Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3799 articles
Browse latest View live

Suara Bersama Selamatkan Dunia dari Perubahan Iklim

$
0
0
Gambaran bumi nderita oleh eksploitasi berbagai hal, salah satu tambang. Pawai iklim massal di Jl Thamrin, Jakarta ini juga serentak di berbagai negara guna menyerukan penyelamatan dunia dari bahaya perubahan iklim. Foto: Sapariah Saturi

Gambaran bumi  yang menderita oleh eksploitasi berbagai hal, salah satu tambang dalam pawai iklim massal di Jl Thamrin, Jakarta. Aksi ini juga serentak di berbagai negara guna menyerukan penyelamatan dunia dari bahaya perubahan iklim. Foto: Sapariah Saturi

Banjir lagi, banjir lagi…kampung kami kebanjiran. Banjir lagi eii.., kota kami kebanjiran. Banjir lagi….pulau kami kebanjiran. Banjir lagi, negeri kami banjir kesedihan…

Begitu alunan lagu yang dibawakan Band Marginal, berjudul Banjir-banjir Ngehe, yang membuat para pendengar berjingkrak-jingkrak pada pawai iklim massal di area car free day, Jl Thamrin, Jakarta, Minggu (21/9/14). Ada juga beramai-ramai mengangkat poster berisi berbagai pesan sambil bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Ya, hari itu pawai iklim massal yang dilakukan berbagai negara di dunia. Aksi ini sehari sebelum Sekjen PBB Ban Ki-moon membahas perubahan iklim ini dengan 125 kepala negara pada Selasa (23/9/14) di markas PBB.

Bang Marginal ikut meramaikan pawai iklim massal, pagi itu di area car free day, Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Band Marginal ikut meramaikan pawai iklim massal, pagi itu di area car free day, Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Pawai ini ingin mengajak masyarakat dunia termasuk Indonesia, ikut menyuarakan penyelamatan bumi dari bencana perubahan iklim. Aksi ini juga berharap, Presiden Indonesia terpilih, Joko Widodo, bisa mengembangkan energi terbarukan.

Edo Rahman, pengkampanye Walhi Nasional mengatakan, salah satu energi kotor yang masih jadi andalan Indonesia itu batubara. “Sumber energi listrik, menggunakan bartubara pada 2011, sebesar 29 persen. Pada 2012-2013, malah naik menjadi 31 persen. Kebijakan energi nasional harusnya makin tahun.”

Kondisi ini, katanya, karena pengaruh korporasi yang kuat. Dia menjabarkan, produksi batubara Indonesia akhir 2013, sebesar 421 juta kubik.  Per Juni 2014, naik menjadi 397 juta kubik. “Itu baru setengah tahun. Kita belum tahu lagi sampai Desember ini.”

Aksi pawai iklim massal ini juga mengharapkan Jokowi,  sebagai Presiden Indonesia terpilih lebih mengembangkan energi terbarukan dan meninggalkan energi fosil. Foto: Sapariah Saturi

Aksi pawai iklim massal ini juga mengharapkan Jokowi, sebagai Presiden Indonesia terpilih lebih mengembangkan energi terbarukan dan meninggalkan energi fosil. Foto: Sapariah Saturi

Padahal, katanya, batubara ini tak hanya merusak lingkungan juga berbahaya bagi kesehatan manusia. “Hasil pembakaran batubara bisa ganggu pertumbuhan anak-anak kecil, ganggu paru-paru, sampai jantung.”  Untuk itu, katanya, Walhi mendorong pemerintah ke depan, beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.

Aksi gabungan berbagai organisasi antara lain Walhi, Jatam, dan 350.org, ini juga menampilkan Band Simponi, Longbed–dimotori Boni, pemeran film Jalanan. Ada juga Aman Percussion, sikus perkusi dan instalasi serta lain-lain.

