Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3923 articles
Browse latest View live

Duh! Lubang Tambang Batubara Kaltim Telan Korban Anak Lagi…

$
0
0
Warga bersama keluarga akan membawa M Raihan, ke pemakaman. Raihan adalah korban anak kesembilan, yang tewas di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim

Warga bersama keluarga akan membawa M Raihan, ke pemakaman. Raihan adalah korban anak kesembilan, yang tewas di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim

Pada Senin (22/12/14), tepat di Hari Ibu, menjadi hari paling mengerikan dan menyedihkan bagi Rahmawati (37). Dia mengalami duka mendalam, karena anak tercintanya, M Raihan Saputra (10), tewas di lubang bekas tambang. Lubang tambang itu diduga milik perusahaan, PT. Graha Benua Etam (GBE). Kala itu, Raihan bermain bersama teman-teman sebaya.

Air mata Rahmawati terus bercucuran. Di rumah sederhana dari kayu berukuran sekitar 6 X 12 meter  itu, beberapa ibu memeluk dan menguatkan si ibu yang baru kehilangan buah hati ini.

Rahmawati mengatakan, sehari sebelum kejadian sang ayah menasehati Raihan agar tak main jauh-jauh. Tak ada firasat apapun atas kepergian Raihan.

Baru dua hari Raihan menikmati liburan sekolah. Pada Sabtu, dia dan orang tua baru mengambil rapor semester ganjil di SDN 009, Pinang Seribu, Samarinda Utara.

Rahmawati sehari-hari berjualan nasi campur dan gorengan di warung kecil di depan rumah Jl. Padat Karya, Sempaja Selatan. Sang suami, Misransyah, buruh toko alat-alat kapal.

Informasi yang diperoleh dari Jatam Kaltim, Raihan diperkirakan tewas sekitar pukul 14.00 dan baru dievakuasi pukul 17.30, setelah mendapat bantuan BNPB dan Tim SAR. Tubuh Raihan ditemukan  pada kedalaman delapan meter. Lubang bekas tambang ini sekitar 40 meter. Lubang tambang itu berjarak hanya 50 meter dari pemukiman warga.

Keperluan sehari-hari

Sejumlah warga dan kerabat menceritakan lubang bekas tambang sudah dibiarkan menganga dan terisi air sejak tiga tahun lalu.

Menurut Asep (38),  warga Gang Karya Bersama, Gang M. Tulus dan Gang Saliki malah menggunakan air lubang bekas tambang yang mirip danau itu untuk mandi dan mencuci pakaian.

Dia mengatakan, sudah tiga bulan menyedot air menggunakan mesin dan selang dari danau bekas tambang itu. “Kalau mengandalkan air sanyo, keruh dan PAM (perusahaan air minum) belum terpasang di sini,” kata Asep.

Inilah lubang bekas tambang batubara yang menelan jiwa Raihan. Foto:  Jatam Kaltim

Inilah lubang bekas tambang batubara yang menelan jiwa Raihan. Foto: Jatam Kaltim

Korban kesembilan

Raihan adalah korban ke sembilan menyusul delapan anak lain yang tewas di lubang bekas tambang batubara beracun dan dibiarkan menganga tanpa rehabilitasi.

Dalam siaran pers Jatam Kaltim menyebutkan, beberapa perusahaan patut bertanggung jawab atas kejadian maut ini. Antara lain, PT Hymco Coal (2011), PT. Panca Prima Mining (2011), PT. Energi Cahaya Industritama (2014). Lubang yang disebut-sebut warga diduga merenggut nyawa Raihan PT GBE.

GBE beroperasi dengan luas izin 493,7 hektar sejak 18 Mei 2011 dan berakhir 9 November 2015.

Catatan Jatam Kaltim, GBE ini perusahaan nakal, diduga terlibat gratifikasi kepada mantan Kepala Dinas Pertambangan di era RAR. GBE juga seringkali disebut dalam evaluasi bulanan tambang yang pernah digelar Pemkot tahun 2012-2013 sebagai perusahan paling tidak taat bahkan pernah dihentikan sementara.

Kunjungan tim Jatam Kaltim dua jam setelah evakuasi menemukan kesaksian warga bahwa lubang ini ditinggalkan hampir tiga tahun. “Ini melanggar peraturan pemerintah paling lambat 30 hari kalender setelah tidak ada kegiatan tambang lahan terganggu wajib direklamasi,” kata Merah Johansyah Ismail Dinamisator Wilayah  Jatam Kaltim, Selasa (25/12/14).

Lebih parah lagi, lubang bekas tambang ini dekat dengan pemukiman. Ia juga diduga melanggar Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara. “Aturan mensyaratkan jarak 500 meter tepi lubang galian dengan pemukiman warga. Kenyataan jarak hanya 50 meter.”

Di sekitar lubang itu juga tak tidak memasang plang atau tanda peringatan di tepi lubang dan tak ada pengawasan. “Ini menyebabkan orang lain masuk ke lubang tambang.”

Jerat pemberi izin

Jatam Kaltim mendesak, walikota dan Distamben Kota Samarinda bisa terkena Pasal 359 KUHP dan UU Lingkungan Hidup. “Sebab unsur “barang siapa” karena kealpaan menyebabkan matinya orang lain.”

Menurut dia, belajar dari penanganan beberapa anak tewas di lubang tambang, Jatam Kaltim pada 24 April 2013 dan 21 April 2014 sudah mengirim surat dan mempertanyakan kinerja kepolisian, DPR hingga Komnas Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

“Kepolisian mengendur, apalagi jika kasus-kasus kejahatan tambang melibatkan tokoh-tokoh penting dan pemilik modal.” Bukan itu saja. Penyidikan kasuspun, tak ada kepastian.

Untuk itu, Jatam Kaltim mendesak pertanggungjawaban politik DPRD Samarinda dengan mendesak walikota agar menghukum perusahaan. “Juga memanggil walikota dengan hak interpelasi dan angket.”

Jatam juga meminta walikota mengusut tuntas kasus ini. “Atau mundur karena gagal dan lalai. Gubernur juga untuk turun tangan.”

Merah juga mendesak perhatian pemerintah pusat, dari kementerian terkait maupun Presiden Joko Widodo. “Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mesti sikapi serius. Ini sudah parah. Lingkungan rusak dan menelan korban. Kejadian ini terulang dan tak ada perusahaan maupun pemberi izin yang ditindak,” katanya.

Sumber: Jatam Kaltim

Sumber: Jatam Kaltim


Duh! Lubang Tambang Batubara Kaltim Telan Korban Anak Lagi… was first posted on December 23, 2014 at 3:01 pm.

Setelah 10 Tahun, Siapkah Aceh Hadapi Tsunami?

$
0
0
Guru bersama seorang siswa mengangkat siswa yang ketakutan saat simulasi gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Foto: Junaidi Hanafiah

Guru bersama seorang siswa mengangkat siswa yang ketakutan saat simulasi gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Foto: Junaidi Hanafiah

26 Desember 2004. Hari itu, bak mimpi buruk bagi Aceh, Indonesia. Daerah ini luluh lantak terkena gempa dan tsunami dahsyat. Ratusan ribu jiwa manusia melayang, rumah-rumah hancur. Infrastruktur jalan maupun jembatan porak poranda. Itu sudah hampir 10 tahun berlalu.

Kini, Aceh sudah berbenah. Bangunan-bangunan hancur kembali dibangun. Namun, bagaimana kesiapan masyarakat Aceh menghadapi gempa dan tsunami?

Yulia Direskia, Psikolog Tsunami and Disater Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, mengatakan, secara psikologi, masyarakat Aceh belum siap menghadapi jika bencana kembali melanda. Trauma gempa dan tsunami masih belum hilang dari masyarakat. “Ketika terjadi gempa, mereka panik dan tidak bisa mengendalikan diri,” katanya.

Dia mengatakan, dampak kepanikan masyarakat  ini, mereka kesulitan mengendalikan kerja otak. Mereka kalang kabut saat hendak menyelamatkan diri. Padahal, katanya, sangat penting saat evakuasi dari bencana tsunami, masyarakat bisa mengendalikan kepanikan. “Karena panik hanya menjadi bencana baru dan sulit berpikir.”

Menurut Yulia, ketika gempa terjadi, pikiran sebagian besar masyarakat Aceh kembali menerawang ke tsunami 2004. Bahwa ombak akan menggulung mereka. “Padahal jika mereka tidak panik, setelah gempa, warga memiliki waktu beberapa menit lari menyelamatkan diri. Karena panik, mereka tidak bisa berpikir untuk menyelamatkan diri.”

Untuk itu, katanya, salah satu yang harus dilakukan saat ini,  bagaimana mempersiapkan psikologi masyarakat menghadapi bencana dan tidak panik saat menyelamatkan diri. “Psikologi masyarakat sangat penting untuk mengurangi risiko bencana.”

Namun, berbeda dengan masyarakat di Kabupaten Simeulue, Aceh. Warga di sana sudah siap.  Mereka sangat paham menghadapi gempa maupun tsunami.

“Disini, jika gempa kuat, perempuan, orangtua dan anak-anak langsung melarikan diri ke tempat tinggi. Sejumlah pemuda bergerak ke pinggir laut untuk memantau air laut,”  kata Sumardi, tokoh masyarakat Simeulue.

Menurut dia, penyadaran hidup di kawasan rawan gempa dan tsunami telah diberikan sejak bayi di ayuan lewat nyanyian.

Said Rasul, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menyebutkan, Aceh salah satu daerah rawan bencana, baik geologis, hidrometeorologis juga bencana sosial. Untuk itu, perlu ada perencanaan dan persiapan baik.

“Pemerintah Aceh berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengurangi risiko bencana, terutama gempa dan tsunami.”

Untuk mengurangi korban, kata Said, pemerintah membuat simulasi gempa dan tsunami disertai pembunyian sirene serentak di enam titik di daerah Banda Aceh dan Aceh Besar.

Kegiatan ini pada Minggu (26/10/14) pukul 09.45. Enam titik itu Gampong Lampulo, Blang Oi, Lam Awe, Khaju, Lhoknga dan di Kantor Gubernur Aceh. Simulasi melibatkan 300 peserta dari unsur masyarakat dan beberapa sekolah siaga bencana dan 100 peserta aparatur pemerintahan.

Simulasi ini, katanya, guna mempersiapkan masyarakat agar tidak panik saat menyelamatkan diri jika gempa dan tsunami. Juga melatih instansi pemerintah yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana, baik evaluasi dan memperbaiki prosedur operasi standar sekaligus ujicoba peralatan sistem peringatan dini gempa dan tsunami.

“Kita terus memperbaiki semua sistem termasuk jalur evakuasi hingga jika gempa dan tsunami, masyarakat dan pemerintah siap.”

Jalan di Kota Banda Aceh macet saat warga berlarian menyelamatkan diri saat gempa 8,5 SR menguncang Aceh pada 11 April 2012. Foto: Junaidi Hanafiah

Jalan di Kota Banda Aceh macet saat warga memadati jalanann, menggunaan kendaraan menyelamatkan diri saat gempa 8,5 SR menguncang Aceh pada 11 April 2012. Foto: Junaidi Hanafiah

Juliana, warga Lampulo, Banda Aceh, mengatakan, meskipun simulasi tsunami sering, namun, belum bisa melupakan tsunami pada 2004. “Saya masih tetap panik. Bencana itu merenggut anak dan ibu saya.”

Dia bersama warga Aceh lain, belum bisa menghapus duka. “Tidak mungkin bisa lupa, jika orang berteriak tsunami, saya dan anak-anak langsung pucat dan pikiran kembali terbayang musibah 2004.”

Tanda peringatan bermasalah

Setelah tsunami 2004, pemerintah membangun sekitar 50 unit sirine peringatan tsunami di seluruh daerah rawan di Indonesia. Dari jumlah ini, enam di Banda Aceh dan Aceh Besar. Namun, sebagian besar masyarakat Aceh tidak bisa berpegang pada sistem peringatan ini.

Sugiarto, masyarakat Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, yang tinggal di sekitar sirene, Minggu (16/11/14) menyebutkan, sirene tsunami belum bisa dijadikan patokan.

Pasalnya, sirene peringatan tsunami pernah dua kali bermasalah. Masyarakat tidak bisa percaya dengan peralatan itu. “Dua kali sirene bermasalah, pertama Juni 2007, tiba-tiba sirene tsunami berbunyi keras padahal tidak terjadi gempa,” ujar Sugiarto.

Mendengar sirene tsunami, masyarakat di Baitussalam dan Darussalam, Aceh Besar serta masyarakat Syiah Kuala, Banda Aceh panik.  Mereka berlari menjauh dari laut. “Kami sangat panik karena anak-anak sedang di sekolah. Banyak ibu-ibu dan anak-anak menjerit karena kehilangan ibu atau anak mereka.”

Setelah berhasil melarikan diri beberapa kilometer, baru diketahui, ternyata sirene berbunyi sendiri karena terjadi kesalahan sistem. “Bunyi setop setelah beberapa pemuda di Kajhu merusak sirene itu, mereka kecewa karena banyak orang panik.”

Sekitar 30 menit setelah sirene berbunyi, Pemerintah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh berusaha menenangkan warga. Karena trauma tsunami, warga tidak mengindahkan arahan pemerintah.

“Jalan semraut, polisi tidak bisa menenangkan warga, ada warga yang harus dibawa ke RS karena kecelakaan atau karena jantung mereka kumat,” cerita Sugiarto.

Kesalahan kembali terjadi saat gempa dengan kekuatan 8,5 SR 11 April 2012. Meskipun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan gempa berpotensi tsunami, namun tidak satupun sirene berbunyi.

“Saat itu tak satupun sirene tsunami berbunyi, padahal dalam setiap simulasi, sembilan menit setelah gempa terjadi, jika berpotensi tsunami, sirene harusnya berbunyi,”  kata Nurdin, warga Blang Oi, Kota Banda Aceh.

Dari enam sirene di Aceh, saat itu, yang berbunyi hanya di kantor Gubernur Aceh. Itupun baru berbunyi setelah petugas menyalakan secara manual. “Karena kesalahan ini, warga sudah tidak percaya, jika gempa kuat, meskipun sirene tidak berbunyi, warga lansgung menyelamatkan diri ke tempat tinggi.”

Siswa menangis saat mengikuti simulasi gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Foto: Junaidi Hanafiah

Siswa menangis saat mengikuti simulasi gempa dan tsunami di Kabupaten Aceh Besar. Foto: Junaidi Hanafiah


Setelah 10 Tahun, Siapkah Aceh Hadapi Tsunami? was first posted on December 23, 2014 at 10:52 pm.

Banjir Landa Sumut, Ribuan Rumah Tergenang

$
0
0

Jika ingin peta ukuran besar, sila klik di sini

Hujan deras selama tiga hari terakhir di sejumlah wilayah di Sumatera Utara, menyebabkan sejumlah aliran sungai meluap. Dampaknya, setidaknya ada 12 kecamatan, mengalami banjir dan menggenangi ribuan rumah.

Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut, menyebutkan, daerah yang terkena banjir, yakni Kelurahan Tanah Enam Ratus (Medan Marelan), Kelurahan Babar Hilir (Medan Deli), Kelurahan Martubung (Medan Labuhan), Gang Merdeka (Medan Deli), dan Medan Sunggal.

Sungai Deli meluap menyebabkan sekitar 300 lebih keluarga mengungsi, dan Minggu siang (21/12/14). Air mulai surut dan mereka kembali ke rumah. Air sempat setinggi dada orang dewasa.

Banjir juga menggenangi ratusan rumah di Deli Serdang. Ratusan rumah di Desa Sampali, Desa Sentis (Kecamatan Percur Sei Tuan), Desa Pematang Johor, dan Labuhan Deli digenangi banjir. Di Kabupaten Langkat, banjir karena Sungai Wampu meluap hingga menggenangi ratusan rumah di Kecamatan Tanjung Pura dan Stabat.

Di Labuhan Batu Selatan, banjir juga menggenangi ratusan rumah di sepanjang aliran Sungai Barumun. Ratusan rumah di Kota Pinang, dua hari terakhir tergenang air bercampur lumpur. Warga sudah membuka dapur umum dan memasang tenda pengungsi.

Di Binjai, banjir menggenangi ratusan rumah di Binjai Kota dan Binjai Selatan. Drainase kota kurang baik, ditambah pembuangan sampah ke sungai kerap dilakukan warga.

Muhammad Idaham, Walikota Binjai, memerintahkan seluruh muspida siaga penuh, dan menjaga wilayah masing-masing. Antisipasi banjir dilakukan dengan membuka pos-pos bantuan darurat bencana.

Dzulmi Eldin, Walikota Medan memberikan bantuan logistik dan selimut hangat  pada warga. Dia memerintahkan Dinas Bina Marga Medan segera mengatasi banjir. Drainase, katanya, tidak mampu menampung debit air hujan. Kawasan pemukiman warga juga di kelilingi tembok. Jadi, begitu hujan turun, air tidak bisa mengalir hingga menggenangi rumah.

“Segala kebutuhan warga ditanggung Pemko, melalui BPBD Medan. Saya sudah perintahkan semua muspida siaga banjir, mengingat kondisi cuaca tidak stabil, terus hujan sejak Sabtu hingga Minggu siang.”

Tengku Mahrina, petugas Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Belawan, mengatakan, dari pantauan Citra Satelit, terlihat ada tekanan rendah 1008 HPA di Samudera Pasifik Barat Daya Lampung. Angin di Perairan Indonesia di utara khatulistiwa, bertiup dari Utara sampai Timur. Di Selatan khatulistiwa, bertiup dari arah Barat sampai Utara dengan kecepatan angin berkisar antara tiga sampai 25 Knot.

Kondisi ini, katanya, memberi peluang pertumbuhan awan dan hujan disertai badai guntur. Ini dapat terjadi di Selat Malaka bagian Utara, perairan Lhokseumawe dan Selat Malaka bagian Tengah.

Gelombang laut dengan tinggi 2-3 meter berpeluang terjadi di Perairan Sabang, Samudera Hindia Utara Aceh, dan Barat Daya Nias. Kecuali Selat Malaka bagian Utara dan Tengah, gelombang bisa sampai 3.5 meter.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB mengatakan, Januari, adalah puncak kejadian. Lebih 90%, katanya, di Indonesia, adalah bencana hidrometeorologi yaitu banjir, longsor, puting beliung, kekeringan, cuaca ekstrim, serta kebakaran hutan dan lahan.

Bencana ini, berkorelasi positif dengan pola curah hujan. Sebagian besar wilayah Indonesia, puncak hujan terjadi pada Januari. Selama Desember hingga Maret, hujan tinggi hingga pada bulan ini banyak banjir, longsor dan puting beliung.

“Di Indonesia, rata-rata kejadian bencana 1.295 per tahun. Tiga daerah paling banyak bencana, adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.”

Dia mengatakan, bencana hidrometeorologi tidak terjadi tiba-tiba, tetapi akumulasi dan interaksi dari berbagai faktor, seperti sosial, ekonomi, degradasi lingkungan, urbanisasi, kemiskinan, tata ruang, dan lain-lain.

Kini, banjir juga menggenangi Dayeuhkolot, Baleendah, dan lain-lain di Bandung Selatan. Banjir serupa terjadi sejak tahun 1931, karena wilayah ini adalah Cekungan Bandung yang seperti mangkok di DAS Citarum. Banjir serupa pada 19 Februari 2014.  Banjir juga melanda Bojonegoro, Tuban, Gresik, Cilacap.

 

 


Banjir Landa Sumut, Ribuan Rumah Tergenang was first posted on December 23, 2014 at 11:38 pm.

Jalan Banda Aceh-Calang, Tak Terawat dan Rawan Bencana

$
0
0
Ruas Jalan Banda Aceh-Calang, yang membelah gunung hingga kini kerab terkena banjir dan longsor. Foto: Firman Hidayat

Ruas Jalan Banda Aceh-Calang, yang membelah gunung hingga kini kerab terkena banjir dan longsor. Foto: Firman Hidayat

Jalan ini membentang sepanjang sekitar 150 kilometer menghubungkan Lhoknga, Banda Aceh sampai Calang, Aceh Jaya. Ia membelah hutan dan bukit. Ruas jalan yang diresmikan pada 2011 dan menelan dana sekitar Rp2,5 triliun bantuan USAID itu,  seakan tak terawat, bahkan rawan bencana banjir dan longsor.

