Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4118 articles
Browse latest View live

Opini: Antara Nelayan Kecil dan Perusahaan Perikanan Komersial

$
0
0
Ikan-ikan hiu hasil buruan. Foto: Petrus Riski

Ikan-ikan hiu hasil buruan di pasar Lamongan, Jawa Timur. Penangkapan ikan tanpa memperhatikan keberlanjutan masih marak di Indnesia, dengan aktor utama penangkap yang menggunakan kapal-kapal besar. Sedang nelayan kecil, makin sengsara, hasil tangkapan makin sulit, hidupun makin terjepit Foto: Petrus Riski

Tiap 21 November, diperingati sebagai Hari Perikanan Internasional.  Di seluruh dunia, nelayan dan yang konsern dengan isu ini merayakan lewat berbagai cara, dengan harapan meningkatkan kesadaran betapa penting menjaga perikanan dunia. Mereka ini adalah komunitas yang benar-benar bergantung hidup mati dengan perikanan berkelanjutan.

Sayangnya, ada begitu banyak masalah membingungkan di sektor perikanan yang perlu ditangani. Pemerintah dunia terus gagal membuat dan menerapkan peraturan mengelola perikanan dan mengurus lautan. Ada juga perusahaan penangkapan ikan besar dan industri makanan laut yang hanya memaksimalkan keuntungan tanpa memperhatikan keberlanjutan. Konsumen juga memiliki peran penting, terutama dari negara-negara kaya, yang mendorong permintaan makanan laut, mendorong krisis lebih dalam.

Sumber protein terbesar terakhir bersumber dari laut, di mana nelayan sebagai pemburu. Dalam usaha menangkap ikan ini, alat berburu terbesar, paling efisien dan paling kuat akan mendapatkan kekayaan laut sebanyak-banyaknya. Nelayan kecil,  tidak bisa bersaing dengan perahu raksasa perikanan komersial.

Di manapun, di Asia Tenggara, nelayan lokal kalah bersaing dengan operasi perikanan komersial. Banyak nelayan lokal terperangkap utang.

Guna memaksimalkan keuntungan, perusahaan komersial mengirim armada besar di laut selama bertahun-tahun. Mereka mengambil sebanyak mungkin dalam satu wilayah dan pindah ke tempat lain setelah sumber daya ikan habis. Sedang nelayan tradsional, hanya bisa panen ikan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Kadang-kadang tak punya pilihan kecuali putus asa, seperti menjual perahu, atau lebih buruk, gunakan metode destruktif demi memberi makan keluarga.

Penangkapan perikanan komersial biasa menggunakan, seperti jaring mekanik, mesin lebih kuat, citra satelit dan pencari ikan elektronik hingga sulit bagi ikan menemukan tempat bersembunyi maupun bertelur dengan tenang. Sebuah kapal penangkap ikan komersial dapat mengangkut hingga 350 ton dalam satu hari, setara lebih dari hasil tangkapan tahunan untuk armada nelayan kecil.

Kondisi di TPI hiu di Tanjung Luar, NTB. Di sini ada khusus tempat lelang hiu, terus berjalan tanpa ada upaya apa-apa dari pemerintah. Foto: JAAN

Satu contoh jelas dari situasi mengkhawatirkan ini,  adalah penangkapan spesies tuna paling penting, tuna Bigeye, di laut Pasifik. Nelayan yang menggunakan cara-cara berdampak lebih rendah seperti pancing tangan—cara nelayan tradisional menggunakan satu kait untuk satu ikan—sulit mendapatkan apapun saat ini. Mengapa? Karena ada ribuan kapal komersial menanti di laut dengan jutaan kait. Di sana juga banyak bayi tuna, bersama hiu, pari dan kura-kura, yang tertangkap jaring  besar rumpon.

Kini, hanya tinggal sekitar 16% tuna Bigeye Pasifik yang tersisa. Pengelola perikanan harus berhenti memancing spesies ini sampai mereka pulih. Akankah terjadi? Tidak. Bahkan, jumlah kapal tuna komersial dan jumlah rumpon meningkat setiap tahun. Satu keajaiban jika ini adalah sebuah tendesi bunuh diri dari industri sendiri dengan melenyapkan ikan atas nama keuntungan atau hanya keserakahan kuno tanpa memperhatikan orang lain.

Sedihnya, ketika ikan-ikan habis, nelayan kecil akan kelaparan, kala itu pemilik perusahaan perikanan besar bisa berpindah ke bisnis lain dengan keuntungan tebal.

Sesuatu yang mesti dipikirkan di Hari Perikanan Dunia ini, kita sebagai konsumen makanan laut bisa aktif dengan tetap mendapatkan informasi dan mengetahui kondisi perikanan dengan mempertanyakan darimana sumber makanan laut yang dikonsumsi. Kita harus menggunakan kekuatan membuat pilihan cerdas dalam mengkonsumsi makanan laut.  Dengan mengatakan tidak kepada konsumsi spesies terancam punah seperti hiu, tidak mau bayi ikan di piring kami, memilih makanan laut hasil tangkapan berkelanjutan dan tidak melalui cara-cara merusak.

Mari dukung perjuangan nelayan dengan membeli hasil tangkap lokal. Jika ingin menikmati ikan dari tangkapan liar di masa depan,  maka penangkapan ikan harus adil, dengan aturan yang dirancang memberikan keadilan dan berkelanjutan bagi semua.


Opini: Antara Nelayan Kecil dan Perusahaan Perikanan Komersial was first posted on November 21, 2014 at 1:16 pm.

Kala Daerah Cuek, Warga Rembang Ngadu ke Jakarta

$
0
0
Para ibu dari Rembang yang menolak pembangunan pabrik semen karena mengancam  lingkungan dan kehidupan mereka kala aksi di Gedung KPK, Kamis (20/11/14). Foto: Indra Nugraha

Para ibu dari Rembang yang menolak pembangunan pabrik semen karena mengancam lingkungan dan kehidupan mereka kala aksi di Gedung KPK, Kamis (20/11/14). Foto: Indra Nugraha

Hewan-hewan kabeh pada tumpes…Urep-urepan kabeh podo tumpes…Sawangen koe wit-witen podo cantes…Sawangen koe wetu-wetu podo cures…Kulo mung petani ….

Itulah lagu ciptaan para ibu dari Rembang,  soal kekhawatiran eksploitasi tambang karst yang mengancam lingkungan dan kehidupan mereka. Mereka bernyanyi bersahut-sahutan. Ke Jakarta, warga mendatangi Komnas HAM, Komnas Perempuan, Mahkamah Agung, KPK, Mabes Polri sampai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

***

Siang itu, jam menunjukkan pukul 14.00. Suasana depan gedung KPK, Kamis (20/11/19),  riuh oleh wartawan yang menanti tersangka kasus alihfungsi hutan, Gubernur Riau,  Annas Maamun, yang sedang diperiksa. Sisi lain,  ibu-ibu dari Rembang,  penolak pabrik semen duduk bersila di depan pintu masuk. Mereka menggunakan kebaya dan kain panjang (sampir). Kepala bercaping hijau. Rambut digulung, dan berkonde berwarna merah putih.

Suasana begitu kontras.  Kala KPK tengah memeriksa tersangka alihfungsi lahan, bagian lain, ibu-ibu gigih aksi mempertahankan kelestarian lingkungan.

Gunarti, perempuan yang aksi sesekali berorasi. “Lagu ini kami ciptakan sendiri berisi keresahan. Hewan-hewan, tumbuhan, batu semua akan ludes jika pabrik itu tetap didirikan. Belajar dari kejadian, kalau ada pabrik pasti kerusakan terjadi. Kita tak ingin aksi kasar. Dengan ini mudah-mudahan bisa didengar,” katanya.

Selama di Jakarta, mereka tidur di kantor YLBHI. Beralaskan tikar, berhimpit-himpitan. Namun, mereka tak mengeluh.

“Tak apa-apa tidur di lantai. Justru merasa  matur nuwun ada yang nampung di Jakarta. Ada saudara dari Walhi, Kontras, YLBHI, Desantara, dan lain-lain. Tanpa mereka mungkin kami tak tahu jalan ke KPK, KLH dan lain-lain.”

Menurut dia, tak ada tanggapan pemerintah daerah hingga ke Jakarta. “Kalau nanti pemprov, pemkab, Semen Indonesia,  tak ada respon juga, mungkin warga bertindak lebih tegas. Di sana lingkungan mereka, jadi harus dijaga.” Kini, warga menggugat Gubernur Jateng ke PTPN.

“Kami berharap Pak Jokowi sebagai presiden dipilih rakyat punya kebijakan pro rakyat. Pengen alat berat, aparat,  semua ditarik dari lokasi. Bentuk intimidasi banyak. Ada yang didatangi ke rumah ditodong senjata laras panjang. Seminggu lalu di tenda juga begitu. Warga hanya ingin membela bumi pertiwi.”

Menurut mereka, penolakan di Rembang ini simbol sikap serupa untuk di Pati, Gerobokan, Blora dan keseluruhan Jateng. “Jangan sampai ada pabrik semen. Jateng itu lumbung pangan nusantara. Pangan itu soko negoro. Potensi Jateng semua mau diambil. Padahal kita sudah tinggal melestarikan. Jangan dirusak.”

Kala sebagian aksi di KPK, yang lain mendatangi Mabes Polri. Mereka meminta Polri bertindak netral sekaligus menindak anggota yang diskriminatif dan mengintimidasi warga.

Beberapa dari mereka juga mendatangi Badan Pengawas Mahkamah Agung. Mereka meminta, hakim PTUN yang menyidangkan perkara diganti. Seharusnya,  hakim memiliki sertifikasi lingkungan hidup yang menjadi ketua majelis. Harapannya, badan pengawasan bisa memberikan teguran agar ada penggantian.

“Masyarakat dan ibu-ibu menolak pabrik semen karena merusak alam. Kami sangat cinta alam, sama ibu pertiwi. Jangan sampai rusak. Kami perempuan, kalau ada pabrik semen, air akan habis. Perempuan kalau kehabisan air gak bisa mikir. Gak bisa beli air seperti di kota,” kata Sutinah.

Para ibu-ibu dari Rembang, tidur di kantor YLBHI Jakarta. Dua hari mereka mendatangi kementerian dan lembaga negara di Jakarta, guna menyampaikan kekhawatiran lingkungan mereka. Foto: Indra Nugraha

Para ibu-ibu dari Rembang, tidur di kantor YLBHI Jakarta. Dua hari mereka mendatangi kementerian dan lembaga negara di Jakarta, guna menyampaikan kekhawatiran lingkungan mereka. Foto: Indra Nugraha

Dia mengatakan, warga punya ternak, kebun dan sawah yang memerlukan banyak air. Seandainya, ada pabrik semen sumber air bisa hilang.

Joko Priyanto, petani Rembang mengatakan, menolak pabrik semen karena dia petani. Jika ada pertambangan, otomatis debit air berkurang.

“Saya juga memelihara beberapa kambing. Tetangga pelihara sapi. Kalau pegunungan ditambang, bagaimana nasib kami? Ternak kami? Sekarang terjadi konflik sosial. Kami yang dulu punya kebiasaan gotong royong, sudah tidak. Baru mau dibangun pabrik, sudah ada konflik.”

Menurut dia, penolakan warga bukan tanpa alasan. Pabrik dan lokasi tambang berada di cekungan air Watuputih. Kawasan ini berfungsi sebagai cadangan air. Ini sesuai penelitian Dinas Pertambangan Jateng, Maret 1998.

Kepala Divisi Operasional LBH Semarang, Zainal Arifin mendesak pembatalan izin-izin lingkungan pada perusahaan tambang ini. “Ini penting karena izin lingkungan kartu as bagi izin perusahaan itu. Di Jateng, izin lingkungan seperti tanpa ada proses jelas.”

Dia mencontohkan, dokumen Amdal seharusnya melibatkan warga pro dan kontra. “Warga yang dimintai pendapat hanya yang pro.”

Menurut dia, proses ini jelas cacat prosedural. “Ini sedang gugat di PTUN Semarang,” kata Zainal.

Sobirin, aktivis Desantara menambahkan, selama ini tidak ada transparansi. Kala sosialisasi,  warga tidak terlibat. Hanya pemerintahan desa hingga informasi tidak sampai ke warga.

“Warga pemetaan, mereka menyocokkan dengan dokumen Amdal. Banyak mata air tidak masuk. Kami menyebut ini sebagai penggelapan data. Penting dikritisi. Dalam tahap persiapan sudah tidak transparan, apalagi kalau beroperasi?”

Dia juga menyoroti intimidasi warga. SI bersamaTNI membuat portal mengisolir tenda yang dibuat para ibu. Seharusnya, TNI/Polri netral.

Sesaat setelah keluar dari gedung KPK, Muhnur Satyahaprabu dari Walhi Nasional menyampaikan hasil pertemuan. “Kami bertemu bagian pengawasan KPK. Mereka berjanji mengawasi. Mereka koordinator evaluasi izin yang tidak sesuai perundang-undangan dan merugikan negara.”

KPK, kata Munhur, akan evaluasi dan merekomendasikan kepada kepala daerah untuk mencabut izin, termasuk tambang Rembang.

Munhur khawatir, karena pembangunan pabrik semen berlanjut padahal izin lingkungan sedang bersengketa. Pembangunan ini,  menimbulkan ancaman kepada warga dengan pelibatan aparat keamanan, TNI/Polri bersenjata lengkap. “Negara toledor, tidak berhati-hati dalam menerbitkan izin tambang. Kami meminta dihentikan.”

Pada Rabu (19/11/14), aksi serupa di Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Di Komnas Perempuan, mereka mengadukan represif aparat kepada ibu-ibu yang tinggal di delapan tenda perlawanan. Hingga kini,  mereka bertahan di tenda sejak Juni lalu. Secara bergantian, 150 perempuan bertahan di sana.

Komnas Perempuan meminta warga mengirimkan data Amdal dan dokumen lain hingga bisa memberikan rekomendasi. Komnas akan menyurati bupati dan gubernur terkait hak perempuan atas lingkungan  yang baik.

Di Komnas HAM, komisioner Muhammad Nurkhoiron berjanji menindaklanjuti aduan warga. Komnas HAM telah mengirim rekomendasi kepada Gubernur Jateng dan Bupati Rembang untuk menghentikan pembangunan pabrik. Komnas HAM akan memanggil gubernur, bupati dan Semen Indonesia.

“Ada rekomendasi Komnas HAM, tetapi pembangunan pabrik semen tetap jalan,” kata Gunarti. (Bagian 1)

Ibu-ibu dari Rembang, kala ngadu ke Komnas HAM, Rabu (19/11/14). Foto: Walhi

Ibu-ibu dari Rembang, kala ngadu ke Komnas HAM, Rabu (19/11/14). Foto: Walhi


Kala Daerah Cuek, Warga Rembang Ngadu ke Jakarta was first posted on November 22, 2014 at 9:12 am.

Video: Auman dari Kandang Sempit Medan Zoo

$
0
0
Empat anak harimau Sumatera ini lahir dan  hidup di Taman Margasatwa  Medan. Hidup mereka terawat, baik makan maupun kandang. Sayangnya, kandang mereka sempit hingga tak ada area bermain bagi satwa-satwa ini. Foto: Ayat S Karokaro

Empat anak harimau Sumatera ini lahir dan hidup di Taman Margasatwa Medan. Hidup mereka terawat, baik makan maupun kebersihan kandang. Sayangnya, kandang mereka sempit hingga tak ada area bermain bagi satwa-satwa ini. Foto: Ayat S Karokaro

Menjelang petang,  Taman Margasatwa Medan, atau Medan Zoo, tampak mulai lengang. Dari kejauhan, terdengar suara petugas membersihkan ruangan berjeruji besi, tempat satwa berada. Salah satu penghuni, harimau Sumatera.

Tampak lima petugas menyempatkan diri bermain dengan anak harimau dan induk. Suara auman kuat terdengar. Di dekat situ ada berbagai jenis burung dan monyet.

Setelah kandang bersih, petugas mengambil selang dan menyemprotkan air ke tubuh harimau di dalam kandang sempit itu. Auman makin kuat.

Saya datang sore,  Kamis (6/11/14) ketika pengunjung Medan Zoo mulai sepi. Zainul Akbar Nasution, Manager Taman Margasatwa Medan, di sana ada dua jenis harimau, yaitu harimau Sumatera dan Benggala dengan total 14 ekor. Harimau Sumatera, 12, dan harimau Benggala dua ekor. anak harimau Sumatera 10 ekor  dan setiap tahun lahir. Rincian, 2012 (3), 2013 (3) dan 2014 (4).

