari sebelum habis masa jabatan Presiden SBY.”

Sementara Walhi menilai, penggabungan ini membuat situasi yang rumit bertambah rumit. Ketidakjelasan di publik tentang penjelasan atas nomenklatur kementrian ini menciptakan kekhawatiran.

Pulau Bangka di Sulut yang indah dan tempat tujuan wisatawan ini mulai merana. Tambang mulai masuk dan mulai mengancam keberadaan pulau cantik ini. Tambang percaya diri masuk, dengan mengantongi izin dari bupati, ternyata izin dari Kementerian ESDM. Dokumen lingkungan belum ada plus izin dari Kemenhut juga belum dipegang. Dengan, Kementerian LH dan Kehutanan, diharapkan pulau ini bisa selamat dari ancaman kehancuran. Foto: Save Bangka Island

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional mengatakan, persoalan tata kelola hutan, salah satu dipengaruhi menumpuknya wewenang di Kemenhut selama ini. Asumsi, dengan ada wewenang besar dari hulu ke hilir akan memberikan dampak positif telah gagal di Kemenhut.

“Pengurusan hak atas tanah di kawasan hutan (tenurial), pemanfaatan hutan baik buat HTI, logging dan perhutanan sosial, konservasi dan pengawasan dan pengamanan kawasan hutan di Kemenhut selama ini gagal,” katanya.

Mengapa? Menurut dia, karena hutan lindung dikonversi tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, taman nasional rusak, kawasan HTI terbakar, konflik dengan masyarakat dan deforestasi berlanjut.

Penggabungan ini, ucap Abetnego, tidak memberikan indikasi ada distribusi kewenangan tetapi memperbesar kewenangan. “Asumsi lingkungan hidup akan menjadi arus utama sangat layak diragukan karena yang berpotensi terjadi arus utama kehutanan di lingkungan hidup. Akhirnya jebakan persoalan lingkungan hidup di Indonesia adalah persoalan kehutanan.”

Untuk itu, katanya agenda mendesak harus dikerjakan seperti 18 komitmen Jokowi yang disampaikan kala konferensi  Walhi 14 Oktober 2014, yang dibacakan Anies Baswedan.

“Walhi akan menagih komitmen ini dalam pemerintahan kedepan. Proses pengawalan dan desakan akan terus dibangun guna memastikan  Presiden memenuhi janji-janji itu.”

Tak hanya itu, katanya, ada beberapa hal lain yang mesti menjadi perhatian Presiden dan menteri. Pertama, jaminan tidak ada lagi masalah asap di tahun depan. Kedua, penyelesaian Peraturan Pemerintah di bawah UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang tidak dikerjakan pemerintahan SBY.

Ketiga, merehabilitasi kawasan-kawasan kritis di luar kawasan pesisir seperti kerusakan pada daerah-daerah aliran sungai utama seperti Citarum, dan Ciliwung. Keempat, membangun sistem peradilan lingkungan.Kelima, meninjau kembali kebijakan berisiko lingkungan hidup  tinggi seperti MP3EI dan reklamasi pantai di berbagai wilayah.

Keenam, memastikan transformasi energi menuju energi ramah lingkungan. Ketujuh, penuntasan kasus-kasus hukum di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam.

Kedelapan, rasionalisasi dan perbaikan tata kelola bisnis di sektor sumber daya alam seperti HTI, pertambangan, perkebunan dan logging.

Kesembilan, jaminan perlindungan masyarakat atas dampak lingkungan sebagai akibat keputusan investasi dan pembangunan dan kesepuluh,  pembuatan UU perubahan iklim.

Bagaimana menurut Abetnego sosok Siti Nurbaya? “Saya baru 12 tahun lebih berkecimpung di isu lingkungan dan sumber daya alam, saya belum pernah bersentuhan dengan kerja-kerja yang berkaitan dengan ibu Siti Nurbaya,” ujar dia.

Dia menduga, ungkapan profesional yang dimaksud Presiden, kemungkinan lebih dominan pada aspek managerial. “Padahal umum dipahami, profesional itu aspek managerial dan kedalaman pemahaman atas kompleksitas isu yang ditangani.”

18 komitmen Jokowi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam

1. Review terhadap perizinan yang diintegrasikan dalam satu peta (one map)2.Pelaksanaan penuh reforma agraria yang dimandatkan oleh tap MPR No. IX/20013.Penyelesaian konflik agraria yang selama ini terjadi4. Perbaikan tata ruang termasuk tata ruang pesisir

5. Pemulihan pencemaran dan perusakan hutan, terdiri dari penurunan kebakaran hutan dan lahan secara mendasar

6.Memulihkan 5,5 juta hektar kawasana sangat kritis bersama masyarakat

7.Pemulihan daerah aliran sungai yang kritis secara terintegrasi dengan melibatkan semua pihak

8.Membentuk Satgas anti mafia sumber daya alam yang bertanggung jawab langsung kepada saya

9.Pembentukan kanal aspirasi warga yang akan terus diawasi dan ditindaklanjuti

10. Peningkatan kesiapsiagaan dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana ekologis

11.Perlindungan total lahan terhadap hutan alam, lahan gambut serta daerah pesisir

12.Seluruh langkah yang akan kami dilakukan termasuk diplomasi internasional tentang perubahan iklim secara lebih efektif

13.Revolusi mental dalam mengelola lingkungan hidup juga merupakan sesuatu yang akan kami prioritaskan dalam bentuk beberapa langkah cepat secara maksimal dalam satu tahun pertama

14.Gerakan rakyat dalam pengelolaan sampah yang efektif melalui pendirian bank sampah di 5 sampai 10 kota besar sebagai projek utama dan pertama

15.Mencanangkan Januari 2015 tahun baru tanpa sampah

16. Percepatan implementasi tap MPR no IX/2001 tentang reforma agraria dan sumber daya alam

17. Memprioritaskan 7 kawasan pesisir yang akan juga merehabilitasi sabuk pantai

18. Berkomitmen untuk memperkuat kelembagaan lingkungan hidup secara mendasar dalam pemerintahan yang akan datang

Sumber: Pidato tertulis Presiden Jokowi pada Konferensi Lingkungan Hidup Walhi di Jakarta 14 Oktober 2014

Kejelasan tugas dan wewenang

Tak jauh beda diungkapkan Longgena Ginting, kepala Greenpeace di Indonesia. Dia mengatakan, tugas pertama Kementerian LH dan Kehutanan tentu merestrukturisasi dua kelembagaan ini menjadi sebuah kementerian dengan tugas dan kewenangan yang jelas. “Publik pasti menanti keterangan lebih lanjut pertimbangan utama peleburan ini. Yang terpenting lagi apa mandat baru dari kementerian baru ini,” katanya.

Sebenarnya Longgena merasa khawatir dengan penggabungan LH dan Kemenhut ini. “Tetapi inilah real politics yang ada. Saya harap ada penjelasan soal ini dari pemerintah baru.”

Tugas-tugas mendesak lain segera dilakukan, katanya,  adalah mengatasi perubahan iklim dengan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi yang kuat. “Indonesia, emiter karbon utama dunia dan sebagian besar dari kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut. Moratorium hutan perlu diteruskan dan komitmen penurunan emisi 26-41% perlu diperkuat.”

Menurut dia, mandat LH jauh lebih luas dari Kehutanan. Untuk itu, perlu ada kepastian bahwa masalah lingkungan lain seperti kelautan, energi, air, pencemaran udara bisa mendapat perhatian. “Ini pasti tantangan besar termasuk memastikan kewenangan LH justru tak menjadi marginal di dalam portofolio Kehutanan dan terjadi konflik kepentingan konservasi dan eksploitasi yang merugikan lingkungan.”

Deni Bram, pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumanagara menilai, secara bahasa tutur Jokowi agak sulit mencari rasionalitas keberadaan Siti Nurbaya sebagai Menteri LH dan Kehutanan. “Berbeda saat Presiden memberikan penjelasan pada posisi menteri lain. Tanpa bermaksud mendahului, namun tugas besar menteri baru ini menanti ke depan,” katanya.

Menurut dia, dari peleburan dua kementerian ini, yang menjadi tantangan besar, yakni, perbaikan institusional mulai dari lembaga pusat hingga daerah. “Perlu diingat ketua MPR saat ini, (Zulkifli Hasan) mantan Menteri Kehutanan, sedikit banyak mempengaruhi kinerja Jokowi secara politis dalam menyeimbangkan dengan oposisi di parlemen,” ujar dia.

Untuk itu, fokus utama Siti Nurbaya, menurut Deni, adalah menjawab tantangan regulasi, menaikkan kelas Kementerian LH dan Kehutanan. “Ini jadi langkah awal yang bisa ditempuh.”

Secara nomenklatur, katanya, sudah satu kosong untuk LH yaitu menjadikan LH sebagai lead yang dapat dimaknai menjadi kiblat saat ini. Kehutanan akan tunduk pada rezim LH. Untuk itu, menteri bisa segera menuntaskan segala pekerjaan rumah, misal terkait pembuatan PP yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup dan optimalkan struktur LH.

Dari daerah, Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah, menyatakan, menyingkronkan UU PPLH dan UU Kehutanan menjadi pekerjaan menteri baru agar tak makin banyak ketimpangan dan membuat masalah di daerah. “Tumpah tindih perizinan juga menjadi hal urgen buat diselesaikan,” ujar dia.

Menteri LH dan Kehutanan, katanya, mesti melakukan audit perizinan dan laksanakan amanat UU PPLH yang telah ‘menikah’ dengan UU Kehutanan.

Salah satu bagian hutan di Kalteng kondisi Maret 2014, yang terbabat buat perkebunan sawit. Perusakan hutan resmi ini boleh karena ada izin dari Kementerian Kehutanan. Aspek lingkungan seakan tak menjadi persoalan asal izin sudah dipegang. Dengan penggabungan dua kementerian ini, diharapkan aspek lingkungan hidup bisa menjadi perhatian serius dan penting sebelum memberi izin dengan alasan demi pembangunan. Foto: Lili Rambe


“Kawin” Kementerian LH dan Kehutanan, Kerja Berat Menanti Sang Menteri was first posted on October 26, 2014 at 11:26 pm.

Suara Bersama Freedom for Orangutans

$
0
0
COP menyediakan papan buat tandatangan dukungan warga buat freedom for orangutans. Foto: Sapariah Saturi

COP menyediakan papan buat tandatangan dukungan warga buat freedom for orangutans. Foto: Sapariah Saturi

Kalo yang gak peduli orangutan itu harus ditanya kemanusiaannya,” kata Oppie Andaresta, sebelum membawakan lagu pada acara Freedoms for Orangutans yang digagas para relawan Centre for Orangutan Protection (COP) di  Rolling Stone Cafe Jakarta, Sabtu (18/10/14). Oppie yang melejit lewat lagu “Cuma Hayalan” ini memang banyak membawakan lagu kritik-kritik sosial.

Hari itu, penyanyi dengan salah satu hits “Single Happy” ini menjadi salah satu artis pendukung acara penggalangan dana COP. COP tengah membangun pusat rehabilitasi di Labanan, Kalimantan Utara mulai September  2014.

Dalam kegiatan ini, tak hanya panggung musik, ada pameran foto tentang orangutan yang direhabilitasi dan penjualan beragam suvenir COP dari kaos, tas dan lain-lain.  Ratusan pengunjung tampak menikmati musik yang disuguhkan dan membeli sekaligus berdonasi buat pusat rehabilitasi yang akan dibangun.

Oppie Andaresta kala membawakan lagu Rumah Orangutan pada acara Freedom for Orangutans. Foto: Sapariah Saturi

Oppie Andaresta kala membawakan lagu Rumah Orangutan pada acara Freedom for Orangutans. Foto: Sapariah Saturi

Acara ini didukung berbagai pihak, antara lain, Suryomurcito & Co, Orangutan Outreach, Animals Indonesia, Wildlife Undercover of Indonesia, Juragan Gelang, Arena Madya Wisesa, Mongabay Indonesia, Trax Magz, Cosmo Girl, Indonesia Expat, Cleo, Mustang Radio, dan Dagelan.

Oppie membawakan lagu baru dia berjudul Rumah Orangutan. Dia mengatakan, lagu ini terinspirasi kala melihat kondisi miris orangutan dari berbagai pemberitaan. “Orangutan ini juga seperti manusia. Mereka punya hati. Ketika mereka merasa luka, mereka menangis. Kala rumah mereka diacak-acak, mereka sedih.”

Rumah Orangutan ini, katanya, sebenarnya lagu buat anak-anak. Oppie ingin anak-anak sejak dini sudah mencintai mahluk hidup termasuk orangutan. Dia juga membawakan lagu Rumah Harmoni, yang diciptakan bersama Bim Bim Slank. “Intinya harmoni, hidup bersama, keseimbangan dalam hidup, dan alam.”

Pengunjung tengah memilih dan membeli kaos COP. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung tengah memilih dan membeli kaos COP. Foto: Sapariah Saturi

Selain dia, musisi pendukung lain, antara lain Payung Teduh, J-Flow, Monkey to Millionaire, Banda Neira, Miskin Porno, dan Earia dan Melanie Subono sebagai MC. Earia sambil bernyanyi diselingi dengan membacakan fakta-fakta mengenai orangutan.

Perlu dana sekitar Rp 2 miliar

Hardi Baktiantoro, direktur COP mengatakan, di pusat rehabilitasi seluas 7.900 hektar di hutan Tababan ini, akan menjadi pusat penelitian, pendidikan penyadaran dan pengamanan kawasan. “Jadi bisa bikin ranger, kayak Polhut swasta,” katanya ditemui di sela-sela acara hari itu.

Di sini, akan dibangun mes, kandang karantina, klinik, sampai tempat sosialisasi orangutan. Saat ini, katanya, baru membangun prasarana air. “Sediakan jaringan air. Ini nomor satu. Bangun pipa-pipa, tower air. Setelah itu mes para ranger. Lalu kandang karantina, klinik dan seterusnya.”

Dia berharap, akhir Desember 2014, pembangunan tahap pertama, sudah selesai meliputi mes dan kandang karantina. Dana yang diperlukan buat pembangunan ini, sekitar Rp 2 miliar. “Maka itu perlu dukungan berbagai pihak untuk peduli perlindungan dan penyelamatan orangutan ini.”

Hardi mengatakan, kondisi hutan di sana bagus, meskipun ada beberapa perambahan. Kawasan ini, katanya, hampir tak tersentuh pengawasan dari pemerintah. “Tak ada  ranger, tak ada pos, tak ada penjagaan pemerintah.”