Sebelum itu, guna pembangunan infrastruktur ini, pemerintah Indonesia bersama Amerika Serikat menandatangani nota kesepahaman (MoU) pada 2005. Ia bagian dari bantuan dana recovery Aceh dari gempa dan tsunami 2004. Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana APBN Rp100 miliar untuk pembebasan tanah.

Pada 2006, PT. Wijaya Karya, Hutama Karya dan perusahaan asal Korea SSanyong mengambil peran dalam pembangunan 150 kilometer jalan dan 27 jembatan  ini.

“Kondisi saat ini, ruas jalan menyisakan kerawanan, bencana longsor dan banjir,” kata Amren Sayuna, Kepala BPBD Aceh Jaya, baru-baru ini.

Dia menjelaskan, ada sebagian jalan terlalu tinggi, gorong-gorong atau parit tidak dibuat, hingga rawan banjir. “Saban hujan selalu banjir, rumah tergenang. Terutama di Sampoiniet, Indra Jaya dan Kecamatan Jaya serta Setia Bakti.”

Menurut dia, berterima kasih dengan bantuan dana Amerika Serikat ini, namun mendesak Pemerintah Aceh melalui Bina Marga dapat bekerja maksimal memperbaiki dan merawat jalan nasional ini.  “Selama ini rusak akibat longsor dan banjir,” katanya.

Tsunami Aceh sudah 10 tahun berlalu, tetapi jalan ini masih rawan longsor batu. “Ada gunung dibelah untuk jalan, menyisakan longsor batu. Ini sangat membahayakan bagi pengguna jalan saat hujan dan anging kencang.”

Senada dikatakan pegiat lingkungan, Sanusi dari Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI). “Ada beberapa titik rawan kecelakaan lalu lintas. Tikungan tajam dan kondisi jalan bergelombang rawan kecelakaan.”

Rambu-rambu lalu lintas, katanya, tidak terpasang baik. “Banyak hilang. Ini bencana baru bagi pengguna jalan.”

Gubernur Aceh, Zaini Abdullah sangat prihatin karena ternak berkeliaran bebas di jalan nasional ini. Zaini meminta bupati di masing-masing kabupaten menertibkan ternak yang bisa mengancam pengguna jalan.

Ternak sapi yang kerab berkeliaran bebas di jalan yang menghubungkan Banda Aceh-Calang ini. Foto: Firman Hidayat

Ternak sapi yang kerab berkeliaran bebas di jalan yang menghubungkan Banda Aceh-Calang ini. Foto: Firman Hidayat

Muhammad Nur, Direktur Walhi Aceh, mengatakan, pembangunan jalan dan jembatan ini belum ada kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Hingga, katanya, tidak ada perkiraan dampak dan risiko lingkungan dalam kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan jalan.

“Kerentanan perubahan iklim dan potensi keragaman hayati seharusnya dapat diperhatikan dalam membangun jalan.”

Juru Bicara Kaukus Pantai Barat Selatan, Taf Haikal mengungkapkan, jalan  itu urat nadi menuju pantai barat selatan Aceh.

Saat pembangunan jalan ini diwarnai banyak tantangan hingga 18 bulan terlambat dari jadwal. “Kondisi alam dan persoalan pembebasan tanah. KPBS menyurati Duta Besar Amerika Serikat pada 2010.”

Jalan ini, kata Taf makin memperlancar mobilisasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi pantai barat. “Pengawasan dan perawatan jalan harus terus dilakukan dengan baik oleh Pemerintah Aceh,” ujar dia.

Taf mengatakan,  dengan curah hujan tinggi mengakibatkan banjir dan longsor di sekitar jalan ini. Belum lagi,  tonase mobil barang dengan muatan maksimal.

Gempa dan tsunami 2004, telah menghancurkan ruas jalan Banda Aceh–Aceh Besar–Aceh Jaya– Aceh Barat.  Penanganan tanggap darurat, ruas jalan Banda Aceh–Calang melalui tentara manunggal membangun desa (TMMD) dengan membangun jembatan rangka baja dan menyediakan rakit penyebrangan.

Data UNDP menyebutkan, kerusakan jalan lintas Banda Aceh– Calang–Meulaboh ini mencapai 280,36 kilometer dan kerusakan jembatan 1.793 meter.

Inilah salah satu penampakan ruas jalan yang dibangun dari dana Usaid ini. Foto: Chik Rini

Inilah salah satu penampakan ruas jalan yang dibangun dari dana Usaid ini. Foto: Chik Rini


Jalan Banda Aceh-Calang, Tak Terawat dan Rawan Bencana was first posted on December 24, 2014 at 10:25 pm.

BPNB akan Pasang 40 Alat Peringatan Dini Longsor

$
0
0

Aktivitas Tim SAR melakukan evakuasi korban longsor di Banjarnegara. Foto : Dokumen Basarnas

Guna menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi Widodo dalam rapat kabinet terbatas Rabu (17/12/14), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan memasang 40 alat peringatan dini longsor  di beberapa wilayah rawan.

Syamsul Maarif, Kepala BNPB mengatakan, Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan wilayah prioritas pemasangan peralatan ini. Dua minggu mendatang, katanya, Badan Geologi akan memasang 10 alat dan 10 unit lagi oleh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berikutnya Januari 2015, UGM akan menyiapkan 20 peralatan tambahan untuk daerah rawan longsor lain di Indonesia. BPPT dan LIPI juga memproduksi alat ini tahun depan.

Menurut dia, sistem peringatan dini terdiri dari beberapa subsistem, yakni survei geologi, kelembagaan dan sosial ekonomi budaya, dan pembentukan tim siaga bencana tingkat desa/dusun. Juga, penyusunan prosedur evakuasi, pembuatan peta evakuasi bersama petugas terpilih, instalasi alat peringatan dini bersama masyarakat, gladi evakuasi. Tak kalah penting, membangun komitmen pemerintah daerah (pemda) dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan sistem. “Perlu komitmen pemda, harus ada jaminan kesanggupan bupati atau walikota mengoperasikan dan memelihara alat. Ini dituangkan dalam nota kesepahaman.”

Dalam waktu bersamaan, katanya, BNPB menyiapkan master plan pengurangan risiko bencana longsor. Tak hanya itu,  bersama kementerian dan lembaga, BNPB juga menyusun rencana aksi nasional menghadapi banjir dan longsor. Ada 40,9 juta jiwa penduduk terpapar sedang-tinggi longsor tersebar di 274 kabupaten dan kota,” kata Syamsul.

BNPB meminta, pemasangan sistem peringatan dini longsor harus menyeluruh. “End to end penanggulangan bencana adalah dari manusia ke manusia hingga seluruh sistem komprehensif. Alat hanya satu subsistem. Harus ada subsistem lain seperti edukasi, pelatihan, partisipasi masyarakat, kearifan lokal, keterlibatan pemda dan lain-lain. Sistem harus diterima dan dimengerti masyarakat.”

Sebelumnya, dalam rapat kabinet, Jokowi, antara lain membahas mitigasi dan antisipasi bencana hingga April 2015. Beberapa menteri kabinet kerja hadir.  Jokowi meminta, dipasang sistem peringatan dini longsor di beberapa tempat rawan, khusus di Banjarnegara.

Sementara itu, perkembangan longsor Banjanegara, Agus Haryono, Kepala kantor SAR Semarang mengatakan,  saat ini korban meninggal dunia 93 orang. Pencarian terus berlanjut hingga Minggu, (21/12/14). Sebanyak 1.709 personil TNI, Polri, BNPB, BPBD, Basarnas, SKPD dan unsur pemerintah terlibat.


BPNB akan Pasang 40 Alat Peringatan Dini Longsor was first posted on December 24, 2014 at 11:36 pm.

AMAN Serahkan 4,8 Juta Hektar Peta Adat, BP REDD+ Wali Data Sementara

$
0
0
Kasmita Widodo, koordinator BRWA (paling kiri) diikuti Hudoyo, staf alhi Menteri LHK; Abdon Nababan, Sekjen AMAN; Heru Prasetyo Kepala BP REDD+ dan Deny Rahadian, koordinator JKPP, usai menandatangani penyerahan peta wilayah adat di Jakarta, Senin (22/12/14). Foto: Sapariah Saturi

Kasmita Widodo, koordinator BRWA (paling kiri) diikuti Hudoyo, staf ahli Menteri LHK; Abdon Nababan, Sekjen AMAN; Heru Prasetyo Kepala BP REDD+ dan Deny Rahadian, koordinator JKPP, usai menandatangani penyerahan peta wilayah adat di Jakarta, Senin (22/12/14). Foto: Sapariah Saturi

Di penghujung tahun, Senin (22/12/14) di Jakarta, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyerahkan  4,822 juta hektar peta wilayah adat kepada pemerintah diwakili BP REDD+ dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. BP REDD+ sekaligus menjadi wali data sementara peta tematik ini, sebelum diserahkan ke Kementerian Dalam Negeri.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, peta yang berasal dari 517 wilayah adat di nusantara itu diharapkan bisa menjadi bahan dasar proses pengukuran kawasan hutan. “Dengan penyerahan peta ini ingin pastikan wilayah-wilayah adat jadi bahan dalam proses penetapan,” katanya. Penyerahan itu dilakukan AMAN bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).

Peta ini, hendaknya juga bisa menjadi inventarisasi kearifan lokal untuk menjaga lingkungan. “Ia juga untuk mendorong percepatan pengukuhan wilayah-wilayah adat.” Peta yang diserahkan ini, kata Abdon, baru sebagian, masih akan ada lagi.

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+, mengatakan,  pada 2012 AMAN dan BRWA menyerahkan peta wilayah adat ke pemerintah lewat Badan Informasi Biospasial (BIG) sekitar 2,4 juta hektar. Namun hingga kini, peta itu tak bisa diintegrasikan dalam peta nasional karena belum memiliki wali data. Untuk itu, BP REDD+ akan menjadi wali data sementara.

“Kalau ada wali data, bisa diverifikasi, tanggung jawab terima klaim dan verifikasi wali data. Kalau tak ada wali data, peta tematik masuk tak ada yang bertanggung jawab,” katanya.

Untuk itu, BP REDD+ akan mengusahakan sebagai tentatif wali data. “Silakan (peta) masukkan dan akan proses.”

Visioning: empat skenario masyarakat adat 2024. Foto: dari FB Rukka S

Visioning: empat skenario masyarakat adat 2024. Foto: dari FB Rukka S

Menurut dia, setelah pembahasan panjang,  akhirnya Kementerian Dalam Negeri , siap menjadi wali data. Namun, mereka meminta waktu buat menyiapkan infrastruktur agar wali data dapat berjalan tepat. Ketika ada peta penyerahan peta wilayah adat,  BP REDD+ akan menjadi wali data sementara.

BP REDD+ sebagai wali data ini, katanya, sebagai salah satu upaya mendorong registrasi dan masukkan peta tematik masyarakat adat ke satu peta (one map), seperti peta tematik pertanian, perikanan, kehutanan dan lain-lain.  Peta-peta hak adat itu, juga diakui, dihormati dan dilaksanakan di tingkat sub nasional.  “Artinya, pengakuan dalam bentuk perda, peraturan gubernur atau apapun, segera dilaksanakan dan awali kegiatan,” ujar dia.

Inisiatif lain, kata Heru,  seputar peraturan. Saat ini, BP REDD+ mengumpulkan daftar peraturan-peraturan yang perlu diharmonisasi dalam kaitan pengakuan hak-hak masyarakat adat. Badan ini juga melakukan usaha resolusi konflik.  “Salah satu konflik terbesar terjadi di kawasan konservasi. Dari dulu, hak-hak masyarakat adat belum ada dalam nomenklatur. Ini harus jadi atensi dalam cari resolusi konflik.”

Empat skenario masyarakat adat

Hari itu, AMAN juga mengetengahkan, empat visioning masyarakat adat pada 2024. Visioning ini menyuguhkan empat skenario  yang akan terjadi pada masyarakat adat pada masa depan. Skenario dengan dua unsur penggerak utama, yakni pemerintah dan gerakan masyarakat adat ini memperlihatkan, bagaimana masyarakat adat kala pemerintah baik, gerakan masyarakat baik; pemerintah buruk, gerakan masyarakat baik; pemerintah buruk dan gerakan masyarakat baik serta pemerintah buruk dan gerakan buruk.


AMAN Serahkan 4,8 Juta Hektar Peta Adat, BP REDD+ Wali Data Sementara was first posted on December 25, 2014 at 12:28 pm.

Para Penyelamat Air Krueng Sabee

$
0
0
Warga Krueng  Sabee menggunakan boat menuju kebun mereka di hulu sungai. Foto: Chik Rini

Warga Krueng Sabee menggunakan boat menuju kebun mereka di hulu sungai. Foto: Chik Rini

Abdullah Rajab sudah tak muda lagi. Usia lebih 65 tahun.  Rambut  banyak memutih, gigi tinggal beberapa buah. Ini terlihat kala dia tertawa lebar. Meskipun begitu, pria ini bersemangat melebihi anak muda jika diajak bicara penyelamatan Sungai Krueng Sabee.

Rajab,  sedikit dari orang-orang di pemukiman Krueng Sabee yang setia berjuang menyelamatkan air sungai yang menjadi sumber air bersih bagi lebih dari 20.000 warga Krueng Sabee dan Kota Calang, ibukota Aceh Jaya. Dia memimpin Forum Daerah Aliran Sungai Krueng Sabee, forum masyarakat didirikan 2008 untuk melestarikan daerah tangkapan air di kawasan itu. Anggota forum ini tak lebih 10 orang, mewakili kampung-kampung di Krueng Sabee. Kebanyakan orang tua, hanya sedikit anak muda.

Keinginan terbesar Rajab agar aliran sungai yang melintasi Desa Bunta, tempat dia tinggal, air bisa sejernih 30 tahun lalu, masa pertama kali menginjak kaki di Krueng Sabee, setelah hijrah dari kampung di Aceh Selatan.

Krueng Sabee adalah tanah kehidupan Rajab dan keluarga. Dia memutuskan, tinggal di sana dan menjadi petani. Baginya, Krueng Sabee adalah kampung halaman dengan hutan dan sungai yang menjadi sumber penghidupan.

Dari tahun ke tahun Rajab  menyaksikan air sungai di belakang rumah makin keruh karena lumpur terbawa hanyut air dari tanah-tanah gunung yang kehilangan pohon. Di musim penghujan Desa Bunta dan desa-desa lain di sepanjang Sungai Krueng Sabee kerap tenggelam oleh banjir yang datang dari hulu.

“Kami tahu, hutan di hulu sungai sudah gundul, karena orang-orang mengambil kayu secara sembarangan di hutan,” kata  Rajab, awal Desember di Krueng Sabee.

Di Krueng Sabee ada 13 desa, kebanyakan tersebar mengikuti aliran sungai. Sebagian desa hancur saat tsunami menerjang pesisir pantai Aceh pada 26 Desember 2004. Sebagian desa  lain selamat karena terhalang bukit-bukit kecil.

Aceh Jaya merupakan kabupaten nyaris tersapu habis saat tsunami datang. Kabupaten di pesisir barat Aceh ini mengalami kehancuran infrastruktur cukup parah selain Banda Aceh dan Aceh Barat. Ribuan orang meninggal dan hilang.  Namun ketika pesisir nyaris rata tak bersisa, hutan-hutan lebat di daerah yang lebih tinggi di gugusan Bukit Barisan selamat dari kehancuran. Sebagian kawasan hutan inilah yang kini coba diselamatkan Rajab dan kelompok.

Luas hutan DAS Krueng Sabee mencapai 500 kilometer persegi. Ia rumah bagi kawanan gajah, harimau, beruang madu, monyet ekor panjang, lutung, siamang, dan berbagai jenis burung. Rajab mengenang, tahun 1970 an hutan Krueng Sabee sangat bagus. Air Sungai sepanjang 30 kilometer bisa langsung diminum.

Tahun 1980-an, ketika banyak hutan Aceh menjadi hak pengusahaan hutan (HPH), hutan Krueng Sabee menjadi konsesi perusahaan kayu untuk PT. Aceh Timber. Setelah pohon besar habis, bekas HPH dijadikan (HGU) sawit milik PT. Boswa. Warga menjadi petani dan tak sedikit sebagai pembalak liar.

Abdullah Rajab, ketua Forum DAS Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Abdullah Rajab, ketua Forum DAS Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Masalah bertambah ketika Aceh memasuki masa rekontruksi untuk membangun kembali semua infrastruktur hancur mulai dari rumah, sekolah, kantor pemerintahan dan jalan. Permintaan kayu banyak membuat pohon-pohon besar di hutan lindung di hulu sungai ditebangi penebang liar. “Krueng Sabee menjadi tempat orang-orang mengambil kayu. Kayu-kayu dihanyutkan melalui sungai.”

Tahun 2006, ketika Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) nerdamai dari konflik bersenjata selama 30 tahun lebih, orang-orang banyak mulai berani masuk ke hutan.  Tahun 2007, emas ditemukan di Gunung Ujuen  di hulu DAS Krueng Sabee menjadi magnet bagi orang-orang terutama dari luar menjadi penambang. Tak terkecuali Rajab.

Hutan ikut hancur dan pencemaran merkuri dimulai tidak sadar. Tak lama berlangsung, di tahun sama pikiran Rajab dan beberapa tokoh tua di kampung berubah saat WWF Indonesia masuk ke Krueng Sabee mengajak masyarakat menyelamatkan hutan di bagian hulu demi air.

Palang Merah Amerika, kala itu sedang membantu membangun kembali Aceh Jaya yang hancur karena tsunami. Lembaga kemanusiaan itu tidak saja membangun rumah-rumah para korban, juga membangun fasilitas air bersih bagi masyarakat Calang dan sekitar. Sumber air dari Krueng Sabee.

Irwandi, anak muda anggota Forum DAS, mengatakan, sumber air diambil dari Alue Toh, di hulu DAS Krueng Sabee. Untuk memastikan air bersih tersedia, Palang Merah Amerika menggandeng WWF Indonesia mengajak warga Krueng Sabee mau melestarikan hutan.

“Sebelumnya kami tidak tahu apa itu DAS, setelah NGO masuk kami menjadi paham mengapa harus melestarikan DAS Krueng Sabee untuk sumber air,” kata Irwandi, yang kini menjaga water intake perusahaan air minum daerah di sana.

Kesabaran Rajab mengajak masyarakat menyadari arti penting melestarikan DAS terwujud juga dengan pembentukan Forum DAS Krueng Sabee. Ini lembaga yang diinisiasi masyarakat lokal untuk melestarikan DAS.  Sampai sekarang pria yang memiliki kebun karet ini dipercaya memimpin forum.

Menjadi ketua forum tidaklah mudah. Berbekal pengalaman aktif sebagai pejabat desa, Rajab berupaya mengajak sebanyak mungkin masyarakat mau peduli melestarikan hutan dan alam sekitar. Meskipun kadang menghadapi realitas sebagian besar orang masih merusak ekosistem sekitar DAS.

“Tidak mudah menyadarkan masyarakat. Pelan-pelan kami mengajak mereka mau terlibat. Sekarang minimal 40% masyarakat Krueng Sabee sadar pentingnya melestarikan DAS.”

Sejak berdiri, Rajab dan kelompok telah menanam ribuan batang mahoni di sepanjang aliran sungai Krueng Sabee. Pohon-pohon itu sudah setinggi atap rumah.

Kamp areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Kamp areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Tahun 2011, Forum mengajukan permohonan kepada Bupati Aceh Jaya untuk pengelolaan lahan kritis di bagian hulu sungai. Mereka menanamkan areal restorasi Babah Krueng DAS Krueng Sabee. Kelompok ini pertama di Aceh Jaya mendapat hak pengelolaan hutan gampong selama 30 tahun.

Areal restorasi sekitar 181 hektar, persis di bibir sungai. Kawasan ini kebun masyarakat yang ditinggal pemilik karena mengungsi saat konflik. Di sini, gajah, harimau dan beruang madu menampakkan tanda-tanda sering melintas.

Nurdin PM, tokoh adat Krueng Sabee yang dihormati warga mengatakan, kawasan restorasi ini akan menjadi kawasan hutan gampong yang dikelola bersama dengan forum, pemerintahan gampong dan masyarakat. “Kami senang, pertama kali punya lagi hutan gampong. Krueng Sabee sudah bertahun-tahun kehilangan hutan ulayat mukim karena diberikan pada HPH bertahun-tahun lalu,” kata Nurdin.