Ketika ditanya kandang harimau kecil karena berukuran sekitar 2×2 meter, katanya, itu masalah tersendiri. Biaya pengembangan area dan kandang harimau terbatas. Maka, mereka memanfaatkan lahan yang ada. Banyak pihak berminat membantu pemberian pakan ternak, namun buat perluasan, masih pengajuan ke pemerintah Medan. Namun, katanya, meski kandang sangat terbatas, mereka tetap bekerja maksimal dan fokus perawatan.

Dokter hewan  setiap saat memeriksa kesehatan belasan harimau ini. Menurut Zainul, paling utama kesehatan satwa, terletak pada makanan dan selalu menjaga kandang bersih.

Dia mengatakan, setiap dua jam, kandang harimau selalu dibersihkan. “Kami sangat berkomitmen mengembangkan harimau Sumatera meski di tengah keterbatasan kandang kecil.”


Video: Auman dari Kandang Sempit Medan Zoo was first posted on November 22, 2014 at 10:06 pm.

Warga Rembang Ngadu, Menteri Siti Janji Segera Tindaklanjuti

$
0
0

Warga Rembang tolak tambang dan pabrik semen PT Semen Indonesia membawa hasil pertanian sebagai bukti, lahan mereka subur dan sudah sejahtera dari hasil bertani. Foto : Tommy Apriando

Ibu-ibu dari Rembang, Jawa Tengah, ini menuju ruang rapat di lantai empat gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bilangan Senayan.  Wajah para ibu tak terlihat lelah meskipun baru usai aksi di KPK. Mereka begitu bersemangat.

Siti Nurbaya, Menteri LHK menemui. Warga memulai dengan bernyanyi lagu ciptaan mereka.

Hewan-hewan kabeh pada tumpes…Urep-urepan kabeh podo tumpes…Sawangen koe wit-witen podo cantes…Sawangen koe wetu-wetu podo cures…Kulo mung petani ….

Setelah itu, satu per satu mereka berbicara dalam bahasa Jawa. Mereka mengadukan lingkungan terancam oleh pabrik semen dan tindakan represif aparat hingga respon lamban pemerintah daerah.

Sobirin dari Desantara meminta waktu presentasi temuan kepada sang menteri. Siti setuju. Dia menyimak paparan itu. Sesekali berkomentar dan bertanya. Telepon genggam berkali-kali membidik proyektor mengambil gambar. Siti juga mencatat poin-poin presentasi.

Sobirin mengatakan, sudah pemetaan bersama beberapa orang dari lintas keilmuan. Bagian selatan Kabupaten Rembang terpapar pergunungan memanjang dari barat ke timur, memiliki bentangan karst.  IUP  PT Semen Indonesia masuk wilayah karst dan cekungan air tanah. “Kawasan ini penting untuk air. Sumber air bagi sekitar 600.000 lebih warga Rembang,” katanya.

Selain rusak oleh pabrik semen, kawasan itu juga marak pertambangan skala kecil yang mengancam ekosistem karst. Kasat mata terlihat kering, padahal bagian penting penyerapan air hingga membentuk jaringan sungai bawah tanah.

“Ada data digelapkan tim penyusun dokumen Amdal. Dalam dokumen disebutkan hanya 38 sumur dan sembilan gua.”

Data temuan mereka, ada ratusan sumur di wilayah sama, ada gua, ponor dan sumber air. Ada 54 gua, lima masuk IUP dan sebagian besar di sekitar IUP. Terdapat 52 sumber air berupa sumur, 125 sumber mata air keluar dari rekahan atau celah, 44 ponor dan 23 masuk IUP.

Warga desa masuk lokasi IUP dan mendapati sungai bawah tanah di gua Gunung Karak, Desa Sumberan, Kecamatan Guneng namun tidak disebutkan dalam Amdal. Gua Menggah disebut dalam Amdal sebagai gua tidak berair. Padahal sumber air.

Satu forum di Lasem, Sobirin berdiskusi dengan doktor Budi Sulistio dari SI. Dia mengatakan apa yang disebut Amdal sudah betul. Disitu tak ada ponor. Budi mengatakan, jika ada ponor, berani menarik kajian Amdal.

Menteri KHK, Siti Nurbaya, menemui warga Rembang yang aksi ke Kementerian LHK untuk ngadu masalah mereka dengan pabrik semen, pada Kamis (20/11/14). Siti berjanji segera menindaklanjuti. Foto:  Indra Nugraha

Menteri LHK, Siti Nurbaya, menemui warga Rembang yang aksi ke Kementerian LHK untuk ngadu masalah mereka dengan pabrik semen, pada Kamis (20/11/14). Siti berjanji segera menindaklanjuti. Foto: Indra Nugraha

“Ketika kami tunjukkan data kami, dia mengatakan yang harus dicek cara kami mendapatkan data. Dianggap tidak ilmiah. Padahal mata air di sana tidak pernah kering sepanjang tahun,” kata Sobirin.

Siti pun menanggapi. Dia segera menindaklanjuti masalah ini. Siti senang bertemu langsung dengan warga sekaligus mendengar berbagai keluhan.

“Kami jajaran pemerintahan secara terintegrasi dari nasional, provinsi dan kabupaten harus bertemu dulu. Informasi terakhir barusan sangat berharga bagi saya sebagai rujukan mengambil langkah. Tahap sekarang, belum bisa seluruh kami selesaikan saat ini juga. Saya minta restu, mohon doa dan minta waktu.”

Siti meminta deputi segera rapat mengundang Gubernur Jateng, dan Bupati Rembang.  “Ini penting agar bisa mengetahui persis  mengapa para pimpinan daerah mengambil posisi itu. Akan dicari  solusi bersama.

“Terus terang saya mendengarkan tembang yang dinyanyikan ibu-ibu barusan ingin nangis. Saya merasakan getaran dari ibu-ibu sekalian,” katanya.

Dia sepakat dengan data-data warga dan aktivis lingkungan. Berdasarkan ilmu semua sudah jelas. Citra radar tak bisa bohong. Hidrologi paling mudah didekati dengan citra radar.

“Saya belajar itu. Saya percaya data dan informasi dari kawan-kawan. Saya percaya yang disampaikan ibu-ibu dan teman masyarakat sipil. Ini sebenarnya kunci di izin dan Amdal. Saya tak boleh sembarangan.”

Menurut dia, kebijakan pemerintah seharusnya tidak membuat keberlawanan antara swasta dengan rakyat.  Kebijakan pemerintah harus sebaik-baiknya bagi rakyat.

“Saya akan meminta Ombudsman mengetahui apakah kebijakan ini  bisa dilihat salah, atau pegawai yang tak beres? Saya kira ini tantangan pemerintah,  bagi Presiden, bagi saya sebagai yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Karena yang diminta ibu-ibu ini perlindungan ekosistem karst. Itu tanggung jawab saya.”

Dia senang warga didampingi organisasi lingkungan hidup. Siti berharap, komunikasi dengan warga terus berlangsung. “Saya yakin, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri.  Tak ada kebenaran mendua. Jadi kalau kamu bilang pakai metode apa, ya kalau ekosistem karst emang seperti itu, mau pakai ground check, foto udara, ujungnya ke situ juga.”

Muhnur Satyahaprabu, dari Walhi Nasional mengapresiasi upaya Kementerian LHK dan berharap ada tindakan nyata setelah pertemuan  ini.“Tanggapan bu menteri bagus. Lembaga lain tidak bisa memfasilitasi dan tidak jelas arahnya. Kementerian LHK cukup excited. Saya berharap bu menteri bisa menyelesaikan masalah ini.” (Bagian 2-habis)

 


Warga Rembang Ngadu, Menteri Siti Janji Segera Tindaklanjuti was first posted on November 23, 2014 at 8:20 am.

Dari Sidang UU P3H: Kala Kearifan Lokal Hancur Gara-gara Aturan Negara

$
0
0

Kayu alam dari konsesi PT Toba Pulp Lestari, yang berkonflik dengan masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, karena hutan kemenyan mereka terbabat berganti eksliptus. Di negeri ini, kerusakan hutan hanya suatu yang administratif bukan subtantif. Jika hutan rusak resmi karena izin pemerintah tak masalah. Berbeda, kala masyarakat adat yang mengelola hutan adat mereka–yang belum dapat pengakuan negara–ditangkap dengan sebutan perambah hutan. Foto: Made Ali

“Kalau nanti ada hukum-hukum (negara) nanti rusak (kearifan lokal). Kalau mereka tak akui aturan kami, kami juga tak mau akui adat yang datang dari luar.”  Begitu ungkapan tegas dan lantang dari Yontaneri Rajo Jambak, dari masyarakat adat Malano, di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, kala menjadi saksi pada sidang gugatan terhadap UU P3H dan UU Kehutanan di Mahkamah Konstitusi, Kamis (20/11/14). Yontaneri, tak datang ke Jakarta, dia memberikan keterangan lewat tele conference dari Universitas Andalas.

Yontaneri mengungkapkan kekhawatiran kala mendengar informasi dari berbagai daerah terjadi penangkapan-penangkapan yang dialami masyarakat adat, salah satu setelah ada UU P3H. Kekhawatiran dia beralasan karena sebagian wilayah adat Malano, diklaim negara masuk hutan lindung.

Kasus-kasus di beberapa daerah, seperti di Bengkulu, empat warga adat Semende Agung, masuk penjara hasil UU P3H dengan dalih ‘perambah’ karena berkebun di kawasan yang belakangan oleh pemerintah ditetapkan menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

Yontaneri bercerita, masyarakat adat Guguk Malano, terdiri dari tiga koto mencakup 11 suku, dengan posisi tertinggi dipegang karapatan adat Nagari, Datuk Rajo Malano. Mereka menjaga alam dengan kearifan lokal.

Dia khawatir, UU P3H bakal berimbas kepada mereka dan anak cucu. “Kata pemerintah negeri kami masuk hutan lindung, tapi kami tak ada manfaat. Kami mohon yang mulia, agar jangan jadi ancaman.”

Menurut dia, penetapan status kawasan hutan tak pernah ada bahasan bersama mereka, serta merta mendapat informasi kalau wilayah adat masuk hutan lindung. Warga Malano makin terdesak. “Kami 100 meter sudah tak boleh masuk, 100 meter tak bisa cukup. Kapan dia ukur? Kapan dia bicara dengan kami? Tak tahu. Tahu-tahu gambar hijau saja pak (yang menyatakan hutan lindung),” ujar dia.

Yontaneri juga cemas, masuknya UU ini bakal merusak tatanan adat mereka. Untuk itu, katanya, jika nanti dipaksakan, mereka akan menjaga kawasan adat dengan berbagai cara. Dia menyebut beberapa cara kebatinan. “Kalau kami dibilang tak beragama, tersenyum. Kalau dibilang tak beradat, hancur kami…”

Warga juga khawatir terjadi kerusakan hutan karena negeri mereka berada antara 10-45 derajat hingga rawan gempa dan banjir. Untuk itu, dalam mengelola lahan, warga nagari mengatur dalam beberapa bagian demi menjaga kawasan terutama dataran tinggi tetap berhutan. Wilayah, terbagi antara lain, hutan cadangan, sebagai kawasan yang dialokasikan buat masa depan. Ada hutan kesepakatan, di mana untuk pemanfaatan mesti ada kesepakatan bersama. Juga ada lahan olahan pribadi.  Meskipun saat ini terbilang masih belum ada konflik dengan pemerintah, tetapi dia khawatir tatanan yang mereka buat bisa tersingkir dengan status hutan lindung itu.

Air, salah satu sumber hidup warga yang bakal hilang kala hutan-hutan mulai tergerus. Kala hutan terjaga, sumber air pun bakal melimpah. Ini salah satu yang kini dihadapi masyarakat adat, sumber air hilang karena hutan berubah fungsi menjadi peruntukan lain atas izin pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Air, salah satu sumber hidup warga yang bakal hilang kala hutan-hutan mulai tergerus. Kala hutan terjaga, sumber air pun bakal melimpah. Ini salah satu yang kini dihadapi masyarakat adat, sumber air hilang karena hutan berubah fungsi menjadi peruntukan lain atas izin pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Saat kesaksian Yontaneri, sidang yang biasa hening, sempat berubah heboh. Tak jarang, jawaban-jawaban lugas Yontaneri, mengundang gelak tawa.

“Apa sudah ada warga yang ditangkap?” tanya Hamdan Zoelva, hakim MK.

Insya Allah, belum pak.”

Malah, kata Yontaneri, oknum aparat yang mereka denda karena mengganggu kayu-kayu di hutan.

“Kami denda Rp600 ribu. Kendaraan juga disita, tapi mobil kami kembalikan setelah denda adat dibayar.”

“Kalau begitu, alhamdulillah, tak ada yang ditangkap. Bukan insya Allah,” kata Hamdan.

“Iya, alhamdulillah, pak.”

Tawa pengunjung sidang tak terhindarkan.

Hamdan memuji keterangan Yontaneri yang lugas, jelas dan singkat.

***

Potret kehancuran kearifan lokal telah terjadi di masyarakat adat Sembalun yang  tinggal di Pegunungan Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat,  dampak masuk aturan negara lewat pembagi-bagian kawasan hutan.  Sejak wilayah adat sebagian menjadi taman nasional sampai konsesi perusahaan, adat istiadat yang turun menurun terjaga sulit dijalankan. Warga adat tak lagi mempunyai pengakuan wilayah mereka sekaligus tak bisa lagi menjaga kawasan itu. Cerita ini terungkap dalam kesaksian tokoh agama sekaligus tokoh adat Sembalun, Abdul Rahman Sembahulun dalam sidang di MK, siang itu.

Sejak turun menurun, komunitas ini hidup dengan kearifan lokal yang ketat. Sayangnya, setelah berbagai aturan pemerintah masuk, termasuk pembagi-bagian hutan ke dalam lindung, sampai hutan produksi—belakangan izin keluar kepada pengusaha—masyarakat adat sulit menjaga alam dengan tradisi mereka. Hutan-hutan hijau nan lebat pun berubah menjadi ilalang yang mudah terbakar.

Dari kiri, Febrian Anindita (AMAN Sumbawa), Sukran Hawalin (Komunitas Adat Semende Banding Agung, Bengkulu),  Rukka Sombolinggi (deputi sekjen AMAN), Abdul Rahman Sembahulun (Komunitas Adat Sembahulun) dan Ismail (Komunitas Adat Barambang Katute), usai sidang gugatan UU P3H di MK, Kamis (20/11/14). Foto: Sapariah Saturi

Dari kiri, Febrian Anindita (AMAN Sumbawa), Sukran Hawalin (Komunitas Adat Semende Banding Agung, Bengkulu), Rukka Sombolinggi (deputi sekjen AMAN), Abdul Rahman Sembahulun (Komunitas Adat Sembahulun) dan Ismail (Komunitas Adat Barambang Katute), usai sidang gugatan UU P3H di MK, Kamis (20/11/14). Foto: Sapariah Saturi

Dampakpun, mereka rasakan saat ini, kala kemarau kekeringan, kebakaran hutan, kala hujan, banjir bandang sampai longsor menghantam.

“Dulu masyarakat adat kami, damai, tenteram, tak ada masalah,” katanya.

Sekitar 1941, Belanda menggeser kebebasan masyarakat di hutan, berlanjut ke era Indonesia, dengan membuat hutan tutupan, hutan lindung sampai suaka margasatwa. Pada 1941-1979, katanya, masih ada upacara adat tetapi lama-lama mereka terus terdesak hingga sulit menjalankan tradisi. Tahun 1979, warga terusir. “Penjajah setelah kemerdekaan sangat menekan kami, yang bernama Kehutanan, lewat taman nasional.”

Penderitaan masyarakat makin mendalam. Rumah-rumah dibakar, dan warga ditangkapi. “Belanda ambil satu tanah diganti, tapi sekarang (Indonesia) tidak lagi. Warga ambil kayu bakar lihat hijau (polhut) sudah takut. Lari, parang tertinggal, itu yang diambil.”

Menurut dia, Indonesia ini yang merdeka hanya pemerintah. Masyarakat adat tetap terjajah dan terhinakan. “Tak akan pernah dapatkan hak kemerdekaan, walaupun kita setiap tahun rayakan kemerdekaan. Masyarakat adat tak diakui. Kami adat dengan perangkat jauh sebelum negara merdeka. Setelah negara merdeka terjadi penjajahan baru,” ucap Abdul Rahman, kepada wartawan usai sidang.

