Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4054 articles
Browse latest View live

Duh, Hutan Indonesia Hilang 1,13 Juta Hektar per Tahun

$
0
0

Tumpukan kayu alam dari hutan gambut yang sudah dihancurkan di konsesi PT RAPP di Pulau Padang, Riau, Indonesia, Mei 2014. FWI merilis laporan deforestasi di hutan Indonesia periode 2009-2013 mencapai 1,13 juta hektar per tahun, antara lain karena alihfungsi hutan menjadi antara lain, HTI, sawit maupun tambang. Foto : Zamzami

Lima provinsi mengalami deforestasi parah, tertinggi Riau, disusul Kalteng, Papua, Kaltim dan Kalbar. 

Nasib hutan di Indonesia, bak telur di ujung tanduk alias sungguh memprihatinkan. Periode 2009-2013, negeri ini kehilangan tutupan hutan alian mengalami deforestasi sebesar 4,5 juta hektar atau 1,13 juta hektar per tahun. Fakta ini terungkap dalam laporan Forest Watch Indonesia dalam buku berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia periode 2009-2013 yang dirilis Kamis (11/12/14) di Jakarta.

Dalam buku FWI itu menyebutkan,  Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Papua, mengalami deforestasi terparah. Riau urutan pertama seluas 690 ribu hektar, disusul Kalteng 619 ribu hektar, Papua 490 ribu hektar, Kaltim 448 ri bu hektar dan Kalbar 426 ribu hektar. Kalteng, pada akhir 2010, menjadi daerah percontohan REDD+, namun periode itu malah menempati posisi kedua kehilangan hutan alam tertinggi.

Analisis FWI, menemukan, sampai 2013, luas tutupan hutan alam di Indonesia, sekitar 82 juta hektar atau 46% dari luas daratan. Dengan rincian, Papua 29,4 juta hektar, Kalimantan 26,6 juta hektar, Sumatera 11,4 juta hektar, dan Sulawesi 8,9 juta hektar. Lalu, Maluku 4,3 juta hektar, Bali dan Nusa Tenggara 1,1 juta hektar dan Jawa 675 ribu hektar. Berdasarkan provinsi, 25% hutan alam di Indonesia di Papua, Kaltim 15%, Papua Barat 11%, Kalteng 9%, Kalbar 7%, Sulteng 5%, Aceh 4% dan Maluku 3,2%.

Pada tahun sama, sekitar 78 juta hektar (63%) dari seluruh hutan negara masih bertutupan hutan, dengan terluas di hutan lindung seluas 22,9 juta hektar (28%). Pada 2013, sekitar 44 juta hektar (25%) luas daratan Indonesia terbebani izin pengelolaan lahan, berbentuk HPH, HTP, sawit dan tambang.

“Dari luas itu 14,7 juta hektar areal penggunaan lahan tumpang tindih antara HPH dan HTI, sawit dan tambang.  Dari situ, 7 juta hektar berada pada tutupan hutan alam,” kata Soelthon Gussetya, Manajer Data FWI, hari itu.

Buku ini juga mengupas dampak deforestasi massif menimbulkan banyak kerugian. Antara lain, pertama, konflik sumber daya alam. Konflik sejak era Orde Baru dan meningkat tajam kala reformasi, kala tambang mulai beroperasi di berbagai wilayah. Periode 1990-2010, dokumen AMAN dan organisasi masyarakat sipil, tercatat 2.858 konflik di 27 provinsi terjadi di sektor kehutanan 1.065 kasus dan perkebunan 563 kasus. 

Kedua, kerusakan ekosistem dan kehilangan keragaman hayati. Deforestasi berdampak pada kerusakan ekosistem yang mengancam flora fauna, serta merusak sumber kehidupan masyarakat. Ketiga, gangguan kehilangan hidrologi. Keseimbangan tata air terganggu. Fungsi resapan air dalam silus hidrologis, penyerap dan penyimpan karbon, iklim mikro dan keragaman hayati akan terganggu ketika tutupan hutan rusak.

Keempat, pemiskinan masyarakat sekitar hutan. Kawasan di sekitar dan di dalam hutan penuh dengan aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Mereka banyak menggantungkan hidup dari sumber daya hutan.

Microsoft Word - Document2

Christian Purba,  Direktur Eksekutif FWI mengatakan, penyebab langsung deforestasi antara lain, HPH, HTI, sawit, penebangan liar, tambang dan pembakaran hutan. Sedangkan penyebab tak langsung, seperti perubahan peruntukan, pemekaran wilayah, korupsi, ekspansi industri dan kebutuhan pasar.

Selama ini,  katanya, kebijakan tak menyentuh persoalan dasar, antara lain tak ada kepastian lahan, dan konflik tenurial, didorong tata kelola kehutanan yang lemah. Pemerintah, hanya fokus memberi izin dan urusan administrasi.

Jika kondisi ini terus terjadi, dalam 10 tahun ke depan, diperkirakan hutan alam di Riau akan hilang, lalu Kalteng, dan Jambi.

Dia mengatakan, banyak  persoalan harus dibenahi, dari penegakan hukum, data akurat dan kelembagaan di tingkat tapak. “Ini perlu leadership dari pemerintah. Tanpa ada leadership susah karena persoalan sudah kompleks.”

Setidaknya, katanya, ada tiga prioritas utama dalam penyelamatan hutan Indonesia, yakni, penyelesaian klaim dan penetapan kawasan hutan, penguatan pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara adil,  dan perlindungan serta pemulihan potensi sumberdaya hutan.

Tak jauh beda diungkapkan Togu Manurung, Badan Pengurus FWI. Menurut dia, deforestasi di Indonesia sungguh-sungguh tinggi. Per tahun 1,13 juta hektar. Jika dihitung setiap menit ada tiga kali luas lapangan sepak hutan hilang.

“Betapa seriusnya masalah deforestasi ini. Deforestasi tetap tinggi ini dalam keadaan periode waktu di mana Indonesia berusaha tampil di luar negeri,  bahwa, Indonesia sedemikain peduli lingkungan hidup. Janji SBY kurangi emisi gas rumah kaca yang tertinggi dari kehutanan,” ujar dia.

Dengan kondisi ini, katanya, secara umum, sebenarnya, Indonesia belum menjalankan praktik hutan lestari dalam arti produksi, lingkungan dan sosial.  “Kelestarian produksi, dengan bisa kontinu, volume stabil bahkan meningkat. Kelestarian lingkungan, berarti hutan bisa dimanfaatkan kayu dan non kayu dengan tetap terjaga. Lalu, kelestarian sosial. Ini bagaimana pemanfaatan kekayaan alam berdampak baik bagi masyarakat sekitar.”

Microsoft Word - Document3

Togu mengatakan, fakta deforestasi ini menunjukkan kegagalan pemerintah.  “Sumber masalah pemerintah karena melakukan penghancuran sumber daya alam, dengan HPH, HTI dengan konversi hutan alam, perkebunan dari hutan produktif di-landclearing.”

Menurut dia, akar masalah dari segala itu, korupsi. “Tak ada supremasi penegakan hukum. Akhirnya laporan di atas kertas indah, tapi di lapangan hancur. Ini diharapkan ada perbaikan…”

Kehancuran hutan ini, katanya, bisa terlihat dari beragam bencana dengan frekuensi makin sering. “Harga yang harus dibayar sangat mahal. Ini karena kerusakan ekosistem hutan, terus ulang tahun kebakaran hutan dan lahan. Terutama langganan di Kalimantan dan Sumatera. Ini sumber deforestasi dan degradasi hutan.”

Untuk itu, bencana dari banjir, longsor sampai kebakaran hutan dan lahan ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah Joko Widodo terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Gimana tangani kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan banjir terkait tutupan lahan dan hutan di daerah hulu. Ini kita lihat, bisa jadi test case.”

Hariadi Kartodihardjo, Ketua Dewan Kehutanan Nasional mengatakan, dalam mengatasi deforestasi harus membidik operasi ilegal, jangan hanya yang legal. “Termasuk kebakaran, ada beberapa indikasi, oknum polisi dan tentara menjual lahan untuk sawit. Kita harus bidik yang ilegal juga jangan cuma yang legal.”

Menurut dia, saat evaluasi nota kesepakatan bersama kementerian/lembaga dan KPK, ada lima agenda perlu dijalankan, antara lain, review izin, pengendalian korupsi kala pemerintah tetapkan kawasan hutan,  dan kepastian buat masyarakat adat/lokal.

Microsoft Word - Document3

Microsoft Word - Document3

Microsoft Word - Document3


Duh, Hutan Indonesia Hilang 1,13 Juta Hektar per Tahun was first posted on December 13, 2014 at 9:20 pm.

Buah Desakan Warga, Izin Geothermal Sorik Marapi Dicabut

$
0
0
Kawasan TNBG, Mandailing Natal, yang menjadi kawasan eksplorasi PT Sorik Marapi Geothermal Power. Foto: Ayat S Karokaro

Kawasan TNBG, Mandailing Natal, yang menjadi eksplorasi PT Sorik Marapi Geothermal Power. Foto: Ayat S Karokaro

Aksi protes menolak pertambangan PT Sorik Marapi Geothermal Power, oleh ribuan masyarakat Mandailing Natal, Sumatera Utara, selama empat bulan terakhir, membuahkan hasil. Selasa malam (9/12/14), Dahlan Hasan Nasution, Bupati Mandailing Natal, menandatangani pencabutan izin pertambangan Sorik, yang mendapat perpanjangan periode kedua.

Dalam Surat Keputusan bernomor 540/665/K/2014 tanggal 9 Desember 2014, Dahlan, menyatakan, salah satu alasan pencabutan izin, mengingat aksi protes tinggi dari ribuan masyarakat, atas kehadiran perusahaan karena dianggap mengancam lingkungan dan bencana alam.

Dia mengatakan, pencabutan izin berdasarkan berbagai pertimbangan cukup panjang, meskipun mengakui, kala perusahaan menyelesaikan proyek di Mandailing Natal, produksi energi panas bumi akan mampu mengurangi defisit listrik di Sumut ke depan.

“Ini atas desakan masyarakat, dan banyak pertimbangan mendalam sebelum pencabutan izin. Sudah ya, itu dulu,” katanya.

Mengenai perpanjangan izin, Dahlan, enggan berkomentar panjang. Dia menyatakan, akan ada evaluasi ulang dan akan mengkomunikasikan dengan ribuan masyarakat Mandailing Natal, yang menolak perusahaan di daerah mereka.

Sebelumnya, ribuan masyarakat dari lima kecamatan di Mandailing Natal, unjukrasa dan memblokir jalan lintas Sumatera menuju ke Sumbar, selama sepekan, mulai Selasa (11/11/14). Mereka menuntut Sorik Marapi, berada di Desa Purba Lamo, Kecamatan Lembah Sorik Marapi, ditutup.

Adapun lima kecamatan penolak Sorik Merapi beroperasi di daerah mereka, yaitu Kecamatan Tambangan, Panyabungan Barat, Lembah Sorik Marapi, Panyabungan Selatan, dan Puncak Sorik Marapi. Jumlah mereka mencapai 5.000 orang lebih.

Yasir Nasution, masyarakat adat dari Puncak Sorik Marapi, mengatakan, selama proses pengerjaan proyek, dan pengambilan sampel, terjadi kerusakan hutan cukup luas, menggunakan alat berat. Mereka juga khawatir proyek akan menimbulkan dampak buruk bagi keamanan jiwa masyarakat mereka.

Peta Geothermal Sorik Marapi, Mandailing Natal

Peta Geothermal Sorik Marapi, Mandailing Natal

Dwi Astuti, dari Forum Pemuda Tolak Tambang Emas Mandailing Natal, menyatakan pengeboran perusahaan, berada di Gunung Sorik Marapi. Gunung ini termasuk lima kawah paling aktif di dunia.

Dia khawatir, pengeboran mengancam nyawa manusia dan flora fauna. Mereka khawatir bernasib sama dengan di Sidoarjo, Jawa Timur, sampai saat ini lumpur Lapindo menggenangi ribuan rumah dan merusak apa yang ada.

Berdasarkan perhitungan forum, kerusakan hutan di Taman Nasional Bukit Gadis akibat proyek panas ini lebih 96,2 hektar. Kondisi ini, makin mengancam hutan konservasi ini. Apalagi, selama ini perusakan hutan sudah terjadi di TNBG karena pertambangan emas, baik tambang tradisional maupun PT Sorikmas Mining.

Rani Djandam, Manager Sustainability Sorik Marapi, menyatakan, belum menerima langsung surat dari Pemerintah Mandailing Natal.

Menurut dia, pengerjaan proyek itu tak berdampak buruk bagi lingkungan. Tidak ada kerusakan lingkungan, karena mereka sudah melakukan sesuai prosedur, seperti kegiatan survei atau eksplorasi sesuai dokumen upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL)/upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL).

Dia mengatakan, sejak triwulan IV 2011, kajian dampak lingkungan maupun dampak sosial dari eksplorasi dan mitigasi risiko, telah selesai. Atas dasar itulah mengapa perusahaan

memperoleh izin lingkungan dari Bupati Mandailing Natal.

“Kita terus memantau dan menyerahkan laporan kegiatan kepada Badan Lingkungan Hidup.”

Mereka juga telah menyusun Amdal, di samping kajian rona awal hidrologi permukaan dan ekologi air tawar.

“Itu sudah dilakukan. Perusahaan telah menjalankan semua aturan. Ini akan kami diskusikan lagi, termasuk dengan pemerintah pusat.”

Pemerintah Mandailing Natal,  menerbitkan IUP untuk Sorik Merapi, 2 September 2010. Sesuai Peraturan Presiden No. 4 tanggal 8 Januari 2010, OTP Geothermal dapat melakukan eksplorasi dan pengembangan energi panas bumi hingga 240MW.

 

 


Buah Desakan Warga, Izin Geothermal Sorik Marapi Dicabut was first posted on December 13, 2014 at 9:56 pm.

Kala Tailing Freeport Rusak Ekosistem Mangrove

$
0
0
Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. Foto: Yoga Pribadi

Salah satu daratan yang terjadi karena endapan tailing di perairan Timika. Foto: Yoga Pribadi

Yoga Pribadi, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Timika, memperlihatkan foto mirip setu.  “Tidak, tidak…ini tempat penampungan tailing Freeport. Ini tembok bendung area timur,” katanya.

Yoga memotret saat dari pesawat kala ke Jakarta beberapa waktu lalu ketika hendak mendarat di bandara Timika. Di foto itu, Kota Mimika–pusat kota di Timika–terlihat kecil, lebih rendah dari tembok penangkal tailing.

Penampungan tailing itu dikenal dengan nama ModADA (Modelling Ajkwa Deposition Area) dengan luas 230 hektar. Jarak dari pesisir pantai mencapai 120 kilometer. Jika produksi Freeport normal, tailing yang mengendap di ModADA mencapai 230.000 ton per hari. Endapan-endapan inilah yang penuh lalu terbawa aliran hujan, hingga merembes ke Sungai Ajkwa.

Ajkwa adalah sungai besar dengan puluhan anak sungai. Lebar mencapai 200 meter. Sungai ini menjadi perlintasan antar kampung. Namun, limbah tailing Freeport terbawa arus ke sungai, Ajkwa seperti menciut. Di dekat muara, jika air laut surut Ajkwa menjadi seperti kali kecil, lebar hanya lima meter.

Sisi-sisi sungai telah ditumbuhi beberapa tanaman bakau. Tailing yang mengendap membuat daratan baru. “Secara kasat mata, ada penambahan daratan dan menambah tanaman bakau. Ekosistem air terganggu. Paling utama akses masyarakat terganggu,” kata Yoga.

Senada diungkap Hariyadi Nugroho, staf Dinas Kelautan dan Perikanan Timika. “Kami sudah bertemu dengan Freeport terkait pembuangan tailing 2003. Hingga sekarang tak ada solusi.”

Selain sisa buangan itu mengganggu ekosistem, tujuh kampung di pesisir menjadi terganggu. Masyarakat sehari-hari hanya mencari ikan dan kebutuhan hidup di pinggiran hutan bakau, harus keluar ke garis pantai lebih jauh.

ModADA, kolam endapan tailing Freeport yang saat ini sudah lebih tinggi dari Kota Mimika. Foto: Yoga Pribadi

ModADA, kolam endapan tailing Freeport yang saat ini sudah lebih tinggi dari Kota Mimika. Foto: Yoga Pribadi

Jika menghitung, pendangkalan dari Sungai Ajkwa hingga muara, bisa mencapai ratusan hektar. “Kami belum pernah menghitung pasti. Namun, untuk muara mencapai 100 hektar,” katanya.

“Kemudian saat keluar di laut, tailing halus seperti tepung itu, terbawa aliran aliran menuju arah timur. Itu tak terhitung daya jangkaunya.”

Ancaman

Tailing Freeport menjadi ancaman serius, pembangunan dan perkembangan wilayah. Pemerintah Timika sejak 2013, menetapkan wilayah pesisir Kota Mimika menjadi kawasan industri seluas 600 hektar. Pembangunan pelabuhan dan gudang-gudang industri akan berdiri.

Saat ini, pembukaan lahan untuk pembuatan jalan mulai berjalan. Padahal, sejak beberapa tahun lalu, kawasan pesisir Timika dengan panjang 360 km atau 270.000 hektar dinyatakan sebagai hutan lindung.

Hutan bakau Timika, salah satu kawasan ekosistem mangrove terbaik di dunia. Bahkan dinyatakan hutan dengan spesies bakau terlengkap, sampai 43 jenis.

Hutan bakau ini menjadi sabuk alami terbaik melindungi daratan, dari badai dan gelombang. “Bisa dibayangkan jika tak ada bakau. Apa yang akan melindungi daratan dari gelombang dengan pasang tertinggi mencapai 3,6 meter?” kata Hariayadi.

Menurut dia, membangun kawasan pesisir perlu kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi. Segala bentuk risiko dan kemungkinan, katanya,  harus diperhitungkan matang. “Bukan seperti sekarang. Pembangunan mulai, padahal rekomendasi dari Kementerian Kehutanan untuk mengelola kawasan hutan lindung belum keluar.”

Mongabay mengirim surat elektronik kepada Freeport untuk mengkonfirmasi mengenai tailing ini, tetapi sampai berita diturunkan belum ada jawaban.

Hutan bakau di pesisir Timika, masih rimbun. Namun, sebagian sudah rusak, hingga kini nelayanpun mesti menangkap ikan lebih jauh. Foto: Yoga Pribadi

Hutan bakau di pesisir Timika, masih rimbun. Namun, sebagian sudah rusak, hingga kini nelayanpun mesti menangkap ikan lebih jauh. Foto: Yoga Pribadi

Belajar dari kerusakan di Sulsel

Kamis (27/11/14), di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Marusu, Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, delapan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Timika, berjalan di antara lumpur. Menggunakan sepatu khusus dan menerobos semak bakau.

Selama beberapa jam, mereka didampingi tim dari lembaga Mangrove Action Project (MAP) Indonesia. Mereka mendata jenis-jenis bakau, mengukur elepasi air dan belajar hidrologi air. Project Director MAP Indonesia, Ratnawaty Fadilah mengatakan, Kuri Caddi menjadi tempat belajar efektif bagi pemerhati ekosistem mangrove. “Disini kita akan melihat bagaimana dampak lingkungan jika tak ada bakau, suasana gersang, hingga abrasi.”

Tahun 1980-1990-an ekspansi tambak menjadi begitu besar di Sulsel. Perusahaan-perusahaan besar membuka hutan bakau dengan sekejab menjadi petakan empang. Sisa-sisa kejayaan tambak masih terlihat di Dusun Kuri Caddi. Petakan empang luas, gudang sudah ditinggalkan, hingga tembok-tembok pembibitan benih ikan. ”Setelah masa kejayaan itu berlalu, perusahaan meninggalkan tempat, dan menyisahkan lahan gersang tanpa bakau lagi,” kata Ratnawaty.

