Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3810 articles
Browse latest View live

Horeee…Lahir Empat Anak Harimau Benggala di Medan Zoo

$
0
0
Anak harimau Benggala warna kuning belang kehitaman ini  satu dari empat ekor yang lahir di Taman Margasatwa Medan Foto: Ayat S  Karokaro

Anak harimau Benggala warna kuning belang kehitaman ini satu dari empat ekor yang lahir di Taman Margasatwa Medan Foto: Ayat S Karokaro

Kabar gembira datang dari Taman Margasatwa Medan. Setelah lima bulan lalu induk harimau Sumatera, melahirkan empat anak, Sabtu (29/11/14), harimau Benggala di Medan Zoo, pertama kali melahirkan empat anak.

Dari empat anak itu, dua berwarna belang putih dan dua belang kuning dipadu hitam.

Saya beruntung, saat akan melahirkan, bisa mengabadikan sang induk tengah menanti kelahiran anak-anak penerus mereka.

Detik-detik menegangkan begitu terasa dari tim di kandang induk harimau ini. Wajah dokter hewan dan tim Medan Zoo begitu tegang. Mereka melakukan berbagai persiapan.

Auman sang induk terdengar. Suara itu kalah dengan suara sang jantan Benggala, seakan menunggu kelahiran anak dari luar kandang. Terlihat sang jantan mondar mandir. Suara ribut binatang lain, pecah dan saling bersahutan, ketika satu jam setelah kelahiran, anak pertama keluar.

Wajah tegang terlihat tenang, ketika empat anak harimau lahir sehat.

Putrama Al Khairi, Direktur Utama Taman Margasatwa Medan, mengatakan, dalam satu tahun terakhir, Medan Zoo, menambah delapan anak harimau, , empat harimau Sumatera dan empat Benggala.

Dengan kelahiran anak ini, katanya, menunjukkan iklim yang disiapkan, cocok buat perkembangan harimau.

Menurut Putrama, dengan tambahan empat bayi, total harimau menjadi 18 ekor, dengan rincian enam harimau Benggala, dan 12 harimau Sumatera.

“Kami patut bersyukur, karena mampu menambah jumlah spesies yang sudah masuk katagori terancam punah ini. Harimau bukan buat diburu, jadi kami meminta dengan sangat jangan pernah buru mereka,” katanya.

Langkah utama, katanya, memperbesar kandang dan ruang buat belasan harimau. Dia berencana berbagi dengan Taman Margasatwa lain yang berminat, atau bertukar dengan singa, hingga melengkapi satwa di sini.

Khusus menjaga kesehatan dua jenis harimau ini, dokter hewan memberikan makanan baik. Produktivitas dan kesehatan tetap terjaga, dan kebatinan serta kedekatan dengan satwa.“Fokus kami menjaga belasan harimau ini. Akan mencari dana buat memperlebar kandang dan memperlebar lahan kehidupan mereka, ” kata Putrama.

Sucitrawan, dokter hewan Medan Zoo, mengatakan, anak harimau lahir setiap satu jam sekali, dan proses seluruh antara tiga sampai empat jam.

Kelahiran empat harimau ini normal, dan tidak ada masalah. Bayi dan induk dalam kondisi sehat. Berat anak sekitar satu kilogram dengan panjang sekitar 25 cm.  “Agar kondisi tetap stabil akan memberikan daging segar dan vitamin serta obat, buat menambah susu induk.”

Ketika ditanya apa rahasia hingga dalam satu tahun, ada delapan anak, kata Suci, focus utama pada proses perkawinan.

Menurut dia, diatur kapan birahi sang induk. Setelah tahu, baru bisa proses perkawinan. Harimau Benggala dan Sumatera jantan dan betina, tidak bisa akur. Jadi, ada penjadwalan proses perkawinan.

Anak harimau Benggala warna putih yang lahir di Taman  Margasatwa Medan. Foto:  Ayat S Karokaro

Anak harimau Benggala warna putih yang lahir di Taman Margasatwa Medan. Foto: Ayat S Karokaro


Horeee…Lahir Empat Anak Harimau Benggala di Medan Zoo was first posted on November 30, 2014 at 7:56 pm.

Kala Suku Moi Papua Tegaskan Batas Wilayah

$
0
0
Perkampungan warga Suku Moi  di Kabupaten Sorong. Foto: Wahyu Chandra

Perkampungan warga Suku Moi di Kabupaten Sorong. Foto: Wahyu Chandra

Suku Moi, merupakan masyarakat mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Papua Barat, sedang merampungkan pemetaan partisipatif. Upaya ini untuk menegaskan kembali wilayah adat yang terancam karena perusahaan minyak Petrochina dan perkebunan sawit.

Silas Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong, mengatakan, pemetaan partisipatif ini masih terbatas, pada Sub Moi Kelim. Wilayah adat Moi, sangat luas, tidak hanya terbentang di tiga wilayah administrasi Sorong daratan (Kota Sorong dan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan), juga mencakup Raja Ampat dan sejumlah daerah lain.

“Wilayah adat Suku Moi, mencakup 400 ribu hektar. Sekarang, kami baru memetakan Moi Kelim sekitar empat ribu hektar,” katanya di Sorong, akhir Oktober 2014.

Moi memiliki 10 sub suku dengan batasan masing-masing. Sub suku ini terbagi menjadi 100-an marga besar dan marga kecil disebut gelet.

Di antara sub suku Moi ini antara lain, Moi Kalasa, Moi Kalagedi, Moi Malamsimsa, Moi Amber, Moi Malayik, Moi Seget, Moi Kelim, Moi Walala, Moi Abun, Moi Malaibin. Hanya beberapa sub Suku Moi dikenal luas, khusus di Kabupaten Sorong. “Suku Moi menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua.”

Di Raja Ampat, Moi Mayya—dulu sub Moi kini menjadi suku tersendiri, dengan banyak sub suku dan gelet yang menjadi bagian.

Menurut Silas, pemetaan ini memiliki tantangan tersendiri. Identifikasi gelet-gelet pun bukanlah hal mudah, karena harus meminta persetujuan dari tokoh-tokoh suku.

“Dalam pertemuan adat ditetapkan mana gelet masih ada dan yang sudah tak ada. Begitupun dalam penetapan batas-batas wilayah, jangan sampai mengambil wilayah orang lain.”

Di Distrik Klasuat, Kabupaten Sorong, perusahaan minyak asal China, Petrochina, membangun kawasan perkampungan untuk warga Moi yang dulu tinggal di kawasan hutan. Sekitar 18 keluarga  kini berdiam di daerah itu. Foto: Wahyu Chandra

Di Distrik Klasuat, Kabupaten Sorong, perusahaan minyak asal China, Petrochina, membangun kawasan perkampungan untuk warga Moi yang dulu tinggal di kawasan hutan. Sekitar 18 keluarga kini berdiam di daerah itu. Foto: Wahyu Chandra

Hasil pemetaan, katanya, akan disampaikan pada pemerintah daerah, yang akan menjadi salah satu acuan dalam pembentukan peraturan daerah perlindungan masyarakat adat di kedua kabupaten dan kota itu.

Suku Moi, sebagaimana suku di Papua lain, memiliki keunikan tersendiri dalam pembentukan gelet. Sebuah gelet bisa saja hilang karena berpindah ke suku lain. Sebaliknya, suku lain terbuka menjadi bagian Moi.

Penyebabnya, antara lain karena ‘diusir alam’, berupa bencana atau tanda-tanda lain yang ditunjukkan alam.

“Ada tanda gelet tertentu sudah tidak diperkenankan berada di wilayah yang mereka sekarang dan harus berpindah ke tempat lain.”

Dia mencontohkan, gelet dari Biak bernama Magabro, karena proses pengusiran alam, mereka berdiam diri dan menjadi gelet tersendiri di Moi dengan nama Magablo.

Menurut Silas, Moi termasuk salah satu suku di Papua yang masih kuat mempertahankan adat istiadat, meskipun beberapa nilai-nilai luhur mulai luntur. Informasi turun menurun terputus, antara lain sistem pendidikan adat yang disebut Kambik, sudah tak ada lagi.

Kambik Moi dulu di Kamrau. Di dalam kambik ini diajarkan berbagai hal tentang adat Moi kepada anak laki-laki. Anak-anak perempuan tidak diperkenankan karena khawatir jika menikah dengan orang luar menceritakan rahasia dalam pendidikan ke pihak luar.

“Dalam pendidikan itu diajarkan bagaimana menghargai adat, hutan dan leluhur. Selama tiga tahun mereka dididik dalam sekolah adat ini.”

Kini sistem pendidikan ini tak ada lagi, tergantikan pendidikan modern, dan terkikis karena masuk agama. Faktor lain bersifat politis, yang lalu dibubarkan militer sejak 1960-an. Pada tahun-tahun 1970-an, Kambik ini benar-benar hilang. Kini Silas mencoba menghidupkan kembali.

Menurut Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Yusak K Magablo, pemetaan partisipatif dibarengi pemetaan sosial dan identifikasi kembali suku-suku dan gelet-gelet di Sorong. Ini memiliki arti penting tidak hanya dalam mempertahankan eksistensi dan tradisi juga landasan ketika berhadapan dengan investor.

Saat ini, misal, tengah dibangun eksplorasi minyak oleh Petrochina, perusahaan minyak dari China, dengan wilayah mencakup sejumlah kawasan adat Moi. Yusak melihat, investasi ini tanpa mempertimbangkan masyarakat adat yang berdiam di sana.

Ketua LMA Sorong, Silas Kalami, mencoba menghidupkan kembali Kambik, sekolah adat yang hilang karena dibubarkan militer pada 1970-an. Foto: Wahyu Chandra

Ketua LMA Sorong, Silas Kalami, mencoba menghidupkan kembali Kambik, sekolah adat yang hilang karena dibubarkan militer pada 1970-an. Foto: Wahyu Chandra

Petrochina meski sudah lama beroperasi di Sorong,  namun baru awal 2014 mulai beroperasi di kawasan adat Moi seluas empat hektar. Perusahaan ini mendapat penentangan masyarakat karena dianggap tidak terbuka, termasuk ketidakjelasan kontribusi kepada masyarakat sekitar.

“Selama ini, pertanyaan-pertanyaan masyarakat tidak sepenuhnya dijawab baik, kadang dijawab, kadang tidak. Tidak ada realisasi janji-janji mereka di awal-awal. Bahkan tak pernah ada pembicaraan jelas dengan tokoh adat setempat,”  kata Yusak.

Ketika masyarakat mencoba menuntut dan menghalang-halangi pengambilan sampel perusahaan, mereka harus berhadapan dengan polisi. “Pada Oktober lalu, empat warga ditangkap polisi. Mereka baru dilepas setelah ada negosiasi dengan perusahaan dan pemerintah daerah. Meski hanya ditangkap sehari, setelah penangkapan ini masyarakat menjadi takut.”

Sebenarnya, Petrochina membantu warga membuka lahan pemukiman di daerah Kalasuat, salah satu distrik di Sorong. Kawasan ini akan menjadi perkampungan tersendiri dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Saat ini, terdapat 18 keluarga bermukim di sana. Hanya, Yusak menilai kontribusi Petrochina masih tergolong kecil.

“Mereka hanya diminta menggusur daerah, diratakan untuk pemukiman. Hanya itu saja.”

Ancaman lain, sejumlah kawasan hutan yang dulu HPH milik PT Inti Pura tiba-tiba menjadi kawasan sawit di Klamono. Masyarakat mencoba menolak, namun perusahaan dan pemerintah berdalih itu untuk kesejahteraan masyarakat.

“Masyarakatpun mau tidak mau harus menerima, jika menolak dianggap menolak program pemerintah. Apalagi ada iming-iming pada papa-papa dan mama-mama nanti dibikin rumah mewah, beli TV. Kesehatan baik. Sampai sekarang, tak ada satupun janji itu terealisasi. Masyarakat merasa dibohongi.”

Kemarahan warga atas pembukaan lahan sawit ini, kata Yusak sangat wajar. Sistem kepemilikan dan pengelolaan hutan di Papua berbasis gelet.

“Ketika mereka kehilangan lahan kelola tak bisa seenaknya pindah ke tempat lain, karena bisa jadi itu punya gelet lain. Mana mau gelet lain memberikan lahan mereka dikelola orang lain.”

Yusak berharap, pemetaan partisipatif ini akan menghasilkan database sub-sub suku dan gelet-gelet Suku Moi yang lebih konferehensif. Termasuk, menemukan kembali sejumlah gelet yang selama ini dianggap punah.

“Sejumlah gelet selama ini dianggap punah, setelah ditelusir ternyata masih ada.”

Persoalan lain cukup menganggu perjuangan masyarakat adat di Papua, adalah kelembagaan adat tandingan justru tidak berpihak kepada kepentingan warga. Mereka malah menjadi alat klaim perusahaan dan pemerintah akan keterwakilan adat dalam setiap pengambilan kebijakan.“Ini yang kerap menimbulkan konflik perpecahan.”

Menurut Yusak, sebagaimana suku lain, Moi juga memiliki struktur sosial tersendiri. Di tingkat teratas terdapat tokoh-tokoh adat, yang terdiri dari para Nedla, neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook  (orang kaya) dan nefoos (orang suci).

Terdapat juga pejabat-pejabat adat seperti usmas, tukang, finise atau pimpinan pelaksana rumah adat, tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan kmaben.

“Mereka ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku atau panglima perang yang berwenang melakukan acara adat.”

Di tingkat bawah terdapat wiliwi, yaitu anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik dan diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina menjadi pemimpin seperti kelompok pertama dimana mereka diajarkan filosofi kepemimpinan dan seluk beluk adat-istiadat Moi dengan menyeluruh.

Ada juga kelompok, yang sebenarnya laki-laki atau nedla namun sebagai nelagi atau perempuan. Kelompok ini terdiri dari anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di Kambik. Dalam struktur Moi masuk sebagai nelagi.

Adapula nelagi murni, terdiri dari perempuan Moi, dengan pemimpin dan tokoh tersendiri. Mereka juga mengetahui fulus atau ilmu-ilmu yang dapat dikuasai perempuan.

Pemetaan partisipatif di Kabupaten Sorong ini bagian dari kerjasama antara PD AMAN Sorong Raya dengan Samdhana Institute. Selain Moi Sorong, daerah lain segera dipetakan adalah Moi Mayya di Raja Ampat.

 Tepian hutan adat Moi. Hutanadat Moi di Sorong menjadi incaran  investor, mulai  minyak hingga  sawit. Sayangnya keberadaan mereka tidak memberi nilai lebih bagi masyarakat. Berbagai janji kesajehteraan tak  terealisasi,  justru yang terjadi penangkapan warga. Foto: Wahyu Chandra

Tepian hutan adat Moi. Hutan adat Moi di Sorong menjadi incaran investor, mulai minyak hingga sawit. Sayangnya keberadaan mereka tidak memberi nilai lebih bagi masyarakat. Berbagai janji kesajehteraan tak terealisasi, justru yang terjadi penangkapan warga. Foto: Wahyu Chandra


Kala Suku Moi Papua Tegaskan Batas Wilayah was first posted on November 30, 2014 at 8:57 pm.

Belajar dari Petani-petani Muda di Ekuador (Bagian 1)

$
0
0
Martine memperlihatkan kebun kakao miliknya. Dia memilih kembali ke desa menjadi petani, dengan hasil lebih dari cukup buat menghidupi keluarga. Foto: Anton Muhajir

Martine memperlihatkan kebun kakao miliknya. Dia memilih kembali ke desa menjadi petani, dengan hasil lebih dari cukup buat menghidupi keluarga. Foto: Anton Muhajir

Martin Bautista Sol, tak pernah berhenti tersenyum selama bertemu kami November lalu. Petani muda 36 tahun di Esmeraldas, Ekuador, bagian barat itu antusias menunjukkan kebun kakao. Selama sekitar dua jam, Martin Don Augustin mengajak kami melihat tiga hektar lahan di pantai barat Ekuador itu.

Berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, Esmeraldas merupakan salah satu provinsi penting bagi pariwisata Ekuador, Amerika Selatan. Di sini terdapat beberapa pusat pariwisata termasuk di Atacames di mana kebun Martin berada.

Bagi sebagian orang, pantai landai di Atacames adalah surga di antara bukit dan gunung yang dominan di lansekap Ekuador. Bagi Martin, surga itu adalah 10 hektar kebun di belakang rumah.

“Tinggal di sini seperti di surga. Tenang. Saya tidak lagi merokok maupun minum (alkohol). Hanya sesekali ke pesta. Itupun bersama istri saya,” katanya sambil tersenyum melirik istri.

Petang itu, matahari di Esmeraldas beranjak pulang. Cahaya samar-samar masuk di antara rimbun pohon mangga, kakao, dan pisang di kebun Martin. Rasanya hangat dan damai.

Seperti anak muda di desa, Martin pernah merantau ke kota. Dia bekerja sebagai pegawai asuransi di Guayaquil, kota terbesar di Ekuador. Setelah memiliki cukup uang, dia kembali ke desa kelahiran, membeli tanah, dan bekerja sebagai petani. “Sekalian melanjutkan pekerjaan orang tua saya.”

Tiga dari 10 hektar kebun Martin adalah kakao. Di lahan sebagian berupa bukit, Martin merawat kakao yang sebagian berumur lebih 20 tahun. Agar berkelanjutan, dia menanam kakao baru di sana.

Sisa lahan ditanami komoditas lain seperti pisang, kopi, dan mangga. Namun, kakao tetap komoditas andalan bagi Martin maupun petani lain di daerah Esmeraldas.

Beberapa sumber menyatakan, provinsi ini memiliki kakao terbaik di dunia disebut Fino de Aroma. Dalam dunia kopi, Fino de Aroma berarti kakao dengan aroma terbaik ini semacam specialty coffee dalam dunia kopi. Bedanya, specialty coffee bisa tumbuh di beberapa tempat, kakao jenis ini hanya di Esmeraldas dan Manabi, provinsi tetangga Esmeraldas dan sebagian di Peru, negara tetangga Ekuador.

Secara fisik, kakao di kebun Martin berukuran lebih kecil dibanding, misal, di Sulawesi atau Flores, Indonesia. Begitu pula biji kakao. Namun, rasa lebih manis.

Kakao-kakao terbaik semacam inilah yang tumbuh subur di lahan Martin dan petani lain di Esmeraldas. Tiap tahun, dari tiga hektar lahan, Martin menghasilkan 60–80 kuintal kakao basah atau sekitar satu sampai dua ton per hektar per tahun.

“Saat ini lebih sedikit panen karena ada yang kena hama.”

Pameran menjadi salah satu cara mengenalkan pertanian ke anak muda. Organisasi petani cukup kuat hingga petani memiliki   daya tawar tinggi. Foto: Anton Muhajir

Pameran menjadi salah satu cara mengenalkan pertanian ke anak muda. Organisasi petani cukup kuat hingga petani memiliki daya tawar tinggi. Foto: Anton Muhajir

Harga kakao Fina de Aroma ini $56 atau Rp700.000 per kuintal. Total sekitar Rp55 juta setahun atau Rp4,6 juta per bulan. Jumlah ini 3x lipat dari upah minimum regional di Badung, daerah paling kaya di Bali.

Tingginya pendapatan dari sektor pertanian kakao itulah yang menarik anak-anak muda Ekuador seperti Martin.

Ada juga Jairon Quiñonez, 24 tahun. Seperti anak muda di desa, Jairon pernah merantau ke kota. Dia bekerja di Esmeraldas. Selain nama provinsi, Esmeraldas adalah ibukota sekaligus kota terbesar di provinsi ini. Jairon mengaku, tidak suka bekerja di kota. “Di kota banyak godaan seperti alkohol dan narkotika. Itu tidak bagus bagi saya,” katanya.