Luas wilayah adat mereka sekitar 40.000 hektar. Kini, sekitar 12.000 hektar, wilayah adat diklaim menjadi Taman Nasional Rinjani. Belum lagi yang masuk konsesi perusahaan, tetapi dia tak tahu berapa angka pasti berapa hektar. “Taman nasional ada zona pemanfaatan, tapi buat turis, bukan buat masyarakat adat di sana,” ujar dia.

Dalam pranata sosial, katanya, masyarakat adat tanah Sembalun hidup dengan kearifan lokal dalam menjaga lingkungan. Mereka mempunyai konsep metu telu (Tuhan, alam dan manusia) dengan tiga tokoh penghulu adat dibantu kyai-kyai adat. Mereka khusus memberikan pembinaan spiritual keagamaan dan moral masyarakat adat. Pemangku adat mengurus alam dan lingkungan. Mereka dibantu mangku.

Wilayah adat itu terdiri dari beberapa mangku. Ada Mangku Bumi yang mengurus tata ruang, di mana perkampungan, kendaraan, kuburan, sawah, perkebunan dan hutan termasuk savana. Juga menentukan komplek untuk obat, dan mata air. Lalu, Mangku Jawat, menyangkut masalah hutan. Dia yang mengatur ketentuan-ketentuan masuk hutan dan potong kayu dan berburu atau tangkap burung, termasuk masuk hutan untuk tirakat.

Dalam sidang, Abdurahman, menceritakan, kearifan adat mereka, kala ingin menebang satu pohon di hutan, wajib menanam sampai hidup minimal 10 pohon. “Jadi, hutan tak akan pernah mati dan gundul.” Dalam berburupun, katanya, warga tak boleh menangkap rusa atau kijang yang sedang berkumpul, harus yang terpisah dari kelompok. “Setelah ada yang bawa senjata, tak ada lagi indahnya sistem ini,”  ujar dia.

Ada Mangku Gunung.  Setiap gunung, kata Abdul Rahman,  ada situs-situs yang harus dijaga dan dipelihara. Dari sekian pegunungan di sekitar Rinjani itu,  ada khusus mangku atau bisa disebut menteri. Kemudian, Mangku Makem,  khusus mengurus mata air, pemeliharaan, konservasi, menjaga biota-biota yang ada. Mangku Rantai Emas menyangkut cagar alam dan Mangku Ketapahan (Mangku Majapahit) terkait cagar budaya.

Kini, kearifan yang begitu indah itu luntur pelahan. Bukan karena warga melupakan adat tetapi mereka makin terdesak dan tak memiliki keleluasaan menjaga alam seperti dulu.

Mata air dulu ada sekitar 70, kini tersisa empat saja. Mengapa? “Dulu kan sangat dijaga sedemikian rupa dengan kearifan lokal, begitu  sudah dikuasai pemerintah, lahan saja dikuasai pemerintah, tapi tidak perbaikan hutan. Sejak itu terjadi pembalakan dan kerusakan hutan.”

Pembalakan, katanya, bisa masyarakat luar, atau petugas. Dulu, katanya, jika ada orang luar masuk seenaknya nyawa sebagai taruhan. “Tidak akan kembali kalau melanggar adat. Begitu adat dikeluarkan dari sana, apakah diketahui atau tdak terjadi kerusakan hutan.”

Pohon-pohon hutan pelahan sirna, lalu tumbuh ilalang dan mudah terjadi kebakaran. “Kemarau kemarin, dua bulan hutan di Rinjani terbakar.”

Bukan hanya kebakaran. Lahan-lahan di lembah,  rumah dan sawah-sawah warga terbawa air kala banjir. “Lahan di pinggir ditimbun batu-batu dan pohon sisa-sisa pembalakan. Makin memiskinkan masyarakat. Tak ada lagi tempat mereka bergantung. Sudah sempit,  disempitkan lagi, dan tak bermanfaat lagi,” katanya.

Tak pelak, karena himpitan ekonomi, warga banyak menjadi buruh  atau bekerja ke luar negeri. “Ibu-ibu ke Arab Saudi, yang kita tahulah bagaimana kasus-kasus di sana.”

Dua saksi warga adat yang lain, Ismail dari Komunitas Adat Barambang Katute, Sulawesi Selatan dan Sukran Hawalin dari Komunitas Adat Semende Banding Agung, Bengkulu, juga menceritakan bagaimana penderitaan warga dampak klaim pemerintah atas hutan yang sudah mereka kelola turun menurun.

Saksi ahli, Dr Hermansyah dari Untan, Pontianak, Kalbar. Foto: Sapariah Saturi

Saksi ahli, Dr Hermansyah dari Untan, Pontianak, Kalbar. Foto: Sapariah Saturi

Negara gagal paham?

Pada hari itu juga ada kesaksian ahli dari Dr. Hermansyah, dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.  Pandangan dia, banyak kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan karena negara memahami azas legalitas tak utuh hingga terjadi over kriminalisasi.

Padahal, esensi pidana awal mula muncul,  sebenarnya upaya pokok para ahli melindungi masyarakat atau individu dari kesewenang-wenangan raja yang memiliki kekuasaan absolut. “Perlindungan ini jadi ruh. Namun, pemahaman yang terjadi, azas legalitas malah alat bertindak negara kepada warga.”

Terkait putusan Mahkamah Konstitusi No 35 yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara, katanya, merupakan amanat konstitusi yang harus dijalankan negara. “Ini untuk melindungi hutan-hutan adat dalam bentuk pengakuan negara.”

Amanah ini yang belum berjalan. “Dalam realitas belum banyak produk hukum untuk akui hutan adat.”

Sayangnya, kala negara dan pemerintah belum menjalankan tugas, belum menata hutan dengan baik, sudah menerapkan hukum pidana, salah satu UU P3H kepada warga. “Karena negara belum menata hutan, maka masyarakat adat tak berdaulat.”

Kala hutan tak ditata, maka perusakan hutan hanya masalah administratif bukan subtantif. Hingga tak melihat dampak kerusakan.  Dia mencontohkan, perusahaan perkebuan, HPH maupun HTI yang menebang hutan tak masalah karena ada izin. Bahkan, kala HPH/HTI ada di hutan adat dan terjadi pembersihan hutan tak hitung merusak hutan karena ada izin. Sedang, hak hutan adat belum diakui.

Hermansyah mengatakan, kala negara telah menata hutan, muncul masalah, barulah berlaku pidana. “Sekarang, belum ditata tapi warga sudah dikriminalisasi. Negara harus menata dulu, baru hukum negara hadir!”

Dia mengatakan, kala azas legalitas hanya dipakai negara untuk bertindak pada warga, maka pada hakekatnya negara itu belum beranjak pada negara hukum. Artinya, masih rezim otoriter (dulu raja otoriter, sekarang negara).

Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, meskipun sudah ada putusan MK 35, tidak ada perubahan berati di lapangan. Saksi ahli di sidang gugatan UU P3H, katanya, menyampaikan, azas legalitas tidak bisa dilaksanakan dalam suatu suasana ketidakjelasan seperti sekarang (negara belum menata hutan).

“Jadi apa yang dilakukan pemerintah dengan kriminalisasi ini menerjemahkan azas legalitas secara salah. Karena itu,  MK harus melihat, UU itu berlaku di dalam satu kondisi hukum yang tidak layak untuk melaksanakan UU itu. Jadi, kalau secara normatif belum ada kejelasan, ya jangan melakukan hukum pidana,” kata Abdon.

Kini, hukum pidana itu malah menjadi bentuk baru dari pemaksaan negara terhadap warga yang sesungguhnya, pada saat kedua pihak belum ada posisi jelas. “Hukum pidana dimaksudkan melindungi warga negara justru sebaliknya, dipakai negara buat memaksakan kehendak terhadap warga yang nyata-nyata tak adil.”

Warga berupaya mempertahankan hutan adat karena tempat gantungan hidup mereka. Namun, banyak terjadi di Indonesia, mereka kehilangan hutan karena diklaim pemerintah ke dalam pembagian hutan versi negara. Tak jarang, hutan-hutan adat sudah menjadi wilayah konsesi, hingga warga adat tak bisa mempertahankan kala perusahaan mulai menebangi--karena legal berizin pemerintah. Kala melawan, konflik pecah, kriminalisasi warga terjadi.  Foto: Sapariah Saturi

Warga berupaya mempertahankan hutan adat karena tempat gantungan hidup mereka. Namun, banyak terjadi di Indonesia, mereka kehilangan hutan karena diklaim pemerintah ke dalam pembagian hutan versi negara. Tak jarang, hutan-hutan adat sudah menjadi wilayah konsesi, hingga warga adat tak bisa mempertahankan kala perusahaan mulai menebangi–karena legal berizin pemerintah. Kala melawan, konflik pecah, kriminalisasi warga terjadi. Foto: Sapariah Saturi


Dari Sidang UU P3H: Kala Kearifan Lokal Hancur Gara-gara Aturan Negara was first posted on November 23, 2014 at 4:43 pm.

Inilah Peringkat Perusahaan Sawit Terbaik dan Terburuk

$
0
0

Screenshot dari fungsi pemetaan SPOTT. Klik gambar untuk memperbesar

Sebuah prakarsa memperingkatan,  25 perusahaan sawit terbesar dunia dalam transparansi kebijakan lingkungan hidup pada operasional mereka.

Proyek ini, disebut Sustainable Palm Oil Transparansi Toolkit (SPOTT), dikembangkan The Zoological Society of London (ZSL). Di dalamnya, mencakup hampir 50 indikator sustainability di tujuh kategori, termasuk keanggotaan dan kepatuhan pada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), kebijakan emisi gas rumah kaca, perlindungan hutan, dan rantai pasokan sawit yang bisa ditelusuri.

Informasi-informasi ini dipaparkan di dalam peta, yang memungkinkan pengguna melihat deforestasi, titik api, dan hutan yang tersisa di dalam setiap konsesi.

Dengan mempublikasikan indikator-indikator ini, SPOTT  akan mendorong perusahaan-perusahaan sawit saling bersaing satu sama lain dalam keberlanjutan. Ini juga memungkinkan pegiat lingkungan hidup memantau kepatuhan perusahaan akan komitmen ‘nol deforestasi’ dan terkait pelestarian lingkungan hidup.

“Dibandingkan scorecard yang statis, ZSL SPOTT adalah sistem interaktif dinamis selalu terupdate dalam melihat perubahan kebijakan perusahaan yang tercermin dalam skor penilaian masing-masing perusahaan,” kata ZSL dalam pernyataan mereka. “Ke-25 perusahaan masing-masing diberi persentase untuk setiap kategori dan skor total kinerja keseluruhan. Ini untuk membantu mereka mengidentifikasi sektor-sektor yang perlu perbaikan, dan mengukur seberapa transparan mereka saat ini.”

Stakeholder,  dapat memantau aktivitas perusahaan sawit dengan menggunakan Google Map untuk melihat batas-batas konsesi perusahaan, kawasan lindung, tutupan hutan dan hutan yang sudah hilang, dan peringatan api yang selalu aktif dari NASA yang didapat dari World Resources Institute global Forest Watch.

Perusahaan minyak sawit terbaik di daftar ini adalah New Britain Palm Oil Limited, sebuah perusahaan beroperasi di Papua Nugini. Perusahaan ini termasuk perusahaan-perusahaan pertama di dunia  yang bergabung dalam Palm Oil Innovation Group(POIG), sebuah prakarsa yang mendorong penguatan standar sosial dan lingkungan hidup untuk minyak sawit.

Golden Agri-Resources, perusahaan sawit pertama di Asia yang membangun komitmen nol deforestasi bersaing dengan perusahaan Malaysia, yakni United Plantations, di peringkat ke dua. Lima perusahaan Malaysia di peringkat paling bawah, yang termasuk Sarawak Oil Palms Berhad dan TSH Resources Berhad, yang beroperasi di Borneo, Malaysia.

Pemeringkatan SPOTT hanya  perusahaan-perusahaan sawit yang go public, hingga daftar ini masih belum begitu lengkap. Ada kesenjangan cukup signifikan dalam cakupan data. Namun, inilah proyek pertama di dunia yang memberikan penilaian begitu ketat, dan sistematis terhadap perusahaan-perusahaan minyak sawit.

“Saat ini ada informasi terbatas terkait komitmen perusahaan-perusahaan sawit. SPOTT menjadi awal dari lengkap perubahan dalam transparansi industri sawit dan pemantauan risiko lingkungan” kata James Horne, Koordinator Transparansi Proyek ZSL itu.

“ZSL akan terus meng-upgrade SPOTT untuk memverifikasi komitmen-komitmen lingkungan hidup benar-benar diimplementasikan di lapangan.”

Peringkat perusahaan sawit. Klik gambar untuk memperbesar


Inilah Peringkat Perusahaan Sawit Terbaik dan Terburuk was first posted on November 24, 2014 at 3:26 pm.

Soal Amdal Semen Rembang, Berikut Telaahan Kementerian LHK

$
0
0

Tenda perjuangan warga Rembang menolak pabrik PT Semen Indonesia. Foto : Tommy Apriando

Sejak Juni 2014, ratusan perempuan aksi bertahan di tenda-tenda pada lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia,  di pegunungan karst Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Teranyar, warga ke Jakarta, dan marathon bertemu kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Warga mendesak penghentian pabrik semen yang bakal mengancam kehidupan dan lingkungan mereka. Kajian warga bersama organisasi lintas keilmuan, mendapatkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) banyak cacat. Warga telah menggugat Gubernur Jawa Tengah ke PTUN.

Kementerian LHK—saat itu Kementerian Lingkungan Hidup–, turun tangan menguji kembali Amdal perusahaan. Hasilnya, banyak poin penting tak masuk dalam Amdal. Review Amdal, begitu rekomendasi dari KLH.

Arief Yuwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian LHK mengatakan, dari kaji ulang KLH menemukan, antara lain, izin lingkungan Gubernur Jateng kerluar pada 2012,  padahal dalam RTRW Jawa Tengah 2010, menetapkan Watuputih sebagai kawasan lindung imbuhan air. Begitupula Perda RTRW Rembang 2011, menetapkan Watuputih sebagai kawasan lindung geologi.

Ditambah lagi, katanya, dokumen Amdal pembangunan pabrik semen ini tidak memuat beberapa fakta di lapangan, antara lain gua-gua tidak berair pada kedalaman 100 meter. “Padahal masyarakat mengambil air dari sumur-sumur dengan kedalaman 15 meter untuk keperluan sehari-hari,” katanya kala pertemuan konsolidasi dengan organisasi lingkungan hidup di Jakarta, Senin (24/11/14).

Pembahasan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun dilakukan. Terutama membahas kawasan lindung, khusus Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih,  yang telah ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.26/2011.

KLH pun turun ke lapangan bersama LIPI, guna mengidentifikasi kawasan lindung karst baik fungsi hidrologi maupun biota. Hasilnya, kata Arief,  ada 109 mata air, 49 gua dan empat sungai bawah tanah yang masih mengalir. Lalu, fosil-fosil yang menempel pada dinding gua dihuni 730 kelelawar pemakan serangga dan biota lain. Di dalam izin SI hanya menyebutkan enam gua, dan 23 ponor. “Ini saja sudah masuk indikator kawasan lindung.”

Dari penelusuran itu, katanya, KLH merekomendasikan Amdal dikaji ulang.

“Kita sudah sampaikan pada BLHD Jateng hasil telaahan mengenai dokumen lingkungan. Harus direvisi dan diperbaiki. Mereka sedang proses tindak lanjut,” kata Imam Hendargo Ismoyo, Deputi Bidang Penataan Hukum Lingkungan LHK, belum lama ini. Nanti, katanya, baik kerangka acuan (KA), Andal dan RKL/RPL harus ada revisi dan perbaikan cukup substantif dan menyeluruh.

Mengapa rekomendasi KLHK hanya kaji ulang Amdal? Arief mengandaikan Amdal sebagai alat proses sesuatu yang bisa direvisi dan akan menghasilkan output berbeda. “Manakala ia diproses dengan input sesuatu, untuk output sesuatu. Sekarang kita menambahkan input kan, pasti kita harapkan output jadi sesuatu. Output itu akan mengkoreksi saya kira,” ucap Arief.

“Amdal hanya satu alat, yang tergantung input. Kalo input kurang lengkap, Komisi Amdal Jateng akan memasukkan sesuatu yang belum masuk,” tambah Arief.

Dia mengatakan ‘wajar’ ada sesuatu yang belum masuk dalam Amdal. “Jadi Amdal diulang itu lazim. Nanti ditambahkan ke UKL/UPL. Amdal itu potret awal industri atau pabrik belum ada. Lalu coba dipresiksi, positif negatif, ada sesuatu yang belum masuk. Wajar saja.”