Kawasan pertambakan tak produktif inilah yang menjadi tempat belajar menanam dan mengembalikan ekosistem mangrove. Menurut dia, menanam bakau tidak dengan metode seadanya, tidak menancapkan bibit di sembarang tempat. Melainkan, melihat kondisi air dan hidrologi. “Bakau tumbuh alami. Tanaman ini tahu dimana tempat tepat tumbuh, hidrologi air harus benar-benar diperhatikan,” katanya.

Ratnawaty menunjukkan pada saya, bagaimana mereka membobol pematang agar sirkulasi air terganti. “Coba lihat sudah ada beberapa bibit yang tumbuh. Kami tak menanam melainkan disebar. Airlah yang menentukan, jadi akan tumbuh alamiah.”

Di tempat sama Yoga berdiri dengan pandangan tak tenang. Dia memperhatikan bagaimana ekspansi tambak merusak ekosistem mangrove. “Inilah jawabannya. Mengapa kami belajar. Makassar pada masa lalu kawasan yang memiliki ekosistem mangrove baik, namun rusak. Tentu di Mimika kami tak ingin itu terjadi.”

Belajar bersama di kawasan rehabiilitasi mangrove di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto

Belajar bersama di kawasan rehabiilitasi mangrove di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulsel. Foto: Eko Rusdianto

Tempat belajar pemulihan ekosistem mangrove di Maros, Sulsel. Yoga Pribadipun belajar ke sini, dengan harapan bisa membantu agar mangrove di Timika, tak makin hancur. Foto: Eko Rusdianto

Tempat belajar pemulihan ekosistem mangrove di Maros, Sulsel. Yoga Pribadipun belajar ke sini, dengan harapan bisa membantu agar mangrove di Timika, tak makin hancur. Foto: Eko Rusdianto

Belajar  rehabilitasi mangrove di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Maros, Sulsel. Ekosistem mangrove di kawasan ini sempat rusak karena tambak skala besar, hingga upaya diperbaiki kembali. Foto: Eko Rusdianto

Belajar rehabilitasi mangrove di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Maros, Sulsel. Ekosistem mangrove di kawasan ini sempat rusak karena tambak skala besar, hingga upaya diperbaiki kembali. Foto: Eko Rusdianto

 

 


Kala Tailing Freeport Rusak Ekosistem Mangrove was first posted on December 14, 2014 at 9:21 am.

Opini: Antara Proper dan Instrumen Penataan

$
0
0

Porong dan sekitarnya, kini tinggal kerak lumpur, akibat kesalahan teknologi pengeboran Lapindo Brantas. Pada 2008 dan 2012, salah satu unit Lapindo Brantas, mendapatkan Proper hijau dari Kementerian Lingkungan Hidup. Tak pelak, kementerian ini langsung mendapat protes dari berbagai kalangan. Foto: Aji Wihardandi

Pada 2 Desember 2014,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengumumkan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) periode 2013-2014. Dalam masa ini, 1.908 perusahaan mengikuti mekanisme penaatan berbasis sukarela. Capaiannya, predikat hitam ada 21 perusahaan, merah  (516), biru (1.224), hijau (121) dan emas (9).

Di tengah pemberian Proper kepada perusahaan ini, tidak sedikit isu berkembang. Ada yang menyatakan, Proper melenceng dari penaatan dan tidak lagi obyektif sebagai instrumen penilaian dalam skema penegakan hukum lingkungan.

Instrumen penaatan

Penegakan hukum lingkungan merupakan bagian sangat penting dalam menciptakan penaatan (compliance) hukum lingkungan. Namun, penciptaan penaatan melalui penegakan hukum, atau sering disebut pendekatan command and control (CAC—atur dan awasi), seringkali dikritik karena berbagai alasan. Pertama, CAC dianggap mendasarkan diri pada pandangan, perilaku anti-lingkungan dapat dilawan dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan ini bertentangan dengan sifat egoisme manusia yang selalu mencari tindakan menguntungkan diri. Hingga ketika dihadapkan peraturan perundang-undangan manusia seringkali diam-diam melakukan pelanggaran.

Kedua, CAC dianggap bersifat top-down dan instruktif, yang memposisikan masyarakat melaksanakan yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan menurut interpretasi dari pemerintah an sich. Karena itulah, dalam CAC masyarakat dan industri tidak didorong atau diberikan insentif berperilaku ramah lingkungan. Ketiga, CAC bersifat kaku dan birokratis dalam bentuk aturan dibuat secara rinci dan detail, dimulai dari UU sampai pada tingkat petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Kekakuan ini, misal, berakibat pada teknologi dan sistem pengelolaan lingkungan tak berkembang.

Sisi lain, kekakuan CAC juga mengakibatkan pendekatan ini sangat birokratis, hingga pejabat seringkali bertindak lebih demi kepentingan birokrasi ketimbang demi perbaikan kondisi lingkungan. Demi mengatasi persoalan dalam pendekatan CAC, para ahli memikirkan untuk mengembangkan pendekatan alternatif yang mampu memberikan insentif dan disinsentif bagi masyarakat. Artinya, hukum memberikan insentif bagi penaatan, dan disinsentif bagi ketidaktaatan. Sebenarnya, bisa  lewat Proper, sebagai instrumen penaatan.

Dalam praktik, Proper malah berfungsi sebagai instrumen penaatan sukarela perusahaan dan memberikan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pada momentum ini,  Proper sebagai instrumen alternatif perusahaan saat akan menunjukkan ketaatan lingkungan. Kala perusahaan tidak ramah lingkungan, akan menghindari instrumen ini. Suatu kondisi sangat bertentangan dengan semangat awal Proper yang diharapkan bisa menjadi instrumen pemicu ketaatan dalam mewujudkan pengelolaan perusahaan ramah lingkungan.

Regenerasi instrumen ekonomi

Berbeda dari pendekatan atur dan awasi, dengan penggunaan instrumen pendekatan ekonomi, penaatan sukarela bisa dianggap sebagai upaya penerapan hukum refleksif ke kebijakan lingkungan. Perspektif ini terlihat, hukum refleksif merupakan upaya membuat hukum menjadi lembaga yang mampu mendorong proses evaluasi diri dalam penurunan dampak lingkungan. Dalam konteks ini, penaatan sukarela– merupakan penerapan hukum refleksif –diharapkan mampu mendorong setiap orang mengevaluasi, menguji, dan mengkaji ulang perilaku selama ini. Apakah memberikan manfaat bagi lingkungan hidup, atau menimbulkan kerusakan.

Dalam diskursus penegakan hukum administrasi,  penerapan hukum refleksif ini momentum menandai awal pola kebijakan lingkungan generasi ketiga. Ini tahapan lanjutan dari kebijakan lingkungan generasi pertama yang ditandai pemberlakuan instrumen CAC secara ekstensif. Sedang kebijakan generasi kedua ditandai pemberlakuan instrumen ekonomi,  semacam pajak lingkungan. Pada generasi ketiga, kebijakan lingkungan refleksif ditandai,  pemberlakuan kebijakan sukarela terkait informasi, audit lingkungan, dan sistem pengelolaan lingkungan.

Eksistensi Proper sebagai sebuah instrumen berbasis generasi ketiga seharusnya diikuti dengan insentif yang diberikan kepada perusahaan peringkat emas, hijau dan biru. Misal,  berupa kemudahan izin dan pengurangan pajak. Keadaan ini memicu peningkatan keikutsertaan peserta Proper dengan asumsi semua rangkaian kegiatan transparan dan obyektif.

Penegakan hukum versus Proper

Selain permasalahan obyektivitas dari Proper itu, tindaklanjut perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam menjadi bertentangan dengan norma wajib dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konsep Proper, kategori merah terjadi saat pengelolaan lingkungan belum sesuai persyaratan. Sedangkan hitam, paling rendah, terjadi pada saat usaha atau kegiatan sengaja atau lalai  hingga mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran aturan.

Secara konseptual, kedua definisi ini bentuk pelanggaran hukum yang dilegalkan. Ini secara jelas memberikan insentif bagi perusahaan yang tak taat pada penerapan aturan dan penegakan hukum lingkungan. Nyata terlihat, sanksi hanya sebatas tak ikut serta pada Proper tahun depa. Ini menjadi alas bagi penegakan hukum.

Eksistensi Proper hendaknya campuran antara program sukarela dan penaatan wajib. Sukarela Proper dalam konteks terlihat dari proses penetapan peserta, yang saat ini lebih banyak pada iimbauan agar value added. Penaatan wajib Proper ditempatkan pada konteks setiap orang/pelaku usaha wajib menaati peraturan lingkungan hidup. Dalam arti, peserta yang terbukti scientific evidence berperingkat merah atau hitam, maka pemerintah sebenarnya telah menemukan pelanggaran hukum. Hingga pemerintah bisa langsung menggunakan instrumen Proper sebagai alas penegakan hukum administrasi secara langsung.

* Penulis adalah Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia dan pengajar Hukum Lingkungan Universitas Tarumangara


Opini: Antara Proper dan Instrumen Penataan was first posted on December 15, 2014 at 10:10 am.

Alamak!!! Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Menggila

$
0
0

Inilah nasib Pulau Bangka di Sulut yang terjarah tambang. Warga sudah menang gugatan sampai MA tetapi tambang jalan terus. Beranikah pemerintah menegakkan hukum? Foto: Save Bangka Island

ICW dan beberapa organisasi masyarakat sipil melaporkan kasus dugaan korupsi sumber daya alam di beberapa daerah ini ke KPK.

Indonesia Corruption Watch bersama beberapa organisasi lingkungan hidup mengungkapkan indikasi korupsi sektor pengelolaan sumber daya alam dari investigasi enam daerah yakni Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, NTT, Sulawesi Utara dan Jawa Timur. Temuan dari beberapa kasus terindikasi korupsi pada sektor tata kelola hutan dan lahan ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp201,82 triliun.

“Ada pengeluaran izin land clearing terhadap perusahaan di kawasan ekosistem Leuser di Aceh Tamiang. Akibat izin negara rugi Rp58,7 miliar. Ini hasil perkiraan. Hitungan bersama ICW melalui tegakan kayu hilang. Kasusnya sudah kontruksi, kita laporkan ke KPK,” kata aktivis HaKa, Bagus dalam konferensi pers di Jakarta, pekan lalu.

Dia enggan menyebut perusahaan itu, tetapi menyertakan nama itu dalam laporan ke KPK. Pemberi izin di lahan seluas 1.470 hektar pejabat Gubernur Aceh tahun 2012. “Kita menginvestigasi dalam enam bulan.”

Rully Darmadi, aktivis Jatam Kaltim mengatakan, indikasi korupsi di pertambangan Berau. Salah satu, perusahaan batubara, PT Kaltim Jaya Bara. Perusahaan itu sudah eksploitasi selama tujuh tahun tetapi belum memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Kerugian negara Rp241,04 miliar.

“Kabupaten ini terkespos di media masalah sumber daya laut, tetapi Berau punya tambang sangat bagus. Pengelolaan bermasalah, salah satu perambahan kawasan hutan untuk pertambangan.”

IUP yang dikeluarkan Bupati Berau karena  tak berizin berarti perusahaan tidak membayar pajak. Dia berharap, kasus korupsi ini bisa jadi agenda pemerintah pusat. Sebab, kerugian negara lebih besar dibandingkan korupsi pengadaan barang dan jasa. Korupsi sektor SDA kurang mendapatkan perhatian.

Aktivis Malang Corruption Watch, Akmal Adi Cahya juga bicara. Dia mengatakan, indikasi korupsi dalam pertambangan pasir besi diperkirakan merugikan negara Rp600 miliar.

“Di Jatim, banyak pertambangan terindikasi masalah. Di Malang terlihat jelas. Modus sama. Hutan jadi pertambangan tanpa izin pinjam pakai kawasan. Tambang pasir besi berdiri di hutan lindung,” katanya.

Pertambangan ini menggunakan alat berat. Padahal, dokumen yang mereka peroleh izin pertambangan rakyat. Seharusnya,  tak boleh memakai alat berat. Salah satu pemegang izin pertambangan adalah anggota DPR. Akmal enggan menyebut nama.

Kerugian negara lain dari pengusahaan teh di kawasan hutan lindung Bukit Dingin, Kota Pagar Alam, Sumsel. Negara rugi Rp36,6 miliar. Selain itu pengusahaan perkebunan sawit di Suaka Marga Satwa Dangku, Musi Banyuasin-Sumsel merugikan negara Rp118,32 miliar. Kasus lain, pengusahaan tambang mangan di Manggarai-NTT merugikan negara Rp11,14 miliar.

“Ada beberapa perusahaan, poin kami tidak ingin menuduh menyebut satu. Kami hanya ingin menegaskan, ada keterlibatan partai politik dari pertambangan di sana.  Coba check kader-kader partai di daerah. Apakah menaati peraturan  dengan benarhingga bisa menjaga citra penyelenggara. Penambangan ini tidak hanya perusahaan. Bisa jadi korporasi, bisa perorangan yang punya kuasa. Izin menggunakan pertambangan rakyat,” kata Akmal.

Tama S Langkun dari ICW mengatakan, kasus lama yang diungkap pertambangan Pulau Bangka. Jika dibiarkan, dalam 20 tahun kerugian negara dari pertambangan itu bisa Rp200,75 triliun.

“ Izin di Bangka ditandatangani Jero Wacik. Ini jadi catatan penting akhir jabatan dia jadi tersangka. Izin keluar di masa moratorium. Ini seperti ada kesepakatan. Gubernur seolah diam, merasa investasi menguntungkan.”

“Jokowi sibuk dengan mafia migas. Tetapi korupsi pengelolaan SDA luput dari perhatian.Pemerintah melihat ini kurang seksi. Beda dengan Century. Padahal kerugian sangat besar.”

Modus korupsi di pengelolaan SDA antara lain, dengan merambah hutan baik ilegal, penebangan di kawasan konservasi, memanipulasi perizinan, sampai tidak membayar dana reklamasi. Juga menggunakan broker untuk mengurus perizinan, menggunakan proteksi (back-up) dari oknum penegak hukum serta memanfaatkan posisi sebagai penyelenggara negara untuk perusahaan pribadi.

“Kami menuntut pemerintah review perizinan yang berhubungan dengan SDA di enam wilayah temuan kami. Juga mencabut izin korporasi yang kami temukan bermasalah.”

ICW juga mendesak Presiden menyiapkan strategi melawan mafia SDA. Penegak hukum harus fokus mengejar mafia SDA dan memastikan tidak ada oknum yang memberikan proteksi kepada pencuri SDA.


Alamak!!! Korupsi Sektor Sumber Daya Alam Menggila was first posted on December 15, 2014 at 7:07 pm.

Mengelola Lahan Gambut dengan Beradaptasi Bukan Merekayasa

$
0
0
Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, kala Presiden Joko Widodo, datang ke Desa Sungai Tohor, Riau, akhir November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal.  Foto: Indra Nugraha

Abdul Manan, memperbaiki sekat kanal, kala Presiden Joko Widodo, datang ke Desa Sungai Tohor, Riau, akhir November 2014. Warga berupaya menahan air agar tak lepas dengan membuat sekat-sekat di kanal. Foto: Indra Nugraha

Pada 28 Oktober 2014, Abdul Manan,  warga Desa Tohor, membuat petisi mengajak Presiden Joko Widodo, blusukan ke Riau. Tepatnya ke Desa Tohor, Kabupaten Meranti. Buat apa? Buat melihat langsung kondisi masyarakat, kebun masyarakat sekaligus kebakaran lahan gambut sejak perusahaan masuk ke sana. Petisi di Change.org ini, mendapat banyak perhatian. Hampir 28 ribu penandatangan, dalam waktu kurang sebulan.

Gayung bersambut. Belum sebulan, pada 27 November 2014, Jokowi bersama rombonganpun datang ke Desa Tohor. Manan begitu bahagia dan terharu. Jokowi berjanji melindungi gambut, dan mengapresiasi praktik-praktik perkebunan warga dalam mengelola lahan gambut.

Namun, di pulau itu tak hanya kebun warga, sudah ada perusahaan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berjanji mengevaluasi dan mencabut izin HTI akasia, PT Lestari Unggul Makmur.

Setelah itu, bagaimana pengelolaan lahan gambut ke depan?  Dr Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana dan Ahli Gambut Universitas Riau, angkat bicara.

Dia mengatakan, perlu perspektif baru dalam pengelolaan gambut.  “Karena perspektif lama tak cukup berikan solusi pada problem kebakaran,” katanya, dalam diskusi yang dimoderatori Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, di Jakarta, pekan lalu.

Ke depan, katanya, bagaimana mengelola lahan gambut dengan mengembalikan kepada karakteristik semula, yakni gambut basah. “Jadi kita yang beradaptasi. Bukan kita merekayasa, atau  mengubah karakteristik asli (gambut). Gitu.”

Haris mengatakan, kata kunci gambut itu basah (peat swamp), maka pendekatan pembangunan ke sana, bukan merekaya atau mengubah. “Harus pertahankan nomenklatur ini. Karena danau-danau besar terancam jika sekeliling udah dibolong-bolongin dengan kanal.”

Terlebih Riau, katanya, tak ada gunung hingga sumber air hanya ada di lahan gambut. Ia menghidupi kala musim kemarau dan menyimpan air saat musim hujan. “Ini kontrol alam yang luar biasa, yang tak jadi bagian integral dalam pembangunan. Hingga semua diubah. Kalo diubah, ini sistem yang sangat rapuh. Kalo salah, akan berhadapan kebakaran dan penurunan tanah. Dua fenomena itu karena kanal. Gambut berair malah dibuat parit-parit. Jadi kering. Rawan, mudah terbakar.”

Tak hanya itu, katanya, menjaga gambut penting karena pelepasan emisi karbon dari lahan ini sangat besar.

Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, ucap Haris, dalam 17 tahun belakangan, terus menimbulkan kebakaran hutan dan lahan. “Ini menjadi sinyal kuat ada yang keliru. Kita harus mulai dengan sesuatu yang lain.”

Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah, sejak September 2014. Kebakaran menyebabkan, asap tebal menyelimuti daerah ini hingga berbagai aktivitas terganggu. Foto: Zenzi Suhadi/Walhi

Dia mencontohkan, kondisi di Riau, dalam tahun 2014 saja, kerugian kebakaran hutan dan gambut, dengan perhitungan kasar lebih Rp15 triliun. Dengan 2.398 hektar Cagar Alam Biosfer terbakar, 21.914 hektar lahan dilalap api, 58 ribu orang terkena ISPA, sekolah libur seminggu dan biaya pengendalian lebih Rp150 miliar.  “Apalah artinya keuntungan sekian triliun, kalau dihitung kerugian gak imbang. Antara gain economic dengan loss economic gak imbang. Kerugian besar sekali.”

Dia mengatakan, dengan pengelolaan lahan gambut kembali ke gambut basah, walaupun tidak instan menghasilkan ekonomi besar tetapi berkelanjutan.  “Selalu didengung-dengungkan ada tiga benefit (kelola hutan dan lahan),  seimbangkan ekonomi, sosial dan lingkungan. Tapi itu kan enak di meja, di lapangan…Mana? Jauhlah…Jadi memang kita harus bangun sesuatu yang baru,” ucap Haris.

Dengan kehadiran presiden, katanya, memberikan harapan dan ketulusan hingga mesti ada tindak lanjut yang sejalan.

Gambut tropis di Indonesia, 22, 5 Mha terluas di Asia Tenggara. Riau memiliki 4,04 juta hektar lahan gambut terluas di Sumatera, dan gambut terdalam tropis di dunia terletak di pantai timur. “Ini riskan kala bicara perubahan iklim. Kalau tak ubah pola lama akan jadi danau-danau besar yang akan menenggelamkan pulau….”

Lanjutkan moratorium

Martua Sirait dari Dewan Kehutanan Nasional menyoroti, pemberian izin-izin pada perusahaan besar tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan sangat membahayakan.

Dia mencontohkan, Riau, dengan hutan dan lahan gambut yang dipenuhi perizinan. Begitu juga Pulau Aru, sebanyak dua per tiga pulau-pulau kecil itu disuguhkan kepada izin skala besar. “Ini rentan buat ekosistem. Diberikan izin tebu, Kemenhut janji mau dicabut tapi belum dicabut,” katanya.

residen Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Selama ini, pola pembangunan Indonesia, seakan dengan semangat land grabbing (state land lord) atau janji-janji kepada swasta, untuk melepaskan lahan menjadi usaha-usaha skala besar. “Ini berakibat buruk bagi lingkungan, kemiskinan dan konflik.”