Forum DAS ini mulai menanami lahan kritis dengan dengan belasan ribu bibit jabon, durian, kopi, rambutan, dan jaloh.

“Kami juga memikirkan bagaimana warga yang sering mengambil kayu di hutan punya alternatif mata pencaharian yang tidak merusak DAS. Di areal restorasi ini kami menanam tanaman budidaya yang bisa diambil oleh masyarakat.”

Meski forum DAS ini mengupayakan pemulihan kawasan kritis, namun mengembalikan ekosistem DAS rusak tak semudah membalik telapak tangan. Laju kerusakan melebihi pohon-pohon yang mulai tumbuh di pinggiran sungai.

Semangat Rajab dan tim tak kendur. “Saya berprinsip biarlah yang merusak, terus merusak. Kami akan memperbaiki selangkah demi selangkah. Mungkin yang kami lakukan hari ini baru terlihat berpuluh tahun kemudian. Saya tetap bercita-cita air Krueng Sabee jernih seperti pertama kali saya menginjak kaki di kampung ini,” ucap Rajab.

Tanda-tanda keberadaan gajah di areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini

Tanda-tanda keberadaan gajah di areal restorasi Krueng Sabee. Foto: Chik Rini


Para Penyelamat Air Krueng Sabee was first posted on December 25, 2014 at 10:42 pm.

Inilah Para Pahlawan Sampah Bali

$
0
0
Penyemprotan sampah organik yang bakal menjadi kompos. Foto: Luh De Suryani

Penyemprotan sampah organik yang bakal menjadi kompos. Foto: Luh De Suryani

“Pemulung dilarang masuk.” Demikian papan peringatan terlihat di sejumlah area, termasuk jalan kampung di Bali. Tak massal tetapi cukup banyak.

Beberapa warga beralasan takut pencurian barang. Kenyataan, Bali sangat tergantung pada pemulung dalam penanganan sampah. Gunungan sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) terbesar, Suwung, terus meninggi.

Kehadiran pemulung paling krusial di TPA Temesi, tersibuk setelah TPA Suwung. Temesi menangani sampah Kabupaten Gianyar, pusat turisme terutama dari Ubud. Bahkan pemulung adalah kunci rantai pemilahan sampah hingga TPA ini menjadi salah satu percontohan.

Pada Selasa (23/12/14), puluhan pemulung terlihat memilah sampah, mengelompokkan organik dan anorganik. Truk-truk menjatuhkan sampah, lalu disambut kelompok pemulung yang sudah memiliki pelanggan truk masing-masing.

“Tiap kelompok pemulung sudah tahu mana truk langganan mereka, tak mungkin berebutan sampah,” kata Wayan Sriasih, petugas TPA bagian penimbangan sampah organik terpilah.

TPA Temesi sekitar 10 tahun menerapkan model pemberian upah pada pemulung. Tiap ton sampah organik yang terpilah dihargai Rp45.000. Pemulung cekatan dan bekerja delapan jam per hari bisa memilah sampai satu ton.

Pemulung mendapat hasil tambahan dari sampah anorganik yang bisa dijual. “Ada lima barang yang bisa dijual, paling mahal bisa Rp35.000 per kilogram,” kata Sugino, pria tua yang sudah bekerja di TPA tujuh tahun terakhir. Dia fasih menjelaskan, barang-barang yang laku dijual ke pengepul seperti botol, besi, kardus, plastik, dan lain-lain.

Pada tengah hari, Sugiono rehat dan memesan bakso yang singgah ke sana. Dia makan lahap di tengah tumpukan sampah.

Begitu juga keluarga pemulung lain. Lokasi pemilahan teduh tertutup atap membuat para pemulung bekerja sampai larut malam agar mendapat hasil lebih banyak, upah lebih besar.

Sugiono termasuk paling cekatan dan pekerja keras. Dia bisa menyekolahkan anak sampai kuliah dan mengirimkan uang Rp2 juta per bulan ke Jember, Jawa Timur.

Sampah dipilah antara yang organik dan anorganik. Foto: Luh De Suryani

Sampah dipilah antara yang organik dan anorganik. Foto: Luh De Suryani

Beberapa tahun setelah TPA Temesi dibuka pada 2004, puluhan warga lokal masih bersemangat menjadi pemulung. Kini tak ada yang tersisa. “Dulu banyak warga setempat jadi pemulung, sekarang tidak ada karena tidak kuat bekerja sama sampah,” kata Sriasih.  Padahal, sebagian besar pemulung di sini berhasil menyekolahkan anak atau membeli kendaraan pribadi dari memilah sampah.

Sriasih, staf Yayasan Pemilahan Sampah Temesi, pengelola TPA ini yang bekerja tiap hari sebagai penimbang sampah organik. Tiap hari, rata-rata terpilah 40-50 ton sampah organik. Perempuan ini hafal dari mana sumber sampah. Misal, dia menunjuk sampah hotel lebih banyak sisa makanan, lalu sampah pasar lebih basah dan lebih banyak varian. Sampah anorganik hotel biasa diambil duluan oleh petugas atau warga sekitar, hingga di TPA tertinggal remah-remah.

Gunungan sampah di TPA Temesi adalah organik yang akan diolah menjadi kompos. Dengan sistem aerob, kompos bisa diproduksi sampai 10 ton per hari. Inilah sumber utama penghasilan TPA untuk operasional. Selain dana hibah dari program PBB, Clean Development Mechanism untuk mengurangi emisi global. Pemerintah Gianyar menyediakan lahan TPA.

Seiring makin banyak penduduk dan aktivitas, sampahpun meningkat. Beberapa tahun ini, muncul gundukan sampah tak terpilah di area sanitary landfill TPA Temesi.

Yang terpilah, tak berbau. Pipa-pipa besar menyalurkan udara ke bawah gunungan sampah organik. Beberapa petugas tiap hari menyemprotkan air ke gundukan untuk menjaga suhu.

Nyoman Ari, staf yayasan bidang laboratorium ini rutin mengukur kadar oksigen dan indikator lain untuk mendapat kompos yang baik. Tiap minggu, Ari dua kali mengukur oksigen dan suhu dengan mencapkan alat ke sampah organik. “Untuk memastikan pengomposan berlangsung aerob dan suhu tak terlalu panas. Kalau terlaku panas dilakukan pembalikan dan penambahan udara agar mikroba penting tak mati.”

Tiap minggu, katanya, sampel kompos dicek kadar PH, kandungan garam, amonium, nitrat nitrit, dan lain-lain. Pengukuran umum seperti ini bisa di lab sederhana milik Temesi. Namun, indikator lain seperti Nitrogen Fosfor Kalium harus ke lab tanah Universitas Udayana di Denpasar. Kompos yang baik akan menyehatkan tanah hingga menyuburkan tanaman.

Setelah beberapa bulan menumpuk, sampah organik hancur diayak dengan beberapa mesin hingga menghasilkan kompos lebih halus. Kemudian di ujung tahapan produksi ada petugas lain yang mengemas kompos dan siap jual.

Terlihat petani yang memanfaatkan residu kompos langsung di kebun sayur mayur TPA. Daur sampah menjadikan berkah. Foto: Luh De Suryani

Terlihat petani yang memanfaatkan residu kompos langsung di kebun sayur mayur TPA. Daur sampah menjadikan berkah. Foto: Luh De Suryani

Di dekat pengepakan ini, terlihat petani yang memanfaatkan residu kompos langsung di kebun sayur mayur TPA. Daur sampah menjadikan berkah.

Bali dan sampah

Gerakan pengampanye pengurangan sampah plastik terus muncul di Bali. Ada banyak komunitas bergerak.

Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali,  sampah per hari hampir 6.000 meter kubik. Terbesar dari warga Denpasar sekitar 2.500 meter kubik, lalu Badung.  Dari kabupaten lain 400 meter kubik.

Dalam laporan status lingkungan 2013, disebutkan limbah  pariwisata menjadi perhatian karena mempengaruhi kondisi  lingkungan  terutama wilayah pesisir dan daerah aliran sungai. Menurut kajian Yayasan Wisnu 2001, rata-rata  sampah hotel per  hari  0,02  m 3/kamar/hari  dan rumah  makan  0,01  m3 /seat/hari.  Produksi limbah  padat dari hotel  dan  rumah  makan hampir 250 kubik per hari. Paling banyak dari Tabanan hampir 90 kubik/hari, disusul Gianyar sekitar 50 kubik/hari.

Faktor turis sangat mempengaruhi limbah padat. Di Tabanan, obyek wisata Tanah Lot menyumbang limbah padat  terbanyak,  karena pengunjung mencapai 2 juta orang per tahun. Diikuti Ubud, Pantai Kuta, dan Pantai Sanur.

Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam beberapa kesempatan mengatakan,  masalah lingkungan mengancam Bali karena daya dukung terbatas. Saat ini, penduduk Bali mencapai 4,2 juta jiwa, luas hanya 0,29% dari Indonesia. “Menurut ahli ideal hanya 1,5 juta jiwa. Ditambah wisatawan jadi 5 juta orang pasti pakai air, makanan, transportasi, dan lain-lain.”

Pastika berwacana Bali bebas sampah Plastik pada 2015, salah satu kerja sama dengan pabrik pengolahan plastik di Tabanan. Menurut dia, kapasitas pabrik 15 ton dan kekurangan bahan baku. Pemerintah berencana membelikan tiap kabupaten mesin press sampah plastik dan motor pengangkut. Asumsi harga Rp80 juta per unit mesin press. Tahap pertama 10 alat. Bali disebut memiliki 60 bank sampah.

I Wayan Cakra, Manajer Yayasan Pemilahan Sampah Temesi mengatakan, perlu pemimpin berpihak pada lingkungan jika ingin serius menangani sampah.  “Pemimpin banyak tak dari latar lingkungan hingga investasi pengolahan sampah kecil.”

Untuk itu, Karena jasa pemulung sangat tinggi dalam pemilahan sampah karena tak dari hulu. “Tanpa mereka (pemulung) saya tidak ada apa-apanya.”


Inilah Para Pahlawan Sampah Bali was first posted on December 26, 2014 at 11:22 am.

Cerita dari Kampung Tsunami di Aceh

$
0
0
Desa Lamjame, hancur lebur setelah digoncang gempa dan dihantam tssunami 26 Desember 2004. Tampak, dua gajah di kejauhan berjalan yang hancur oleh tsunami untuk membantu evakuasi. Foto: Chik Rini

Desa Lamjame, hancur lebur setelah digoncang gempa dan dihantam tssunami 26 Desember 2004. Tampak, dua gajah di kejauhan berjalan yang hancur oleh tsunami untuk membantu evakuasi. Foto: Chik Rini

26 Desember 2014. Pagi itu, mendung menyisakan dingin setelah hujan mengguyur Aceh tiga hari terakhir. Baharoeddin berdiri di dermaga kecil dengan sebagian lantai bolong. Di dermaga tempat pendaratan ikan itu,  lima kapal nelayan dicat berwarna-warni berderet. Beberapa kapal lain ditambat agak jauh di tanggul sungai.

Pria 60 tahun ini menunjuk cemara laut di kejauhan yang berjejer rapi menutupi pandangan ke laut lepas. Pohon-pohon meninggi menandakan bertahun-tahun ditanam. “Itu sebagian pohon yang saya tanam ketika kami memulai kehidupan kembali di kampung ini setelah tsunami,” katanya.

Beberapa nelayan duduk mengobrol di tempat penjualan ikan yang baru dibangun. Mereka menyapa Bahar dengan panggilan “Pak Keuchik” sebutan bagi kepala desa di Aceh.

Hari ini mereka tidak melaut. Setelah tsunami menerjang Aceh, 26 Desember 2004, menjadi hari pantang melaut sesuai hukum adat laut yang disepakati Panglima Laot seluruh Aceh.

Baharoeddin Panglima Laot di dermaga pendarat ikan di Desa Lamteungoh. Warga desa ini tak mau meninggalkan desa yang berada di tepian pantai usai tsunami. Tampak dari kejauhan jejeran hutan mangrove yang mereka tanam beberapa tahun lalu.  Foto: Chik Rini

Baharoeddin Panglima Laot di dermaga pendarat ikan di Desa Lamteungoh. Warga desa ini tak mau meninggalkan desa yang berada di tepian pantai usai tsunami. Tampak dari kejauhan jejeran hutan mangrove yang mereka tanam beberapa tahun lalu. Foto: Chik Rini

Panglima Laot merupakan struktur adat di bawah Mukim yang mengatur pengelolaan laut dan nelayan di Aceh. Baharoeddin  selain keuchik juga Ketua Panglima Laot Aceh Besar memimpin lebih 2.000 nelayan dari 14 Lhok (wilayah Laut) di Aceh Besar.

Dia tinggal di Desa Lamtengoh,  Kecamatan Pekan Bada, Aceh Besar di pesisir pantai ujung Pulau Sumatera. Ada banyak kampung dengan perumahan padat di garis pantai sepanjang lebih 20 kilometer ini. Jarak hanya setengah jam dari pusat kota Banda Aceh.

Di hari sama 10 tahun lalu, hari paling menyedihkan dalam hidup Baharoeddin. Desember adalah masa menunggu panen padi di Lamteungoh. Pagi itu, Bahar di sawah, mendengar monyet-monyet gunung menjerit bersahut-sahutan. Tak lama bumi berguncang keras. Gempa terbesar yang pernah dirasakan seumur hidup. Tanah merekah.

Bahar segera pulang ke rumah. Tak lama dia mendengar letusan keras sebanyak dua kali dari arah laut. “Bunyi keras seperti ada bom.”  Tak ada yang tahu apa yang terjadi sampai warga berlari di jalan sambil berteriak “Air laut naik, air laut naik.”

Di tengah kepanikan ratusan orang mulai berhambur keluar rumah tak tentu arah. Baharoeddin hanya ingat sempat mengambil anak perempuan berumur 11 bulan dari gendongan istrinya dan mencoba berlari ke gunung. Dia tak tahu lagi di mana istri dan empat anak yang lain.

Sebuah penunjuk arah evakuasi jika tsunami di jalan di Desa Lamteungoh. Foto: Chik Rini

Sebuah penunjuk arah evakuasi jika tsunami di jalan di Desa Lamteungoh. Foto: Chik Rini

Ketika air laut datang menerjang, anaknya terlepas dari gendongan. “Semua seperti mimpi. Saya menoleh ke kampung dan melihat rumah diangkat air setinggi pohon kelapa.”

Pria ini mengingat banyak apa yang terjadi saat itu, bagaimana dia harus berenang menyelamatkan diri di dalam air yang penuh sampah bangunan dan batang pohon hanyut. Setelah air surut siang hari, mayat dimana-mana. Dia tak menemukan istri dan empat anaknya. Dian, putri kelas 1 SMK sempat ditemukan di dekat gunung,  hanya bertahan beberapa jam sebelum meninggal di pangkuannya. Kesedihan begitu mendalam sampai dia menuangkan dalam puisi “Ratapan Sedih Seorang Ayah.”

Dari 1.500 warga, hanya 93 orang selamat. “Sepanjang mata memandang semua rata tak bersisa. Laut langsung nampak tanpa penghalang. Rumah-rumah hanya tinggal lantai. Di tempat kami hanya ada sebatang kedondong besar dan beberapa kelapa masih tegak berdiri. Mayat dimana-mana.”

Bahar mengenang kedasyatan tsunami yang menerjang Aceh dan beberapa negara lain di sekitar Samudera Hindia. Sekitar 800 kilometer pesisir Aceh hancur berikut infrastruktur, rumah, sekolah dan ekosistem pantai dan laut.

Warga Tionghoa membakar dupa dan berdoa di kuburan massal Siron, Lambaro, Kabupaten Aceh Besar,  Aceh, saat peringatan enam tahun tsunami, Minggu, 26 Desember 2010. Hari ini ribuan warga Aceh berdoa mengenang keluarga mereka yang telah meninggal saat tsunami. Foto: Junaidi Hanafiah

Warga Tionghoa membakar dupa dan berdoa di kuburan massal Siron, Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, saat peringatan enam tahun tsunami, Minggu, 26 Desember 2010. Hari ini ribuan warga Aceh berdoa mengenang keluarga mereka yang telah meninggal saat tsunami. Foto: Junaidi Hanafiah

Gempa berkekuatan sembilan SR terjadi 26 Desember 2014, sekitar pukul 7:58:53, berpusat pada bujur 3.316° N 95.854° E,  sekitar 160 km sebelah barat Aceh sedalam 10 kilometer. Guncangan dasyat ini memicu gelombang panas mencapai 30 meter ke daratan.

Ia tercatat sebagai gempa terdahsyat dalam 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh,  Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, bahkan Pantai Timur Afrika. Indonesia, Thailand, Sri Lanka, India, sebagai negara terparah yang terdampak tsunami.

Data Departemen Sosial pada Januari 2005, korban tewas di Aceh dan Sumatera Utara mencapai 105.262 orang. Dari kejadian gempa dan tsunami itu, sekitar 500-an ribu jiwa melayang di seluruh dunia yang berbatasan dengan Samudra Hindia.

Bahar dan warga mengungsi ke Lampeneurut, kawasan di Banda Aceh yang tidak terkena tsunami. Namun di hari ketujuh dia mengajak warga laki-laki pulang ke kampung mengevakuasi mayat-mayat. Tiap hari mereka pulang pergi sejauh 10 kilometer berjalan kaki.

Sebulan melakoni itu, Februari 2005, Bahar mengajak 40 warga nelayan pulang ke kampung yang hancur dan mendirikan pondok darurat dari sisa kayu-kayu bangunan. Lelaki tidur di tapak kampung hancur, sedang para perempuan ke tenda pengungsi di Lampeunerut jika malam. “Tiap pagi kami mengevakuasi mayat, malam tidur di pondok yang kami buat di atas lantai masjid.”

Bahar dan warga Lamteungoh menjadi korban tsunami pertama di Aceh Besar yang pulang ke kampung mereka dan mendirikan rumah dalam kondisi darurat.  Mereka mendirikan bangunan darurat dari papan dan kayu sisa tsunami. Tak lama ada larangan daerah radius dua kilometer dari pantai tidak boleh lagi didiami.

Awal rehabilitasi dan rekontruksi Aceh, pemerintah membuat cetak biru pembangunan Aceh pasca tsunami. Salah satu rekomendasi, kawasan pesisir Aceh yang kena tsunami jadi green belt dengan melarang ditinggali.

Para pejabat seperti Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Sri Mulyani dan Gubernur Aceh Azwar Abubakar,  pernah khusus mendatangi Bahar dan warga yang nekat tinggal di kampung yang hancur.

“Mereka tanya apa tidak takut tinggal di sini lagi. Saya jawab sejak belum lahir  saya sudah ke laut sama orangtua, sudah besar jadi nelayan, sampai tsunami sayapun dibawa air laut, jadi  tidak takut lagi sama air laut.”

Desa Lamjame Banda Aceh, luluh lantak diterjang tsunami 26 Desember 2014. Foto: Chik Rini

Desa Lamjame Banda Aceh, luluh lantak diterjang tsunami 26 Desember 2014. Foto: Chik Rini

Ketika pemerintah menawarkan mereka pindah ke kawasan aman dari tsunami, Bahar dan warga menolak. “Selaku warga pesisir kami tidak mau direlokasi ke tempat jauh dari laut. Sebagai nelayan kami melaut pulang dapat uang. Kalau menjadi petani harus menunggu berbulan.”

Akhirnya, pemerintah memutuskan mereka boleh tetap tinggal di sana. Pada 2007, bantuan untuk para nelayan mulai datang. Ada yang membantu kapal dan alat pancing. Sebagian warga mulai kembali ke sawah, menanam padi dan semangka. Sawah-sawah direhabiltasi dengan bantuan Usaid. Rumah-rumah di Lamtengoh dibangun pemerintah Jerman.

Tsunami menghancurkan ekosistem pantai dan terumbu karang. Banyak mangrove tercerabut dan pohon-pohon hilang dari pinggir pantai. Terumbu karang tertutup pasir. Ikan makin jauh dari pantai dan nelayan makin sulit. Dengan bantuan LSM, warga mulai menanami pantai dengan cemara laut dan mangrove.