Bagi Arief, KLHK turun langsung justru menguatkan perlindungan lingkungan hidup dengan memotret sesuatu yang betul-betul ada di lapangan. “Jadi, ini bagian pengawasan…”

Bagaimana Amdal-amdal error lain yang tak sempat ditelaah sampai ke pusat?


Soal Amdal Semen Rembang, Berikut Telaahan Kementerian LHK was first posted on November 24, 2014 at 10:28 pm.

Rusak Parah, Ramai-ramai Selamatkan Mangrove Muara Majene

$
0
0
Daerah sekitar Muara  Majene kini menjadi padang pasir,  hanys sedikit  tanaman mangrove yang tersisa. Foto: Wahyu Chandra

Daerah sekitar Muara Majene kini menjadi padang pasir, hanys sedikit tanaman mangrove yang tersisa. Foto: Wahyu Chandra

Muara Sungai Majene terletak di Desa Kasano, Kecamatan Baras, Kabupaten Mamuju Utara (Matra), Sulawesi Barat, rusak parah. Hasil kajian dan inventarisasi kerusakan dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Matra menunjukkan, kerusakan mangrove seluas 711,7 hektar.

Inilah yang mendorong inisiatif BLHD Matra bersama sejumlah pihak menguupayakan penanaman mangrove di sini. Inisiatif ini mereka namakan ‘kolaborasi’.

Pada Kamis (13/11/14), pukul 09.00,  kami berkumpul di dermaga kecil di bawah jembatan Majene. Ada lima perahu kecil yang akan mengangkut puluhan orang menuju lokasi penanaman.

Sesuai nama, kegiatan ini melibatkan banyak pihak. “Kami mengajak perusahaan dan masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan agar merasa memiliki dan bertanggungjawab menjaga,” kata Muh. Tauhid, BLHD Matra.

Dukungan warga sangat besar dan swadaya. Tidak hanya orang dewasa, anak belasan tahun terlibat dan seizin sekolah.“Kompensasi bagi warga, mereka bisa memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber mata pencaharian. Mereka prihatin dengan kondisi hutan mangrove yang habis.”

Perusahaan, PT Unggul Wisya Teknologi Lestari menyiapkan 20.000 bibit mangrove berbagai jenis, BLHD 3.500 bintangor, yang memiliki akar dan pohon kuat dan diyakini mampu melindungi pantai dari abrasi.

Kala kami mendekati muara sungai, makin jelas kerusakan mangrove. Sepanjang mata memandang, hamparan tambak tak terurus, mangrove telah dibabat habis.

Menurut Direktur eLSAB, Mawardi, dulu kawasan itu hendak jadi tambak, karena dianggap tidak ekonomis, mangrove sudah dicabuti dengan alat berat ditinggalkan begitu saja.“Bertahun-tahun kawasan itu dibiarkan terbengkalai.”

Menurut dia, konversi lahan mangrove menjadi tambak dimulai sejak 1990-an, ketika pemerintah mengintensifkan transmigrasi dan pembukaan kawasan di Mamuju—dulu masuk Sulsel.

Warga mulai menanami mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra

Warga mulai menanami mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra

Warga dari berbagai daerah pesisir Sulsel, seperti Pangkajene Kepulauan, Pinrang dan Takalar,  mulai berdatangan dan mulai membuka lahan untuk tambak. Sayangnya, ketika tambak-tambak tidak produktif langsung ditinggalkan dan membuka lahan di tempat lain.

Albar Tajuma, warga yang ikut menanam mengatakan, kerusakan parah karena tinggi penebangan liaroleh oknum warga beberapa tahun terakhir. “Habis semua tanaman ditebang. Tak ada lagi yang bisa menahan laju pendangkalan.”

Mawardi membenarkan, ada penebangan liar untuk komersial di sana. Keadaan sekarang rusak parah. Dia memperkirakan, perbaikan kawasan seperti semula memerlukan sampai 10 tahun. “Itupun kalau dikerjakan serius, terus menerus dan melibatkan banyak pihak.”

Sekretaris Desa Kasano, Dais, terkejut dengan kondisi muara Majene jauh lebih parah dari perkiraan. Ini pertama kali dia datang. Dia mengaku, sering mendapat laporan ada penebangan liar di sini tetapi tak mampu berbuat banyak. “Saya dengar pelaku dari desa sebelah. Sudah sering ditangkap polisi tapi tetap saja.”

Menurut Tauhid, penanaman mangrove memiliki arti penting guna perlindungan lingkungan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat. Apalagi, sebagian besar kawasan rusak itu termasuk hutan lindung.

“Mangrove tempat hidup sejumlah biota laut seperti ikan, udang dan kepiting, yang bisa menjadi sumber penghasilan masyarakat.”

Perbaikan kawasan itu diharapkan berdampak pada perlindungan sejumlah fauna seperti penyu dan maleo.“Saya ingat dulu di tempat ini masih banyak maleo. Kini paling satu dua yang kelihatan,” katanya.

Dulu, ada kebiasan warga mengambil telur penyu yang banyak bertebaran di pantai. “Ini makin mengurangi populasi penyu di sini.”

Menurut Mawardi, penanaman di Muara Majene ini hanya salah satu. Konservasi kawasan pesisir melalui pola kemitraan ini sudah 100 hektar dengan bibit mangrove sekitar 1 juta.

Daerah lain, seperti Desa Paporong (Kecamatan Sarasa), Desa Dodda (Kecamatan Sarudu), Desa Bulu Parigi (Kecamatan Baras), dan Desa Bamba Koro (Kecamatan Lariang). Lalu, Desa Tikke (Kecamatan Tikke), Desa Malei (Kecamatan Padongga), Desa Pangeang (Kecamatan Bambalamotu), dan Desa Sarjo (Kecamatan Sarjo).

Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga ikut tanam mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra

Tak hanya orang dewasa, anak-anak juga ikut tanam mangrove di Muara Majene. Foto: Wahyu Chandra

Namun, dia menilai keberhasilan konservasi belum efektif karena perkiraan bibit tumbuh hanya 30%. Kendalanya, antara lain waktu tanam musim ombak tinggi, akhir-akhir tahun.

“Selama ini penanaman akhir-akhir tahun, seperti November-Desember, potensi gagal besar. Karena rata-rata anggaran penanaman baru cair akhir tahun. Saya sudah sampaikan ini di sejumlah forum.”

Masa penanaman mangrove efektif, kata Mawardi, seharusnya antara April-Agustus. “Itu musim teduh, tepat menanam mangrove.”

Ekspansi tambak meluas

Fenomena ekspansi petambak Sulsel ke daerah lain diakui peneliti Mangrove Action Project (MAP), Yusran Nurdin Massa. Para petambak datang ke daerah baru membeli lahan dan memetakan kawasan.

“Mereka mendekati tokoh masyarakat atau tokoh adat. Ketika sudah diterima masyarakat mereka segera membuat tambak.”

Ekspansi ini, telah menyasar ke daerah pesisir di Indonesia, bagian utara Sulawesi, Kalimantan, Sumatera hingga Nusa Tenggara. Hanya Papua yang tak tersentuh karena faktor alam.

“Papua ombak tinggi, bisa sampai tiga meter. Percobaan pembuatan tambak di Papua selalu gagal.”

Di Papua, kata Yusran, ancaman mangrove dari ekspansi sawit. Daerah ini memiliki luasan mangrove 60% dari populasi di Indonesia.

Dulu di kawasan ini adalah hutan mangrove, tetapi dibabat untuk pembuatan tambak.  "Tambak' ditinggalkan terbengkalai kala bisnis dinilai tak ekonomis. Foto: Wahyu Chandra

Dulu di kawasan ini adalah hutan mangrove, tetapi dibabat untuk pembuatan tambak. “Tambak’ ditinggalkan terbengkalai kala bisnis dinilai tak ekonomis. Foto: Wahyu Chandra

 


Rusak Parah, Ramai-ramai Selamatkan Mangrove Muara Majene was first posted on November 24, 2014 at 11:27 pm.

Buka Jalan ke Relokasi, Penghuni Hutan Siosar Muncul

$
0
0
Python albino yang ditemukan warga kala membuka hutan Siosar di Karo, Sumut, untuk bikin jalan menuju relokasi pengungsian korban erupsi Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Python albino yang ditemukan warga kala membuka hutan Siosar di Karo, Sumut, untuk bikin jalan menuju relokasi pengungsian korban erupsi Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Sepekan pasca pembukaan hutan Siosar, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, masyarakat di Kacaribu, Kabanjahe, heboh dengan temuan ular phyton albino, oleh Jaya Pinem.

Awal November, Pinem menemukan ular saat membantu TNI memperbaiki dan membuat jalan baru. Dia yang selama ini mengungsi di Gedung KNPI Kabanjahe, bergantian membantu pembuatan jalan baru di hutan itu.

Ketika menimbun tanah, tiba-tiba ular putih kekuning-kuningan keluar dari semak belukar dan melewatinya. Pinem berhasil melumpuhkan ular yang melawan ketika ditangkap.

Pinem, heran dengan kemunculan spesies melata ini di hutan Siosar. Dia meletakkan ular di rumput setelah berhasil menjinakkan. Dia bingung, phyton albino, bisa hidup dalam hutan lebat.

“Ular ini biasa menjadi peliharaan manusia yang hobi binatang melata. Jika peliharaan, mengapa melawan saat ditangkap? Setahu saya, binatang peliharaan, sudah biasa bau manusia, tidak melawan . Bingung aku.” Pinem selama ini dianggap mampu mengobati orang yang digigit ular.

Dua hari kemudian, warga yang membantu pembukaan jalan menemukan elang hitam, jatuh dari pohon besar yang ditebang.

Elang hitam yang terjatuh dari pohon yang baru ditebang. Kini ia dalam perawatan warga. Foto: Ayat S Karokaro

Elang hitam yang terjatuh dari pohon yang baru ditebang. Kini ia dalam perawatan warga. Foto: Ayat S Karokaro

Tubuh tidak terlihat luka tetapi elang tak bisa bergerak. Nano Ginting yang menemukan  khawatir. Dia mengambil air dicampur garam, dan meminumkan ke burung yang tidak berdaya ini.

Setengah jam setelah minum air bercampur garam, elang mulai bergerak. Perlahan mengepakkan sayap, namun terjatuh kembali. Ginting mengatakan, kemungkinan burung ini kelaparan lalu jatuh sakit. Ditambah lagi, sarang tumbang.

“Kami gak tau ada sarang elang. Jadi waktu ditebang, elang jatuh, barulah kami sadar. Kasihan juga.”

Ginting iba lalu membawa satwa itu ke rumah sahabat di Kabanjahe. Dia berniat merawat dan memberikan obat. Dengan sangat hati-hati, Ginting membawa ke pengungsian, setelah berbenah, dia pergi ke Kabanjahe, menggunakan sepeda motor pengungi lain.

Data BNPB, menyebutkan, penanganan pengungsi Sinabung dan pembangunan relokasi terus berjalan. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, menyatakan, 600 personil TNI membangun jalan dan lahan relokasi. Pembangunan pondasi rumah mulai sejak Kamis (13/11/14).

Pembangunan jalan utama sejauh 2,7 km masih berjalan. Perbaikan jalan 2.400 meter dan 14 November, lanjutan pembentukan badan jalan sejauh 300 meter.

“Pemotongan pohon  dan pencabutan akar mencapai 3.700 meter, pengupasan dan pembentukan badan jalan sudah 1.000 meter. Ini terus berjalan,”  kata Sutopo.

Sedang  status Sinabung masih Siaga III, dan pengungsi 2.986 jiwa, atau 956 keluarga yang ditampung pada 10 titik.

Kala ditangkap, ular melawan. Kini, ular berada di tangan warga. Foto: Ayat S Karokaro

Kala ditangkap, ular melawan. Kini, ular berada di tangan warga. Foto: Ayat S Karokaro


Buka Jalan ke Relokasi, Penghuni Hutan Siosar Muncul was first posted on November 25, 2014 at 11:20 am.

Plays On The Sea, Mengajak Penguasa Laut Bali Tak Berhenti Melawan

$
0
0
Lantunan puja Trisandya, bergema tepat pukul 18.00. Diiringi alat musik gender oleh sanggar Bajra Sandhi yang melantunkan syair doa Mantram Gayatri-- doa umat Hindu di Bali. Ratusan anak muda duduk menghadap laut . Mereka satu tujuan: tolak reklamasi Teluk Benoa. Foto: Komunitas Seni di Hari Libur

Lantunan puja Trisandya, bergema tepat pukul 18.00. Diiringi alat musik gender oleh sanggar Bajra Sandhi yang melantunkan syair doa Mantram Gayatri– doa umat Hindu di Bali. Ratusan anak muda duduk menghadap laut . Mereka satu tujuan: tolak reklamasi Teluk Benoa. Foto: Komunitas Seni di Hari Libur

Puluhan aktivis, yang kerap longmarch di depan Kantor Gubernur Bali aksi di Pantai Padanggalak, Sanur. Mereka mengibarkan puluhan bendera tolak reklamasi, mengajak sang Baruna, penguasa laut,  tak henti berlawan. Pantai ini, salah satu lokasi dengan abrasi parah di Denpasar.

Plays On The Sea, tajuk event seni dan kampanye menyuguhkan beragam jenis seni. Laut yang akan menjadi komoditas—jadi daratan baru untuk resor dan fasilitas mewah di Teluk Benoa.

Lantunan puja Trisandya, bergema tepat pukul 18.00. Diiringi alat musik gender oleh sanggar Bajra Sandhi yang melantunkan syair doa Mantram Gayatri– doa umat Hindu di Bali. Ratusan anak muda duduk menghadap laut .

Om Om Om Bhur Bhuwah Swah, Tat Sawitur Warenyam. Bhargo Dewasya Dhimahi, Dhiyo yo Nah Prachodayat.”

Demikian bait pertama, yang berarti Ya Hyang Widhi yang menguasai ketiga dunia, Yang maha suci dan sumber segala kehidupan, sumber segala cahaya, semoga limpahkan budi nurani kami penerangan sinar cahayaMu yang maha suci.

BabadBali, media tentang spiritualitas dan sejarah menyebut dalam Lontar Prekempa Gunung Agung diceritakan Dewa Siwa mengutus Sang Hyang Tri Murti untuk menyelamatkan bumi. Dewa Brahma turun menjelma menjadi Naga Ananta Bhoga. Dewa Wisnu menjelma sebagai Naga Basuki. Dewa Iswara menjadi Naga Taksaka. Naga Basuki penjelmaan Dewa Wisnu itu kepala ke laut menggerakkan samudra. Ekor menjadi gunung dan sisik ekor menjadi pohon-pohonan lebat di hutan. Inilah konsepsi lokal arti penting menjaga alam. Sebab, apa yang terjadi di daratan berdampak pada laut. Juga sebaliknya, hingga muncul istilah Nyegara Gunung.

Jerinx dari SID tengah bernyanyi di kelilingi pengunjung dalam event Plan On The Sea. Foto: Komunitas Seni di Hari Libur

Jerinx dari SID tengah bernyanyi di kelilingi pengunjung dalam event Plays On The Sea. Foto: Komunitas Seni di Hari Libur

Cokorda Sawitri, budayawan perempuan berpengaruh di Bali mengingatkan, laut tak akan tinggal diam jika diganggu. Cok malam hari mementaskan monolog berjudul “Rahim”. “Perempuan tanpa rahim, seperti pulau tanpa laut.”

Jerinx, personil band Superman Is Dead dan Devildice yang kerap longmarch mengingatkan, tak berhenti berjuang, menyuarakan penolakan. Karena penguasa dan investor makin menggiring opini warga dengan istilah “revitalisasi” sebagai penghalus kata reklamasi.

I Wayan “Gendo” Suardana, koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) dalam orasi juga berang dengan muncul media-media yang memiripkan nama dan bentuk kampanye kelompok pro reklamasi. “Mereka terus merekayasa, kita harus melawan, kalaupun kalah, kita sudah berjuang sampai akhir.”

Gawe ini digagas dua kreator, Yoka Sara, seniman dan arsitekdan  Anom Darsana, ahli tata suara (saund engineering).

Mereka terpanggil oleh sang dewa laut untuk membuat gelaran seni sekaligus edukasi lingkungan. Terutama berkontribusi dalam penyelamatan Teluk Benoa. Sebelumnya, mereka berduet dalam aksi kolosal Art Event Bali Tolak Reklamasi. Di Art Event mereka menghadirkan empat panggung di Padanggalak. Panggung ini mengikuti konsepsi Nyegara Gunung. Ketika itu 29 Oktober, panggung di atas laut urung karena arus sangat keras.