Poster berisi beragam pesan kala pawai iklim massal. Foto: Sapariah Saturi

Poster berisi beragam pesan kala pawai iklim massal. Foto: Sapariah Saturi

Grup musik Longbed, juga tampil dalam pawai iklim massal di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Grup musik Longbed, juga tampil dalam pawai iklim massal di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

 


Suara Bersama Selamatkan Dunia dari Perubahan Iklim was first posted on September 21, 2014 at 6:00 pm.

Duh! 7 Pekerja Tambang Emas Tewas di Mandailing Natal

$
0
0
Seorang penambang emas di Mandailing Natal ketika masuk ke  lubang kedalaman 35 meter. Foto: Ayat S Karokaro

Seorang penambang emas di Mandailing Natal ketika masuk ke lubang kedalaman 35 meter. Foto: Ayat S Karokaro

Kurang dari tiga pekan, lubang tambang emas di kawasan hutan Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara, menelan tujuh korban jiwa.

Pada Jumat (19/9/14), dua pekerja tambang di TNBG, tepatnya tambang emas Arai, Desa Aek Botung, tewas di lubang kedalaman 35 meter. Mereka, Rustam(31) dan Zainal(29), warga Jawa Timur, sudah menambang dalam enam tahun terakhir.

Roland Lubis, dari Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Mandailing Natal (FPMMTE) , kepada Mongabay Minggu (21/9/14), mengatakan,  dari mulut korban keluar busa. Kemungkinan besar keracunan saat di lubang tambang.

Dia mengatakan, ketika mendapat informasi langsung menuju ke lokasi. Ternyata dua penambang tidak bernyawa lagi, setelah enam jam di lubang tidak memberi kabar pada tim lain.

Penanggungjawab lubang,  kata Roland, langsung meminta diperiksa. Diur(26), asal Bogor turun ke lubang memeriksa. “Naas, si Diur juga gak ada kabar. Beruntung dia selamat, ternyata terhirup gas beracun dari lubang galian tambang yang mereka garap. Diur  minta tolong dengan menarik ujung tali yang ada lonceng. Dia langsung ditarik sampai atas. Muka sudah pucat. Langsung dikasih minum air nira. Ketika Diur muntah, barulah dapat kabar kalau dua pekerja sudah terkujur kaku,” kata Roland.

Dia menyatakan, pekerja tambang ini, tidak dilengkapi peralatan memadai. Oksigen sedikit, peralatan penyelamatan minim, sampai cara bekerja kurang baik, hingga sangat membahayakan keselamatan. Tidak sedikit pekerja tambang, tewas dalam lubang, baik karena tertimbun longsor, sampai terhirup gas beracun.

“Dua orang tewas sudah dievakuasi keluar lubang, setelah pengawas memperpanjang selang blower. Mereka menunggu empat jam baru berani mengevakuasi.”

Roland mengungkapkan, kasus serupa terjadi Senin (1/9/14). Lima penambang emas tewas di lubang kedalaman 38 meter. Kelimanya tewas karena terhirup racun saat menggali bebatuan. Lokasi mereka di Dusun Tambang Ubi, Desa Aek Botung, Kecamatan Muara Sipongi, Mandailing Natal. Kelimanya Cewin Sialaban(32), Adek Lubis(22), Damis(31), Buan Nasution(40), dan Idris Rangkuti(31). Seorang lagi Suwandi Rambe(25), kritis saat menolong empat pekerja yang tewas.

“Tiga tewas dalam lubang, dua tewas saat akan menolong. Mereka dikebumikan di Panggorengan Kota Panyabungan. Mereka warga setempat.”

Gubuk-gubuk atau tenda ini berdiri di tengah kawasan hutan lokasi menambang emas di hutan Hutabargot. Foto: Ayat S Karokaro

AKBP Mardiaz Kusin Dwihananto, Kapolres Mandailing Natal, ketika dikonfirmasi membenarkan kejadian itu. Dari hasil autopsi di rumah sakit, diketahui korban tewas menghirup gas beracun di lubang tambang. Hasil pemeriksaan sejumlah saksi, pekerja tidak dilengkapi masker oksigen saat masuk ke lubang tambang.