Kelompok band Earia sambil bernyanyi diselingi dengan membacakan fakta-fakta mengenai orangutan. Foto: Sapariah Saturi

Kelompok band Earia sambil bernyanyi diselingi dengan membacakan fakta-fakta mengenai orangutan. Foto: Sapariah Saturi

Untuk itu, COP akan membangun pos terlebih dahulu untuk menempatkan pengawas. “Ada patroli, ada papan-papan peringatan, atau pemberitahuan hingga orang mau masuk juga segan,” katanya.

Menurut dia, kawasan hutan seakan tak tersentuh pemerintah ini menyebabkan proteksi lemah hingga perlu menyiapkan penjaga hutan. “Jadi dari hulu ke hilir. Orangutan diselamatkan, disekolahkan lalu dilepasliar di situ. Lalu bikin ranger buat pengamanan. Tak hanya orangutan yang selamat, kawasan juga dapat pengamanan,” ucap Hardi.

Apa ancaman lain hutan sekitar? “Banyak tambang batu bara.” Salah satu ancaman besar hutan di Kaltara, yakni tambang batubara. Terlebih, ini provinsi baru bakal berusaha mengembangkan daerah. “Kalau di sana banyak batubara, ya hutan akan jadi sasaran. Saat ini, kita berpacu dengan waktu, dengan perusahaan. Kita harus ekspansi banyak-banyak juga kan, salah satu dengan pendekatan ke pemerintah daerah.”

So, ingin ikut membantu penyelamatan orangutan? Bisa langsung hubungi email ke:donasi@sound4orangutan.com.

Pengunjung mendapat gelang tangan, sebagai tanda telah ikut meramaikan acara sekaligus berdonasi buat pembangunan rehabilitasi COP. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung mendapat gelang tangan, sebagai tanda telah ikut meramaikan acara sekaligus berdonasi buat pembangunan rehabilitasi COP. Foto: Sapariah Saturi

Pameran foto orangutan yang tengah menjalani rehabilitasi COP. Foto: Sapariah Saturi

Pameran foto orangutan yang tengah menjalani rehabilitasi COP. Foto: Sapariah Saturi

Beragam suvenir yang dapat dibeli guna mendukung kegiatan COP. Foto: Sapariah Saturi

Beragam suvenir yang dapat dibeli guna mendukung kegiatan COP. Foto: Sapariah Saturi


Suara Bersama Freedom for Orangutans was first posted on October 27, 2014 at 1:47 am.

Gas Buang Dua Pabrik BUMN Sawit di Sumut Hitam Pekat

$
0
0
Tampak cerobong asap PTPN Adolina yang mengeluarkan asap hitam pekat. Foto: Ayat S Karokaro

Tampak cerobong asap PTPN Adolina yang mengeluarkan asap hitam pekat. Foto: Ayat S Karokaro

Dua pabrik sawit milik BUMN, diduga membuang asap beracun ke udara dalam skala besar. Tampak asap hitam pekat keluar dari corong pembuangan di pabrik PTPN IV Unit Adolina, Kabupaten Deli Serdang, dan PTPN III PKS Sei Silau, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara.

Pantauan Mongabay, dari dalam cerobong asap pabrik, gas buang dari pengolahan sawit membuat udara di Deli Serdang dan  daerah PKS Sei Silau terlihat gelap.

Mengapa bisa terjadi? Mongabay mencoba mengkonfirmasi dengan kedua perusahaan ini. Sayangnya, ketika ke pabrik Adolina, perusahaan menutup rapat pagar dengan menempatkan securiti di depan pintu, dan melarang masuk.

“Maaf tidak boleh masuk. Bapak direktur tidak ada, gak ada yang bisa kasih penjelasan, silakan keluar, ” kata salah seorang sekuriti. Dia berlari membuka pintu gerbang karena ada empat truk besar membawa tandan buah segar sawit ke pabrik untuk proses pengolahan.

Begitu juga di PTPN III. Manager pabrik enggan menerima dengan alasan sibuk. Namun di PTPN III, setengah jam setelah kehadiran Mongabay, asap hitam pekat, tidak lagi keluar.

Di PTPN IV, untuk mengetahui berapa lama asap pekat itu, saya duduk di tempat angkutan umum, persis di luar pabrik. Tiga jam berlalu, asap pekat hitam masih terus keluar dari cerobong asap pabrik.  Ketika mencoba masuk meminta konfirmasi, sekali lagi tidak mendapatkan izin.

Achmad, koordinator Solusi Greenpeace, mengatakan, aksi Adolina, tidak dapat dibiarkan karena sudah mencemari udara. Meski belum dapat mematikan  apakah pencemaran  ringan, sedang, atau berat, tetapi dia mendesakpemerintah, uji kualitas udara di pabrik itu.

“Perlu diketahui, apakah pembuangan asap pekat hasil pengolahan sawit itu sesuai SOP atau tidak. Jika dilihat dari foto yang ditunjukkan Mongabay kepada saya, itu  pencemaran udara. Ada dugaan pembuangan tidak sesuai SOP.” Pemerintah, katanya, harus mengecek apakah ada regulasi di pabrik. “Jika tidak, ada yang salah.”

Kementerian Lingkungan Hidup atau Badan Lingkungan  Hidup Sumut maupun kabupaten, harus segera turun tangan mengevaluasi proses pengolahan di kedua BUMN ini. Sebab, jika asap terakumulasi besar bisa sangat mengancam.  Achmad mendesak, pemerintah memeriksa terbuka. “Jika melanggar, tindak tegas.”

Kusnadi Oldani, direktur eksekutif Walhi Sumut, sependapat dengan Achmad. Dia mengatakan, pemerintah harus mengecek instalasi pengamanan gas buang, di dua pabrik itu. “Apakah berfungsi atau tidak.” Dalam evaluasi dan penyelidikan nanti, katanya, pemerintah harus bisa memastikan, apakah gas buang di bawah baku mutu.

“Harus dicek juga dokumen laporan berkala dilakukan atau tidak. Harus pastikan ketinggian cerobong asap lebih tinggi dari pembuangan gas beracun itu.”

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut, terkejut mendapat informasi ini, dan menyatakan akan menurunkan tim . Pemerintah, katanya,  konsern menyeimbangkan antara peningkatan ekonomi daerah dan menjaga lingkungan,  alias tanpa harus merusak alam.

“Saya akan tindaklanjuti informasi ini. Kami akan turunkan tim untuk mengetahui mengapa bisa begitu sampai ada pembuangan gas seperti itu. Itu berbahaya, jadi akan kita kesana.”

Fauzi, analis Pengolahan Pabrik Sawit mengatakan, penyebab gas buang dari cerobong asap  pabrik pekat  kuat dugaan karena ada kerusakan alat dust colektor. Ini bagian dari kelengkapan boiler, berfungsi sebagai pemisah antara abu dengan asap hasil pembakaran dari sisa pengolahan sawit.

Kemungkinan lain, kecorobohan operator yang tidak menjalankan tugas dengan baik. Sesuai aturan KLH, dan Kementerian Tenaga Kerja, dilarang keras membuang debu hitam pekat atau gas sisa hasil pengolahan sawit ke alam bebas.

Dia menjelaskan, pabrik mengolah melalui penggilingan buah sawit, hingga menjadi minyak dan inti, atau kernel. Buah sawit utuh dibakar. “Sisa bahan pembakaran mengandung asap itulah dibuang ke atas melalui cerobong asap atau krustin.”

Jika bahan bakar basah, katanya, akan mengandung air hingga menyebabkan asap hitam pekat. Kala bahan bakar kering, asap berwarna putih seperti gas disebut gas bekas.

Di boiler, katanya, sudah dilengkapi satu alat bernama dust coolector, berfungsi sebagai pemisah abu dengan gas bekas. Abu yang terikut ke asap, berhenti di alat itu. Hingga abu tidak ikut terbang keatas karena ada proses di sana.

“Ada dugaan operator tidak menjalankan tugas dengan benar.  Fungsi-fungsi dalam kelengkapan ketel tadi tidak diaktifkan, atau alat sudah tidak layak lagi. Memang PTPN Adolina, PKS lama, usia lebih 50 tahun.”

Menurut Fauzi, ada ketentuan baku soal proses pengolahan buah sawit di pabrik. Kasus di PTPN Adolina dan PTPN III, seharusnya tak boleh terjadi. Sebab, pencemaran udara membahayakan manusia dan makhluk hidup lain.

“Harus pengecekan alat, jika bagus, ada dugaan operator tidak bekerja dengan benar.”

Dia menyebutkan, pabrik sawit wajib memiliki cerobong asap setinggi minimal 15 meter, agar tidak terjadi pencemaran dan asap tak terhirup. Jika lebih rendah,  kemungkinan bisa berdampak pada kesehatan karena mengandung racun. “Sekali hembus saja tidak boleh, apalagi berjam jam.”


Gas Buang Dua Pabrik BUMN Sawit di Sumut Hitam Pekat was first posted on October 28, 2014 at 12:00 am.

Kementerian LH dan Kehutanan Soroti Izin Usaha Sulit, Pertanda Apa?

$
0
0
Sekitar 150.000 warga menandatangani petisi yang dibuat Greenpeace, meminta perkuatan perlindungan lingkungan kepada Presiden Jokowi. Foro: Sapariah Saturi

Sekitar 150.000 warga menandatangani petisi yang dibuat Greenpeace, meminta perkuatan perlindungan lingkungan kepada Presiden Jokowi. Foro: Sapariah Saturi

Siang itu, Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pertama kali ke kantor usai pelantikan di Istana Presiden, Senin (27/10/14). Dia datang ke (dulu) Kementerian Kehutanan di Manggala Wanabakti disambut para pejabat dua kementerian lama.

Para awak media sudah menanti ingin mengetahui apa langkah dari kementerian gabungan yang bertanggung jawab pada perlindungan lingkungan sekaligus produksi (eksploitasi) hutan ini. Dari pertanyaan, Siti tampaknya ingin menerobos hambatan perizinan yang dialami perusahaan di dua kementerian lama.

Dia mengatakan, dari rapat kabinet di istana, intinya, harus segera bekerja karena rakyat menunggu aksi yang memiliki ukuran nyata. “Hal-hal yang selama ini jadi kendala, di mana sumbat, diterobos, ditotok, hingga pelayanan rakyat sampai.”

Di Kemenhut, katanya,  terkait perizinan, tumpang tindih, ada hutan negara tetapi ada klaim terus. “Hal-hal ini harus diidentifikasi segera dengan sebaiknya-baiknya dan harus segera carikan solusi.”

Di Lingkungan Hidup? “Di sana (Lingkungan Hidup) kaitan dampak lingkungan dan pada beberapa hal kadang-kadang menjadi hambatan juga. Susah izin di pemda, misal, karena Amdal belum selesai,” ujar dia. Ungkapan ini kala Siti menyinggung mengenai kesamaan struktur dua kementerian lama yakni perizinan.

Dominasi

Dari penggabungan ini mana yang akan mendominasi, karena ada kekhawatiran perlindungan lingkungan menjadi lemah?

“Kenapa lihatnya seperti itu?” Tak perlu khawatir.”

Menurut dia, pada dasarnya alam itu dilihat dari dua prespektif. Pertama, ketika alam memberikan sesuatu kepada manusia disebut sumber daya. Kedua, ketika alam mendapat beban dari manusia, maka pendekatan dari isu lingkungan. “Jadi sebetulnya tak ada masalah. Tinggal nanti menata model seperti apa. Jadi menurut saya harusnya tak masalah.

Bakal ngantor di mana? “Saya musti lihat nanti pertimbangan macem-macem, ya akses, ya cepet. Yang ideal ke kantor itu kurang satu jam,” katanya.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Masyarakat berharap, dengan penggabungan dua kementerian ini jangan sampai perlindungan lingkungan 'mati' oleh dominasi sektor kehutanan, seperti yang selama ini terjadi. Foto: Sapariah Saturi

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Masyarakat berharap, dengan penggabungan dua kementerian ini jangan sampai perlindungan lingkungan ‘mati’ oleh dominasi sektor kehutanan, seperti yang selama ini terjadi. Foto: Sapariah Saturi

Perkuat perlindungan lingkungan

Pada hari sama, di depan istana Greenpeace Indonesia aksi mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan perkuatan perlindungan lingkungan. Mereka di sana membentang poster berisi nama-nama 150.000 warga Indonesia yang meminta kepada Presiden untuk menyelamatkan lingkungan.

Longgena Ginting, hari ketujuh pelantikan Jokowi menjadi momen tepat untuk secara simbolik memberikan suara dari 150 ribu warga yang menginginkan Jokowi memperkuat perlindungan lingkungan. Greenpeace juga membawa paket hijau dari hasil polling yang memperlihatkan pandangan publik mengenai isu lingkungan yang urgen diselesaikan.

Dia mengatakan, masalah lingkungan tak bisa dikerjakan pemerintah saja. Untuk itu, saat ini, masyarakat bersama organisasi masyarakat sipil datang dan siap bersama-sama menyelesaikan masalah lingkungan hidup. “Kita butuh seorang pemimpin, Presiden yang bangun visi menggerakkan bangsa ke visi pelestarian lingkungan. Kita berharap dia (Presiden) tak hanya duduk di dalam kekuasaan tapi beri pengaruh beri bagi perubahan.”

Menurut Longgena, harapan masyarakat besar terhadap pemerintahan baru ini, termasuk harapan perubahan persoalan lingkungan. Terlalu banyak persoalan lingkungan saat ini,  seperti kualitas udara buruk, kualitas air, deforestasi. “Ini menyebabkan, kualitas hidup kita terus memburuk. Ini tak bisa dibiarkan. Krisis lingkungan harus dibalik menjadi penyelamatan lingkungan.”   Dengan begitu, katanya, masyarakat bisa bertahan hidup di tengah kondisi kerusahan alam dan lingkungan.  Termasuk,  generasi mendatang,  jangan sampai kemampuan hidup mereka terkurangi gara-gara pola hidup saat ini.