Harapan ini tak dipendam lama, pada Sabtu (22/11/14) panggung di atas laut, terwujud. Tajuknya Persembahan yang Tertunda, Sang Baruna Menolak Kehancuran.

Anom Darsana, mantan guru Bahasa Prancis dan pernah 13 tahun mukim di Swis ini menyebut peradaban Bali dibangun dari keyakinan terhadap air tak semata sebagai ‘benda.’ Air adalah ‘mahluk’ tersendiri dalam kesemestaan. “Pengurukan laut untuk eksploitasi itu menghancurkan peradaban.”

Yoka mengatakan, pembangunan panggung di laut, tak terlalu sulit. “Tiang-tiang ditaruh di pantai langsung ke pasir. Bongkar yang susah.” Semua seniman dan pengisi acara tidak dibayar.

Ajang ini menampilkan sekitar 20 art performance dari musik, drama, teatrikal, tari, puisi, monolog, DJ, mural, dan gamelan kontemporer. Ada Wild Drawing, nama jalanan street art yang melukis di papan setinggi tiga meter tentang sosok anak Bali termenung melihat ke laut. Ada band rock seperti Ganjil, Garden Groove, Nypmhea, Parau, DJ Kaz, dan lain-lain.

Bertepatan dengan ini, umat Hindu di Bali, merayakan ritual Hari Pohon atau disebut Tumpek Wariga. Umat Hindu memberi sesajen dan sembahyang menghormati tetumbuhan yang menjadi sumber kehidupan.

Panggung buat acara Play On The Sea dibangun di tepian pantai...sebagai wujud mengajak dewa penjaga laut tak berhenti melawan para perusak laut,      seperti rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Komunitas Seni di Hari Libur

Panggung buat acara Plays On The Sea dibangun di tepian pantai…sebagai wujud mengajak penguasa laut tak berhenti melawan para perusak laut, seperti rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Komunitas Seni di Hari Libur


Plays On The Sea, Mengajak Penguasa Laut Bali Tak Berhenti Melawan was first posted on November 25, 2014 at 2:15 pm.

Soal Sertifikat Legalitas Kayu, Inilah Hasil Pemantauan JPIK

$
0
0
Bukaan hutan gambut di Desa Bagan Melibur yang diklaim PT RAPP meski menurut SK Menhut 180 menyatakan desa tersebut harus dikeluarkan dari konsesi perusahaan, 23 Maret 2014. Foto: Isnadi/JMGR

Kayu dari hutan alam-hutan alam yang dibuka seperti ini masih berpeluang bercampur di dalam kayu-kayu bersertifikat.Foto: Isnadi/JMGR

Dari pemantauan JPIK kepada perusahaan-perusahaan ini memperlihatkan, beberapa kelemahan pelaksanaan SVLK. Beragam masalah terjadi, meliputi mekanisme keterlacakan bahan baku, proses perizinan bermasalah, pelanggaran fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, dan kewajiban lingkungan. Lalu, persoalan konflik terutama terkait tata batas dan tenurial, dan beberapa kelemahan terkait verifikasi legalitas kayu dari konversi hutan alam.

Hasil pemantauan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)  terhadap 34 pemegang izin dan aturan pemerintah pada periode 2011-2014 terkait pelaksanaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK)  menemukan beberapa kelemahan yang harus menjadi perhatian dan perbaikan ke depan.

Zainuri Hasyim, koordinator nasional JPIK mengatakan, salah satu temuan JPIK, lembaga penilai dan verifikasi SVLK hanya melihat dokumen tanpa menelusuri proses izin keluar.

Dia mencontohkan, korupsi perizinan kehutanan di Riau melibatkan pemerintah,  dan pemegang SVLK terkesan tidak terkait kasus ini. ”Tidak ada upaya menyelidiki beberapa perusahaan yang bersertifikat SVLK terlibat kasus korupsi perizinan itu,” katanya dalam keterangan yang dikirim kepada media, di Jakarta, Senin (24/11/14).

SVLK, katanya, seharusnya bisa mencegah sertifikat bagi pemegang izin bermasalah dengan cara memasukkan prosedur izin sebagai bagian dari standar legalitas dalam sertifikat ini.

Dalam laporan JPIK itu menyebutkan, kinerja dan kepatuhan pemegang izin serta proses penilaian (verifikasi), LP&VI hanya melihat dokumen izin tanpa menelusuri proses izin. Alhasil, beberapa izin bermasalah tetap memperoleh sertifikat.

Begitu pula, dokumen lingkungan seperti Amdal, hanya melihat keberadaan tanpa mencocokkan dengan pelaksanaan. JPIK juga menemukan persoalan tata batas dan pemenuhan kewajiban sosial pemegang izin pengusahaan hutan terhadap masyarakat terkena dampak, masalah pemenuhan kewajiban lingkungan dan asal-usul bahan baku.

Beberapa Lembaga Penilai & Verifikasi Independen (LP&VI),  tidak merujuk standar yang sesuai waktu penilaian atau verifikasi. LP&VI, juga  tidak segera audit khusus dan membekukan sertifikat atas bukti penerimaan kayu ilegal.

Mengenai penerbitan dokumen V-Legal, JPIK merekomendasikan, lembaga verifikasi legalitas kayu (LVLK) harus bisa memastikan industri bersertifikat LK tidak menerima titipan produk dari industri lain yang belum bersertifikat. Sebab, auditor LVLK tidak setiap hari di lokasi industri dan tidak selalu mengecek fisik produk.

Selain itu, kewajiban industri hanya menerima kayu bersertifikat legal juga belum ada. Hingga berisiko produk kayu tidak jelas asal-usul termasuk dari hutan alam bercampur dengan produk kayu legal.  Kondisi ini, bisa menimbulkan keraguan pada kredibilitas sistem.

Temuan lain, beberapa permasalahan terkait konsultasi publik yang disyaratkan dalam SVLK, seperti tidak ada pemberitahuan konsultasi publik, belum terpenuhi keterwakilan masyarakat yang terkena dampak. Lalu, berita acara pelaksanaan juga tidak diberikan pada undangan konsultasi publik.

“Kami mendukung rencana pemerintah melaksanakan penuh SVLK pada 1 Januari 2015. Namun, perbaikan aturan dan pelaksanaan SVLK sangat perlu untuk memastikan kredibilitas sistem ini,“  kata Zainuri.

Penegakan aturan dan penerapan sanksi lemah bagi pemegang izin yang tidak menjalankan SVLK maupun terbukti melanggar, juga menjadi sorotan JPIK. “Kasus illegal logging melibatkan PT Rotua beberapa waktu lalu mengindikasikan beberapa industri kayu bersertifikat SVLK menerima kayu ilegal dari Rotua. Hingga kini tidak juga diselidiki,” kata  Mardi Minangsari, Dinamisator Nasional JPIK.

Dia  mengatakan, SVLK itu sistem jaminan legalitas kayu.  Seharusnya, setiap indikasi keterlibatan pemegang izin dengan illegal logging dan perdagangan kayu ilegal ditindaklanjuti dan diproses hukum.

Perbaikan permenhut dan perdirjen soal SVLK

Selain mengawasi 34 perusahaan, laporan JPIK juga mengkaji aturan sistem verifikasi legalitas kayu mencakup dasar hukum SVLK, permenhut, dan peraturan dirjen (perdirjen).

Terhadap permenhut terkait SVLK, JPIK mengidentifikasi tiga hal penting yakni konsistensi penulisan norma, perbaikan norma, dan kedudukan alas hukum.

JPIK memandang perlu perbaikan aspek transparansi data dan informasi pelaksanaan SVLK. Untuk itu, pada aturan mendatang perlu perbaikan atas inkonsistensi dan pasal-pasal agar disusun kembali dalam peraturan baru. Lalu, norma yang mengatur kewajiban SVLK dan tenggat waktu pelaksanaan, dan penerapan sanksi atas pelanggaran mesti diperbaiki.

Menurut JPIK, ada beberapa hal perlu diperbaiki dalam standar penilaian dan verifikasi meliputi mekanisme keterlacakan bahan baku, dan proses perizinan bermasalah. Perdirjen, sebagai aturan teknis pelaksanaan permenhut terkait SVLK ini berisi standar penilaian, standar verifikasi dan pedoman pelaksanaan. Ia telah direvisi tiga kali sejak 2010.

Kemudian, persoalan pelanggaran fungsi kawasan, tata batas dan tata ruang, terkait kewajiban lingkungan, konflik terutama terkait tata batas, dan beberapa kelemahan terkait verifikasi legalitas kayu dari izin pemanfaatan kayu (IPK).

JPIK juga mendesak, perbaikan aspek transparansi data dan informasi kehutanan dalam pelaksanaan SVLK.  Termasuk perbaikan proses pengajuan dan penyelesaian keluhan berbagai pihak. Hingga kini, katanya,  kelompok masyarakat sipil masih sulit mengakses informasi publik yang diperlukan dalam pemantauan.

“Pemerintah,  harus mampu menunjukkan itikad baik memperbaiki tata kelola hutan agar tidak hanya di atas kertas,” kata Mardi.

Pemantauan independen SVLK oleh masyarakat sipil adalah bagian perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Uni Eropa melalui kesepakatan kemitraan sukarela dalam penegakan hukum, perdagangan dan tata kelola sektor kehutanan (FLEGT-VPA).

JPIK melakukan pemantauan SVLK pada kurun waktu itu fokus perusahaan-perusahaan yang mengajukan sertifikat legalitas kayu (SLK) dan sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (SPHPL). Dari 34 perusahaan, 31 bersertifikasi dan tiga belum mengajukan.

Analisis JPIK hingga Juni 2014 ini, meliputi pemantauan kinerja pemegang izin bersertifikasi mandatori, proses penilaian oleh LP&VI, dan akreditasi KAN.


Soal Sertifikat Legalitas Kayu, Inilah Hasil Pemantauan JPIK was first posted on November 26, 2014 at 1:27 pm.

Tumpek Wariga, Kearifan Bali Jaga Lingkungan

$
0
0
Prosesi perayaan tumpek wariga, sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, akan kesuburan tanam-tanaman. Foto: Ni Komang Erviani

Prosesi perayaan tumpek wariga, sebagai ucapan syukur kepada Tuhan, akan kesuburan tanam-tanaman. Foto: Ni Komang Erviani

Nini Nini, buin selae dina galungan. Mabuah apang nged… nged… nged.” Begitu ucapan I Made Wita sembari mengetokkan golok di tangan kanan pada pohon jambu yang berbunga. Dia memberi sedikit luka pada batang itu. Hal sama pada cempaka, belimbing, srikaya, kenanga, dan sejumlah tanaman lain di pekarangan itu pada perayaan tumpek wariga, Sabtu (22/11/14).

“Nenek nenek, 25 hari lagi Galungan. Berbuahlah agar lebat… lebat… lebat…,” begitu makna kalimat berbahasa Bali yang selalu diucapkan pada perayaan ini. Hari itu ungkapan syukur kepada Tuhan atas kesuburan tanaman hingga tumbuh baik dan menghasilkan buah atau bunga lebat.

Tumpek wariga, juga disebut tumpek bubuh, tumpek uduh, tumpek pengatag, dirayakan umat Hindu setiap 210 hari sekali, atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.

Sebagai ucap syukur, umat Hindu mempersembahkan sesaji buah dan bunga, serta bubur sumsum (terbuat dari tepung beras, ditaburi kelapa dan gula merah cair).

“Tumpek wariga merupakan upacara berkaitan dengan lingkungan, terutama melestarikan pohon. Doa supaya pohon berbuat lebat, berbunga, punya kualitas bagus. Kalau bisa buah bisa untuk Galungan,” kata I Gusti Ngurah Sudiana, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali.

Galungan merupakan hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Pada hari itu, umat Hindu sembahyang menggunakan sarana buah dan bunga. Buah dan bunga identik dengan berbagai upacara umat Hindu. Usai persembahyangan, buah-buahan dikonsumsi.

Dia mengatakan, sebutan Nini dalam tumpek wariga ditujukan pada Tuhan dalam manifestasi sebagai Sang Hyang Sangkara, penguasa segala tumbuh tumbuhan. “Agar memberikan anugerah kepada mangga, durian, pisang, dan pohon pohon lain, supaya buah bisa cepat matang, lalu untuk Hari Galungan.”

Tumpek wariga, kata Sudiana, merupakan kearifan lokal dari para leluhur agar warga selalu menjaga lingkungan dengan selalu menanam pohon di pekarangan. “Memang, pelajaran ini ditekankan karena daerah pertanian. Agar generasi muda paling tidak menghasilkan buah-buahan untuk sendiri dan persembahan, kalau bisa lagi dijual, bagus.”

Menurut dia, kalau umat Hindu tak rajin menanam pohon, tidak akan mendapatkan buah dari kebun. Karena itu, makna yang bisa diambil umat Hindu mesti menanam pohon buah-buahan hingga tak impor buah. “Setiap pekarangan longgar, ditanami buah. Jadi tidak menjadi manja, selalu membeli di swalayan.

Bunga-bunga dan bubur sumsum pada tumpek wariga. Foto: Ni Komang Erviani

Bunga-bunga dan bubur sumsum pada tumpek wariga. Foto: Ni Komang Erviani


Tumpek Wariga, Kearifan Bali Jaga Lingkungan was first posted on November 26, 2014 at 9:48 pm.

Berikut Emisi Rujukan Deforestasi dan Degradasi RI

$
0
0

Kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi salah satu pemicu deforestasi dan degradasi di Indonesia. Tim gabungan para ahli, akhirnya menyelesaikan rancangan dokumen tingkat emisi feferensi Indonesia untuk deforestasi dan degradasi hutan (forest reference emission level/FREL) dalam kerangka REDD+. Dokumen ini akan disampaikan pada forum conference of the parties (COP), United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-20 di Lima, Peru 8 Desember 2014. Foto: Erviza Diana

Setelah melewati penyusunan oleh tim ahli, akhirnya rancangan dokumen tingkat emisi feferensi Indonesia untuk deforestasi dan degradasi hutan (forest reference emission level/FREL) dalam kerangka REDD+ memasuki tahap final. Dokumen ini akan disampaikan pada forum conference of the parties (COP), United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-20 di Lima, Peru 8 Desember 2014.

Submisi FREL ini akan dikaji secara teknis oleh UNFCCC, untuk menjadi acuan nasional pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam kerangka REDD+ di Indonesia.

Nur Masripatin, Deputi Bidang Tata Kelola dan Hubungan Kelembagaan BP REDD+ mengatakan, dengan memperhatikan persyaratan penyusunan FREL/FRL dan fokus technical assessment (meliputi data, metodologi dan posedur), maka baru dua kegiatan bisa masuk FREL,  yaitu deforestasi dan degradasi hutan. Dengan satu jenis gas (CO2) dan dua carbon pools: biomas di atas tanah dan tanah untuk areal gambut.

Begitu juga data tutupan. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data dan persyaratan skala nasional–ketersediaan, kelengkapan, transparansi, konsistensi dan-lain-lain dari data tutupan lahan dan cadangan carbon per tipe hutan–, maka dipakai data 2000-2012. Ini berasal dari beberapa sumber yaitu  BP-REDD+, Kementerian LHK, Kementan, Lapan, BIG dan sumber-sumber lain.

“Cakupan FREL menggunakan pendekatan historis pada areal yang masih memiliki tutupan hutan alam pada 2000, dengan waktu referensi antara 2000-2012,” kata Arief Darmawan, Asisten Kepala BP-REDD+ Bidang Teknologi, Sistem & Monitoring, dalam rilis kepada media, Selasa (25/11/14).

Dengan periode waktu selama 12 tahun ini, telah mencukupi untuk menangkap dinamika kebijakan dan pemicu deforestasi dan degradasi hutan.

Dari hasil penghitungan dan analisis, didapatkan laju deforestasi historis (2000-2012) sebesar 671,420 hektar per tahun. Ia berasal dari lahan mineral 525,516 hektar dan lahan gambut 145,904 hektar per tahun. Sedangkan laju degradasi hutan 425,296 hektar per tahun, berasal dari lahan mineral 409,073 hektar dan lahan gambut 16,223 hektar per tahun.

Rata-rata emisi historis (2000-2012) dari deforestasi 210 MtCO2e per tahun, berasal dari lahan mineral 169 MtCO2e dan lahan gambut 41 MtCO2e per tahun. Ada juga tambahan emisi dari dekomposisi gambut akibat deforestasi dari 3,3 MtCO2e per tahun (2000–2001) menjadi 61.7 MtCO2e per tahun (2011 – 2012).