Jairon kembali ke Atacames, tempat kelahiran. Atacames berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Esmeraldas. “Saya ingin meneruskan pekerjaan ayah saya sebagai petani terutama bertani kakao.” Dia tak ingin melihat kebun kakao telantar ketika ayah makin tua dan tidak ada penerus pekerjaan petani.

Bersama orang tua, Jairon mengelola 20 hektar lahan.“Jika semua sudah ada di desa, kenapa harus ke kota? Masa depan saya di desa, bukan di kota.”

Namun, tak semua anak muda kembali ke pertanian itu bekerja di kebun seperti Jairon dan Martin. Ada pula anak-anak muda bekerja di rantai lain dalam pertanian. Javier Meza, misal. Tidak hanya bertani di kebun, anak petani kakao ini menjalankan peran penting dalam rantai kakao, yakni, menjaga kualitas.

Mereka semua, termasuk Javier, anggota APROCA, organisasi petani kakao di Atacames. Setelah lulus sekolah jurusan pertanian selama tiga tahun, Javier bekerja di UOPROCAE, perusahaan pengolahan kakao di mana APROCA menjadi salah satu pemilik. Dari Atacames, Ekuador produk kakao olahan mereka diekspor ke Amerika dan Eropa.“Hal paling saya suka dari seluruh rantai kakao adalah penanganan pasca-panen,” kata Javier.

Diapun memilih bekerja sebagai penjaga kualitas kakao. Tanggung jawab utama memeriksa kualitas kakao sejak fermentasi hingga pasta. Dia sangat antusias dengan pekerjaan ini karena bisa menggabungkan teori dan praktik.

Minggu awal November lalu, dalam sebuah pameran di Esmeraldas, Javier memperlihatkan contoh tahap demi tahap pemantauan kualitas kakao. Sambil sesekali menyeka keringat karena tempat pameran gerah. Berpakaian jubah putih ala petugas laboratorium, dia menjelaskan cara memeriksa kualitas biji kakao, proses fermentasi, hingga pengolahan kakao jadi pasta.

Menurut Javier, memantau kualitas merupakan tahap penting dalam rantai kakao. Selama ini, petani hanya melihat kakao sebatas proses di kebun.

Dengan pendapatan dan kapasitas pengolahan pertanian pascapanen yang terus meningkat, anak-anak muda di Ekuador membawa harapan baru bagi pertanian di negara mereka. (Bersambung)

 


Belajar dari Petani-petani Muda di Ekuador (Bagian 1) was first posted on November 30, 2014 at 9:51 pm.

Para Pemburu dan Penghasil Madu (Bagian 1)

$
0
0
Sarang lebah trigona. Foto: Eko Rusdianto

Sarang lebah trigona. Foto: Eko Rusdianto

Larva-larva lebah, mengambang di baskom besar. Bercampur bersama potongan sayuran, dan sagu yang bulat. Diaduk sebentar  meratakan bumbu. Asap mengepul. Ini kapurung–penganan khas  Luwu, siap dinikmati.

Kapurung dengan lauk utama telur lebah, tak boleh dibiarkan dingin. Berbeda dengan kapurung ayam, atau ikan. Kapurung lebah dingin  membuat lemak naik,  menutupi permukaan. Langit-langit mulut, bibir dan lidah akan penuh lemak.

Tak hanya kapurung, telur-telur lebah  biasa juga jadi pepes. Dibungkus dengan daun pisang lalu dipanggang. Bagi sebagian besar orang Luwu, kapurung dan pepes lebah adalah santapan yang ditunggu-tunggu. Saat ini, mencari lebah hutan sangat sulit, harus memasuki hutan, menapak gunung-gunung tinggi, bahkan menjajal tepi jurang.

Biang kerok

Dulu, saya beberapa kali mengikuti perburuan lebah. Biasa malam hari. Seorang pawang lebah akan ritual kecil. Memegang batang pohon tempat lebah bersarang, dan mengusap-usap. Kadang badan dilumuri minyak tanah.

Pawang lebah itu memanjat pohon. Membawa obor besar dari gulungan daun kelapa kering, kain atau karung goni. Saat mulai dekat  sarang, pawang akan menyalakan obor. Membakar sarang lebah.

Kelompok lain yang menunggu di bawah pohon biasa ikut menyalakan api, membuat asap pekat agar lebah cepat terbang. Tak butuh waktu lama, dengan api yang membara dari obor, lebah mudah terpanggang dan menghilang. Atau sebagian melarikan diri.

Sarang lebah yang berwarna kecoklatan menjadi kehitaman. Pawang menyanyat rumah lebah dengan parang tajam. Memilah-milah menjadi beberapa potongan lalu dimasukkan ke ember.

Di bawah pohon kru lain, membawa menjauh. Bunyi dengung lebah dengan sayap terpanggang begitu memilukan. Mengelinjang dan berusaha terbang. Sarang-sarang lebah  diteliti. Kamar tempat madu  diperas dengan tangan. Tempat kotoran ( persediaan makanan dari tepung sari tanaman) dibuang. Telur (larva) disisihkan jadi makanan.

Siang hari, ratusan bahkan ribuan lebah tergeletak. Hangus.

Ramah lebah

Berbeda dengan perburuan madu di hutan pendidikan Universitas Hasanuddin, Desa Bengo-bengo, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Peneliti Lebah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Mappatoba Sila,  bersama beberapa rekan mengembangkan penangkaran lebah Apis trigona dengan ramah.

Saya mengunjungi penangkaran itu pekan lalu. Rumah-rumah buatan dari kotak-kotak kayu dijejer  17 buah. Pada bagian atas diberi topi petani,  untuk melindungi dari sengatan matahari langsung.

Ketika atas kotak dibuka, beberapa lebah trigona  berukuran kecil seperti semut merah, beterbangan. Hinggap di rambut dan lengket di kulit.

“Trigona suka dengan warna hitam dan takut air,” kata Stanislaus Ghaji, peneliti dan instruktur penangkar lebah trigona, Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelum membuka kotak , katanya,  mesti membasuh topi dan beberapa bagian tubuh dengan air.

Penangkaran lebah Trigona. Foto: Eko Rusdianto

Penangkaran lebah Trigona. Foto: Eko Rusdianto

Dia membuka beberapa kotak dan mencari struktur sarang yang masih terbangun. “Coba lihat. Yang berpendar-pendar seperti air dan berkilau itu bakal madu. Yang kuning telur dan bagian kuning lain simpanan makanan. Mereka membangun dan membuat bilik dengan teratur.”

Memegang sarang lebah trigona seperti lem yang mulai padat. Kenyal. Berwarna coklat muda. Menurut Stanislaus, bahan lengket itulah yang dikenal dengan prupolis. Bahan ini dikumpulkan dari getah bunga, buah atau pohon. Lebah membawa dengan menempelkan di kaki dan memintal secara cermat.

Dimana tempat tempat kotoran lebah? Stanislaus membuka kotak lain dan menemukan sarang yang ditinggalkan. Warna mulai coklat kehitaman. “Ini adalah simpanan makanan. Simpanan makanan ini terbuat dari tumpukan tepung sari yang menempel di lebah,” katanya.

Padahal, lebah tak pernah membuang kotoran dalam sarang. “Ini mahluk yang benar-benar bersih.”

Trigona adalah jenis lebah madu yang dikenal luas namun peternak  kurang tertarik, karena produksi kecil. Padahal, khasiat buat bahan medis sangat baik.

Trigona menghasilkan dua produk unggul, yakni prupolis, sebagai  bahan anti oksidan dan antibiotik. Bipret (tepung sari) untuk simpanan makanan–bahan formulasi produk medis, sebagai ramuan kecantikan dan campuran makanan-minuman.

Untuk itu, melalui teknik penangkaran ramah, madu lebah tak semua diambil. “Di Vietnam, mereka sudah melakukan, bahkan memberikan pemahaman pada pemburu lokal menyisakan madu. Aturannya, hanya boleh 2/3 madu. Jadi lebah dengan sisa makanan masih bertahan lama. Bahkan setiap mengambil madu, lebah tak boleh mati,” kata Mappatoba.

Di Sulawesi Selatan, penangkaran lebah trigona sudah sejak pertengahan 2000-an di Masamba, Luwu Utara. Beberapa peternak lebah trigona, menjaga sumber pakan dan melestarikan, seperti pinang, tanaman palem, kelapa, puspa, rambutan, mangga dan hampir semua tumbuhan berbunga.

“Saat ini kita baru mampu menernak trigona untuk lebah lokal. Lebah lain teknologi dan kesiapan sumber daya belum memadai. Kalau di Jawa puluhan tahun lalu ada lebah Apis millevera sudah diternak. Ini lebah impor dari New Zealand.”

Madu hutan di Karaenta. Foto: Eko Rusdianto

Madu hutan di Karaenta. Foto: Eko Rusdianto

Persiapan paceklik

Saat musim bunga (di luar penghujan) yang berlangsung selama dua sampai tiga bulan, lebah memproduksi madu sebanyak-banyaknya. Madu ini, diperoleh dari proses panjang, melalui nektar bunga.

Mappatoba, menguraikan proses menghasilkan madu. Pada musim bunga, bersamaan muncul matahari lebah pemandu yang berjumlah ratusan keluar sarang. Lebah ini survei lapangan, mengitari ratusan kilometer mencari letak bunga melimpah. Ketika lebah pemandu menemukan titik bunga yang tepat, mereka kembali ke sarang.

Lebah pemandu, berkerumun di depan sarang mengikuti azimut matahari. Melakukan tarian lebah (dancing bee) dan mendengung keras. Lebah pekerja lapangan yang berjumlah ribuan ekor memperhatikan. “Dari tarian inilah, lebah pekerja lapangan akan tahu, apakah sumber pakan bunga jauh atau dekat.”

Lebah pekerja lapangan menuju titik pakan bunga. Mereka hinggap, mencelupkan badan ke tepung sari dan menjorokkan kepala menuju putik sari untuk mengisap nektar.

Saat menghisap nektar, lebah membuka mulut dan menjulurkan alat hisap probosis – seperti belalai gajah namun ukuran kecil. Nektar dibawa menuju kantong madu (honey sack) di bawah bagian dada. Ketika kantong penuh, lebah menuju sarang.

Di sarang, lebah pekerja lapangan membuka belalai dan lebah pekerja rumah tangga menghisap. Nektar ini dipindahkan dari satu sel ke sel lain, untuk mengurangi kadar air dari nektar.

Setelah kadar air nektar berkurang dan dianggap pas, lebah akan menutup dengan lapisan lilin. “Proses itu membutuhkan waktu tiga minggu. Inilah yang dikenal dengan madu matang.”

Nektar adalah cairan manis dari bunga. Pada waktu tertentu, bila tak ada serangga, nektar akan menguap. Pada sore hari muncul kembali. Kandungan nektar setiap bunga hanya beberapa tetes.

Lebah menghasilkan madu sebagai persiapan makanan saat paceklik. Madu ini menjadi bahan makanan pokok untuk ratu lebah agar terus hidup dan bertelur untuk menjada keberlangsungan koloni . “Jika pemburu lebah mengambil madu dengan membakar, lebah dan larva akan mati. Bisa dipastikan satu koloni   punah,” kata Mappatoba.

Dalam setiap koloni, lebah antara 2.000 hingga 3.000 dengan satu ratu, ratusan raja (pejantan), ribuan pekerja lapangan, ribuan pekerja rumah tangga, dan penjaga sarang. (Bersambung)

Stanislaus (topi hitam) dan Hasrun peternak lebah trigona di Hutan Pendidikan Unhas tengah memeriksa pakan tambahan lebah. Foto: Eko Rusdianto

Stanislaus (topi hitam) dan Hasrun peternak lebah trigona di Hutan Pendidikan Unhas tengah memeriksa pakan tambahan lebah. Foto: Eko Rusdianto


Para Pemburu dan Penghasil Madu (Bagian 1) was first posted on December 1, 2014 at 8:04 am.

Berikut Fakta Unik si Penghasil Madu (Bagian 2)

$
0
0
Lebah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Iajuga menjadi faktor penting dalam keberlangsungan tanaman. Foto: Wikipedia

Lebah memiliki banyak manfaat bagi manusia. Iajuga menjadi faktor penting dalam keberlangsungan tanaman. Foto: Wikipedia

Lebah, tak hanya bermanfaat bagi manusia. Keberlangsungan tanaman-tanaman juga bergantung pada satwa kecil ini. Mau tahu fakta unik dari lebah?

“Lebah adalah penyerbuk terbaik di alam,” kata Stanislaus Ghaji, peneliti dan instruktur penangkar lebah trigona, Universitas Hasanuddin Makassar.

Mengapa demikian? Saat musim bunga, katanya, ada ribuan kali kunjungan lapangan ke bunga. Lebah yang mencelupkan badan di tepung sari, memindahkan ke kedua kaki belakang, lalu terbang dan berpindah lagi ke bunga lain. Tepung sari ini, menyatu dan bercampur dengan bunga lain dan menciptakan penyerbukan.

Bunga-bunga yang melalui proses penyerbukan ini memiliki kualitas baik untuk meciptakan buah. Ketika jadi buah, mahluk lain seperti burung memakan dan membuang kotoran di beberapa tempat. Tersebarlah benih secara alami. “Ingat, burung hanya penyebar, tanpa penyerbukan, kualitas buah akan lemah. Lebah yang melakukan dengan sempurna,” katanya.

Apa yang terjadi bila lebah tak ada? Regenerasi tanaman, kata Stanislaus, akan mengalami stagnan. Tanaman-tanaman baru yang dibantu penyerbukan oleh burung pengisap madu atau serangga lain bahkan angin, tidak seunggul penyerbukan lebah. Meskipun tanaman baru tetap tumbuh tetapi daya saing kurang dan proses lama.

Di alam, salah satu penyerbuk terbaik adalah kupu-kupu. Namun, kupu-kupu hanya memilih jenis bunga dan tanaman yang disukai. “Lebah tidak memilih. Ia menghisap semua jenis bunga di tanaman. Dari bunga dengan kelopak besar hingga kelopak paling kecil.”

Di hutan Sulawesi, ada tiga jenis lebah lokal. Yakni Apis trigona, Apis cerana, dan Apis dorsata. Trigona ukuran lebih kecil, memiliki radius jelajah antara 500–700 meter .

Stanislaus menunjukkan bunga dari tanaman puspa, salah satu pakan favorit trigona. Foto: Eko Rusdianto

Stanislaus menunjukkan bunga dari tanaman puspa, salah satu pakan favorit trigona. Foto: Eko Rusdianto

Dorsata ditemukan diketinggian 400–700 dpl dan cerana antara 700–1000 dpl, saat musim bunga mampu menghasilkan hingga 20 kg madu. Untuk menghasilkan satu kilogram madu, lebah pekerja lapangan dapat menempuh perjalanan hingga radius 3.600. km. Ia memerlukan kunjungan lapangan antara 1.200 – 1.500 kali. “Coba bayangkan ada berapa banyak bunga yang penyerbukan di bantu lebah. Ratusan ribu bukan?” kata Stanislaus.

Sang ratu dan ritual kawin

Setiap koloni lebah dipimpin satu ratu. Ratu secara fisik memiliki tubuh proposional dan memiliki alat pengembangbiakan baik. Usia ratu bisa sampai tahun. Usia subur hingga lima tahun, enam sampai tujuh tahun mulai menurun. Lebah lain maksimal berusia enam minggu.

Setiap koloni lebah, meskipun sarang berdekatan, tidak boleh bercampur. Lebah tersesat dan salah masuk koloni akan dibunuh karena dianggap penyusup.

Bagaimana saling mengenal dengan anggota koloni masing-masing, padahal bentuk sama? Ternyata, masing-masing ratu memiliki bau khas (veromon). “Bau inilah yang menjadi penanda dan arah pulang lebah,” kata Peneliti Lebah Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Mappatoba Sila.

Dalam koloni lebah, ratu hanya kawin sekali seumur hidup. Setelah itu, sepanjang waktu hanya bertugas bertelur. Ratu yang produktif bertelur 1.000–2.000 butir per hari. Ketika produksi telur ratu turun, lebah pekerja membuat quensel (rumah ratu) baru dan menghasilkan lebah pejantan.

Ketika pejantan dewasa dan calon ratu baru siap, ratu lama dibunuh. Ratu baru menunggu sekitar  satu minggu untuk siap dibuahi. Saat tiba, ratu perawan keuar sarang dan terbang menjelah hingga radius 500 meter persegi.

Saat itu, ribuan pejantan berlomba mendekati ratu perawan. Saat pejantan berhasil mengawini ratu, mereka akan saling terkait. Terjatuh, hingga tersangkut pohon, ranting, daun atau terhempas ke tanah. Saat itu, alat reproduksi pejantan melengket di kelamin ratu.

Ratu terbang lagi. Pejantan yang mengawini ratu mati. Pejantan kedua memiliki tugas lebih rumit. Sebelum mengawini ratu, harus melepaskan alat kelamin pejantan. Dalam sekali ritual kawin, biasa hingga 11 pejantan. “Saat itu, kantong telur ratu penuh kembali ke sarang. Lalu bertelur.”

Untuk menjadi lebah dewasa, dari telur, menjadi larva, nimfa, sampai imago memerlukan 21 hari. Lebah muda sampai 10 hari belum bisa keluar sarang dan bertugas membantu merawat sarang. Jika berusia dua minggu akan menjadi lebah pekerja lapangan.  “Karena itulah ratu bertelur sebanyak-banyaknya. Setiap hari akan ada lebah mati.” (Habis)

Sarang lebah trigona yang telah ditinggalkan dan sudah rusak. Foto: Eko Rusdianto

Sarang lebah trigona yang telah ditinggalkan dan sudah rusak. Foto: Eko Rusdianto


Berikut Fakta Unik si Penghasil Madu (Bagian 2) was first posted on December 2, 2014 at 4:07 am.

Keluarkan Izin Tambang di Bangka, Pengacara: ESDM Langgar UU

$
0
0
Kondisi Pulau Bangka kini. Perusahaan mulai menggali tanah di bagian atas--hutan mulai ditebangi-- untuk mereklamasi pantai. Foto: Save Bangka Island

Kondisi Pulau Bangka kini. Perusahaan mulai menggali tanah di bagian atas–hutan mulai ditebangi– untuk mereklamasi pantai. Foto: Save Bangka Island

Sidang pertama gugatan sembilan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) digelar di PTUN Jakarta Timur, Selasa (2/12/14). Gugatan warga didasari SK Menteri ESDM, 17 Juli 2014, Nomor 3109 K/30/2014 tentang Izin Pertambangan PT Migro Metal Perdana (MMP). Izin itu dinilai melanggar beberapa UU dan mengabaikan hak-hak warga hingga berpotensi mengancam lingkungan dan hidup mereka.

Johny Nelson Simanjuntak, kuasa hukum warga mengatakan, Menteri ESDM menerbitkan izin usaha pertambangan yang bertentangan UU. “UU Pulau Kecil dan Pesisir, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Lingkungan Hidup. Peruntukan pulau ditetapkan sebagai wisata. Izin usaha itu harus dibatalkan,” katanya usai sidang.

Dia mengatakan, SK Menteri ESDM aneh. Sebelumnya, dari PTUN Manado, PPTUN Makassar, dan Mahkamah Agung pada 2013, memenangkan warga dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut dia, selain bertentangan dengan UU, izin usaha juga bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Mereka, hidup di sana sebagai petani dan nelayan. “Kalau pertambangan  berlanjut, kehidupan warga bisa bubar. Meskipun mereka dipindahkan ke tempat lain, itu bukan cara yang baik.”