Di negeri ini, ada 30 ribuan lebih desa, berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Namun, hutan dibagi-bagi kepada 531 konsesi seluas 35,8 juta hektar, sedangkan kepada hutan masyarakat hanya 57 izin,  dengan 20 ribu desa hanya mengelola sekitar 0,32 juta hektar. Tak pelak, konflik terjadi di mana-mana. “Padahal merekalah (warga) yang mengelola lahan-lahan itu sebelumnya.”

Pemberian izin skala besar inipun, katanya, memicu kerusakan hutan. Sayangnya, upaya pemerintah malah gerakan satu miliar pohon.  “Apakah sanggup dengan menanam ini melawan kecepatan konversi hutan? Yang pasti gerakan tanam itu, kita tahulah, seremonial. Ini masalah struktural perencanan dan pola pikir pengelolaan hutan yang keliru. Ini satu langkah rehabilitasi. Betul. Tapi kecepatan tak mungkin selesaikan itu.”

Era lalu, memang sudah ada kebijakan, seperti moratorium izin hutan dan lahan, tetapi masih belum efektif. Moratorium, katanya, selalu dibatasi tahun. “Ini harus ada langkah pembenahan.”

Seharusnya, kata Martua, moratorium itu berbasis capaian. “Capaian apa? Salah satu one map.” One map, katanya,  mempunyai empat dimensi: satu standar, satu eferensi, satu data base, dan satu portal terbuka kepada publik.

“Ini hal paling penting agar kita bisa tahu mana izin-izin itu, kepada siapa dan apa saja di sana? Ini dituntut kepada pemerintah buat buka ini semua. Ini aset-aset publik yang diberikan kepada badan usaha,” ujar dia.

Untuk itu, kata Martua, ada beberapa agenda besar yang harus dilakukan pemerintah saat ini.  Pertama, review perizinan. “Izin-izin dengan rencana tak matang harus direview. Ia bisa jadi pembatasan izin, pengurangan atau pembatalan.”

Dalam kaji ulang izin itu, katanya, perlu melihat apakah perangkat-perangkat izin legal, korupsi atau tidak. Terpenting lagi, harus ada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) guna mengukur batas ambang lingkungan atau alam dalam satu wilayah. “Ini pe er besar untuk terbitkan PP KLHS dan jabarkan sebagai perangkat review perencanaan dan pengelolaan lingkungan dan hutan,” katanya.

Kedua, restitusi hak-hak masyarakat, Ketiga, fasilitasi perluasan wilayah kelola rakyat. “Pengembalian hak tak hanya kembalikan saja, harus bisa memastikan tak rusak.”

Sumber: presentasi Martua Sirait, DKN

Sumber: presentasi Martua Sirait, DKN

Nurdiana Darus, Deputi Teknologi Sistem dan Monitoring BP REDD+ juga berbicara mengenai moratorium. Menurut dia, moratorium ini menjadi alat membenahi dan perencanaan ke depan. “One map, dipakai lintas kementerian dan benahi bagaimana sebaiknya peta untuk agraria, kehutanan, kependudukan dan lain-lain.”

Untuk kebakaran hutan dan lahan, katanya, BP REDD+ menguatkan aspek pencegahan. “Yang diperkuat sistem informasi karhutla. Juga evaluasi konsesi dan pengawasan berjenjang,” ujar dia.

Dalam 2015, BP REDD+ akan mengawal beberapa hal, antara lain memantau audit kepatuhan—sudah dilakukan di Riau–, early warning system rawan kebakaran, intensif fasilitasi dengan memasukkan peta indikatif dalam one map/ “Juga audit kepatuhan lanjut ke Kalsel dan Kalteng.”

Dalam kesempatan itu, San Afri Awang, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, banyak sisi harus dilihat dalam mengambil keputusan. “Pasti Kementerian LHK dengan perspektif lingkungan yang baru akan jaga agar hutan tak rusak. Moratorium diteruskan sampai evaluasi benar. Kita tak mau Kalteng terulang di Papua dan Riau,” katanya. Yang dimaksud Kalteng oleh Awang, adalah proyek gagal pembangunan satu juta hektar sawah di lahan gambut era Soeharto.

Menurut dia, Kementerian LHK dari segi kebijakan akan mendorong upaya perbaikan. “Apakah kita peat swamp, adaptif atau mitigasi? Langkah pertama harus setop perizinan baru, sampai selesai evaluasi.”

Bagaimana agar pengelolaan hutan lestari?  “Jangan over harvesting yang lebih dari daya dukung alam. Yang terjadi saat ini, over cutting melebihi daya dukung. Kalo kerusakan hutan,  ya lakukan replanting,” kata Awang.

Warga menyaksikan hutan alam terbakar pada 25 Oktober 2014 di bagian Riau wilayah Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Foto: Patar


Mengelola Lahan Gambut dengan Beradaptasi Bukan Merekayasa was first posted on December 15, 2014 at 10:23 pm.

Beginilah Perlakuan pada Komunitas Polahi di Gorontalo

$
0
0
Komunitas Polahi, kala diikutsertakan dalam karnaval di Gorontalo yang diadakan pemerintah di sana. Foto: Christopel Paino

Komunitas Polahi, kala diikutsertakan dalam karnaval di Gorontalo yang diadakan pemerintah di sana. Foto: Christopel Paino

Sabtu, (22/11/14), matahari begitu terik. Puluhan orang tak beralas kaki menjadi tontonan warga. Mereka bertelanjang dada. Dedaunan menghiasi kepala mereka yang menyerupai mahkota. Begitu pula celana, dan leher berkalungkan daun hijau. Beberapa memegang tombak.

Mereka adalah warga komunitas Polahi. Hari itu, mereka ikutserta dalam Carnival Danau Limboto 2014. Komunitas Polahi selalu hadir, seperti sebelumnya, seraya membawa spanduk bertuliskan “Suku Terasing (Polahi).”

Parade ini memamerkan budaya dan adat istiadat orang Gorontalo, mulai pakaian khas karawo, makanan, tata cara sunat, pernikahan, tarian, sampai pada tata cara adat dan doa hamil tujuh bulanan. Parade ini diawali di bawah Menara Limboto,  dan berakhir di Sport Centre Limboto. Berjarak sekitar satu kilometer.

Komunitas Polahi mendapat antrian paling belakang. Panas matahari membuat mereka harus berteduh di bawah pohon. Warga banyak menonton mengeluarkan kata-kata bahwa Polahi tidak seperti yang mereka bayangkan. Bagi sebagian masyarakat Gorontalo, ketika mendengar nama Polahi, identik dengan hal-hal berbau mistik.

“Ternyata Polahi tidak tahan panas matahari,” kata seorang warga.

Polahi yang ikut carnival itu tidak hanya laki-laki juga ibu-ibu membawa anak kecil berusia lima tahunan. Mereka tak beralaskan kaki. Sang anak hanya mengenakan kaos kaki hitam tanpa sepatu. Anak itu menangis kehausan. Tak lama, sang ibu memberikan air kemasan. Orang-orang Polahi ini didampingi aparat dari Kecamatan Asparaga, Kabupaten Gorontalo.

“Ini Suku Polahi, suku terasing. Mereka memang berpakaian dari daun seperti ini,” kata seorang ibu, pendamping komunitas Polahi.

Namun, makin lama menunggu arak-arakan berjalan, orang-orang Polahi seperti tak tahan. Matahari makin panas menyengat. Tidak lama, mereka diberi sandal jepit oleh para pendamping.

Komunitas Polahi mencapai finish terakhir di Sport Centre yang disaksikan bupati dan para undangan. Di lokasi ini, mereka banyak dimintai foto oleh warga dan pengunjung. Salah seorang warga Polahi mengulurkan tangan, bermaksud meminta uang.

Komunitas Polahi tahun 1997. Foto dokumen

Komunitas Polahi tahun 1997. Foto dokumen Verrianto M

Rekayasa Komunitas Polahi

Awal 2012, program televisi, Trans TV, Ethnic Runaway edisi 056 tentang komunitas Polahi di Gorontalo, dinilai merekayasa. Pada episode itu, Ethnic Runaway yang membawa dua bintang hiburan, Kris Hatta dan Dea Lestari, ke hutan Boliyohuto bertemu dengan komunitas Polahi.

Program itu yang awalnya bernama “Primitif Runaway” diganti menjadi “Ethnic Runaway” setelah mendapat protes dari banyak kalangan, dianggap banyak melecehkan masyarakat Polahi.

Ketua AJI Kota Gorontalo, Syamsul Huda Muhammad Suhari,  mengatakan, khusus episode Polahi di Gorontalo, selain bahasa tubuh dan penggunaan diksi tidak tepat terhadap komunitas Polahi, kebohongan terbesar mereka melakukan rekayasa. Sebab, orang-orang Polahi sebetulnya sudah memakai pakaian sejak lama, namun di-setting telanjang dan memakai pelepah daun.

“Ini dosa media, merekayasa dan pembohongan. Tindakan seperti ini bisa melukai dan mencederai hak-hak masyarakat Polahi,” katanya.

Dalam kamus bahasa Gorontalo ditulis almarhum Mansoer Pateda, dijelaskan, Polahi asal kata dari Lahi-lahi. Artinya, pelarian, atau sedang dalam pelarian. Polahi adalah pelarian masa Belanda yang takut atau tidak mau membayar pajak. Contoh: To oayuwa donggo da:da:ta Polahi. Artinya: di hutan masih banyak pelarian.

Verrianto Madjowa, peneliti Gorontalo mengatakan, tahun 1997 ketika Gorontalo masih tergabung dengan Sulawesi Utara, dia bertemu komunitas Polahi di hutan Gorontalo. Salah satu foto yang dipamerkan di Gorontalo Mall akhir April 2013, adalah hasil bidikannya.

“Sebenarnya Polahi, tidak ada telanjang, seperti digambarkan media-media selama ini.”

Menurut dia, ada beberapa keturunan Polahi ada yang menikah dengan warga luar komunitas. Beberapa warga Polahi mulai mencari rotan. Sebelumnya, hanya penunjuk lokasi-lokasi di hutan yang ditumbuhi rotan.

Pelecehan

Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan kalau masyarakat Polahi dikatakan suku terasing, itu pelecehan terhadap masyarakat adat.

“Itu pelecehan serius dan melanggar HAM masyarakat adat,” katanya kepada Mongabay.

Untuk penyebutan,  tidak harus mengatakan suku terasing karena bukanlah orang-orang asing. “Biasa saja penyebutannya. Kenapa harus pakai kata terasing. Sebut komunitas Polahi atau masyarakat adat Polahi.”

Sebelumnya, 7 Mei 2013, AMAN sempat melaporkan keberatan atas pemberitaan Kompas.com ke dewan pers. AMAN keberatan atas artikel tentang  Komunitas Adat Polahi di media itu.

Artikel itu sebelumnya berjudul “Suku  Polahi di Gorontalo Ini, Setengah Manusia Setengah Hewan” diganti  menjadi  “Warga Polahi, Terpinggirkan di Hutan Boliyohuto.” Artikel  ini, menurut AMAN sarat diskriminasi terhadap masyarakat adat, dengan menyematkan predikat Suku Polahi sebagai setengah manusia setengah hewan, primitif dan bodoh.

Dalam rekomendasi umum Committee on  Elimination of Racial Discrimination No. 23 tentang masyarakat adat, artikel ini dianggap menyebarkan  kesesatan berpikir kepada masyarakat luas mengenai masyarakat adat secara umum, khusus komunitas Polahi.

Saat finish di hadapan bupati dan para undangan, Polahi akhirnya  memakai sandal dan dikerumuni warga. Polahi menjadi tontonan. Foto: Christopel Paino

Saat finish di hadapan bupati dan para undangan, Polahi akhirnya memakai sandal dan dikerumuni warga. Polahi menjadi tontonan. Foto: Christopel Paino

 


Beginilah Perlakuan pada Komunitas Polahi di Gorontalo was first posted on December 16, 2014 at 3:42 pm.

Kasus Hutan Bogor, KPK Geledah Kementerian LHK

$
0
0
Tim penyidik KPK membawa dokumen-dokumen hasil penggeledahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (16/12/14). Foto: Indra Nugraha

Tim penyidik KPK membawa dokumen-dokumen hasil penggeledahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (16/12/14). Foto: Indra Nugraha

Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di kawasan Senayan Jakarta, Selasa (16/12/14).  Penggeledahan dilakukan guna mengembangkan kasus alihfungsi kawasan hutan lindung di Kabupaten Bogor.

“Penyidikan ini terkait suap rekomendasi tukar menukar kawasan hutan di Kabupaten Bogor. Penyidik menggeledah ruang utama Planologi Kehutanan, lantai tujuh Manggala Wanabakti,” kata Priharsa Nugraha, Direktur Pemberitaan KPK saat dihubungi Mongabay.

Sebelum itu, Bupati Bogor, Rachmat Yasin ditangkap 7 Mei 2014, dan sudah vonis 5,6 tahun. Dia terbukti menerima suap tukar guling kawasan hutan seluas 2.754 hektar. Berlanjut, Presiden Direktur PT Sentul City, Kwee Cahyadi Kumala (KCK) menjadi tersangka alihfungsi hutan lindung di Kabupaten Bogor untuk jadi perumahan September lalu.

Tim penyidik KPK datang dari pukul 10  hingga 19.40. Mereka membawa sejumlah dokumen menggunakan dua koper besar berwarna hijau, satu boks kontainer, dan sebuah tas ukuran sedang berwana hitam. Tim penyidik KPK meninggalkan lokasi tepat pukul 19 menggunakan delapan buah mobil. Tak satupun mereka bersedia memberikan keterangan.

“Belum ada tersangka baru. Masih terus pendalaman untuk memperkuat bukti-bukti,” katanya.

KCK menjadi tersangka pengembangan dari alihfungsi hutan lindung di kawasan Bogor melibatkan Bupati Bogor Rachmat Yasin dan staf PT Bukit Jonggol Asri (BJA), Yohan Yap. KCK dan Yohan Yap menyuap bupati guna memuluskan rekomendasi alihfungsi hutan lindung. Yohan memberikan suap Rp4,5 miliar kepada Rachmat.

Eka Sugiri, Kepala Pusat Humas KLHK mengatakan, KPK menggeledah ruangan biro umum, ruang menteri dan ruang Dirjen Planologi.

“Informasi yang saya dapat, KPK mencari dokumen dua kasus. Soal kasus Bukit Jonggol Asri Bogor, dan Riau yang melibatkan Annas Mamun. Saya sendiri tak bisa masuk ke sana. Karena ada penjagaan ketat aparat. Saat penggeledahan, bu menteri sedang tak ada di tempat. Beliau ikut Presiden ke Tarakan, Kalimantan Utara. Dirjen dan Sekjen tugas ke Kalimantan Selatan,” katanya.

Zenzi Suhadi dari Walhi Nasional mengatakan, alih fungsi kawasan hutan salah satu pintu transaksi lahan. Ia juga alat legitimasi kejahatan kehutanan terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Skema pelepasan kawasan hutan ini, digandrungi pelaku bisnis karena dianggap murah dan cepat.

“Dirjen Planologi dan Menteri Kehutanan itu kunci alihfungsi atau pelepasan kawasan hutan,” katanya.

Zenzi meminta, pemerintah memperhatikan penanganan kejahatan sektor kehutanan. Pemerintah baru diminta verifikasi dan review SK pelepasan kawasan hutan. Tak hanya di Bogor, juga di provinsi lain.

“Karena pelepasan kawasan banyak diusulkan atas nama kebutuhan rakyat. Padahal untuk pengusaha.”

 


Kasus Hutan Bogor, KPK Geledah Kementerian LHK was first posted on December 17, 2014 at 12:45 am.

Kala Anak-anak jadi Buruh Harian Pemanggul Sawit

$
0
0
Bimo1, siswa kelas 3 SMP di Asahan ini terpaksa membantu  ayah menjadi pengangkut buah sawit. Ekonomi keluarga mereka terbatas, hingga paruh waktu,Bimo bekerja, usai sekolah. Foto: Ayat S Karokaro

Bimo, siswa kelas 3 SMP di Asahan ini terpaksa membantu ayah menjadi pengangkut buah sawit. Ekonomi keluarga mereka terbatas, hingga paruh waktu,Bimo bekerja, usai sekolah. Foto: Ayat S Karokaro

Siang itu, tampak bocah 13 tahun, tengah memanggul bongkahan tandan sawit  segar, di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Keringat mengalir membasahi wajah, tetapi dia terus bekerja.   Namanya Bimo Kencana Arief, siswa SMP di Asahan ini, membantu ayah memanggul TBS, di kebun sawit Desa Urungpane, Sei Silau Timur. Sawit baru dipanen para pekerja, dari PTPN III.

Bimo, menjadi buruh harian lepas, digaji Rp25.000 per hari mengangkut sawit ke truk,  dibawa ke pabrik diolah menjadi minyak kotor (miko).

Bimo  mengatakan, bekerja untuk membantu orangtua membayar biaya sekolah dia dan dua adik. Bimo bekerja usai sekolah, sekitar pukul 15.00 hingga petang.

“Awak udah sejak SMP kelas I bantu ayah. Lumayan, kalau dua truk satu hari dapat Rp50.000. Kalau satu minggu bisa bantu bayar sekolah,” katanya , pekan lalu.

Sang ayah, Sulistyo Sadu (46),  bergegas membantu, kala Bimo hampir terperosok jatuh saat memanggul sawit.  Sulistyo, sebelum ini bekerja di pabrik mentega di Pematang Siantar namun perusahaan bangkrut. Dia bersama keluarga pindah ke Asahan, dan menjadi buruh angkut sawit, baik di PTPN maupun perkebunan lain.

“Tiga tahun lalu ada truk beko buat ngangkut buah sawit. Sekarang udah gak ada. Mungkin jika pakai beko biaya lebih mahal ketimbang pakai tenaga manusia lebih murah,” katanya. Sulistyo berhenti sejenak, menenggak air putih dari botol yang dibawa dari rumah.

Ternyata bukan Bimo yang bekerja. Setidaknya, ada 10 anak menjadi buruh harian lepas memanggul sawit.

Karlo Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan Sawit Watch, kepada Mongabay, menyatakan, perusahaan perkebunan yang mempekerjakan anak-anak, sangat menyalahi aturan.

Kasus seperti ini banyak terjadi, bukan saja di Sumut, juga di Kalimantan, sampai Papua. Masih banyak perusahaan mempekerjakan anak kecil.

Modus perusahaan agar bisa lepas dari jerat hukum dengan melibatkan pihak ketiga atau dikenal dengan middleman. Jadi, jika terjadi sesuatu terhadap pekerja anak-anak, mereka mengelak dan mengatakan tidak ada hubungan kontrak kerja dengan pekerja.

Mempekerjakan anak, menyalahi aturan dibuat RSPO, yang disusun dan disepakati bersama.  PTPN III anggota RSPO.

Sampai saat ini,  belum ada regulasi jelas mengatur pekerja anak. Walaupun ada beberapa aturan tentang spesifikasi beberapa pekerjaan khusus, dan kondisi yang harus diciptakan mampu dilakukan anak, yang tidak menghilangkan hak mereka belajar dan mengembangkan diri.

TBS, setelah dipetik lalu dimasukkan truk untuk diangkut ke pabrik pengolahan. Di sinilah, salah satu titik biasa anak-anak ikut bekerja. Foto: Ayat S Karokaro

TBS, setelah dipetik lalu dimasukkan truk untuk diangkut ke pabrik pengolahan. Di sinilah, salah satu titik biasa anak-anak ikut bekerja. Foto: Ayat S Karokaro

Khusus di perkebunan sawit, buruh diberi target cukup tinggi. Selain memanen juga mengambil gerondolan, mengangkut hingga memotong TBS. Tak jarang, orangtua atau suami melibatkan anak dan istri guna mencapai target.