Setahun terakhir, Panglima Laot Aceh Besar menetapkan kawasan konservasi laut di lepas Pantai Ujung Pancu. Mereka hendak melindungi terumbu karang di sekitar Pulau Tuan agar terumbu karang bisa terlindungi dan pulih. Hingga ikan banyak bertelur.

“Kami membuat larangan mengganggu terumbu karang, tidak boleh membuang jangkar di dekat terumbu karang.”

Setelah tsunami sulit mendapat regenerasi pawang ikan. Dari 22 pawang di Lhok Lamteungoh, hanya tiga orang selamat. “Sulit mendapatkan pawang ikan, karena ilmu diturunkan dengan waktu tak lama,” kata Bahar.

Dia sendiri tidak lagi melaut setelah tiga kapal ikan hilang kala tsunami. Namun, dia tetap bersemangat membangun kembali kehidupan para nelayan binaan. Bagi warga Lamteungoh,  laut adalah kehidupan yang tidak tergantikan meski pernah murka dan menghancurkan kehidupan.

Museum Tsunami. Wisatawan berkunjung ke Museum Tsunami Banda Aceh,  Aceh, 29 Desember 2012. Museum Tsunami  dibangun  Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Ini salah satu tempat menyimpan benda-benda yang menjadi bukti kedasyatan tsunami yang terjadi  26 Desember 2004. Foto: Junaidi Hanafiah

Museum Tsunami. Wisatawan berkunjung ke Museum Tsunami Banda Aceh, Aceh, 29 Desember 2012. Museum Tsunami dibangun Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Ini salah satu tempat menyimpan benda-benda yang menjadi bukti kedasyatan tsunami yang terjadi 26 Desember 2004. Foto: Junaidi Hanafiah


Cerita dari Kampung Tsunami di Aceh was first posted on December 26, 2014 at 1:43 pm.

Merawat Seni Nandong dari Simeulue

$
0
0
Para seniman nandong ketika melantunkan syair dan puisi pada  pernikahan adat masyarakat Simeulue. Foto:  Ayat S Karokaro

Para seniman nandong ketika melantunkan syair dan puisi pada pernikahan adat masyarakat Simeulue. Foto: Ayat S Karokaro

Smong dumek-dumek mo” (tsunami itu air mandimu)

Linon uwak-uwak mo” (Gempa ayunanmu)

Elaik Keudang-keudang mo” (Petir kendang-kendangmu)

Kilek suluh-suluh mo” (Halilintar lampu-lampumu)

Itulah bait syair kisah smong atau tsunami ini, dilantunkan Suharman, atau biasa disapa Juman (46), seniman nandong dari Pulau Simeulue, Aceh. Menggunakan biola, dengan mata tertutup rapat dan penuh penghayatan, seni bertutur dilantunkan bak pantun nan indah.

Juman bercerita, kisah smong yang berarti gulungan ombak besar yang dahsyat pada 1907  terus terkenang.  Dengan bahasa tutur dan seni nandong ini, juga disampaikan nasehat dan antisipasi, jika smong kembali datang. Masyarakat Simeulue paham betul langkah pertama harus dilakukan jika gempa kuat datang, disusul air laut surut dan ikan-ikan bergelimpangan ke daratan.

“Apalagi ketika terdengar suara gemericik seperti daun kering terbakar dari laut, itu menunjukkan akan datang ombak besar, dikenal dengan smong.  Nah, dalam seni nandong juga disampaikan langkah agar tidak ke tepi laut megambil ikan, dan harus segera menyelamatkan diri,” katanya.

Melalui nandong itu, masyarakat menjadi paham dan ingat, ketika smong datang pada 2004, korban jiwa sebanyak enam orang. Selebihnya, selamat karena lari ke gunung. “Itu nasehat leluhur yang kami lantunkan melalui nandong,” kata Juman, yang sejak 2004, bersama seniman lain makin mengenalkan kesenian nandong ini.

Senandung nandong mereka lantunkan baik ketika ada pesta adat dan budaya, pesta perkawinan, bahkan kala wisatawan datang ke Simeulue. Kesenian ini berisi tutur, nasehat, dan bercerita kisah kehidupan saat peristiwa smong baik 1907 dan 2004.

Dahulu kala, Pulau Simeulue, terkenal dengan cengkih yang sangat berkualitas bahkan sampai ekspor ke mancanegara. Kala tengah memanen atau menjaga kebun, para orangtua, bersenandung nandong dari atas pohon.

Sanak keluarga yang menunggu di bawah, mendengarkan penuh seksama. Nandong juga disampaikan bersahut-sahutan, antara satu pemilik kebun lain, yang berjarak lumayan jauh. Hingga senandung diucapkan dengan suara kuat. Kisah itu, terus disampaikan dari generasi ke generasi.

Budaya tutur melalui seni dan budaya nandong baik pada  pernikahan dan pesta adat. Foto:  Ayat S Karokaro

Budaya tutur melalui seni dan budaya nandong baik pada pernikahan dan pesta adat. Foto: Ayat S Karokaro

Nandong juga dibawakan kala masyarakat Simeulue pergi melaut mencari ikan. Di tengah laut, mereka bersenandung dan saling bersahutan satu sama lain. Di pesta pernikahan atau pesta adat, para pemain yang berjumlah tiga hingga 10 orang, syair hingga semalam suntuk.

“Pada pesta perkawinan atau pesta adat, kami bersyair soal kehidupan, berpesan dan bercerita bagaimana para leluhur saling mencintai, saling menghormati antara yang muda dengan tua, saling berbagi, saling tolong menolong, dan bersyair tentang kerinduan orang tua terhadap anak di perantauan.”

Budaya ini, katanya, terus dijaga dan lestarikan melalui nandong leluhur masyarakat Simeulue.

Lantas, bagaimana keariban lokal saling menjaga alam dan lingkungan? Ternyata bukan hanya kisah smong 1907 dan 2004 yang disenandungkan. Soal menjaga kelestarian alam, menjaga lingkungan, dan nasehat menanam pohon menjaga keseimbangan antara laut dan daratan, juga jadi tema nandong ini.

Juman mengatakan, para leluhur dahulu sudah memahami betapa penting bersahabat dengan alam, menjaga lingkungan, dan tidak menebang pohon di pantai.

Pulau Simeulue di kelilingi laut. Ombak tinggi, dan angin kencang, menjadikan masyarakat turun temurun, menjaga dan bersahabat dengan alam. Jika menebang pohon di sepanjang pesisir pantai Simeulue, sama dengan bunuh diri. “Pesan leluhur dahulu, tanamlah pohon di pinggir pantai, jika smong atau ombak besar datang, bisa dihalang dan penduduk bisa cepat menyelamatkan diri.”

Jadi, katanya, kala menebang pohon di pinggir pantai, akan mempercepat ombak masuk ke desa tanpa ada penahan. “Kami sadar betul. Melalui nandong, pesan itu terus kami sampaikan.”

Bagaimana melestarikan nandong? Menurut Juman, bersama sejumlah seniman nandong di Simeulue, sampai saat ini membuka peluang bagi anak-anak belajar seni nandong ini. Latihan sudah mereka berikan kepada anak-anak, selama dua tahun terakhir, tanpa bayaran. Mereka ingin, nandong tetap ada. Budaya tutur dan kearipan lokal Simeulue tetap terjaga.

Penanaman pohon di bibir pantai terus dilakukan di  Simeulue. Foto Ayat S Karokaro

Penanaman pohon di bibir pantai terus dilakukan di Simeulue. Foto Ayat S Karokaro


Merawat Seni Nandong dari Simeulue was first posted on December 27, 2014 at 10:18 pm.

2014 Masih Tahun Konflik Agraria, Adakah Harapan Perbaikan ke Depan?

$
0
0

Sebanyak 109 bangunan milik masyarakat adat di SM Dangku dirobohkan karena bangunan tersebut berada di kawasan SM Dangku. Foto: BKSDA

“…1.000 Km dari Jambi ke Jakarta. Masyarakat Suku Anak Dalam dan petani dari Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, yang berkonflik  agraria dengan PT Asiatic Persada, PT Jamer Tulen, dan PT Maju Perkasa Sawit…..”

Begitulah spanduk sekaligus dinding tenda aksi di depan Komnas HAM, di penghujung 2014. Ia juga berisi beberapa tuntutan.

Pada Desember 2013, aksi serupa juga dilakukan warga SAD dan petani Jambi di Komnas HAM. Mereka ‘tinggal’ di bagian depan  ruang Panda Nababan. Kini, sudah lebih 27 hari, puluhan warga Jambi, yang berjalan kaki, bertenda di Jakarta, mencari keadilan pengembalian lahan-lahan mereka yang diklaim perusahaan.

Penyelesaian berlarut-larut. Belum ada titik cerah. Kala saya ke sana, Kamis (25/12/14), hujan deras turun. Tenda tak mampu melindungi mereka dari hujan. Kala panas, mereka kepanasan. Kala hujan, harus rela berbasah-basah dan kedinginan. Mereka tak peduli, demi menagih janj-janji kesepakatan yang sudah dibuat bersama pemerintah beberapa tahun belakangan.

Abas Subuh, warga Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi mengatakan, warga SAD memperjuangkan pengembalian lahan seluas 3.550 hektar mencakup antara lain Dusun Padang Salak, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Tanah Menang. “Di luar itu, lahan-lahan petani yang juga terampas perusahaan,” katanya yang juga Ketua Organisasi Kelompok SAD Sub 113, kala itu.

Sayangnya, kata Abas, sudah hampir sebulan di Jakarta, belum ada satu perwakilan pemerintah datang. Padahal, mereka sudah aksi di berbagai tempat seperti ke depan Istana Presiden, Kementerian Koordinasi Polkam, sampai Kementerian Agraria dan Tata Ruang. “Awalnya, kami sekitar 80-an orang. Sekarang tinggal 27-an, banyak yang pulang karena sakit.”

Menurut dia, mereka ke Jakarta, karena menuntut realisasi kesepakatan yang sudah dibuat perusahaan bersama warga dan pemerintah daerah, pada 1 Agustus 2012, antara lain pengukuran ulang obyek hak guna usaha PT Asiatic Persada (AP) seluas 20.000 hektar dan pengukuran areal 3.550 hektar surve mikro. Juga , realisasi surat BPN  5 Oktober 2012 mengenai penyelesaian konflik serupa.

Pada 10 Juli 2012, juga ada kesepakatan dengan Komnas HAM tentang pengukuran areal 3.550 hektar. Lalu, pengambilalihan lahan dan kebun eks PT Jamer Tulen dan eks Maju Perkasa Sawit, yang dikuasai ilegal oleh perusahaan sejak 1993.

“Sekarang ada tim terpadu yang  tangani di daerah bikin pola baru, malah penggusuran warga,” ujar dia.

Menurut dia, tanaman-tanaman seperti padi, ubi kayu, cabai, sayur mayur, karet, sampai durian digusur. “Tanaman makanan petani abis dibuldozer.”

Siti Zaenab, satu dari dua perempuan yang masih tinggal di tenda aksi juga menceritakan hal serupa. Tanaman pertanian, dari padi, cabai sampai karet, miliknya, ludes tergusur. “Kami hanya minta kembali seperti dulu, bisa tanam di kebun,  tak diganggu,” ucap ibu 63 tahun warga Desa Bungku ini.

Setelah tanaman digusur, kini Siti, tak bisa lagi menjadi bertani. “Suami saya kerja seadanya. Ya ikut orang, pokoknya cari kerja,” ujar dia.

Tak mudah bagi Zaenab sampai ke Jakarta, berjalan kaki dari Jambi. Kaki dia sampai lecet-lecet. “Saya sampai nangis waktu di Palembang. Tak kuat. Tetapi setelah mikir ini perjuangan, saya bertekad dan bisa sampai…”

Konflik menggila

Kasus SAD hanya satu dari ribuan konflik agraria di Indonesia. Data yang terekam Konsorsium Pembaruan Agraria, dalam 2014 sedikitnya terjadi 472 konflik dengan luas mencapai 2.860.977 hektar. Konflik ini melibatkan sekitar 105.887 keluarga. Dari jumlah itu, konflik agraria menyangkut infrastruktur terkait MP3EI sekitar 1.215 (45,55%). Disusul perkebunan 185 kasus (39,19%), sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 12 (2,97%), perairan dan kelautan empat kasus (0,85%, dan lain-lain tuh konflik (1,48%).  Jika dibandingkan dengan 2013, terjadi peningkatan sebanyak 103 kasus (27,95). Catatan KPA, periode 2004-2014, terjadi 1.520 konflik, dengan luasan 6.541.951 hektar, melibatkan 977.103 keluarga.

Iwan Nurdin (Sekjen KPA, paling kiri), Eva Bande (pejuang petani) dan Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, kala jumpa pers di Jakarta, awal pekan lalu. Foto: Sapariah Saturi

Iwan Nurdin (Sekjen KPA, paling kiri), Eva Bande (pejuang petani) dan Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, kala jumpa pers di Jakarta, awal pekan lalu. Foto: Sapariah Saturi

“Ini hasil laporan anggota KPA, laporan langsung dan pantauan dari media.Ini angka minimum, kondisi di lapangan jauh lebih besar,” kata Iwan Nurdin, Sekjen KPA kala diskusi Catatan Akhir Tahun 2014 di Jakarta, Selasa (23/12/14).

Jika dilihat dari luasan konflik, perikanan dan kelautan mencapai 1.548.150 hektar (54,1%), perkebunan 924,740 ribu hektar (32,32%), dan kehutanan 271,544 ribu hektar (9,49%). Lalu, infrastruktur 74,405 ribu hektar (2,6%), pertanian 23.942 hektar (0,8%), lain-lain 11.242 hektar (0,39%) dan pertambangan 6.963 hektar (0,2%).  Dibanding 2013, terjadi peningkatan 123% atau sebesar 1.579.316 hektar. “Perikanan dan kelautan terbesar karena perebutan konsesi migas dan perbatasan antara negara (Malaysia dan Indonesia).”

Menurut dia, trend peningkatan karena tak ada satu unitpun di pemerintah yang bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria. “Banyak unit yang coba menangani tapi tak bisa….”

Tak hanya itu, kata Iwan, penanganan juga tak terkoordinir. “Menangani saja tak akan menyelesaikan. Yang bisa diselesaikan pengadilan.  Repotnya, selesai di pengadilan  tetapi tak selesai keadilan buat warga,” ujar dia.

Sedangkan, jumlah korban konflik agraria tahun ini juga masih tinggi. Pada 2014, korban tewas 19 orang, luka-luka dianiaya 110 orang, dan ditahan 156 orang. Selama 10 tahun, terekam tewas 85 orang, 110 tertembak, 633 luka-luka aniaya dan 1.395 ditangkap.

Pelaku kekerasanpun tak berubah. “Aktor tetap polisi, tentara dan pam swaskarsa perusahaan. Tiga aktor ini pelaku kekerasan atas nama hukum dan izin di lapangan,” katanya.

Iwan miris karena polisi tak bisa membedakan antara izin dan hak.  “Kalau perusahaan punya izin dianggap berhak, padahal izin itu proses panjang. Kita sayangkan, polisi yang terlibat konflik-konflik keperdataan padahal mereka hanya dibekali kepidanaan.”

Dengan korban kekerasan makin banyak itu, katanya, memperlihatkan cara-cara primitif masih berlangsung dan luar biasa di lapangan. “Gerakan HAM saja menolak menembak mati orang yang proses di pengadilan. Ini hukuman mati orang yang belum proses. Ini pelanggaran HAM. Miris. Harus terus pantau dan hentikan.”

Untuk wilayah penyumbang konflik terbesar, katanya, Riau menduduki posisi tertinggi,  52 kasus, disusul Jawa Timur 44, Jawa Barat 39, Sumatera Utara 33, Sumatera Selatan 33, Jawa Tengah 26, Jakarta 25, Banten 20, Sulawesi Selatan 19 dan jambi 17 kasus. “Bukan berarti di Kalimantan gak ada konflik. Ini yang meletup tahun ini,” ucap Iwan.

Tak jauh beda dikatakan Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Komnas HAM. Dia mengatakan, problem terus menerus muncul dan akut tetapi tak pernah ada solusi.  “Saya setuju, konflik agraria penuh pelanggaran HAM. Sesudah pelanggaran-pelanggaran itu berturut-turut terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM lain. Kalo tak diselesaikan, problem tak akan selesai,” ujar dia.

Dia mengatakan, laporan konflik yang masuk ke Komnas HAM, pada 2012 sekitar 6.200, 2013 hampir 7.000. “Pada 2014 di atas 7.000, 20% konflik agraria dan penggusuran paksa. Kalau tak dilesaikan konflik akan ada terus.”

Masinton Pasaribu, Komisi III DPR mengatakan, dalam menyelesaikan konflik agraria pemerintah memang harus melakukan langkah-langkah lebih.  “Harus ada kebijakan-kebijakan yang lebih lindungi kepentingan rakyat,” katanya. Terlebih, eskalasi kekerasan oleh pelaku, baik polri, TNI dan preman perusahaan, makin tinggi.

Dalam penyelesaian konflik, Polri malah menugaskan Brimob, bukan negoisator. “Saya ingin Kapolri ada SOP khusus, misal tangani petani jelas, jangan rakyat dikriminalisasi!” Pemerintah, katanya,  jangan hanya pakai cara-cara biasa mengatasi beragam konflik ini, apalagi malah membiarkan.

Dia berharap, dengan ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, maka “paku-paku” itu bisa makin menancap hingga sampai puncak dan keadilan masyarakat bisa terwujud.

Eva Bande, pejuang petani dari Sulawesi Tengah, yang baru mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo mengatakan, konflik agraria di Indonesia, sudah akut dan darurat. Konflik terjadi di mana-mana, seperti di Sulawesi Tengah. “HTI, HGU…Brengsek lagi,  bupati bisa keluarkan IUP dan mereka modus dipecah-pecah hingga gak perlu izin kementerian. Di daerah,  pengusaha biayai pilkada hingga mudah jaga kemapanan investasi.  Satu perusahaan bisa dipecah-pecah sampai 10 atau lebih anak usaha.”

Sisi lain, tanah-tanah rakyat yang tak memiliki surat-surat legal, misal tanah adat, bisa seenaknya diklaim perusahaan maupun pemerintah. “Tiba-tiba izin datang dan klaim. Ini yang terjadi.”

Sebenarnya, kata Eva, presiden tinggal memilih kebijakan yang akan dikeluarkan. “Dimusuhi segelintir pengusaha tapi dibela rakyat, atau sebaliknya.”

Pemerintahan ini, katanya, ada sinyal positif. Dalam statemen-statemen Jokowi kala pidato, tegas menyatakan, tak boleh lagi ada kriminalisasi pada pejuang agraria. Namun, ucap Eva, kriminalisasi itu hanya dampak dari konflik-konflik berkepanjangan dengan perusahaan maupun pemerintah yang menyebabkan warga tersingkir dari wilayah hidup. “Akar masalah yang harus diselesaikan.”

Eva optimistis, pemberian grasi ini sebagai pembuka. “Ada sinyal baik yang diberikan… saya kira rakyat akan mendukung… Tak boleh berakhir pada Eva Bande..mesti ada grasi-grasi dan konflik juga diselesaikan…”

Hutan yang dibelah PT TPL untuk membuat akses jalan. Di areal ini juga lokasi peristiwa penangkapan warga adat Pandumaan-Sipituhuta. Foto: Made Ali

Langkah ke depan?

Guna menyelesaikan konflik agraria menggunung ini, kata Iwan, KPA merekomendasikan beberapa hal. Pertama, pembentukan badan ad hoc penyelesaian konflik agraria. Kedua, penghormatan, pengakuan, pemulihan hak-hak korban kriminalisasi dan kekerasan. Ketiga, pelaksanaan reforma agraria. “Janji land reform Jokowi dalam Nawa Cita melalui redistribusi tahan 9,2 juta hektar bagi petani dan masyarakat miskin harus jalan.”

Menurut Iwan, grasi kepada korban kriminalisasi konflik agraria pemerintah lalu memang penanda baik. Namun, katanya, harus didorong agar realisasi terus berjalan.

Dia mengatakan, banyak pekerjaan rumah pemerintah ke depan. Jika penyelesaian konflik agraria tak menjadi prioritas, akan mengulang sisi gelap pemerintah sebelumnya. “Terlalu sering berwacana tapi tak ada aksi nyata di lapangan terkait konflik agraria.”