Jika perusahaan beroperasi, Bangka bisa tenggelam. Sebab, material yang akan dibawa sangat banyak. Website Aempire Resource (perusahaan induk MMP yang berkedudukan di RRC) menyebut, dalam tiga tahun pertama operasi, MMP akan memproduksi 40,2 juta kiloton bijih besi setara 40,2 juta metrik ton. Jika masa berlaku izin produksi selama 20 tahun, akan mengeruk bijih besi 267,99 juta metrik ton. Sedang lahan yang mendukung kurang 50% dari bijih besi atau setara 133,50 juta metrik ton.

Hingga total volume Bangka yang akan dikeruk 267,99 juta metric ton ditambah 133,50 juta metric ton=401,49 juta metrik ton atau + 401,50 juta metrik ton.

Data ini, katanya, jelas memperlihatkan jika izin dipaksakan, ekosistem Bangka akan hancur. Penambangan bijih besi massif menyebabkan sedimentasi di terumbu karang di sana. Selama ini, katanya, terumbu karang menjadi primadona ekowisata di Sulut. Hal ini juga bertentangan dengan komitmen perlindungan “segitiga karang” sebagai warisan dunia.

Hutan-hutan mulai botak, tanah diambil buat reklamasi pantai. Air di tepian mulai berubah keruh. Foto: Save Bangka Island

Hutan-hutan mulai botak, tanah diambil buat reklamasi pantai. Air di tepian mulai berubah keruh. Foto: Save Bangka Island

Penambangan bijih besi ini, berakibat negatif terhadap biota endemik seperti tarsius, maupun di perairan atau pesisir.

“Kami minta batalkan karena menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat. Segelintir orang tertarik dengan sejumlah uang. Jadi merasa mau menjual tanah. Mayoritas tak mau.”

Konflik vertikal juga terjadi. Konflik antara masyarakat dengan pemerintah kabupaten, kecamatan dan desa. Perjalanan pemerintahan menjadi tersendat dan menimbulkan diskriminasi.

Warga menolak pertambangan, tidak dilayani hingga mereka protes.

“Juga konflik terjadi antara perusahaan dengan masyarakat. Gejolak perlawanan karena warga marah. Malah warga dikriminalisasi karena ada kebakaran alat berat perusahaan. Kita tidak tahu siapa yang membakar, tetapi polisi menyangkakan warga menentang pelaku,” katanya.

Ada juga konflik antara masyarakat dengan pemimpin gereja.  Masyarakat berharap gereja membela masyarakat tetapi hingga kini tak ada.

“Jadi kedatangan investasi menimbulkan malapetaka dan masalah besar. Tidak hanya fisik terhadap pulau, juga malapetaka kepada masyarakat. Warga diintimidasi, hidup tidak tenang. Antarsesama tidak harmonis.”

Terus beroperasi

Merti Mais Katulung, warga Bangka penggugat, mengatakan, sampai hari ini MMP masih beroperasi. “Warga sudah mempunyai kekuatan hukum kuat dan mengikat dari MA.”

MMP, katanya, hingga kini masih mereklamasi pantai. Material reklamasi diambil dari pengerukan gunung-gunung. “Tanah dikeruk, ditimbun ke laut. Ada dua sungai ditutup, yaitu Sungai Sipi dan Pahepa. Penutupan ini otomatis air berubah drastis, tak keluar langsung karena tertutup reklamasi pantai.”

Sadjie Faturahman dari Jatam mengatakan, keputusan Kementerian ESDM sudah salah. “Seharusnya menegakkan hukum, malah membelokkan hukum sendiri. Kami optimis dengan gugatan masyarakat. Semoga menang.”


Keluarkan Izin Tambang di Bangka, Pengacara: ESDM Langgar UU was first posted on December 2, 2014 at 4:45 pm.

Dari Jakarta sampai Solo, Ramai-ramai Tolak Reklamasi Teluk Benoa

$
0
0
Walhi akan lanjutkan langkah hukum jika persoalan Taman Hutan Raya Ngurah Rai tidak mendapat perhatian dari gubernur Bali. Foto: Ni Komang Erviani

Taman Hutan Raya Ngurah Rai, salah satu kawasan penting yang akan ikut terdampak jika Teluk Benoa direklamasi. Foto: Ni Komang Erviani

Waktu menunjukkan pukul 13.00, Sabtu, 29 November 2014.  Tim bersepeda yang tergabung dalam kelompok Samas Bali, memasuki Tugu Monas, Jakarta. Keringat mereka bercucuran. Delapan orang ini bersepeda dari  Bali ke Jakarta, menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa.

Pesan-pesan bertuliskan penolakan reklamasi Teluk Benoa, terbentang. Mereka mulai bersepeda Pulau Dewata pada 20 November 2014. Momen ini diperingati sebagai Hari Puputan Margarana, menurut histori masyarakat Bali untuk mengenang kisah-kisah heroisme pahlawan-pahlawan Bali yang gugur berjuang mempertahankan tanah leluhur.

Tim yang dipimpin Road Captain Dekotel Sugiartha ingin menyampaikan pesan-pesan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia.  Edo Rakhman Manajer Kampanye Walhi Nasional yang menyambangi Samas kala sampai ke Jakarta, mengatakan, dengan bersepeda mereka bisa turut membantu kampanye-kampanye sosial.  Termasuk menyelamatkan lingkungan hidup dari kerakusan pelaku bisnis dan oknum-oknum pemerintah yang memikirkan kepentingan sesaat. “Juga mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup yang menjadi hak generasi ke depan,” katanya.

Komunitas pencinta olahraga sepeda ini juga menyampaikan pesan-pesan penting, bagaimana mengajak semua orang menjaga lingkungan hidup, termasuk Teluk Benoa, Bali.  Kini, Teluk Benoa, terancam reklamasi PT. Tirta Wahana Bali International (TWBI).

Di Solo, Minggu (20/11/14) aksi tolak reklamasi datang dari Ikatan Mahasiwa Geografi Indonesia (Imahagi) Regional III Jawa Tengah dan Yogyakarta.  Aksi ini diadakan di Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo.

Tommy Langgeng Abimanyu panitia kegiatan mengatakan, banyak dampak negatif reklamasi pesisir pantai. Di Semarang, Jateng, pernah ada reklamasi Pantai Marina.

Berdasarkan penelitian, Dr.Moh Gamal Rindarjono, reklamasi ini mengakibatkan banjir rob di Semarang dan abrasi di sepanjang pesisir Pantai Sayung, Demak.

Aksi penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa, dengan bersepeda dari Bali ke Jakarta. Foto: Samas

Aksi penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa, dengan bersepeda dari Bali ke Jakarta. Foto: Samas

“Jika Teluk Benoa terjadi perubahan bentang alam melalui reklamasi, banjir rob dan abrasi tidak terelakkan seperti di Semarang dan Demak. Ini merugikan pariwisata dan masyarakat Bali,” kata pengurus Imahagi ini.

Sebelum aksi, malam hari Imahagi sosialisasi tentang dampak buruk reklamasi Teluk Benoa. Penolakan itu juga dituliskan pada kain putih sepanjang tiga meter.

“Imahagi menolak reklamasi Teluk Benoa karena khawatir dampak negatif bagi lingkungan Bali.”

Rencana ini bertentangan dengan visi Presiden Jokowi yang berkomitmen melindungi laut, selat dan teluk. “Imahagi mendukung Presiden menghentikan rencana reklamasi Benoa dengan mencabut Perpres 51 tahun 2014.”

Nur Salam, Sekretaris Jenderal Imahagi mengatakan, tidak sepakat dengan reklamasi Benoa. Rencana ini dipaksakan demi kepentingan ekonomi.

Menanggapi dukungan meluas dari luar Bali, Suriadi Darmoko selaku Direktur Walhi Bali mengatakan, setiap orang sayang dan memperhatikan keberlangsungan pariwisata Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia.

“Saya melihat mereka tidak rela Bali dijarah dan dibangun dengan cara merusak untuk kepentingan segreintir orang. Orang Bali terancam di tanah sendiri.”

Reklamasi, katanya, berkedok revitalisasi ini jelas tidak perlu di Bali. Mayoritas anak-anak muda menolak. Aksi ini juga dukungan kepada pemerintahan baru agar menghentikan rencana ini.

“Saya berharap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak ragu menghentikan seluruh pembahasan Amdal reklamasi ini.”

Aksi ini juga bentuk dukungan kepada Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan seluruh perizinan berkaitan reklamasi Benoa. “Termasuk mencabut izin lokasi reklamasi yang pernah diberikan menteri periode lalu, Syarif Cicip Sutardjo.”

Dalam aksi  ini dibentangkan poster betuliskan “Say No To Reklamasi Benoa.” “Bali Tolak Reklamasi Harga Mati.” “Tolak Perpres 51 tahun 2014, Save Teluk Benoa Bali.” “Rakyat Butuh Nasi, Bukan Reklamasi.”

 Di Solo, Minggu (20/11/15) aksi tolak reklamasi datang dari Ikatan Mahasiwa Geografi Indonesia (Imahagi) Regional III Jawa Tengah dan Yogyakarta.  Aksi ini diadakan di Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo. Foto: Imahagi


Di Solo, Minggu (20/11/14) aksi tolak reklamasi datang dari Ikatan Mahasiwa Geografi Indonesia (Imahagi) Regional III Jawa Tengah dan Yogyakarta. Aksi ini diadakan di Universitas Negeri Sebelasmaret (UNS) Solo. Foto: Imahagi


Dari Jakarta sampai Solo, Ramai-ramai Tolak Reklamasi Teluk Benoa was first posted on December 4, 2014 at 12:45 pm.

Buku: Kisah dari Lubuk Beringin

$
0
0
Para perempuan dari Lubuk Beringin, yang mencari solusi menghadapi kemiskinan lewat membentuk koperasi. Foto: dokumentasi ditulis Syafrizaldi

Para perempuan dari Lubuk Beringin, yang mencari solusi menghadapi kemiskinan lewat membentuk koperasi. Foto: dokumentasi Syafrizaldi

Pada Agustus 2000, sebanyak 23 perempuan Dusun Lubuk Beringin, Kabupaten Bungo, mengadakan yasinan setiap Jumat sore. Yasinan ini hanya melibatkan kaum perempuan.

Seusai wirid, mereka leluasa mendiskusikan hal-hal berkaitan keuangan rumah tangga. Diskusi ini berlangsung setiap hari di tepian pemandian. Dari situ lahirlah gagasan membuat lembaga keuangan mikro. Mereka menyebut lembaga itu dengan nama “Dahlia.”

Begitulah penggalan paragraf awal dalam buku “Namaku Dahlia” yang ditulis Syafrizaldi. Aal Jepang, begitu biasa dipanggil meluncurkan buku 24 November lalu di Jambi. Aal juga Manager Program Flora dan Fauna Indonesia (FFI) di Aceh.

Buku ini, kata Aal, bercerita tentang kisah inspiratif kaum perempuan di Dusun Lubuk Beringin yang selama 15 tahun mendirikan Koperasi Dahlia. Ia menjadi unit simpan pinjam warga.  “Sekarang modal berputar sudah Rp500 juta. Mereka berusaha melawan kemiskinan dengan cara positif,” katanya kepada Mongabay.

Namun, peristiwa yang melatarbelakangi pembentukan Koperasi Dahlia tidak diuraikan. Kata Aal,  berkali-kali mempertanyakan itu kepada warga, tetapi tak pernah terjawab.

Dia mengatakan, banyak peristiwa konflik di sana tetapi mereka memandang sebaliknya. “Dulu, Lubuk Beringin salah satu lokasi pembalakan liar. Anehnya masyarakat tidak merasa terancam. Mereka menyambut ramah pembalak liar. Bahkan masyarakat sering menyuguhi minum teh di rumah. Ada perbedaan cara pandang bukan? Mungkin karena masyarakat kelewat ramah?”

Dusun Lubuk Beringin, pintu masuk ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Pembalakan liar besar-besaran terjadi awal 1970-an hingga akhir 1980-an. Klimaksnya 1998-1999. Ia juga hutan desa pertama di Indonesia dengan izin keluar era Menteri Kehutanan, MS Kaban pada 2009.

Berapa lama mengerjakan buku ini? “Saya mulai April 2014. Tidak sampai setahun. Kebetulan, sebelumnya saya juga pernah bolak balik ke sana. Jadi bahan-bahan dasar sudah ada. Saya mengerjakan buku ini setiap akhir pekan. Di sela-sela kesibukan bekerja untuk NGO di Aceh.”

Buku ini bukan pertama ditulis Aal. Sebelumnya, dia menulis buku Riak-riak Mendesau, Lentera Kampung Hutan. Semua hasil kerjasama dengan SSS Pundi Sumatera. “Paling tidak buku ini menambah sederetan kisah-kisah perjuangan masyarakat yang berusaha melawan kemiskinan,” katanya.

Namaku Dahlia, begitu juudl buku yang menceritakan kegigihan perempuan-perempuan Lubuk Beringin, membangun koperasi hingga berkembang. Foto: dokumentasi Syafrizaldi

Namaku Dahlia, begitu judul buku yang menceritakan kegigihan perempuan-perempuan Lubuk Beringin, membangun koperasi hingga berkembang. Foto: dokumentasi Syafrizaldi


Buku: Kisah dari Lubuk Beringin was first posted on December 4, 2014 at 10:55 pm.

Proper 2014: 21 Perusahaan ‘Hitam’, Sembilan Itu Rumah Sakit

$
0
0
Siti Nurbaya, Menteri LHK

Siti Nurbaya, Menteri LHK. Foto: Sapariah Saturi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan (Proper) 2013-2014, dengan 21 perusahaan berlabel hitam, 516 merah, 1.224 biru dan hanya 121 hijau serta sembilan peringkat emas. Dari 21 Proper hitam, sembilan di antaranya rumah sakit.

“Daftar hitam rumah sakit ada sembilan, hotel-hotel juga tekstil dan pabrik logam. Itu perusahaan yang requirement tinggi. Rumah sakit kita takut limbahnya. Ada jarum, logam, segala macam, zat kimia,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa malam (2/11/14) di Jakarta.

Kementerian LHK, katanya, akan mengirim surat kepada perusahaan Proper hitam agar memperbaiki kinerja dan lebih memperhatikan lingkungan hidup. Lalu, publikasi nama perusahaan di buletin kementerian dan media, diharapkan bisa menjadikan lecutan perusahaan memperbaiki kinerja.

“Kita terus dorong ke arah perbaikan. Inginnya sih sama-sama melangkah dengan kesadaran bersama. Lingkungan sekarang cukup kritis dan mari bersama-sama menanggulangi.”

Pada Proper 2012-2013, 17 berpredikat hitam dan telah ditindak. Sekitar 10 perusahaan kena sanksi administrasi paksaan pemerintah, empar proses pulbaket dan tiga perusahaan taat hingga kembali pada mekanisme Proper.

Siti mengatakan, penetapan Proper dengan berbagai kriteria, antara lain, aspek manajemen lingkungan, instalasi limbah, penerapan praktik daur ulang, partisipasi masyarakat dan lain-lain.

Awal pertama, hanya 187 perusahaan ikut Proper. Sekarang, menjadi 1908 perusahaan. Kementerian ini didukung 584 pengawas dan 95 tim ahli, sebagian besar (89%) dari provinsi. Dalam tahun terakhir, ketaatan perusahaan terhadap peraturan lingkungan naik dari 49% menjadi 72%.

Proper 2013-2014 diikuti 1908 perusahaan, naik 6%. Siti mengatakan, Proper telah menurunkan beban pencemaran dan meningkatkan upaya konservasi. Dari 173 perusahaan kandidiat predikat emas dan hijau telah efisiensi energi 26.105.806 Giga joule, konservasi air 288.386.554 meter kubik. Lalu, pengelolaan limbah padat non B3 melalui program 3R sebanyak 11.385.591 ton, reduksi limbah B3 2.428.069 ton dan kontribusi CSR Rp1,16 triliun.

Dalam kesempatan sama, Jusuf Kalla, Wakil Presiden mengatakan, perusahaan yang mendapatkan predikat emas dan hijau mendapatkan insentif nama baik. Insentif tidak diberikan dalam pengurangan pajak.

“Saya minta ke menteri diumumkan  agar kinerja perusahaan dalam menjaga lingkungan meningkat,” katanya.

JK mengatakan, isu lingkungan hidup bisa mempersatukan dunia. Semua orang boleh berbeda pandangan banyak hal, tetapi disatukan dengan isu lingkungan hidup. “Karena perusakan lingkungan di tempat lain akan mempengaruhi dunia. Kerusakan yang dibuat industri, akan mempengaruhi dunia. Dunia bersatu memperbaiki lingkungan.”

Perusahaan Proper Hitam
Hotel Amboina (Kabupaten Seram bagian barat)
Hotel Incla (Maluku Tenggara)
Hotel Quality (Makassar)
PLN Persero sektor pembangkit Ombilin (Kota Sawahlunto)
PT Dactex Indonesia (Kabupaten Bandung)
PT Darmex Oil (Kabupaten Bekasi)
PT Darmex Biofuel (Kota Bekasi)
PT Easterntex (Kabupaten Pasuruan)
PT JFE Shoji Steel Indonesia (Kabupaten Bekasi)
PT Latexindo Toba Perkasa (Kabupaten Deli Serdang)
PT Nutricia Indonesia Sejahtera (Jakarta Timur)
PT Sumatra Trading Tobacco Company (Pematang Siantar)
PT Toyogiri Iron Steel (Kabupaten Bekasi)
Rumah Sakit Elim (Kabupaten Toraja Utara)
RS Islam (Mataram)
RSUD Dr. Pirngadi (Medan)
RSUD Nene Mallomo (Kabupaten Sidrap)
RSUD Poso (Kabupaten Poso)
RSUD Praya (Lombok Tengah)
RSUD Raden Mattaher (Jambi)
RS Harapan Keluarga (Mataram)
RSUD Mamuju (Kabupaten Mamuju).

 

Proper Emas
PT Badak NGL (Bontang, Kaltim)
Star Energy Geothermal Wayang Windu Limited (Kabupaten Bandung, Jabar)
PT Holcim Indonesia (pabrik Cilacap, Jateng)
PT Pertamina (Terminal BBM Rewulu, Bantul-DIY)
PT Pertamina Geothermal Energy (Area Kamojang, Garut-Jabar)
PT Bukit Asam (Muara Enim, Sumsel)
PT Medco E&P Indonesia (Rimau Asset, Musi Banyuasin-Sumsel)
PT Bio Farma (Bandung, Jabar)
PT Pertamina Aviasi Regional III DPPU Ngurah Rai (Kabupaten Badung, Bali).
Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan


Proper 2014: 21 Perusahaan ‘Hitam’, Sembilan Itu Rumah Sakit was first posted on December 4, 2014 at 11:46 pm.

Belajar dari Peru: Petani Koka Beralih ke Kopi dan Kakao Organik (Bagian 2)

$
0
0
Petani Lamas, Peru, yang bertani  secara organik. Foto: Anton Muhajir

Petani Lamas, Peru, yang bertani secara organik. Foto: Anton Muhajir

Berada di ketinggian sekitar 800 mdpl, Lamas termasuk salah satu daerah subur di Region San Martin, Peru. Daerah di pedalaman Peru ini menjadi rumah berbagai tanaman termasuk kopi, kakao, asparagus, dan…koka!

Koka merupakan bahan dasar kokain, narkotika ilegal di banyak negara termasuk Peru. Namun, petani lokal telah menanam koka turun temurun dan menggunakan daun sebagai bahan minuman sehari-hari. Bagi warga lokal, koka diseduh sebagai minuman layaknya teh ataupun obat.