Dari degradasi hutan, emisi historis (2000-2012) sebesar 57.2 MtCO2e per tahun, berasal dari lahan mineral 55.4 MtCO2e dan lahan gambut 1.8 MtCO2e per tahun. Emisi tambahan dari dekomposisi gambut akibat degradasi hutan 97 MtCO2e per tahun (2000 – 2001) menjadi 75 MtCO2e per tahun (2011 – 2012).

Dengan proyeksi sederhana, emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sampai tahun 2020,  sama dengan rata-rata per tahun emisi historis 2000-2012 dan emisi dari dekomposisi gambut yang memasukkan inherited emissions, maka FREL untuk deforestasi dan degradasi hutan Indonesia pada 2020 sebesar 439 MtCO2e per tahun.

Nur mengatakan, submisi pertama ini,  masih fokus FREL-deforestasi dan degradasi hutan, belum memasukkan tiga kegiatan REDD+ lain yaitu konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan carbon. Sebab,  data yang tersedia belum bisa memenuhi persyaratan untuk keperluan penilaian teknis sesuai arahan COP.

Data kegiatan konservasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan carbon melalui tanam-menanam, katanya, akan masuk dalam update dua tahunan tentang inventarisasi gas rumah kaca seluruh sektor.

Ruanda Sugardiman, Direktur Inventarisasi dan Sumberdaya Hutan Kementerian LHK, mengatakan, definisi hutan mengacu pada definisi resmi Permenhut tentang Tata Cara A/R CDM dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 8033:2014.  Yakni, metode penghitungan perubahan tutupan hutan berdasarkan hasil penafsiran citra penginderaan jauh optik secara visual.

Pemakaian data tutupan lahan dan hutan mengacu pada hasil pencermatan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Lalu, data gambut mengacu pada peta sebaran gambut oleh Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementan.

Untuk metode penghitungan deforestasi dan degradasi, kata Arief,  menggunakan stock different. Data untuk menyusun FREL ini, katanya, perlu konsisten dengan data emisi dan serapan (removals) dalam Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN) yang menggunakan metodologi loss and gain.

Sedangkan,  data faktor emisi mengacu pada nilai biomasa berdasarkan data permanent/temporary sample plot (PSP/TSP) inventarisasi hutan nasional Kementerian Kehutanan.

Draf submisi FREL Indonesia ini disusun bersama-sama BP-REDD+, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan). Juga, Badan Informasi Geospasial (BIG), Center for International Forestry Research (CIFOR), Institut Pertanian Bogor (IPB), United Nations Office for REDD+ Coordination in Indonesia (UNORCID) dan The Nature Conservation (TNC).

 


Berikut Emisi Rujukan Deforestasi dan Degradasi RI was first posted on November 26, 2014 at 11:15 pm.

Blokir Alat Berat Masuk, Ibu-ibu Rembang Berhadapan dengan Aparat

$
0
0
Para ibu-ibu penolak pabrik semen di karst Kendeng, aksi blokir jalan agar alat berat PT Semen Indonesia, untuk membangun pabrik tak masuk. Polisi datang meminta warga membuka blokir, warga menolak. Foto: Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Warga penolak pabrik semen di Pegunungan Karst Kendeng, aksi blokir jalan agar alat berat PT Semen Indonesia, untuk membangun pabrik,  tak masuk. Polisi datang, berjaga-jaga dan meminta warga membuka blokir, warga menolak. Foto: Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Warga penolak pabrik dan tambang PT Semen Indonesia di Rembang memblokir jalan menuju tapak pabrik, Rabu (26/11/14). Aksi para ibu dimulai pukul 6.47-12.02. Mereka meminta penghentian pembangunan pabrik. Kini, alat berat dan material terus masuk.

Kapolres Rembang dan anggota ke lokasi dan negosiasi agar warga membuka pemblokiran jalan dan membiarkan alat berat masuk. Warga menolak. Sempat terjadi aksi dorong dan pemukulan oleh aparat kepolisian kepada ibu-ibu.  Seorang ibu ingin mendokumentasi foto dan video dilarang bahkan bibir sampai nyonyor.

“Satu perempuan memar bibir, dua tenda warga roboh,” kata Joko Prianto, warga Tegaldowo juga koodinator aksi.

Dia mengatakan, pemblokiran ini wujud penolakan yang selama ini tidak direspon pemerintah dan Semen Indonesia (SI). Lebih 160 hari ibu-ibu menginap di tenda tetapi pembangunan terus berjalan.

“Aksi kami menuntut SI menghentikan aktvitas pertambangan hingga ada putusan peradilan tetap atas gugutan kami di PTUN Semarang. Ini juga berdasarkan rekomendasi Komnas HAM,” kata Joko.

Dalam surat Komnas HAM tertanggal 22 Oktober 2014 ditandatangani Komisioner Dianto Bachriadi untuk Bupati Rembang,  meminta menghormati proses hukum dan fakta sosial di masyarakat yang memerlukan ketenangan, rasa aman dan nyaman serta kepastian hukum.

Untuk itu, Komnas HAM memberikan rekomendasi bupati agar SI menghentikan sementara aktivitas pembangunan pabrik di Kecamatan Gunem dan menarik alat-alat berat sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

“Jalan ditutup warga.” Begitu bunyi poster penghalang jalan yang dibuat warga.

Warga menolak karena lokasi pabrik dan ekspolitasi tambang di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.  Kawasan lindung ini sebagai penyimpan cadangan air.

Polisi tengah negoisasi agar ibu-ibu membuka blokir jalan untuk alat berat pembangunan pabrik semen di Pengunungan Kendeng. Foto: Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Polisi tengah negoisasi agar ibu-ibu membuka blokir jalan untuk alat berat pembangunan pabrik semen di Pengunungan Kendeng. Foto: Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Joko  mengatakan, jika izin SI tidak dicabut, fungsi resapan air CAT Watuputih, akan hilang. Ia mengancam lebih 607.198 jiwa pada empat kecamatan di Rembang. Dari keterangan Badan Geologi jika CAT ditambang mata air di Blora dan Bojonegoro juga hilang.

Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menuntut pemerintah terutama Gubernur Jateng, Bupati Rembang, Panglima Kodam IV Diponegoro dan Kapolda Jateng menetapkan CAT Watuputih sebagai kawasan larang pertambangan. Mereka juga meminta laksanakan rekomendasi Komnas HAM.

Sekretaris Semen Indonesia Agung Wiharto kala dihubungi Mongabay mengatakan, menghormati warga penolak pabrik semen. Namun,  mereka sudah memiliki izin beroperasi.

Mengenai izin bermasalah atau tidak, katanya, masih proses di PTUN Semarang. “Kita tungggu hasilnya. Jika kami dinyatakan salah, kami akan menghormati putusan itu.”

Dia mengandaikan perusahaan itu dengan kendaraan. “Ibarat berkendara, kami sudah memiliki SIM. Maka aktivitas pendirian pabrik terus kami lakukan.”

Polisi berjaga-jaga dan meminta warga agar membuka blokir jalan agar alat berat masuk. Warga menolak dan sempat terjadi aksi saling dorong warga dan aparat. Dua tenda rusak, satu perempuan bibir nyonyor terkena dorongan. Foto: Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Polisi berjaga-jaga dan meminta warga agar membuka blokir jalan agar alat berat masuk. Warga menolak dan sempat terjadi aksi saling dorong warga dan aparat. Dua tenda rusak, satu perempuan bibir nyonyor terkena dorongan. Foto: Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng


Blokir Alat Berat Masuk, Ibu-ibu Rembang Berhadapan dengan Aparat was first posted on November 27, 2014 at 3:38 am.

2 Warga Penolak Tambang Bangka Dituntut 2 Tahun

$
0
0

Kondisi Pulau Bangka, Sulut, per September 2014. Hutan-hutan mulai terbabat dan botak untuk persiapan tambang. Dua warga penolak yang dituduh membakar alat berat dituntut dua tahun penjara. Foto: Save Bangka Island

Dua warga penolak tambang Pulau Bangka, Sulawesi Utara, dituntut hukuman dua tahun penjara, pada Selasa (25/11/14). Kedua terdakwa, Y Tuhema dan F Kaongan, JPU dinyatakan melanggar Pasal 187 dan 170 KUHP.

Revoldi Koleangan, dari Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (Ammalta), menyatakan, penggunaan Pasal 187 KUHP tidak tepat. Sebab, pasal ini untuk tindak kejahatan yang membahayakan keamanan umum, bagi orang atau barang. Pasal itu tepat jika kejadian berlangsung di tempat umum, misal, kompleks perumahan.

Jikapun kedua terdakwa membakar. Jaksa tetap salah menggunakan pasal. Alat bor ada di hutan. Itu bukan tempat umum.”

Berikutnya, Pasal 170 itu menjelaskan aksi kekerasan terhadap orang atau barang. Pasal lebih tepat,  406 soal perusakan.

“Jaksa salah menggunakan pasal. Hingga, jika dakwaan kabur, tuntutan harus batal,” katanya ketika Mongabay, Rabu (26/11/14).

Menurut Revoldi, poin-poin tuntutan jaksa terkesan kabur karena pernyataan jaksa dinilai bertolak belakang dengan fakta. “Menurut jaksa, kedua terdakwa ada bersama-sama massa. Fakta, massa di Desa Ehe namun alat bor terbakar ada di gunung.”

Persoalan lain, terkait keterangan jaksa yang tidak sesuai bukti. “Jaksa mengatakan kedua terdakwa tertangkap kamera video. Setelah dilihat, tidak ada. Kami juga punya bukti. Saat alat bor terbakar, tidak ada orang di lokasi.”

Upaya kriminalisasi warga

Kedua terdakwa menjadi tersangka pada Rabu (16/7/14). Sejumlah pihak menduga penetapan sebagai upaya kriminalisasi penolak tambang. “Keduanya ditangkap tanpa surat perintah. Mereka dipanggil sebagai saksi, surat baru keluar malam.”

Maria Taramen, ketua KMPA Tunas Hijau, menilai, meski ada waktu pembelaan, tetapi tuntutan sangat tidak sesuai keadilan dan kebenaran. Dalam sidang banyak sikap dan bahasa tubuh jaksa dan hakim tidak serius memeriksa.

Keterangan MMP dirasa tumpang tindih satu dengan yang lain. Hakim juga, tidak pernah memenuhi permintaan pengacara menghadirkan barang bukti dalam persidangan, atau mengadakan sidang lapangan.

“Dari awal, sidang kuat dan jelas terlihat sebagai titipan. Formalitas buat mengkriminalisasi warga penolak tambang Bangka,” kata Maria.

Warga Pulau Bangka, penolak tambang luka-luka terkena pukulan kala bentrok dengan warga pro tambang, berujung penangkapan dua warga penolak yang dituduh membakar alat berat. Foto: Save Bangka Island


2 Warga Penolak Tambang Bangka Dituntut 2 Tahun was first posted on November 27, 2014 at 2:16 pm.

JKPP Bikin Standar Operasi Pemetaan Partisipatif

$
0
0

Para perempuan adat Matteko melakukan pemetaan dan pembuatan peta gotong royong. Dengan SOP yang dibuat JKPP berharap bisa menjadi pintu masuk peta-peta adat segera terintegrasi ke dalam peta nasional. Foto: Wahyu Chandra

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) bersama beberapa kelompok masyarakat lain meluncurkan standard operating procedure (SOP) pemetaan partisipatif. SOP bisa menjadi pintu masuk peta partisipatif masyarakat, dalam one map policy. Jadi, diharapkan kebijakan pemerintah ini mempunyai semangat memperjuangkan kepentingan masyarakat.

“Kebijakan one map bisa salah satu pintu masuk penyelesaian konflik agraria,” kata Deny Rahadian, koordinator nasional JKPP, belum lama ini di Jakarta.

Hingga saat ini,  sudah 5,2 juta hektar wilayah adat dipetakan melalui  fasilitasi masyarakat sipil. Namun,  peta ini belum diakui karena terbentur standar alat, pelaku pemetaan dan lain-lain hingga harus ada sertifikasi.

Sesuai dengan UU 14 tahun 2011 tentang  Informasi Geospasial, bahwa Badan Informasi Geospasial adalah satu-satunya penyelenggara pemetaan one map. BIG berperan mengintegrasikan seluruh peta sektoral, baik pemerintah, swasta dan lain-lain untuk dijadikan satu peta. BIG harus menyiapkan infrastruktur, sistem dan standardisasi.

“BIG telah menyiapkan panduan dan SOP pemetaan partisipatif untuk mengakodasi data spasial masyarakat. Hanya, masih terdapat perbedaan antara konsep pemetaan partisipatif versi BIG dengan yang dilakukan masyarakat,” kata Deny.

Untuk itu, JKPP membuat SOP pemetaan partisipatif dengan melibatkan akademisi, peneliti dan CSO lain. “Peta partisipatif BIG bahwa masyarakat atau siapapun boleh membuat peta. Tujuannya menambah atau merevisi informasi geospasial dasar. Sedang pemetaan partisipatif menekankan unsur sosial dan hak masyarakat.”

Pembuatan SOP mulai hasil diskusi dengan UKP4, BIG, BPN, Kemenhut dan CSO beberapa waktu lalu. Hasilnya, rekomendasi UKP4 agar JKPP menyusun SOP pemetaan partisipatif.

“Diharapkan SOP ini bisa diusulkan ke Badan Standardisasi Nasional hingga memperoleh sertifikasi SNI dan peta diakui pemerintah,  terutama terintegrasi dalam one map.”

SOP ini mendorong komponen sosial dalam peta. Tak hanya persoalan teknis atau grafis, tetapi informasi sosial lebih membuktikan keberadaan masyarakat adat. Bentuknya juga menekankan keterkaitan wilayah dengan hak-hak masyarakat lokal. Dengan informasi sosial spesifik di peta, bisa menguatkan keberadaan masyarakat adat.

Kepala Devisi JKPP Imam Hanafi mengatakan, SOP ini meningkatkan kualitas one map karena merupakan masukan kepada BIG dan pemerintah.

“Kami memiliki kerjasama baik dengan BIG. Yang kami kerjakan disampaikan dan diintegrasikan dengan kerja BIG.”

Ari Dartoyo, kepala bidang standarisasi BIG mengatakan, ada perbedaan persepsi mengenai pemetaan partisipatif. Meski begitu, BIG memfasilitasi berbagai pihak agar berkontribusi dalam mengoreksi peta dasar kalau ada kesalahan. SOP sedang dibuat BIG untuk pemetaan tumpang tindih dan bisa dibawa ke bidang standardisasi.

“Kalau melihat konsep pemetaan partisipatif JKPP, lebih masuk ke informasi geospasial tematik. Semua bisa distandarkan.”

Arifin Saleh, deputi III sekretaris jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, SOP ini inisiatif baru bagaimana pengembangan pemetaan partisipatif. “Ini harus disinkronkan. Apa yang dilakukan JKPP bisa menjawab tantangan kekinian. Dengan SOP, menurut saya seperti gayung bersambut dengan visi misi dan program aksi Presiden.”

Wali Data

Deputi bidang Operasional BP REDD+ William Sabandar mengatakan,  perlu satu lembaga khusus yang bisa menaungi pemetaan partisipatif. Selama ini, pemetaan warga tidak diakui.

“Minggu lalu saya ke Papua, bertemu korban investasi perkebunan sawit dan tambang. Mereka mengeluh kehilangan hak lahan. Mereka bingung, sebab pemetaan partisipatif dilakukan tetapi kepada siapa peta harus diberikan?”

Pemetaan partisipatif, katanya, belum ada payung hukum. Negara harus hadir. Selama ini, negara cenderung berkoalisi dengan korporasi merampas sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak masyarakat.

“Pekerjaan rumah adalah siapa wali data pemetaan partisipatif? Kalau tidak ada wali data, berarti pintu masuk ke pengakuan pemerintah belum ada. Menteri Agraria dan Tata Ruang harus didorong siap menjadi wali data pemetaan partisipatif.”

 


JKPP Bikin Standar Operasi Pemetaan Partisipatif was first posted on November 27, 2014 at 11:06 pm.

Blusukan ke Meranti, Jokowi Janji Lindungi Gambut, Moratorium Izin pun Lanjut

$
0
0
Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Presiden Jokowi kala memberikan bantuan dana untuk membuat sekat kanal kepada warga Desa Sungai Tohor. Dana diterima oleh Abdul Manan, selaku pembuat petisi yang meminta Presiden blusukan ke desa mereka. Foto: Indra Nugraha

Jokowi bilang, inisiatif warga menyekat kanal bisa menjadi contoh. Diapun bilang, jika konversi gambut oleh perusahaan besar menjadi sawit atau HTI, merusak ekosistem dan berdampak kepada kebun warga. 