Dianto mengungkapkan, sejak era Presiden Megawati Soekarno Putri, Komnas HAM sudah mengusulkan konsep penyelesaikan konflik yang sistematik namun belum terealisasi. “Era itu sudah minta bikin komisi khusus tangani penyelesaian konflik agraria.”

Komisi khusus itu penting, katanya, karena beberapa alasan, antara lain lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan tak memadai. Kalau ke pengadilan, misal perdata, dari sejumlah data, kurang saru satu persen kasus dimenangkan masyarakat.  “Jadi 99 persen menang pihak lain,  mayoritas korporasi.

Alasan lain, hampir tiap unit di kementerian punya bagian penyelesaian konflik tetapi yang diurus malah proses administrasi penerbitan izin yang mereka keluarkan. “Tak menyangkut nasib bagaimana lahan masyarakat  yang diambil. Kalo gak ada lembaga khusus menyelesaikan konflik agraria, massif, sistematis dan cepat, sulit. Komnas HAM berulang-ulang rekomendasi.”

Senada dikatakan Eva Bande. Dia mengusulkan harus ada satgas khusus penyelesaian konflik agraria. “Bukan hanya pemetaan tapi penegakan hukum.”

Konflik agraria di Indonesia, katanya, sudah akut dan darurat. “Kalau gak diselesaikan akan konflik terus.  Karena pemodal kerja terus. Pengusaha kerja karena ada izin dari pemrintah.” Untuk itu, pemerintah harus menyelesaikan masalah ini dengan melibatkan pihak-pihak kredibel.

Eva mengatakan, penyelesaikan konflik agraria tak bisa lagi kasus tak boleh lagi kasus per kasus hingga harus ada satgas khusus. “Tak boleh main-main lagi kita, karena sudah banyak kriminalisasi.” Dia berharap, awal tahun sudah ada kemajuan mengenai pembentukan satgas ini.

Dia bercerita, kala bertemu Jokowi, juga menyampaikan pentingnya satgas khusus ini. Namun, katanya, tak hanya cukup membentuk satgas, orang-orang yang duduk di sana harus kredibel, dengan melibatkan masyarakat sipil.  “Kalau tidak gagal lagi upaya selanjutnya.”  Hal penting lain,  katanya, penegakan hukum juga harus jalan.

Masinton menambahkan, Kementerian  Agraria dan Tata Ruang, tak bisa menyelesaikan konglik sendirian. “Dengan model gini harus ada upaya radikal.  Ada badan khusus. Hingga rakyat gak dikriminalisasi.”

Binbin Firman, Koordinator Serikat Tani Nasional mengatakan, pemerintah mesti menyelesaikan darurat agraria ini. “Memang harus ada intervensi langsung dari presiden. Karena situasi sudah darurat. Entah itu apa namanya panitia nasional, satgas. Okelah, satgas penyelesain konflik agraria, segera inventarisasi kasus-kasus agraria, yang berdampak krusial besar,” katanya.

Penyelesaian konflik-konflik agraria memang harus lebih komprehensif. Seluruh penyelesaian konflik, kata Binbin, harus berbasiskan Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 dan Pasal 33 UUD’45. “Karena kalau melenceng dari itu, tak akan menyelesaikan masalah. Menurut kami problem dasar dari konflik agraria ini karena pemerintah tak konsisten terhadap pelaksanaan UUPA dan Pasal 33 UUD 45.” Dia setuju pembentukan segera satgas  yang berisi para penggiat agraria dan langsung di bawah presiden.

Abdon Nababan (kiri) kala penandatanganan penyerahan peta wilayah adat sebanyak 4,8 juta hektar kepada kepala BP REDD+, Heru Prasetya, awal pekan lalu di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Abdon Nababan (kiri) kala penandatanganan penyerahan peta wilayah adat sebanyak 4,8 juta hektar kepada kepala BP REDD+, Heru Prasetya, awal pekan lalu di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Kabar bagi masyarakat adat 

Sejalan dengan KPA, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menyatakan, pada 2014 ini masih tahun konflik, meskipun ada sinar cerah ke depan.

Abdon Nababan, Sekjen AMAN mengatakan, pada tahun politik ini, dari 185 kader AMAN maju di pemilu legislatif, 25 orang berhasil ke parlemen.  “Walaupun kecil,  teman-teman yang terlatih, sudah agendakan di parlemen. Di kabupaten ada program legiaslasi daerah, setidaknya ada tujuh kabupaten siap proses peraturan daerah,” katanya dalam diskusi Catatan Akhir Tahun AMAN di Jakarta.

Pada pemilihan presiden, katanya,  AMAN secara organisatoris memberikan dukungan resmi pada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dari sana, setidaknya, ada enam komitmen untuk masyarakat adat.

Pertama, tinjau ulang seluruh peratuan UU terkait penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, khusus sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang diamanatkan Tap MRP 2001. Kedua, lanjutkan proses legislasi RUU yang sebenarnya bisa disahkan periode parlemen lalu. “Komitmen kedua ini jadi sangat penting untuk dipegang.”

Ketiga, memastikan proses-proses legislasi terkait masyarakat adat pada UU sektoral. “Karena UU sektoral banyak atur hak-hak masyarakat adat, satu sama lain saling tumpang tindih hingga UU sektoral tak bisa bekerja sesuai harapan,” ucap Abdon.

Keempat, mendorong inisiatif RUU terkait konflik-konflik agraria. “Ini masalah utama masyarakat adat. Konflik ada di mana-mana.” Kelima, komitmen presiden membentuk komisi independen untuk kerja-kerja intensif menyiapkan kebijakan dan kelembagaan khusus menyangkut penghormatan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. “Ini harus segera dilakukan pemerintah baru.”

Keenam, melaksanakan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Hal ini, katanya, sudah dinyatakan dalam Nawa Cita tetapi AMAN harus bekerja bersama pemerintah memastikan enam komitmen ini berjalan.  “Kami bayangkan, 2015 itu tahun kerja keras masyarakat adat bersama pemerintah.”

Untuk itu, AMAN mengambil langkah, antara lain dengan memberi masukan-masukan kepada presiden. “Apa yang kami sampaikan, segala rancangan, gagasan juga bentuk-bentuk kerja sama yang diusulkan di rumah transisi agar bisa dijalankan pemerintah.”

AMAN, kata Abdon, sebelum ini menyuarakan pembubaran Kementerian Kehutanan. Jokowi mengambil jalan menggabungkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kementerian gabungan ini, katanya,  penting bagi masyarakat adat karena sekitar 80% wilayah adat di kawasan hutan. Dengan penggabungan ini,  Abdon berharap, kemacetan-kemacetan bisa terbuka. AMAN juga menyambut baik kementerian agraria dan tata ruang.

Sumber : KPA

Sumber : KPA

“Ini bisa jadi harapan masyarakat adat. Masyarakat adat daftarkan dan jadi pengakuan. Kalau LHK bersama-sama masyarakat  adat menjaga fungsi hutan dan pastikan hutan berfungsi buat banyak orang dan beguna bagi banyak orang di dalam dan luar negeri. Kementerian Agraria pastikan status wilayah adat sebagai hak masyarakat adat. Kami ada harapan besar…”

Saat ini, katanya, setidaknya, ada 20 kementerian bersentuhan dengan hidup masyarakat adat. Kondisi ini, cukup berat bagi masyarakat berinteraksi dengan 20 kementerian ini. “Untuk ringankan, dalam 2015, kami berharap komisi nasional urusan masyarakat adat terbentuk.”

Dengan begitu, kata Abdon, ada sinergi dan koordinasi, antara persoalan-persoalan dan pelayanan agar 20 kementerian. “Kami tak bisa bayangkan kalau setiap kementerian bikin sesuatu di wilayah masyarakat adat. Akan banyak institusi di masyarakat adat yang bisa rusak tatanan mereka.”

Kabar buruk

Tahun 2014, bukan hanya ada hal-hal yang memberikan harapan, cerita-cerita sedih bagi masyarakat adat terjadi.  Tahun ini, RUU masyarakat adat tak selesai. “Hanya karena Menteri Kehutanan tak bisa mengesahkan.”

Mengapa? Sebab, kala itu rapat-rapat hanya diikuti staf yang tak punya wewenang hingga pansus DPR tak bisa memutuskan. “Mudah-mudahan tahun 2015, tak terjadi lagi.”

Abdon berharap, pada 2015, Kementerian Hukum dan HAM bisa mengambil inisiatif mendorong RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat bisa dibahas kembali di DPR. “Dimotori Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri. Bukan kementerian sektoral seperti Kemenhut lalu, terlalu banyak kepentingan hingga hal-hal mendasar tak dibahas baik.”

Dia juga menjabarkan, kabar baik pada 2013, dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara, belum menjadi kebaikan bagi masyarakat adat.  Di lapangan, kriminalisasi masyarakat adat sangat tinggi dan luar biasa.”Hampir di seluruh tempat. Paling tinggi justru terjadi di kawasan-kawasan konservasi. AMAN mencatat di Sumatera Selatan, Bengkulu dan Sulawesi Selatan. Mereka diadili tanpa mempertimbangkan sejarah masyarakat adat. Jadi, 2014,  masih tahun peti karat dan kekerasan bagi masyarakat adat.”

Dia mencontohkan, di Sumsel, lebih 100 bangunan masyarakat adat dirobohkan BKSDA karena berkonflik dengan suaka margasatwa. “Konflik-konflik ini, pembiaran. Mudah-mudahan tak terjadi di 2015.”

Saat ini, penjara-penjara di berbagai tempat ada para aktivis dan masyarakat adat, karena menggarap dan mempertahankan wilayah adat jadi korban kriminalisasi.

Harapan ke depan?

Menurut Abdon, pada 2015, ada banyak harapan besar, salah satu inisiatif Komnas HAM menyelesaikan pelanggaran HAM di wilayah adat masuk kawasan hutan lewat inkuiri nasional. “Inkuiri berlangsung sejak Agustus dan berakhir 17 Desember 2014.

Harapan AMAN, presiden akan memperhatikan hasil atau rekomendasi-rekomendasi inkuri nasional.  Temuan inkuiri nasional itu, ada sekitar 30-an jenis pelanggaran HAM dialami masyarakat adat dari hak sipil, sosial, ekonomi dan budaya.

“Itu luar biasa. Saya masih penasaran mendengar hasil rapat pleno Komnas HAM, apakah dengan 30 bentuk pelanggaran HAM yang massif lewat instrumen negara akan dikategorikan pelanggaran HAM berat atau bukan. Yang jelas, semua bentuk-bentuk pelanggaran ini harus dihentikan. Saya tahu, negara tak bisa bayar kerugian yang dialami masyarakat adat.”

Dengan temuan-temuan itu, bisa menjadi landasan memulai rekonsiliasi nasional pada 2015. “Rekonsiliasi nasional dengan pemerintah akan jadi momentum bagus, karena segala sesuatu sudah disiapkan Komnas HAM lewat inkuiri nasional.”

Dengan rekonsiliasi ini, katanya, akan mudahkan memasuki zaman baru. “Kita tahu banyak penderitaan, kerugian dan nyawa hilang selama UU Kehutanan sejak 1967. Bukan hanya itu banyak UU lain yang sebabkan penderitaan masyarakat adat.  Saatnya, inisiatif Komnas HAM, tahun 2015 jadi masa rekonsiliasi,” ucap Abdon.

Dia mengatakan, sikap presiden memberikan grasi kepada Eva Bande, merupakan sinyal positif.  “Saudara-saudara di penjara dan alami proses peradilan hanya karena garap tanah adat mereka seharusnya dapat grasi. Mudah-mudahan ini didapatkan awal tahun 2015.”

AMAN juga ingin mendorong, pemerintah menyediakan satgas di bawah kendali presiden. Satgas bagi masyarakat adat, katanya, sangat perlu karena tumpukan masalah tak mungkin selesai dalam waktu dekat oleh kementerian atau lembaga. “Unit kerja ini sangat diperlukan ada di kantor presiden.”

AMAN mendesak, pelanggaran HAM yang sudah ditemukan oleh Komnas HAM, agar mendapat jalan keluar tuntas. “Kami rekomendasikan pada pemerintah supaya komitmen ini dikerjakan bersama-sama, melibatkan masyarakat adat, dan semua pihak. Kami yakin, masalah besar ini tak bisa hanya dipikul presiden dan wakil.”

Dia juga meminta,  DPR segera memasukkan kembali RUU masyarakat adat menjadi agenda prioritas 2015. “Kami ingin keseriusan pemerintah mengawal ini. Jangan seperti pemerintah lalu. Pemerintah baru sudah komitmen resmi bisa kawal serius. Kami juga dorong inisiatif ada di level pemerintah daerah dan Permendagri Perlindungan Masyarakat Adat,  bisa dapat perhatian seluruh pemerintah di Indonesia.”

Abdon berharap, hal-hal baik dalam kebijakan dan praktik yang berdampak bagi masyarakat adat terus berlanjut ke depan.

Inkuiri nasional masyarakat adat region Sulawesi yang dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tengah. Komnas HAM, sekitar dua bulan, melakukan dengar keterangan umum kasus-kasus yang menimpa masyarakat adat di kawasan hutan di tujuh region di Indonesia. Hasilnya, temuan telah terjadi berbagai pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat. Foto: Christopel Paino


2014 Masih Tahun Konflik Agraria, Adakah Harapan Perbaikan ke Depan? was first posted on December 27, 2014 at 11:48 pm.

Kala TNI Lepasliarkan Tukik di Pulau Berhala

$
0
0
Setelah menetas, anak-anak penyu ini dimasukkan ke  tempat penampungan sementara sebelum dilepas ke laut. Foto: Ayat S Karokaro

Setelah menetas, anak-anak penyu ini dimasukkan ke tempat penampungan sementara sebelum dilepas ke laut. Foto: Ayat S Karokaro

Pasukan TNI siaga menjaga pulau terluar Indonesia, yang berada di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Namanya Pulau Berhala. Ternyata, mereka juga menangkar penyu. Pada pertengahan November 2014, para TNI ini melepasliarkan 23 tukik ke laut.

Serda Adi Sentrasa Putra Sinaga, Komandan Regu Yonif 126 Pulau Berhala, mengatakan, perburuan penyu tinggi untuk dijual dan diselundupkan ke luar negeri. Predator pemakan telur dan tukik juga banyak. Merekapun terpanggil menyelamatkan hidup satwa terancam ini.

Proses penangkaran, katanya, dengan mengawasi penyu dewasa yang datang malam hari buat bertelur. Setelah itu, telur diambil dan ditempatkan agar terhindar predator laut.

“Kalau usia satu bulan, kami belum berani melepaskan. Rentan diburu predator, salah satu biawak. Jika sudah sudah tiga bulan, wajib lepasliar ke laut.”

Menurut dia, penangkaran penyu sejak 2006, saat satgas pertama wilayah timur bertugas menjaga Pulau Berhala. Setelah serah terima delapan tahun lalu, penangkaran terus berjalan. Hasilnya, ribuan tukik berhasil diselamatkan dan dilepasliarkan.

Pada September 2014, sebanyak 140 telur penyu berhasil ditangkarkan. Pada November, 23 tukik berusia tiga bulan dilepasliarkan.

Putra mengatakan, ada juga pemburu penyu yang berpura-pura menjadi nelayan.“Sejauh saya ditugaskan menjaga pulau, belum ada orang berani memburu penyu, tukik, maupun telur. Berani mereka, kami gibal sampai jera.”

Mereka bergantian mengawasi penyu yang datang ke daratan untuk bertelur. Begitu bertelur,  langsung dibawa ke penangkaran.

Indah Dwi Kumala, Kepala Bagian Humas Kabupaten Serdang Bedagai, mengatakan, pemerintah konsen pelestarian penyu ini. Pulau ini pilihan karena tak berpenghuni dan jauh dari daratan dan dijaga TNI.

“Jarak dari Sergai dan Batubara, empat sampai enam jam naik kapal nelayan. Jadi sangat kecil kemungkinan buat diburu, atas dasar itulah kita menangkarkan di Pulau Berhala, ” kata Indah.


Kala TNI Lepasliarkan Tukik di Pulau Berhala was first posted on December 28, 2014 at 5:17 pm.

Melihat Pembangunan Aceh Pasca Tsunami

$
0
0

Desa Lamjame Banda Aceh, luluh lantak diterjang tsunami 26 Desember 2014. Foto: Chik Rini

Pembangunan Aceh, pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004, tak bisa lepas dari satu badan khusus bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Badan ini terbentuk, kala progres pembangunan pasca bencana begitu lambat. Kuntoro Mangkusubroto, duduk mengepalai badan ini.

Dalam Analisis Dinamika Kolaborasi antara Aceh dan Nias dengan Lembaga Donor Pasca Tsunami 2004 menggunakan Drama Theory, Kuntoro menyebutkan, tugas BRR tak ringan karena sepanjang sejarah Indonesia, bahkan dunia, belum pernah didirikan badan khusus sebagai koordinator dan pelaksana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. BRR, katanya, kala itu, tidak memiliki panduan dalam menjalankan tugas.

BRR pun berupaya membangun Aceh dan Nias pasca bencana dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, menerapkan struktur administrasi dan manajemen “flat”, serta sistem pendukung yang fungsional dan ringkas.

Badan ini bergerak menjadi ‘pusat’ keluar masuk dana-dana dari berbagai pihak. Ada dari APBN, negara atau lembaga donor baik multilateral dan bilateral, Palang Merah Indonesia, internasional maupun dari negara lain, termasuk dari dunia usaha. Total 900 lembaga dengan sekitar US$7,2 miliar. Dari jumlah itu, dua per tiga bantuan dari luar negeri.

Alhasil, badan ini secara umum terbilang sukses menjalankan tugas ‘membangun Aceh kembali” kala itu. Pada 2007, badan ini mendapat acungan jempol dari BPK atas laporan keuangan tahun 2007. Mereka mendapat opini wajar tanpa pengecualian dari BPK.

Dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, memberikan peringkat pertama pada laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah 2006 dan 2007 buat BRR.

Setelah lebih dari lima tahun berdiri, pada 2009, BRR menyelesaikan tugas. Dengan alokasi dana sekitar US$6,7 juta, setidaknya terbangun, lebih 140.000 rumah, 1.759 sekolah, 363 jembatan dan 13 airport.

Kini, bencana dasyat yang menewaskan ratusan ribu jiwa dan meluluhlantakkan Aceh ini sudah 10 tahun berlalu. Sebagai refleksi 10 tahun tsunami ini, Mongabay-Indonesia, mewawancarai Heru Prasetyo, dulu Direktur Hubungan Internasional BRR Aceh Nias.

Mongabay-Indonesia: Gempa dan tsunami Aceh, sudah 10 tahun berlalu. Pelajaran apa yang bisa diambil jika dikaitkan kerja BRR kala itu, sebagai lembaga baru yang menjalankan tugas belum memiliki pedoman?

Heru Prasetyo: Mungkin kita harus renungkan kembali, pelajaran apa yang bisa diperoleh dari kejadian-kejadian sesudah tsunami. Kita semua sadar, tsunami itu suatu bencana alam. Kita sekarang banyak bicara masalah perubahan iklim, adalah bencana alam karena kelakuan manusia. Artinya, kalau kita mengatakan murni bencana alam, you have to take it as given. Tetapi, kemudian terjadilah penyapuan, pengrusakan, penghancuran, yang terjadi sebagai akibat dari kelakuan atau perilaku alam tadi.

Banyak hal yang kemudian bisa kita pelajari pada waktu membangun sesuatu dari nol. Pertama, kita perlu tahu dalam kondisi yang tidak jelas itu,  dari mana harus memulai. Kalau kita tidak tahu mulai dari mana, you have to create it the point when you start. Karena kalau tidak kita tetapkan detik-detik akan mulai,  tidak akan pernah mulai. Ini pelajaran penting sekali. 

Kedua, masalah yang kita hadapi tidak hanya bangun fisik, rusak rumah, rusak pohon, rusak padi, orang tewas dan lain-lain. Juga ada sosial. Hubungan sosial grup satu dengan grup lain itu mengalami perubahan signifikan setelah bencana. Ada menjadi makin dekat, ada menjauh, ada yang menjadi menyendiri dan seterusnya. Di suatu masyarakat seperti itu. Dalam konteks macam itu, dimana bangun fisik dengan kondisi rusak secara sosial dan terjadi perubahan-perubahan signifikan, maka pada waktu akan rekonstruksi politik baik fisik maupun sosial dan emosi itu diolah bersama.  Namun, jangan berpikir mau mencari keseimbangan terlebih dahulu dari semua itu, you will never start.