“Jika benar terbukti, perusahaan harus diberi tindakan tegas RSPO dan kementerian. Ada kelalaian. Sikap pemerintah menargetkan 2020 tidak ada lagi pekerja anak.”

Menurut dia, harus ada kebijakan soal tindakan tegas bagi perusahaan, yang melanggar aturan buruh anak bawah umur. Pemerintah harus menjalankan fungsi kontrol pada perusahaan.

Sampai kini, buruh perkebunan sawit mencapai 6-7 juta  orang di Indonesia, dengan luasan 11,5 juta hektar. Perhitungan kasar satu orang mengerjakan dua hektar, 46% petani plasma dan mandiri, selebihnya perusahaan besar. Bisa dibayangkan,  berapa banyak perusahaan mempekerjakan anak bawah umur demi mencapai target produksi.

Perhargaan sawit terintegrasi

Kala banyak anak bawah umur jadi buruh harian sawit, Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, menerima penghargaan dari Mendagri, Tjahjo Kumolo, sebagai kepala daerah inovatif 2014 di Jawa Tengah, Kamis (11/12/14).  Gatot dinilai berprestasi menjalankan kebijakan pada industri sawit terintegrasi, dengan peternakan sapi dan energi.

Gatot mengatakan,  Sumut, memang daerah basis perkebunan besar. Dia sengaja mengembangkan industri hilir sawit terintegrasi dengan sapi dan energi terbarukan. Data Dinas Perkebunan, Sumut terdapat 2, 149 hektar perkebunan, 53,8%  kebun sawit.

“Kami berupaya menjadikan perkebunan lokomotif perekonomian Sumut. Caranya, mendorong hilirisasi produk-produk turunan perkebunan, dan mengintegrasikan lahan perkebunan dengan peternakan hingga memberi nilai tambah.”


Kala Anak-anak jadi Buruh Harian Pemanggul Sawit was first posted on December 17, 2014 at 9:19 pm.

Laporan EIA Ungkap Kayu-kayu Ilegal dari Kebun Sawit

$
0
0

Pada 24 Desember 2013 MA, memutuskan PT Hati Prima Agro (HPA), anak usaha Bumitama Gunajaya Agro Group di Kalteng, beroperasi ilegal. Sayangnya, putusan MA tak bergigi karena perusahaan tetap beroperasi. Foto: Save Our Borneo

Environmental Investigation Agency (EIA) mengungkapkan, pembukaan hutan untuk perkebunan sawit mendorong penebangan liar besar-besaran. Studi kasus fokus di Kalimantan Tengah ini menemukan beragam fakta dari pemberian izin korup melibatkan pejabat daerah, hingga polisi menghentikan kasus setelah menerima suap dari perusahaan. Berbagai usaha reformasi hukum sektor kehutanan dan kayu Indonesia pun tak jalan.

“Penebangan kayu liar melalui konsesi sawit tidak terkendali. Peraturan perundang-undangan tentang kayu di Indonesia sangat gagal mengendalikan itu,”  kata Tomasz Johnson, juru kampanye hutan EIA, di Jakarta, Selasa (16/12/14).

Perusahaan sawit yang disebut dalam laporan berjudul Permitting Crime: How Palm Oil Expansion Drives Illegal Logging in Indonesia ini  antara lain PT Nusantara Sawit Persada, PT Flora Nusa Perdana, PT Prasetya Mitra Muda, dan PT Kahayan Agro Plantations. Lalu, PT Suryamas Cipta Perkasa,  PT Sawit Lamandau Raya.

“Investigasi menyingkap beberapa kasus terburuk. Kami menemukan, pemerintah daerah bersekongkol dengan perusahaan mempercepat perizinan. Hasilnya, penebangan hutan tidak teridentifikasi.”

Laporan ini juga mengatakan, hampir semua perkebunan sawit di Indonesia sengaja mengelak dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kebijakan SVLK resmi diterapkan sejak September 2010. Namun tidak membuat penebangan kayu ilegal dari pembukaan lahan sawit berkurang.

“Selama 10 tahun terakhir, pemerintah Indonesia berupaya keras menghentikan illegal logging. Turun 80-90%. Sayangnya, reformasi belum menyentuh perkebunan sawit. Konsesi lahan menjadi sumber utama penebangan kayu ilegal,” ucap Johnson.

Menurut dia, kepatuhan perusahaan sawit terhadap UU terkait penebangan kayu sangat rendah. EIA juga menemukan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam penerbitan izin sawit.

“Selama ini itu dianggap wajar, sering terjadi dalam praktik penebangan hutan. Banyak pasokan pasokan kayu mengalir di pasaran tidak terdaftar dan tidak dapat diawasi.”

Sejak 2000-2010 sebanyak 1,6 juta hektar hutan hilang oleh perluasan sawit atau berkontribusi terhadap 80 juta meter kubik kayu hilang.

“Sayangnya, kita tidak bisa membuka data di Kementerian Kehutanan. Tidak jelas dan kurang data terkait catatan pasokan kayu. Ini sebabnya EIA melakukan investigasi.”

Temuan EIA menunjukkan, perusahaan-perusahaan sawit di Kalteng melanggar perundang-undangan. Tingkat ketidakpatuhan peraturan sangat tinggi hingga membuat  penebangan kayu ilegal makin marak terjadi.

“Kita menduga bupati dan perusahaan bersekongkol agar izin mudah. Misal, ada perusahaan yang tidak menyelesaikan Amdal. Mereka tidak mampu penilaian ekosistem gambut di sana. Tidak berkomunikasi dengan masyarakat terkait konflik tenurial. Dampak sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.”

Dia menilai, bupati mempunyai kewenangan sangat besar dalam pemberian izin. Seringkali izin diberikan begitu saja tanpa ada pengawasan. Perusahaan makin kaya, masyarakat dan lingkungan sengsara.

“Kami fokus investigasi ini di Kabupaten Gunung Mas. Karena di sana hutan masih luas. Sisi lain, Bupati Hambit Bintih banyak sekali mengeluarkan izin. Tahun 2012, empat konsesi keluar kepada tiga pengusaha,” katanya.

Tiga pengusaha dimaksud adalah Cornelis Antun, Elan Gahu dan Edwin Permana. Konsesi diberikan kepada tiga pengusaha ini tidak langsung digunakan mereka menjadi perkebunan sawit. Mereka justru menjual konsesi kepada perusahaan asal Malaysia bernama CB Industrial Product Holding Berhad (CBIP). Keuntungan penjualan konsesi mencapai US$9 juta.

“Kami temukan pimpinan perusahaan yang mendapatkan konsesi, Cornelis tak lain keponakan bupati. Dalam satu tahun, Cornelis dan Hambit bintih ditangkap karena melakukan praktik suap kepada mantan hakim MK Akil  Mochtar.”

Cornelis pendiri dua perusahaan, yakni PT Berkala Maju Bersama (BMB) dan PT Jaya Jadi Utama (JJU). Kedua perusahaan mendapatkan surat arahan pelepasan kawasan hutan dari Hambit. Februari 2012, bersama dua rekan, mereka sepakat menjual saham perusahaan kepada CBIP 94%.

“Harus kami tekankan, dalam proses pemberian izin menyalahi aturan. Tidak ada dokumen Amdal menyertai izin. Mereka ingin cepat memperoleh izin dan menjual konsesi kepada perusahaan. Izin didapat dan mereka langsung penebangan hutan untuk mendapatkan kayu. Ini sarat praktik korupsi.”

Sawit, produk yang jadi andalan pemerintah sebagai penyumbang devisa, tetapi juga pendorong pembabatan hutan besar-besaran. Foto: Musa Abubar

EIA bekerja 15 tahun di Indonesia guna memerangi illegal logging dan mendorong perbaikan tata kelola kehutanan. Setiap tahun EIA mengeluarkan laporan dengan lembaga lain di Indonesia, salah satu Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK).

Wancino, JPIK Kalteng menceritakan perusahaan perkebunan sawit di Gunung Mas, PMM. “Perusahaan beroperasi tanpa Amdal, izin lingkungan dan izin pemanfaatan kayu. Mereka membuka kawasan hutan primer. Banyak keragaman hayati seperti orangutan, elang jawa, trenggiling dan spesies lain yang dilindungi,” ujar dia.

Dia mengatakan, banyak kayu-kayu hasil tebangan di dalam sungai kecil. Lokasi tersembunyi. Mereka menggunakan truk kecil mengangkut kayu.

“Ketika kami menanyakan ini kepada dinas terkait, mereka sulit memberikan akses data. Kami menyampaikan surat kepada bupati, mereka tertutup. Menyembunyikan data perusahaan. Di wilayah itu ada konflik tenurial. Masyarakat mempertahankan hutan.”

Begitu juga NSP. Dalam laporan tertulis, perusahaan melanggar aturan. Tahun 2010, perusahaan memperoleh izin Bupati Kotawaringin Timur bersama perusahaan, yakni PT Borneo Sawit Persada (BSP). Izin diperoleh hanya waktu dua hari dengan luas lebih 35.000 hektar. Izin ilegal karena tanpa disertai dokumenAmdal. Kasus berlanjut hingga pengadilan pada 2014.

Johanes Jenito, dari JPIK Kalteng memaparkan temuan di PT Kahayan Agro Plantations, di Gunung Mas ini beroperasi tanpa Amdal. Izin keluar 2011, dengan luas konsesi 17.500 hektar.

“Perusahaan menebang banyak kayu dari hutan alam primer. Izin diberikan bupati Hambit. IPK 57.000 lebih meter kubik. Kalau dinominalkan, tegakan kayu setidaknya US$50-100 juta.”

Dia mengatakan, perusahaan menipu masyarakat yang memiliki wilayah kelola itu dan diintimidasi. “SVLK belum menyentuh kayu yang bersumber dari lahan hasil konversi,” kata Mardi Minangsari, juga JPIK.

Sejauh ini, fokus SVLK pada konsesi HPH, HTI dan industri kayu. Padahal, sumber kayu lain dari konversi hutan untuk kebun sawit atau kayu IPK sampai saat ini belum tersentuh.

“Ekspansi sawit terutama di Kalteng mendorong penebangan hutan ilegal massif. Permasalahan tata kelola buruk, penegakan hukum lemah, dan korupsi.”

Ada lagi FNP di Gunung Mas. Izin lokasi perusahaan 2006 dan IUP 2007. Luas konsesi 10.000 hektar. Analisis data satelit EIA menunjukkan, 85% wilayah tutupan hutan. Pemerintah Kalteng tidak memiliki catatan perusahaan ini memiliki izin lingkungan maupun IPK.

Tahun 2013, Kementerian Kehutanan memberikan konfirmasi, proses pelepasan kawasan hutan masih tahap aplikasi. Namun, 2007, perusahaan sudah membuka lahan seluas 4.500 hektar. Saat ini, wilayah banyak ditanami sawit, penebangan kayu berlangsung. Kasus sampai ke pengadilan, saat tokoh adat melaporkan perusahaan ke kepolisian.

“Investasi di Indonesia banyak sekali modal politik, upaya-upaya memastikan kepatuhan atau perbaikan dalam sektor kayu dan kehutanan. Peraturan-peraturan ini sudah dilaksanakan di perusahaan-perusahaan perkayuan yang melakukan penebangan kayu selektif. Namun, sampai kini belum menyentuh kayu dari konversi hutan. Ini praktik paling merusak,”  kata Jago Wadley, juru kampanye hutan senior EIA.

Kayu hasil konversi diatur dalam IPK. Meskipun kayu IPK masuk cakupan SVLK, dalam kenyataan hanya sebagian kecil pemegang IPK berverifikasi SVLK. Selebihnya, mengelak kewajiban mengikuti SVLK.

“IPK bisa kepada perkebunan sawit, juga pertambangan. Kami memfokuskan investigasi ini pada sawit karena ekspansi sangat pesat. Ini ancaman terbesar SVLK. Sementara peraturan pemerintah untuk mengatasi penebangan liar dan kayu ilegal belum maksimal,” kata Wadley.

Salah satu tujuan EIA  membuat laporan untuk membantu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pihak lain menegakkan SVLK.

Penegakan hukum sangat lemah. Salah satu, terlihat dalam kasus PT Sawit Lamandau Raya. EIA dan JPIK mendapatkan bukti, perusahaan mengirimkan memo internal kepada kantor pusat di Jakarta. Memo berisi permintaan uang Rp 400 juta agar Polres Lamandau menghentikan penyidikan kasus. ”Kita lihat bentuk kejahatan. Perkebunan sawit ilegal tentu menghasilkan kayu ilegal.”

Dia berharap, dengan perbaikan sistem bisa memungkinkan indikator untuk melihat apakah terjadi korupsi dalam proses izin perkebunan sawit. “Ini kesempatan bagus bagi semua pihak karena ada sistem diperbaiki, kita harus memastikan penegakan hukum.”

Kementerian KLH perlu segera memerintahkan audit legalitas wajib terhadap semua kegiatan penebangan kayu perkebunan sawit. “Juga harus mencabut izin perusahaan jika menolak.”

Kementerian LHK harus memastikan, pembukaan lahan dihentikan di wilayah konsesi yang ditemukan tidak mematuhi SVLK dan menyita kayu serta tindakan hukum.

“EIA juga meminta ada satuan tugas memeriksa dan mengadili kasus korupsi perizinan perkebunan. Dimulai dari perusahaan-perusahaan yang namanya disebut dalam laporan ini. Lalu mendorong pemerintah berhenti mengalokasikan konsesi sawit di kawasan hutan.”


Laporan EIA Ungkap Kayu-kayu Ilegal dari Kebun Sawit was first posted on December 17, 2014 at 10:50 pm.

Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan

$
0
0

Masyarakat adat di Maluku Utara aksi meblokade jalan yang dibuat PT Weda Bay Nickel di lahan adat. Foto: AMAN Maluku Utara

Dalam beberapa kasus yang ditemui, ada indikasi ke pelanggaran HAM berat tetapi masih harus penelitian lebih lanjut.

Setelah Tim Inkuiri Nasional melakukan dengar keterangan umum alias kesaksian sekitar 40-an kasus dari tujuh region, terungkap terjadi begitu banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap masyarakat adat di kawasan hutan negeri ini.

Dalam kesaksian sejak 27 Agustus di Palu, Sulawesi Tengah hingga Jayapura, Papua, pada 28 November 2014,  yang mendatangkan berbagai pihak, dari masyarakat adat, pemerintah dan pengusaha dan aparat keamanan itu, tim komisioner menyatakan, terjadi berbagai pelanggaran HAM, antara lain hak ekonomi, sosial, budaya sampai hak-hak sipil. Bahkan ada kasus-kasus yang terindikasi pelanggaran HAM berat, tetapi harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Sandrayati Moniaga, Ketua Komisioner Inkuiri Nasional mengatakan, pelanggaran HAM banyak terjadi di semua region inkuiri. Hak-hak yang dilanggar, antara lain; hak ekonomi seperti hak mempunyai milik, hak bertempat tinggal dan berkehidupan layak. Lalu hak sosial, yakni hak atas pekerjaan layak. Hak budaya, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi serta melakukan kehidupan budaya.

Paling banyak terlanggar lagi, kata Sandra, adalah hak-hak sipil masyarakat adat, seperti hak hidup; mempertahankan hidup; hidup tenteram, aman, damai, bahagia dan sejahtera; hak perlindungan dari ancaman ketakutan. Lalu, hak tak diganggu tempat kediaman, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perlakuan kejam, hukum yang adil, mendapatkan kepastian hukum, hak melaksanakan kepercayaan, sampai hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik, serta masih banyak lagi.

Dia mengatakan, komisioner menilai, secara umum belum terjadi pelanggaran HAM berat. Karena pelanggaran HAM berat itu ada beberapa indikator, misal ada garis komando.

Dari pemaparan di tujuh region itu,  kata Sandra, memang ada beberapa kasus  yang mempunyai unsur pelanggaran HAM berat, seperti soal pemindahan paksa di beberapa daerah seperti Kalimantan Utara, Sumbawa dan Halmahera. “Di mana masyarakat dipindahkan paksa, dalam arti tak sepenuhnya mau pindah. Tanah pun diklaim kawasan hutan,” katanya dalam inkuiri nasional penutup di Jakarta, Rabu (17/12/14).

Menurut dia, perpindahan penduduk itu menyebabkan, a kind of affliction (penderitaan) tetapi masih harus diteliti lagi. “Indikasi ada tetapi masuk harus didalami. Kalau pelanggaran HAM berat, harus ada faktor perintah, terstruktur yang diwujudkan lewat surat perintah.”

Mengenai tindakan kekerasan yang terjadi di lapangan dan menimbulkan banyak korban, kata Sandra, itu terjadi spontan. Warga adat yang berkonflikpun, masih tinggal di tanah walau tak memiliki hak kelola wilayah adat.  “Jadi, bukan pelanggaran HAM berat. Kalau sistematis dan meluas,  jelas.”

Selama ini, katanya, orang melihat sekadar konflik, dengan inkuiri ini bisa melihat dimensi. “Karena itu kita ungkap, gali pelanggaran HAM untuk memperlihatkan kepada pemerintah bahwa kebijakan-kebijakan mereka itu sebenarnya langsung, maupun tak langsung melanggar hak masyarakat.”

Akar konflik

Dari inkuri ini, tim berhasil memetakan sebab-sebab akar konflik.  Antara lain, pertama, ketidakpastian hukum pengakuan masyarakat adat. Kedua, ketiadaan batas-batas wilayah yang dianggap sebagai wilayah adat. Ketiga, simplikasi keberadaan masyarakat adat dan hak-hak atas wilayah serta sumber daya hutan menjadi masalah administrasi semata. Keempat, perseteruan antara legalitas vs legitimasi, misal antara masyarakat adat vs perusahaan atau pemerintah.

Kelima, perempuan dalama masyarakat adat masih mengalami diskriminasi berlapis. Keenam, sikap pemerintah atau aparat keamanan lebih melindungi kepentingan perusahaan atau pemegang izin daripada masyarakat adat. Ketujuh, ketiadaan lembaga setingkat menteri  dalam penyelesaian konflik-konflik agraria, termasuk kehutanan.

Masyarakat  adat dari berbagai daerah berpose bersama tim komisioner inkuiri nasional dan Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK (berbaju putih di tengah), pada Rabu (17/12/14). Foto: Sapariah Saturi

Masyarakat adat dari berbagai daerah berpose bersama pengurus AMAN, tim komisioner inkuiri nasional dan Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK (berbaju putih di tengah), pada Rabu (17/12/14). Foto: Sapariah Saturi

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, hasil inkuiri nasional ini mengungkapkan bergitu banyak pelanggaran HAM dialami masyarakat adat sudah masuk pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida. Namun, yang bisa menetapkan itu pelanggaran HAM berat atau tidak, dari komisioner. “Bagi AMAN itu sudah masuk pelanggaran HAM berat, bahkan mengarah ke genosida,” katanya.

Dia mengacu pada kasus-kasus seperti Talang Mamak di Riau, Suku Marind di Papua dengan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dan banyak lagi. Mereka kehilangan ruang hidup dan mengalami kekerasan. “Karena sudah mengubah seluruh sistem kehidupan mereka. Semua hak dilanggar. Ada gak teori akumulasi dari bergitu banyak pelanggaran ini menjadi pelanggaran HAM berat.”

Bagian aksi NKB

Bambang Widjanarko, Wakil Ketua KPK mengatakan, inkuiri nasional masyarakat adat ini bagian aksi nota kesepakatan bersama (NKB) 12 kementerian dan lembaga yang dibikin di hadapan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2013.

“Ini salah satu kajian Komnas HAM. Komnas HAM juga terlibat,  maka mereka menyelesaikan ini. Jadi bagian turunan masalah dalam NKB. Mengatasi konflik sosial. Kalau konflik sosial,  masa’ KPK yang masuk, ya enggaklah.”

KPK, katanya, menjalankan fungsi sebagai pemicu, bagaimana menyelesaikan masalah dan fungsi koordinasi serta supervisi.