Mata Abdul Manan berbinar seketika saat melihat kedatangan rombongan Presiden Joko Widodo ke bendungan kanal yang dibuat warga. Dia bergegas menuju becak motor (bentor) yang ditumpangi Presiden. Orang nomor satu Indonesia itu turun dari bentor. Manan dan beberapa orang lain menyalami. Mereka berjalan menuju sekat bendungan kanal yang terbuat dari papan kayu sagu.

Hari begitu cerah. Matahari bersinar hangat.  Meskipun sehari sebelumnya sempat memburuk. Hujan turun deras. Kedatangan Presiden sempat tertunda.

“Ini sekat yang kita buat pak. Ini untuk menahan air gambut yang keluar. Dengan sekat ini, gambut senatiasa basah. Ini baik untuk perkebunan sagu di Desa Sungai Tohor dan desa-desa lain di  Kepulauan Meranti,” kata Manan, seraya memperlihatkan sekat kanal di desa di Kecamatan Tebing Tinggi, Meranti, Riau, Kamis (27/11/14).

Presiden berdiri di samping Manan. Dengan seksama menyimak perkataan lelaki yang membuat petisi meminta Jokowi blusukan ke sana. Petisi dibuat Manan karena selama 17 tahun desa  itu menjadi langganan kebakaran dampak asap. Setiap kemarau, lahan gambut terbakar atau sengaja dibakar. Ia menimbulkan asap pekat yang mengganggu aktivitas warga.

Manan ingin Presiden datang dan melihat keadaan di sana. Dia mengeluhkan kanalisasi perusahaan HTI,  PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM). Kanalisasi ii membuat air gambut terbuang hingga kering. Lahan gambutpun cepat terbakar.

Desa Sungai Tohor, daerah penghasil sagu. Dalam sebulan, sagu warga berkisar antara 400-600 ton. Hasil sagu, sebagian besar diekspor ke Malaysia.

Setelah menyimak perkataan Manan, Presiden duduk di sekat kanal. Dia membuka sepatu. Seketika mengganti sepatu booth yang disediakan. Kemeja putih lengan panjang digulung sebatas lengan. Tanpa ragu langsung menyebur ke kanal.

“Ini supaya tidak ada kebakaran hutan lagi,” kata Jokowi. Dia membawa potongan papan kayu sagu dan menutup saluran air yang keluar dari sekat itu.

Semua orang di dekat sekat kanal serempak berseru,”Aamiiin…” Tepuk tangan riuh. Secara simbolis Jokowi menandakan pembangunan sekat kanal di Desa Sungai Tohor.

“Supaya apa yang dilakukan masyarakat ditindaklanjuti pemerintah. Gambut sepanjang tahun harus basah. Kalau basah, tidak mudah terbakar atau dibakar. Kuncinya disitu. Apa yang dilakukan masyarakat sebaiknya dipermanenkan.”

Di kanal itu, Jokowi memberikan bantuan kepada masyarakat desa untuk pembangunan sekat kanal. Jumlah bantuan Rp300 juta. Bantuan dalam dua amplop besar langsung diterima Manan. Warga bertepuk tangan.

“Kita harus perhatikan, pertama kesejahteraan. Kedua ekosistem, dan ketiga, kebakaran.”

Dia berjalan menuju kilang pengelolaan sagu milik warga. Di sana melihat proses pembuatan sagu dari awal hingga akhir. Seorang warga lain menjadi pemandu, menjelaskan rinci bagaimana sagu dibuat. Warga yang lain saling berdesakan, berebut ingin mengabadikan momen kedatangan Presiden dalam kamera telepon genggam mereka.

Selesai kunjungan di kilang pengelolaan sagu, Presiden menyeberangi jembatan kayu. Ibu Negara beserta dua kedua anak, Kahiyang Ayu dan Kaesang Pangarep, membuntuti dari belakang. Mereka menuju kebun sagu tepat di depan kilang. Presiden menanam pohon sagu.

“Sagu ini sangat butuh air pak. Maka gambut tak boleh kering,” kata seorang warga.

Jokowi menyimak jelas perkataan warga mengenai kondisi lahan gambut di desa mereka. Bagaimana gambut menjadi kering dan mudah terbakar akibat kanalisasi perusahaan.

“Moratorium izin perkebunan sampai detik ini masih terus, kelihatannya saya suruh kalkulasi, kelihatannya akan kita teruskan. Moratorium izin akan berakhir Mei, akan kita teruskan. Teknisnya bisa tanya ke menteri.”

Dia mengatakan gambut jangan diremehkan.  Selama ini, gambut bisa mudah berubah menjadi perkebunan sawit atau HTI. Jokowi enggan melanjutkan kebijakan itu.

“Baik gambut semester, dua meter, empat meter, semua berfungsi dalam ekosistem. Ini yang sering tidak kita sadari. Hingga apa? Ada yang dialihfungsikan kekonversi, dan penggunaan-penggunaan lain. Ini sering kita keliru memandang gambut hanya sebagai area yang tidak berguna. Padahal ini ekosistem.”

Jokowi mengatakan, gambut yang dikelola masyarakat biasa ramah ekosistem. Kalau diberikan kepada perusahaan menjadi monokultur karena ditanami akasia dan sawit dan sering menyebabkan masalah ekosistem.

“Kita akan perlindungan menyeluruh gambut. Kemarin saya sudah perintahkan kepada menteri. Ide-ide dan gagasan masyarakat seperti ini harusnya diangkat. Ini bisa diaplikasikan. Ini bisa dipermanenkan.”

Dia menegaskan, masalah konversi lahan ke tanaman-tanaman monokultur harus dihindari. Karena dengan konversi lahan, akan membuat perkebunan sagu milik masyarakat terkena imbas kerusakan ekosistem.

Presiden bersama rombongan lalu bergerak menuju lapangan bola. Matahari bersinar sangat terik. Di sana warga sudah berkumpul. Penuh dan riuh. Di sana, Jokowi berdialog dengan warga.

“Saya titip kepada warga agar ikut menjaga lingkungan.  Ikut menjaga hutan di kanan-kiri kita. Nanti jangan sampai ada yang kebakaran hutan lagi. Setuju tidak?” kata Jokowi.

“Setuju!!!” jawa warga serempak.

Setelah dialog dengan warga, rombongan bergegas menuju helipad di depan kantor kecamatan. Presiden bersama rombongan menuju Pekanbaru.

Kanal yang akan dibangun sekat agar air gambut tak terus terkuras. Dalam penyekatanpun, warga tetap memperhatikan ekosistem gambut, dengan tak menembok semua, tetapi sebagian dari kayu sagu. Foto: Indra Nugraha

Kanal yang akan dibangun sekat agar air gambut tak terus terkuras. Dalam penyekatanpun, warga tetap memperhatikan ekosistem gambut, dengan tak menembok semua, tetapi sebagian dari kayu sagu. Foto: Indra Nugraha

Kedatangan Presiden ke Desa Sungai Tohor membawa kesan tersendiri bagi Manan. Dia bahagia. Meski sehari sebelumnya sempat kecewa karena mendengar kabar kedatangan Presiden batal karena cuaca buruk.

Saya sangat terharu. Beliau pimpinan amanah, perlu kita tiru. Dia juga membuktikan, meskipun kemarin ada kendala namun hari ini hadir di tengah masyarakat Desa Sungai Tohor. Kami sangat bahagia sekali.”

Dia berharap, setelah kedatangan Presiden, ada tindak lanjut lebih konkrit dalam penyelamatan lahan gambut dan menanggulangi kebakaran hutan.

Warga akan membuat 10 sekat kanal. Satu kanal permanen menggunakan tembok. Sisanya, menggunakan batang sagu agar tidak merusak ekosistem gambut. Jika semua ditembok, akan membuat gambut rusak. Target selesai pembuatan sekat pertengahan 2015.

“ Untuk membuat sekat perlu dana Rp600-700 juta.  Masih ada kekurangan, mudah-mudahan bupati atau gubernur bisa menambah. Kita masih terus berkoordinasi.”

Menanti aksi lanjutan

Longgena Ginting, kepala  Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah Presiden blusukan ke lokasi kebakaran hutan dan lahan gambut. “Hari ini secara simbolik Jokowi melakukan penutupan kanal sebagai upaya perlindungan lahan gambut dan mengatasi kebakaran hutan. Ini saya pikir langkah besar sekali oleh Presiden. Turun ke lapangan, melihat akar masalah kebakaran hutan yaitu kerusakan gambut.”

Dia berharap, dengan aktivitas ini ada langkah yang besar, kebijakan besar, dan aksi besar dari pemerintah untuk menyelamatkan gambut yang tersisa sekaligus mengatasi kebakaran.

Senada diungkapkan manager kampanye hutan dan perkebunan skala besar Walhi Nasional Zenzi Suhadi. Dia mengapresiasi langkah Presiden yang datang ke lokasi kebakaran gambut.

Dia meminta, Jokowi serius me-review perizinan  perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan. Juga mendorong penegakan hukum pada 600 lebih perusahaan yang bersinggungan dengan hutan di Indonesia.

“Kita berharap dengan kedatangan ini, beliau bisa menemukan fakta sesungguhnya bahwa masyarakat memiliki kemampuan menjaga dan hidup beradaptasi dengan hutan juga eksoistem gambut.” “ Kita berharap ini menjadi langkah awal memberantas kejahatan korporasi, dan memulihkan lingkungan hidup di Indoensia hingga tahun 2015 tidak ada lagi asap.”

Hayat Mansur aktivis YPB mengapresiasi langkah Jokowi melanjutkan moratorium perizinan di hutan dan lahan gambut. “Itu langkah sangat penting dan strategis. Tanpa ada moratorium, kebakaran hutan masih kemungkinan bisa terus terjadi,” katanya.

Petisi yang dibuat Manan ditandatangani 27.000 warga. Ini petisi pertama yang berhasil mendorong Presiden beraksi ke lapangan.

Direktur Kampanye Change.org Arif Aziz mengatakan, kemenangan petisi #blusukanasap ini menunjukkan harapan masyarakat besar kepada pemerintahan baru dalam mencari solusi masalah asap dan kebakaran hutan. Petisi online terbukti bisa menjadi sarana efektif bagi masyarakat. “Meski dari pelosok desa yang jauh, dalam mendorong perubahan kebijakan.”


Blusukan ke Meranti, Jokowi Janji Lindungi Gambut, Moratorium Izin pun Lanjut was first posted on November 28, 2014 at 1:57 am.

Inilah Aksi Aparat Hadapi Ibu-ibu Penjaga Karst Rembang

$
0
0
Ketika para ibu bentrok dengan Brimob, polisi, TNI, satpam SI dan preman. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Ketika para ibu bentrok dengan Brimob, polisi, TNI, satpam SI dan preman. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Jumat, (28/11/14), suasana di tapak pabrik PT Semen Indonesia, di Pegunungan karst Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, masih mencekam. TNI/Polri buka posko dan menjaga ketat tenda-tenda protes ibu-ibu. Tak ada lagi aksi para ibu memblokir alat berat masuk.

Sehari sebelum itu, 27 November 2014, aksi brutal aparat memaksa para ibu setop aksi protes. Sampai tengah malam, di dalam tenda para ibu kelaparan karena bapak-bapak tak bisa masuk mengantar makanan.

Dari kronologi yang diterima Mongabay, dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) menyebutkan, pada Kamis itu, sejak pukul 05.00, mobil pengangkut alat-alat berat tiba di pertigaan jalan menuju tapak pabrik SI. Pukul 06.00, ibu-ibu piket, mulai datang ke tenda. Ketika melihat kendaraan berat berhenti, serentak ibu-ibu memblokir jalan, dari perempuan muda hingga nenek-nenek.

Pukul 07.00, datang preman pabrik mendatangi ibu-ibu dan mengangkat lesung. Ibu-ibu marah. Terjadi adu mulut. Selang beberapa menit, preman itu meludahi ibu-ibu. Warga tidak terima balas meludah. Preman ngamuk dan memukul ibu Paedah mengenai kepala.  Perempuan separuh baya ini pingsan.

Seorang ibu yang dipukul anggota polisi hingga pingsan dan kuku lepas. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Seorang ibu yang dipukul anggota polisi hingga pingsan dan kaki terinjak sampai kuku lepas. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Pukul 07.15, Kapolsek Bulu beserta satpam pabrik datang ke tenda warga. Kapolsek pura-pura bertanya,” Ada apa ini kok rame-rame ?”

Pukul 09.35, warga blokir jalan karena ada truk masuk lokasi. Kapolres Rembang, AKBP Muhammad Kurniawan, lengkap dengan pasukan, TNI, preman, satpam, wartawan datang ke tenda sambil marah-marah.

“Jadi ini seperti kemarin tidak bisa diatur?” tanya Kurniawan.

Njeh pak.”

“Kalo ibu-ibu tetep seperti kemarin, keamanan akan melakukan langkah seperti kemarin juga,” ancam Kapolres.

Pukul 09.40, Brimob dan satpam semen memeriksa warga yang tidak mempunyai identitas Desa Tegaldowo. Warga lain disuruh keluar dari tenda. Dokumentasi dilarang. Pasukan Brimob dan TNI terus bertambah.

Pukul 10.00, para ibu memainkan lesung dan nembang lagu Ibu Pertiwi. Pukul 10.15, Brimob merampas lesung, bendera, poster, dan alat peraga lain.

Bentrokan pun tak terelakkan. Polisi, preman, Brimob, satpam ramai-ramai melawan ibu-ibu. Tak pelak, banyak ibu-ibu terkena pukulan Brimob. Seperti Murtini, kala mau menyelamatkan lesung dipukul seorang Brimob, bernama Mahmud. Kaki Murtini diinjak hingga kuku terkelupas berdarah. Waktu bersamaan, pemuda bernama Jedor, ingin menyelamatkan lesung dari atas mobil Birmob. Eh, Brimob dan TNI malah mengkeroyok  Jedor hingga terjatuh dan terinjak aparat-aparat itu.

Pukul 12.21, Brimob dan satpam mendirikan tenda di pertigaan dekat tenda ibu-ibu dan menutup jalan masuk ke tenda warga.

Pukul 17.00, bapak-bapak hendak mengirim logistik untuk ibu-ibu di tenda, namun dilarang oleh Brimob dan satpam.

Hingga pukul 23.26, bapak-bapak tak bisa mengantar makanan. Ibu-ibu kelaparan…

Aparat mulai mendatangi ibu-ibu yang ada di tenda. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Aparat mulai mendatangi ibu-ibu yang ada di tenda. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Tarik aparat 

Joko Prianto, warga Tegaldowo kepada Mongabay, mengatakan, aparat sunguh tidak punya prikemanusiaan. “Aparat jelas memihak PT semen. Apa salah warga hingga diperlakukan seperti itu. Dipukul….ditendang…… kami menuntut untuk Kapolres Rembang dicopot dan segera menarik polri dan TNI dari lokasi tenda perjuangan,” katanya.

Sukinah, warga Tegaldowo bingung karena kala lewat kantor polisi melihat tulisan,”melayani dan mengayomi masyrakat 24 jam.” “Tapi kok kenyataan di Rembang justru menindas masyarakat?”

Dia heran mengapa aparat tega bentrok dengan para ibu. “Tidak kebayang kenapa para adek-adek Brimob tega sama ibu-ibu yang menolak semen, bukankah mereka dilahirkan dari rahim perempuan? Saya sadar, kalau polisi membela dan melindungi penguasa tambang, tidak ada HAM di Rembang.”

Muhnur Satyahaprabu, dari Walhi Nasional mendesak Kapolda mencopot Kapolres Rembang. “Tarik aparat Polri dan TNI yang bikin warga resah dan ketakutan,” katanya, Jumat (28/11/14).

Dia juga mendesak, preman dan anggota Brimob yang diduga memukul para ibu diperiksa.

Edo Rahkman dari Walhi Nasional kecewa atas tindakan aparat yang melakukan kekerasan kepada ibu-ibu di Rembang. “Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng)  harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Karena kebijakan Gubernur hingga warga terancam, dan harus mempertahankan sumber penghidupan mereka oleh tambang.”

Walhi juga mengingatkan,  agar Mabes Polri segera memerintahkan Kapolda Jateng menarik seluruh pasukan di lokasi. “Masyarakat mempunyai hak mempertahankan sumber penghidupan mereka. Berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan berhak atas perlakuan sama di mata hukum.”