Yang dilakukan BRR kala itu, bermusyawarah dengan para umaroh, pemerintah, ulama, dan budayawan, bagaimana rekonstruksi Aceh sebaiknya. Tidak keluar dengan satu solusi karena masing-masing punya pendapat berbeda terus.

Heru Prasetyo, dulu Direktur Hubungan Internasional BRR, kini kepala BP REDD+. Foto: Sapariah Saturi

Heru Prasetyo, dulu Direktur Hubungan Internasional BRR, kini kepala BP REDD+. Foto: Sapariah Saturi

Mongabay-Indonesia: Bagaimana BRR dalam menghadapi perbedaan pendapat dari berbagai kalangan itu?

Heru Prasetyo: Kalau kita mencoba terlalu demokratis mendengarkan itu, ya kita ngobrol terus tidak melakukan pembangunan. Disitu saya mendapat pelajaran bahwa menggunakan pendekatan demokratis pun harus bijak kapan harus mengusulkan, kapan harus memulai langkah. Hingga demokrasi itu bisa diajak bergerak ke suatu titik, kalau tidak, ia berputar-putar terus. Itu yang dilakukan BRR.

Ini tidak hanya dengan masyarakat sendiri, juga masyarakat luar, NGOs. Pada waktu BRR jadi itu sudah banyak sekali ada disana. BRR baru muncul pada bulan kelima. Mereka mempunyai kegiatan, mempunyai aturan, melakukan bangun rumah disini, kasih  fasilitas apa disana, tetapi mereka tidak terarah, tidak diarahkan.

Untuk itu, perlu ada pemerintah kuat, bisa dipercaya dan jujur yang bisa mengarahkan. Pada waktu mengarahkan bisa diterima integritasnya, tidak hanya oleh pelaksana di lapangan juga pemberi dana.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana membangun kepercayaan di tengah kondisi Indonesia, sebagai negara dengan korupsi tinggi? 

Heru prasetyo: Transparansi. Kita melaporkan setiap kegiatan. Kemudian kita juga melaporkan kemana saja uang itu ada bukti, termasuk para NGO-NGO yang melakukan pekerjaan sering check and recheck pada yang lain. Jadi ada satu proses konfirmasi bahwa yang kita lakukan itu benar.

Semua itu perlu dilaporkan secara teratur.  Keteraturan memerlukan sistem. Jadi ada manajemen, ada orang-orang berkualitas dan berintegritas. Ada niat baik dan saling check and balance diantara para pelaku. Sistem yang mencatat dan melaporkan itu manajemen fair.

Mongabay-Indonesia: Apakah capaian BRR itu menurut Anda memuaskan?

Heru Prasetyo: Apakah saya 100% puas dengan yang dicapai disana? Oh, tidak. Namun, kala itu keputusan harus diambil, andai kata kita mengatakan,”saya mau menyembuhkan semua luka di hati orang-orang Aceh itu, mungkin perlu 10 tahun, mungkin perlu menunggu generasi berikutnya, sekolah yang bagus. Kalau itu dilakukan, akan muncul kemudaratan. Hal-hal menyulitkan mungkin muncul, karena situasi menjadi sangat kompleks.

Mongabay-Indonesia: Masa rehabilitasi dan rekonstruksi, terjadi pembangunan besar-besar yang memerlukan banyak material, seperti bahan baku kayu. Bagaimana kebijakan BRR, agar proses itu tak menciptakan kerusakan baru, misal pembabatan hutan Aceh secara massif?

Heru Prasetyo: Saat kita rekonstruksi Aceh ada suatu statemen: tidak menggunakan kayu dari hutan Aceh. Pada waktu itu, kebutuhan kayu untuk membangun besar sekali. Kami mengatakan,  kalau menggunakan kayu Aceh, jangan-jangan tsunami dari laut disambut tsunami dari gunung. Kalau terjadi, bisa longsor dan lain-lain. Apa yang kemudian terjadi, secara mekanisme pasar, keseimbangan bisnis, dan keseimbangan managemen, kita terpaksa mengimpor kayu. Jadi ada kayu dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, juga Selandia Baru. Itu untuk memenuhi kebutuhan sekaligus menjaga jangan sampai hutan Aceh rusak. Kita sudah mikir pada waktu itu.

Namun, kemudian Kementerian Kehutanan, pemerintah dan lembaga-lembaga lain waktu itu mengatakan, ini akan melanggar apa yang menjadi pedoman dalam perdagangan internasional Indonesia. Indonesia adalah eksporter kayu, bukan importer. Mungkin dalam negoisasi perdagangan penting. Tetapi kami, mengatakan, tidak. Tetap tidak akan menggunakan kayu hutan Aceh. Hal ini disambut gubernur yang naik, Irwandi Yusuf. Dia moratorium pemanfaatan hutan di Aceh.

Mongabay-Indonesia: Bagaimana anda melihat pembangunan di Aceh, saat ini?

Heru Prasetyo: Saya ke Aceh, dua tiga tahun lalu. Saya melihat, saya tidak percaya bahwa dulu ada tsunami. Kondisi fisik bagus. Tetapi kalau lihat, ada komplek rumah-rumah yang dibangun cantik (masa BRR) tak semua ditempati.

Ada cukup banyak rumah kosong. Saya tak tahu persis persentasenya. Kan kalau dulu, ada orang-orang tidak punya rumah tapi kos di rumah-rumah dekat pasar karena kerja di pasar. Apakah tukang dorong gerobak, tukang panggul barang, tukang nurunin barang di truk. Kan banyak orang-orang seperti itu. Mereka tinggal kos di rumah orang. Rumahnya hilang, mau kos dimana? Kebijakan kita waktu itu bangunin rumah, mereka dapat rumah. Tapi tidak bisa di dekat pasar, harus di bukit. Dapat rumah di bukit. Pasca bencana, mereka kembali kerja di pasar, jauh dan disediakan bis. Namun perkembangan ekonomi dengan kebutuhan, dan pergerakan manusia, tidak selalu seirama. Jadi bisa saja dari rumah-rumah di bukit itu,  tidak ditinggali karena lahan yang di bawah dulu dibangun lagi dan disewakan. Jadi dinamika seperti itu biasa.

Kalau kita refleksikan, ternyata pada akhirnya, masyarakat bisa bebas menentukan pilihan. Tidak ada paksaan. Kamu tidak harus tinggal di rumah itu, kamu punya hak untuk rumah itu, kamu punya opsi tinggal disitu atau tidak. Jadi, kita bisa melihat, bagaimana masyarakat menggunakan opsi-opsi mereka.

Krueng Aceh di pusat kota dipenuhi sampah bangunan dan  mayat korban tsunami yang hanyut tersapu air. Foto: Chik Rini

Krueng Aceh di pusat kota dipenuhi sampah bangunan dan mayat korban tsunami yang hanyut tersapu air. Foto: Chik Rini


Melihat Pembangunan Aceh Pasca Tsunami was first posted on December 28, 2014 at 11:35 pm.

Inilah Kisah Komunitas To Bentong

$
0
0
Nuru Rrein,  warga To Bentong (dengan stigma Suku To Balo) yang dianggap komunitas suku terpencil. Foto: Eko Rusdianto

Nuru Rrein, warga To Bentong (dengan stigma Suku To Balo) yang dianggap komunitas suku terpencil. Foto: Eko Rusdianto

Tugu beton itu tegak setinggi tiga meter, pada bagian atas menempel sebuah jam dinding, sejak lama tak berfungsi. Inilah penunjuk jalan berbelok arah jika hendak menuju Desa Bulo-bulo, Kecamatan Pujananting, Kaupaten Barru, tempat ratusan komunitas To Bentong bermukim.

Jalur lain bisa melalui Desa Bungoro di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, namun jalan sangat buruk. Saat hujan, kendaraan dapat terperosok ke kubangan. Jalan pun berangkal batu besar dan tajam, kapan saja bisa menembus ban.

Tugu jam di Kecamatan Tanete Riaja ini adalah jalur panjang dan melewati beberapa desa. Saya dan seorang teman memilih jalur ini karena lebih aman. Kami hanya menggunakan motor standar dan tak bersama penunjuk jalan.

Di Punranga kampung terakhir jalan beraspal, kami berbelok kanan, dan mulai menapaki jalan aspal rusak. Pohon-pohon pinus di sisi jalan, sungai diantara jurang, dan petakan lahan pertanian. Rumah-rumah penduduk berjauhan. Tak ada listrik di kampung ini. Warga menggunakan genset, atau aki mobil untuk penerangan dua hingga tiga bola lampu.

Setelah kelelahan mengendarai sepeda motor sekitar tiga jam, kami melewati jembatan besi dengan papan kayu sebagai penyangga utama. “Selamat Datang di Desa Bulo-bulo.” Kata-kata itu tertempel di papan kayu berwarna putih dengan huruf-huruf berwarna hitam.

Jalan mendaki curam dengan batu besar yang lepas. Membuat motor kapan saja tergelincir jika tak berhati-hati.

Perjalanan masih berlanjut sekitar 30 menit menuju Dusun Labaka. Tempat komunitas To Balo–penamaan kelompok manusia belang–hidup dan bermukim. Tempat dimana stigma dan stereotype menjadi bahan jualan pemerintah daerah dan beberapa pewarta.  Bagaimana kisahnya?

Anak-anak  Komunitas To Desa Bulo-bulo, kala pergi ke sekolah. Foto: Eko Rusdianto

Anak-anak Komunitas To Desa Bulo-bulo, kala pergi ke sekolah. Foto: Eko Rusdianto

Melawan stigma

Saya tiba di Dusun Labaka saat malam. Cahaya dari rumah-rumah penduduk yang berjauhan terlihat seperti kunang-kunang, karena lebih banyak menggunakan lentera berbahan minyak tanah. Pukul 20.00 hampir dipastikan, semua penduduk terlelap, kecuali beberapa anak muda sesekali hilir mudik menggunakan motor.

Keesokan hari, setelah Nurlaela usai belajar mengaji, kami berjalan menuju rumah dia yang sejuk. Berdiri diantara undakan- pematang sawah dan kebun. Ayahnya, Nuru Rein, sedang mencuci motor di bawah kolong rumah, menggunakan aliran air dari gunung.

Di Dusun Labaka, semua warga menggunakan air dari gunung, untuk keperluan mencuci dan minum. Di dusun ini, terdapat 73 keluarga dengan mata pencaharian sebagai petani sawah. “Silakan naik ke rumah. Saya cuci motor dulu,” kata Nuru.

Suasana gerimis saat kami duduk di beranda rumah Nuru Rein. Dia menggunakan topi pet, kaos oblong, dan celana pendek selutut. “Beginilah keadaan kami. Kalau orang berkunjung ke desa ini, pasti akan ketemu kami,” katanya. “Saya juga sudah mulai bosan.”

Selama ini, keluarga Nuru Rein yang memiliki kulit belang dengan sebutan To Balo, menjadi semacam magnet mengunjungi desa Bulo-bulo. Mereka diasumsikan sebagai masyarakat terasing dan baru tahun 1990-an mulai menempati rumah. “Orang mengatakan itu. Saya juga tidak tahu kenapa begitu. Itu nda benar,” kata Nuru.

Nuru, tak begitu senang dengan ungkapan To Balo. Ungkapan ini, kata dia, adalah penyematan dari luar dan menjadi semacam ejekan. To dalam bahasa Bugis berarti orang dan Balo berarti belang. Jadi manusia belang. “Ini diberikan Tuhan. Saya juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Kami itu orang To Bentong,” katanya.

Saat Nuru bercerita, mata menerawang. Dia irit bicara dan ucapan pendek-pendek.“Kalau ulang tahun Barru (Kabupaten Barru setiap Februari), saya dijemput ke kota. Saya  (di kota Barru –  buka baju lalu difoto). Setelah itu pulang kembali ke rumah. Foto-foto saja.”

Nuru dan keluarga mulai risih. “Saya dijemput pak desa. Saya takut orang-orang marah. Jadi saya ikut saja.”

Di Dusun Labaka, ada lima orang yang memiliki kulit belang, Nuru  dan tiga orang anak, Ra’da (21), Nurlaela (kelas lima SD) dan Sofyan (3) serta seorang kerabat Sahe (40).

Kisah kulit belang keluarga Nuru, ada beberapa cerita. Salah satu karena kutukan, selebihnya mememiliki kekuatan gaib. “Mereka kebal alami. Tidak dapat dibakar api juga,” kata beberapa orang yang kami temui.

“Kalau ke Kampung To Balo, hati-hati. Jangan sembarang minum air. Atau makan di tempatnya,” kata warga lain yang kami temui saat bertanya letak Kampung Bulo-bulo.

Padahal,  tarian api (Se’re Api) yang selama ini dikenal di Kabupaten Barru adalah milik masyarakat di Desa Gattareng – tetangga kampung Desa Bulo-bulo. Tarian Se’re Api  dipentaskan saat pesta syukur panen. Sementara masyarakat di Desa Bulo-bulo–khusus komunitas To Bentong-hanya mahir menggunakan alat musik seperti gambus dan kecapi.

Mengapa muncul penyematan To Balo? Guru Besar Antropologi University of Toronto, Tania Murray Li dalam bukunya The Will to Improve Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, menjabarkan bagaimana program pemukiman dari Departemen Sosial (Depsos) 1970-an untuk “masyarakat terasing” memindahkan masyarakat dari pegunungan ke lembah yang mudah dijangkau.

Depsos menggunakan istilah seolah-seolah masyarakat pegunungan adalah mereka udik dan tertinggal yang ditulis sebagai nama suku. Padahal secara luas, petani di pegunungan tidaklah berbeda mencolok dengan yang lain, dan bukan primitif.

Jika kulit atau fisik mereka berbeda, apakah mereka komunitas lain? “Tidak. Mereka sama seperti masyarakat lain. Mereka orang Bentong,” kata Kepala Dusun Labaka, Lacing.

Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Bentong menggunakan bahasa Bentong. Bahasa ini, campuran dari Bugis dan Makassar.

Nuru Rrein, warga To Bentong yang gerap karena dicap terasing dan 'dihargai' oleh pemerintah hanya buat pajangan dan difoto-foto setahun sekali. Foto: Eko Rusdianto

Nuru Rrein, warga To Bentong yang gerap karena dicap terasing dan ‘dihargai’ oleh pemerintah hanya buat pajangan dan difoto-foto setahun sekali. Foto: Eko Rusdianto

***

Senin, 1 Desember 2014, Nurlaela bangun pagi. Kabut di pematang sawah masih begitu jelas, bergerak pelan digoyang angin. Seragam putih, rok merah, tas, dan sandal jepit. Dia bersiap menuju sekolah berjarak beberapa kilometer.

Bersama dua kawan, mereka meninggalkan rumah pukul 06.00. Berjalan di antara batu besar, mendaki dan menurun. Perjalanan menuju sekolah sekitar satu jam. Sekarang, Nurlaela duduk di kelas V SD Inpres Bulo-bulo. “Nur punya cita-cita apa?” kata saya. Dia tak menjawab, hanya tersenyum.

Nurlaela, anak ketiga dari keluarga Nuru Rein. Dia berencana terus sekolah dan mendapatkan pendidikan layak.

Anak pertama Ra’da, sudah menikah dan istri sedang mengandung, beberapa tahun lalu putus sekolah. “Tidak tahan. Karena selalu diejek di sekolah,” katanya.

Ketika Ra’da menamatkan SD, seorang kolega membawa ke salah satu pesantren di Makassar. Di asrama itu, teman-teman sekolah mengejek sebagai jelmaan kuda belang. “Kadang-kadang mereka suruh saya itu makan rumput. Sakit hati. Jadi saya berhenti.”

Antroplog Universitas Hasanuddin Makassar, Tasrifin Tahara mengatakan,  penyematan masyarakat atau kelompok marginal dari kelompok dominan selalu terbarukan. Penyematan seperti kata To Balo, seolah-olah bahwa mereka bukan Bugis. “Saya kira negara ikut melegalkan. Dan itu sangat tidak baik,” katanya.

Secara kebudayaan, pembagian suku di Sulawesi Selatan hanya ada tiga; Makassar, Bugis, dan Toraja. “Kalaupun mereka memiliki ciri fisik berlainan, ini sama saja dengan ada manusia yang lahir dengan hidung mancung, pesek, kulit putih atau hitam. Secara kebudayaan mereka tidak berbeda.”

Peneliti Biomedik dari Universitas Hasanuddin, Arfan Sabran yang melakukan penelitian pada masyarakat To Bentong sejak 2004–2008, melalui analisa DNA mengatakan, kondisi kulit “belang” itu karena kelainan proses pigmentasi dalam dunia kedokteran dikenal sebagai piebaldism dan tidak menular. “Pada piebaldism, belang didapatkan sejak lahir, tidak bertambah dan berpola.”

Bagaimana cara menghentikan? Menurut Arfan, tak ada cara dan tidak perlu pengobatan. Yang penting, memberi pemahaman pada masyarakat tentang kondisi mereka dan bukan menganggap mereka berbeda. “Ini seperti orang kulit putih yang melihat orang kulit hitam berbeda.”

Namun, melalui analisa pedigree (silsilah) beberapa keluarga, Arfan menemukan kelainan kulit karena gen autosom (tubuh) yang dominan. Jadi keturunan yang berkulit tidak belang, jika menikah dengan berkulit sama akan melahirkan keturunan tidak belang hingga turunan selanjutnya. Jika berkulit belang menikah dengan tidak belang, kemungkinan keturunan akan berkulit belang,  bisa juga tidak.

Menjaga gunung leluhur

Sore hari ketika hujan mulai reda, Nuru bergegas menyiapkan tongka (bambu wadah tempat sari nira). Lalu memetik daun kirasa, daun itu digulung beberapa lembar, lalu diikatkan dan dimasukkan dalam tongka. “Untuk dicampur dan buat gula,” katanya.

Sebelum musim tanam tiba, keluarga Nuru menyadap sari nira. Gula-gula akan dijual Rp18.000. Sepekan atau dua minggu sekali, dia memasarkan di Pasar Kamboti Desa Bulo-bulo, berjarak tempuhn dua jam berjalan kaki.

Nuru juga menanam beberapa keperluan sehari-hari di ladang samping rumah. Ada pisang, keladi, atau beberapa tanaman pangan lain. Di Labaka, masyarakat ke sawah ketika musim hujan. Lahan dan undakan hanya untuk sawah tadah hujan.

Di Dusun Labaka, Komunitas To Bentong, bercocok tanam sesuai pertanda alam. Mereka tak pernah membuka lahan serampangan. “Harus melihat kondisi tanah. Apakah layak (labil) atau tidak. Siapa tahu kita garap akan longsor,” kata Alimuddin, seorang warga. “Coba kita lihat. Kami bertani, tapi tak pernah dapat longsor. Kan hidup bukan soal uang terus.”

Bagi masyarakat To Bentong, diantara pegunungan dan lembah terdapat gunung bernama Bontang. Gunung ini, dipercaya sebagai tempat penyimpanan air dan penyangga dari gunung-gunung lain di sekitar.

Gunung Bontang, dianggap keramat. Di sama tumbuh pohon-pohon berdiameter besar, rimbun dan asri. Gunung ini tak boleh dimasuki apalagi dijamah. “Biasa, kita masuk ke gunung itu, kalau ada warga punya hajatan atau pesta syukur masyarakat,” kata Alimuddin.

Gunung Bontang menjadi penting karena dianggap sebagai tempat bersemayam leluhur dan penjaga alam. “Ceritanya seperti itu. Kami warga di sini tak akan merusak.”

Anak-anak To Bentong, kala akan pergi ke sekolah, berjalan kaki sekitar satu jam melalui jalan terjal berbatu. Foto: Eko Rusdianto

Anak-anak To Bentong, kala akan pergi ke sekolah, berjalan kaki sekitar satu jam melalui jalan terjal berbatu. Foto: Eko Rusdianto


Inilah Kisah Komunitas To Bentong was first posted on December 29, 2014 at 5:03 pm.