Bambang mengatakan, inkuri nasional ini bertujuan memetakan masalah, mencari akar masalah, proses pembelajaran karena semua  stakeholders mendengar, dan mencari rekomendasi-rekomendasi paling layak dilakukan. Lalu, penyelesaikan masalah tenur dan HAM dan perbaikan-perbaikan sistemik.

“Jadi memang bukan case per case. Karena kalau case per case, jumlah kasus yang diproduksi dari kekacauan ini jauh lebih banyak dan lebih cepat daripada kemampuan penegak hukum dan penegak hukum itu sendiri.” Menurut dia, penyelesaiaan kasus per kasus ini tak menyelesaikan pokok masalah.

Dari hasil inkuiri itu, katanya, KPK merekomendasikan, beberapa hal. Pertama, moratorium izin-izin dan konsesi perusahaan tambang, perkebunan dan kehutanan bermasalah yang melanggar aturan dan hak masyarakat adat. Kedua, tarik keamanan baik TNI/Polri dari perusahaan (tambang, perkebunanan dan kehutanan). Ketiga,  perbaikan sistem kebijakan dan pengelolaan kawasan hutan untuk pencegahan korupsi, sebagai bagian aksi NKB. Keempat, revisi beragam aturan, kebijakan dan regulasi yang tak mendukung pengakuan masyarakat adat atas wilayah di kawasan hutan. Kelima, penyelesaian konflik tenurial kehutanan menyeluruh bagi masyarakat adat. Keenam, penuntasan kasus-kasus HAM serius dan menyeluruh bagi masyarakat adat.

Pada inkuiri nasional di  Jakarta, itu hadir perwakilan dari masyarakat adat, kementerian dan lembaga. Mereka memberikan pandangan-pandangan guna melengkapi rekomendasi dari inkuiri nasional ini.

 


Inkuiri Ungkap Banyak Pelanggaran HAM Dera Masyarakat Adat di Kawasan Hutan was first posted on December 18, 2014 at 10:42 pm.

Vonis 1 Tahun 10 Bulan bagi Dua Penolak Tambang Bangka

$
0
0
Kondisi Pulau Bangka pada 14 Desember 2014. Pulau sedikit demi sedikit mulai 'bersih' berkat libasan alat-alat berat perusahaan. Foto: Save Bangka Island

Kondisi Pulau Bangka pada 14 Desember 2014. Pulau sedikit demi sedikit mulai ‘bersih’ berkat libasan alat-alat berat perusahaan. Foto: Save Bangka Island

Pengadilan Negeri Minahasa Utara menjatuhi vonis satu tahun 10 bulan penjara, pada Y Tuhema dan F Kaongan, dua warga Desa Kahuku, Bangka, yang didakwa membakar alat berat PT Mikgro Metal Perdana. Vonis mendekati tuntutan dua tahun penjara oleh JPU. 

Keputusan ini membuat puluhan warga Bangka yang menghadiri sidang kecewa. Di luar gedung pengadilan, Rabu (17/12/14), mereka berteriak-teriak menyatakan hakim tidak adil memberikan putusan.

“Mereka menjatuhkan sanksi tanpa bukti. Warga tidak bersalah. Perusahaan tambanglah yang harus diadili.” Teriak mereka.

Nampak hadir di persidangan, Oktavia Palo, istri Tuhema. Dia terpukul dengan hasil persidangan. Suami harus mendekap lebih lama dalam jeruji. Natal tahun ini makin berat tanpa suami tercinta. Tak banyak yang bisa dia katakan. Mata berkaca-kaca. “Suami saya tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan,” kata Oktavia.

Willem Mononimbar, kuasa hukum warga menyatakan, proses persidangan hakim tampak ragu. Dalam pertimbangan, hakim justru mempertimbangkan keterangan saksi. “Hakim tidak menilai obyektif-murni, namun seturut keterangan verbal saksi.”

Pengadilan Negeri Minahasa Utara menjatuhi vonis satu tahun 10 bulan penjara, pada Y Tuhema dan F Kaongan, dua warga Desa Kahuku, Bangka, yang didakwa membakar alat berat PT Mikgro Metal Perdana. Vonis mendekati tuntutan dua tahun penjara oleh JPU. Foto: Themmy Doaly

Pengadilan Negeri Minahasa Utara menjatuhi vonis satu tahun 10 bulan penjara, pada Y Tuhema dan F Kaongan, dua warga Desa Kahuku, Bangka, yang didakwa membakar alat berat PT Mikgro Metal Perdana. Vonis mendekati tuntutan dua tahun penjara oleh JPU. Foto: Themmy Doaly

Menyikapi keputusan, pihaknya mempertimbangkan kemungkinan banding. “Kami menolak putusan hakim dan coba mempertimbangkan banding. Untuk ke sana, harus menunggu kesiapan tim.”

Maria Taramen, ketua KMPA Tunas Hijau, kecewa. Menurut dia, kriminalisasi warga merupakan dukungan para penegak hukum terhadap aktivitas pertambangan di Bangka. Padahal, putusan Mahkamah Agung menyatakan, perusahaan tambang tidak layak beroperasi di sana.

“Kami harus melihat perjuangan sesuai hukum dan peraturan yang kandas karena melawan penguasa dan pemilik modal. Seharusnya yang ilegal MMP. Masyarakat berada pada posisi benar karena mempertahankan keputusan hukum MA.”

Dia mengimbau, seluruh penolak tambang tidak patah semangat. Putusan ini harus menjadi cambuk membuktikan bahwa penjara tidak mampu menghentikan perjuangan mereka.

Jull Takaliwang, dari Yayasan Suara Nurani Minaesa, terkejut dengan keputusan hakim. Sejak awal, dia melihat proses persidangan formalitas belaka. Akibatnya, masyarakat tidak pernah mendapat keadilan dalam proses hukum ini.

Dia menyesalkan hakim yang menjatuhkan sanksi tanpa ketiadaan barang bukti. Sampai hari ini, kata Jull, MMP masih menggunakan barang bukti yang dinyatakan dirusak kedua terpidana. “Masyarakat dihukum atas sesuatu yang tidak mereka lakukan. Kami terus berjuang dan mempertimbangkan banding. Keputusan hari ini tidak mencerminkan keadilan.”

Nendi Rusnendi, ketua majelis hakim, menegaskan, putusan didasari hal yang memberatkan seperti ada korban, berbelit-belit dan tidak mengakui. Hal meringankan, sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.

Dia menyangkal tudingan tidak ada bukti dalam persidangan. Sesuai video dan pernyataan saksi, kedua warga terindikasi merusak mesin MMP. “Memang di video terlihat dua orang yang menurut keterangan saksi, bukan keterangan saya, adalah kedua orang itu. Saksi mengatakan kenal dekat dengan keduanya.”

Beginilah kondisi Pulau bangka, Sulut, pada pertengahan Desember 2014. Putusan Mahkamah Agung yang meminta penghentian izin kepada bupati sama sekali tak digubris. Perusahaan tetap moncer beroperasi. Foto: Save Bangka Island

Beginilah kondisi Pulau bangka, Sulut, pada pertengahan Desember 2014. Putusan Mahkamah Agung yang meminta pencabutan izin kepada bupati sama sekali tak digubris. Perusahaan tetap moncer beroperasi. Foto: Save Bangka Island

Nendi mengatakan, kuasa hukum pernah menghadirkan video dalam persidangan, namun tidak diserahkan pada majelis hakim. Dalam proses persidangan, penting bagi para pihak menyerahkan barang bukti.

“Kalau tidak diserahkan, lalu apa yang mau dinilai? Itu jadi pertimbangan majelis hakim dalam memberi putusan.”

Berdasarkan keterangan saksi, katanya, alat berat berupa besi, meski dalam keadaan utuh, namun sudah tidak bisa digunakan. Menanggapi informasi alat berat ini kembali digunakan MMP, dia tidak tahu. “Saya tidak tahu itu. Di sini pidana mereka membakar. Itu saja. Kalau digunakan atau tidak, saya tidak tahu.”

Pada Sabtu (12/7/14), warga penolak tambang berniat membacakan putusan MA di basecamp perusahaan tambang, di Desa Kahuku. Ketika sampai di sana, warga penolak dilempar batu oleh orang tak dikenal. Bentrok tak terhindarkan. Alat berat terbakar. Polisi menduga pelaku dari Desa Kahuku. Kamis dini hari (17/7/14), Tuhema dan Kaongan menjadi tersangka.

Suasana bising

Warga juga mengeluh persidangan berlangsung ketika gedung pengadilan, sedang renovasi. Akibatnya, suara bising membuat ucapan hakim yang tidak menggunakan microphone sulit terdengar.

Operasi berlanjut

Sementara itu, di Pulau Bangka, MMP terus bekerja. Kerusakan di pulau makin meluas, hutan-hutan terbabat, alat-alat berat dan kontainer-kontainer memenuhi tepian pantai.

Walau sudah diminta menghentikan operasi oleh  pemerintah pusat, lewat UKP4, sejak lama, tampaknya MMP punya kuasa dari segala. Kondisi pertengahn Desember 2014, Pulau Bangka, mulai botak pelahan. Foto: Save Bangka Island

Walau sudah diminta menghentikan operasi oleh pemerintah pusat, lewat UKP4, sejak lama, tampaknya MMP punya kuasa dari segala. Kondisi pertengahan Desember 2014, Pulau Bangka, mulai botak pelahan. Foto: Save Bangka Island


Vonis 1 Tahun 10 Bulan bagi Dua Penolak Tambang Bangka was first posted on December 18, 2014 at 11:37 pm.

Merawat Masa Lalu, Menjaga Rumah Adat Lapinceng

$
0
0
Rumah Adat Lapinceng nampak atap sudah ada yang lepas. Foto: Eko Rusdianto

Rumah Adat Lapinceng nampak atap sudah ada yang lepas. Foto: Eko Rusdianto

Siang  itu,  awal Desember 2014, saya mengunjungi rumah adat Lapinceng di Dusun Bulu Dua, Desa Balusu, Kecamatan Balusu, Barru. Andi Ibrahim, ahli waris yang saya temui mengajak menapaki loteng rumah itu. Cukup luas dengan jendela kecil di bagian depan. “Ruangan ini pada masa lalu untuk merawat anak perempuan raja,” katanya.

Saya tertegun. “Mungkin dulu loteng ini, memiliki kamar-kamar. Tidak seperti sekarang kosong karena tak digunakan.”

Hawa di loteng siang itu cukup panas. Tak ada langit-langit, lantai loteng dan atap di sisi-sisi bangunan tak punya sekat. Ibrahim, mengatakan, suasana dan keadaan sekarang jangan dibawa pada masa lalu. “Sekarang atap rumah seng, jadi panas. Masa lalu menggunakan rumbia atau pelepah sagu, jadi sejuk.”

Akhirnya, di lantai berdebu loteng rumah itu, saya mencoba menapaki pelahan. Membayangkan anak gadis tumbuh, dan hanya melihat dunia melalui jendela serta mengamati hiruk pikuk keluarga dari sela-sela lantai bambu.

Sejak kapankah seorang anak perempuan menghuni di ruangan ini? Ternyata, mulai dari kelahiran, hingga siap dinikahkan. Cerita berawal, saat peramaisuri melahirkan anak perempuan, sang inang  (pangasuh) menggendong sang bayi ke loteng. Tak menunggu sehari atau beberapa hari, melainkan pada hari kelahiran. Segala macam keperluan dikerjakan di loteng.

Anak perempuan raja tak boleh menginjakkan kaki ke bangunan rumah utama apalagi ke tanah. Anak perempuan menjadi semacam “aset” yang harus dilindungi dan benar-benar dijaga. Ketika orang tua, sudah menemukan jodoh yang tepat buat si anak, maka perlahan mereka boleh turun ke badan rumah. Berkeliaran dan berjalan-jalan.

Anak perempuan turun rumah itu,  sekaligus menjadi penanda bagi warga. “Seperti undangan atau pemberitahuan masa lalu. Warga yang melihat anak perempuan raja di badan rumah, akan menyampaikan ke warga lain, jika akan ada pesta pernikahan,” kata Ibrahim.

Sebelum masyarakat Bugis mengenal agama ‘impor’ seperti Islam, Kristen dan lain-lain, loteng rumah sebagai tempat menyemayankan jenazah. Jenazah diletakkan di dekat jendela kecil bagian depan (timpa’ laja).

Timpa’ laja menjadi jendela tempat melayang atau menghilangnya jenazah bagi masyarakat yang memiliki tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kebaikan yang mumpuni. “Jenazah itu menunggu kilat dan guntur. Jika terjad SAi, jenazah akan menghilang. Jadi ditimpa’na millajangnna (dibuka dan melayang),” kata Ibrahim.

Di rumah adat Lapinceng, di dekat timpa’ laja terdapat tiga balok menjorok dan mengapit pada di tiang utama rumah. Balok-balok itu diperkirakan tempat atau dudukan dalam meletakkan jenazah. Ia menggunakan peti atau hanya kain balutan jenazah.

Lapinceng berdiri di lahan 43 are. Halaman ditumbuhi rumput hijau. Di bagian depan ada rumah jaga. Bagain samping, ada hamparan sawah dan di depan mengallir Sungai Balusu.

Dari bagian depan, rumah Lapinceng berbeda dengan rumah Bugis lain. Teras tidak mengikuti badan rumah dan tertutup. Biasa, teras rumah Bugis selalu terbuka, tempat beristirahat penghuni dan tempat bercengkrama.

Teras tertutup seperti menutup akses masyarakat luar melihat langsung keadaan bangunan.

Apa yang menyebabkan seperti itu? Ibrahim mengatakan, teras kecil di depan rumah tidak untuk orang, melainkan tempat kuda raja.

Salah satu asumsi yang menguatkan, adalah bentuk anak tangga disusun rapat dan lebar. “Kalau tangga manusia, pasti berjenjang. Ini tidak, tentu memudahkan kuda menapak naik.”

Menapakkan kaki di rumah Lapinceng, seperti menjejak langkah di kayu besi. Tiang tampak kokoh. Pasak-pasak kayu terlihat menempel dan mengapit tiang. Rumah ini awalnya dibangun tanpa menggunakan sedikitpun unsur besi. Baru pada 1982, Balai Peninggalan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan menetapkan sebagai benda cagar budaya, beberapa bagian dipasang baut, mur dan paku.

“Teknologi masa lalu menggunakan pasak kayu sangat sulit. Perlu keahlian khusus. Untuk menjaga digunakan unsur besi,” kata Ibrahim.

Rumah ini dibangun 1836. Pengadaan dan perlengkapan sejak 1814. Adalah Andi Saleha yang membangun. Rumah ini, diperkirakan hadiah untuk anaknya, Andi Muhammad Saleh yang menggantikan sebagai raja.

Andi Ibrahim,  penjaga dan ahli waris rumah adat Lapinceng. Foto: Eko Rusdianto

Andi Ibrahim, penjaga dan ahli waris rumah adat Lapinceng. Foto: Eko Rusdianto

Lapinceng kediaman raja di Kerajaan Balusu. Kerajaan ini, palili atau di bawah pengaruh kerajaan Soppeng.  Raja bergelar datuk dan berkewajiban memberikan upeti kepada Soppeng.

Saat memasuki ruang utama rumah Lapinceng yang lapang, terlihat balok berdiri tidak sama tinggi. Balok itu,  menandakan posisi strata sosial para tamu. Yang paling tinggi di sebelah kanan kiri raja, paling rendah di dekat ruang keluarga menuju dapur.

Pada ruang utama itu, terdapat dua buah pintu geser. Satu menuju ruang keluarga, satu berhubungan dengan kamar raja. Memasuki ruang tengah, terdapat tiga buah kamar. Kamar raja, selir dan keluarga.

Secara keseluruhan, rumah Lapinceng menggunakan 35 tiang dengan 23 jendela. Tinggi rumah dari permukaan tanah sekitar 6,5 meter, dengan tinggi keseluruhan tiang mencapai 15 meter hingga pucuk atap.

Tiang dan dinding kayu rumah ini menggunakan kayu bitti berlantai bambu. Potongan bambu untuk lantai diurut dengan begitu rupa, hingga semua ruas tulang benar-benar sejajar. “Jika menebang 100 bambu, bisa untuk lantai hanya 40 buah, karena tulang ruas harus benar-benar seajajar,” kata Ibrahim.

Kala berkunjung ke Lapinceng, penggunaan lantai bambu sudah tak ada lagi berganti papan kayu. Ruas-ruas balok penyangga bambu hanya berjarak sekitar satu jengkal tetap dipertahankan.

Penggunaan nama Lapinceng diperkirakan karena proses pembangunan begitu lama. Pinceng (penyebutan huruf “e” dalam Lapinceng seperti menyebut kata “sehat”) dalam bahasa Bugis berarti piring kaca. Dari mulai pengadaan hingga pembangunan ada ratusan piring pecah. Pecahan-pecahan piring berhamburan juga menunjukkan biaya. Maka lahirlah penyebutan Lapinceng bukan rumah adat Balusu.

Pada masa lalu–di wilayah kini Kabupaten Barru–, ada empat kerajaan berdiri sama tinggi. Yakni Kerajaan Nepo Mallusetasi, Kerajaan Balusu, Kerajaan Barru, dan Kerajaan Tanete. Untuk itu, dalam lambang Kabupaten Barru terdapat empat payung kerajaan, menandakan penggabungan empat kerajaan dalam satu kesatuan administratif.

***

Ibrahim memukul-mukul bagian dasar tiang rumah Lapinceng. Bunyi menggema. “Ini karena tiap tahun tiang rumah terendam air. Coba Anda datang pertengahan Desember hingga Februari, pasti kolong dan halaman rumah seperti empang,” katanya.

Saya memperhatikan tiang-tiang itu seksama. Tanda-tanda genangan air terlihat, tinggi sekitar 50 sentimeter. “Kayu bitti kuat, tapi jika terdendam terus setiap tahun akan mudah lapuk,” katanya. “Saya berharap pemerintah meninggikan atau mengangkat.”

Genangan air saat hujan itu bersumber dari luapan Sungai Balusu di depan rumah. Sungai ini masa lalu menjadi tempat menambatkan perahu-perahu nelayan, sudah terjadi pedangkalan dan makin sempit. Tak lagi dapat dilayari. “Saya kira raja tak mungkin memilih tempat jelek. Rumah ini dibangun, pada masa lalu pasti lokasi terbaik.”

Ibrahim mengatakan, sudah melaporkan beberapa kerusakan pada BP3 Sulawesi Selatan. “Untuk pemerintah Barru, memang selama ini tak pernah menjenguk. Kami sebagai ahli waris akan berusaha semampunya.”

Setiap bulan, sekitar 20 orang mengunjungi rumah Lapinceng. Pengunjung, 90% dari kalangan mahasiswa dan peneliti untuk melihat bentuk arsitektur, 10% masyarakat umum.

Lantai sudah berganti papan kayu tak lagi bambu seperti awal dulu. Foto: Eko Rusdianto

Lantai sudah berganti papan kayu tak lagi bambu seperti awal dulu. Foto: Eko Rusdianto


Merawat Masa Lalu, Menjaga Rumah Adat Lapinceng was first posted on December 19, 2014 at 4:07 pm.

Kearifan Lokal Selamatkan Warga Simeulue dari Amukan Tsunami (bagian 1)

$
0
0
Di atas gunung inilah masyarakat menyelamatkan diri  ketika gempa dan smong datang di Teupah Barat, Simeulue. Foto:  Ayat S  Karokaro

Di atas gunung inilah masyarakat menyelamatkan diri ketika gempa dan smong datang di Teupah Barat, Simeulue. Foto: Ayat S Karokaro

Tsunami menghantam daerah-daerah di pinggiran Samudera Hindia, salah satu Aceh, Indonesia, pada Desember 2004. Ratusan ribu orang tewas, bangunan luluh lantak. Aceh menjadi bak kuburan massal. Namun, ada satu kabupaten di Aceh, yang berada di tengah-tengah samudera, punya cerita lain. Bangunan-bangunan memang hancur, tetapi korban jiwa hanya enam orang. Kearifan lokal menyelamatkan mereka. 