“Kita sedikit terkendala ketika evakuasi. Tim masuk dibantu masyarakat desa, menggunakan masker oksigen. Setelah dibawa ke atas, langsung dibawa ke rumah sakit. Lubang cukup kecil  buat evakuasi korban. Kasus ini masih kita sidik dan dalami,” kata Mardiaz.

Menurut FPMMTE, korban penambang terus berjatuhan  karena Pemerintah Mandailing Natal, tak tegas. Heru Nasution, dari forum ini mengatakan, catatan mereka, lebih 120 penambang tewas dalam lubang, mulai kedalam 25-100 meter lebih. Yang mengerikan, ketika pekerja tambang tidak naik ke permukaan setelah dua hari, mereka dianggap hilang. Pemilik lubang merekrut pekerja baru untuk mengeruk lubang bebatuan yang dianggap banyak mengandung emas.

Seharusnya,  kata Heru, dengan korban banyak  ini, tidak alasan pemerintah tak tegas melarang bahkan menutup lubang tambang ini. Kini, jumlah lubang tambang mencapai lebih 200 yang akti dan tak terhitung yang tidak dipakai dan dibiarkan terbuka begitu saja.

“Alam rusak dan tak ada tanggungjawab dari para penambang. Pemerintah? Sama saja, mereka membiarkan ini terus berjalan. Saat ditanya, Pemkab Mandailing Natal menjawab gak berani gegabah menyetop kegiatan penambangan. Ini harus segera dihentikan, kalau enggak korban terus berjatuhan.”

Dahlan Hasan Nasution, Plt Bupati Mandailing Natal, prihatin atas jatuh korban jiwa ini. Tambang emas itu memang tidak memiliki izin. Namun, karena sudah berlangsung, pihaknya berhati-hati mengambil sikap. Pemerintah, katanya, tidak ingin keputusan berujung konflik, mengakibatkan keamanan tidak terkendali.

Saat ini, pemerintah terus mengkaji langkah-langkah, agar mendapatkan solusi terbaik.  “Kita sudah membentuk tim pengkajian. Yang jelas, akan ada relokasi penambangan. Yang di hutan lindung wajib keluar. Yang mencemari lingkungan wajib menghentikann. Jika tidak, hukum akan berjalan. Kita akan atur ulang tambang emas tradisional ini.”

Melalui lubang ukuran 1×1 meter ini penambang emas Hutabargot masuk ke bawah dengan kedalaman antara 35-100 meter untuk mencari bebatuan beremas. Foto: Ayat S Karokaro


Duh! 7 Pekerja Tambang Emas Tewas di Mandailing Natal was first posted on September 21, 2014 at 7:02 pm.

Soal Perlindungan KEL, Koalisi Bikin Surat ‘Cinta’ buat SBY

$
0
0

KEL yang masih asri di Gayo Lues terancam pembangunan infrastruktur, perluasan pemukiman dan areal budidaya. Foto: Chik Rini

“Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang terhormat… Bapak Presiden, semua hal yang menyedihkan ini dapat anda hentikan dengan goresan pena anda. Kawasan Ekosistem Leuser dapat anda selamatkan agar dapat terus memberikan manfaat bagi iklim dan generasi yang akan datang…”

Begitulah kutipan surat ‘cinta’ dari koalisi penyelamat hutan Aceh (KPHA) kepada Presiden SBY yang sedang pertemuan iklim bersama kepala negara lain di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2014.

Surat itu dibuat lantaran keberadaan kawasan ekosistem Leuser (KEL) terancam dengan pengesahan qanun RTRW Aceh, yang menghilangkan KEL sebagai kawasan strategis nasional yang harus dilindungi. Belum lagi, pengesahan RTRW oleh daerah bermasalah, karena ditetapkan sebelum evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri.