TNI/Polri--Brimob, sampai satpam berjaga-jaga agar para ibu tak menghalangi alat berat masuk. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

TNI/Polri–Brimob, sampai satpam berjaga-jaga agar para ibu tak menghalangi alat berat masuk. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Penempatan Brimob

Dikutip dari Radarpekalongan.online, pada Kamis, di lokasi, selain 30 anggota Brimob Polres Pati, Kapolres Rembang AKBP dan Komandan Kodim 0720 Rembang Letnan Kolonel Infantri Wawan Indaryanto berjaga. Ada juga puluhan anggota sabhara dan tentara bersiaga di portal jalan akses masuk tapak pabrik SI.

Kurniawan mengatakan, Brimob berjaga untuk mgantisipasi penghadangan, atau pemblokadean kembali warga tolak pabrik.

Kapolres mengatakan, aksi penghadangan tidak dibenarkan. Warga tak memiliki hak, penghadangan juga mengganggu kelancaran obyek vital.”Ini kan obyek vital karena perusahaan negara, harus kita lindungi. Ini kewajiban kita.”

Para ibu mulai lari kocar kacir, ada yang berusaha menyelamatkan lesung. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Para ibu mulai lari kocar kacir, ada yang berusaha menyelamatkan lesung. Foto: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Murtini kala ditarik aparat hingga terjatuh. Foto: Susilo

Murtini kala ditarik aparat hingga terjatuh. Foto: Susilo

Aksi para perempuan muda hingga nenek-nenek yang berupaya menghadang pabrik dan tambang di lingkungan mereka harus berhadapan dengan aparat gabungan dari TNI/Polri? Sebandingkah? Foto: Susilo

Aksi para perempuan muda hingga nenek-nenek yang berupaya menghadang pabrik dan tambang di lingkungan mereka harus berhadapan dengan aparat gabungan dari TNI/Polri? Sebandingkah? Foto: Susilo


Inilah Aksi Aparat Hadapi Ibu-ibu Penjaga Karst Rembang was first posted on November 28, 2014 at 8:33 pm.

Warna Warni Festival Limboto di Tengah Danau yang Sakit

$
0
0
Salah satu arak-arakan festival Danau Limboto yang menampilkan ritual adat Gorontalo, dayango. Foto: Christopel Paino

Salah satu arak-arakan festival Danau Limboto yang menampilkan ritual adat Gorontalo, dayango. Foto: Christopel Paino

Jalanan di bawah menara Limboto sedari pagi tampak ramai. Ratusan warga berdiri di pinggir jalan. Orang-orang berbusana penuh warna berkumpul menunggu aba-aba parade. Anak-anak hingga orang tua memadati.

Inilah suasana kala Carnival Danau Limboto 2014. Festival ini menyuguhkan budaya dan adat istiadat orang Gorontalo, mulai pakaian khas karawo, makanan, tata cara sunat, pernikahan, tarian, sampai tata cara adat dan doa hamil tujuh bulanan. Tak lupa, orang-warga Polahi, orang Gorontalo kala zaman kolonial melarikan diri ke hutan dan membentuk komunitas sendiri, diikutsertakan.

Event ini kali pertama mulai 2012. Sabtu (22/11/14), kali ketiga yang menjadi rangkaian HUT Kabupaten Gorontalo ke-341.

Kreasi unik pakaian khas karawo menjadi pemandangan menarik. Begitu juga ritual dayango, tarian permohonan dalam menjaga keseimbangan alam—yang mulai dilarang juga diperkenalkan.

Parade diawali dari Menara Limboto, berakhir di kawasan Sport Centre Limboto. “Ini layak jadi agenda wisata nasional,” kata Rianty Pakaya, seorang warga.

Tazbir, Direktur Promosi Wisata Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dalam sambutan mengatakan, festival ini upaya promosi dan mendorong ekonomi tumbuh dengan menampilkan kekhasan daerah. “Di Sumatera Utara,  ada Festival Danau Toba, ada Festival Danau Poso. Dengan nama danau bisa menggerakkan sektor dan potensi. Festival Danau Limboto layak dibesarkan agar menjadi event nasional bahkan internasional,” kata pria yang pernah menjadi Kepala Dinas Pariwisata Yogyakarta itu.

Untuk membuat festival Danau Limboto menjadi lebih meriah, harus ada strategi khusus, apalagi kalau menjadi tujuan wisatawan mancanegara. Strategi Tazbir, dengan mengundang para duta besar negara-negara sahabat agar datang pada festival.

“Kita tahu, Danau Limboto mengalami persoalan pendangkalan. Kegiatan ini membuat semua tergerak memperbaiki danau. Besarkan festival tidak harus pakai dana pemda, harus ada sponsor swasta.”

Peserta Festival  Limboto memakai kostum unik namun di beberapa bagian memakai motif karawo, sulaman khas Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Peserta Festival Limboto memakai kostum unik namun di beberapa bagian memakai motif karawo, sulaman khas Gorontalo. Foto: Christopel Paino

Sukri Mo’onti, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Gorontalo, juga ketua panitia mengatakan, anggaran festival ini dibebankan kepada masing-masing instansi dengan total sekitar Rp500-an juta.

“Ada kontes ratu Danau Limboto, peserta dari luar provinsi, seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Juga lomba perahu kreasi berlangsung satu pekan.”

Limboto kritis

Semarak festival Limboto yang penuh warna-warni itu kontras dengan kondisi danau kini. Sejak 2009, ketika Konferensi Nasional Danau Indonesia di Bali hingga sekarang, Limboto masuk jajaran 15 besar danau terkritis. Banyak sedimentasi menyebabkan danau dangkal dan permukaan ditutupi eceng gondok. Danau ini dipediksi hilang 2025.

David Bobihoe,  Bupati Gorontalo, kepada Mongabay, mengatakan dengan festival ini, pembenahan tidak hanya menjadi tugas Dinas Pariwisata. Ia akan menjadi perhatian berbagai sektor, termasuk masyarakat.“Kami sengaja mencari nama populer untuk event pariwisata di Gorontalo. Danau Limboto menjadi pilihan agar mudah diingat dan mendapat perhatian, hingga ada pembenahan.”

Menurut David, kondisi danau 30 tahun lalu sangat jauh berbeda. Danau makin dangkal. Dia mengatakan, pernah usul memanfaatkan sedimen danau untuk batu bata, ternyata mudah pecah. Dia mengusulkan kepada Kementerian Perindustrian mencari solusi, misal, zat kimia yang mampu merekatkan sedimen danau menjadi batu bata. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut.

“Kalau sedimentasi danau bisa jadi batu bata, masyarakat pasti berbondong-bondong memanfaatkan.”

Pemerintah pusat tengah menggelontorkan dana penyelamatan Limboto Rp500 miliar. “Danau ini harus menjadi perhatian pusat. Sekerang bukan lagi memperlebar danau atau memperdalam. Cukup pertahankan yang ada sekarang. Kalau perlu bikin delta di tengah untuk tempat wisata, di pinggir dikeruk.”

Direktur perkumpulan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), Ahmad Bahsoan, berharap, festival ini tidak terjebak pada kegiatan-kegiatan seremonial dan pencitraan. Namun lebih menyentuh langsung pada substansi penyelamatan danau.

“Danau sedang kritis. Terpenting kebijakan pemerintah daerah agar memihak penyelamatan danau, salah satu pembenahan di daerah hulu. Kalau pemerintah memberikan izin-izin pertambangan atau perkebunan skala besar di hulu, sama saja bohong karena makin membuat danau yang berada di hilir makin sakit.”

Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Riset dan Teknologi Gorontalo, luas Limboto tahun 1932 adalah 8.000 hektar dengan kedalaman 30 meter. Tahun 1970, menjadi 4.500 hektar dan kedalaman 15 meter. Tahun 2003, luas 3.054,8 hektar, kedalaman jadi  empat meter.

Tahun 2010, luas danau 2.537,2 hektar dengan kedalaman 2-2,5 meter. Lalu 2012, luas tersisa 2.500 hektar dengan kedalaman 1,876-2,5 meter.

Danau Limboto, yang mengalami sakit kronis, dari pendangkalan sampai dipenuhi eceng gondok. Foto: Christopel Paino

Danau Limboto, yang mengalami sakit kronis, dari pendangkalan sampai dipenuhi eceng gondok. Foto: Christopel Paino

KOstum-kostum unik dari mereflesikan tanam-tanaman sampai biota air (danau). Foto: Christopel Paino

KOstum-kostum unik dari mereflesikan tanam-tanaman sampai biota air (danau). Foto: Christopel Paino

Busana unik menggambarkan tanam-tanaman dengan dihiasi sulaman khas Gorontalo.Foto: Christopel Paino

Busana unik menggambarkan tanam-tanaman dengan dihiasi sulaman khas Gorontalo.Foto: Christopel Paino


Warna Warni Festival Limboto di Tengah Danau yang Sakit was first posted on November 30, 2014 at 12:54 am.

Memanen Cahaya Mentari ala Kayon

$
0
0
Kayon bersama topi, yang sekaligus berfungsi sebagai 'powerbank' bagi alat-alat elektroniknya, seperti handphone. Foto: Luh Gede Suryani

Kayon bersama topi, yang sekaligus berfungsi sebagai ‘powerbank’ bagi alat-alat elektroniknya, seperti handphone. Foto: Luh De Suryani

Sejak tahun 2000-an, dia mulai mencoba memanfaatkan cahaya matahari kecil-kecilan untuk bekerja keliling (mobile) dengan VW Combi-nya. Dia memasang panel tenaga surya di atap mobil tua hingga bisa membuat video dengan pasokan energi terbarukan ini.

Dialah I Gusti Agung Putradhyana, arsitek lulusan Universitas Udayana, Denpasar. Dia juga pernah kursus tentang ekologi di Belanda. Pria 46 tahun ini tak bosan mengajak rekan-rekannya mencoba. Caranya,  bukan dengan penyuluhan, tetapi setia memakai sepeda bermesin, hybrid, kombinasi listrik dan tenaga surya. Mengghasilkan energi listrik dari surya di rumah, mengenakan tas panel surya. Lalu membuat topi bak powerbank. Capil atau topi dari anyaman jerami ini dipasang panel-panel surya kecil. Menjadi colokan listrik untuk charge handphone atau menghidupkan lampu LED.

Energi surya bukan hal baru. Negara-negara maju makin mengintensifkan penggunaan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil yang menambah emisi karbon. Batubara dan minyak bumi, misal, tak bisa diperbarui dan masih menjadi sumber andalan energi di Indonesia.

Kesadaran mulai mengaplikasikan energi terbarukan berjalan lambat. Agung Kayon, panggilan Agung Putradhyana,  beruaya menunjukkan aplikasi-aplikasi sederhana dari memanen cahaya matahari ini. “Level Bali seharusnya tahap kesadaran, Bali harus mencoba, tidak emergency tetapi efisiensi biar tak nambah pembangkit listrik terus atau memaksa jaringan transjawa,” katanya.

Menurut dia, industri pariwisata pelan-pelan hendaknya berangsur beralih ke aplikasi energi terbarukan. Kayon tinggal di Banjar Geluntung, Tabanan. Daerah pedesaan, sekitar satu jam dari Denpasar,  jika tak macet.

Penl surya 10 watt di halaman rumah. Foto: Luh De Suryani

Panel surya 10 watt di halaman rumah. Foto: Luh De Suryani

Panel-panel surya menyebar di beberapa atap rumah berarsitektur tradisional Bali ini. Ada juga di halaman untuk keperluan lampu-lampu taman. “Sengaja saya pasang terpisah biar merata dan hemat kabel juga.”

Lalu ada empat panel surya kecil ukuran masing-masing 0,003 watt di topi jerami. Topi jerami kerap dipakai ini dipasangkan kabel ke empat baterai kecil. Menghasilkan daya cukup untuk memanjangkan nafas ponsel sekitar satu jam. Dia juga memasangkan kabel yang memungkinkan untuk menghidupkan lampu LED. Sangat berguna saat berpetualang.

Tas panel surya ini masih perlu modifikasi alat lain agar memasok listrik langsung ke laptop. Sarana terpasang adalah panel surya 10 watt, harga sekitar  Rp400.000, baterai lima ampere. Jika mendapat pasokan cahaya enam jam, dapat 60 watt. Cukup nambah daya laptop satu jam.

Selain modifikasi tas, Kayon pernah membantu pemasangan panel surya pada tas teman yang mendaki ke pegunungan Himalaya. “Ternyata di sana, para pemandu dan pembawa barang menyewakan tas dengan panel surya untuk pendaki.”

Para pendaki bisa mengaktifkan ponsel bahkan bekerja membuat karya seperti video ketika mendaki gunung tertinggi di dunia ini.

Memasang panel surya di mobil paling menyenangkan. Di atas mobil ada dua panel ukuran masing-masing 30 watt. Dia bisa mewujudkan mimpi memiliki mobile office. “Bahkan bisa pasang shower untuk mandi. Anak-anak di sini senang sekali. Sekarang mobil sedang diperbaiki,” katanya. Dia menunjukkan VW Combi sedang dicat ulang.

Untuk kebutuhan listrik rumah sehari-hari, Kayon masih berlangganan listrik PLN selain pasokan panel surya. Dia menunjukkan bukti pembayaran listrik tak lebih Rp30.000 per bulan. Nilai sangat kecil, dengan daya terpasang 1.300 watt dan kenaikan tarif listrik bertahap selama beberapa bulan ini. Biasa, satu rumah tangga kelas menengah membayar listrik ke PLN sekitar Rp200-300 ribu per bulan untuk daya sebesar itu. Dengan penggunaan rice cooker, beberapa laptop, kulkas, dan televisi.

Kayon bersama tas panel suryanya. Foto: Luh De Suryani

Kayon bersama tas panel suryanya. Foto: Luh De Suryani

Dia memilih hybrid, karena ingin memanfaatkan panel surya untuk efisiensi. Bukan memutus ketergantungan pada negara. “Mandat negara memeratakan distribusi listrik, jadi yang mampu harus efisiensi bahkan mengembalikan kelebihan produksi listrik,” katanya. Dia mencontohkan di Melbourne, Australia. Warga bisa mengajukan proposal pada pengelola listrik negara untuk mendapat diskon jika pembangkit rumah kelebihan listrik.

Ada sistem semacam kompensasi listrik. Warga yang kelebihan pasokan listrik dari pemasangan panel surya, meteran listrik berjalan mundur, hingga biaya bayar makin murah.

Untuk pasokan panel surya, sebenarnya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Saat ini,  ada empat panel total daya 300 watt terpasang. Satu panel 100 watt dibeli harga Rp2,5 juta ketika harga panel Rp25.000 per watt. Jadi biaya panel Rp7,5 juta. Lalu penyimpan daya baterai Rp1,5 juta. Pengadaan alat pembangkit Rp9 juta.  Menurut dia, balik modal sekitar tiga tahun, jika dikompensasi biaya listrik ke PLN.

Jika tiap 100 watt mendapat penyinaran mentari sekitar enam jam maka mendapat daya 600 watt, akan berkurang 20% karena mekanisme arus dan penggunaan alat lain.

Kayon punya banyak ide untuk efisiensi. Terutama skala kecil dan aplikasi sederhana membangkitkan kesadaran dulu. Di depan sejumlah mahasiswa Politeknik Negeri Bali pekan ini, dia mengajak membuat pusat charger ponsel di kampus. Energi dari panel surya.

Dalam skala lebih besar, ada ide menerapkan di sekolah-sekolah guna mengampanyekan sepeda listrik menjadi moda transportasi. Penggunaan subsidi BBM di Indonesia terbanyak bagi sepeda motor. Di Bali, rata-rata tiap rumah tangga punya dua motor atau lebih sesuai anggota keluarga. Tak aneh jika anak-anak sekolah dengan seragam SMP lalu lalang di jalanan bermotor.

Bali tidak punya moda transportasi publik yang mengakses seluruh wilayah. Beberapa tahun ini ada bus Transsarbagita tapi rute terbatas. Transportasi publik belum populer atau tak ada kebijakan yang memaksa warga beralih.

“Coba ada sekolah menerapkan pengadaan sepeda listrik. Untuk terus digunakan turun temurun. Sekolah menyiapkan pasokan listrik dari surya di sekolah.” Sebagai contoh, sepeda listrik hybrid, diisi listrik sekitar empat jam untuk pemakaian dua jam rata-rata kecepatan 40 km per jam. Panel surya ini, katanya, juga cocok untuk pura-pura (tempat suci) yang terpencil.

 

Rumah panel Kayon. Foto: Luh De Suryani

Rumah panel Kayon. Foto: Luh De Suryani


Memanen Cahaya Mentari ala Kayon was first posted on November 30, 2014 at 1:26 pm.
Viewing all 4118 articles
Browse latest View live