Meskipun ilegal, masih banyak petani Peru menanam koka dan memperdagangkan. Menurut laporan Badan PBB untuk narkoba dan kejahatan (UNODC) dan pemerintah Peru, tanaman koka di negara ini sekitar 60,400 hektar.

Peru merupakan negara produsen koka dan kokain terbesar di dunia bersama Kolomboia dan Bolovia, dua negara tetangganya.

Kurun waktu 1980-an hingga akhir 1990-an, muncul pemberontakan di Peru dimotori Partai Komunis Peru (CCP). Dalam bahasa lokal partai ini dikenal dengan Sendero Luminoso. Basis mereka di pedalaman Peru, termasuk Lamas. Muncul pula sempalan CCP lebih radikal seperti Túpac Amaru Revolutionary Movement (MRTA). Aliran politik mereka adalah Marxis, Leninis, dan Maois. Kedua kelompok itu kerap menculik dan membunuh warga yang tidak setuju dengan ideologi mereka. Pemerintah Peru pun menyebut mereka sebagai kelompok teroris.

Lamas, berjarak sekitar 1,5 jam perjalanan dengan pesawat dari Lima, ibu kota Peru, salah satu basis mereka. Petani lokal turut mendukung kelompok ini dengan menanam dan mengolah koka menjadi kokain.

Hildebrando Cardenas Salazar, 36 tahun, termasuk anak muda dengan masa kecil melalui fase ini. “Menanam dan mengolah koka hingga menjadi kokain kegiatan petani sehari-hari,” katanya, pertengahan November 2104 di Lamas.

Kokain dijual ilegal ke pasar lokal maupun internasional. Muncullah istilah narkoterorisme, bisnis narkoba ilegal untuk mendanai gerakan terorisme.

Sejak 1988, pemerintah Peru melarang budidaya koka. Pada 1993-1994, pemerintah mulai mengawasi ketat. Petani tetap saja menanam.

Masa pemerintahan Alberto Fujimori, mulai 1991, pemerintah Peru perang besar-besaran terhadap Partai Komunis Peru dan Gerakan Revolusioner Tupac Amaru. Begitu pula dengan perang terhadap narkoba ilegal, sumber pendanaan utama kelompok ini.

Pemerintah Peru mengajak warga melawan, melatih, dan mempersenjatai mereka. Kebijakan ini yang membuat Alberto Fujiomori, Presiden Peru keturunan Jepang, dituduh melanggar hak asasi manusia (HAM).

Sejak 1999, 56 petani Lamas mendirikan Koperasi Oro Verde. Nama ini dari bahasa Spanyol berarti emas hijau, mengacu pada koka yang saat itu menjadi sumber pendapatan utama. Namun, pasar koka menurun, seiring perang besar-besaran terhadap terorisme dan narkoba ilegal, petanipun beralih. Mereka tak lagi menanam koka.

Dengan bantuan Badan PBB, para petani Lamas membudidayakan kopi dan kakao, yang memang sudah tumbuh subur di pegunungan Lamas. Pertanian mereka organik. Koperasi ini berkembang cepat. Hanya dua tahun setelah terbentuk, petani mendapatkan sertifikasi organik dan fair trade.

Kini Oro Verde memiliki 1.350 anggota di mana 500 petani kakao dan 850 petani kopi. Dari 1.350 anggota, 75% warga asli (indigineus people). Mereka tak hanya di Lamas juga provinsi tetangga seperti San Martin, Picota, dan Eldorado. Komoditas mereka bertambah dengan asparagus dan madu.

San Martin, termasuk pusat produksi kopi di Peru. Tiap tahun, ia menghasilkan 30.000 ton kopi. Komoditas ini diekspor terutama ke perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa.

Untuk kakao mereka menghasilkan 1.200 ton per tahun. Sekitar 250 ton di jenis fino de aroma yang disebut-sebut sebagai kakao terbaik dunia.

Hilderbrando,direktur koperasi mengatakan, Oro Verde menembus pasar internasional karena dua alasan. Pertama, pasar internasional untuk kakao dan kopi memang besar. Kedua, ada sertifikasi organik dan fair trade untuk dua komoditas itu.

Anggota koperasi, Felix Terero Amasifun Sangama (23) mengatakan, kakao komoditas penting bagi petani karena bagus untuk bisnis. Dia tertarik menjadi petani melanjutkan pekerjaan orang tua.

Felix sebelumnya tidak tahu tentang kakao. Setelah kakao menjadi produk andalan petani Lamas, Felix menambah pengetahuan.

Dia kini menambah keterampilan dalam mengawasi mutu dengan kursus pemantauan kualitas kakao. Saat ini Felix magang di Koperasi Oro Verde sebagai penguji coba kualitas kakao produksi petani.

Melalui anak-anak muda seperti Felix, petani Lamas memiliki masa depan lebih cerah. Jika pada 1990-an Lamas masuk titik merah daerah berbahaya, kini mereka masuk titik hijau, wilayah penting produsen produk pertanian. (Bersambung)

Menikmati aroma kopi organik dari Lamas. Foto: Anton Muhajir

Menikmati aroma kopi organik dari Lamas. Foto: Anton Muhajir


Belajar dari Peru: Petani Koka Beralih ke Kopi dan Kakao Organik (Bagian 2) was first posted on December 5, 2014 at 12:09 pm.

Dalam Dua Pekan, Ratusan Kali Gempa Guncang Sulut

$
0
0
Peta sebaran gempa di Indonesia. Sumber: BMKG

Peta sebaran gempa di Indonesia. Sumber: BMKG

Gempa bumi berkekuatan 6,8 Skala Ritcher (SR) mengguncang Sulawesi Utara (Sulut), pada Rabu (26/11/14). Pusat gempa pada koordinat 1,99 LU – 126,50 BT, dengan kedalaman 10 Km. Ini gempa susulan, setelah Sabtu (15/11/20), masyarakat Sulut dikagetkan gempa berkekuatan 7,3 SR. BMKG mencatat, sejak Sabtu, terjadi hingga 190 kali aktivitas gempa.

Sandy Nur Eko, staff Operasional Stasiun Geofisika Manado, mengatakan, gempa terjadi karena subduksi ganda di Laut Maluku. Subduksi itu retakan di lempeng pasifik yang menekan lempeng Filipina, kemudian kembali menekan lempeng Halmahera. Gerakan relatif ke arah barat.

Lempeng laut Sulawesi,  katanya, relatif menekan ke arah yang menyebabkan busur Sangihe otomatis menekan ke timur dan tenggara. “Jadi, laut Maluku ditekan dari dua arah, lempeng Halmahera ke arah barat dan busur Sangihe ke timur. Kebetulan sudah lama dipendam. Begitu lepas jadi berkekuatan 7,3 SR,” katanya, Kamis (27/11/14).

Di Indonesia, Sulut termasuk daerah rawan gempa dengan kondisi tektonik paling komplek. Ini bisa dilihat dari aktivitas gempa terjadi hingga 700-800 kali setahun. “Tiap detik selalu bergerak dengan kecepatan enam cm per tahun, di laut Halmahera dan dua sampai tiga cm di busur Sangihe.”

Namun, sejak gempa 7,3 SR, pada Sabtu terjadi 190 kali gempa, dengan pusat sama. “Biasa, aktivitas gempa satu kali sebulan. Dalam dua minggu belakangan bisa merasakan enam sampai tujuh kali gempa.”

Secara statistik setelah gempa berkekuatan 7,3 SR, misal, potensi gempa dengan kekuatan serupa atau lebih membutuhkan waktu lama. Hingga, potensi tsunami dalam waktu dekat kecil kemungkinan.

Gempa susulan sebagai fenomena alamiah. Sejak gempa berkekuatan 7,3 SR lempengan pada posisi tidak seimbang. Upaya mencari keseimbangan dengan melepas gempa-gempa susulan, termasuk fenomena gempa berkekuatan 6,8 SR baru-baru ini. Dia menduga, hingga beberapa hari kedepan masih terjadi gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil.

Sandy menyarankan, sejumlah lokasi yang dekat titik gempa tidak perlu menunggu informasi dari BMKG, karena kemampuan teknologi hanya mencapai taraf tertentu. Saat gempa, BMKG langsung menganalisa memerlukan waktu tiga sampai empat menit, setelah itu ada warning yang sering terhambat karena tidak semua orang bisa mengakses.

“Jadi perlu kearifan lokal daerah yang dekat dengan titik gempa. Misal, yang baru-baru ini Bitung dan Kema paling dekat dengan laut Maluku. Di Kema, tsunami hanya butuh waktu 12 menit dari saat gempa.”

“Ketika merasakan gempa yang membuat orang tidak bisa berdiri, tidak usah tunggu warning dari BMKG, langsung cari lokasi aman,” kata Sandy.

Sejarah gempa-tsunami Malut dan Sulut
Menurut catatan Dr. Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, sejarah menunjukkan, kawasan Maluku Utara-Sulut sudah beberapa kali terjadi gempa bumi merusak.

Di Sulut, gempa bumi Sangir, 1 April 1936, paling dahsyat di zona ini. Guncangan mencapai VIII-IX MMI menyebabkan 127 rumah rusak. Gempa Siau pada 27 Februari 1974 memicu longsoran dan kerusakan rumah di berbagai tempat.

“Terakhir gempa Sangihe-Talaud 22 Oktober 1983 yang merusak beberapa rumah,” tulisnya di situs resmi BMKG.

Zona sumber gempa Maluku Utara-Sangihe juga memiliki beberapa catatan sejarah tsunami merusak. Menurut Daryono, tsunami merusak di Malut dan sekitar sempat terjadi beberapa kali. Pertama, tsunami Banggai-Sangihe, 1858 menyebabkan pantai timur Sulawesi, Banggai, dan Sangihe tsunami.

Kedua, tsunami Banggai dan Ternate 1859, mengakibatkan banyak rumah di pesisir pantai disapu tsunami. Ketiga, tsunami Kema-Minahasa 1859, dilaporkan memicu gelombang tsunami hingga atap rumah.

Keempat, tsunami Gorontalo 1871, juga menerjang sepanjang pesisir Pantai Gorontalo. Kelima, tsunami dahsyat Tahuna 1889, menerjang pesisir pantai hingga kenaikan air laut sekitar 1,5 meter.

Keenam, tsunami Kepulauan Talaud 1907, menerjang kawasan pantai hingga ketinggian mencapai empat meter. Ketujuh, tsunami Pulau Salebabu 1936, dilaporkan menerjang pantai dengan ketinggian tiga meter.

“Gambaran kerangka tektonik, kegempaan, dan catatan sejarah tsunami cukup untuk menyimpulkan Malut dan sekitar memang merupakan zona rawan gempabumi dan tsunami.”


Dalam Dua Pekan, Ratusan Kali Gempa Guncang Sulut was first posted on December 5, 2014 at 10:51 pm.

Opini: Orang Arso, Pepera 1969 dan Perkebunan Sawit

$
0
0
Investasi sawit yang masuk ke Keerom, baik dalam wujud perusahaan negara maupun swasta, makin menjauhkan Orang Arso dari lahan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi

Derita warga adat Arso, berlanjut hingga kini. Investasi sawit yang masuk ke Keerom, baik dalam wujud perusahaan negara maupun swasta, makin menjauhkan Orang Arso dari lahan adat mereka. Foto: Sapariah Saturi

“Penciptaan dunia terjadi dua kali. Dunia pertama adalah dunia yang penuh kedamaian dan kesejahteraan. Manusia sebagai ciptaan dan Kwembo-sang Pencipta, hidup bersama dalam artian manusia dapat melihat, menyentuh dan berbicara dengan Kwembo. Namun, dunia dan kehidupan yang penuh kedamaian ini berubah karena ulah manusia. Mereka lantas dikutuk oleh Kwembo dengan mengirim air bah. Akibatnya,  hubungan manusia dan Kwembo terputus, tanah itu dikutuk.”

Dalam mitologi orang Arso, Kwembo lalu mengutus Yonggwai sebagai mesianis yang menata kembali kehidupan dunia yang telah rusak, maka terjadilah penciptaan kedua. Manusia yang tersisa setelah bencana air bah, lantas diperintahkan Tuhan membuat kehidupan. Manusia bagian dari Kwembo. Untuk itu, manusia membutuhkan bahan-bahan, mereka butuh air, tanah dan lain-lain. Hingga alam sebenarnya bagian dari tubuh mereka. Jadi jika kita potong pohon, itu seperti memotong tubuh sendiri,”kata Ferdinand Tuamis, pemuda adat Arso.

Dalam mitologi mereka, manusia Arso tidak datang dan pernah ke tempat lain di luar wilayah adat Suku Daiget. Artinya,  Orang arso diciptakan dan ditempatkan oleh Kwembo di wilayah hukum adat Daiget sejak awal penciptaan hingga sekarang. Suku Daiget belakangan lebih dikenal dengan sebutan Suku Arso.

Orang-orang Arso saat ini, termasuk ketua Suku Daiget –Bapak Servo  Tuamis adalah keturunan orang-orang terpilih yang selamat dari bencana bah dan berhasil membangun kehidupan turun temurun.

Namun, kehidupan aman tenteram itu berubah setelah penentuan pendapat rakyat Papua pada 1969, setidaknya itu yang diingat oleh Ferdinand Tuamis–generasi ketujuh marga Tuamis, salah satu warga Keerom yang berhasil meraih gelar sarjana.

Penentuan pendapat rakyat Papua disingkat Pepera merupakan penentuan nasib sendiri rakyat Papua untuk bergabung dalam Indonesia atau tidak. Saat itu, suara sekitar 800 ribu penduduk Papua hanya diwakili 1.025 orang yang duduk di Dewan Rakyat Pepera. Mereka bulat menyatakan bagian dari NKRI. Keputusan ini digugat tokoh-tokoh dam masyarakat Papua. Mereka menuduh Pepera dengan cara curang dan di bawah tekanan militer. Situasi ini melatari lahirnya gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).  Human Right Watch (2007) menyebutkan  sejak 1969, ketika  menjadi bagian Indonesia, hingga Oktober 1998, lima bulan setelah mantan Presiden  Soeharto, jatuh, status Papua adalah Daerah Operasi Militer (DOM).

“Setelah Pepera orang-orang Arso ketakutan  dan lari ke hutan. Ada yang mati ditembak. Mereka tinggal di hutan lama sekali. Ada yang sampai dua puluhan tahun. Ada yang lari ke Papua Nugini. Sebagian baru kembali pada 2003,  saat repatriasi antara Indonesia dengan Papua Nugini.”

Di dalam hutan, mereka tak berani beraktivitas seperti di Kampung Arso. “Kami tak berani menyalakan api karena takut tentara Indonesia tahu.  Kami lari ke hutan pasti mereka tuduh OPM. Jika kami tinggal di desa pasti mereka masih tuduh kami mata-mata OPM. Begitupun saat berhadapan dengan OPM, mereka tuduh kami mata-mata TNI.  Demikianpun ketika kami berupaya menyebrang ke wilayah negara tetangga harus berhadapan dengan tentara Indonesia dan tentara Papua Nugini di perbatasan.”

“Kami serba salah, mundur kena maju kena,” katanya.

Selama di hutan, mereka tak bisa melakukan ritual-ritual adat di lokasi-lokasi keramat  hampir dua puluh tahun. Tak hanya ritual adat yang ditinggalkan, banyak orang tua yang  mengetahui sejarah wilayah Keerom, meninggal saat mengungsi di hutan.

Paska Pepera 1969 ini babak penting bagi masyarakat adat Arso, saat mereka tak melakukan ritual adat di tempat-tempat keramat hingga bertahun-tahun kemudian. Ini seperti terlepas dari ikatan,  dengan tanah, ikatan dengan ibu, ikatan dengan Ma.

“Ma, punya tiga makna bagi masyarakat adat Arso Kabupaten Keerom Papua, bisa berarti tanah, susu ibu, dan bermakna ibu,” kata Ferdinand Tuamis. Saat ikatan dengan tanah melemah, maka ikatan sebagai masyarakat adat juga melemah. Apalagi, banyak orang-orang tua yang meninggal saat lama hidup di hutan.

Menurut dia, situasi ini tak hanya terjadi di Keerom juga hampir seluruh Papua kala itu, khusus wilayah perbatasan.

“Kepala suku kami, Pak Servo umur sekitar 62 tahun, namun orang-orang berumur di atas dia, sudah banyak yang meninggal.  Orang-orang yang lahir tahun 1960-an saja yang masih banyak,” ucap Ferdinand.

Saat belum semua orang Arso kembali ke kampung setelah mengungsi bertahun-tahun dalam hutan, pada 1982, mereka kedatangan tamu, PT Perkebunan Nusantara II.  “Sehari sebelumnya, saya disuruh tanda tangan karena besok doser[1] akan datang. Mereka bilang Sagu dan sawit bisa hidup berdampingan karena sama-sama punya duri,”, ujar Pak Servo di depan Komisoner Inkuiri Adat, 26 November 2014 di kantor Kementerian Hukum dan HAM Jayapura.  ”Hanya sebagian yang tanda tangan, sisanya masih banyak lari di hutan. Kami ditodong pakai senjata oleh tentara agar mau tanda tangan.”

Akhirnya, kala itu sekitar 500 hektar lahan dilepaskan untuk PTPN II. Perusahaan perkebunan milik negara ini mulai menebas hutan, meratakan lahan dan membuat pembibitan tanaman sawit. Banyak orang Arso bekerja di pembibitan, mereka mendapat bayaran Rp500–Rp2.000 perpolibag bibit sawit.

Namun ketenangan di sekitar kebun sawit ini tak lama. Tiga tahun kemudian, pada 1985, masyarakat Arso menemukan fakta ada surat pernyataan pelepasan lahan yang diberikan pemerintah kepada PTPN II dan luas mencapai 50.000 hektar. Sejak itu, masyarakat  mulai protes baik kepada instansi pemerintah dan perusahaan.

 

Setelah Pepera, yang membuat Orang Arso menjauh dari wilayah hidup mereka, muncul transmigrasi dan investasi sawit yang makin menghimpit dan memperpanjang penderitaan mereka. Foto: Sapariah Saturi

Setelah Pepera, yang membuat Orang Arso menjauh dari wilayah hidup mereka, muncul transmigrasi dan investasi sawit yang makin menghimpit dan memperpanjang penderitaan mereka. Foto: Sapariah Saturi

 

Meski berkali-kali protes, orang-orang Arso tak bisa berbuat banyak. Wilayah perbatasan Papua selalu menjadi wilayah yang khusus, wilayah operasi militer perbatasan negara, lengkap dengan penempatan pos-pos tentara dengan jarak tertentu. Wilayah ini juga menjadi pelarian anggota OPM. Lengkap sudah, keberadaan PTPN II, OPM dan  hutan perbatasan negara tetangga menjadi alasan cukup bagi tentara Indonesia menjadikan wilayah Keerom salah satu prioritas pengamanan.

Masalahnya,  pengamanan menurut negara, bukan berarti rasa aman bagi warga Keerom.

Yang pasti, yang  merasa aman adalah PTPN II dan perkebunan sawit skala besar lain di Keerom yang tumbuh pesat. Pada 2012, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Papua, Melkias Monim mengumumkan kebun sawit terluas di Papua berada di Keerom. Total 38.000 hektar, masing masing dimiliki 13.000 hektar oleh PTPN II,  23.000 hektar PT Tandan Sawita Papua itu grup PT Rajawali Grup, sisanya milik PT Palai Abadi.

Meski Rajawali Group paling luas kebun sawitnya, namun sang pionir tetap PTPN II yang mulai membuka lahan sawit sejak 1982. Perusahaan dan pemerintah juga memprakarsai transmigran dari Jawa melalui program transmigrasi perkebunan inti rakyat (PIR) pada 1989. Transmigrasi PIR menyedikana buruh murah bagi PTPN II.