Desakan dari masyarakat dan organisasi masyarakat sipil agar pemerintahan Jokowi-JK lebih memperkuat perlindungan lingkungan, termasuk lingkungan hutan yang rusak hingga mengancam keragaman hayati, seperti harimau. Lingkungan kelautan pun perlu dilindungi agar satwa laut sepeti umba (lumba-lumba) tak terancam. Foto: Sapariah Saturi

Desakan dari masyarakat dan organisasi masyarakat sipil agar pemerintahan Jokowi-JK lebih memperkuat perlindungan lingkungan, termasuk lingkungan hutan yang rusak hingga mengancam keragaman hayati, seperti harimau. Lingkungan kelautan pun perlu dilindungi agar satwa laut sepeti umba (lumba-lumba) tak terancam. Foto: Sapariah Saturi

Dua bulan

Menurut Siti, dalam rapat kabinet untuk menyelesaikan struktur, kementerian baru ini diberi waktu dua bulan. Sampai akhir tahun anggaran, dua kementerian beroperasi normal dengan struktur lama.

“(Dalam rapat kabinet) dibicarakan juga penggabungan dua kementerian. Minta selesaikan dalam dua bulan. Artinya, tahun anggaran jalan, program-program harus dilanjutkan,” kata Siti.

Dia mengatakan, struktur kementerian ini akan diselesaikan secara paralel. “Kita susun pengembangan dua kementerian Syarat, tak boleh tambah uang dan personil. Jelas. Diminta segera persiapkan.”

Untuk itu, dia akan berbicara khusus dengan dua sekjen kementerian lama dan para pejabat eselon satu. Menurut dia, model pengembangan penyatuan ini bisa bermacam-macam. “Lingkungan hidup perspektif pencemaran, di Kehutanan ada perspektif perlindungan, DAS. Tetapi juga ada perspektif produksi, izin usaha. Dua-duanya ada unsur penting, perizinan.”

Dia akan menilai, model pengembangan organisasi yang cocok. Siti mengandaikan model apakah pencampuran gula air, atau air dengan pasir. Ketika bagian-bagian tak harus dibongkar habis, katanya, bisa terus berjalan.

“Mana yang dekat disatukan. Tetapi sekarang, kalau saya pelajari kondisi 13 eselon satu di Kementerian LH dan 13 eselon satudi Kemenhut, ada wilayah-wilayah yang dekat. Kalaupun ada penyatuan ini, saya kira akan dipikirkan dengan kementerian ain. Tak perlu jadi keresahan siapapun. Karena kita pada dasarnya akan selesaikan pekerjaan ini sebaik-baiknya.”

Siti mengatakan, bercermin pengalaman kala di Departemen Dalam Negeri harus menggabungkan dua kementerian: Kementerian Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. “Saya pernah terima satu dirjen dari Transmigrasi yaitu kependudukan. Keliatan bisa. Pada dasarnya bisa diatasi baik, dalam arti ada keterbukaan.”

18 komitmen Jokowi di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam

1. Review terhadap perizinan yang diintegrasikan dalam satu peta (one map)2.Pelaksanaan penuh reforma agraria yang dimandatkan oleh tap MPR No. IX/20013.Penyelesaian konflik agraria yang selama ini terjadi4.Perbaikan tata ruang termasuk tata ruang pesisir

5. Pemulihan pencemaran dan perusakan hutan, terdiri dari penurunan kebakaran hutan dan lahan secara mendasar

6.Memulihkan 5,5 juta hektar kawasana sangat kritis bersama masyarakat

7.Pemulihan daerah aliran sungai yang kritis secara terintegrasi dengan melibatkan semua pihak

8.Membentuk Satgas anti mafia sumber daya alam yang bertanggung jawab langsung kepada saya

9.Pembentukan kanal aspirasi warga yang akan terus diawasi dan ditindaklanjuti

10. Peningkatan kesiapsiagaan dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana ekologis

11.Perlindungan total lahan terhadap hutan alam, lahan gambut serta daerah pesisir

12.Seluruh langkah yang akan kami dilakukan termasuk diplomasi internasional tentang perubahan iklim secara lebih efektif

13.Revolusi mental dalam mengelola lingkungan hidup juga merupakan sesuatu yang akan kami prioritaskan dalam bentuk beberapa langkah cepat secara maksimal dalam satu tahun pertama

14.Gerakan rakyat dalam pengelolaan sampah yang efektif melalui pendirian bank sampah di 5 sampai 10 kota besar sebagai projek utama dan pertama

15.Mencanangkan Januari 2015 tahun baru tanpa sampah

16. Percepatan implementasi tap MPR no IX/2001 tentang reforma agraria dan sumber daya alam

17. Memprioritaskan 7 kawasan pesisir yang akan juga merehabilitasi sabuk pantai

18. Berkomitmen untuk memperkuat kelembagaan lingkungan hidup secara mendasar dalam pemerintahan yang akan datang

Sumber: Pidato tertulis Presiden Jokowi pada Konferensi Lingkungan Hidup Walhi di Jakarta 14 Oktober 2014


Kementerian LH dan Kehutanan Soroti Izin Usaha Sulit, Pertanda Apa? was first posted on October 28, 2014 at 3:00 am.

Susun Struktur Kementerian LH dan Kehutanan, Berikut Beberapa Usulan

$
0
0
Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Hutan hancur, air tercemar. Mudah-mudahan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, bergabung menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlindungan terhadap alam dan lingkungan lebih kuat. Struktur yang dibuat pun bisa menjawab penyelesaian masalah-masalah lingkungan, termasuk lingkungan di kawasan  hutan. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Hutan hancur, air tercemar. Mudah-mudahan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, bergabung menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perlindungan terhadap alam dan lingkungan lebih kuat. Struktur yang dibuat pun bisa menjawab penyelesaian masalah-masalah lingkungan, termasuk lingkungan di kawasan  hutan. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Pasca peleburan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kehutanan, sibuk giliran  penyusunan struktur baru. Kini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,  masih mencari model. Martua Sirait, dari Dewan Kehutanan Nasional, memberikan beberapa resep.

Dia mengatakan, banyak cara dalam menyusun struktur kementerian atau lembaga yang dilebur, termasuk bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain.

Dia mencontohkan, pengalaman Departement of Environment and Natural Resources (DENR) Philippines. Kala saat reformasi politik 1986, perubahan struktur lembaga negara terjadi dan kelembagan baru dibentuk.

“DENR menyiapkan kantor khusus dengan nama kantor untuk urusan khusus (office of special concern) mewadahi hal-hal yang menjadi inisiatif baru. Hal-hal yang berkembang belakangan dari masukan masyarakat,” katanya.

Kantor ini, katanya,  juga memonitoring dan evaluasi bemtuk kelembagaan baru ini. Beberapa tahun kantor ini berfungsi penting mengawal perubahan di dalam kementrian, dan membuka partisipasi masyarakat. “Kala struktur yang ada belum siap dengan keterbukaan ini, pelahan lahan kantor ini mengembalikan fungsi-fungsi yang diperankan kembali kestruktur.”

Menurut dia, metode itu bisa salah satu cara yang dilakukan di Filipina. Saat bersamaan, negara ini menunjuk orang progresif di biro hukum agar kebijakan dan aturan bisa diterjemahkan lebih kreatif.

“Tahun 2001, saat Siti Nurbaya menjadi sekjen Depdagri, menghadapi desentralisasi, beliau juga membuat struktur baru yang langsung dibawahnya mengamati perubahan di lapangan. Perubahan yang harus direspon cepat oleh Kemendagri yaitu, pusat kajian strategis.”

Selain itu, kementerian ini juga bisa menyiapkan rencana perubahan dan tim pendamping dari luar kementerian. Pendamping ini untuk membantu dan memfasilitasi proses perubahan, struktur, cara kerja dan interpretasi kebijakan.

Chaerul Tanjung, Menteri Kehutanan ad interim--Menteri Koordinator Perekonomian KIB II (tengah), bersama Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Zulkifli Hasan (Ketua MPR) usai serah terima jabatan di Jakarta, Selasa (28/10/14). Foto: Sapariah Saturi

Chaerul Tanjung, Menteri Kehutanan ad interim–Menteri Koordinator Perekonomian KIB II (tengah), bersama Siti Nurbaya (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Zulkifli Hasan (Ketua MPR) usai serah terima jabatan di Jakarta, Selasa (28/10/14). Foto: Sapariah Saturi

Alternatif lain, kata Martua, Kemenhut juga pernah membentuk tim reformasi kehutanan tahun 1998. Tim ini guna membantu Kemenhut mendesain perubahan yang akan dijalankan. Kala itu era Menhut Muslimin Nasution.

Tim ini,  terdiri dari Kemenhut dari tiap dirjen, Bappenas dan akademisi. “Kala itu Prof Hariadi Kartodihardjo termasuk disana.” Sayangnya, Menteri Kehutanan saat itu, tidak mengakomodir lengkap masukan tim reformasi kehutanan ini.

Pada Selasa (28/10/14), usai serah terima jabatan dari Menteri Kehutanan ad interim, Chaerul Tanjung, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kembali mengatakan, pekerjaan awal di kementerian baru ini yakni penyusunan struktur.

Pada Senin (27/10/14), usia pelantikan, saat di Kemenhut (lama), Siti mengatakan, struktur kementerian ini akan diselesaikan secara paralel. “Kita susun pengembangan dua kementerian Syarat, tak boleh tambah uang dan personil. Jelas. Diminta segera persiapkan.”

Untuk itu, dia akan berbicara khusus dengan dua sekjen kementerian lama dan para pejabat eselon satu. Menurut dia, model pengembangan penyatuan ini bisa bermacam-macam. “Lingkungan hidup perspektif pencemaran, di Kehutanan ada perspektif perlindungan, DAS. Tetapi juga ada perspektif produksi, izin usaha. Dua-duanya ada unsur penting, perizinan.”

Dia akan menilai, model pengembangan organisasi yang cocok. Siti mengandaikan model apakah pencampuran gula air, atau air dengan pasir. Ketika bagian-bagian tak harus dibongkar habis, katanya, bisa terus berjalan.

 

 


Susun Struktur Kementerian LH dan Kehutanan, Berikut Beberapa Usulan was first posted on October 28, 2014 at 1:19 pm.

Jokowi Diajak Blusukan ke Lokasi Kebakaran Hutan dan Gambut

$
0
0
Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, sejak September 2014. Kebakaran menyebabkan, asap tebal menyelimuti daerah ini hingga berbagai aktivitan terganggu. Foto: Zenzi Suhadi

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, sejak September 2014. Kebakaran menyebabkan, asap tebal menyelimuti daerah ini hingga berbagai aktivitas terganggu. Foto: Zenzi Suhadi/Walhi

Abdul Manan, warga asli Pulau Meranti, Riau membuat petisi lewat kanal Change.org. Melalui petisi itu, dia meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk blusukan atau meninjau langsung lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut di sana.

“Orang suka bercerita, pak Jokowi dekat dengan rakyat dan betul-betul mendengar. Suka blusukan. Mau tidak pak Jokowi blusukan ke tempat kami? Langsung melihat hutan gambut, kebakaran dan asapnya. Hanya dengan begitu pak Jokowi bisa mengerti kehidupan kami sehari-hari dengan asap,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/10/14).

Baru beberapa jam diluncurkan, sampai Selasa malam tercatat 4.800 orang lebih menandatangani petisi ini. Dalam petisi itu, Abdul menyinggung soal revolusi mental yang digadang-gadang Jokowi.

Menurut dia, kabut asap di Riau selama 17 tahun mengancam implementasi revolusi mental. Jika berlanjut, akan menjadi disabilitas mental. Kabut asap menimbulkan konsekuensi negatif pada kesehatan fisik, mental dan pendidikan.

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional mengatakan, pendekatan pemerintah sebelumnya tidak menunjukkan kemajuan signifikan dalam penuntasan masalah kebaran hutan dan lahan. Hal ini karena problem mendasar tata kelola hutan dan perkebunan tidak diselesaikan menyeluruh.

“Kebakaran hutan dan lahan tidak bisa selesai jika pemerintah hanya berposisi sebagai pemadam kebakaran. Pemerintah harus lebih serius mencegah,” katanya.

Lahan gambut yang terbakar di Kabupaten Bengkalis,Riau pada Maret 2014. Pada Juli-Agustus-September sampai Oktober 2014, kebakaran bak ‘menu’ yang harus ditanggung warga. Foto: Zamzami

Dia mendorong pemerintah segera me-review berbagai regulasi yang permisif atas tindakan pembakaran hutan. Dia juga mendesak penguatan dan perbaikan regulasi mengenai tata kelola hutan dan perlindungan lahan gambut di Indonesia.

“Kalau Jokowi blusukan ke sana, bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat. Melihgat secara langsung permasalahan lahan gambut. Sekaligus merasakan langsung beban masyarakat.”

Kesempatan sama, Longgena Ginting, kepala Greenpeace Indonesia mengatakan, Indonesia merupakan emiter gas karbon terbesar di dunia dan menjadi masalah perubahan iklim. Sebagian besar emisi dari kerusakan hutan dan kebakaran lahan gambut.

“Penanggulangan kebakaran hutan dan gambut harus menjadi prioritas utama dalam 100 hari pemerintahan Jokowi dan kabinet kerja.”

Dia mendorong Jokowi blusukan ke lokasi kebaran hutan dan lahan gambut agar bisa melihat fakta lapangan.  Pembuatan petisi itu, katanya, agar Jokowi tergerak langsung ke lapangan dalam waktu dekat. Petisi menjadi bagian dari keinginan publik agar Jokowi lebih memberikan perhatian.

“Jokowi diharapkan bisa memberikan solusi konkrit dalam mengatasi masalah kerusakan hutan dan lahan gambut. Dengan model blusukan, dia tidak sekadar mendengar laporan. Bisa tahu penyelesaian.”

Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, mengatakan, Jokowi diharapkan menjadi babak baru penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia. “Kami berharap Jokowi mau bersama-sama ikut blusukan ke lokasi kebakaran hutan. Lalu mengambil langkah-langkah strategis.”

Dia yakin, Jokowi akan blusukan ke lokasi kebakaran. Sebab, selama ini dia identik dengan kerja cepat. If not now, when? If not Jokowi, who

Layangkan surat ke Jokowi

Menindaklanjuti permintaan ini, Walhi Nasional, Greenpeace dan Yayasan Perspektif Baru melayangkan surat kepada Jokowi. Isi surat itu berisi ajakan kepada presiden segera meninjau lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut. Jika Jokowi berkenan, mereka siap memfasilitasi.

Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan mengatakan, jika Jokowi blusukan akan menjadi momentum baik. Publik, katanya, mengharapkan Jokowi bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan cara tidak biasa, out of the box.

“Memang tidak mudah menyelesaikan masalah, tergantung leadership. Perlu tokoh sekelas Jokowi mengatasi permasalahan ini.”