Effendi Isma, juru bicara KPHA meminta, pemerintah pusat, lewat SBY dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membatalkan RTRW Aceh itu karena mengancam KEL. Jika dibiarkan, maka KEL akan menjadi area penebangan kayu, perkebunan dan pertambangan. “Kami meminta SBY, masih ada kesempatan untuk membatalkan RTRW Aceh ini,” katanya di Jakarta, Senin (22/9/14).

Jika RTRW Aceh ini diterima pusat, maka koalisi sudah bersiap menggugat peraturan daerah (qanun) ini ke Mahkamah Agung.

“Bersama Walhi sudah melakukan kajian, sudah beberapa kali pertemuan, hanya tunggu keputusan akhir dari pemerintah pusat. Tunggu apakah qanun pemerintah Aceh disetujui atau tidak. Jika tidak setuju, judicial review ke MA tak jadi. Kalau setujui maka akan ajukan ke MA,” kata Effendi.

Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, RTRW Aceh tak memperhitungkan bencana yang bakal timbul kala Leuser tak menjadi kawasan lindung.  Seharusnya, KEL itu dipertahankan bahkan diperkuat, bukan sebaliknya.  Untuk itu, dia berharap, SBY di masa akhir jabatan bisa meninggalkan kebijakan berpihak pada penyelamatan KEL.“Jika Leuser tak diselamatkan akan ganggu komitmen Indonesia buat turunkan emisi karbon,” ujar dia.

Tak jauh beda dikatakan Gemma Tillack dari Rainforest Action Network (RAN). Dia mendesak SBY memberikan perlindungan kuat pada KEL dengan membatalkan RTRW Aceh.

Momen ini, kata Tillack bersamaan dengan seruan ribuan orang yang turun ke jalan menyuarakan penyelamatan iklim dunia. Perubahan iklim, katanya, sudah terjadi dan berdampak buruk pada masyarakat.

Bisnis yang biasa, katanya, tak lagi bisa dijalankan kala konsumen, investor dan pemerintah beraksi untuk memastikan penyelamatan iklim lewat komoditas bebas deforestasi dan konflik. “SBY bisa mengambil bagian dalam transformasi ini.” Indonesia, katanya, bisa berperan, salah satu lewat menyelamatkan KEL dari jarahan sawit dan HTI.

Dari kiri, Gemma Tillack dari Rainforest Action Network (RAN), Teguh Sruya (Greenpeace), Ian Singleton (SOCP), Panut Hadisiswoyo (OIC) dan Effendi Isma (KPHA) membawa poster seruan penyelamatan KEL di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Dari kiri, Gemma Tillack dari Rainforest Action Network (RAN), Teguh Surya (Greenpeace), Ian Singleton (SOCP), Panut Hadisiswoyo (OIC) dan Effendi Isma (KPHA) membawa poster seruan penyelamatan KEL di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Ian Singleton, direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP) berharap, SBY bisa membatalkan RTRW Aceh ini. Menurut dia, KEL satu-satunya tempat di bumi dengan beragam satwa langka hidup bersama di alam, seperti harimau Sumatera, gajah, dan orangutan. Jadi, jika sampai KEL hilang, tak hanya hutan dan gambut yang sirna juga berikut satwa. “Berapa besar emisi karbon akan lepas. Ini sudah isu global. Kalau Indonesia terus menerus buka hutan dan keringkan gambut akan berdampak pada dunia.”

Reforestasi bukan deforestasi

Panut Hadisiswoyo, direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (OIC), mengatakan, di Aceh, terutama KEL tak mentolelir kebijakan penebangan karena rawan bencana. Untuk itu, yang menjadi solusi daerah seperti ini adalah reforestasi, bukan deforestasi.

Namun, yang terjadi di KEL kini, penebangan dan perambahan buat sawit terutama di dataran rendah dan rawa gambut terus terjadi.