Saat itu usia Ferdinand Tuamis dua belas tahun. “Tiap keluarga mendapat dua hektar lahan sawit, rumah kecil, pekarangan juga lahan usaha.” Kala itu, umur pohon sawit mencapai 6-7 tahun. Pada umur 4–5 tahun sebenarnya sawit sudah berbuah. “Buah muda namanya, dia masih pendek dan buah bisa dipetik langsung.”

Celakanya, para transmigran tak bisa memetik tandan sawit karena pabrik minyak sawit mentah PTPN II baru dibangun dan beroperasi 1992. Sawit menjadi tak terawat hingga batang menjulang  tinggi mencapai 10 meteran. Selama menunggu sawit bisa dipanen, mereka tak punya penghasilan, selain menanam di lahan usaha. Lahan yang disediakan perusahaan untuk menanam jenis hortikultura, macam cabai , tomat, sayuran dan lain-lain.

Tak hanya transmigran yang masuk program PIR. Perusahaan ternyata memasukkan masyarakat adat Arso juga menjadi bagian program PIR. Mereka juga mendapatkan lahan bersertifikat. “Kami punya tiga sertifikat, sertifikat lahan sawit, perumahan dan pekarangan sertifikat lahan usaha.”

Bayangkan. Orang Arso,  ”tuan rumah” wilayah Keerom harus menyerahkan lahan kepada PTPN II. Lantas tanah ini melalui program PIR sawit diberikan perusahaan kepada orang-orang Arso seluas dua hektar, beserta rumah, pekarangan dan lahan usaha- total tak sampai tiga hektar. Mereka harus merawat kebun sawit itu tanpa bayaran. Jika panen menjual kepada PTPN II sebagai penguasa satu-satunya pabrik sawit di lokasi itu.

“Seperti mas Joko  dan mas Susilo dari Jawa yang dapat jatah rumah.  Saya juga dapat jatah rumah , mereka bayar kredit, saya juga harus bayar kredit atas utang yang dibuat oleh perusahaan,”kata Bapa Servo.

Tak hanya itu, mereka juga harus membayar cicilan kepada PTPN II, baik transmigran maupun orang Arso. Sebab mereka tinggal di lahan sawit yang telah disiapkan PTPN II, tak perlu membersihkan lahan dan menanam. Itu semua oleh perusahaan dihitung sebagai utang. Utang ini bervariasi sesuai umur tanaman sawit. Pembayaran baik perkelompok–tiap afdeling dan perkeluarga.

“Tiap afdeling terdiri dari 20 keluarga, biasa berbeda-beda marga. Kami harus membayar Rp100 juta. Baru selesai dibayar enam sampai tujuh tahun kemudian,” ujar Ferdinand. Dia mencermati model afdeling dan membuat perpecahan antar marga, yang tak terjadi sebelumnya. Sebab marga A bisa memiliki lahan sawit di wilayah milik warga B, pun sebaliknya yang memicu perseteruan antarmarga.

Pepera 1969 membuat orang Arso meninggalkan kampung, hingga membentangkan jarak masyarakat adat dengan tempat-tempat keramat mereka di kampung. Meskipun kini mereka kembali ke Arso, namun tak serta merta mereka bisa memulihkan hubungan mereka dengan Penciptanya, dengam Ma, dengan tempat-tempat keramat. Kehadiran transmigrasi PIR dan PTPN II  justru menghilangkan tempat-tempat keramat itu.

Dulu, masyarakat Arso memiliki tempat-tempat sakral, tempat melaksanakan ritual adat Suku Diaget. Gunung Sanggerya yang sekarang dikenal dengan nama Arso 1 merupakan tempat pemujaan kepada Yongwai  atau leluhur yang tertinggi.  Kini, tempat itu berganti nama menjadi Arso 1, perkampungan transmigran. Kampung Tua atau Yakrabu, tempat keramat lain yang diyakini sebagai tempat peristirahatan atau persinggahan para leluhur yang melakukan perjalanan. Lambat laun berubah nama, sekarang  lebih dikenal sebagai PIR 1, atau singkatan PIR 1. “Gunung Sanggerya  masih ada puncak, tapi hutan-hutan di kaki gunung sudah terbongkar,” kata Bapa Servo.

Meskipun telah berjuang puluhan tahun menuntut hutan adat yang dirampas perusahaan sawit, orang Arso baru mengetahui jika PTPN II ternyata tak memiliki hak guna usaha (HGU) perkebunan sebagai syarat membuka kebun sawit. Perusahaan baru memiliki izin HGU setelah 16 tahun alih fungsi hutan adat menjadi kebun sawit. Fakta ini baru terungkap saat DKU Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum adat di wilayah hutan, yang digelar di Jayapura, 26–28 November 2014.  Atau  setelah 32 tahun PTPN II beroperasi  di Keerom.

 

 

*Siti Maimunah, Penulis adalah Fellow Researcher Sajogyo Institute dan anggota Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT).  Artikel ini merupakan opini penulis.



[1] Buldoser PTPN II untuk meratakan tanah


Opini: Orang Arso, Pepera 1969 dan Perkebunan Sawit was first posted on December 6, 2014 at 2:54 am.

Investor Yakinkan Reklamasi Benoa Tak Rusak Lingkungan. Benarkah?

$
0
0
Aksi yang dikoordinatori ForBALI pada  Jumat (28/11/14). Ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan. Foto: Luh De Suryani

Aksi yang dikoordinatori ForBALI pada Jumat (28/11/14). Ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan. Foto: Luh De Suryani

Pada Senin (8/12/14) ini ada seminar bertajuk “Pro Kontra Revitalisasi Teluk Benoa,” di Denpasar, Bali. Namun, hanya judul bahas pro kontra,  sedang  pembicara, semua pendukung reklamasi. Tak ada perwakilan yang kontra, seperti, dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI). Kursi-kursi berpita warna keemasan di ballroom Hotel Inna Jl Veteran, penuh.

Investor dan ahli pendukung reklamasi hampir 700 hektar hadir. Investor dari PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) berbicara guna meyakinkan reklamasi menguntungkan Bali dan alam sekitar.

Heru Budi Wasesa, Direktur TWBI dengan nada gusar mengumbar pernyataan. “Secara fisik kami tak merugikan, saya komitmen punya janji ke masyarakat. Jika diizinkan dan melakukan perusakan lingkungan, marjinalkan warga, saya orang pertama kali menggantung TWBI dan gantung diri di Pulau Pudut,” katanya.

Dia membantah sejumlah tuduhan. “Ada tuduhan warga tak boleh masuk, jadi kawasan eksklusif. Ndak mungkin, kami bangun kanal biar nelayan masuk 24 jam. Tidak mungkin kami eksklusif.” Lalu, penolakan warga dengan alasan persaingan usaha, juga tak benar. TWBI, tak akan membuat bisnis watersport seperti yang ada di Tanjung Benoa, tetangga Teluk Benoa.

Dia juga kesal sinisme pada sang bos. “Emang kenapa pak Tommy Winata, apa salahnya? Apa yang sudah kami lakukan di Bali? Kami punya hotel sudah balik modal. Kalau tiap keuntungan tak boleh dibawa ke Jakarta harus diaplikasikan ke warga. Saat bom Bali kami membangun Discovery Mall.”

Marvin Lieano, komisaris TWBI mempresentasikan rencana pembangunan di Teluk Benoa memperlihatkan belasan model yang diklaim setara bintang lima dan enam, antara lain, pusat perdagangan produk Bali dan nasional ke seluruh dunia, pusat konvensi dan selebrasi dunia. “Kalau memakan usaha lain, apa yang dimakan? Konsep waterfront yang kita jual, yang kita jual bukan pantai tapi air, mangrove,” katanya.

Sumber: presentasi perusahaan

Sumber: presentasi perusahaan

Dia  menambahkan, akan dibangun sekolah, universitas dan rumah sakit bertaraf internasional. “Saat APEC semua bawa tim medis, orang internasional tak percaya dengan kualitas kita.” Dia juga menyebut kawasan mewah di Teluk Benoa berbeda dengan kebanyakan resor mewah tetapi di belakang kumuh.

Menurut Marvin, tak mungkin buang-buang uang triliunan dalam reklamasi ini. “Kita tak buang Rp30 triliun ke laut nanti semua digantung Tommy Winata.” Proyek ini, untuk 50 tahun ke depan. Pajak daerah bisa didapat Bali disebut-sebut besar seperti PPN dari Rp30 triliun sekitar Rp3 triliun, pajak hotel dan restoran, dan lain-lain.

Di awal seminar, tiga akademisi mempresentasikan dan meyakini revitalisasi berbasis reklamasi menguntungkan dan tidak merusak lingkungan. Dimulai dari Prof. Dietriech Geoffery Bengen, bidang pengelolaan pesisir dan guru besar di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menjadi tim ahli TWBI. Presentasi sama dengan penjelasan-penjelasan tentang perlindungan bakau dan biota laut di teluk.

Di sekitar Benoa ada 1.373 hektar kawasan mangrove dengan dominan Sonneratia alba atau prapat yang kondisi harus mendapat air laut. Eustaria kaya karena dapat air laut dan darat. Biota juga kaya ada benthos, plankton, tumbuhan laut.

Abrasi dan erosi Pudut di dalam area teluk makin keras. Keluar masuk perahu nelayan makin sulit karena pendangkalan yang makin besar. “Air laut makin susah ke mangrove, perlu flushing atau limpasan. Salinitasnya makin jauh ke mangrove karena makin dangkal.”

Revitalisasi dengan membuat pulau penyangga dia klaim sebagai mitigasi kalau ada arus kencang atau evakuasi. “Paling optimal 700 hektar, harus ada ruang terbuka hijau 40%,” kata Bengen. Kalau reklamasi bisa jalan, banyak kenikmatan seperti nelayan jadi guide wisata mancing.

Prof. Herman Wahyudi dari bidang geoteknik Institut Teknologi Surabaya menuding masyarakat baru mendengar revitalisasi berbasis reklamasi sudah alergi. “Dulu memang sebelum Perpres lahir reklamasi keliru, asal nimbun. Pasi lari ke mana-mana rusak lingkungan.”

Dia mengaku sudah memperhitungkan teknis dan dampak timbunan. Untuk itu reklamasi disusun berbentuk pulau-pulau kecil. Herman mengklaim tak ada potensi banjir, erosi, dan sedimentasi.

“Direncanakan dengan timbunan pulau dan bangunan yang cukup tinggi beserta fasilitas penunjangnya sebagai area tempat pelarian masyarakat menghindar dari gelombang tsunami. Karena memang masuk zona rentan tsuami.”

Stabilitas pada keruntuhan juga disebut sudah diperhitungkan. Kalaupun ada peristiwa longsor akibat material timbunan,tidak mengenai tiang eksisting jalan tol dan area hutan bakau.

Lalu ada Dedi Tjahjadi Abdullah bidang sumber daya air ITB dari teknik sipil. Limpasan air dari sejumlah daerah aliran sungai di teluk diklaim tak mungkin membuat rob atau banjir kawasan sekitar. Kenaikan air juga menurutnya sangat rendah sekitar 14 sentimeter menurut hitung-hitungannya. “Kalau ada pulau-pulau (hasil reklamasi) pasti ada yang bersihkan sedimennya.”

Kawasan ini,  masuk area rentan tsunami tetapi  akan terlimpasi karena tinggi gelombang sekitar empat meter sementara timbunan reklamasi lebih tinggi dari itu.

Balai Pemberdayaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Ikram M. Sangaji mengaku murid Bengen juga menjadi pembicara dan menyatakan belum ada satu kesepahaman konservasi kawasan.

“Sumberdaya harus punya nilai ekonomi. Amed dan Tulamben tak ada penetapan status (zonasi) tapi banyak perputaran uang. Lingkungan harus dikelola agar memberi nilai tambah.”

Dia mendorong tiap perencanaan wilayah mengacu ekonomi berkelanjutan tanpa abaikan ekologis dan sosial. Setelah reklamasi, dia berharap penghasilan warga lebih besar.

Sumber: presentasi perusahaan

Sumber: presentasi perusahaan

Dampak buruk reklamasi

Berbeda dengan ungkapan  I Ketut Sarjana Putra, Vice President Conservation International (CI). Lembaga ini membuat studi awal mengenai dampak reklamasi di Teluk Benoa. Riset ini dirilis tahun lalu menarik perhatian banyak pihak karena membuat modelling. “Kami ingin melanjutkan study ini karena belum sempurna untuk mengetahui dampak proyek dan bagaimana harus mengantisipasi,” katanya yang bekerja di bidang lingkungan lebih 30 tahun ini.

Studi ini, katanya, sebagai bagian mewujudkan pembangunan Bali lebih sustainable dan komprehensif. “Studi ini pengetahuan yang harus kita bagi. Kita tak ingin dampak buruk reklamasi Serangan tak terjadi dan tidak tahu solusi.”

Jika terjadi hujan, ada DAS yang air mengalir ke teluk. Sekitar 7,9 juta kubik meter mengalir ke sini, hingga risiko rob sangat besar. Air diperkirakan naik empat meter di dalam teluk jika reklamasi 80%. Modelling yang dibuat CI Indonesia ketika itu reklamasi 80% teluk karena dalam surat izin pemanfaatan yang dikeluarkan Gubernur Bali untuk TWBI, tertulis lebih 800 heltar.

Dia menyebut, ada dua spot diving hilang di Sanur karena reklamasi Serangan. “Padahal dulu orang tak perlu pakai speedboat untuk ke spot diving, hingga mahasiswa mudah bisa akses tanpa biaya mahal.
Sebaran terumbu karang di pesisir selatan sampai timur termasuk Sanur, Nusa Dua, Benoa, sampai Teluk Benoa harus dilindungi.

“Sebagai pulau kecil harus hati-hati mengelola Bali. Harus membangun kawasan konservasi perairan.”  Menurut dia, banyak spesies belum ditemukan, misal Euphyllia baliensis yang baru-baru ditemukan.

Dari sisi ekologi, teluk itu sebuah sistem tak stabil dan selalu mencari bentuk atau titik seimbang.

Aksi berlanjut

Warga penolak reklamasi juga terus aksi. Terakhir, Jumat (28/11/14), dikoordinir ForBALI, ribuan massa longmarch ke kantor DPRD Bali minta parlemen membuat pansus tentang rencana reklamasi karena ditenggarai ada sejuamlah penyimpangan. Mulai proses pemberian izin dan rekomendasi sampai perpres yang merevisi kawasan konservasi di Teluk Benoa oleh mantan Presiden SBY. “Penolak reklamasi seperti yatim piatu karena gubernur dan DPRD tak peduli,” kata I Wayan Suardana, Koordinator ForBALI.

Aksi lanjutan penolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka sudah melihat contoh gagal reklamasi di Pulau Serangan, tetangga Teluk Benoa. Namun, pro reklamasi bergerak. Berbagai spanduk sampai seminar diadakan. Mereka mempopulerkan istilah revitalisasi Teluk Benoa atau revitalisasi berbasis reklamasi, begitu salah satu ahli dari mereka menyebutnya. Foto: Luh De Suryani

Aksi lanjutan penolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka sudah melihat contoh gagal reklamasi di Pulau Serangan, tetangga Teluk Benoa. Namun, pro reklamasi bergerak. Berbagai spanduk sampai seminar diadakan. Mereka mempopulerkan istilah revitalisasi Teluk Benoa atau revitalisasi berbasis reklamasi, begitu salah satu ahli dari mereka menyebutnya. Foto: Luh De Suryani


Investor Yakinkan Reklamasi Benoa Tak Rusak Lingkungan. Benarkah? was first posted on December 8, 2014 at 11:22 pm.

Masuk Kampung, Harimau Terkam Lembu, Warga Langkat Resah

$
0
0
Menerawang. Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan ini tampak melamun. Mungkin ia memikirkan habitat mereka yang rusak hingga terancam. Konflik dengan manusiapun kerab terjadi, seperti di Desa Timbang Lawan dan Sei Landak, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut. Harimau masuk kampung dan memangsa ternak-ternak warga. Warga jadi khawatir. Desa mereka berada di dekat Taman Nasional Gunung Leuser, yang sudah merana karena beragam aktivitas merusak alam. Foto: Sapariah Saturi

Harimau Sumatera di Taman Margasatwa Ragunan ini tampak melamun. Mungkin ia memikirkan habitat mereka yang rusak hingga terancam. Konflik dengan manusiapun kerab terjadi, seperti di Desa Timbang Lawan dan Sei Landak, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumut. Harimau masuk kampung dan memangsa ternak-ternak warga. Warga jadi khawatir. Desa mereka berada di dekat Taman Nasional Gunung Leuser, yang sudah merana karena beragam aktivitas merusak alam. Foto: Sapariah Saturi

Warga Desa Timbang Lawan dan Sei Landak, Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, resah. Pasalnya, beberapa lembu mereka luka-luka dan tewas diterkam harimau. Kedua desa memang berada di dekat Taman Nasional Gunung Leuser.

Harimau masuk desa membawa hasil buruan inipun terlihat dari rekaman camera track TNGL, Minggu malam (7/12/14). Namun, yang terekam harimau makan rusa, sedang di kampung, lima lembu menjadi korban.

Jon Purba, petugas Resort TNGL Timbang Lawang, mengatakan, harimau diduga betina, dan terekam tengah menyeret hasil buruan kemudian menyantap hingga habis.

Sedang warga Desa Sei Landak dan Desa Timbang Lawan, warga heboh karena lembu mati diduga diterkam harimau.

Unang Holid, warga Timbang Lawan mendengar kegaduhan di kandang lembu, berjarak 20 meter dari rumah yang berada di kebun karet dan durian. Ketika dicek, satu lembu tergeletak di tanah, dengan luka cakar sekitar perut, paha, dan leher.

Ada jejak-jejak kaki dan dia sempat mendengar auman. “Saya mendengar seperti auman harimau sekitar pukul 2.00. Pasti harimau itu, karena ada cakaran di lembu. Jadi takut kami setelah peristiwa itu,” katanya, Senin (8/12/14).

 

Senada disampaikan Hajar, warga Timbang Lawan. Dia bernasib baik, dua lembu masih selamat, meski paha, punggung, dan perut sebelah kiri ada bekas cakaran.  Ada juga gigitan menyerupai taring.

Hari Munthe, warga Desa Sei Landak, tak beruntung. Lembu peliharaan dia mati di kebun. Di hutan yang berdekatan dengan TNGL itu, biasa lembu menyantap rumput. “Perut robek dan sebagian hati hilang. Daging paha dan perut sudah tercabik-cabik. Dari jejak seperti diterkam harimau.”

Warga khawatir hingga membuat perangkat desa meminta bantuan petugas TNGL. Dari analisis dan kesaksian pemilik hewan, menurut Mislam, Kepala Resort TNGL, kuat dugaan diserang harimau. Ini dikuatkan tertangkap kamera mereka kala harimau tengah berburu di TNGL.

Namun, dia belum berani mengambil kesimpulan. “Itu berbahaya jika harimau masuk perkampungan. Kami sampaikan ke Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut.”  Mereka juga memasang kamera lacak di kampung.

Parbel Turnip, kepala seksi wilayah V TNGL, mengimbau masyarakat tetap tenang, dan waspada.  “Kami akan pantau ini. Masyarakat jangan panik, dan harus hati-hati.”

Sedang Herbert Aritonang, kepala seksi Wilayah II Stabat BBKSDA Sumut, menyatakan, dari fakta dan data terbaru, dipastikan yang menyerang harimau. Jika harimau kembali, mereka akan mengevakuasi, dan meminta masyarakat tidak membunuhnya. BBKSDA dan TNGL akan trus memantau sekitar lokasi.