Dia mengatakan, Jokowi seorang rimbawan. Dia berharap, hal ini memberi sinyal bagus dalam perbaikan kualitas lingkungan hidup termasuk tata kelola hutan dan lahan gambut di Indonesia.

“Dalam nomenklatur baru, tertulis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Lingkungan hidup disebut di awal. Ini menunjukkan ada semangat dari seorang Jokowi untuk memperbaiki kualitas  lingkungan hidup secara keseluruhan.”

Haris mengatakan, hutan gambut eksosistem paling rapuh. Indonesia memiliki luas lahan gambut terbesar dan terdalam di dunia. Rata-rata kedalaman lahan gambut di Indonesia berkisar antara 8-10 meter. Bahkan di Riau, ada sampai mencapai 17 meter.

“Pengalaman kegagalan proyek satu juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah seharusnya tidak berulang lagi di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Terjadinya kebakaran berulang setiap tahun harus menjadi pengalaman dan pelajaran berharga bagi pemerintahan baru Jokowi.”

Lahan gambut habis terbakar di Kalteng pada September-Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng

Lahan gambut habis terbakar di Kalteng pada September-Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng

Kebakaran hutan di Kalimantan

Kebakaran tak hanya terjadi di Sumatera. Sejak September 2014, di Kalimantan, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, juga terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut. Di beberapa wilayah itu asap mulai berkurang karena hujan turun. Namun, dampak dampak kala kebakaran terjadi dan kabut asap melanda,  cukup besar. Di Kalteng, sekolah-sekolah sampai libur karena udara sudah tak sehat dan berbahaya, dan berbagai aktivitas terganggu, seperti penerbangan tertunda.

Walhi Kalteng, menemukan sebaran titik api berada di 90an perkebunan sawit. Dari pantauan satelit Modis Terra dan Aqua dari Nasa menunjukkan, sepanjang Oktober 2014, sebaran titik api mencapai 5.546 titik!  Parahnya, tak ada upaya penegakan hukum bagi perusahaan-perusahaan ini.

“Ironisnya, perusahaan ini belum satupun diproses hukum. Justru masyarakat dan petani peladang menjadi korban dari kebijakan yang tajam ke bawah namun tumpul ketika berhadapan dengan investasi,” kata Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng, kepada Mongabay, pekan lalu via surat elektronik, belum lama ini.

Padahal, katanya, investasi dan konversi hutan dengan aktivitas pembakaran dan pembukaan kebun sawitlah yang menyebabkan kebakaran.  Bukti ini, ucap Arie, bisa terlihat dari kosentrasi sebaran titik api. Jadi, jelas, kabut asap terhubung erat dengan  aktivitas pembukaan kebun di dalam konsensi perkebunan sawit.  “Namun, sepanjang Oktober, 106 petani petani menjadi tersangka, sedangkan perusahaan belum satupun!”

Dia heran, aturan di Kalteng juga ada yang bisa menjerat perusahaan tapi tak berjalan. Bahkan, UU Lingkungan Hidup, UU Perkebunan juga jelas menyebutkan larangan pembakaran dan sanksi hingga pencabutan izin perusahaan, “Instrumen hukum diabaikan padahal ada unsur kelalaian dan kesengajaan bisa menjerat perkebunan sawit, minimal menggunakan  titik api konsensi mereka.”

Seharusnya, titik api di konsesi bisa menjadi bukti awal aparat hukum menyelidiki karena ada klausul izin konsensi merupakan tanggung jawab hukum melekat bagi pemilik perusahaan termasuk mencegah kebakaran.

Sejak bulan lalu, asap mulai menyelimuti kabupaten dan kota di Kalteng. Warga harus menanggung  kondisi sulit karena harus menghirup udara tidak sehat karena asap  yang mengandung polutan dan mengancam kesehatan masyarakat. Udara menjadi tak sehat bahkan berbahaya, sekolah-sekolah sempat diliburkan, sampai penerbangan terhambat. Seperti indeks pencemaran udara di Palangkaraya 1-12 Oktober 2014, berada pada level tidak sehat, sangat tidak sehat dan berbahaya.

Meskipun saat ini, hujan mulai turun, dan titik api berkurang serta asappun menipis. Namun, bencana asap telah merugikan masyarakat dan lingkungan, terlebih kejadian ini terus berulang tiap tahun. “Pemerintah jangan diam dengan asap di Kalteng. Penuhi tanggung  jawab konstitusi dalam menjamin hak atas lingkungan sehat adalah hak asasi manusia.”

Sebenarnya, kata Arie, kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana ekologis yang bisa diperkirakan asal dengan upaya pencegahan, pengendalaian  dan penanganan yang komprehensif.

Kebakaran hutan dan kabut asap, katanya, bersumber dari daya dukung lingkungan rusak. Untuk itu, perlu upaya pencegahan dari akar masalah, yaitu hentikan konversi lahan gambut dan hutan yang tidak melihat daya dukung dan fungsi ekologis.

Bagaimana caranya? Menurut Arie ada beberapa cara. Pertama, mulai mengindetifikasi wilayah titik degradasi lingkungan terutama di lahan gambut, merupakan lokasi titik api dari tahun ketahun. Lalu segera upaya pemulihan komprehensif untuk mengembalikan fungsi hidrologi dengan kembali membasahi wilayah gambut.

Kedua, proses penegakan hukum harus segera terutama menjerat para pelaku pembakaran dengan multi door hukum yang mengatur larangan dan sanksi terhadap pembakaran hutan dan lahan. Termasuk, memberikan sanksi mengembalikan biaya kerugian  ekologis dan pemulihan akibat kebakaran hutan.

Ketiga, segera evaluasi izin dan menghentikan konversi lahan gambut untuk investasi skala luas baik buat sawit dan hutan tanaman industri. Tujuannya, memastikan fungsi ekosistem gambut berjalan berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan kultural bagi semua pihak.

Dia mengatakan, kondisi lingkungan di Kalteng terus terdegradasi dampak pengelolaan sumber daya alam merusak dan tidak berkelanjutan. Bencana ekologis  yang muncul pun harus ditanggung masyarakat. Sistem penguasan lahan, katanya, 78 persen wilayah Kalteng, dengan 3,1 juta hektar lahan gambut terus terdegradasi dan menjadi kebun sawit.

Data Hotspot di Perkebunan Sawit di Kalteng 1-14 Oktober 2014

Kabut asap tebal menyelimuti wilayah di Kalimantan Tengah, pada awal Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng

Kabut asap tebal menyelimuti wilayah di Kalimantan Tengah, pada awal Oktober 2014. Foto: Walhi Kalteng


Jokowi Diajak Blusukan ke Lokasi Kebakaran Hutan dan Gambut was first posted on October 28, 2014 at 4:04 pm.

Nasib Petani Polobangkeng, Inilah Aksi Ketua Dewan, dan TNI/Polri Kala Bela PTPN XIV

$
0
0
Ketua DPRD Takalar, kala memerintahkan traktor bekerja walaupun warga protes. Bahkan, dia menarik petani tua hingga terhempas. Foto: Eko Rusdianto

Ketua DPRD Takalar, kala memerintahkan traktor bekerja walaupun warga protes. Bahkan, dia menarik petani tua hingga terhempas. Foto: Eko Rusdianto

Konflik Petani Polobangkeng Utara, Takalar, Sulawesi Selatan,  versus PTPN XIV,  kembali memanas. Pada Senin (27/10/14),  polisi dan tentara berjaga di kebun didukung Ketua DPRD. Petani bertahan dengan lahan mereka. Pemukulan petani terjadi.  Petani tua renta terhempas ditarik sang ketua Dewan. Bahkan, ada tentara mengeluarkan pistol mengancam warga. “Ayo tembak saja pak. Tembak itu!”

Konflik ini muncul sejak 2004. Akhir 1970-an, warga di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar mendengar pabrik pengolahan gula tebu akan dibangun, di dekat rumah mereka. Bayangan kehidupan lebih baik segera datang, kampung makmur, dan masyarakat sejahtera. 

Orang-orang pun senang. Perusahaan bakal mengelola dan menyewa lahan-lahan pertanian  mereka selama 25 tahun. Mulailah pengukuran tanah 1980-1981, setiap hektar yang memiliki kelengkapan surat P2 atau rincik–sertifikat – akan dibayar Rp236.000 ribu dan tanah tak memiliki rincik Rp125.000.

Namun, harapan hanya diawang-awang. Lahan raib dan warga hanya sebagai buruh serabutan. Kehidupan makin susah, beberapa warga memilih menjadi tukang becak di Makassar, buruh bangunan, atau buruh tani di kampung lain. Ketika kontrak lahan usai 2004, beberapa kelompok masyarakat mulai mempertanyakan, namun perusahaan berdalih telah membeli sejak awal.

Petani menolak PTPNXIV yang sudah habis masa HGU, beroperasi di lahan--yang menurut petani disewa selama 25 tahun--kini masa kembali kepada mereka. Kesepakatan-kesepakatan terjadi, tetapi selalu dipatahkan dalam pelaksanaan. Foto: Eko Rusdianto

Petani menolak PTPNXIV yang sudah habis masa HGU, beroperasi di lahan–yang menurut petani disewa selama 25 tahun–kini masa kembali kepada mereka. Kesepakatan-kesepakatan terjadi, tetapi selalu dipatahkan dalam pelaksanaan. Foto: Eko Rusdianto

Dari sinilah persoalan mulai rumit. Warga menginginkan lahan 4.500 hektar keluar dari HGU dan kembali kepada petani. Tahun 2008, seratusan warga membuat aksi, tapi tak digubris. Tahun 2009, kembali aksi. Perusahaan menyambut dengan pengawalan Polri dan tentara. Puluhan warga mendapat hadiah pukulan dari pentungan, hingga ada yang tertembak, dan puluhan orang masuk penjara.

Hampir sepanjang tahun, konflik warga dan PTPN XIV Takalar terus terjadi. Pada Oktober  2014, konflik terjadi sampai tiga kali. Semua diakhiri tindakan refresif. Dialog buntu.

Untuk kesekian kali, pada Senin (27/10/14), sejak pukul 09.00 ratusan warga yang tergabung dalam Serikat Tani Polongbangkeng (STP) mendatangi lahan pengelohan tebu perusahaan di Kelurahan Parangluara. Aparat keamanan dari Polisi Pamong Praja, kepolisian dan TNI telah bersiap di lokasi.

Warga beranggotakan para petani tua, muda, dan perempuan berdiri berhadap-hadapan. Dua traktor dan satu buldoser mengolah lahan beberapa ratus meter. Warga berdiri di depan traktor. Mereka mengacungkan kepalan tangan dan berteriak memberi semangat. “Kami ingin dialog, namun pengolahan lahan harus berhenti dulu,” kata warga.

Setelah berhadapan dengan tentara, brimob dan preman bayaran,  warga tak berdaya. Mereka hanya bisa melihat traktor bekerja mengolah tanah. Foto: Eko Rusdianto

Setelah berhadapan dengan tentara, brimob dan preman bayaran, warga tak berdaya. Mereka hanya bisa melihat traktor bekerja mengolah tanah. Foto: Eko Rusdianto

“Oh tidak bisa,” kata suara muncul dari kubu perusahaan.

“Enak saja. Mana bisa begitu. Kalian itu seperti negara saja. Ini tanah negara.”

Di lahan itu, ikut hadir Nirwan, sekretaris daerah Takalar, Ketua DPRD Takalar Muhammad Jabir Bonto, dan Dandim 1426 Takalar Letkol Inf Wirawan Eko Prasetyo. Mereka berdiri di depan warga dan menawarkan solusi. “Sudahlah, program saat ini setiap keluarga tergabung dalam serikat tani memperoleh lahan dua hektar. Lahan ini bukan hak milik, tetap dimiliki perusahaan. Harus menanam tebu bukan tanaman lain,” kata Nirwan.

“Tebu ini pasar jelas. Negara memerlukan produksi gula tebu 3 juta ton per tahun. Kita hanya mampu sebagian. Hasil tebu inilah, ibu-ibu dan bapak-bapak beli beras.”

Nirwan melanjutkan pidato. Dia memgang microphone “Setelah ada lahan kerjasama, dibentuklah koperasi. Jadi perusahan akan membeli dengan harga baik. Pabrik gula ada untuk mensejahterakan rakyat, tidak mungkin merugikan masyarakat,” kata Nirwan.

“Bagaimana dengan lahan kami. Kami ingin keluar dari HGU. Sebesar apapun tanah kami, akan kami garap. Jangan dikuasai PTPN. Kami minta 2.000 hektar itu,” kata warga.

“Itu sulit. Soal tanah itu berurusan dengan pengadilan. Harap ibu-ibu dan bapak-bapak tahu. Lahan dalam HGU ini inventaris negara, jangankan 2.000 hektar, puluhan meter tak boleh. Saya (pemerintah daerah) pernah meminta 30 hektar untuk dikeluarkan dari HGU tapi di pusat (Jakarta) tak mengizinkan.”

Jelang pukul 12.00 pertemuan tak menghasilkan kesepakatan. Perusahaan memilih istirahat di bawah tenda besi dan warga di sela-sela pematang, atau berlindung di bawah pohon. Matahari siang itu begitu menyengat. Beberapa warga berbagi air minum dan buras untuk penganjal perut.

Petani tua ini terhempas kala dia berusaha mempertahankan lahan. Foto: Eko Rusdianto

Petani tua ini terhempas kala dia berusaha mempertahankan lahan. Foto: Eko Rusdianto

Jelang setengah jam, dari tenda perusahaan beberapa orang yang menggunakan kaos PTPN XIV– menurut warga adalah orang luar  alias preman bayaran–, pegawai perusahaan, bersama aparat bergerak bersama. Gelombang ini dipimpin ketua DPRD Takalar.

Jabir menggunakan safari hitam dan kopiah hitam. Dia meminta karyawan PTPN menjalankan traktor pembajak. “Jalankan. Gas-gas biar suara keluar. Satu dua tiga. Hei karyawan PTPN kesini, halangi warga,” katanya memberi instruksi.

Jabir bergerak dengan lincah. Tangan menunjuk-nunjuk.

“Mana Pol PP, ambil barisan.”

Warga tak tinggal diam. Beberapa kaum perempuan berdiri di depan ban traktor pembajak, yang tinggi mencapai dua meter. “Allahu Akbar,” seru beberapa warga. Warga makin rapat. Tiba-tiba seorang lelaki tua terhempas di tanah. Saya melihat Jabir menarik petani itu dengan kuat. Situasi makin memanas.