“Karena perluasan perkebunan dan illegal logging ini, akhirnya bencana terus menerus timpa Aceh, dari longsor, banjir bandang. Ini rugikan banyak masyarakat di sekitar KEL,” kata Panut. Kehidupan satwa pun menjadi korban akibat perluasan perkebunan di dalam hutan ini.

Sebenarnya, kata Panut, reforestasi alami mudah terjadi di Aceh. Dia mencontohkan, kala masa konflik banyak perusahaan tak beroperasi hingga meninggalkan KEL. “Regenerasi (tanaman) KEL terjadi, karena ditinggalkan selama konflik.”

Ada juga perkebunan yang ditinggalkan di Rawa Tripa, dalam waktu cukup singkat–kala kanal dibendung—terjadi regenerasi tanaman secara alami.

“Jadi kami simpulkan, hutan masih bisa diselamatkan, satwa liar masih bisa diselamatkan, sepanjang RTRW dibatalkan, jadi perlu ketegasan SBY buat hentikan itu.”

Surat kepada Presiden SBY 

 


Soal Perlindungan KEL, Koalisi Bikin Surat ‘Cinta’ buat SBY was first posted on September 22, 2014 at 11:01 pm.

Nasib Miris Hutan Mangrove Teluk Benoa

$
0
0
Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir

Taman hutan rakyat Teluk Benoa, akankah tetap bertahan di tengah beragam ancaman termasuk reklamasi besar-besaran? Foto: Anton Muhajir

Selasa, 23 September 2014, persis setahun Jalan Tol Bali Mandara diresmikan. Satu tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memencet tombol membuka selubung jalan tol pertama di Bali itu.

Jalan sepanjang 12,7 KM ini menghubungkan Denpasar dengan dua lokasi penting di Bali yaitu Bandara Ngurah Rai dan Nusa Dua. Jalan di atas laut pertama di Indonesia ini disebut-sebut tercantik di negeri ini.

Namun, di balik kecantikan, ia menyisakan masalah. Sisa-sisa material pembangunan yang mengancam ekosistem mangrove terluas di Bali. Batu-batu kapur tersisa di dekat pintu masuk jalan di Pelabuhan Benoa, Denpasar Selatan. Mangrove yang dulu ditebang terlihat di kiri jalan menjelang pintu masuk. Ketika air surut, batu-batu kapur putih menggantikan lumpur hitam yang dulu ada di situ.

“Pengurukan demi pembangunan jalan tol jelas merusak ekosistem mangrove,” kata Iwan Dewantama, dulu tim pengawas Amdal pembangunan jalan tol.

Jalan Tol Bali Mandara dibangun di atas Teluk Benoa. Ada tiga jalur utama yaitu Benoa (Denpasar)–Bandara Ngurah Rai (Tuban), Bandara Ngurah Rai–Nusa Dua, dan Benoa–Nusa Dua. Ketiga jalur ini membentang di atas Teluk Benoa sekitar 1.373 hektar.

Ketika pembangunan jalan tol baru dimulai pada 21 Desember 2011, sejumlah kalangan mewanti-wanti ancaman kerusakan lingkungan. Walhi Bali, misal, mengingatkan potensi kerusakan hutan mangrove di teluk ini. Alasannya, pembangunan tol tidak sesuai Amdal.

Dalam Amdal, pelaksana proyek terdiri dari Adhi Karya, Waskita Karya, dan Hutama Karya menyatakan, pemasangan tiang-tiang penyangga jalan dilakukan menggunakan ponton. Nyatanya, mereka menguruk dengan tanah kapur.

“Dalam sosialisasi Amdal dijelaskan tidak ada pengurukan, kenapa dilakukan? Pengurukan itu otomatis merusak ekosistem kawasan,” kata Suriadi Darmoko, deputi–kini direktur–Walhi Bali, ketika itu.

Saat itu, pelaksana hubungan masyarakat PT Jasa Marga Tol Bali, Drajad Hari Suseno mengatakan, terpaksa dilakukan pengurukan sementara karena lokasi pekerjaan tidak bisa dijangkau ponton pancang yang juga membawa logistik. Kedalaman air, katanya, lebih dangkal daripada draf ponton yaitu garis batas ketinggian maksimal dari dasar ponton yang terbenam saat berisi muatan maksimal.