Cuaca gelap. Gerimis mulai turun di pulau nan indah di kelilingi laut. Dari udara, biru air laut dan hijau hutan terpampang luas, menambah keindahan nan luar biasa. Begitulah suasana kala saya berkunjung ke Pulau Simeulue, pada November 2014.

Sejak 1999,  pulau ini menjadi kabupaten tersendiri, pemekaran dari Aceh Barat. Ia berada sekitar 150 km dari lepas pantai barat Aceh, berada di kelilingi laut Samudera Indonesia.

Gugusan pulau ini berada di atas persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan Asutralia dan Samudra Hindia. Namun, kala gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, korban jiwa sangat minim. Enam warga Simeulue meninggal dunia. Di bagian Aceh yang lain, ratusan ribu jiwa melayang.

Mengapa demikian? Ternyata, di pulau ini, memiliki cerita tersendiri soal tsunami. Menurut sejumlah tokoh adat dan budaya masyarakat Simeulue, serta para orang tua, peristiwa tsunami itu sudah mereka prediksi akan datang lagi ke daerah itu.

Pada 1907, sekitar seabad lalu, tsunami pernah menghantam Simeulue. Korban jiwa cukup banyak. Rumah hancur, harta benda lenyap, dan banyak yang kehilangan sanak saudara.

Tsunami yang diambil dri bahasa Jepang ini, punya nama sendiri di pulau ini. Namanya, smong.

Smong, menjadi pelajaran hidup sendiri bagi masyarakat Simeulue. Masyarakat Simeulue, tidak ingin bencana dahsyat 1907 itu, terulang kembali dan memakan korban jiwa.

Melalui adat tutur, keariban lokal dan cerita turun menurun, membuat masyarakat Simeulue selalu siap siaga jika sewaktu-waktu smong datang. Kesiapan itu terbukti ketika minggu terakhir Desember 2004 sekitar pukul 09.00, gempa dahsyat dan smong, menyapa pulau ini.  Ribuan rumah penduduk hancur dan rata dengan tanah. Namun, korban jiwa hanya enam orang.

SD di Teupah Barat hancur dihantam gempa dan  smong pada 2004 tersisa plang nama. Foto: Ayat S Karokaro

SD di Teupah Barat hancur dihantam gempa dan smong pada 2004 tersisa plang nama. Foto: Ayat S Karokaro

Kearipan lokal dan melalui budaya tutur, serta cerita budaya dan seni, membuat ratusan ribu masyarakat yang tinggal beberapa meter dari tepi laut, langsung menyelamatkan diri. Mereka berhamburan ke gunung, sambil membawa anak-anak, orang tua, perempuan dan sanak saudara.

“Smong…smong…smong. Smong datang, ayo lari….” Itulah teriakan para pemuda desa, yang lari menyelamatkan diri ke atas gunung.

Guna mengingatkan, ancaman tsunami ini tak hanya lewat budaya tutur, juga ada syair (lagu) bercerita tentang smong ini. Entah siapa yang menciptakan, namun mereka mendapatkan syair ini turun temurun hingga dikenal se antero pulau ini.

Bait syair ini, dilantunkan para budayawan, tokoh adat dan seniman dari Simeulue. Tokoh adat dan budaya Simeulue Mohd. Riswan. R, atau dikenal dengan Pak Moris, membawakan syair ini begitu menyentuh hati. 

Enggel mon sao curito…(Dengarlah sebuah cerita)

Inang maso semonan…(Pada zaman dahulu)

Manoknop sao fano…(Tenggelam satu desa)

Uwi lah da sesewan…(Begitulah mereka ceritakan)

Unen ne alek linon…(Diawali oleh gempa)

Fesang bakat ne mali…(Disusul ombak yang besar sekali)

Manoknop sao hampong…(Tenggelam seluruh negeri)

 Tibo-tibo mawi…(Tiba-tiba saja) 

Anga linon ne mali…(Jika gempanya kuat)

Uwek suruik sahuli…(Disusul air yang surut)

 Maheya mihawali…(Segeralah cari)

Fano me singa tenggi…(Tempat kalian yang lebih tinggi)

Ede smong kahanne…(Itulah smong namanya)

Turiang da nenekta…(Sejarah nenek moyang kita)

Miredem teher ere…(Ingatlah ini betul-betul)

Pesan dan navi da…(Pesan dan nasihatnya).

Simelue, kabupaten  terdampak gempa  dan tsunami 2004  di kelilingi laut namun korban jiwa hanya enam orang. Foto:  Ayat S Karokaro

Simelue, kabupaten terdampak gempa dan tsunami 2004 di kelilingi laut namun korban jiwa hanya enam orang. Foto: Ayat S Karokaro

Pak Moris, menceritakan, kearifan lokal masyarakat Simeulue yang disampaikan lewat tutur mengenai tsunami hingga daerah kepulauan ini bisa menekan jumlah korban jiwa. Pria 67 tahun ini, dalam peristiwa memilukan itu kehilangan tiga orang anak, terkena smong di Banda Aceh.

Peristiwa 1907, menjadi pembelajaran dan pengalaman berharga bagi generasi mereka agar berhati-hati dan waspada. Melalui kakek nenek dan orang tua mereka, terus menerus bercerita kisah memilukan satu abad lalu itu. Ini menjadi bekal berharga bagi masyarakat Simeulue.

Ketika tsunami pada 2004, masyarakat sudah mengetahui langkah apa yang harus dilakukan kala tsunami datang.

Menurut dia, pesan leluhur dari syair itu menyebutkan, andai ada gempa kuat, disusul air laut surut, jangan ke tepi pantai memungut ikan yang bermunculan di tepi pantai, karena sebentar lagi akan datang smong. Jika itu terjadi, berlarilah ke gunung menyelamatkan diri. Bawalah anak-anak, orang tua, dan perempuan berlari menjauhi pantai. Berteriaklah, smong… smong…smong…. Hal itu berlanjut hingga kini.

“Ketika smong datang, kerbau-kerbau yang biasa di tepi pantai, berlarian ke gunung. Itu menjadi salah satu tanda alam lain. Saat gempa dahsyat, anak muda terlebih dahulu berlari ke tepi pantai guna melihat apakah air laut surut. Ketika itu terjadi, mereka mendengarkan suara gemuruh seperti daun kering terbakar, barulah mereka yakin smong akan datang.”

 Mesjid  yang terkena gempa  dan smong  2004  di Simeulue. Dia tetap kokoh meskipun ada sebagian bangunan rusak. Foto:  Ayat S Karokaro

Mesjid yang terkena gempa dan smong 2004 di Simeulue. Dia tetap kokoh meskipun ada sebagian bangunan rusak. Foto: Ayat S Karokaro

Tugas selanjutlah, meneriakkan alarm alami melalui mulut ke mulut. Berteriak, smong…smong…smong. Teriakan itu berlanjut ke seluruh penjuru desa. “Saling bersahutan.”

Dia mengatakan, media penyampaian dari orang tua kepada anak-anak, dengan beberapa cara. Ketika di meja makan, atau setelah makan, atau di ruang keluarga, bercerita saat kejadian smong datang satu abad silam, banyak keluarga tewas, ada pula yang jatuh dari gendongan orang tua, lalu tersangkut di atas pohon bambu dan selamat. Cerita itu terus berulang.

Pak Moris bercerita, dulu, Simeulue terkenal dengan kebun cengkih. Cerita itu disampaikan para orang tua ketika memetik cengkih, dimana anak-anak dan sanak saudara turut membantu memanen.

“Cerita itu sudah melekat di hati generasi penerus masyarakat Simeulue, untuk menyampaikan pesan leluhur soal smong.” Mata Pak Moris, berkaca-kaca. Dia hampir menangis teringat ketiga anak, yang saat kejadian menuntut ilmu di Banda Aceh.

Ketika smong datang, anak-anaknya tidak bisa menyelamatkan diri. Hilang ditelan ombak. Hingga kini,  mereka tak tahu dimana jenazah ketiga anak itu. Ketika rindu, keluarga Pak Moris datang ke Banda Aceh, buat berziarah ke kuburan massal disana.

Dia berharap, kearifan lokal masyarakat Simeulue, harus terus dilestarikan. Baik melalui kesenian, sampai muatan lokal di sekolah-sekolah.

Gempa berkekuatan sembilan SR terjadi 26 Desember 2014, sekitar pukul 7:58:53, berpusat pada bujur 3.316° N 95.854° E,  sekitar 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Guncangan dasyat ini memicu gelombang panas mencapai 30 meter ke daratan.

Ia tercatat sebagai gempa terdahsyat dalam 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh,  Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan Pantai Timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, sebagai negara terparah yang terdampak tsunami.

Di Aceh, Indonesia, korban jatuh paling besar. Ratusan ribu nyawa melayang, bangun hancur. Aceh bak menjadi kuburan massal. Mayat-mayat  bergelimpangan. Ribuan orang juga hilang ditelan amukan gelombang panas.

Data Departemen Sosial pada Januari 2005, korban tewas di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 105.262 orang. Dari kejadian gempa dan tsunami itu, sekitar 500-an ribu jiwa melayang di seluruh dunia yang berbatasan dengan Samudra Hindia. (Bersambung)

Laut yang mengelilingi Pulau S. Kala tsunami menghantam, berkat kearifan lokal yang dikabarkan turun menurun, sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, meskipun ada jatuh enam korban jiwa. Foto: Ayat S Karokaro

Laut yang mengelilingi Pulau S. Kala tsunami menghantam, berkat kearifan lokal yang dikabarkan turun menurun, sebagian besar warga berhasil menyelamatkan diri, meskipun ada jatuh enam korban jiwa. Foto: Ayat S Karokaro


Kearifan Lokal Selamatkan Warga Simeulue dari Amukan Tsunami (bagian 1) was first posted on December 20, 2014 at 12:34 pm.

Nasib Kepulauan Aru, Habis Tebu, Terbitlah Izin HPH

$
0
0
Kepulauan Aru, yang masih memiliki tutupan hutan cukup bagus menjadi incaran investor. Setelah, penolakan terhadap pengembangan tebu dan dinyatakan batal, pada detik-detik terakhir Zulkifl Hasan, Menhut, sebelum lengser masih sempat-sempatnya menandatangani izin buat perusahaan HPH. Foto: AMAN-FWI

Kepulauan Aru, yang masih memiliki tutupan hutan cukup bagus menjadi incaran investor. Setelah, penolakan terhadap pengembangan tebu dan dinyatakan batal, pada detik-detik terakhir Zulkifli Hasan, Menhut, sebelum lengser masih sempat-sempatnya menandatangani izin buat perusahaan HPH. Foto: AMAN-FWI

Akhir September 2014, pada detik-detik terakhir sebelum lengser, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, masih sempat-sempatnya menandatangani izin  puluhan ribu hektar hutan kepada perusahaan HPH di Kepulauan Aru. Presiden Jokowi, diminta bertindak cepat memberikan perlindungan pada pulau-pulau kecil.

Belum usai kecemasan warga Kepulauan Aru, atas rencana pengembangan tebu ratusan ribu hektar di kawasan itu, kini muncul ancaman baru, pembabatan hutan Aru, lewat izin kepada perusahaan HPH. Warga mulai resah. Perusahaan mulai survei dan pemetaan lahan di sana. Berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo, memberikan perlindungan kuat kepada pulau-pulau kecil yang kaya karagaman hayati di darat dan laut ini. Ini untuk mewujudkan Poros Maritim, yang didengung-dengungkan Jokowi.

Ancaman baru ini berawal pada 30 September 2014. Detik-detik terakhir masa jabatan, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan itu, seakan tak mau kehilangan kesempatan dengan menandatangani izin buat mempeluas penebangan hutan. Perusahaan HPH, PT Waha Sejahtera Abadi (WSA) mendapatkan konsesi seluas 54.560 hektar dari Kementerian Kehutanan lewat SK 5984/Menhut-VI/BRPUK/2014.

Sebelum itu, pertengahan 2007, konsorsium Menara Group mulai mengepakkan sayap di Kepulauan Aru untuk mengembangkan perkebunan tebu. Pada Februari 2013, Kemenhut menerbitkan izin prinsip pencadangan kawasan hutan untuk 19 dari 28 perusahaan oleh Menara Group.

Penolakan dan protes besar-besaran dari masyarakat Kepulauan Aru muncul. Zulkifli Hasan mengeluarkan pernyataan, pelepasan kawasan hutan belum diberikan dan kebun tebu batal karena dinilai tak cocok dengan kondisi Aru. Belum jelas mengenai pencabutan izin buat kebun tebu, sudah datang lagi izin HPH, yang mengancam hutan alam di kepualauan itu. Penolakan kembali terjadi.

Analisis Forest Watch Indonesia (FWI) periode tahun 2013-2014 menunjukkan, 660 ribu hektar atau 83% daratan di Aru berupa hutan alam dari total 805 ribu hektar daratan. Hutan alam tersebar rata di 187 pulau-pulau kecil.

Mufti Barri, peneliti dari FWI menegaskan, pembukaan hutan besar-besaran di Kepulauan Aru, bisa menyebabkan pulau-pulau kecil hilang dan tenggelam. “Pembukaan hutan juga akan menyengsarakan masyarakat yang hidup tergantung hutan dan sumber-sumber air,” katanya di Jakarta, Rabu (17/12/14).

Pepohonan masih tampat rapat di pulau-pualu Kepualauan Aru, kini terancam setelah Zulkifli Hasan, memberikan izin pembabatan hutan kepada perusahaan HPH. Presiden Jokowi, diminta melindungi pulau-pulau kecil yang kaya keragaman hayati darat dan laut ini. Foto: FWI-AMAN

Hutan masih tampak rapat di pulau-pualu Kepualauan Aru, kini terancam setelah Zulkifli Hasan, memberikan izin pembabatan hutan kepada perusahaan HPH. Presiden Jokowi, diminta melindungi pulau-pulau kecil yang kaya keragaman hayati darat dan laut ini. Jika hutan hilang, darimana mereka bisa menyimpan sumber air?  Foto: FWI

Dari pantauan FWI di desa-desa sekitar Pulau Koba, salah satu pulau terkecil di Aru, kondisi hutan sangat bagus. Namun, di pulau itu, 50% sumber air di delapan desa sudah mengalami kekeringan.

Jika pembukaan hutan terjadi, seluruh sumber air masyarakat bisa hilang. “Kawasan karst Koba dan hutan berfungsi layak spons yang menjaga tata air, menahan dan menyimpan air di musim penghujan dan melepaskan kala musim panas.”

Mika Ganobal, Koordinator Koalisi SaveAru menyatakan, penolakan besar-besaran oleh masyarakat Aru membuat wacana pembukaan hutan untuk tebu batal. “Kami berharap tidak ada lagi rencana pembukaan kawasan ini dari perusahaan lain.”

Rukka Sambolinggi, Deputi II Bidang Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) angkat bicara. Dia mengatakan, pemerintah seakan menganggap pulau-pulau kecil sebagai pulau kelas dua. “Pulau-pulau kecil hanya tabungan menanti diberikan konsesi,” katanya.

Presiden Jokowi mengatakan, akan kembali kepada kehidupan berbasis maritim. “Ini membutuhkan waktu sangat panjang. Kehidupan maritim sudah lama kita tinggalkan.”

Sisi lain, kementerian yang mengawal UU terkait pulau kecil justru dalam posisi lemah. Mereka tidak berdaya melawan Kemenhut. Padahal, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seharusnya sebagai perisai melindungi pulau-pulau kecil.

“Dalam kasus Aru misal, KKP bisa ngapain? Pulau-pulau kecil bahkan laut itu diklaim sebagai kawasan hutan. Memang ada banyak hal yang salah di negeri ini.”

Tak hanya itu. Kasus di Kepulauan Aru, katanya, juga mau digiring ke konflik horizontal.  Sedang, TNI AL—yang memiliki pangkalan di salah satu pulau–, yang seharusya menjaga perbatasan, kedaulatan dan mengayomi masyarakat, justru menjadi bagian konflik.

Pemanfaatan harus sesuai zonasi

Ahmad Aris, Kasubdit Investasi dan Promosi Pulau-pulau Kecil KKP mengatakan, dalam revisi UU mengenai pesisir dan pulai kecil, menjadi UU No 1 tahun 2014, sudah mengakui hak masyarakat adat. Pemerintah wajib memfasilitasi. Dalam pelaksanaan harus dibuat rencana zonasi. “Baik di perairan, maupun daratan. Rencana zonasi ini dimulai dari kecamatan pesisir. Itu kewenangan pemerintah daerah.”

Sayangnya, KKP lagi-lagi tak mempunyai kewenangan menekan pemerintah daerah menyelesaikan zonasi ini.

Anak-anak masyarakat adat di Kepulauan Aru, bermain di depan sekolah. Bagaimana nasib dan masa depan mereka kala hutan-hutan mereka sirna karena terbabat perusahaan atas izin pemerintah? Foto: FWI-AMAN

Anak-anak masyarakat adat di Kepulauan Aru, bermain di depan sekolah. Bagaimana nasib dan masa depan mereka kala hutan-hutan mereka sirna karena terbabat perusahaan atas izin pemerintah? Foto: FWI-AMAN

Menurut dia, baru ada 12 rencana zonasi dari 500 lebih kabupaten/ kota. “Mengapa susah? Memang kita tak ada power. Mudah-mudahan dengan ada Menko Maritim, tidak ada lagi sekat-sekat pemerintah mendorong ini.”

Untuk Kepulauan Aru,  status peta 2010 hampir semua hutan—termasuk hutan produksi konversi, hanya sedikit area penggunaan lain.

Dalam UU No 1 Tahun  2014, untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil, wajib mempunyai rencana zonasi terlebih dahulu. Rencana zonasi itu sebagai dasar memberikan izin lokasi. Izin lokasi diberikan sesuai kewenangan.

Ada beberapa lokasi menjadi kewenangan nasional, seperti pulau-pulau terluar, ada modal asing. “Itu izin harus dari menteri.”

Dia mengatakan, zonasi penting karena dari sanalah hak-hak masyarakat bisa diakomodir. “Dalam menyusun rencana zonasi, harus melibatkan partisipasi masyarakat. Ada konsultasi publik.”

Di Kepulauan Aru, hanya satu masuk kategori pulau besar, Pulau Trangan. Yang lain pulau-pulau kecil. “Pulau kecil ini tidak bisa sembarangan dimanfaatkan. Harus berbasis perencanaan yang baik,” ujar  dia.

Pulau-pulau kecil ini,  rentan perubahan ekosistem. Jadi, jika masuk investasi harus berkelanjutan sesuai rencana zonasi. “Potensi sumber daya di pulau kecil sangat besar untuk memberikan pertumbuhan ekonomi baru, tetapi harus dikelola berkelanjutan, berbasis partisipasi masyarakat, butuh konsep yang matang.”

Herwasono Soedjito, dari Pusat Penelitian Biologi LIPI mengatakan, perlu memahami kekayaan alam di negeri ini tak hanya flora dan fauna, juga budaya. “Jadi tidak bisa disamaratakan. Tidak bisa disederhanakan. Itu realitas harus kita jaga. Begitu juga dalam konteks pulau kecil. Tidak bisa disamakan dengan pulau besar.”

Alihfungsi hutan di pulau kecil, katanya, bisa mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan yang menyebabkan kehilangan kekayaan alam. “Pulau Aru harus kita jaga dan lestarikan.”

Menurut dia, air tanah pulau-pulau kecil itu sangat penting, termasuk di Kepulauan Aru. Tutupan hutan sangat penting dalam menjaga sistem hidrologi. “Sistem sungai pun sangat ruwet. Saya berharap Kepulauan Aru dipertahankan. Kalau air tidak dijaga, manusia tidak akan hidup. Kekayaaan hayati juga tak akan terjaga baik.”

Dia mengatakan, proses alihfungsi kawasan hutan, harus ada tim terpadu dan harus ada kajian multidisiplin. “Tanggungjawab tidak ringan. Harus berdasarkan ilmu pengetahuan agar obyektif. Tim terpadu harus betul-betul bekerja melihat realitas di lapangan.”