Jabir seperti orang kalut. Dia berjalan atau berlari dan tak berhenti bicara. Dia ikut memburu warga dan berusaha menangkap.

“Mana polisi, tangkap saja mereka. Cari yang provokator,” teriak Jabir.

“Apa lagi, hayo bergerak. Ini kita sudah dengan ketua Dewan,” kata tentara yang memegang tongkat.

“Kasih jalan saja itu traktor, tidak mungkin mereka bertahan,” teriak yang lain.

Situasi tak terkendali. Warga melintas “di garis” pembatas berusaha ditangkap kepolisian, TNI dan pegawai PTPN. Saya melihat beberapa kali terjadi pemukulan, tak terkecuali perempuan didorong keras hingga terhempas. Saya terkejut ketika tentara mengeluarkan pistol dan mengancam warga. “Ayo tembak saja pak. Tembak itu.”

Jelang pukul 15.00 kondisi mulai tenang. Warga kelelahan. Puluhan pasukan Brimob yang membawa senapan lars panjang, membuat formasi mengelilingi warga.

“Lihat takut itu mereka. Hayo jalankan traktor. Mana orang PTPN,” perintah Jabir.

Para petani dijaga ketat aparat. Foto: Eko Rusdianto

Para petani dijaga ketat aparat. Foto: Eko Rusdianto

Pelan-pelan warga mengalah. Traktor pembajak berjalan dengan bebas. Tanaman ubi jalar yang berdekatan dengan lahan pengolahan tak luput diratakan. Warga dari kejauhan hanya bisa melihat.

Sampai kapan konflik lahan ini akan berkahir? “Kami tak ingin konflik. Kami tak mau seperti ini. Yang kami minta sederhana, lahan kami yang dulu di sewa PTPN dikembalikan. Jika itu dipenuhi, semua selesai,” kata warga, Hasnawati Daeng So’na.

“Bagaimana mungkin ada itu ada tawaran, setiap keluarga dapat dua hektar. Ada warga menanam tebu, disuruh mandor di pabrik. Tebu panen terus diambil perusahaan. “Sampai sekarang belum dibayar,” lanjut Daeng So’na.

Ismar dari Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA) telah mendampingi warga sejak 2009, menyayangkan kejadian ini. “Setiap kali warga mempertanyakan status lahan mereka, selalu perusahaan meggunakan kekuatan militer. Ironis.”

“Tak mungkin warga melawan. Kekuatan warga satu-satunya hak mereka. Secara fisik, cangkul dan sabit petani tak mungkin melawan militer.”

Para petani berhadap-hadapan dengan tentara, polisi dan perusahaan didukung 'wakil rakyat' daerah itu. Foto: Eko Rusdianto

Para petani berhadap-hadapan dengan tentara, polisi dan perusahaan didukung ketua ‘wakil rakyat’ daerah itu. Foto: Eko Rusdianto


Nasib Petani Polobangkeng, Inilah Aksi Ketua Dewan, dan TNI/Polri Kala Bela PTPN XIV was first posted on October 29, 2014 at 1:31 am.

Menguatkan Hak Adat Papua Lewat Pemetaan Partisipatif

$
0
0
Pegunungan yang masih berhutan, menjadi wilayah hidup masyarakat adat di Papua. Sebagian kecil dari wilayah-wilayah adat ini sudah dipetakan. Foto: Wahyu Chandra

Pegunungan yang masih berhutan, menjadi wilayah hidup masyarakat adat di Papua. Sebagian kecil dari wilayah-wilayah adat ini sudah dipetakan. Foto: Wahyu Chandra

Papua memiliki kekayaan alam dan budaya sangat besar. Sayangnya, hak masyarakat adat yang sebagian besar mendiami kawasan ini terabaikan. Hak-hak mereka diambil paksa, termasuk dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lain. Untuk itu, penting penguatan hak mereka, salah satu melalui pemetaan wilayah partisipatif.

Hal ini mengemuka dalam Journalist Class bertema “Pemetaan Partisipatif Kunci Penguatan Masyarakat Adat Papua”, di Jayapura, Papua, Kamis (23/10/14). Turut hadir sejumlah media nasional dan Papua, termasuk Mongabay.

Acara ini terselenggara kerjasama Yayasan Perspektif Baru (YPB), Samdhana Institute dan PT PPMA. Turut menjadi narasumber antara lain, Deny Rahadian, direktur  eksekutif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP); direktur Yayasan Bina Adat Walesi (YBAW), Laurens Lani; kepala bagian Registrasi Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Papua, Yulianus Keagop dan Direktur Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua, Zadrak Wamebu.

Deny Rahadian banyak menjelaskan definisi dan proses pemetaan, yang dimulai sosialisasi, lokakarya, pengambilan data di lapangan, proses pembuatan peta hingga digitasi.  Hasilnya, dirembukkan dalam komunitas itu sebelum disahkan komunitas dan diajukan ke pemerintah. Lalu, diintegrasikan dengan kebijakan tata ruang pemerintah daerah.

Menurut Deny, peta ini alat membantu masyarakat menentukan ruang kelola berupa dokumentasi dan dokumen sosial.

“Ini harus mengingat selama ini budaya tutur kita sangat kuat, sementara budaya dokumentasi lemah,” katanya.

Pemetaan partisipatif, katanya, menjadi penting agar batas-batas wilayah adat dan perusahaan menjadi jelas. “Ini alat efektif menentukan batas wilayah dan pengorganisasian masyarakat. Bisa menjadi alat advokasi di daerah dan nasional.”

Menurut dia, ada tiga hal mengapa pemetaan partisipatif penting. Pertama, banyak konflik keruangan, penyerobotan lahan, tumpang tindih pengelolaan, konflik batas, konflik penguasaan dan pengaturan sumber daya alam.

Kedua, posisi tawar masyarakat lemah akibat tidak ada bukti tertulis wilayah kelola mereka.  Ketiga, pelibatan masyarakat lemah dalam proses pembangunan.

Secara nasional, perkiraan luas indikatif wilayah adat mencapai 42 juta hektar, berdasarkan analisis spasial menggunakan Geografic Information System (GIS). Versi lain menggunakan metode groundcheck melalui FGD pada 13 DAS sekitar 40 juta hektar.

“Luasan indikatif menggunakan kedua pendekatan ini tidak jauh beda. Jumlah tak begitu jauh.”

Menurut dia, satu upaya mendukung proses pemetaan partisipatif melalui pembentukan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Ia dibentuk atas inisiasi sejumlah lembaga, antara lain JKPP, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan sejumlah lembaga lain.

“BRWA ini proses pengakuan melalui registrasi bersifat adhoc, hanya proses antara, sebelum pemerintah membentuk badan sendiri terkait ini.”

Deny menyinggung, menuju kebijakan satu peta (one map Indonesia), sebagaimana salah satu visi misi pemerintahan Jokowi. Selama ini, ada UU acuan dan memuat dasar IGT, yaitu UU Kehutanan, UU ESDM, UU Pemda, UU Penataan Ruang dan UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Selama ini, IGT yang tidak merujuk satu sumber peta dasar, hingga menimbulkan kesimpangsiuran, masing-masing dengan peta sendiri. “Ketika ditanyakan ke BIG bagaimana penyatuan, mereka selalu bilang bukan wewenang mereka.”

Tambang di tepian Sungai Degeuwo oleh PT Martha Mining. Masyarakat adat di daerah itu menderita, harus menanggung bebas kerusakan lingkungan, masalah sosial hingga wilayah adat terampas. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Papua, selama ini dianggap salah satu pelopor dalam pemetaan partisipatif, karena sejak 2002. Di Jayapura, kini terdapat sembilan komunitas adat sudah pemetaan wilayah dan kini proses pengakuan pemerintah daerah melalui SK Bupati.

Menurut Zadrak, pemetaan partisipatif penting karena keberadaan masyarakat hukum adat tidak begitu diakui dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pengakuan masyarakat adat yang mempersyaratakan keberadaan dan pelaksanaan, katanya, kurang tepat.

Syarat keberadaan, misal, antara lain komunitas baru diakui bila  ada sekelompok orang terikat oleh hukum adat dan    menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada wilayah adat atau tanah dan terdapat aturan hukum penguasaan dan penggunaan tanah.

Syarat pelaksanaan, berlaku ketika eksistensi terpenuhi. Dalam pelaksanaan harus “sesuai kepentingan nasional dan negara”.

“Ini justru membingungkan dan memberi ruang kepada semua pihak menafsirkan sesuai kepentingan.”

Zadrak menilai, negara dapat mengizinkan BUMN maupun BUMS mengelola untuk mendatangkan keuntungan bagi negara. Masyarakat adat justru tidak mendapatkan manfaat sosial dan ekonomi.

Dia menyoroti, kebijakan orda baru yang memperlakukan wilayah Papua sebagai daerah tak bertuan. Pemerintah menggunakan sejumlah UU sebagai acuan, seperti UU Agraria, UU Kehutanan dan UU yang terkait tambang minyak dan gas bumi.

Pemerintah mengelola kekayaan bumi dan air dalam skala besar dan merusak lingkungan serta mengganggu ekosistem. Masyarakat hanya dapat semacam dana kompensasi hak ulayat dengan nilai tidak  sebanding.

Dampak lain, perubahan pola hidup masyarakat. Semula menggantungkan  diri pada kekayaan alam sesuai kebutuhan.Kini, bahan konsumsi dari luar yang menggunakan uang. “Perusahaan pun tidak menggunakan tenaga kerja lokal karena  tidak memenuhi standar kerja pengelola.”

PMAA, kata Zardak melakukan sejumlah pemetaan sosial di Jayapura dan sekitar, termasuk peta tematik. Salah satu di wilayah adat Namblong, dengan luas wilayah 45.000 hektar.

“Daerah lain masih draf antara lain di Kemtuik dan Sentani. Kemtuik finalisasi menunggu pengesahan, di Sentani masih draf awal. Ada juga komunitas Moi, kita sudah sosialisasi awal.”

Di Moi, Kampung Klayili, Sorong, Papua Barat,  kini menghadapi konflik dengan PT Henrison Ini Persada (HIP). “Laporan Telapak dan Environmental Investigation Agency 2012 menemukan HIP memarjinalkan warga dengan membayar rendah lahan dan kayu masyarakat Moi. Saat ini masyarakat Moi berjuang melawan alih fungsi hutan ini.”

Pemetaan partisipatif diakui Direktur YBAW, Laurens Lani, merupakan pekerjaan tidak mudah. Medan pemetaan luas dengan kondisi geografi menantang, juga kendala resistensi dari sejumlah pihak yang terganggu dengan pemetaan.

“Saya pernah mendapatkan ancaman Bupati yang merasa terganggu karena mungkin di kawasan itu ada lahan usahanya.”

Tantangan lain, tuduhan menghasut masyarakat dan persoalan internal di masyarakat adat itu sendiri. “Misal, dualisme adat, antara dewan adat dengan lembaga masyarakat adat, membuat struktur adat tidak jelas.

YBAW melakukan pendampingan pemetaan komunitas Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Tantangan, alam kawasan ini cukup berat karena di ketinggian antara 2.000-3.000 dpl, sebagian besar gunung dan lereng terjal.

Pemetaan partisipatif di Papua, khusus di Jayapura mendapat dukungan pemerintah daerah. Bupati Jayapura, Mathius Awoithuw, 13 Oktober 2014, di Grime, menandatangani peta wilayah adat Klesi-Kemtuik.

Mereka juga mendapat dukungan Kemitraan Institute dan Samdhana Institute. Samdhana juga mendorong pengakuan hukum peta yang dibuat masyarakat, dan membantu masyarakat mengembangkan kemampuan mengelola tanah masing-masing.


Menguatkan Hak Adat Papua Lewat Pemetaan Partisipatif was first posted on October 29, 2014 at 4:54 pm.

Blusukan ke Sinabung, Jokowi Perintahkan Percepat Relokasi Pengungsi

$
0
0
Jokowi berinteraksi dengan pengungsi Sinabung, Rabu (29/10/14). Foto: Ayat S Karokaro

Jokowi berinteraksi dengan pengungsi Sinabung, Rabu (29/10/14). Foto: Ayat S Karokaro

Hambatan utama relokasi atau pembuatan desa baru, karena belum keluar izin pelepasan kawasan dari Kementerian Kehutanan (dulu), kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, kawasan yang akan dipakai membangun masuk hutan lindung. Saat itu juga, Jokowi menelpon Siti Nurbaya, sang menteri dan memberi batas waktu dua hari agar izin keluar. “Ini masalah kemanusiaan,” kata Jokowi. 

Setelah pelantikan, blusukan pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pada Rabu (29/10/14),  dia datang melihat kondisi pengungsi Gunungapi Sinabung, yang hingga kini masih erupsi. Jokowi pergi ke enam lokasi pengungsian. Dia melihat langkah mendesak saat ini, merelokasi ribuan pengungsi yang tak boleh kembali ke desa mereka.

Jokowi mengumpulkan semua pihak, dari Bupati Karo, Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, Pangdam Satu Bukit Barisan, hingga kepala BNPB, di rumah dinas bupati di Kabanjahe.

Dari laporan, masalah relokasi terhambat karena Menteri Kehutanan—dulu Zulkifli Hasan–, belum menandatangi izin penggunaan kawasan hutan buat relokasi dan pembangunan rumah baru para pengungsi.

Jokowi langsung menelpon Siti Nurbaya, Menteri Lungkungan Hidup dan Kehutanan menanyakan masalah itu. Setelah mendapat penjelasan, dia memberikan waktu dua hari agar surat izin kawasan hutan ditandatangani.

Setelah izin  keluar, lalu pembuatan jalan lintas menuju ke relokasi. “Ini masalah kemanusiaan, bukan ilegal lloging. Ada lokasi yang jarak diatas lima kilometer dari Sinabung. Setelah dipelajari tim ahli, dianggap aman ditinggali, menjadi desa baru menggantikan desa lama yang masuk zona bahaya jika Sinabung meletus, ” katanya, ketika Mongabay bertanya soal daerah relokasi.

Jokowi menjelaskan, relokasi masih ada masalah izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Nanti, setelah surat izin keluar, dari Kodam I/BB bisa membuat jalan sepanjang 6,5 km, dan harus segera berjalan. Selama ini, terhenti karena surat izin belum keluar.

Target pembuatan jalan menuju ke desa baru tempat korban Sinabung, memakan waktu antara tiga hingga satu bulan. Relokasi, katanya akan selesai paling lama 2015.