 

 


Masuk Kampung, Harimau Terkam Lembu, Warga Langkat Resah was first posted on December 9, 2014 at 5:53 am.

Gugatan UU P3H: Masyarakat Ungkapkan Ketidakjelasan Tata Batas Hutan

$
0
0
Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Keempat wargapun ditangkap dan dijerat UU P3H serta vonis maksimal 3,5 tahun dengan denda miliaran.Anehnya, dari pemerintah selalu membantah ada masyarakat terjerat UU P3H yang katanya ada buat menjerat kejahatan korporasi.Foto: AMAN Bengkulu

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13).  Keempat wargapun ditangkap dan dijerat UU P3H serta vonis maksimal 3,5 tahun dengan denda miliaran.Anehnya, dari pemerintah selalu membantah ada masyarakat terjerat UU P3H yang katanya ada buat menjerat kejahatan korporasi.Foto: AMAN Bengkulu

“Dulu kami cukup pangan dan aman masuk hutan tanpa ketakutan. Sejak 2002 berubah. Kami biasa ambil pohon buat bangun rumah meminta bantuan perusahaan PT Sari Bumi Kusuma, tetapi menolak dan bilang pohon sudah ada pemilik, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Bakar,” kata Albertus Mardius,  masyarakat adat Ketumenggungan Siyai Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, kala memberikan kesaksian di Mahkamah Agung pada sidang lanjutan gugatan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), Rabu (3/12/14).

Ketumenggungan Siyai pernah bermigrasi sembilan kali. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga menetap di satu lokasi tahun 1980. Bersamaan itu, masuk Sari Bumi Kusuma berjarak tujuh km dari kampung mereka.

Tahun 1998, mereka pemetaan partisipatif bersama instansi terkait. Pemerintah, Dinas Kehutanan, dan beberapa LSM untuk mengetahui luas wilayah adat. Hasil pemetaan luas wilayah 14.259 hektar dengan 517 keluarga.

Mereka biasa meminta bantuan perusahaan untuk mengangkut kayu karena jarak jauh dan akses masuk hutan sulit. Perusahaan menolak, masyarakat marah. Mereka aksi penutupan jalan hingga enam warga ditahan selama 49 hari.“Ditangkap tanpa ada penjelasan apapun.”

Keadaan diperparah patroli meningkat di lokasi masyarakat biasa  bekerja. Tahun yang sama, mereka tidak boleh lagi masuk kawasan, berladang, mengambil hasil hutan, membawa rotan dan lain-lain.

“Termasuk tidak boleh menyadap karet sekitar dua km dari kampung. Patroli berlanjut sampai 2007, ketika ada enam warga berladang, dua orang ditangkap. Perkara hingga ke Mahkamah Agung. Kami dinyatakan bersalah karena berladang di taman nasional.”

Sebelumnya, kata Albertus, masyarakat, tidak mengetahui TN Bukit Baka-Bukit Bakar. Penunjukan hingga penetapan tidak pernah melibatkan mereka. Padahal, masyarakat mengelola kawasan itu puluhan tahun.

“Tidak jelas bukit mana yang dipakai untuk menyebut itu. Tahun 2007,  kami baru tahu, saat itu  ladang-ladang tidak boleh ditanami padi. Kami aksi, sangat sulit, setiap aksi hanya bertemu polhut. Upaya menyelesaikan gagal terus,” katanya.

Albertus mengatakan, masyarakat merada tidak aman lagi, ladang dan pondok dirusak. Warga juga diusir.

Tersingkir dari wilayah hidup juga dialami Masyarakat Adat Cek Bocek di Kecamatan Ropang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Datuk Sukanda, dari komunitas adat Cek Bocek menceritakan, mereka turun menurun hidup mengelola hutan. Namun, 1935,  Belanda mengusir mereka hingga pindah ke Desa Lawi. “Mereka menetap di sana tetapi kegiatan di hutan terus berjalan,” katanya.

Namun, pada 2011 masyarakat tidak boleh masuk hutan. Pemerintah melarang keras dengan alasan sudah menjadi hutan lindung.

“Pemerintah memutuskan hutan lindung diam-diam. Kami ragu beraktivitas, tidak sebebas dahulu. Kalau itu hutan lindung, mengapa ada perusahaan beroperasi?”

Pos jaga untuk memantau segala aktivitas di SM Dangku. Di dalam kawasan ini juga tinggal komunitas adat, dan belum lama ini beberapa orang ditangkap dan sudah vonis hukum. Warga tinggal dan berkebun sejak lama dituding merambah suaka margasatwa, sedang ada perusahaan bercokol di sana aman-aman saja. Foto: BKSDA Sumsel

UU P3H abai legal policy

Pakar Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan mengatakan, putusan MK 45 Tahun 2011 tegas menyatakan, penunjukan kawasan hutan tanpa melalui melalui proses  yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Begitu juga Putusan MK Nomor 35 tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. “Ini pengakuan dan implementasi konstitusi tentang hak-hak masyarakat hukum adat menjadi bagian tidak terpisahkan  dari arah perubahan dan pembaharuan hukum yang dilakukan,” katanya.

Pada Pasal 15 UU Kehutanan,  disebutkan penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap proses pengukuhan, bukan bentuk final dari rangkaian penetapan kawasan hutan.”

Ketentuan ini, katanya, harus memperhatikan kemungkinan ada hak-hak perseorangan maupun ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan. Kala terjadi, penataan dan pemetaan batas kawasan hutan harus dikeluarkan agar tidak merugikan masyarakat.

“Ketidaktaatan arah yang dirumuskan dalam politik hukum harus ditempuh baik karena kesengajaan maupun kelalaian, menyebabkan produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak ke arah ius constituendum yang diinginkan. Tidak memenuhi harapan mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi.”

Dia berpendapat, norma-norma dalam UU P3H mengabaikan legal policy yang sepatutnya dikenali dalam UUD 1945 dan putusan MK nomor 45 dan 35. “Khusus kawasan hutan yang ditunjuk dengan implikasi luas atas kepentingan hukum rakyat yang sah berkenaan  dengan kawasan hutan. Ini membawa akibat tidak dapat dipertahankan norma-norma baru itu.”

Dalam pembuatan UU, katanya,  seharusnya identifikasi terhadap seluruh regulasi yang saling berkaitan.

Advokat PilNet Andi Muttaqin mengatakan, para saksi bisa menjelaskan bagaimana konflik wilayah yang ditetapkan pemerintah dengan wilayah adat. “Hingga wilayah masyarakat adat hilang. Itu disertai kriminalisasi. Meski saksi-saksi ini mengatakan peristiwa penangkapan dan kriminalisasi terjadi jauh sebelum UU P3H disahkan, dengan P3H kejadian pasti terulang. Karena ancaman pidana P3H lebih kompleks daripada UU Kehutanan.”

Usai sidang Gunardo Agung, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pendapat ahli mempunyai semangat sudah benar. Hanya dia merasa, ahli belum membaca UU P3H secara utuh.

“Kalau sudah membaca utuh, tentu tak akan ngomong seperti itu. Defenisi kawasan hutan sudah terkoreksi. Bahwa kawasan hutan itu yang sudah ditetapkan. Kami juga lebih paham daripada dia,” katanya.

Begitu juga keterangan masyarakat adat. Menurut dia, mereka hanya mempunyai semangat tetapi tak paham substansi UU P3H.

“Justru kalau UU P3H tidak lahir, marak penebangan liar. Apa hutan mau dijadikan padang pasir? UU ini untuk menjerat kejahatan terorganisir. Pembalakan liar oleh korporasi. Masyarakat tak ada yang kita tangkap. Malah kita bina,” katanya. Dia menutup mata beberapa warga yang hidup di kawasan hutan sudah terjerat P3H.

Namun, dia mengakui selama ini belum ada perusahaan dijerat UU P3H. Dia menilai, perusahaan sudah ketakutan dengan UU P3H.


Gugatan UU P3H: Masyarakat Ungkapkan Ketidakjelasan Tata Batas Hutan was first posted on December 10, 2014 at 2:12 am.

Dari Hari HAM: Tuntutan Pemenuhan Hak Hidup, Pangan dan Lingkungan Sehat

$
0
0

Inilah aksi aparat yang mulai mendatangi ibu-ibu yang ada di tenda. Para ibu ini sudah hampir tujuh bulan hidup ditenda demi mencoba menghalang-halangi perusahaan (PT Semen Indonesia), membangun pabrik dan menambang karst. Mereka khawatir lingkungan rusak dan sumber air hilang, otomatis sumber kehidupan wargapun hilang. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Di Sinjai, Sulawesi Selatan, Bahtiar Sabang, seorang petani, kini masih mendekam dalam tahanan,  gara-gara menebang sebatang pohon yang ditanam dan di kebun sendiri, yang diklaim pemerintah masuk kawasan hutan. Di Banggai, Sulawesi Tengah, Eva Bande mendekam di penjara gara-gara berjuang bersama warga mempertahankan lahan pertanian mereka dari jarahan pemodal.

Sedang di Rembang, Jawa Tengah, sudah hampir tujuh bulan ini, ratusan ibu-ibu aksi dalam tenda demi protes mempertahankan lingkungan dan sumber air kehidupan mereka yang terancam jika perusahaan menambang di karst Pegunungan Kendeng.

Kasus-kasus itu hanya segelintir dari perjuangan warga mempertahankan hak-hak mereka di berbagai daerah. Hak asasi mereka untuk hidup, berusaha, bekerja dan mendapatkan lingkungan sehat belum dipenuhi negara. Bahkan kala mereka berusaha mempertahankan itu, kekerasan dari negara yang mereka peroleh, harus berhadapan dengan aparat.

Belum lagi jutaan masyarakat adat di Indonesia, yang tak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak. Sejauh ini, respon pemerintah baru sebatas kebijakan yang belum berjalan baik di lapangan. Hingga masyarakat adat di nusantara ini belum bisa hidup merdeka karena terusir dari wilayah hidup mereka sendiri. Wilayah-wilayah adat belum diakui. Kala mereka berusaha mempertahankan hak hidup, tak sedikit mendekam di penjara, luka-luka sampai tewas.

Sepuluh Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Sedunia. Bisa dibilang, Indonesia,  masih mendapatkan rapor merah dalam pemenuhan HAM bagi warga di sektor sumber daya alam dan agraria. Berbagai kalangan, di berbagai daerah memperingati Hari HAM ini. Mereka menuntut dan mendesak dan mengingatkan pemerintah akan pemenuhan hak-hak dasar warga ini.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, Solidaritas Anti Kekerasan (Sontak), aksi di Flyover Makassar. Koalisi ini gabungan berbagai elemen masyarakat, antara lain Walhi Sulsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBM) Sulsel, Kontras Sulawesi, Suara Perempuan (SP) Anging Mammiri, Sehati, Amara, Geramdan sejumlah lembaga kemahasiswaan.

Sejumlah aksi kekerasan dilakukan aparat terhadap petani di Kabupaten Takalar dan Sinjai adalah catatan buruk penegakan HAM di Sulsel. Hingga kini,  belum ada sanksi kepada kepolisian yang melakukan kekerasan.

“Mekanisme sanksi kepada aparat yang melakukan kekerasan sangat minim. Biasa hanya sanksi internal terkait kode etik,” kata David dari Kontras Sulawesi.

Dia mencontohkan, konflik petani dan PTPN XIV di Takalar. Saat itu kepolisian bersama TNI melakukan kekerasan fisik kepada petani yang menghalangi pengolahan lahan bersengketa dengan PTPN.

“Ada tiga warga ditangkap yaitu Daeng Ngamin, Mangun dan Mangun. Kedua Daeng Mangun masih ditahan. Laporan warga akan ketua DPRD Takalar justru tidak diproses.”

Kasus lain penangkapan Bahtiar Sabang, petani dari Desa Turungan Baji, Sinjai, hanya karena menebang sebatang pohon di kebun sendiri, yang diklaim milik hutan produksi terbatas pemerintah. Sedang status kawasan hutan masih penunjukan, belum penetapan.

Aksi mereka di tengah guyuran hujan. Mereka mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah, khusus Presiden Joko Widodo, antara lain menggunakan momentum Hari HAM ini untuk mempublikasikan kerja-kerja startegis dalam penuntasan berbagai kasus HAM.

Bahtiar menanggung nasib menjadi tahanan Polres Sinjai sejak 13 oktober 2014 hanya karena tuduhan menebang pohon di kebun sendiri, di mana kawasan itu menurut pemerintah daerah masuk kawasan hutan produksi. Foto: Wahyu Chandra

Aksi ini juga meminta Kapolri, Panglima TNI dan BIN mengevaluasi berbagai tindakan kekerasan aparat, baik kepada petani, jurnalis, buruh, dan mahasiswa.

“Kami meminta mereka menghentikan penggunaan kekerasan dalam menghadapi warga, dengan membuat terobosan baru yang mendorong profesionalisme dan akuntabilitas aparat.”

Selain menggusung isu sumber daya alam dan konflik petani, aksi ini juga menyoroti kasus penembakan masyarakat adat di Papua, kekerasan jurnalis dan mahasiswa kala aksi penolakan harga BBM naik. Pembebasan bersyarat buat Polycarpus, tak luput dari sorotan.

“Stop temba’-temba’ Pak Polisi,” teriak Amin,  aktivis Walhi.

Sedangkan aktivis Suara Perempuan menyuarakan keadilan bagi perempuan dan tuntutan penghapusan kebijakan tidak pro gender.

Aksi unjuk berjalan cukup unik, karena polisi yang berjaga jauh melebihi pengunjuk rasa. Belasan Polwan sempat berbaur dengan pengunjuk rasa dan mengajak bercanda. Pemandangan lain, keterlibatan Brimob dalam mengatur lalu lintas dan Provos mengawasi aksi.

Terpisah, Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, menyatakan, peringatan ini seharusnya menjadi momentum pemerintah memajukan isu-isu HAM. Upaya pemerintah mengundang investasi, seharusnya dibarengi kajian benar tentang dampak kepada lingkungan dan masyarakat sekitar.

“Ketika investasi masuk, berpotensi konflik ruang antarpemerintah dan investor dengan masyarakat. Investasi pasti membututuhkan lahan-lahan termasuk lahan warga.”

Investasi skala besar, katanya, juga berpotensi merusak lingkungan jika tak terkelola dengan baik. Sedang tak ada sanksi jelas bagi perusahaan yang merusak.

“Apalagi pemerintah terkesan mudah memberikan konsesi bagi industri ekstraktif yang rakus lahan dan abai masyarakat sekitar dan lingkungan.”

Asmar mengimbau aparat,  sebagai pengayom masyarakat seharusnya melihat resistensi masyarakat sebagai upaya membela hak. Sehingga aparat tidak dibenarkan refresif terhadap aksi-aksi warga terkait pengelolaan sumber daya alam atau peruntukan ruang.

“Seharusnya peran negara dikembalikan dalam fungsi pokok melindungi kepentingan masyarakat dan menegakkan hukum pelindungan lingkungan.”

Grasi Eva Bande sinyal positif

Menurut Kepala Biro Kelembagaan dan Infokom Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, Armansyah Dore, hingga kini HAM masyarakat adat belum ditegakkan. Meski hak ini termasuk dalam kesepakatan internasional dan Indonesia meratifikasi.

Namun, Armansyah menilai ada optimisme dalam pemerintahan Jokowi ini dengan rencana pembebasan Eva Bande, aktivis Banggai.

“Ini tidak saja penting bagi Eva Bande atau petani dan masyarakat adat lain, juga bagi aktivis-aktivis pembela HAM lain.”

Walhi juga menyambut baik komitmen Jokowi memberikan grasi kepada Eva Bande. “Kami mendorong, pemberian grasi juga kepada dua petani lain yakni Arief Bennu dan I Nyoman Swarna, yang dikriminalisasi,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.

Massa pengunjuk rasa tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan. Foto: Walhi Sulteng

Walhi berpandangan, grasi Presiden merupakan satu isyarat kepada aparat penegak hukum agar tidak mudah semena-mena merekayasa kasus, hingga mengakibatkan banyak pejuang lingkungan dan agraria dikiriminalisasi.

Momentum ini, katanya, bisa menjadi upaya politik memperkuat dasar hukum bahwa pejuang lingkungan hidup dilindungi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Menurut Abetnego, grasi kepada Eva Bande bukanlah justifikasi bagi pemerintah bahwa Eva Bande telah melakukan kejahatan. “Apa yang dilakukan Eva Bande bersama kawan-kawan petani sebuah jalan perjuangan mendapatkan keadilan atas hak-hak pengelolaan sumber-sumber agraria yang dirampas kekuatan modal dan difasilitasi pemerintah.”

Pemberian grasi ini, katanya,  mesti ditempatkan sebagai pembuktian bagi pemerintah mengoreksi sistem hukum yang memberikan legitimasi kepada negara mengkriminalisasi warga berjuang demi keadilan agraria dan lingkungan hidup.

Pada Hari HAM ini, Walhi mendesak negara merehabilitasi nama baik, harkat dan martabat Eva Bande, petani dan semua pejuang yang menjadi tahanan politik (tapol) agraria.

“Rehabiltasi menjadi hak bagi semua pejuang agraria dan lingkungan hidup atas tindakan negara menggunakan kewenangan untuk membukam perjuangan rakyat.”

Pelanggaran HAM Perhutani

Dari Yogjakarta, Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa mendesakJokowi menuntaskan pelanggaran HAM di kawasan hutan Perhutani.

Ronald Ferdaus, vocal point KPH Jawa mengatakan, selama ini terjadi dugaan pelanggaran HAM dalam penguasaan hutan Jawa oleh Perhutani dan karakteristik kerja Perhutani.

Berdasarkan catatan ARuPA dan Lembaga Bantuan Hukum Semarang, dalam kurun 1998-2011, Perhutani telah menganiaya, mencederai, dan menembak setidak-tidaknya 108 warga desa sekitar hutan yang dianggap atau diduga mencuri kayu atau merusak hutan.  Sebanyak 34 orang tewas tertembak atau dianiaya petugas keamanan hutan dan 74 lain luka-luka.

“Terdapat 64 kasus penganiayaan dan penembakan. Perhutani juga tak segan mengkriminalisasi warga yang dituduh mencuri kayu.”

Catatan organisasi HuMa  tahun 2013,  dari  72  konflik kehutanan  di  Indonesia,  41  terjadi  di  Jawa , notabene diurus Perum Perhutani.  Untuk itu, rekonfigurasi hutan Jawa perlu dalam melestarikan hutan guna memperbaiki keseimbangan ekologi Jawa. Serta perluasan ruang kelola rakyat dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat desa hutan.  “Perlu perubahan beberapa aspek penting yaitu paradigma, tata kuasa, tata guna, dan kebijakan.”

Mengenai rekonfiguasi, katanya, hal mendasar paling mendesak tata ulang persoalan tata kuasa lahan hutan Jawa. Sebab, dalam satu dekade terakhir banyak konflik lahan menimbulkan korban jiwa.  Untuk menuju realisasi rekonfigurasi ini, kolasi merekomendasikan langkah penting , pertama rekonstruksi kebijakan, mulai dari UU sampai peraturan pelaksana.

“Jika pemerintahan sekarang berkomitmen menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM di Perhutani, salah satu jalan dengan mencabut PP 72 Tahun 2010 tentang Perum Perhutani. Terlebih agenda ini  tercantum dalam quick win Jokowi–JK,” kata Ronald.

Zainal Arifin dari LBH Semarang mengatakan, sebenarnya antara masyarakat dengan Perhutani dalam pengelolaan hutan dan akses masyarakat bisa terlindungi dengan ada kesepakatan. Namun, kesepakatan itu dilanggar Perhutani, dan masyarakat tetap tidak punya kases masuk hutan.