Sudahlah Ingkar Janji, PTPN XIV dan Brimob Malah Intimidasi Warga Wajo

$
0
0
Pada 26 juni 2014 , seratusan warga menduduki kantor PTPN XIV di Keera, Wajo. Disepakati adanya pemberian hak kelola lahan bagi warga tanpa ada intimdasi dari PTPN dan Brimob. Sayangnya, janji hanya tinggal janji. Foto: Wahyu Chandra

Pada 26 juni 2014 , seratusan warga menduduki kantor PTPN XIV di Keera, Wajo. Disepakati adanya pemberian hak kelola lahan bagi warga tanpa ada intimdasi dari PTPN dan Brimob. Sayangnya, janji hanya tinggal janji. Foto: Wahyu Chandra

Kesepakatan tinggal kesepakatan. Pelaksanaan tak pernah ditepati PTPN. Bahkan, kini, bersama Brimob mencari warga yang dituduh mencabut patok di lahan sengketa. Kepala BPN Sulsel menilai, PTPN berlebihan. 

Bakri menyeka keringat di wajah. Bibir bergetar ketika bercerita situasi terakhir kampung di Kelurahan Keera, Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Mereka berkonflik lahan dengan PTPN XIV.

“Ada datang ke rumah dari Brimob cari-cari. Istri saya yang terima. Dia tanya apa benar saya cabut patok PTPN,” katanya kepada Mongabay di Kantor BPN Sulsel, Senin (22/12/14).

Bakri bersama sejumlah warga mendatangi BPN Sulsel mendesak pengukuran lahan sebagaimana kesepakatan. Terlebih setelah ada intimidasi PTPN XIV dan Brimob.

Intimidasi PTPN dan Brimob ini menjadi keresahan baru warga. Bermula ketika karyawan PTPN XIV dikawal Brimob mendatangi lahan yang dikelola warga dan langsung pematokan.

Tak terima, sejumlah warga mencabuti patok-patok itu. Ini terjadi selama tiga hari berturut-turut. Protes warga ke PTPN tak digubris. Warga dan Brimob sempat berhadap-hadapan di lokasi meski tak terjadi bentrok.

Setelah tiga hari, 17 Desember 2014, Brimob mendatangi rumah-rumah, mencari warga yang dituduh provokator dan pencabut patok.

“Ada beberapa rumah mereka datangi, katanya sambil tendang-tendang pintu. Tak ada yang ditangkap karena warga sembunyi. Memang sudah ditandai yang mau dicari, yang katanya pemimpin warga,” kata Rizki Anggaraini Arimbi, dari Walhi Sulsel.

Menurut dia, tindakan PTPN dan Brimob ini melanggar kesepakatan antarwarga dan perusahaan pada Juli 2014. Pada pertemuan difasilitasi Bupati Wajo itu disepakati antara lain petani yang memiliki tanaman semusim tetap boleh memasuki dan mengelola lahan sengketa.

“Pertemuan ini sebenarnya menegaskan hasil pertemuan sebelumnya, bahwa para petani dapat mengambil hasil tanaman di lahan yang mereka tanami tanpa dihalang-halangi Brimob dan PTPN. Ini yang dilanggar,” kata Rizki.

BPN segera pengukuran

Mendengar keluhan warga, Kepala BPN Sulsel, HS Muhammad Ikhsan, menilai tindakan PTPN dan Brimob berlebihan. Apalagi sudah ada upaya mediasi. Ikhsan mengaku telah bicara berkali-kali ke PTPN XIV.

“Saya minta PTPN hentikan intimidasi, kita selesaikan, kita buat berita acara. Jadi, kalau ada yang membuat onar, lapor saja. Kan ada propam. Brimob di sana bukan untuk intimidasi masyarakat,” kata Ikhsan.

Dia berharap, penyelesaian sengketa mengedepankan azas kekeluargaan. Langkah pertama, menyepakati lokasi lahan yang akan diukur. Luas disepakati 1.934 hektar.

“Sekarang mumpung PTPN mau. Mari kita ke Pak Bupati bicara, karena dalam Perpres dia yang akan menyelesaikan. Lalu kita bicarakan yang 1.934 hektar itu bagaimana, memanjang bagaimana. Saya tidak mau ada polisi lagi di sini.”

Ikhsan berjanji segera mengukur setelah batas-batas jelas. “Saya sudah bicara macam-macam dengan PTPN. Kami bersepakat cepat selesai. Kami akan segera pengukuran. Yang penting lahan seluas 1.934 hektar itu nanti tempat jangan tersebar. Jangan ada bolong-bolong warga di mana-mana. Warga juga jangan lagi masuk ke yang 6.000 hektar itu.”

Warga menemui Kepala BPN Sulsel berharap segera  pengukuran. Sebelum pengukuran harus ditetapkan dulu lokasi 1.934 hektar yang akan dilepas PTPN untuk warga.Foto: Wahyu Chandra

Warga menemui Kepala BPN Sulsel berharap segera pengukuran. Sebelum pengukuran harus ditetapkan dulu lokasi 1.934 hektar yang akan dilepas PTPN untuk warga.Foto: Wahyu Chandra

Dia berharap penyelesaian sengketa bisa menguntungkan kedua pihak, baik warga ataupun perusahaan.  “Kita berharap ada win-win solution. Pemerintah juga mau hidup. Jadi jangan ada yang mau lahan di sini atau di sana. Kasihan pemerintah juga.”

Taufik Kasaming, pendamping warga, menyambut baik rencana pengukuran ini. Dia menilai, peran BPN penting sebagai azas legalitas. Dia berharap,   janji BPN benar-benar ditepati. Tidak seperti sebelumnya.

“Sudah lima kepala BPN saya temui. Bahasa mereka sama semua, tapi di lapangan lain. Kita harap ini benar-benar ada realisasi.”

Masalah lain yang masih mengganjal lokasi yang akan diukur. Karena pertimbangan historis, warga bertahan di lahan sama. “Ada ikatan historis warga dengan kepemilikan lahan. Ini sulit ketika harus direlokasi ke tempat lain,” kata Rizki.

Pertimbangan lain, kekhawatiran warga jika lokasi yang diberikan kepada mereka justru di wilayah kelola masyarakat lain. Ini bisa menimbulkan masalah hukum baru dan tak menutup kemungkinan memicu konflik horizontal antarwarga.

“Bupati menyarankan lokasi dipindah ke Pasangloreng Gillirang. Kawasan itu memiliki sejarah kepemilikan warga. Jangan sampai malah warga saling berebut. Ini harus jadi pertimbangan.”

Hal lain lagi, produktivitas lahan harus cocok sebagai pertanian sawah dan perkebunan.“Warga takut jangan sampai lahan justru tak bisa ditanami, untuk apa juga?”

Rizki berharap, Kepala BPN yang baru bisa menepati janji segera pengukuran. BPN menjanjikan turut ke lapangan mengukur pertengahan Januari 2015.

“Semoga kali ini benar-benar ditepati. Kita kasih waktu BPN sampai 20 Januari. Setelah tanggal itu belum ada pengukuran, kami aksi.”

Konflik lahan ini berawal dari masuknya PT Bina Mulia Ternak (BMT) di Kecamatan Pitumpanua—berubah menjadi Kecamatan Keera–, dengan hak guna usaha (HGU) untuk pengembangbiakan ternak pada 1972.

BMT berjanji memberikan ganti rugi dengan nilai bervariasi dari Rp12 juta-Rp25 juta. Ternyata, tak ada satu ganti rugi sampai ke warga.

BMT memperluas wilayah hingga Kecamatan Maniangpajo (sekarang Kecamatan Gillireng) dengan masa kontrak 25 tahun. Lagi-lagi, tak ada ganti rugi ke masyarakat. Bahkan dalam proses terjadi intimidasi kepada warga.

Data PTPN XIV, luas lahan diklaim HGU BMT Keera saat itu 12.170 hektar.  BMT ini diambilalih PTPN XIV, tanpa sepengetahuan warga, pemilik lahan sebenarnya.

Luas lahan masyarakat dikuasai PTPN XIV 7.934 hektar, di Desa Ciromani’e dan Desa Awo, Kecamatan Keera. Dari sekian tahun dikuasai PTPN XIV, hanya sebagian ditanami. Sisanya, padang ilalang, terbengkalai. Ironis, tak boleh dimasuki dan dikelola masyarakat.

Menyusul ada tuntutan warga, pada 23 April 2010, sebenarnya terbangun kesepakatan antara masyarakat dengan PTPN XIV. Pertama, PTPN IX segera menghentikan seluruh aktivitas perluasan dan penanaman wilayah konsesi PTPN Kabupaten Wajo.

Kedua, masyarakat boleh mengelola lahan yang dirampas PTPN IX Wajo tanpa syarat apapun. Ketiga, aparat kepolisian dan PTPN XIV tidak mengganggu dan menghalang-halangi masyarakat yang memasuki dan mengelola lahan sengketa.

Namun, kesepakatan ini selalu dilanggar PTPN. PTPN dibantu oknum kepolisian malah melarang dan mengintimidasi warga. Puluhan warga sempat diciduk Polres Wajo dengan tuduhan menganggu aktivitas perkebunan.

Ada lagi kesepakatan 3 April 2012. Lagi-lagi PTPN tak menunjukkan niat baik. Pelepasan lahan seluas sekitar 2.000 hektar tak ada realisasi. Pertemuan terakhir 30 April 2013, hasil tak berbeda jauh. Tak ada kemajuan.  Karena selalu janji-janji palsu, pada 26 Juni 2014 warga menduduki lahan. Aksi berakhir kesepakatan dengan Wakil Bupati Wajo yang memberi akses warga berada di lahan sengketa. Kesepakatan terakhir 2 Juli 2014. Janji-janji semata.

 

Salah satu hasil kesepakatan antara warga dan Pemda Wajo, PTPN dan Polres Wajo adalah pengurangan personil Brimob yang berjaga di laha PTPN XIV,tinggal 12 orang, Juli 2014. Foto: Wahyu Chandra


Sudahlah Ingkar Janji, PTPN XIV dan Brimob Malah Intimidasi Warga Wajo was first posted on December 30, 2014 at 7:05 am.

Rusak Parah, Bersama-sama Selamatkan Mangrove Pohuwato

$
0
0
Ratusan siswa pramuka se  Gorontalo ketika menanam  mangrove jenis Rhizophora di Desa Maleo Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato yang diinisiasi  AJI Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Ratusan siswa pramuka se Gorontalo ketika menanam mangrove jenis Rhizophora di Desa Maleo Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato yang diinisiasi AJI Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Pohuwato merupakan kabupaten ujung barat Gorontalo yang masuk kawasan Teluk Tomini. Kabupaten ini memiliki mangrove terbesar di Gorontalo. Ada dua kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Tanjung Panjang dan Cagar Alam Panua.

Ekosistem mangrove di wilayah ini terus mengalami kerusakan mengkhawatirkan karena perambahan kawasan skala besar.

Pemulihan ekosistem mendesak. Salah satu lewat penanaman di kawasan pesisir, seperti diinisiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo dengan mengajak anak-anak pramuka.

Penanaman mangrove pada Sabtu (6/12/14). AJI mengajak kader pramuka menanam mangrove 20.000 bibit di pesisir, Desa Maleo, Kecamatan Paguat, Pohuwato. Lokasi ini berdekatan dengan CA Panua.

“Kondisi pesisir Pohuwato mengkhawatirkan karena ekosistem mangrove rusak. Diperlukan kesadaran semua pihak, termasuk jurnalis untuk menyelamatkan lingkungan dan masa depan masyarakat Pohuwato,” kata Wahyudin Mamonto, manager program AJI Gorontalo.

Sedari pagi, pesisir pantai Desa Maleo tampak berbeda. Suasanaramai. Ada 400-an siswa SMA dan SMP menanam mangrove jenis rhizophora.

 Siswa pramuka hendak  menanam  mangrove  di Desa Maleo, Kecamatan Paguat,  Pohuwato. Foto: Christopel Paino

Siswa pramuka hendak menanam mangrove di Desa Maleo, Kecamatan Paguat, Pohuwato. Foto: Christopel Paino

Sebelum mulai menanam, mereka mendapat arahan dari Rahman Dako, Project Koordinator Mangrove For the Future (MFF) Teluk Tomini, mengenai teknis penanaman mangrove dan mengapa penting bagi masyarakat.

Hardin Paudi, siswa pramuka merasa senang bisa menanam mangrove. “Ini pengalaman pertama dan unik. Kami baru tahu mangrove itu sangat penting, terutama bagi nelayan karena menjadi habitat ikan.”

Penanaman mangrove ini didukung (MFF). MFF merupakan kemitraan berbasis inisiatif yang mempromosikan investasi di ekosistem pesisir untuk pembangunan berkelanjutan. MFF menggunakan mangrove sebagai ekosistem unggulan atas peran penting hutan mangrove mengurangi dampak tsunami di Samudra Hindia pada 2004.

Berdasarkan laporan tim pemetaan program Teluk Tomini Susclam (Sustainable Coastal Livelihood and Management), luasan mangrove di Pohuwato, periode 1988–2003 menyusut 1.560,14 hektar. Periode 2003–2010 turun 4.262,47 hektar. Sejak akhir 1980-an, terjadi penurunan lebih 50% luasan mangrove di Pohuwato.

Rahman Dako menjelaskan, 1970-an awal perubahan fungsi kawasan hutan mangrove di Pohuwato. Ketika itu, muncul pembuatan tambak garam, dan berlanjut 1990-an dengan banyak pendatang membuat tambak udang dan bandeng.

“Puncak perubahan fungsi kawasan hutan mangrove ini pada 2000-an dengan pembukaan tambak besar-besaran di Pohuwato, termasuk di cagar alam Tanjung Panjang,” kata Rahman.

Tidak hanya penanaman, kata Wahyudin, AJI juga membuat film dokumenter mengenai kerusakan ekosistem mangrove di Pohuwato dan dampaknya. “AJI Gorontalo juga menerbitkan buletin dua bulan sekali mengenai kegiatan warga pesisir memanfaatkan mangrove. Kami lakukan karena media-media besar di Gorontalo bahkan nasional, jarang sekali yang memberikan perhatian kepada masyarakat pesisir.”

Aji Gorontalo, mengajak para anggota Pramuka peduli lingkungan, salah satu lewat penanaman mangrove. Foto: Christopel Paino

Aji Gorontalo, mengajak para anggota Pramuka peduli lingkungan, salah satu lewat penanaman mangrove. Foto: Christopel Paino


Rusak Parah, Bersama-sama Selamatkan Mangrove Pohuwato was first posted on December 30, 2014 at 8:03 am.

2014, Hak Masyarakat Adat di Sulsel Masih Terabaikan

$
0
0
Pemetaaan partisipatif yang dilakukan masyarakat adat di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Pemetaaan partisipatif yang dilakukan masyarakat adat di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Sepanjang 2014,  tak ada perubahan signifikan terkait perlindungan masyarakat adat di Sulawesi Selatan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan hutan adat bukan hutan negara, belum berjalan di lapangan.

Demikian salah satu poin penting Laporan Akhir Tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Selasa (30/12/14).

Armansyah Dore, Kepala Biro I AMAN Sulsel, di Makassar, mengatakan, penyebab implementasi putusan MK mandek karena pemberian ‘syarat pengakuan’ berupa peraturan daerah (perda) yang mengatur masyarakat adat.

“Ini masih berat karena daerahpun tidak serta merta merespon baik putusan MK dan menindaklanjuti dengan menggagas perda. Hanya beberapa daerah merespon baik. Tingkat nasional RUU masyrakat adat juga belum disahkan.”

RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU-PPHMA) sebenarnya masuk legislasi nasional tetapi belum disahkan. Penyebab utama, tidak ada keinginan kuat pemerintah (Kementerian Kehutanan) sebagai leading sector.  “Ini menunjukkan negara sebenarnya enggan mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat.”

Armansyah mengatakan, tidak ada pengakuan negara terhadap masyarakat adat berimbas pada konflik tenurial  tinggi.

Armansyah mencatat, konflik terbesar dialmi komunitas adat berhadapan dengan kawasan hutan negara, baik kawasan konservasi maupun status hutan negara lain. Total luasan konflik lebih 1.000 hektar, dengan populasi penduduk terdampak 10.000 warga.

Upaya pembatasan akses masyarakat adat terhadap hutan dan sumber daya alam, kadang berujung pada pengusiran dan kriminalisasi. Dia mencontohkan, Bahtiar Bin Sabang, warga komunitas adat Soppeng Turungan di Sinjai yang ditahan sejak 13 Oktober 2014 karena tuduhan menebang pohon di hutan.

Hal ini terjadi di beberapa komunitas adat misal Barambang Katute, Sinjai, Pattontongan Maros, dan di Baroko, Enrekang dan sejumlah komunitas adat lain.

Konflik lain yang terjadi pada masyarakat adat adalah sektor perkebunan, misal Komunitas Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba berseteru dengan PT. Lonsum, konflik antara warga dan PTPN XIV di Keera dan Pasengloreng, Wajo serta konflik antara warga dengan PTPN XIV di Takalar.  Dalam ketiga konflik ini pendekatan refresif aparat terus dilakukan.

Armansyah menilai, perampasan tanah kelola rakyat, berupa persinggungan wilayah adat dengan konsesi dan klaim lain makin diperparah dengan mega proyek Master Plan Percepatan Pembangunan Indonesia (MP3EI). Mengingat koridor ekonomi Sulawesi sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional.

Di tengah konflik, komunitas adat berupaya mendorong perlindungan terhadap diri mereka.

Berbagai inisiasi keberadaan kebijakan lokal terkait perlindungan hak-hak masyarakat adat terus dilakukan, misal di Bulukumba, perda kini dalam proses. “Di Enrekang dan Sinjai sudah tahap persiapan.”

AMAN Sulsel, berupaya memberi dukungan penguatan internal kepada masyarakat adat. Salah satu, pemetaan wilayah adat partisipatif.

Sampai akhir 2014, AMAN telah pemetaan di puluhan komunitas adat dengan luasan 92.000 hektar. Total luasan pemetaan indikatif sekitar 500.000 hektar.

Upaya lain, pengembangan ekonomi masyarakat adat, misal, pengelolaan poduksi dan pemasaran kain tenun khas Kajang dengan membentuk Koperasi Turikale, pengembangan neras Tambara di Pattalassang Kabupaten Gowa, Koperasi Masyarakat Adat Piongan  Kabupaten Tana Toraja dalam pengembangan usaha kopi dan lain-lain.

Armansyah menilai, penting peninjauan berbagai kebijakan pengukuhan kawasan hutan yang tidak melibatkan masyarakat adat.

Juga meminta pemerintah menghentikan pendekatan keamanan represif terhadap masyarakat adat dalam menyelesaikan konflik tenurial.

“Diskriminasi pelayanan publik, intimidasi, kriminalisasi terhadap masyarakat adat tidak akan menyelesaikan konflik tenurial, justru makin memupuk antipati masyarakat terhadap aparatur negara dan kebijakan-kebijakannya.”

Armansyah berharap, RUU-PPHMA segera disahkan. Begitupun perda, seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah.

Pemerintah diharapkan mengakomodir peta wilayah adat dalam berbagai kebijakan tentang ruang dan pengelolaan SDA.

Tidak hanya itu, penguatan ekonomi melalui gerakan kemandirian ekonomi masyarakat adat melalui produk-produk lokal penting ditingkatkan.

Dia belum sepenuhnya optimistis dengan prospek perlindungan hak masyarakat adat 2015. Meski demikian, dia tetap berharap ada perubahan signifikan seiring perubahan rezim pemerintahan dan reformasi birokrasi di sejumlah instansi kementerian terkait.

“Kita berharap jargon reformasi dan keberpihakan pemerintahan baru kepada rakyat bukan isap jempol belaka.”

 

 

 


2014, Hak Masyarakat Adat di Sulsel Masih Terabaikan was first posted on December 31, 2014 at 11:33 pm.

Gula Mangrove dari Desa Deaga

$
0
0
Proses pengambilan nira nypa untuk menjadi gula merah. Foto: Themmy Doaly

Proses pengambilan nira nypa untuk menjadi gula merah. Foto: Themmy Doaly

Belajar sambil praktik. Inilah yang dilakukan warga Desa Deaga, Sulawesi Utara. Hampir sebulan mereka pelatihan membuat gula merah dari nypa, salah satu jenis mangrove.

Valdi Ndala, warga Desa Deaga, mengatakan, tak banyak masyarakat mengetahui tumbuhan itu bisa diolah menjadi gula merah. Kini, mereka berhasil membuatnya.