Jokowi begitu serius menyelesaikan masalah relokasi bagi pengungsi korban erupsi Sinabung. Pada siang itu, dia langsung menyerahkan anggaran Rp11, 5 miliar, untuk penbangunan jalan ke lokasi relokasi pengungsi. Untuk pembuatan rumah, pemerintah memerlukan anggaran Rp80 miliar, dan akan dicarikan secepatnya.

“Ini kepentingan masyarakat yang terkena bencana alam. Lokasi ada di kawasan agropolitan, hingga semua tidak menjadi masalah, ” kata Jokowi.

Anka-anak pengungsi dampak erupsi Sinabung. Mereka menyambut kehadiran Jokowi sekaligus menceritakan kesulitan di pengungsian. Foto: Ayat S Karokaro

Anka-anak pengungsi dampak erupsi Sinabung. Mereka menyambut kehadiran Jokowi sekaligus menceritakan kesulitan di pengungsian. Foto: Ayat S Karokaro

Selain membahas relokasi, Jokowi khawatir dengan pengungsi yang setahun lebih hidup di tenda pengungsian. Dia langsung memberikan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera. Kartu itu itu diberikan langsung pada ribuan pengungsi di sejumlah lokasi pengungsian.

Untuk bantuan dana kebutuhan hidup sehari-hari, Presiden memberikan Rp500.000 setiap keluarga, di luar jatah hidup pemerintah sebelumnya. “Jadi kebutuhan paling mendesak relokasi, dan Bupati Karo, gubernur dan menteri terkait sudah setuju menyelesaikan. Mari kita pantau bersama, semoga semua selesai sesuai waktu ditentukan. Kasihan anak-anak, orang tua, perempuan di tenda-tenda ini. Mereka harus sehat, pintar dan sejahtera meski dalam kondisi mengungsi sekalipun.”

Ketika salah satu pengungsi diajak berbincang, mengeluhkan kesulitan mendapatkan air bersih di pengungsian. Mendengar itu, Presiden mengeluarkan uang dan menyerahkan pada para koordinator pengungsi, agar membuat sumur bor.

“Berapa biaya buat sumut bor? Sampai Rp5 juta atau Rp10 juta? Nyah, ini duit. Langsung besok dibuat ya, buat 10 sumur bor atau berapa yang diperlukan. Jangan sampai di negeri yang kaya ini kita kekurangan air bersih, udah salah itu. Buat langsung besok ya, jangan ada yang diselewengkan, karena saya akan pantau.”

Apa yang dilakukan Jokowi ini, membuat para pengungsi meneteskan air mata. Bahkan, anak berusia sembilan tahun, spontan berlari menuju Presiden dan memeluk begitu erat. Jokowi, mengelus kepala sang anak,dan meredakan kesedihan dengan bertanya soal apakah sang dia hafal Pancasila.

“Hayo, hafal Pancasila? Coba saya dengar?” ungkap Presiden. Sang anak dengan terbata menyebutkan. Ini membuat suasana haru di pengungsian cair dengan senyuman.

Sekitar pukul 17.42 Rabu sore, ketika Presiden blusukan ke sejumlah lokasi pengungsian Sinabung, gunungapi itupun kembali erupsi. Anak perempuan Jokowi, terkejut melihat debu vulkanik membumbung tinggi . Sambil mengambil telepon seluler, dia memfoto moment itu. Jokowi, sempat melihat, dan melanjutkan tugas menyelesaikan masalah pengungsi.

Data BNPB, hingga saat ini ada 3.284 pengungsi atau 1.018 keluarga di 12 lokasi disiapkan pemerintah.

Sutopo Purwo Nugroho, kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, mengatakan, para pengungsi ini ada di 16 titik. Penipisan titik pengungsian untuk memudahkan penanganan.

Status Sinabung tetap Siaga (level 3) dan tidak tahu sampai kapan erupsi berakhir. Badan Geologi tidak bisa memprediksikan, kapan Sinabung berhenti normal. Semua parameter kegunungapian, masih menunjukkan aktivitas tinggi. Artinya, erupsi dan luncuran masih berpotensi terjadi.

BNPB berharap, Pemerintah Karo dan Sumut, mengalokasikan anggaran menangani Sinabung dan tak mengandalkan bantuan pusat. BNPB menyerahkan Rp10,3 miliar kepada BPBD Karo, untuk sewa lahan, sewa rumah dan jaminan hidup bagi pengungsi dari Desa Sukameriah, Desa Bekerah, Desa Simacem, Desa Kutatonggal, Desa Gamber, Desa Berastepu, dan Desa Gurukinayan. Berdasarkan laporan BPBD Karo total dana keluar Rp10, 24 miliar untuk 2.161 keluarga (6.628 jiwa).

Mendengar pengungsi kurang air bersih, Jokowi  mengambil uang memerintahkan pembuatan sumur bor di pengungsian korban Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Mendengar pengungsi kurang air bersih, Jokowi mengambil uang memerintahkan pembuatan sumur bor di pengungsian korban Sinabung.       Foto: Ayat S Karokaro


Blusukan ke Sinabung, Jokowi Perintahkan Percepat Relokasi Pengungsi was first posted on October 29, 2014 at 11:03 pm.

Soal Penguatan Lingkungan Hidup, Berikut Kata Menteri Siti Nurbaya

$
0
0
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Balthasar Kambuaya (Menteri Lingkungan Hidup KIB II), usai serah terima jabatan di KLH, Rabu (29/10/14). Foto: Sapariah Saturi

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bersama Balthasar Kambuaya (Menteri Lingkungan Hidup KIB II), usai serah terima jabatan di KLH, Rabu (29/10/14). Foto: Sapariah Saturi

“Saya dua tiga hari ini menerima sekitar 4.000 lebih sms, banyak yang laporkan lingkungan. Jadi memang persepsi publik, kelihatan banyak masalah lingkungan. Kita harus jawab,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kala memberikan sambutan pada acara pisah sambut dengan Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan KIB II pada Rabu (29/10/14) di Jakarta.

Setelah Presiden Joko Widodo, mengumumkan nama-nama menteri yang akan membantu dia dalam kabinet kerja, nomor-nomor telepon mereka menyebar ke publik, termasuklah Siti Nurbaya. Tak heran, para menteri kebanjiran pesan.

Dari pesan-pesan  itu, katanya, terlihat perhatian dan harapan masyarakat terhadap perbaikan lingkungan cukup tinggi hingga perlu aksi nyata dan terjawab lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini.

Seharusnya, kata Siti,  lingkungan hidup itu sederajat dan setara dengan dinamika politik. “Penyatuan itu harus jadikan kesempatan.” Kehutanan itu,  katanya, hanya bagian dari komponen lansekap tetapi cuma di Indonesia, seakan begitu besar.

Dengan penyatuan ini, Siti berjanji membawa kementerian ini betul-betul secara politis menjawab masalah-masalah yang menjadi persoalan publik. “Akan betul-betul kelihatan bahwa lingkungan, ekonomi dan politik memiliki gradasi kepentingan sama bagi publik.”

Menurut dia, pertumbuhan penduduk yang cukup besar menjadi salah satu pemicu persoalan lingkungan. Mengapa begitu? Dia menjabarkan, sensus 2010,  jumlah penduduk sebesar 260,7 juta atau pertumbuhan per tahun ,49%. Padahal, dalam dokumen nasional 1997, skenario pertumbuhan penduduk per tahun 0,97% –dengan melakukan berbagai aksi penekanan. Sedang, skenario longgar—tak melakukan upaya—,18%. Dari skenario itu, semestinya penduduk Indonesia, 232 juta.

Dengan begitu, katanya, setelah 2010, penyediaan sumber daya alam meningkat hingga menjadi beban bagi lingkungan, seperti penggunaan lahan, mobilitas penduduk, sebaran kesenjangan termasuk kondisi sosial. “Ini semua prespektif lingkungan.”

Instrumen pengendali

Dalam beberapa kesempatan Siti mengungkapkan mengenai kemudahan perizinan. Apakah tak akan konstradiksi dengan prinsip kehati-hatian, misal dalam mengeluarkan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)?

“Perintah Presiden, terkait izin-izin, intinya kita melayani dunia usaha sesederhana mungkin, cepat, murah, sederhana, pasti, jadi ketahuan cost-nya.”

Namun, pemberian izin tak harus mengorbankan lingkungan. Intinya, perizinan harus menjadi instrumen pengendali, bukan transaksi. “Karena selama ini perizinan seakan identik dengan transaksi. Tak boleh lagi seperti itu.”

Berkaitan dengan pengawasan perizinan dalam konteks pengendalian ini pun, tak hanya dilakukan secara adminstrasi tetapi kondisi di lapangan. Ke depan, katanya, para petugas dan aparat terkait pengawasan betul-betul harus berada di lapangan atas biaya negara.

“Sebanyak-banyaknya harus berada di lapangan. Isu lingkungan paling banyak adalah di lapangan.”

Banyak PR

Dalam kesempatan itu, Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup KIB II menjabarkan berbagai capaian kementerian ini, antara lain ratifikasi Asean Agreement on Transboundary Haze  Pollution (AATHP) melalui UU Nomor 26 Tahun 2014, padahal sudah belasan tahun menggantung. Juga laporan keuangan dengan predikat wajar tanpa pengecualian dari BPK dalam tiga tahun berturut-turut.

Namun, katanya, masih banyak pekerjaan rumah harus dilakukan agar perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tercapai. Masalah-masalah itu, antara lain, pengurangan risiko kesehatan dan keselamatan lingkungan masyarakat melalui pengelolaan limbah B3 dan B3 dan pengelolaan sampah, dan kebijakan terkait perlu segera selesai.

Lalu, peningkatan kualitas air, udara dan tanah, serta penurunan laju kerusakan lingkungan lahan dan keragaman hayati, baik  melalui investasi infrastruktur, sistem pemantauan, sistem informasi dan sistem insentif bagi pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pemulihan kualitas lingkungan. Tak hanya itu. Juga perlu peningkatan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum lingkungan agar keadilan lingkungan hidup terwujud. “Dalam bentuk penguatan kapasitas aparat penegak hukum lingkungan di KLH maupun daerah.”

Pekerjaan rumah lain, penyelesaian sembilan PP prioritas dan beserta turunan sebagaimana diamanatkan UU No. 32 Tahun 2009 dan UU No. 18 Tahun 2008.  “Peraturan prioritas itu terutama pada baku mutu lingkungan.”

Selain itu, peningkatan pelayanan publik  sehingga masyarakat merasakan pemerintah melalui KLH. “Ke depan unit pelayanan satu atap perlu dibangun di masing-masing kantor PPE. Penguatan peningkatan pelayanan publik ini perlu di dorong melalui sistem online.” Tak ketinggalan, kata Balthasar, peningkatan kinerja KLH.

 


Soal Penguatan Lingkungan Hidup, Berikut Kata Menteri Siti Nurbaya was first posted on October 30, 2014 at 11:44 pm.

Advokasi Lingkungan Para Musisi Lewat Eco Defender

$
0
0
Pomade rambut, salah satu produk Ramble, yang tiap penjualan, disisihkan buat menyumbang advokasi Walhi Bali, pada isu-isu lingkungan. Foto: Aton Muhajir

Pomade rambut, salah satu produk Ramble, yang tiap penjualan, disisihkan buat menyumbang advokasi Walhi Bali, pada isu-isu lingkungan. Foto: Aton Muhajir

Sebuah toko merchandise baru berdiri di antara keriuhan Jalan Teuku Umar Denpasar, Bali. Toko ini cabang Rumble, milik musisi I Gede Ary Astina alias Jerinx dan Gusti Ngurah Adi Wibawa alias Adi Hydrant. Ini cabang kelima Rumble. Berdiri pertama di Kuta, pada tahun 2010, cabang Rumble antara lain di Ubud, Batubulan, dan Yogyakarta.

RMBL, nama merek Rumble, menjadi salah satu produk fashion terkenal di kalangan anak muda Bali. Tak hanya produsen fashion, Rumble menyasar kepedulian anak-anak muda pada isu lingkungan. Bersama organisasi advokasi lingkungan terkemuka Walhi Bali, Rumble menyebar kepedulian melalui kelompok musik Eco Defender.

Cerita Adi, ide Eco Defender dari diskusi antara dia dengan dua musisi lain, Prima Yudhistira vokalis band metal Geeksmile dan Jerinx, drummer band punk Superman is Dead (SID). Mereka ingin terlibat lebih banyak pada isu-isu sosial di Bali melalui musik.

Dari situ muncul nama Eco Defender. Jerinx mengatakan, Eco Defender lahir untuk memadukan antara fashion dengan perlawanan (rebel). “Banyak anak muda ingin terlihat rebel melalui pakaian. Mereka justru tidak tahu bagaimana menyalurkan perlawanan di dunia nyata. Kami ingin menjembatani,” kata Jerinx.

I Gede Ary Astina alias Jerinx dan Gusti Ngurah Adi Wibawa alias Adi Hydrant. Dua pemilik Rumble, yang mendedikasikan diri pada gerakan-gerakan lingkungan. Foto: Anton Muhajir

I Gede Ary Astina alias Jerinx dan Gusti Ngurah Adi Wibawa alias Adi Hydrant. Dua pemilik Rumble, yang mendedikasikan diri pada gerakan-gerakan lingkungan. Foto: Anton Muhajir

Salah satu kampanye sosial itu adalah Siu Ajak Liu, urunan Rp1.000 berkala membantu murid-murid kurang mampu. Setiap Rp1.000 dari pembelian pakaian disumbangkan ke anak-anak tidak mampu. Dalam perjalanan, kata Jerinx, isu lingkungan di Bali sedang urgen. “Lingkungan Bali mengalami eksploitasi karena pariwisata berlebihan.”

Sejak itulah, Rumble menggandeng mitra tetap, Walhi Bali. Alasannya, Walhi berjuang langsung dalam isu advokasi lingkungan. “Mereka tidak main aman. Mereka melawan langsung di lapangan membela lingkungan.”

Meskipun berganti mitra, pola penggalangan dukungan Eco Defender tetap sama. Mereka menyisihkan pendapatan setiap pembelian barang-barang di Rumble.

Produk-produk fashion ini beragam. Ada jeket, celana pendek, baju, kaos kaki, topi, kaca mata, hingga minyak rambut (pomade). Harga produk bervariasi. Satu baju Rp300.000. Kaca mata Rp 700.000. Pomade Rp 150.000 per kaleng.