Data LSM AruPa menyebutkan, ada 8,7 Juta penduduk miskin di desa Jawa. Dari 5.400 desa hutan, 60% desa miksin & tertinggal. Penguasaan lahan 1993 sekitar 0,3 hektar dan tahun 2012 sekitar 0,1 hektar.

Deforestari hutan terus terjadi di Jawa. Dari 2000-2009, tutupan hutan Jawa turun 61%. Dari 2,2 juta hektar menjadi 0,8 juta hektar. Sedangkan tegakan hutan, 1998-2007, kayu Jati menurun dari 36,2 juta menjadi 18,9 juta meter kubik dan diprediksi 2017 habis.

Kondisi ini akan berdampak pada bencana ekologis. Catatan BNPB, pada 2013, sebesar 82,4 % Jawa berisiko banjir, 20,8% longsor. Sedangkan 2012-2013, terdapat 1.368 bencana, merenggut 280 jiwa dan 256.892 terpaksa mengungsi.

Jokowi, Selasa, (9/12/14) di Gedung Agung, Yogyakarta dalam peringatan hari HAM ini menyampaikan, pemerintahan berkomitmen menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Indonesia secara berkeadilan.  Jokowi mengaku memegang teguh dalam rel konstitusi atau UUD 1945 yang jelas memberikan penghargaan terhadap HAM sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pelaksanaan hak asasi manusia tidak sekadar penegakan hukum juga mewujudkan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya,” kata Jokowi dalam sambutan.

 

Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang beragam. Sayangnya, kebijakan pemerintah malah menyuburkan impor. Lebih parah lagi, para petani, pekebun (produsen pangan kecil) malah banyak tersingkir dari wilayah kelola mereka karena desakan atas investasi skala besar. Foto: Sapariah Saturi

Tuntutan pemenuhan hak pangan

Sementara itu Aliansi untuk Desa Sejahtera pada Hari HAM ini mengingatkan, pemerintah mengenai pemenuhan hak pangan.

Dalam 10 tahun, pemerintah abai terhadap hak pangan rakyat, yang ditandai impor pangan meningkat, harga pangan sulit terjangkau masyarakat miskin, 5 juta lebih penghasil pangan berkurang.

Tuntutan aliansi ini, pemerintahan Jokowi wajib segera memenuhi hak atas pangan, hak dasar tiap manusia dan memenuhi janji dalam Nawa Cita.

Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera dalam rilis mengatakan, tidak semudah membalik telapak tangan memenuhi hak atas pangan di tengah  situasi serba krisis dan terbatas ini.

Dia mengatakan, negara mempunyai  peran penting karena memiliki otoritas dan kapasitas dalam mengkonsolidasikan sumberdaya ekonomi dan politik demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan.

“Negara wajib menghargai, melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat terutama para produsen skala kecil dan konsumen dalam negeri.”

Selama ini, katanya, pemerintah tidak serius menegakkan pemenuhan hak atas pangan, dengan pilihan kebijakan yang menyebabkan kondisi pangan terus memburuk. “Langkah awal Jokowi-JK menjadi penting  sebagai dasar membenahi kondisi darurat pangan ini,” katanya.

Dia mencontohkan, langkah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, ingin membenahi nasib petani garam, belum mendapatkan dukungan cukup bahkan keterbukaan dari kementerian lain. “Harusnya ini segera dibenahi, koordinasi antara kementerian terkait, karena impor garam merugikan rakyat kecil khusus petambak garam kecil.”

Hal sama terjadi pada pemenuhan daging sapi, niat ingin swasembada, tetapi diawali rencana menerbitkan izin impor 264 ribu sapi pada kuartal keempat 2014. “Sudah seharusnya dipikirkan sejak awal peta jalan kedaulatan pangan Indonesia.”

Ahcmad Surambo, dari Pokja Sawit  mengingatkan lagi pusat kedaulatan pangan adalah kesejahteraan produsen pangan skala kecil.  Menurut dia, pertarungan bukan hanya berapa banyak luas tanaman pangan yang dipertahankan atau dicetak, tetapi jenis tanaman apa yang didukung tumbuh, bagaimana benih dan berbagai asupan lainnya disediakan. “Apakah petani harus tergantung lagi, atau ada langkah lain yang menjamin kebebasan petani menghasilkan pangan berkelanjutan?”

Situasi saat ini, katanya, dengan penolakan gugatan masyarakat sipil terhadap UU Pangan, terkait benih transgenik menunjukkan arah salah dalam meletakkan landasan kedaulatan pangan.

Begitupula rencana tiap tahun membangun bendungan, lima sampai tujuh, atau sekitar 25-35 bendungan dalam lima tahun, kata Achmad,  harus benar-benar memperhitungkan berbagai aspek. “Bukan hanya teknis, juga lingkungan, sosial dan pendanaan. Proyek-proyek besar harus membawa kesejahteraan bagi produsen pangan skala kecil, bukan sebaliknya.”


Dari Hari HAM: Tuntutan Pemenuhan Hak Hidup, Pangan dan Lingkungan Sehat was first posted on December 10, 2014 at 11:48 pm.

Danau-danau “Neraka” yang Mengancam Sumber Air Kalsel

$
0
0
Kolam tambang di gambang batubara Asam-asam, Kalsel. Greenpeace mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk menghentikan industri tambang batubara yang meracuni sumber air dan lingkungan dan berdampak buruk baru masyarakat. Foto: Yudhi Mahatma/ Greenpeace

Kolam tambang di Asam-asam, Kalsel. Greenpeace mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk menghentikan industri tambang batubara yang meracuni sumber air dan lingkungan dan berdampak buruk baru masyarakat. Foto: Yudhi Mahatma/ Greenpeace

Danau-danau di Kalimantan Selatan itu terlihat biasa dari kejauhan. Air tenang tanpa riak. Bahkan, ada yang indah dari jauh, berwarna hijau kebiru-biruan. Ada pula yang berwarna agak kecoklatan, bahkan hitam pekat. Namun, danau itu tak setenang dan seaman tampilan. Ia adalah kolam-kolam raksasa buat menampung limbah-limbah buangan maupun lubang-lubang galian dari tambang batubara.

Kolam-kolam raksasa ini bak neraka bagi umat manusia dan lingkungan sekitar. Betapa tidak, ia berpotensi mencemari air-air sungai di Kalsel, yang menjadi sumber kehidupan sehari-hari bagi warga. Fakta horor ini terungkap dari hasil investigasi Greenpeace dalam laporan berjudul  “Terungkap: Tambang Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan,” yang rilis awal Desember 2014 di Jakarta.

Dari laporan itu terungkap, aktivitas pertambangan batubara di Kalsel, merusak sumber air, membahayakan kesehatan dan masa depan masyarakat sekitar.  Greenpeace menemukan kebocoraan  dan pembuangan zat asam pada kolam dan bekas lubang tambang yang mengandung zat berbahaya melebihi aturan tambang batubara.

Greenpeace melakukan investigasi sekitar enam bulan dengan mengambil sampel di 29 titik dari kolam limbah, dan lubang tambang terbengkalai perusahaan tambang yang bocor. Temuan ini juga memberikan bukti kuat perusahaan-perusahaan tambang batubara menyumbangkan limbah berbahaya ke sungai dan sumber-sumber air masyarakat, melanggar standar nasional untuk pembuangan limbah di pertambangan.

Studi kasus ini dilakukan di beberapa konsesi perusahaan tambang, seperti milik Arutmin, anak usaha Bumi Resources, di Distrik Asam-asam. Kondisi di sini terburuk dari semua konsesi yang dikunjungi Greenpeace. Satu sampel mengandung kadar pH 2,32, mangan tinggi 10 kali ambang legal. Ambang batas air limbah batubara sesuai aturan Kementerian Lingkungan Hidup No 113, 2003, pH maksimum antara enam sampai sembilan, besi tujuh mm atau mg dan mangan empat mg.

Grafis lokasi kolam tambang Banpu-Jorong, dengan pemukiman dan sumber air warga. Sumber: Greenpeace

Grafis lokasi kolam tambang Banpu-Jorong, dengan pemukiman dan sumber air warga. Sumber: Greenpeace

“Saat uji juga temukan kandungan zat itu di atas ambang batas. Ditemukan juga logam berat lain, misal, nikel, arsenik, mercuri. Seluruh logam berat ini sangat berbahaya. Apalagi terakumulasi dalam jangka dan waktu lama. Bahaya bagi biota air, kala terserap bisa jadi racun. Konsentrasi rendah aja beracun apalagi terakumulasi dalam waktu lama,” kata Hindun Mulaika, juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, hari itu di Jakarta.

Endapan kotor dan terkontaminasi juga mengalir ke lingkungan. Tim mengidentifikasi jelas jejak-jejak luapan air di kolam pengendapan. Air melimpah. Bahkan, di kolam lain, tampak air baru melimpah keluar dan merembes ke anak sungai. Parahnya lagi, kolam-kolam kotor itu berada di dekat jalan umum yang sehari-hari dilalui masyarakat.  “Rembesan ini berpotensi mencemari air yang bisa berdampak pada penduduk Desa Salaman.”

Hilda Mutia, peneliti utama sekaligus koordinator Waterpatrol Greenpeace Indonesia mengatakan, seharusnya kolam-kolam Arutmin ini bisa menampung air asam. “Karena hujan dan longsor akhirnya bocor. Keluar ke lingkungan. Warna air coklat dan ada di pinggir jalan,  dilalui warga desa.”

Bahkan, kolam asam Arutmin, ada yang keluar, menyeberang ke saluran jalan dan mengarah ke rawa terdekat. “Jadi rawa sudah tercampur antara warna kuning dan hijau.”

Lalu, di Banpu, anak perusahaan Jorong Barutama Greston. Di sini ditemukan, lubang bekas tambang sepanjang dua km dengan keasaman dan kandungan logam berat mangan di atas ambang batas. Tak jauh dari sana, ditemukan kolam asam menyerupai rawa, tampak tak terawasi. Citra saltelit menunjukkan, air kolam asam mengalir hingga bisa mengkontaminasi badan air atau sungai-sungai kecil. Jorong pernah diprotes terkait reklamasi minim dan pelanggaran batas hutan lindung.

Studi lain, di Tanjung Alam Jaya di Kabupaten Tapin, Kalsel. Menurut Hilda, di konsesi ini ada satu kolam tambang terbengkalai mengandung air asam.

Kolam limbah tambang yang mengandung  logam berat di konsesi Arutmin di  Asam-asam, Kalsel. Foto: Yudhi Mahatma / Greenpeace

Kolam limbah tambang yang mengandung logam berat di konsesi Arutmin di Asam-asam, Kalsel. Foto: Yudhi Mahatma / Greenpeace

Danau besar itu terkesan menyejukkan, tetapi kala dites pH asam tinggi, 3,74. Di salah satu dinding danau bocor dan air keluar serta jatuh ke sungai kecil. “Ada warna lain di bagian tepi sungai. Bisa dibayangkan dampak tambang dekat dengan warga dan kehidupan warga,” ujar dia.

Pada 2011, lebih 30% batubara Indonesia hasil 14 perusahaan di Kalsel, yakni 118 Mt dari total produksi nasional 353 Mt. Pada 2008, ada 26  izin tambang pusat dan 430  izin pemerintah daerah.

Dengan riset ini, Greenpeace mengindikasikan,  3.000-an km atau 45% dari total sungai di Kalsel, mengalir melewati kawasan tambang batubara dan berpotensi tercemar dari tambang-tambang itu.

Arif Fiyanto, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara memaparkan, di Kalsel, mereka mendatangi sekitar 300-an lubang-lubang tambang dan kolam limbah yang menghasilkan air asam.

Parahnya lagi, dari sekitar 300-an kolam tambang itu, sebagian besar berbentuk bak kolam dan danau biasa. Tak ada plang atau tanda-tanda yang menyatakan kalau itu kolam limbah atau lubang tambang. “Ada yang memasang tanda-tanda, tapi itu sedikit sekali. Sebagian besar, sudahlah berada dekat pemukiman, di dekat jalan raya. Tak ada rambu-rambu pula,” katanya.

Menurut dia, batubara merusak, tak hanya mencemari air juga menghancurkan bentang alam Kalsel yang indah. “Dalam tempo tak sampai dua dekade hancur. Misal di Tanah Laut di Kabupaten Tanjung, Adaro, di sana. Bagaimana bentang alam dihancurkan tanpa mereka mempedulikan standar nasional tentang pengelolaan air dan hak-hak masyayarakat maupun reklamasi. Setelah keruk tinggalkan begitu saja dan tinggalkan ratusan lubang tambang yang bahayakan masyarakat sekitar.”

Dampak buruk terhadap masyarakat sekitar ini, kata Arief, harus dihentikan. Perusahaan-perusahaan tambang, harus punya tanggung jawab legal. “Yang melanggar hukum harus perbaikan.“

Pemerintah Indonesia, katanya, harus mengawasi lebih baik, sekaligus tegas dalam penegakan hukum bagi pelanggar.  “Sektor tambang batubara bawa ancaman sangat serius di Kalsel. Apa yang ditemukan ini beri konfirmasi, pulau Kalimantan salah satu pulau yang akan hadapi dampak paling buruk dari perubahan iklim. Proses ini sudah dilihat pada konsesi-konsesi itu. Tak perlu dilihat sampai 2050.”

Untuk itu, Greenpece rekomendasikan pemerintah melakukan investigasi terbuka. Sebab, temuan ini memperlihatkan ancaman terbuka terhadap kualitas air dan kesehatan masyarakat di Kalsel.

Rekomendasi lain, proses alokasi izin tambang mencakup pertimbangan yang jauh lebih kuat bagi rekam jejak kinerja lingkungan perusahaan.  “Kalau perusahaan melanggar, pemerintah harus punya keberanian buat cabut izin mereka. Ini harus dihentikan, izin dicabut. Di-review.  Ini berlaku juga pada perusahaan-perusahaan di Kalsel,” katanya.

Greenpeace mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan membuka rincian dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi lahan untuk Kalsel. “Apakah dana itu cukup mencegah dampak jangka panjang setelah tambang ditutup.”

Badan Lingkungan Hidup Kalsel dan Kementerian LHK, kata Arief, harus mempublikasikan informasi pelanggaran-pelanggaran pembuangan air limbah berkala. “Ini akan membantu investor, badan perizinan tambang pusat, dan masyarakat sipil untuk mengikuti kinerja perusahaan.”

Greenpeaace, katanya,  siap bekerja sama dengan pemerintah. “Ada harapan pada pemerintah baru dapat memberikan hal berbeda dari pemerintah sebelumnya. Masyarakat layak hidup sehat, tak berada dalam ancaman industri tambang luar biasa merusak ini.”

Setelah kawasan digunakan untuk tambang di Asam-asam, pepohonan pun mengering dan tak bisa tumbuh. Foto: Yudhi Mahatma / Greenpeace

Setelah kawasan digunakan untuk tambang di Asam-asam, pepohonan pun mengering dan tak bisa tumbuh. Foto: Yudhi Mahatma / Greenpeace


Danau-danau “Neraka” yang Mengancam Sumber Air Kalsel was first posted on December 11, 2014 at 11:06 pm.

Belajar dari Rumah Kompos Makkawaru

$
0
0
Proses pembuatan pupuk organik di rumah kompos Kelompok Tani Makkawaru. Foto: Eko Rusdianto

Proses pembuatan pupuk organik di rumah kompos Kelompok Tani Makkawaru. Foto: Eko Rusdianto

Rumah itu terbuat dari anyaman bambu dan berlantai tanah. Sederhana. Ia terletak di Dusun Maralleng, Desa Pao-pao, Kecamatan Tanete Rilau Barru. Itulah rumah kompos Kelompok Tani Makkawaru. “Beginilah keadaan. Maaf agak berantakan,” kata Nur Yasin.

Yasin, anggota Makkawaru. Dia bertugas mencampur dan membuat kompos. Dia ibarat koki. Setiap hari, bahan-bahan kotoran ternak, urin sapi, sampah dari daun, sekam gergaji, sekam padi, jahe, hingga lengkuas diatur dan ditakar dengan cermat. Lalu dimasukkan ke wadah.

Karung-karung pupuk kompos padat berwarna putih, berjejer, dan bertumpuk-tumpuk. Inilah hasil racikan Nur. Setiap bulan rumah kompos ini memproduksi antara empat sampai lima ton pupuk padat. Dengan omset Rp7 juta per bulan.

Karung-karung pupuk padat kompos ukuran 50 kg dijual Rp100.000 dan ukuran 25 kg dijual Rp50.000 per karung. Pupuk padat, rumah kompos ini memproduksi pupuk organik cair, penjualan November mencapai 100 liter, per liter Rp35.000.

Membuat pupuk organik padat dan cair tak begitu sulit. Menurut Yasin, hanya perlu kemauan dan kesabaran, dan keinginan belajar. Membuat 100 kg pupuk padat, kotoran ternak hanya 30%, dan 70% bahan lain, diperoleh dari pekarangan sekitar seperti sampah.

Muliana, sang penggagas pupuk organik kelompok Makkawaru-Barru. Foto: Eko Rusdianto

Muliana, sang penggagas pupuk organik kelompok Makkawaru-Barru. Foto: Eko Rusdianto

Yasin juga memiliki rahasia dapur dikenal dengan nama micro organisme lokal (MOL). MOL dicampur saat fermentasi pupuk yang berfungsi sebagai bahan pengurai. Untuk 100 karung pupuk padat ukuran 50 kg, MOL 20-22 liter, ukuran 50  kg hanya tujuh lliter.

Satu liter MOL, menghasilkan 40 lliter pupuk organik cair. Darimana bahan MOL diperoleh? “Di sekitar kita. Tiap hari kita konsumsi.”

Mengapa pupuk organik membutuhkan bahan-bahan dapur seperti jahe ataupun lengkuas? Nur, tersenyum. Dia menjelaskan, dengan rinci. Sebelum manusia mengenal pupuk kimia, masyarakat menggunakan beberapa bahan alami mengusir hama. Menyemprotkan cairan cabai untuk hama tertentu. “Itulah fungsinya. Mengusir hama dan mencegah penyakit jamur.”

Kini,  produksi pupuk kelompok ini, merambah luar Barru. Di Siwa Kabupaten Wajo, permintaan terus meningkat untuk pemupukan cengkih. Tahun 2014, permintaan sampai 2,5 ton dan 2015 kemungkinan dua kali lipat.

Permintaan lain datang dari Pangkep dan Soppeng. “Saya kira orang-orang mulai melirik pupuk organik,” kata Muliana, anggota lain.

Tak hanya itu, rumah kompos ini memiliki NPWP dan izin produksi, namun belum ada izin pemasaran dan pelabelan. “Kami sedang mengurus. Jika kami sudah punya nama produk dan izin pemasaran secara baik, pasti lebih baik,” kata Muliana.

Tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kompos. Foto: Eko Rusdianto

Tempat penyimpanan bahan-bahan untuk kompos. Foto: Eko Rusdianto

Awal mula

Muliana ingat betul, ketika masih SMA dan mendapatkan pelajaran cara bertani yang baik. Dia mulai memberanikan diri memulai. Pada seorang keluarga, dia meminta sepetak kecil lahan persawahan.

Dia mengumpulkan jerami dan dibakar. Bibit wijen disebar. Sehari, dua hari, hingga tiga hari beberapa bibit mulai terlihat tumbuh. Hati Muliana kegirangan. Dia merawat wijen-wijjen itu, dan beberapa bulan berhasil dijual, Rp50.000. “Sampai sekarang, hasil penjualan pertama itu saya simpan. Tersisa Rp20.000. Saya senang sekali.”