Penggunaan tanah kapur, katanya, karena material terbaik dan paling cocok dengan dasar laut untuk pengurukan sementara. Ekosistem dan pantai dengan jenis batu karang sama dengan karakteristik batu kapur yang diuruk sementara.

“Pengurukan itu bagian metode kerja dan bersifat sementara. Nanti dikembalikan seperti semula,” katanya dikutip dari BaliPublika. Ternyata, sisa-sisa pengurukan batu kapur masih terlihat di bawah jalan tol hingga kini.

“Seharusnya pelaksana proyek bertanggung jawab mengembalikan kondisi seperti semula dengan membersihkan semua sisa tanah kapur agar tidak merusak mangrove,” kata Iwan Dewantama, kini manajer Jaringan Kawasan Konservasi Perairan (MPA Network Manager) Bali Lembaga Conservation International.

Tol Bali, yang dibilang tol laut yang paling cantik di Indonesia, apakah juga indah buat alam Teluk Benoa? Foto: Anton Muhajir

Tol Bali, yang dibilang tol laut yang paling cantik di Indonesia, apakah juga indah buat alam Teluk Benoa? Foto: Anton Muhajir

Ternyata, kerusakan dampak jalan tol hanya salah satu nasib buruk hutan mangrove di Teluk Benoa, masih banyak ancaman lain.

Hutan mangrove di Teluk Benoa merupakan kawasan paling seksi. Kawasan yang disebut Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai di Bali Selatan ini, dikepung pusat-pusat pariwisata seperti Sanur, Kuta, Jimbaran, dan Nusa Dua. Lokasinya sangat strategis karena di dekat Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, dua fasiltitas publik penting di Bali.

Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BP-DAS) Unda Anyar, total kawasan 1.373,5 hektar, lebih separuh kawasan hutan mangrove di Bali hingga 2013, seluas 2.115,7 hektar.

Selain di Prapat Benoa, nama lain hutan mangrove teluk ini, mangrove di Bali tersebar di enam tempat lain. Yakni, di Perancak dan Tuwed (Kabupaten Jembrana), tiga masuk kawasan Taman Nasional Bali Barat: Teluk Gilimanuk (Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Jembrana), Teluk Trima dan Menjangan serta Teluk Banyuwedang.  Lalu, di Sumberkima-Pejarakan (Kabupaten Buleleng) dan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan (Kabupaten Klungkung).

Hutan mangrove Benoa terluas. Ia membentang di enam desa di Denpasar, yaitu Sanur Kauh, Sidakarya, Sesetan, Serangan, Pedungan, dan Pemogan. Adapun yang masuk wilayah Badung meliputi Kuta, Tuban, Kedonganan, Jimbaran, dan Tanjung Benoa.

Bersama hutan mangrove di TNBB dan Nusa Lembongan, kawasan ini masuk hutan konservasi. Namun, Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014 mengubah status hutan mangrove dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya.

Berdasarkan data BP-DAS Unda Anyar, luas hutan mangrove rusak berat di Prapat Benoa ini 253,4 hektar. Penyebab kerusakan hutan mangrove didominasi alih fungsi lahan. Dari 1.373,5 hektar, sekitar 193 hektar di kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan. Misal, jalan, lagon, lapangan, tempat pembuangan akhir, instalasi pengolahan air limbah, dan lain-lain. Fasilitas itu dikelola pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), maupun swasta.

Sedang kerusakan akibat perambahan hutan seluas 8,11 hektar. Ada 3,34 hektar kawasan hutan bersertifikat hak milik masyarakat. Padahal, lokasi di kawasan lindung.