Besaran  uang yang disumbangkan Rp4.000 untuk tiap pomade dan Rp2.000 baju. Sebulan, Eco Defender menyumbangkan Rp1 juta-Rp2 juta kepada Walhi Bali.

Eco Defender, dalam salah satu konser buat lingkungan. Foto: Anton Muhajir

Eco Defender, dalam salah satu konser buat lingkungan. Foto: Anton Muhajir

Bentuk penggalangan dana juga melalui konser-konser para musisi. Akhir Agustus, misal, ada konser para musisi punk dan indie Bali. Seluruh hasil disumbangkan gerakan lingkungan.

Bagi Walhi Bali, sumbangan ini sangat berpengaruh terhadap gerakan. “Kami bisa mendapatkan suntikan logistik untuk advokasi-advokasi lingkungan,” kata Suriadi Darmoko, direktur Walhi Bali.

Selama ini, Walhi bergerak dengan keterbatasan. Sumber dana hanya sumbangan individu maksimal Rp300.000 per orang dan Walhi Nasional. Dengan sumber daya terbatas, mereka harus kerja advokasi intensif dan berkelanjutan.

“Hal terpenting dari dukungan Eco Defender ini untuk membantah tuduhan Walhi Bali ditunggangi pihak tertentu dalam advokasi,” kata Moko.

Walhi merupakan organisasi advokasi lingkungan terkemuka di Bali. Mereka paling bersuara keras jika ada rencana pembangunan rentan mengeksploitasi. Misal, privatisasi taman hutan rakyat (Tahura) Ngurah Rai atau reklamasi Teluk Benoa.

Walhi Bali kadang dituding ditunggangi kepentingan politik atau bisnis kelompok lain. “Eco Defender membuktikan Walhi Bali bisa didukung pendanaan dari publik secara terbuka.” Rumble rutin menyerahkan sumbangan Eco Defender kepada Walhi.

Eco Defender tak melulu uang dan  lingkungan. Menurut Jerinx, penggalangan solidaritas advokasi lingkungan juga mengarusutamakan isu lingkungan di kalangan anak-anak muda.

“Kita bisa melihat sekarang bagaimana anak-anak muda Bali merasa peduli lingkungan itu keren. Lihat anak-anak muda ikut aksi tolak reklamasi. Mereka itu anak-anak muda yang ingin tampil keren dengan pakaian juga ingin melawan.”

Isu Eco Defender bisa lebih luas, tentang kemanusiaan. Juli lalu, misal, Eco Defender membuat konser kemanusiaan bertema Love for Gaza. Pengisinya SID, Bintang, Nymphea, dan band-band lokal lain. Tiap pengunjung konser membayar tiket Rp20.000. Seluruh hasil penjualan tiket untuk anak-anak Palestina korban serangan Israel.

Melalui musik, Eco Defender melintas batas isu dan agama. Mereka tak hanya menjual pakaian juga mengajarkan peduli lingkungan dan kemanusiaan.

Kaos Eco Defender. Dari hasil penjualan kaos ini juga disisihkan buat advokasi lingkungan. Foto: Anton Muhajir

Kaos Eco Defender. Dari hasil penjualan kaos ini juga disisihkan buat advokasi lingkungan. Foto: Anton Muhajir

 


Advokasi Lingkungan Para Musisi Lewat Eco Defender was first posted on October 31, 2014 at 4:27 pm.

Geothermal Chevron Ceremai Khawatir Sengsarakan Warga

$
0
0

Seratusan warga dari lereng Gunung Ceremai yang mengadu ke Komnas HAM karena desa mereka akan masuk dalam wilayah eksplorasi geothermal Chevron. Padahal, sampai hari ini mereka tak mendapatkan informasi ataupun sosialisasi mengenai itu. Proyek terkesan diam-diam. Foto: Indra Nugraha

Masyarakat sekitar Lereng Ceremai khawatir kehadiran geothermal Chevron, malah merugikan mereka. Mengapa? Kini, hasil pertanian masyarakat Lereng Ceremai, cukup besar. Bahkan, hasil tani warga jauh lebih besar dari potensi pendapatan daerah yang digembar-gemborkan jika ada Chevron. Sisi lain, warga juga kesulitan akses setelah Ceremai menjadi taman nasional dan beberapa desa mengalami kesulitan air kala kemarau. Kondisi ini, bisa menjadi lebih buruk kala perusahaan hadir.

Demikian hasil penelitian untuk mengetahui dampak sosial dan ekonomi warga sekitar Lereng Ceremai yang dilakukan Fuad Faizi dan Ahmad Satori dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Fuad Faizi, pengajar jurusan Pengembangan Masyarakat Islam  (PMI) IAIN Syekh Nurjati mengatakan, dari penelitian mereka menemukan banyak hal terutama soal potensi dari tiap desa yang sumber kehidupan utama adalah air dan tanah. “Ini akan terasa sekali ketika Chevron benar-benar melangsungkan proyek di Ceremai,” katanya dalam dialog di Cigugur Kuningan, pertengahan Oktober 2015.

Penelitian dilakukan tiga bulan lalu dengan melibatkan 50 mahasiswa PMI IAIN Syekh Nurjati.  Ada tujuh desa diteliti antara lain, Pajambon, Sukamukti, Gandasoli, Linggasana, Puncak, Cisantana dan Sagarahiang.

Desa pertama diteliti Pajambon, paling barat di Kecamatan Karyamulya, Kuningan. Di Pejambon mayoritas warga petani jambu.  Para petani tergantung sistem tengkulak yang menjadi alur produksi. Petani membeli bibit dan pupuk dari tengkulak.

Di sana,  panen bisa tiap hari 20 ton. Tengkulak membeli Rp2.000per kg, hasil Rp1,2 miliar per bulan atau Rp14,5 miliar setahun. “Ini memakai sistem tengkulak. Jika tidak, penghasilan bisa naik tajam. Harga di pasaran Rp4.000per kg. Setahun bisa Rp28 miliar. Bayangkan, ini baru satu desa!”

Selama ini, Chevron menggembor-gembor, kala geothermal beroperasi,  pemerintah daerah akan mendapatkan pemasukan Rp24 miliar per tahun. Namun, dari potensi satu Desa Pajambon saja, nilai itu jauh kalah.

Geothermal Chevron belum beroperasi, tetapi masyarakat Pajambon, sudah merasakan krisis air. Selama, musim kemarau dari Juni-November masyarakat kesulitan air untuk perkebunan dan pertanian mereka.

“Debit air jelas berkurang. Sekarang, di musim kemarau sulit air, apalagi jika geothermal beroperasi. Pajambon ini mengandalkan mata air dari Curug  Cilengkrang, salah satu titik pengeboran geothermal di dekat situ.”

Dulu warga Pajambon dan sekitar lereng bisa bebas mengakses Curug Cilengkrang. Sejak menjadi taman nasional, akses masyarakat sangat terbatas.

Di Pajambon juga ada program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas). Ini kebijakan pemerintah pusat kepada daerah lewat pembangunan air minum dan sanitasi guna mendukung pengembangan kawasan pemukiman berkelanjutan. Pamsimas, program kerjasama Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Dalam Negeri. Ia juga ada di Sukamukti dan Gandasoli.

“Pamsima itu  seperti PDAM dikelola desa. Ini membuat masyarakat terbatas mendapatkan air.  Ada pipanisasi dan masyarakat harus membayar. Dulu, air mengalir bebas ke  rumah warga dengan sistem tuk air,” katanya.

Tuk air merupakan sistem pengelolaan air swadaya, ada sejak lama. Ia berfungsi memenuhi kebutuhan air warga di pemukiman seperti kebutuhan rumah tangga, mandi dan kolam ikan. Untuk pertanian menggunakan pengairan persawahan dari sumber mata air sama.

“Ada kecurigaan masyarakat Pamsimas upaya kepentingan eksplorasi geothermal. Jadi biar masyarakat tidak mengambil air terlalu banyak hingga bisa untuk geothermal. Ketika nanti terjadi penurunan debit air, masyarakat tidak sadar. Karena sudah dengan sistem itu.”

Desa lain yang diteliti, Sukamukti. Di desa ini ada beberapa situs keramat. Antara lain, Makam Wali ke-23 Syekh Abdurrahman , Makam Panjang, Situ Balong Dalem , Nangka Bongkok dan Nangka Emas. Di desa itu terdapat beberapa mata air: Cilengkrang,  Abrul, Cimanceng dan Awang Qori.

“Warga sangat tergantung hasil sayuran dan padi. Juga peternakan kambing dan budidaya ikan.”

Hasil pertanian di Sukamukti antara lain, padi luas 75 hektar (367,5 ton per tahun), ubi jalar 30 hektar (840 ton), jagung lima hektar (21 ton), bawang daun 20 hektar ( 420 ton),  dan cabai rawit satu hektar (21 ton). Lalu, tomat 14 hektar (490 ton), sawi hijau 25 hektar (350 ton), seledri 16 hektar (224 ton), wortel tiga hektar (84 ton), buncis 11 hektar (154 ton) dan tanaman lain empat hektar (54 ton).

“Jika dikalkulasi, pendapatan pertanian di Sukamukti satu tahun Rp9,85 miliar.”

Pendapatan warga, katanya, belum termasuk ternak kambing. Di desa itu,  ada 350 peternak dengan 1.252 kambing. Pertanian dan peternakan sangat membutuhkan air.  Jika satu kambing jantan Rp2 juta per ekor dan betina Rp1 juta pendapatan warga mencapai Rp2,45 miliar.

“Apa jadinya jika air tercemar?”

Penetapan Taman Nasional Gubung Ceremai juga  sangat merugikan masyarakat Sukamukti karena banyak babi turun ke pertanian warga dan merusak lahan. Sebelum menjadi TNGC, tak terjadi karena petani boleh masuk ke hutan dan bertani tumpang sari.

“Petani tak boleh masuk, tak boleh memburu babi. Chevron bisa masuk. Kecurigaan kita TNGC ini langkah memuluskan Chevron. Waktunya berdekatan. TNGC 2005. Izin Chevron 2011.”

Untuk penelitian di Desa Gandasoli, mayoritas warga berkebun ubi dan bergantung tengkulak. Koperasi petani ubi belum ada. Komoditas sayuran lain biasa ditanam itu tomat, selada, seledri, lobak, bawang daun, sawi, dan jagung.

Di Desa Sagarahiang ada beberapa mata air: Ciwarenda, Cilojok, Cideket, Cibodas, Cinyusu, Kawilega, Malubang dan Cibulu Kidul. Masyarakat mengandalkan hidup dari hasil pertanian.

Desa ini juga kesulitan air. Paling mencolok penetapan TNGC menyebabkan 56 petani kehilangan lahan. Tak bisa lagi bertani dan mereka menjadi buruh.

Mengapa Chevron mengancam pasokan air warga?

Menurut Fuad, cara kerja proyek ini menggunakan sistem fracking yang memerlukan lebih dari 1.000 tanki air sekali injeksi. Kondisi ini, mengakibatkan pasokan air warga dan pengairan sawah malah untuk geothermal. Selain itu, limbah penambangan bisa mencemari air sekitar.

Potensi biogas

Ahmad Satori mengatakan, sebenarnya potensi biogas kotoran sapi di Lereng Ciremai bisa menjadi listrik. Ini sesuai hasil penelitian. Potensi dua desa memiliki banyak peternak sapi perah, seperti Cisantana dan Puncak.

“Ada 3.000 sapi warga di Cisantana.”

Potensi biogas juga ada di Desa Puncak neski jumlah sapi tak sebanyak Cisantana. “Hanya 600 sapi dengan perkiraan kotoran sapi 5.400 ton per tahun.”

Di Puncak juga banyak  petani terusir karena penetapan TNGC, sekitar 60 orang atau 30-40 hektar. “Mereka jadi buruh tani.”  Hasil buah dan sayur di Puncak juga melimpah.

“Jika pemerintah bisa memaksimalkan potensi bisa jadi peluang. Daripada memaksakan geothermal lebih baik mengembangkan biogas kotoran sapi.”

Dia mengatakan, perjuangan menolak geothermal Chevron menjadi sangat berat ada UU Panas Bumi. Dia mendukung langkah uji materil UU ini. “Perjuangan harus dilanjutkan Ini bukan lagi masalah Kuningan, tapi Indonesia. Kuningan bisa menjadi motor gerakan.”


Geothermal Chevron Ceremai Khawatir Sengsarakan Warga was first posted on October 31, 2014 at 10:59 pm.

Bu Susi, Selamatkan Pulau Bangka dari Tambang MMP

$
0
0

Pulau Bangka, Sulut, yang dulu hijau, kini sebagian sudah botak untuk persiapan operasi tambang. Foto: Save Bangka IslandPulau Bangka, Sulut, yang dulu hijau, kini sebagian sudah botak untuk persiapan operasi tambang. Foto: Save Bangka Island

“Ibu Menteri, bantu kami selamatkan Pulau Bangka seluas 3.319 hektar di Sulawesi Utara dari kehancuran oleh pertambangan ilegal PT Mikgro Metal Perdana.” Demikian bunyi pesan buat Susi Pudjiasturi selaku Menteri Kelautan dan Perikanan, yang tersebar lewat pesan berantai dan sosial media sejak 31 Oktober 2014.

Pesan ini, mengajak masyarakat ikut peduli Pulau Bangka yang terancam tambang dengan mengirimkan pesan kepada Menteri Susi. “Putusan Mahkamah Agung 24/09-2013 telah menyatakan MMP harus keluar dari Pulau Bangka, tapi sampai detik ini mereka tetap melakukan pengrusakan. Tolong secepatnya bertindak.” Begitu permintaan kepada Menteri Susi.

Warga menolak tambang masuk pulau mereka, meskipun ada sebagian kecil menerima dan setuju menjual lahan. Dukungan penolakan tambang karena khawatir pulau rusak datang dari berbagai kalangan, termasuk musisi kawakan, Kaka Slank.

Pepohonan mulai terbabat, aktivitas tambang mulai berjalan hingga mengancam perairan laut sekitar. Foto: Save Bangka Island

Pepohonan mulai terbabat, aktivitas tambang mulai berjalan hingga mengancam perairan laut sekitar. Foto: Save Bangka Island

Penolak tambang pun mengajukan gugatan dan menang sampai Mahkamah Agung. Perintah MA bupati mencabut izin itu. Sayangnya, putusan MA ini bak tak bergigi. PTUN Manado bahkan sampai pasang iklan di media massa agar Bupati Minahasa Utara patuh hukum. Tak cukup itu saja, PTUN Madano, juga berkirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Juni 2014, agar mendesak bupati, mematuhi putusan MA. 