Pohon-pohon besar ini terancam hilang, kala perusahaan HPH beroperasi. Foto: FWI

Pohon-pohon besar ini terancam hilang, kalau sampai perusahaan HPH beroperasi. Foto: FWI

Keindahan alam laut dan hutan di Kepulauan Aru. 'Surga' ini bakal hilang kala perusahaan boleh membabat hutan-hutan, hingga sumber mata air kering. Hidup masyarakat pun sengsara. Foto: FWI-AMAN

Keindahan alam laut dan hutan di Kepulauan Aru. ‘Surga’ ini bakal hilang kala perusahaan boleh membabat hutan-hutan, hingga sumber mata air kering. Hidup masyarakat pun sengsara.Komitmen perlindungan serius terhadap pulau-pulau kecil dari Jokowi sangat penting.  Foto: FWI-AMAN

Peta konsesi PT Waha Sejahtera Abadi. Sumber: FWI

Peta konsesi PT Waha Sejahtera Abadi. Sumber: FWI


Nasib Kepulauan Aru, Habis Tebu, Terbitlah Izin HPH was first posted on December 20, 2014 at 2:40 pm.

Pulau Simeulue, Kini dan 10 Tahun Lalu…(bagian 2)

$
0
0
Suasana di salah satu pedesaan di Kabupaten Simeulue, setelah 10 tahun lalu gempa dan tsunami meluluhlantakkan tempat ini. Foto: Ayat S Karokaro

Suasana di salah satu pedesaan di Kabupaten Simeulue, setelah 10 tahun lalu gempa dan tsunami meluluhlantakkan tempat ini. Foto: Ayat S Karokaro

Namanya Ahamin. Usia sudah beranjak 60 tahun. Dia, salah satu warga yang menyaksikan kedasyatan tsunami kala menghantam desa mereka di Salur, Kecamatan Tepah Barat, Kabupaten Simeulue, 10 tahun lalu.

Daerah ini, satu dari tiga kecamatan yang rata dengan tanah. Semua di desa itu hancur. Bersyukur, tak ada korban jiwa manusia, bahkan satwa maupun ternak mereka selamat. Kerbau, sapi, kambing dan ayam, berduyun-duyun lari menuju hutan. Masyarakat desa yang menyaksikan, turut menyelamatkan diri.

Ahamin menarik nafas dalam. Perlahan dia mulai bercerita pengalaman kala itu. Goncangan gempa kuat, disusul air laut menghantam desa, meluluhlantakkan semua. Itu hari pertama. Hari kedua, air laut mulai surut.

Kala itu, dia bersama keluarga lari ke gunung bersama ratusan masyarakat lain di desa itu. Mereka membawa bekal seadanya. Gempa kuat, rumah langsung roboh.

Sekitar 30 menit kemudian, masyarakat saling bersahutan dan berteriak smong datang. Dia berlari ke pantai di belakang rumah. Saat itu, air surut cukup jauh. Melihat itu, dia langsung membawa anak istri dan keluarga berlari menjauhi pantai, menuju ke bukit.

Rumah hancur ketika air laut menghantam kali kedua. Hamtaman pertama,  dia masih di bawah gunung. Ombak kedua dan ketiga disertai gempa cukup kuat sebanyak dua kali, barulah gedung dan bangunan hancur dihantam smong. Beruntung, dia bersama keluarga dan ratusan masyarakat di Salur, sudah menyelamatkan diri ke gunung. Dari atas, mereka menyaksikan bagaimana smong menghantam apa saja yang ada di sana.

“Selama tiga hari di atas gunung, gempa masih terus terjadi, kekuatan smong mulai berkurang. Kami ada 200 orang lebih diatas gunung. Semua ditelan hingga habis dan rata.”

“Allahu akbar….Allahu akbar…” Teriakan warga tiada henti, sambil diselingi membaca ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Mereka terus berdoa.

Ahamin menyatakan, desa mereka, pada 1907 salah satu yang hancur dihantam smong. Banyak korban jiwa saat itu, ratusan orang meninggal dunia. Sejak peristiwa itu, cerita bencana alam terdahsyat, terus berlanjut, baik di mesjid, kedai, warung kopi, sampai di meja makan keluarga.

Infrastruktur jalan, bangunan.jembatan dan lain-lain yang sempat hancur kala gempa dan tsnami 2004, kini sudah diperbaiki. Foto: Ayat S Karokro

Infrastruktur jalan, bangunan.jembatan dan lain-lain yang sempat hancur kala gempa dan tsunami 2004, kini sudah diperbaiki. Foto: Ayat S Karokaro

Ketika hal serupa terjadi pada Desember 2004, dia dan warga lain sudah menduga smong datang lagi, hingga berhasil menyelamatkan diri.

Setelah situasi aman, dia bersama ratusan warga turun gunung. Dia bersyukur, cemara  dan hutan mangrove yang mereka jaga, mampu menekan kedahsyatan ombak laut ke desa. Itu juga yang menyebabkan mereka bersiap dan berhasil melarikan diri ke gunung berjarak hampir tiga kilometer dari desa. Di gunung, selama tiga hari mereka makan sayuran, dan buah-buahan di kebun.

“Kami lihat banyak kali ikan berseleweran di tepi pantai karena air laut surut jauh. Pesan leluhur kami jangan ambil, kami hanya tinggalkan desa karena itu tanda smong akan datang. Ketika smong datang, air laut sampai berwarna hitam. Rumah hancur kami perbaiki gotong royong,” katanya.

Pasca kejadian, mereka berbenah, memperbaiki rumah dan bangunan di desa. Ada kesedihan di hati, karena 200 bangunan hancur lebur, namun yang mendapat bantuan rumah hanya 15 unit. Itupun baru satu tahun terakhir baru selesai. Selebihnya, membangun kembali swadaya. Ada juga bantuan dermawan asal Simeulue yang merantau ke Jawa, Sumatera, dan sejumlah daerah lain di Indonesia.

Lantas, bagaimana penanganan bencana oleh Pemerintah Simeulue?

Naskah Bin Kamar, Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue menceritakan, warga sudah memiliki kearifan lokal tetapi pemahaman mengenai kawasan rawan bencana juga diberikan Pemerintah Simeulue. Saat smong 2004, tidak sampai satu jam logistik dan evakuasi kepada para korban perlahan dilakukan.

“Saat kejadian SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) sempat menangis karena tidak mendapatkan kabar soal status Pulau Siemelue. Setelah hari ketiga dapat jalur keluar Pulau Simeulue, barulah semua pihak tenang. Pemerintah Pusat langsung menerjunkan tim memberikan bantuan.

Dia mengatakan, tindakan saat itu, adalah evakuasi dan pendataan serta pembuatan posko. Terparah, di Kecamatan Alafan, di Tepah Barat, Tepah Selatan, Simeulue Tengah, dan Simeulue Timur.

Letak Alafan, dari tofografi hanya 40 mil dari lokasi gempa dan sentral terdekat dari patahan gempa. Ia berdekatan dengan air laut berujung pada smong. Daerah ini paling parah saat musibah 2004. Saat Smong datang, setelah menghancurkan Kecamatan Alafan, lanjut ke Utara Simeulu, hingga Utara. Namun hanya satu korban jiwa.

Naskah mengatakan, dampak gempa dan smong, kerusakan cukup parah sampai 40%, terutama perumahan, infrastruktur, dan jembatan. Jembatan patah, dan jalan ambruk.

Pasca musibah, tindakan pembangunan darurat, setelah itu barulah bantuan datang dari pusat melalui Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR).

Pulau Simeulue, kini telah berbenah pasca kehancuran 10 tahun lalu. Foto: ayat S Karokaro

Pulau Simeulue, kini telah berbenah pasca kehancuran 10 tahun lalu. Foto: ayat S Karokaro

Berbenah

Setelah 10 tahun berlalu, wajah Simeulue, berbenah indah.  Bahkan, Kecamatan Alapan,  daerah paling terisolir saat gempa dan smong, berubah status dari tertinggal menjadi berkembang pada 2014. Kementerian Desa Tertinggal, mengeluarkan surat keputusan melalui PP Nomor 141 2014. Kabupaten ini satu dari 10 kabupaten di Aceh telah dicabut status dari daerah tertinggal, pasca gempa dan smong. “Pembangunan dan perbaikan infratsruktur terus dilakukan,” kata Naskah.

Pasca bencana gempa dan tsunami di Pulau Simeulue, Pemerintah Simeulue bangkit dan memperbaiki kerusakan. Di Kota Sinabang, Pemerintah Simeulue, membangun lagi dermaga baru buat kapal-kapal baik ukuran besar, sedang maupun kecil. Kapan-kapal ini, kata Naskah, membawa berbagai kebutuhan di Simeulue. Ada juga yang singgah lalu melanjutkan perjalanan ke Sibolga, maupun ke Banda Aceh.

Infrastruktur jalan dan bangunan juga diperbaiki, seperti daerah-daerah di Keupah Selatan, Keupah Utara dan sekitar. Jembatan penghubung di Keupah Barat juga dibangun.

Praktis, pasca 10 tahun tsunami, pembangunan kabupaten pemekaran Aceh Barat ini jauh lebih baik.

Pemkab Simeulue, kata Naskah, merancang pembangunan cukup cermat dan anti gempa. Gedung-gedung dan infrastruktur lain, dibangun tahan gempa. Mereka sadar betul hal itu perlu, mengingat Simeulue itu lokasi pecahan lempeng gempa.

“Kami terus berbenah. Pembangunan harus jalan, kami tidak mau terpuruk dalam kesedihan. Alhamdulillah, setelah 10 tahun gempa dan smong, perbaikan jalan rusak, dan pembangunan infrasturtur, sudah dilakukan.”

Menurut dia, warga sudah dipindahkan ke daerah lebih aman. Hanya sisa beberapa masih ada. “Selebihnya sudah lebih baik.”

Naskah mengungkapkan, dunia internasional menyaksikan langsung bagaimana status Simeulue yang diperkirakan hancur dihantam gempa dan tsunami. Namun, keariban lokal dan pengalaman seabad lalu hingga masyarakat bisa mengantisipasi dan bersahabat dengan alam.

Naskah mengatakan, pada 2006-2007, di Bangkok, Thailand, International Strategy for Disaster Reduction, lembaga PBB, memberikan penghargaan Sasakawa Award kepada masyarakat Simeulue, atas kearifan lokal yang mampu menekan korban jiwa.

“Ini akan kami jaga terus. Daerah kami di kelilingi laut, jadi semua harus waspada dan menghormati alam agar bisa damai dalam kehidupan.” (Bersambung)

Hewan-hewan ternak yang biasa dilepas di tepi pantai, kala kejadian berlari naik ke gunung. Foto: Ayat S Karokaro

Hewan-hewan ternak yang biasa dilepas di tepi pantai, kala kejadian gempa dan tsunami berlari naik ke gunung. Foto: Ayat S Karokaro

Tepian pantai Pulau SImeulue yang tenang...10 tahun lalu, laut mengamuk dan memuntahka air disertai gelombang panas ke daratan. Foto: Ayat S Karokaro

Tepian pantai Pulau SImeulue yang tenang…10 tahun lalu, laut mengamuk dan memuntahkan air disertai gelombang panas ke daratan. Foto: Ayat S Karokaro


Pulau Simeulue, Kini dan 10 Tahun Lalu…(bagian 2) was first posted on December 21, 2014 at 8:16 pm.

Mereka Menyuarakan Pemulihan Sungai Ciujung Lewat Seni

$
0
0
Kapal-kapal tangkap ikan nelayan di Sungai Ciujung. Foto: Indra Nugraha

Kapal-kapal tangkap ikan nelayan di Sungai Ciujung. Foto: Indra Nugraha

Siang itu, matahari terik di lapangan jongjing Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Sekelompok anak muda tampak antusias tampil di panggung. Tak begitu banyak warga hadir. Namun tak membuat semangat mereka padam. Pentas seni ini digelar guna memberikan penyadaran kepada warga tentang pentingnya menyelamatkan Sungai Ciujung.

“Pulihkan Sungai Ciujung!!” teriak Ketua Komunitas Tirtadaya, Anton Susilo dari panggung.

“Sekarang juga!!!” pekik penonton.

Komunitas Tirtadaya merupakan wadah anak muda di aliran DAS Ciujung. Ada 360 pemuda bergabung. Mereka dari tiga kecamatan terkena dampak pencemaran Sungai Ciujung; Tirtayasa, Pontang dan Tanara. Mereka mengkampanyekan gerakan peduli Ciujung dengan seni. Kegiatan dengan swadaya. Bahkan tak jarang harus ngamen demi menggelar acara.

Satu per satu kelompok tampil di panggung kecil itu. Beberapa ada yang membawakan lagu bertema lingkungan hidup. Sebagian lain, membaca puisi. Beberapa penonton hadir duduk lesehan di rumput.

“Kita kampanye sampai ke alun-alun kota Serang tiap malam minggu. Mungkin bulan depan akan kampanye ke setiap mall. Kita sudah komunikasi dengan setiap mall di Serang. Satu ada kesepakatan dengan Mall of Serang. Nanti kampanye pemulihan Sungai Ciujung,” kata Anton, Minggu (14/12/14)

Selain pentas seni musik dan puisi, juga menyuguhkan atraksi debus. Penonton antusias. Seorang lelaki paruh baya dengan mata tertutup memainkan sebilah parang. Mencoba menebas mentimun yang dipegang tiga penonton. Suasana tegang. Namun si lelaki berhasil menebas mentimun dengan tepat. Tanpa melukai penonton. Tepuk tangan membahana.

Aksi para pemuda menyuarakan penyelamatan Sungai Cijung. Foto: Indra Nugraha

Aksi para pemuda menyuarakan penyelamatan Sungai Cijung. Foto: Indra Nugraha

Di sela-sela atraksi, presenter acara beberapa kali menyelipkan pesan agar warga peduli penyelamatan Ciujung. Presenter mengarahkan warga ikut menandatangani selembar kain besar berwarna merah sebagai bentuk dukungan. Hari itu, mereka menggagas aksi “Sejuta tandatangan untuk pemulihan Sungai Ciujung”.

“Nanti kita akan pentas di mall setiap hari minggu dari pukul empat sore sampai malam.”

Anton mengatakan, awalnya kesulitan mendekati pemuda di sana. Dulu apatis. Setelah beberapa kali pendekatan, akhirnya mulai tergerak. Saat ini tiap kecamatan mempunyai satu sanggar seni.

Anton mengatakan, dulu orangtua mempunyai tambak bandeng. Dampak pencemaran, produktivitas bandeng menjadi menurun bahkan merugi. Bisnis tambak bandeng pun tutup.

“Rugi terus. Udah gak produktif, kalau kita tanam ikan-ikan pada mati karena limbah.”

Selain menggaet pemuda sekitar, Komunitas Tirtayasa juga mengajak anak jalanan terlibat. Saat ini, mereka mempersiapkan lagu khusus bertema Sungai Ciujung. Ia kolaborasi bersama group band indie anak jalanan, AjaElok.

“Rumah kami dekat pabrik IKPP. Kami juga gabung dengan Riung Hijau. Kami tertarik membuat lagu tentang Ciujung. Ini sedang kami persiapkan. Target awal Januari rilis,” kata vokalis group AjaElok, Mohamad Fauzi Rahman.

Hari itu, mereka juga melepas lele ke Sungai ciujung. Mereka berharap pemulihan Ciujung segera terealisasi. “Kita melepas ikan simbolis supaya ikan bisa hidup dan sungai bersih kembali,” kata Ketua Riung Hijau, Haksari Bowo.

Nelayan tengah membenahi jala tangkapnya. Foto: Indra Nugraha

Nelayan tengah membenahi jala tangkapnya. Foto: Indra Nugraha

Bowo mengatakan, setelah pertemuan Oktober di Kementerian Lingkungan Hidup, Riung Hijau bertemu dengan BPLHD Serang. BPLHD menyarankan, bersama-sama ke lokasi pabrik. Melihat pengelolaan limbah langsung yang direncanakan Januari 2015.

“Mereka mengatakan perusahaan sudah membuat lagoon semacam danau untuk menahan air limbah. Kita  mau lihat.”

BPLHD Serang menargetkan, 2018 Sungai Ciujung bersih.  Bowo ragu. “Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Bagaimana mau bersih? Pencemaran perusahaan masih berlangsung.”

Selama ini, BPLHD Serang kampanye menanam pohon. “Tidak akan efektif kalau sungai mau bersih, izin perusahaan dicabut.”

Perusahaan ini berkali-kali berganti nama. Tahun 1976, memakai nama CV Berkat. Pada 1983 menjadi PT Indah Berkat Agung, 1996 PT Indah Kiat Pulp and Paper Corporation, dan 2008 menjadi PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk.

Kholid Mikdar, warga yang aktif di Front Kebangkitan Petani Nelayan (FKPN) mengatakan, Sungai Ciujung mengalir melintasi tiga kabupaten, Serang, Pandeglang dan Lebak. Akibat pencemaran sungai, banyak warga mengeluhkan penyakit kulit.

“Kami masyarakat desa kebanyakan suka lupa. Penyakit kulit dibiarkan begitu saja. Belum ada penelitian detail soal kandungan zat berbahaya di Ciujung. Masyarakat gak ngerti.”

Kholid mengatakan, tambak ikan milik masyarakat, perusahaan besar juga terkena limbah. Dulu ada dua perusahaan tambak bandeng  tetapi ikan-ikan pada mati.

Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Walhi Nasional mengatakan, pemulihan DAS Ciujung merupakan wujud pemenuhan hak warga sebagaimana amanet konstitusi. Dalam dokumen audit lingkungan disebut IKPP menyumbang kontribusi pencemaran sungai 83,92%.

“Hingga kini belum ada upaya maksimal pemulihan sungai.  Walhi bersama masyarakat DAS Ciujung telah melaporkan kepada pemerintah.”

Warga mengeluhkan kualitas air Sungai Ciujung yang memburuk terlebih kala kemarau. Ikan-ikan di tambak pun banyak mati. Foto: Indra Nugraha

Warga mengeluhkan kualitas air Sungai Ciujung yang memburuk terlebih kala kemarau. Ikan-ikan di tambak pun banyak mati. Foto: Indra Nugraha

 


Mereka Menyuarakan Pemulihan Sungai Ciujung Lewat Seni was first posted on December 21, 2014 at 9:48 pm.

Konsultasi Amdal Tambang Emas Keluarga Bakrie Diprotes

$
0
0

Lokasi tambang rakyat yang kini masuk konsesi PT Gorontalo Mineral di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Foto: Christopel Paino

PT Gorontalo Mineral, perusahaan tambang emas milik keluarga Bakrie, menggelar konsultasi publik penyusunan Analisis dampak lingkungan (Amdal) di rumah makan Samudera Kota Gorontalo, Kamis (18/12/14).

Namun dari proses mendapatkan izin penambangan itu diwarnai kericuhan. Sejak pagi, ketika acara baru mulai, di luar berdatangan pengunjuk rasa. Mereka berorasi sembari membawa poster berisi tuntutan menghentikan konsultasi publik.

Pengunjuk dari Forum Pemerhati Masyarakat Penambang Bersatu (FPMPB) Bone Bolango, Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Gorontalo, Perhimpunan Pelajar Mahasiswa Bone Bolango (PAPMIB) dan Lembaga Monitoring Transparansi Kebijakan Publik (LMTKP). Kelompok ini menamakan diri sebagai koalisi rakyat untuk transparansi kebijakan publik pengelolaan sumber daya alam.

Keinginan pengunjuk rasa masuk ke lokasi kegiatan dihadang aparat kepolisian. Pagar rumah makan ditutup. Namun, seorang pengunjuk rasa, Sunaryo Dulanimo, menerobos barikade kepolisian dan masuk. Di sana dia membanting kursi sembari berteriak meminta konsultasi publik penyusunan Amdal dihentikan.

Namun aksi Sunaryo tidak berlangsung lama. Dia dihadang beberapa orang dan langsung dipukul. Kegeduhan terjadi di ruangan itu. Para ibu-ibu segera menjauh. Sunaryo diamankan kepolisian. Pelipis sebelah kanan lebam.