Menurut wilayah, hutan mangrove di Kabupaten Badung, rusak berat 22,83 persen dan di Denpasar sebesar 13,13 persen. Titik hutan mangrove di Prapat Benoa yang rusak berat,  yaitu Tanjung Benoa, Benoa, Serangan dan Pedungan.

Data BP-DAS mestinya menjadi peringatan buat menjaga hutan mangrove Benoa. Namun, kini ancaman lebih besar sedang mengincar Teluk Benoa, yakni, reklamasi oleh PT Tirta Wahana Bali International (PT TWBI) sekitar 800 hektar.

Kerusakan hutan angrove Teluk Benoa, terus terjadi untuk berbagai alih fungsi. Kini, ancaman terbesar di depan mata. Hutan mangrove Teluk Benoa bakal direklamasi menjadi beragam fasilitas pariwisata. Layakkah pariwisata mengorbankan alam? Foto: Anton Muhajir

Kerusakan hutan mangrove Teluk Benoa, terus terjadi untuk berbagai alih fungsi. Kini, ancaman terbesar di depan mata. Hutan mangrove Teluk Benoa bakal direklamasi menjadi beragam fasilitas pariwisata. Layakkah pariwisata mengorbankan alam? Foto: Anton Muhajir


Nasib Miris Hutan Mangrove Teluk Benoa was first posted on September 23, 2014 at 12:19 am.

Hari Tani: dari Ketimpangan Penguasaan Lahan hingga Kemandirian Pangan

$
0
0
Aksi di Hair Tani di Jakarta, salah satu menuntut reforma agraria. Foto: Sapariah Saturi

Aksi di Hari Tani di Jakarta, salah satu menuntut reforma agraria. Foto: Sapariah Saturi

M Daris menarik nafas panjang  kala mulai menceritakan nasib yang dia alami. Setelah kampung menjadi waduk, dia tak memiliki lahan lagi buat bertani. Kini dia tinggal di Kampung (relokasi) Leweng, di Sumbawa, tak jauh dari waduk yang dibuat pemerintah. Pria paruh baya ini bertani menggarap lahan di sekitar rumah. Di sana, dia menanam jati, jambu mente dan randu. Di bawah pepohonan itu juga ditanami padi.

Nasib buruk menghampiri, lahan tani itu ternyata menurut pemerintah masuk kawasan hutan lindung. Kala tanaman berusia sekitar tiga tahun, dan hampir berbuah, petugaspun datang mencokok dengan tuduhan merambah kawasan hutan. Tak hanya Daris, empat petani lain juga mengalami nasib sama.

“Saya tanam jati, jambu mente. Saya tak merusak hutan. Itu ladang dari dulu jadi kami tanami, tapi katanya kawasan hutan. Kami ditangkap,” katanya, kala saya berkunjung ke kampung itu, pekan lalu.

Dia divonis delapan bulan penjara pada 2011. Kini, Daris sudah keluar dari penjara, tetapi bukan lepas dari penderitaan karena lahan bertani tak ada.

Nasib serupa Daris dialami ribuan bahkan jutaan warga petani di Indonesia di berbagai daerah. Mereka tak bisa bertani karena berhadapan dengan pemerintah maupun pengusaha. Ketimpangan penguasaan lahan begitu besar di negeri ini. Tak pelak, konflik agraria terjadi di mana-mana.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 10 tahun  (2004-2014),  periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terjadi 1.391 konflik agraria di Indonesia, dengan areal seluas 5.711.396 hektar. Terdapat lebih 926.700 keluarga menghadapi ketidakadilan agraria.

Berdasarkan sektor, konflik agraria di perkebunan 536 kasus, infrastruktur 515, kehutanan 140, tambang 90, pertanian 23, dan pesisir-kelautan enam kasus.

Ketidakberpihakan pemerintah menimbulkan intimidasi dan kriminalisasi. Cara-cara represif oleh kepolisian dan militer pun terjadi hingga menimbulkan banyak korban petani dan komunitas adat. Selama periode itu, sekitar 1.354 orang ditahan, 553 luka-luka, 110 tertembak aparat, serta 70 orang tewas.