Entah kekuatan apa yang menghadang sampai suara pengadilan diabaikan. Boro-boro izin dicabut. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan IUP operasi produksi kepada MMP tertanggal 17 Juli 2014. Ia ditandatangani Jero Wacik, Menteri ESDM.

Warga Pulau Bangka tak tinggal diam. Mereka kembali menggugat izin Kementerian ESDM ini ke pengadilan negeri Jakarta, akhir Oktober 2014.

Inilah kondisi Pulau bangka, September 2014. Menteri KKP, Susi Pudjiastuti diminta menyelamatkan Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Inilah kondisi Pulau bangka, September 2014. Menteri KKP, Susi Pudjiastuti diminta menyelamatkan Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Sebelum itu, pertemuan-pertemuan kementerian dan lembaga serta Komnas HAM sudah digagas UKP4. Hasilnya, UKP4 meminta tambang dihentikan sementara sampai perizinan terpenuhi dan menghindari konflik.

Dari pertemuan-pertemuan itu terungkap, perusahaan tambang ini belum ada izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan dan zonasi kawasan laut di Sulut juga belum selesai. Lagi-lagi di lapangan, perusahaan terus bekerja.

Untuk itu, Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka yang terdiri berbagai organisasi masyarakat dan pegiat lingkungan, menyerukan Menteri KPP menyikapi serius masalah ini.

Maria Taramen, aktivis Tunas Hijau dari Manado mengatakan, keinginan warga sederhana agar menteri bisa membantu menyelamatkan laut dan karang di seputaran Pulau Bangka.

Alat-alat berat mulai bekerja. Masihkah pulau nan indah dengan keindahan laut yang menjadi tujuan para wisatawakan ini bakal selamat? Foto: Save Bangka Island

Alat-alat berat mulai bekerja. Akankah pulau nan indah dengan kekayaan darat dan laut yang menjadi tujuan para wisatawakan ini bakal selamat? Foto: Save Bangka Island

“Ibu pasti sangat paham, jika karang rusak dan air laut menjadi keruh, tak ada lagi ikan di situ,” katanya kepada Mongabay, lewat pesan elektronik, Jumat (31/10/14).

Dia mengatakan, hasil laut Pulau Bangka, merupakan tumpuan hidup warga. “Kami hidup dan menghidupi anak-anak serta mencoba meraih masa depan keturunan semua lewat laut. Sekarang ada tambang, perlahan-lahan karang dan ikan mulai sulit. Laut kami ditimbun bebatuan, pasir dan lain-lain untuk pembuatan dermaga perusahaan.” “Karang-karang  indah di pulau itu rusak. Air laut sekarang di sekitar pulau keruh dan berlumpur.”

Dari pengalaman Susi 33 tahun di sektor perikanan, katanya, mereka berharap membawa angin segar bagi penyelamatan Pulau Bangka.

“Kami berharap Ibu Menteri yang paham bagamana nasib dan hidup para nelayan, dan masyarakat pesisir dapat membantu perjuangan kami mempertahankan hidup,” ujar dia.

Menurut Maria, kini masyarakat bingung oleh beberapa kementerian terkait ‘terkait’ di Pulau Bangka. Misal, Kementerian ESDM mengeluarkan izin operasi produksi kepada MMP tanpa koordinasi dengan Kemenhut, KKP dan instansi terkait lain.

“Kami sangat berharap menteri sekarang punya nyali, jika dibandingkan sebelum itu tidak sensitif dan tak aspiratif dengan keinginan masyarakat.”

Inilah nasih Pulau Bangka di Sulut yang terjarah tambang. Warga sudah menang gugatan sampai MA tetapi tambang jalan terus. Presiden Jokowi dan Menteri KKP Susi Pudjianstuti, beranikah menegakkan hukum? Foto: Save Bangka Island

Inilah nasib Pulau Bangka di Sulut yang terjarah tambang. Warga sudah menang gugatan sampai MA tetapi tambang jalan terus. Presiden Jokowi dan Menteri KKP Susi Pudjianstuti, beranikah menegakkan hukum? Foto: Save Bangka Island

Mereka juga berharap, Presiden dan Wakil Presiden tetap mengawasi ketat para menteri. “Jangan sampai kecolongan seperti era SBY dulu, antara menteri terkait seenaknya mengeluarkan kebijakan saling bertentangan satu dengan yang lain. Kontrol Presiden harus aktif dan ketat.”

Selain itu, dia berharap, peninjauan kembali UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang direvisi pada akhir masa pemerintahan SBY. “Menurut kami revisi ini, justru membuka peluang perampasan hak hidup kami di pulau. Juga cenderung penghancuran lingkungan di Pulau-pulau kecil terbuka lebar.”

Longgena Ginting, kepada Greenpace di Indonesia berharap, salah satu prioritas utama Susi adalah me-review kebijakan dan memastikan tidak ada konflik dengan visi kemaritiman Jokowi. Termasuk izin-izin tambang di pulau kecil atau pembuangan limbah (tailing) ke laut.  Sebab, katanya, kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir tergantung kesehatan laut dan lingkungan.

Salah satu contoh masalah sedang terjadi di Pulau Bangka, Sulut. Pulau kecil ini terancam tambang—yang bakal merusak pulau dan laut sekitar. Alhasil, lingkungan darat dan laut rusak kala tambang beroperasi. Nelayan-nelayanpun makin kesulitan. “Apalagi ada indikasi pelanggaran hukum dan penolakan dari masyarakat lokal.”

Ini kondisi awal tahun 2014. Kala perusahaan tambang akan membuat dermaga. Foto: Save Bangka Island

Gugat Kementerian ESDM 

Warga Pulau Bangka didampingi YLBHI dan Walhi menggugat izin operasi produksi yang dikeluarkan Kementerian ESDM, ke Pengadilan di Jakarta, beberapa hari lalu.

Sembilan warga penggutan itu yakni, Sersia Balaati, warga Desa Lihunu, Likupang Timur Minahasa Utara; Wilson Gaghenggang, petani di Desa Lihunu; Daniel Karel Buango, pelaut Desa Lihunu, dan Dance Ujung, petani di Desa Lihunu. Juga Merti Mais Katulung,  warga Desa Kahuku Jaga I, Likupang Timur; Johanis Tuhema, pelaut, Desa Kahuku Jaga II; Pinehas Lombonaung, pensiunan PNS, di Desa Kahuku;  Absalon Sigandong, petani di Desa Kahuku Jaga III, dan Eduard Gaghamu, petani Desa Libas Jaga II, Likupang Timur.

“Mereka menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kala itu Jero Wacik, yang telah mengeluarkan IUP Operasi Produksi bernomor 3109 K/30/2014 tertanggal 17 Juli 2014,” kata Wahyu Nandang Heryawan dari YLBHI, beberapa hari lalu.

Ringkasan Gugatan IUP Produksi dan kronologis tambang di Pulau Bangka

Akankah keindahan dan lingkungan sehat  Pulau Bangkabakal hilang demi tambang? Relakan laut tercemar gara-gara tambang? Foto: Save Bangka Island

Akankah keindahan dan lingkungan sehat Pulau Bangkabakal hilang demi tambang? Relakah laut tercemar gara-gara tambang? Foto: Save Bangka Island


Bu Susi, Selamatkan Pulau Bangka dari Tambang MMP was first posted on November 1, 2014 at 9:43 pm.

Duh, Nasib Danau Matano, Ikan-ikan Endemik pun Terancam

$
0
0
Butini, ikan endemik Danau Matano, yang kini sulit ditemukan. Ikan-ikan asing seperti louhan malah menguasai danau. Foto: Eko Rusdianto

Butini, ikan endemik Danau Matano, yang kini sulit ditemukan. Ikan-ikan asing seperti louhan malah menguasai danau. Foto: Eko Rusdianto

Pada Agustus 2008, ahli Limnologi LIPI Peter Hehanusa menulis laporan pendek di National Geographic Indonesia. Dia menulis kekhawatiran ketika mengunjungi Danau Matano di Kecamatan Nuha, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, mulai terkepung pembalakan liar.

Dia menggambarkan, keunikan lima danau sebagai kompleks,  yakni Danau Malili–Matano, Mahalona, Masapi, Wawantoa dan Towuti. Panorama dikelilingi bukit-bukit terjal dengan puncak mencapai 1.200 meter. Di sana ada berbagai spesies endemik, seperti 32 jenis ikan, sembilan jenis udang air tawar, 87 jenis diatom, 26 jenis gastropoda, dan lima jenis kepiting air tawar.

Kini danau makin terancam, salah satu oleh pemukiman. Dengan kehadiran PT Vale,  gelombang pencari kerja, tak beraturan. Perusahaan membangun perumahan dengan konsep ramah lingkungan, rumah panggung dengan halaman luas, taman luas, pendingin udara, ditempatkan di Salonsa, Old Camp serta blok F. Namun, itu hanya bagi tenaga kerja terampil. Untuk pencari kerja kelas menengah dan buruh, mereka membangun rumah-rumah panggung sederhana di Pesisir Matano.

Rumah-rumah di tepian danau memiliki teras di daratan, badan hingga dapur menancap di permukaan air. Kepadatan rumah di pesisir berdampak buruk. Sampah dan air danau menjadi keruh. Air berwarna kecoklatan bahkan beberapa titik terlihat hitam. Di kolong-kolong rumah bertumpuk sampah plastik dan menyebar ketika ombak menghantam.

Rumah-rumah kini memenuhi tepian danau hingga menyebabkan danau tercemar. Dampaknya, warga makin sulit mendapatkan ikan di tepian hingga harus mencari ke tengah danau. Foto: Eko Rusdianto

Rumah-rumah kini memenuhi tepian danau hingga menyebabkan danau tercemar. Dampaknya, warga makin sulit mendapatkan ikan di tepian hingga harus mencari ke tengah danau. Foto: Eko Rusdianto

Saya bertemu Saenab (79) akhir Oktober 2014. Di rumah panggung nan sejuk, dia mengurai ingatan tentang Matano, tepat di hadapan kami. “Dulu tak ada rumah di depan (rumah) ini. Itu pasir semua. Saya selalu cari kerang, ikan dan udang di pinggir,” katanya.

“Sekarang untuk cari ikan, harus ke tengah danau. Sudah nda ada di pinggir. Apalagi kerang, nda ada semua. Sudah kotor. Apalagi mandi, jijik maki (sudah jijik).”

Dari Warna Limnologi LIPI menyebutkan, danau ini lahir sekitar empat juta tahun silam, karena pergeseran  sesar. Danau ini terdalam di Asia Tenggara, bisa mencapai 596 meter bahkan di beberapa titik 700 meter. Luas 16.408 hektar. Keunikan lain, Matano lebih rendah dari permukaan laut, merupakan gejala alam paling langka di dunia.

Salah satu jenis ikan khas Matano adalah purba butini (Glosogobius matanensis) dan opudi (Thelmaterina). Pada masa awal,  butini menjadi makanan utama penduduk. Ditangkap menggunakan jaring sederhana dan pancing di pesisir danau. Biasa dimasak dengan kuah santan atau dibakar.

Namun, itu masa lalu. Kini, mendapatkan butini perlu kesabaran. Dulu, kata Saenab, mendapatkan puluhan ekor hanya sekitar satu jam memancing di pinggiran. “Sekarang turun pukul 7.00 sampai 11.00 paling beberapa ekor.”

Louhan, salah satu ikan penghuni baru danau yang menguasai kawasan hingga butini dan spesies endemik lain makin terdesak. Foto: Eko Rusdianto

Louhan, salah satu ikan penghuni baru danau yang menguasai kawasan hingga butini dan spesies endemik lain makin terdesak. Foto: Eko Rusdianto

Ukuran ikanpun menciut. Bahkan ada berbentuk aneh,  kadang kepala lebih besar dari badan. “Sekarang butini paling besar seperti lengan kamu (diameter 15 sentimeter), dulu ada sebesar betis,” kata Nurtolu, ketua Kerukunan Wawoinia Asli Sorowako (KWAS) atau kerukunan warga asli Sorowako. Dia hampir berusia 70 tahun.

Introduksi ikan asing

Menjelang 2000, penduduk budidaya ikan memaksimalkan kolong-kolong rumah di permukaan air. Membentangkan jaring dan mengikuti kontur tiang rumah. Namun,  kini warga beramai-ramai membuat karamba jaring apung. Beberapa jenis ikan untuk kepentingan dilepas, seperti mas dan nila.

Menurut Nurtolu, ikan di Matano masa lalu tidak begitu banyak. Hanya beberapa seperti opudi, butini, mujair dan beberapa mas. Sekarang bertambah, ada lele, louhan bahkan sapu-sapu.

Tahun 2012, ketika saya bermukim di Sorowako, saat berenang di wisata Pantai Ide Matano, louhan bergerombol dan mengerumuni kaki. Ukuran sebesar telapak tangan orang dewasa.

Louhan rakus dan cepat berkembang biak. Kini, hampir menguasai pesisir atau perairan dangkal di Matano. “Dulu opudi dan butini ada di pinggir,  kini dengan ada louhan, butini makin ke perairan dalam.”

Nurtolu mengatakan, bagus jika butini dilindungi. “Kalau warga ingin menangkap, tentukan besaran, kecil jangan dimakan, tapi dilepas lagi. Saya setuju.”

Dalam Warta Limnologi LIPI tahun 2009, mengkhawatirkan menjaga ekosistem air penting. Kala 87 jenis ikan terancam punah di Indonesia, ada 66 spesies (75 persen) adalah ikan air tawar. Sebagian besar punah adalah ikan endemik.

Itulah menjadi keperihatinan kelompok pencinta alam di Sorowako. Awal 2014, mereka mengadakan lomba memancing dan menembak louhan. Puluhan orang berpartisipasi. Ratusan louhan tertangkap. Masih ribuan bahkan jutaan berenang di bawah permukaan, bermain di sela akar mangrove dan antara batuan.

Tepian Danau Matano yang masih 'aman' terlihat  rimbun dan indah. Foto: Eko Rusdianto

Tepian Danau Matano yang masih ‘aman’ terlihat rimbun dan indah. Foto: Eko Rusdianto


Duh, Nasib Danau Matano, Ikan-ikan Endemik pun Terancam was first posted on November 2, 2014 at 3:35 pm.
Viewing all 4051 articles
Browse latest View live