“Banyak yang memukul saya. Yang saya kenal tadi hanyalah Arjun Mogolaingo,” kata Sunaryo.

Arjun yang dimaksud Sunaryo, adalah mantan anggota dewan di Bone Bolango, kini bekerja di Gorontalo Mineral. Namun Arjun membantah memukul Sunaryo.

“Saya tidak memukul, hanya mengamankan agar suasana konsultasi publik tetap berjalan tertib dan kondusif.”

Menurut Sunaryo, tujuan dia masuk ke pertemuan itu meminta kegiatan dihentikan. Terlebih, dokumen konsultasi publik tidak ada hal baru. Apalagi sesuai SK 456/Menhut-II/2011, tentang perpanjangan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi emas dan mineral pengikut pada kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi tetap, Gorontalo Mineral di Bone Bolango berakhir 18 Juli 2013. Ia tidak dapat diperpanjang.

Jemi Monoarfa, peserta protes mengatakan , kehadiran Gorontalo Mineral membawa bencana bagi masyarakat di Bone Bolango. Pada 2011, enam desa di Bone dan Bone Raya, diterjang banjir bandang dan longsor, jembatan putus, sarana publik rusak parah, dua warga tewas terseret arus, dan puluhan mengungsi.

Pada 2013, di Kecamatan Bone Pantai dan Bulawa diterjang banjir. Empat warga tewas, tiga terseret arus dan tertimbun longsor, puluhan rumah hanyut dan rusak parah, sarana publik seperti sekolah, tempat ibadah hingga jembatan, putus. “Akses publik lumpuh total ketika itu.”

Gorontalo Mineral, telah melanggar hukum dan harus ditindak karena proyek jalan sebelum ada Amdal. Untuk itu, mereka menuntut Amdal dihentikan dan proses penyelidikan.

Unjuk rasa menolak PT Gorontalo Mineral. Foto: Christopel Paino

Unjuk rasa menolak PT Gorontalo Mineral. Foto: Christopel Paino

Penambang rakyat

Meskipun begitu,  konsultasi publik berlangsung hingga pukul 12.15. Dalam konsultasi publik dihadiri tim penyusun Amdal, lebih banyak diprotes penambang rakyat. Para penambang rakyat hadir sebagai peserta bergantian mempertanyakan keberadaan Gorontalo Mineral di wilayah kelola tambang mereka yang dilakukan sejak 1970-an.

Ihwan Husain, penambang rakyat mempertanyakan apakah perusahaan siap menciutkan wilayah pertambangan perusahaan kepada penambang rakyat seluas 2.000 hektar, menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR).

“Kami ingin perusahaan memperhatikan penambang rakyat. Kami hanya minta 2.000 hektar jadi WPR.”

Para penambang rakyat khawatir kalau penyusunan Amdal hanya pesanan perusahaan. Mereka mengancam akan menutup akses jalan perusahaan sepanjang tiga kilometer di Desa Tulabolo Timur, Kecamatan Suwawa, Bone Bolango– pintu masuk kawasan hutan–, jika perusahaan tidak menyanggupi tuntutan mereka.

Syahrial Junadi, General Manager Gorontalo Mineral mengatakan, kegiatan ini untuk menampung semua masukan maupun kritikan masyarakat. Mereka menampung dan akan diberikan kepada tim penyusun Amdal.  Tim penyusun Amdal, katanya, perusahaan bekerja sama dengan ahli independen, dari Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri Institut Teknologi Bandung (Lapi ITB) dan Universitas Negeri Gorontalo (UNG).

Menanggapi pertanyaan penambang rakyat yang meminta wilayah 2.000 hektar, Syahrial enggan menjawab. Menurut dia, harus berpulang ke pemerintah dan regulasi yang mengatur.

Jika konsultasi publik penyusunan Amdal selesai, Gorontalo Mineral akan tahap konstruksi dan produksi.

Mengenai penyusunan Amdal, perwakilan Badan Lingkungan Hidup dan Riset Daerah Gorontalo, Ivon menjelaskan, di Gorontalo, lisensi komisi penilai Amdal provinsi sejak Juni 2014 belum diperpanjang oleh komisi penilai Amdal pusat. Hingga mereka melimpahkan ke komisi penilai Amdal Bone Bolango.

“Karena kontrak karya, dan di kawasan hutan lindung, proses penilaian dilimpahkan ke pusat. Yang akan mengeluarkan rekomendasi dari sisi lingkungan komisi penilai Amdal pusat. Proses mungkin setahun.”

Dia mengatakan, tim penyusun Amdal harus menampung semua aspirasi masyarakat, terutama yang menerima dampak negatif.  Dia mengusulkan, perlu ada ruang lain membahas teknis penyusunan dokumen.

“Kalau melihat hasil pemaparan perusahaan, ada banyak sekali perlu dikaji karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Kalau boleh izin-izin yang semua dikeluarkan pusat, harus dibuka satu-satu agar diketahui masyarakat,” kata Ivon.

Alih fungsi hutan

Dalam dokumen, proses perizinan Gorontalo Mineral merupakan kontrak karya generasi ke VII ditandatangani 19 Februari 1998 oleh pemerintah pusat didahului persetujuan DPR dan presiden.

Gorontalo Mineral saat ini tidak lepas dari kesuksesan mengalih fungsi hutan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Ketika itu ditanyakan kepada perusahaan, Syarial enggan menjawab.

“Saya rasa yang berhak menjawab itu pemerintah. Setahu saya proses itu harus melewati 16-18 tahapan. Pemerintah daerah lebih tahu.”

Ahmad Bahsoan, Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Alam mengatakan, alih fungsi hutan di taman nasional menjadi tambang ini ancaman bagi ketersediaan air. Bukan hanya masyarakat di sekitar kawasan, juga bagi 15.000 lebih rumah tangga di Bone Bolango dan Kota Gorontalo yang mengkonsumsi air PDAM bersumber dari DAS Bone.

“Nilai cadangan emas di taman nasional yang dialihfungsi itu tidak akan sebanding dengan kemampuan dalam menyediakan pangan bagi masyarakat Gorontalo.”

 

 


Konsultasi Amdal Tambang Emas Keluarga Bakrie Diprotes was first posted on December 22, 2014 at 4:58 pm.

Berkat Hidup Beradaptasi, dan Menjaga Alam (bagian 3)

$
0
0
Penanaman pohon di tepian pantai terus dilakukan di Pulau Simeulue. Foto: Ayat S Karokaro

Penanaman pohon di tepian pantai terus dilakukan di Pulau Simeulue. Foto: Ayat S Karokaro

Udara dingin sepanjang perjalanan menaiki pesawat kecil dari Kota Medan, Sumatera Utara, menuju ke Simeulue, Aceh, 24 November 2014.  Malam hari, tiba-tiba gempa berkekuatan lima Skala Richter menghentakkan. Mereka terlihat tenang, hanya keluar rumah sambil menatap ke laut. Setelah itu, kembali ke rumah.

Pada saat smong atau tsunami 26 Desember 2004, dan meski kerusakan cukup parah mencapai 60%, khusus di barat dan selatan Pulau Simeulue, tetapi korban jiwa hanya enam korban jiwa. Selain kearifan lokal dengan budaya tutur, masyarakat juga sangat sadar, kalau daerah mereka rawan bancana gempa. Budaya tanam dan menjaga hutan mangrove terus hidup.

Gugusan Simeulue berada di persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan lempeng Asutralia dan lempeng Samudra Hindia.

Rayhan Zailani, pemuda Aceh yang tinggal di Simeulue ini terus kampanye penanaman mangrove. Dia mengatakan, saat smong datang hutan mangrove rusak parah diterjang ombak tinggi.

Dari generasi ke generasi, masyarakat Simeulue menjaga hutan mangrove dan pohon di sepanjang garis pantai laut mereka. Masyarakat sadar betul, kalau peristiwa 1907 silam itu, menjadi pengalaman pahit para leluhurnya ketika smong datang.

“Jadi modal masyarakat Pulau Simeulue ini hanya satu, yaitu bersahabat dengan alam, menjaga hutan tidak ditebang, karena mereka sadar betul, hutan mangrove mampu menahan ombak tinggi jika smong datang.”

Terbukti, katanya, kala smong datang, ombak tinggi ditahan ribuan kayu hutan mangrove, hingga hantaman tidak begitu dahsyat sampai ke kampung. “Coba kalau hutan mangrove gak ada, apa jadinya itu?”

Hutan mangrove di tepian Pantau Simeulue, ikut membantu membantu mengurangi kuatnya hantaman ombak kala tsunami mendera pada 2004. Foto: Ayat S Karokaro

Hutan mangrove di tepian Pantai Simeulue, ikut membantu  mengurangi kuatnya hantaman ombak kala tsunami mendera pada 2004. Foto: Ayat S Karokaro

Senada disampaikan Mohd. Riswan. R, atau dikenal dengan Pak Moris. Dia tokoh adat dan budaya di Simeulue. Dia menjelaskan, di kepulauan ini, melalui kebudayaan kisah smong itu juga disampaikan. Semua budaya manusia, katanya,  banyak dipelajari dari alam hingga saling menjaga. Manusia, hidup tidak terlepas dari keadaan alam dan lingkungan.

Pak Moris, menyatakan,  selama ini masyarakat mengenal budaya dan kearifan lokal hanya melalui budaya tutur, dari mulut ke mulut. “Itu diakui dunia, termasuk menjaga alam dan tidak merusak hutan.”

Namun, katanya, belum pernah ada yang menulis buku hingga dia tergerak membukukan kearifan lokal masyarakat Simeulue ini. Dengan harapan, jika buku jadi, bisa dibaca orang-orang dunia, yang ingin mengetahui bagaimana masyarakat Simeulue menjaga kearifan lokal dan mengantisipasi jika bancana datang.

“Pesan leluhur kita menyatakan, jangan rusak hutan dan harus tetap menjaga keariban lokal. Itu tetap dijaga masyarakat Simeulue, ” kata Pak Moris.

Naskah Bin Kamar, Sekretaris Daerah Kabupaten Simeulue, menyatakan ketika gempa dan smong 26 Desember 2004, setidaknya ada 300 hektar lebih hutan mangrove di Simeulue hancur dan rusak parah. Pemerintah , katanya, memperbanyak penyediaan bibir mangrove, Pada tahun ini, target penanaman 500-600 hektar.

Sampai akhir September 2014, katanya, luas hutan mangrove berhasil ditanam dan berkembang mencapai 400 hektar. “Akan terus dilakukan, dukungan masyarakat adat cukup kuat.”

Naskah mengatakan, selama ini masyarakat menjaga hutan, termasuk hutan mangrove di pantai. Kini, sudah ada pengertian dari masyarakat, terutama mengenai fungsi hutan mangrove di pantai, selain sumber sarang ikan dan binatang laut. Warga juga sangat memahami,  hutan mangrove bisa menghambat abrasi pantai, bahkan ketika smong datang. Dia juga dianggap mampu menekan terjangan air laut ke daratan. Pemerintah Simeulue, juga melarang penebangan hutan mangrove.

“Menjaga dan bersahabat dengan alam banyak manfaat bagi manusia. Kami bukti.” (habis)

Tutupan hutan di Pulau Simeulue, terbilang masih bagus. Foto: Ayat S Karokaro

Tutupan hutan di Pulau Simeulue, terbilang masih bagus. Foto: Ayat S Karokaro


Berkat Hidup Beradaptasi, dan Menjaga Alam (bagian 3) was first posted on December 22, 2014 at 10:59 pm.

Parah, Dosen Ini Unggah Satwa Dilindungi Hasil Buruan

$
0
0
Devi S, kala memprosting hasil buruan, beberapa satwa dilindungi di akun Facebook-nya.

Devi S, kala memprosting hasil buruan, beberapa satwa dilindungi di akun Facebook-nya.

“Hasil berburu kemarin, para kembaranku, Natalan bersama..” Begitu status Facebook Devy Sondakh, sekaligus mengunggah foto seorang pria bertelanjang dada seraya memegang dua yaki (Macaca nigra),  hasil buruan. Yaki adalah satwa endemik Sulawesi Utara (Sulut) yang nyaris punah dan berstatus dilindungi. Di bagian bawah, tergeletak kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis). Devy, dalam akun facebook itu, menyatakan sebagai dosen fakultas hukum di salah satu universitas terkemuka di Sulut.

Tanggapan dan kecaman langsung datang.  Status itupun di-share ke mana-mana. Diapun menjawab dengan berbagai teori dan pembelaan atas apa yang dia lakukan.

“Apakah binatang itu hendak di santap ? Masih ada bahan santap yg memang layak untuk disantap…… Alangkah baiknya dan bijak jika kita memilih mana yg layak untuk disantap dan mana yg tidak patut untuk disantap oleh manusia,” kata akun Ruth Daisy, pada 20 Desember.

Devy menjawab. “Ruth, minta maaf, aku sendiri dosen Filsafat dan Logika, ttp aku tdk cukup bijak utk hal ini…”

Dia tahu yaki dilindungi. Sebagai alasan perburuan yaki, dia menghubungkan berbagai faktor seperti tradisi, agama, ekonomi dan hama bagi petani. Faktor tadi dijadikan legitimasi memburu satwa endemik itu.  “Mungkin, aku ini hanya seorang yang ‘rakus’ atas hewan-hewan di hutan, sebagaimana kebanyakan orang Minahasa.” Begitu antara lain tanggapan dia.

Dia menilai yaki termasuk hama. Penilaian itu berdasarkan pengalaman menjelajah sebagian besar hutan di Sulut. Devy mengaku pernah diserang monyet yang harus survive dan turun ke pertanian warga karena ada illegal logging. Interaksi antara satwa dengan pertanian warga tadi menjadikan hama pantas dibasmi. “Kalau ada UU perlindungan terhadap satwa monyet yang habitatnya jutaan, dan merusak pertanian warga itu artinya UU itu salah dan harus dicabut.”

Devy turut membandingkan yaki dengan sapi. Menurut dia, yaki adalah common enemy of farmers, khusus petani di pedalaman yang berdekatan dengan hutan. Sedang sapi memiliki nilai ekonomis karena membantu manusia dalam membajak dan mengangkut barang. “Dari sisi kuantitas, yang kami buru itu cuma tiga, sementara yang disembelih di Natalan dan kurban itu ratusan ribu. Tahukah anda bahwa para maling hutan pemegang HPH datang mencuri, membakar sekaligus menghancurkan habitat hewan?

John Tasirin, pakar Biodiversitas Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, menilai, argumentasi Devy sama sekali tidak bisa dibenarkan. Klaim memakan satwa liar, terutama yaki, bagian dari tradisi sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Konsumsi protein dari satwa hutan bisa digantikan dengan ternak. Apalagi yang diburu dan satwa dilindungi.

“Satwa yang tergeletak di lantai adalah kuskus kerdil juga dilindungi. Jika satwa-satwa itu sudah dilindungi UU harusnya tidak ada interpretasi lain. Sudah ada kekuatan hukum. Seharusnya orang hukum tahu itu,” katanya kepada Mongabay, Senin (22/12/14).

Dia mempertanyakan pula argumentasi yaki adalah hama. Kata John, dalam caption foto tertulis “hasil berburu kemarin: para kembaranku, natalan bersama”, yang jelas karena karena faktor perburuan untuk Natal. Bukan soal hama. Hingga tindakan Devy lebih upaya pemenuhan kepuasan pribadi. Jika itu hama, seharusnya diperlakukan sebagai hama. “Kuskus kerdil jelas bukan hama. Satwa ini masuk kategori rentan, lebih langka ketimbang kuskus beruang.”

John menambahkan, membandingkan yaki dengan sapi merupakan kesalahan. Yaki satwa liar yang dilindungi karena status keterancaman. Sapi adalah ternak. Dari sisi ekonomis, satwa liar termasuk yaki memiliki kontribusi besar bagi manusia. Penyebaran biji berperan dalam pembentukan hutan secara alami. Yaki berguna bagi alam dalam menjaga keseimbangan.

Dia mencontohkan, pemerintah harus mengeluarkan banyak anggaran membayar orang untuk penghijauan, dan belum tentu tumbuh. Ada begitu banyak satwa liar menyebarkan benih lalu menciptakan hutan begitu lebat. Satwa liar membantu alam bertumbuh alami. Salah satu unsur alam itu yaki.

John meragukan pernyataan Devy yang pernah melihat populasi yaki hingga ribuan. Tak sebanyak yang perkiraan Devy, dalam kelompok, yaki hanya sekitar 40 individu. Di Tangkoko, misal, populasi diperkirakan hanya 500 yaki.

Yaki, satwa endemik Sulut yang ramah dan kerab menjadi sasaran perburuan dan konsumsi. Foto: Sapariah Saturi

Meski dilindungi UU, John menilai, upaya penegakan hukum terkait perlindungan satwa terbilang lemah. Indonesia sebagai negara belum memprioritaskan perlindungan satwa. “Padahal, menurut Pangeran Charles, dalam pidato di hari anti korupsi internasional, penghilangan salah satu keragaman hayati merupakan tindak korupsi.”

Tegakkan hukum

Pemerintah, katanya,  harus lebih berani menegakkan hukum dan peraturan. Sebab, pelanggaran hukum tetaplah pelanggaran, termasuk berburu yaki. “Kita makhluk paling bijaksana, punya akal budi. Tindakan itu justru mendatangkan neraka, sebab membunuh yaki adalah membunuh masa depan.”

Saroyo, primatolog Unsrat menilai, tindakan berburu satwa liar identik dengan peningkatan status sosial. Makin mahal, makin bergengsi. Penilaian ini membuat yaki menjadi pesona di acara-acara tertentu, sekaligus menjadi faktor penurunan populasi yaki.

Saroyo pernah riset berjudul “Konsumsi Mamalia, Burung, dan Reptil Liar Pada Masyarakat Sulawesi Utara dan Aspek Konservasi”. Dalam penelitian itu, Indonesia merupakan biodiversitas tertinggi nomor dua dunia, berarti makhluk hidup, termasuk flora dan fauna, mikroba dan jamur sangat tinggi. Walaupun demikian, keterancaman satwa liar sangat tinggi.

Di Sulut, katanya, ada dua faktor yang mengancam eksistensi satwa liar, yaitu, perusakan habitat dan perburuan untuk konsumsi. Yaki dan kuskus kerdil,  termasuk satwa dilindungi yang diperdagangkan dan dikonsumsi.

“Yaki satwa yang tidak boleh diburu dan dikonsumsi. Pemerintah lewat UU dan sejumlah peraturan telah melindungi satwa ini. IUCN red list, bahkan, memasukkan yaki dalam kategori kritis.”

Sudiyono, kepala BKSDA Sulut, mengatakan, mengetahui perdebatan soal foto ini. Dalam waktu dekat, segera memanggil Devy dimintai keterangan.

Namun, dia menilai, kesulitan memproses kasus-kasus seperti ini. Hingga kini, setidaknya tiga kasus perburuan yaki diunggah di Facebook dan tidak bisa diproses hukum. Bukti foto dinilai lemah, apalagi dengan tidak ada barang bukti. Sudah pasti, daging yaki dan kuskus kerdil tidak bisa ditemukan. “Kami akan panggil dulu yang bersangkutan untuk dimintai keterangan.”

Kuskus kerdil merupakan satwa dilindungi di Indonesia masuk daftar Apendix II. Ia satu dari tiga jenis kuskus Sulawesi, selain kuskus beruang (Aulirops ursinus) dan kuskus talaud (Aulirops melanotis). Satwa lucu ini terancam karena dipelihara dan dikonsumsi.

Sedang yaki,  sejumlah penelitian menyebut, dalam 30 tahun terakhir, populasi terus menurun hingga 80% atau kurang dari 5.000. Penyebabnya, perusakan hutan dan perburuan.

Akun Facebook itu  pada November 2014, mengampload foto yang merperlihatkan orang baru selesai berburu dengan beberapa yaki, sudah tewas di depannya. Foto: dari Facebook pengunggah


Parah, Dosen Ini Unggah Satwa Dilindungi Hasil Buruan was first posted on December 23, 2014 at 12:25 pm.
Viewing all 4054 articles
Browse latest View live