Sejak percobaan itu, Muliana mulai jatuh cinta produk-produk pertanian. Semangat menunggu tanaman, menjaga, dan perasaan bahagia setelah mendapat hasil. “Saya ingin menjadi pengusaha. Itulah cita-cita saya. Pengusaha pertanian.”

Gayung bersambut. Pada 2012, dia bertemu Yasin dan melangsungkan pernikahan. Yasin, lelaki perantau, pernah bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan, dan menganggap praktik pertanian itu tak baik.

Pasangan keluarga ini, mencoba meminjam lahan setengah are. Mereka menanam cabai, kangkung, terong, dan kacang-kacangan. Untuk memupuk tanaman, mereka tak menggunakan pupuk kimia, melainkan membuat sendiri.

Alhasil, modal Rp200.000, penghasilan mereka bertambah berkali lipat. Dari kangkung Rp600.000, kacang-kacangan Rp100.000 dan cabai sampai jutaan rupiah.

Ketika masyarakat lain menanam cabai hanya memanen hingga 15 kg, Muliana 22 kg. Dalam seminggu, bisa mengumpulkan 50 kg. Cabai-cabai Muliana pun tak terkena hama dan penyakit. “Dari sinilah kami mulai.”

Di Siwa, Wajo, sebelum kebun cengkih keluarga Muliana menggunakan pupuk kompos, produksi maksimal 50 kg. Cengkih terlihat ringkih dan mengkerut. Ketika menggunakan kompos, daun cengkih mulai lebat. “Panen kemarin, hingga satu ton untuk 50 batang.”

Keuntungan lain, ketika usai panen pucuk daun yang terpotong karena pemetikan cepat bertumbuh. Dibandingkan cengkih menggunakan pupuk kimia. “Petani lain melihat dan mulai melakukan. Maka, permintaan makin tinggi,” kata Muliana.

Meskipun begitu, mengenalkan produk organik seperti kompos ini tidak mudah. Kata Muliana, perlu kesabaran ekstra. Di sekitar Desa Pao-pao, saja masyarakat masih enggan. Ini terbukti dengan permintaan pupuk November hanya lima karung.

Anggapan reaksi pupuk organik lamban membuat beberapa petani enggan menggunakan. Persawahan dan perkebunan masih setia dengan pupuk kimia, apalagi program pemerintah masih memberikan pupuk susidi.

“Dalam beberapa kali sosialisasi di masyarakat, saya selalu menganjurkan beberapa petani, membuat lubang, lalu kotoran ternak, sampah dedaunan, dikubur. Sebulan sudah jadi pupuk. Hanya beberapa yang melakukan, selebihnya tidak.”

Nur Yasin, sibuk menyiapkan bahan-bahan kompos. Foto: Eko Rusdianto

Nur Yasin, sibuk menyiapkan bahan-bahan kompos. Foto: Eko Rusdianto

 


Belajar dari Rumah Kompos Makkawaru was first posted on December 12, 2014 at 6:37 am.

Kala Sawah dan Gunung Mamuju Utara jadi Kebun Sawit

$
0
0
Sepanjang jalan dari Mamuju hingga Mamuju Utara, yang berjarak sekitar 280 km, pemandangan alam didominasi  perkebunan sawit. Sawah, gunung dan sekitar pantai beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Wahyu Chandra

Sepanjang jalan dari Mamuju hingga Mamuju Utara, yang berjarak sekitar 280 km, pemandangan alam didominasi perkebunan sawit. Sawah, gunung dan sekitar pantai beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Wahyu Chandra

Ati, begitu biasa dipanggil, bersama dua teman, sedang duduk di bawah pohon sawit cukup besar. Mereka bercengkrama sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi. Sesekali tertawa, saling menertawakan pengalaman masing-masing. Kulit mereka terlihat coklat kusam karena terpaan matahari.

Mereka warga Desa Kulu, Kecamatan Lariang, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat, sehari-hari bekerja mengumpulkan sisa-sisa sawit yang berjatuhan di sekitar perkebunan milik PT Astra Agro Lestari (AAL). Sisa-sisa sawit, biasa disebut berondolan, bernilai rupiah bagi warga.

Menurut Ati, setiap hari menyusuri sepanjang jalan sekitar perkebunan demi memungut sisa-sisa sawit, baik sekitar pohon maupun dari mobil pengangkut. Sehari, mereka bisa mendapatkan 30-40 kg sawit berondolan seharga Rp1.000 per kg. Jadi per hari penghasilan Rp30.000-Rp40.000. “Lumayan untuk menghidupi keluarga,” katanya kepada Mongabay, pertengahan November 2014.

Harga sawit di pengumpul berfluktuasi, terendah Rp700 tertinggi Rp1.200.“Tergantung pengumpul mau beli berapa. Mereka macam-macam. Ada beli harga murah tapi ada yang mau beli mahal.”

Pekerjaan Ati sedikit berisiko, kadang harus kejar-kejaran dengan pengawas perkebunan.“Tidak semua bisa dipungut. Kalau di sini dibolehkan. Kalau punya Unggul dijaga Brimob, tak boleh ambil. Harus sembunyi-sembunyi.”

Kehidupan Ati sedikit menggambarkan kehidupan sosial ekonomi warga di sekitar perkebunan sawit di Mamuju Utara. Kabupaten yang dikenal salah satu sentra sawit di Sulbar ini memiliki luasan lahan hingga puluhan ribu hektar, baik dikelola perusahaan maupun warga.

Di pusat kota Mamuju Utara, Pasangkayu, bahkan ada tugu sawit berbentuk bola dunia dengan tulisan SMART, bentuk menyerupai logo AAL.

Ketika menyusuri sepanjang jalan menuju Matra dari rute Mamuju, Mamuju Tengah hingga memasuki Matra berjarak sekitar 280 km, hamparan kebun sawit di mana-mana. Sepanjang jalan, sepanjang mata memandang hamparan sawit, tidak hanya di tanah datar, juga di pegunungan bahkan sekitar pantai. Hamparan sawah sangat jarang ditemukan tergantikan sawit.

Warga Mamuju Utara menjadikan mata pencarian sehari-hari  dengan mengumpulkan sisa-sisa sawit yang berjatuhan, yang disebut berondolan. Kadang mereka harus kejar-kejaran dengan Brimob yang menjaga perkebunan sawit miliki swasta. Foto: Wahyu Chandra

Warga Mamuju Utara menjadikan mata pencarian sehari-hari dengan mengumpulkan sisa-sisa sawit yang berjatuhan, yang disebut berondolan. Kadang mereka harus kejar-kejaran dengan Brimob yang menjaga perkebunan sawit miliki swasta. Foto: Wahyu Chandra

Data perkebunan sawit di Sulbar per 2013, luasan perkebunan sudah tanam cukup besar, mencapai 52.123 hektar. Sekitar 63,27 persen atau 32.978 hektar di Matra, belum termasuk puluhan ribu hektar lain yang belum tergarap.

Taufik,  aktivis lingkungan di Matra mengatakan, terdapat dua perusahaan utama sawit di Matra, yaitu AAL dan PT. Unggul Widya Lestari (UWL). AAL memiliki sejumlah anak perusahaan, antara lain PT Letawa, PT Suryaraya Lestari, PT Pasangkayu, PT Mamuang dan PT Tanjung Sarana Lestari.

Data Dinas Kehutanan Mamuju Utara, dari luasdaerah ini 304. 375 hektar, 37% dialokasikan buat HGU. “Dari 37%, 90% HGU perkebunan sawit HGU  AAL kala  rekomendasi Gubernur Sulsel era 1990-an,  dijabat Ahmad Amiruddin.

Isi rekomendasi antara lain menyetujui perkebunan sawit Astra Group 16. 600 hektar, di sebelah utara Sungai Karossa, Kecamatan Budong-Budong, Mamuju. “Dalam perkembangan, menurut informasi,  perkebunan AAL mencapai 37.000 hektar.” Sedang UWL mendapatkan HGU pada 2004, dengan luas 30.000 hektar.

Porsi besar kepada perusahaan, memicu ketidakpuasan masyarakat, yang mulai kehabisan lahan. Buntutnya, terjadi perlawanan warga. Contoh, konflik lahan antara warga dengan UWL di Desa Sipakaingan, beberapa waktu lalu.“Sekarang masih memanas. Warga membangun rumah darurat di lahan yang bersengketa.”

Kasus lain, di Pasangkayu. Perusahaan diduga melintas di areal masyarakat adat Bunggu, hingga  warga terdesak ke pinggir gunung. Dampaknya,  warga Bunggu masuk hutan lindung.

“Seperti afdeling H dan G, masyarakat Bunggu Patado dan Inde  bermukim di Desa Ngovi, batas Sulbar dan Sulteng, kehilangan sagu di Joko Tendo, Tapa Bete, dan Kayu Rano.”

Pemerintah Matra, sebenarnya meminta Pasangkayu tidak menggarap  pemukiman masyarakat lokal Binggi. Namun, perusahaan tetap menanam dan mendesak masyarakat Binggi hingga ke pinggir gunung.

Persawahan juga berubah  menjadi perkebunan sawit. Ini menjadi kekhawatiran Mawardi, Direktur Lembaga Kesatuan Anak Bangsa (eLKAB) Matra.

Antusiasme warga menanam sawit dan mengkonversi sawah terjadi karena janji kesejahteraan. Satu kapling lahan sawit setara dua hektar  memberi pendapatan hingga Rp4 juta. Pemerintah bahkan mengklaim penghasilan sawit bisa Rp9 juta per hektar. Cukup menggiurkan warga.

Padahal, kata Mawardi, hitung-hitungan ekonomis jangka panjang,  sangat merugikan warga.“Selalu dikatakan sawit produktif hingga 25 tahun, padahal  15 tahun. Setelah itu, bagaimana nasib lahan-lahan mereka?”

Sebagian warga,  memang  menerima manfaat besar dengan sawit bahkan, menjadi jutawan . Namun, hanya yang memiliki luasan  hingga puluhan hektar.

Kekhawatiran lain, keragaman lahan pertanian.  Ketika sebagian besar menjadi sawit, produktivitas lahan pertanian lain berkurang.

“Akhirnya warga  menggantungkan kebutuhan dari impor atau dari luar. Itu pasti akan mahal.”

Selain sawit, produk lain yang bertahan padi dan kakao dengan jumlah makin berkurang. Tanaman lain belakangan dibudidayakan kelapa untuk kopra.

Menurut dia, pemerintah dan masyarakat harus mulai memperhitungkan dampak lingkungan dengan kebun sawit besar-besaran ini. Sawit tanaman rakus air dan unsur hara tanah.

“Satu pohon membutuhkan suplai air  10 liter per hari. Ini  berdampak pada ketersediaan air bagi pertanian lain.”

Taufik menambahkan, pemerintah daerah, tak memberi dorongan kuat pada pola lama hingga mampu memproduksi pangan hingga ketahanan pangan Matra rapuh.

Kekhawatiran Taufik beralasan. Ketika perkebunan besar habis masa HGU dan harus menghentikan produksi, masyarakat yang terlanjur berkebun sawit akan kewalahan dalam pemasaran.

“Tanah-tanah bekas HGU kembali pada negara. Ini bakal melahirkan persoalan agraria serius, biasa antara masyarakat dan negara, masyarakat dengan pemerintah daerah atau antara masyarakat.”

Kerentanan alam oleh perkebunan sawit ini bisa dilihat dari kerusakan ekosistem Sungai Lariang, salah satu sungai terpanjang di Sulawesi, sebagian melintas di HGU perkebunan besar.

“Kini sungai bermuara di Napu, Poso, Sulawesi Tengah, setiap tahun adalah ancaman bagi masyarakat di Lariang, Tikke Raya, Pedongga dan Pasangkayu. Ada ratusan hektar lahan masyarakat tergerus ganasnya arus sungai kala musim hujan.”

Taufik pernah penelusuran di lapangan. Menurut pengakuan masyarakat di Desa Bambakoro dan Desa Kulu, Lariang, ada ratusan hektar lahan mereka hilang oleh banjir bandang karena sungai meluap.

“Walaupun tidak menuding perkebunan sawit sejak 1990-an, namun masyarakat heran. Sebelum ada kebun sawit di seputaran aliran sungai, mereka tidak mengenal banjir bandang.”

Taufik juga menemukan, berbagai kayu lokal berkualitas seperti uru dan palapi, maupun satwa seperti rusa, anoa, monyet dan babi, mulai hilang karena habitat tergerus sawit.

“Sungai Ngovi, Sungai Bayu dan Sungai Moi, muara sejumlah sungai-sungai kecil setiap hari makin dangkal dan mengering. Berbagai jenis ikan hilang seperti, gabus, mas, sidat.”

Sungai-sungai itu dulu juga jalur transportasi masyarakat lokal buat mengambil hasil-hasil hutan berupa umbi-umbian dan buah. Kini sungai makin dangkal dan mengecil, bantaran sungai tidak terpelihara.

Dampak lain  sawit yakni limbah pabrik.“Limbah-limbah buangan  terus menerus mempengaruhi kondisi tanah, air dan udara di sekitar pabrik.”

Meskipun  perusahaan sawit memberi jaminan dengan sistem pengolahan limbah  mutakhir, namun tampak pada sungai-sungai di seputar pabrik CPO, seperti di Sungai Bayu, Pedanda, Moi dan Pasangkayu. “Berbagai jenis ikan lokal seperti  mas dan sidat atau moa, biasa disebut  massapi hilang. Sungai-sungai  sepanjang tahun  keruh dan coklat.”

Perkebunan sawit dalam skala besar dinilai telah mengancam eksosistem sungai di Matra. Salah satu sungai terpanjang di Sulawesi, Sungai Lariang, yang sebagian melintas di HGU sawit, setiap tahun mulai menebar ancaman banjir bandang. Foto: Wahyu Chandra

Perkebunan sawit dalam skala besar dinilai telah mengancam eksosistem sungai di Matra. Salah satu sungai terpanjang di Sulawesi, Sungai Lariang, yang sebagian melintas di HGU sawit, setiap tahun mulai menebar ancaman banjir bandang. Foto: Wahyu Chandra

 


Kala Sawah dan Gunung Mamuju Utara jadi Kebun Sawit was first posted on December 12, 2014 at 1:49 pm.

Hakim Tolak Gugatan Kebakaran Hutan Walhi, Mengapa?

$
0
0

Kebakaran hutan dan lahan gambut di Jambi. Gugatan Walhi terhadap kasus kebakaran hutan dan gambut di Riau dan Jambi kepada presiden, menteri dan kepala daerah tak diterima dengan alasan gugatan kurang pihak. Walhi tak memasukkan Kementerian Pertanian, yang menurut hakim, seharusnya masuk. Foto: Elviza Diana

Putusan hakim hanya berhenti pada kurang pihak yang digugat, belum masuk pada bahasan pokok perkara. Walhipun akan membuat gugatan baru per daerah.

Setelah setahun persidangan kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akhirnya majelis hakim memutuskan perkara tak diterima. Demikian disampaikan Ketua Majelis Hakim, Nani Indrawati dalam pembacaan putusan di PN Jakpus, Selasa (9/12/14).

Walhi menggugat presiden, kapolri, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan dan 15 kepala daerah atas kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi.“Gugatan kabur dan tidak dapat diterima,” kata Nani.

Nani sudah mengantongi serifikasi hakim lingkungan hidup. Saat memimpin persidangan, dia didampingi hakim anggota Annas Mustaqim dan Iim Nurohim. Majelis hakim beralasan kebakaran hutan dan lahan gambut sekitar 70-80 % terjadi di konsesi perkebunan sawit. Seharusnya, Kementerian Pertanian masuk sebagai tergugat. Walhi tak memasukkan.

“Gugatan tidak dapat diterima karena ada pihak yang tidak dilibatkan. Sebetulnya, fokus bukan pada tanggung jawab menteri. Tapi tidak apa-apa. Kemungkinan akan mengajukan gugatan baru. Karena pokok perkara belum diperiksa,” kata Muhnur Satyahaprabu, kuasa hukum Walhi.

Muhnur mengatakan, jika merujuk pada tanggung jawab negara, sebetulnya Walhi cukup menyeret presiden. Karena presiden, orang yang bertanggungjawab dalam pemenuhan hak atas lingkungan. Sayangnya, majelis hakim, tidak mempertimbangkan semua bukti dalam persidangan. Putusan tidak masuk pokok perkara, berhenti di persoalan kurang pihak. Untuk itu, katanya, Walhi akan membuat gugatan baru yang dilakukan per daerah.

“Ada  kesalahpahaman kami dengan hakim. Kami melihat gugatan ini hak atas lingkungan bukan gugatan kebakaan hutan. Apapun sumber penyebab, baik hutan, lahan, gambut atau tidak,  fakta ada pencemaran lingkungan yang mengakibatkan hak rakyat atas lingkungan menjadi berkurang. Itu poin. Tidak dalam konteks perbuatan melawan hukum apa.”

Muhnur beralasan, dalam gugatan di Indonesia, warga hanya diberikan fasilitas menuntut hanya dua cara, perbuatan melawan hukum, atau wanprestasi. “Walhi tak mungkin menggugat wanprestasi gak mungkin. Karena kan tidak ada utang piutang. Gugatan perbuatan melawan hukum itu yang menjadikan sarana membuktikan negara lalai. Sebenarnya, bukan mengajak hakim berdebat siapa berbuat apa. Kita tak akan mampu. Karena harus dirinci setiap kementerian perbuatan melawan hukum apa. Kami melihat ada pemahaman yang berbeda,” katanya.

Dia berpendapat, dengan putusan ini sebenarnya membuyarkan tanggungjawab negara atas hak warga mendapatkan lingkungan sehat. “Sebenarnya tuntutan kita ingin pemerintah audit lingkungan, pemetaan kerawanan kebakaran hutan, evaluasi perizinan, pencegahan dini dan permintaan maaf. Itu poin-poin kita. SBY waktu itu minta maaf ke Malaysia dan Singapur, tetapi tidak minta maaf ke rakyat Indonesia. Dalam konteks itu, sensitivitas hakim seharusnya melihat walaupun tidak rinci, masa’ tidak bertanggungjawab? Pemeriksaan masih menggunakan hukum perdata biasa.”

Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi mengatakan, meski kecewa dengan putusan, tetapi hakim cukup bijak. Bantahan tergugat dijawab hakim dengan baik, misal, hak menggugat Walhi. Tergugat dalam eksepsi beranggapan Walhi tidak mempunyai hak menggugat, tetapi dibantah majelis hakim.

“Hakim menguasai hukum acara. Gugatan tidak dapat diterima karena kurang pihak. Dalam hukum acara perdata, kalau kurang pihak, memang harus begitu. Ke depan, pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan ini harus bertanggungjawab di persidangan. Kita berharap bisa membuat gugatan baru.”

Advokat PilNet Andi Muttaqien mengatakan, kecewa dengan putusan hakim karena belum masuk ke pokok perkara dan ada alasan-alasan yang secara formil tidak lengkap.

“Kami akhirnya dinyatakan gugur, tidak dapat diterima. Ini di luar prediksi. Tetapi kekecewaan itu akan kami bayar dengan upaya gugatan baru di beberapa daerah provinsi. Khusus kepada perusahaan-perusahaan yang membakar hutan. Seperti di Sumatera Selatan dan Pekanbaru, sedang mempersiapkan gugatan. Bukan pemerintah yang digugat, tapi perusahaan.”


Hakim Tolak Gugatan Kebakaran Hutan Walhi, Mengapa? was first posted on December 13, 2014 at 12:16 am.
Viewing all 3810 articles
Browse latest View live