Warga melakukan sejumlah percobaan. Misal, menentukan 180 mayang sebagai sampel berdasarkan jenis, 60 mayang muda, 60 matang dan 60 tua. Mereka membersihkan sebagian kulit mayang agar memudahkan sirkulasi air nira. Ujung mayang diikat tali rafia.

Lalu mengetuk-ngetuk mayang perlahan dan berhati-hati guna menghindari kerusakan kulit, sekitar enam jam yang dikerjakan tiga orang.

Langkah ini kemungkinan buat membuka pori-pori mayang guna mengeluarkan cairan nira. Setelah waktu tertentu, buah dipotong, lalu mengikat daun untuk menutup ujung mayang selama 24 jam agar tidak kering dan tak terkena matahari langsung. Lalu, beberapa media bisa menjadi penampung air, seperti plastik, jerigen atau botol.

“Percobaan selama satu bulan, mayang matang menghasilkan air paling banyak. Sekitar 400-600 ml dalam 1×24 jam,” kata Valdi.

Cairan nira cukup jernih. Tidak berbau dan tidak berwarna. Nyaris menyerupai air mineral. Saya sempat mencicipi. Manis dan sedikit asin.

zAir nira nypa jernih dengan rasa manis dan sedikit asin. Foto: Themmy Doaly

Air nira nypa jernih dengan rasa manis dan sedikit asin. Foto: Themmy Doaly

Setelah penyadapan, 20 ibu-ibu terbagi dalam dua kelompok mulai memasak. Mujidah Ambar, mengatakan, memasak air nira sekitar dua jam agar merah alami. “Tuangkan gula merah ke tempurung. Perlu setengah jam agar keras. Satu liter nira bisa dua cetakan.”

Menurut dia, jika dikelola maksimal gula nypa bisa menjadi peluang usaha bagi warga. Terlebih, produsen gula merah baru di Kotamubagu, belum ada di Bolaang Mongondow Selatan. “Di pasar lokal harga gula merah Rp20.000-Rp30.000. Kalau produksi bisa maksimal, ibu-ibu dapat mendukung peningkatan pendapatan ekonomi.”

Namun, kata Mujidah, perlu tahu teknik lebih tepat dalam memasak gula  ini. Dari sejumlah percobaan, gula nypa tidak sekeras gula merah biasa. “Kalau gula merah lain mudah dipotong. Gula nypa agak kenyal. Mungkin, ada kesalahan, kami perlu mencoba teknik lebih tepat,” katanya.

Yakob Botutihe, pendamping lapangan Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola), mengungkapkan, ada keterkaitan antara upaya perlindungan mangrove dan pemanfaatan nypa sebagai gula merah. Dari sana, masyarakat diharapkan bisa menjaga kelestarian mangrove. “Dulu nypa hanya bahan atap rumah atau kayu bakar. Jika jadi gula, peluang ekonomi bisa terbuka. Mangrove terjaga, masyarakat sejahtera.”

Dia mengatakan, jika efektif, penyadapan satu mayang bisa menghasilkan satu liter nira atau dua batang gula per hari. Dari penyadapan 60 mayang, misal, hanya 30 efektif, per hari 60 batang gula merah.

Proses penyadapan nira tadi sekaligus memberi pelajaran bagi masyarakat dalam menghasilkan produk lebih baik. Menurut dia, kontak langsung mayang dengan sinar matahari cukup mempengaruhi ketersediaan nira. Makin teduh mayang, makin banyak air keluar. “Kami akan coba menyadap satu mayang per pohon. Tidak akan lagi penyadapan tiga mayang satu pohon.”

Tanaman nypa cukup banyak, tetapi selama ini dimanfaatkan sebatas atap dan kayu bakar. Jika, dibuat gula merah, maka warga bisa memanfaatkan dengan tetap melindungi mangrove ini. Foto: Themmy Doaly

Tanaman nypa cukup banyak, tetapi selama ini dimanfaatkan sebatas atap dan kayu bakar. Jika, dibuat gula merah, maka warga bisa memanfaatkan dengan tetap melindungi mangrove ini. Foto: Themmy Doaly

Nypa (Nypa fruticans) merupakan jenis mangrove memiliki  buah seperti pandan dengan panjang bonggol hingga 45 cm. Hasil riset N.M Heriyanto dkk, menyebutkan, areal nypa di Indonesia diperkirakan 700.000 hektar, terluas di dunia dibandingkan Papua Nugini (500.000 hektar) dan Filipina (8.000 hektar).

Rehabilitasi mangrove

Rahman Dako, Project Coordinator MfF-SGF, menilai, Desa Deaga menjadi satu lokasi perlindungan dan rehabilitasi mangrove. Ia bagian Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), salah satu lokasi perikanan strategis di Teluk Tomini. “Bolsel memiliki mangrove relatif terjaga, meskipun dalam catatan kami ada sedikit penurunan tutupan mangrove dalam 10 tahun terakhir.”

Ruslani Mokoginta, Sangadi (kepala desa) Deaga membenarkan pendapat Rahman Dako. Menurut dia, ekosistem mangrove menjadi lokasi pemijahan sumber daya perikanan, seperti kepiting, kerang, kerapuh, dan banyak lagi. “Karena mangrove relatif baik, banyak ikan bisa diambil. Keterikatan masyarakat dengan mangrove cukup kental. Semacam ada kedekatan emosional.”

Perlindungan mangrove penting, bukan hanya dari sisi ekonomi juga perlindungan bencana. Pada 2006,  pemerintah kabupaten (waktu itu Bolaang Mongondow) pernah alih fungsi hutan mangrove menjadi sawah, mencapai 10 hektar. Tak lama, banjir melanda.

Beberapa tahun belakangan,  Desa Deaga menjadi lokasi rehabilitasi mangrove. Beberapa tahun lalu, lewat program sustainable coastal livelihood and management (Susclam) menanam mangrove sekitar 25.000 bibit.  Tahun lalu, Dinas Kehutanan Bolsel menanam 40.000 bibit. “MfF difasilitasi perkumpulan Kelola, sudah 4.200 Rhezopora Sp ditanam di Desa Deaga.”

Mangrove di Bolaang Mongondow Selatan, relatif masih terjaga. Foto: Themmy Doaly

Mangrove di Bolaang Mongondow Selatan, relatif masih terjaga. Foto: Themmy Doaly


Gula Mangrove dari Desa Deaga was first posted on January 1, 2015 at 4:41 pm.

Konflik Lahan, 12 Warga Sumut Dipidana dalam 2014

$
0
0

Mahasiswa dan masyarakat Labuhanbatu, berunjukrasa di Kantor PTPN IV Medan, menolak perusakan hutan dan lahan menjadi sawit pada akhir Januari 2014. Foto: Ayat S Karokaro

Data Serikat Petani Indonesia (SPI), menyebutkan,  sepanjang 2014, setidaknya 12 warga termasuk masyarakat adat di Sumatera Utara, divonis karena mempertahankan lahan mereka. Sedang penyumbang konflik agraria tertinggi tercatat dari lima kabupaten, yakni, Langkat, Mandailing Natal, Labuhan Batu Utara, Asahan, dan Serdang Bedagai (Sergai).

Zubaidah, Ketua SPI Sumut mengatakan,  di Asahan, ada empat warga adat dari Kecamatan Pulau Rakyat, diadili karena mempertahankan lahan dan hutan adat mereka, dari perkebunan sawit. Lahan warga diambil paksa menggunakan preman dan aparat penegak hukum. Mereka divonis enam tahun penjara.

“Mereka dipenjara karena melarang hutan adat dirambah kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Ketika perusahaan masuk paksa, mereka melawan, oknum aparat kepolisian masuk dan menangkapi mereka.”

Di Desa Pama, Serdang Bedagai, masyarakat adat juga mengalami hal sama. Setidaknya lima warga melawan perkebunan sawit, yang merambah hutan adat dan mengambil paksa lahan mereka, divonis 2,6 tahun, salah satu Sunasno. Sampai kini masih berjuang melawan perkebunan sawit, yang merusak rumah dan tanaman.

Di Desa Sei Apung, Kecamatan Kualu Hilir, Labuhan Batu Utara,  petani diintimidasi,  gubuk dan rumah mereka digusur, jumlah ada 110 orang. Saat ini,  kondisi terombang ambing, karena rumah dan tanaman hancur. Tokoh adat, Opung Sumbu, dianiaya dan ditusuk pisau hingga luka parah di perut.

“Ketika kelompok masyarakat adat lain mencoba membela dan lapor ke kantor polisi, malah dianiaya. Pelanggaran tindak pidana oleh orang suruhan perkebunan sawit itu, persis 100 meter dari kantor polisi. Ketika dilaporkan, mereka terabaikan, ketika mereka melawan, langsung diciduk,” ucap Zubaidah.

Lalu, daerah tertinggi konflik agraria, ada di Desa Batahan III, Madina. Lahan seluas 800 hektar itu dikelola warga transmigrasi dari Jawa. Pada 2013, lahan itu diambil paksa Pemerintah Madina, dan diserahkan ke perkebunan sawit.

“Pemerintah Indonesia memberikan dua hektar lahan buat pertanian, dan 0,5 hektar perumahan. Masyarakat yang lahan dirampas paksa 300 keluarga. Mereka dianiaya, diusir. Ada yang ditangkap tetapi dibebaskan dan terus berjuang.”

Serupa terjadi di Kecamatan Sawit Seberang, lahan seluas 250 hektar, dan Desa Meker Jaya, Kecamatan Wampu, Langkat 600 hektar, direbut paksa PTPN II, dan lahan beralih ke perusahaan milik Malaysia.

Menurut Zubaidah, masyarakat diusir menggunakan cara-cara kekerasan. Perusahaan menggunakan jasa preman, dan alat berat buat menghancurkan rumah serta lahan warga.

“Itu belum pendudukan lahan hutan lindung dan konservasi masuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Pelaku perkebunan sawit, melibatkan PTPN II, yang mengklaim hutan konsesi mereka.” Lebih menyedihkan, katanya, pemerintah kabupaten mengabaikan masyarakat dan berpihak pada perusahaan. Padahal,  masyarakat memiliki surat alas hak lahan sejak 1970.

Dari beragam konflik lahan di Sumut, ini menyebabkan  12 orang dipenjara, 12 mengalami aniaya berat, dan ratusan warga teraniaya  ringan serta teror.

SPI mendesak Presiden Joko Widodo, mampu menjalankan visi dan misi, terutama reforma agraria. “Ini demi mencapai kedaulatan pangan, memperhatikan dan memberikan keadilan bagi masyarakat.” 

Kemiskinan ‘produsen’ pangan

Henri Saragih, Ketua Umum SPI, menyatakan, kemiskinan masih menjadi masalah utama di pedesaan. Penduduk pedesaan yang memproduksi pangan, justru banyak menderita kelaparan dan kemiskinan. Dari 28,28 juta jiwa penduduk miskin, 17,77 juta jiwa (62,8%)  persen di pedesaan.

Setidaknya 26,14 juta rumah tangga petani di pedesaan, 17,73 juta rumah tangga petani tanaman pangan,  yang memproduksi pangan bagi 250 juta penduduk Indonesia.

Menurut dia, Pperan penting petani berbanding terbalik dengan kesejahteraan dan pelayanan publik bisa mereka akses, serta perlindungan dan jaminan terhadap hak-hak mendasar petani.

Tak pelak, petani berkurang mengejutkan, mencapai 5,09 juta keluarga petani satu dekade terakhir. Artinya, setiap tahun rata-rata 509 ribu keluarga petani, meninggalkan lahan pertanian. Berarti, dalam 10 tahun terakhir, setiap satu jam berkurang 58 keluarga petani.

“Ini peringatan keras bagi segenap elemen bangsa terhadap ancaman kecukupan pangan nasional. Gejala sudah muncul seiring laju petani berkurang dalam satu dekade, ditandai impor pangan naik,” kata Henri.

Dia menjelaskan, hak asasi petani, sepanjang 2014,  tidak menunjukkan kemajuan berarti. Berbagai konflik agraria terus berlangsung, tanpa ada penyelesaian. Dalam 2014, terjadi 29 konflik terbuka mencuat ke permukaan, dan 114 kasus masih berkecamuk di akar rumput.

Dari 143 kasus, diperkirakan terdapat ribuan konflik agraria lain yang belum terselesaikan. Konflik terbuka ini, melibatkan berbagai pihak, dengan korban tewas dua orang di pihak petani, 90 orang alami kekerasan, 3.000 lebih warga terusir dari lahan pertanian, serta 89 orang ditahan.


Konflik Lahan, 12 Warga Sumut Dipidana dalam 2014 was first posted on January 1, 2015 at 9:04 pm.

Pilkada Tak Langsung, Berikut Prediksi Dampak bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat

$
0
0

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13) Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Mereka juga meminta pembebasan 16 warga yang ditangkap polisi. Jangan sampai dengan pilkada via DPRD yang berpotensi menyuburkan ‘percintaan’ antara pemerintah, DPRD dan pengusaha bakal makin menyengsarakan alam karena hutan-hutan habis terbagi kepada pengusaha. Juga menyusahkan masyarakat adat yang akan makin terpuruk karena ketiga kekuatan makin kuat bersekutu. Foto: Sapariah Saturi

Sidang paripurna DPR RI pada 25 September 2014 menghasilkan UU pemilihan kepala daerah tak lagi langsung oleh rakyat, tetapi kembali ke era lama, lewat DPRD. Kondisi politik pun makin panas kala Koalisi Merah Putih yang didukung Gerinda cs—yang menguasai kursi di parlemen–tampak berupaya melemahkan posisi Presiden terpilih Joko Widodo. Apakah situasi ini bakal berpengaruh pada kondisi lingkungan dan masyarakat adat di Indonesia ke depan?

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, pemilihan kepala daerah oleh DPRD kemungkinan menutup perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia. “Demokrasi menjadi sangat elit, mahal, dan tertutup. Para aktivis miskin walaupun populer di mata pemilih atau rakyat sulit terpilih. Pemilu juga akan dipenuhi korupsi luar biasa,” katanya kepada Mongabay, baru-baru ini.

Dengan pemilihan via DPRD ini, katanya, akan menyuburkan praktik perselingkuhan penguasa-pengusaha,  antara politisi partai politik dengan para pengusaha dan pemilik modal. Keadaan ini, kata Abdon, akan mengorbankan lingkungan hidup. Pengeluaran izin-izin pun berpotensi meningkat dan merampas hak-hak masyarakat adat. Kondisi lingkungan dan masyarakat adat,  bisa menjadi lebih buruk lagi.

Bagi Abdon, perubahan pilkada langsung menjadi lewat DPRD merupakan pelecehan bagi kedaulatan rakyat. “Bukan karena pilkada lewat DPRD tidak demokratis. Namun, inti demokrasi itu kalau bisa langsung mengapa harus diwakilkan? Selama ini,  sudah bisa buktikan pilpres dan pilkada langsung aman dan damai. Taka da alasan mengubahnya.” Kalaupun biaya menjadi alasan, kata Abon, tentu bisa diatasi dengan perbaikan terhadap penyelenggaraan pemilihan hingga makin makin efisien.

Dia menyarankan, dengan kondisi politik seperti ini, Jokowi-JK harus menjaga jarak dengan partai-partai politik, baik dari Koalisi Merah Putih (Gerindra cs)  maupun Koalisi Indonesia Hebat (PDIP cs). Mengapa? “Dia harus total memperkuat barisan rakyat melalui organisasi-organisasi rakyat yang saat pemilu memenangkan mereka berdua.”

Dalam pemilihan figur-figur menteri, katanya, Jokowi-JK, sebaiknya memilih atas pertimbangan kapasitas, baik keahlian dan pengalaman pada bidang tertentu.

Tak jauh beda dikatakan Longgena Ginting, kepala Greenpeace di Indonesia. Dia memprediksi dengan pemilu daerah lewat DPRD, politik uang dan politik dagang sapi akan makin meningkat.

Kampung komunitas adat Pekasa, masih tampang puing-puing pepohonan yang dibakar bersama rumah-rumah warga beberapa tahun lalu.  kampung mereka di tengah hutan nan asri terjaga di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa. Masyarakat adat ini hidup damai bersama hutan tapi tak damai oleh pemerintah. Mereka diusir, kampung dibakar dengan alasan berkampung di kawasan hutan, padahal di balik itu  izin-izin tambang telah dikeluarkan pemerintah kepada pengusaha. Kala pilkada via DPRD, perselingkungan pengusaha, DPRD dan pemerintah berpotensi makin kuat. Bagaimana nasib hutan dan masyarakat adat? Foto: Sapariah Saturi

Kampung komunitas adat Pekasa, masih tampak puing-puing pepohonan yang dibakar bersama rumah-rumah warga beberapa tahun lalu. Kampung mereka di tengah hutan nan asri terjaga di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa. Masyarakat adat ini hidup damai bersama hutan tapi tak damai oleh pemerintah. Mereka diusir, kampung dibakar dengan alasan bermukim di kawasan hutan, padahal di balik itu izin-izin tambang telah dikeluarkan pemerintah kepada pengusaha. Kala pilkada via DPRD, perselingkungan pengusaha, DPRD dan pemerintah berpotensi makin kuat. Bagaimana nasib hutan dan masyarakat adat? Foto: Sapariah Saturi

Konsekuensinya, praktik korupsi bisa menjadi lebih subur dan berdampak pada keputusan politik yang diambil pemerintah daerah. Mereka,  tidak lagi mempertimbangkan kepentingan rakyat atau perlindungan pribadi tetapi kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

“Kepala daerah dipilih DPRD tidak akan akuntabel kepada publik, dan kepentingan publik termasuk lingkungan hidup bersih dan sehat tidak akan menjadi kepentingan utama.”

Longgena mengatakan, masalah lingkungan tak terlepas dari politik, bahkan hasil sistem politik di sebuah negara. Jadi, baik buruk kebijakan lingkungan berasal dari parlemen dan kepemimpinan di pemerintahan.

Dengan begitu, katanya, kecenderungan relasi dan energi politik yang berkembang antara parlemen dengan pemerintah Jokowi saat ini, mau tak mau mempengaruhi kebijakan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam ke depan. “Bisa saja, apapun dilakukan pemerintah Jokowi termasuk kebijakan pengelolaan lingkungan berpeluang besar dibatalkan parlemen.”

Dia mencontohkan, program-program lingkungan Jokowi yang tertuang dalam Nawa Cita seperti kedaulatan pangan, kedaulatan energi, pemberantasan ilegal logging bisa tidak mendapat endorsement parlemen.

Kondisi ini, kata Longgena,  bisa mengakibatkan pemerintah sulit menjalankan program-program kerja. Untuk itu, ujar dia, menjadi krusial sekali Jokowi mendapatkan dukungan warga dan masyarakat sipil hingga kekuatan politik bisa memperoleh legitimasi kuat dari rakyat.

Situasi politik saat ini, katanya, tak mustahil memaksa Jokowi kompromi dengan mereka guna mendapat dukungan politik. “Jokowi bisa jadi terpaksa mengakomodasi orang dari partai politik untuk duduk di pos-pos kementerian.”  Menurut dia, sebenarnya sah-sah saja asalkan orang itu memiliki keahlian. “Pada saat menjabat posisi menteri, mereka harus melapaskan jabatan parpol. Ketika menjalankan tugas tidak lagi mewakili kepentingan partai, namun pembantu Presiden,” ujar dia.

Akankah nasib anak-anak adat, seperti anak-anak di komunitas Pekasa ini makin tak menentu dengan potensi kerjasama cantik pengusaha, pemerintah dan DPRD akan makin kuat dengan pilkada via DPRD? Foto: Sapariah Saturi

Akankah nasib anak-anak adat, seperti anak-anak di komunitas Pekasa ini makin tak menentu dengan potensi kerjasama cantik pengusaha, pemerintah dan DPRD akan makin kuat kala pilkada via DPRD? Foto: Sapariah Saturi

Hutan alam yang terbabat menjadi kebun sawit. Jika pilkada lewat DPRD, hubungan antara pemerintah daerah, DPRD dan pengusaha berpotensi menguat. Apakah ini akan menjadi sinyal lebih buruk bagi alam dan hutan negeri ini? Foto: Greenpeace


Pilkada Tak Langsung, Berikut Prediksi Dampak bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat was first posted on October 12, 2014 at 5:08 pm.
Viewing all 3923 articles
Browse latest View live