Bertepatan dengan Hari Tani pada Rabu (24/9/14) ini, reforma agraria pun menjadi tuntutan utama dalam peringatan di berbagai daerah.

Ribuan para petani turun di Jakarta meneriakkan ketidakadilan yang mereka alami selama ini. Foto: Sapariah Saturi

Ribuan para petani turun di Jakarta meneriakkan ketidakadilan yang mereka alami selama ini. Foto: Sapariah Saturi

Di Jakarta, ribuan massa petani dan organisasi tani aksi di depan Istana Negara. Para petani dari Bogor, Garut, Subang, Karawang dan daerah-daerah lain berkumpul meminta keadilan pemerintah. Bahkan, sebagian rela dari jauh-jauh membawa anak-anak dan bayi mereka.

“Bagikan tanah untuk buruh tani dan petani miskin.” “Ayo bentuk Kementerian Agraria.” “Selesaikan konflik agraria.” “JKW-JK wujudkan keadilan agraria.” “Hapuskan MP3EI.” “Bebaskan petani dan perjuang agraria. Setop kriminalisasi.” “Tuntut pelaksanaan land reform.” “Tanah untuk rakyat.”  Itulah antara lain spanduk dan poster yang dibawa dalam aksi itu.

Mereka meminta,  pemerintah SBY pada sisa kekuasaan bisa menjalan reforma agraria. Presiden baru, Joko Widodopun diingatkan agar memenuhi janji menjalankan reforma agraria ini.

“Saya mau bertani dengan aman, tak khawatir tanah diambil pengusaha,” kata Wati, petani dari Pabuaran, Subang, Jawa Barat.

Dia mendengar kawasan itu sudah diincar investor. Itulah yang menjadi kekhawatiran warga saat ini. Dia mempunyai lahan sawah sekitar 4.000 meter dengan tanam padi setahun sekali, penghasilan sekitar 15 kwintal. “Sawah pakai tadah hujan. Jadi, bisa setahun sekali. Kalau sudah kemarau gini ya kerja apa aja. Ada yang jadi buruh tani, ada juga beternak.”  Mereka sudah bersyukur jika bisa hidup dan bertani dengan aman.

Iwan Nurdin, sekretaris jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan,  era SBY reforma agraria tak berjalan. Yang terjadi, malah perampasan lahan-lahan pertanian oleh perusahaan dibantu tangan-tangan pemerintah dan aparat. “Sawit banyak merampas tanah petani, TNI/Brimob menjaga perusahaan pun menangkapi petani.”

Merekapun menyambut baik jika pemerintahan baru ini hendak menjalankan reforma agraria. Untuk itu, katanya, pemerintahan baru harus membentuk Kementerian Agraria dan merealisasikan tanah-tanah buat petani miskin agar hidup layak. Pemerintah, katanya, juga harus membentuk badan atau komisi khusus penyelesaian konflik-konflik agraria. “Banyak konflik dan perampasan lahan terjadi. Ini harus diselesaikan.”

Pemerintah ke depan, kata Iwan, tak boleh lagi mendiamkan konflik-konflik agraria berlarut dan mengorbankan rakyat. “Pemerintah baru ini jangan sampai mengulangi masalah seperti rezim SBY-Boediono.”

Untuk itu, katanya, harus ada pemulihan hak warga atau petani. Pemerintah juga mesti meminta maaf atas kriminalisasi dan rakyat yang sudah menjadi korban.

Band Marginal juga meramaikan aski Hari Tani di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Band Marginal juga meramaikan aski Hari Tani di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Begitu juga dikatakan Idham Arsyad, koordinator Gerakan Nasional Desa Bangkit. Menurut dia, pelaksanaan reforma agraria pemerintahan Jokowi tak boleh melenceng dari tuntutan masyarakat. Reforma agraria di sini, katanya, pemulihan penguasaan agraria yang timpang selama ini.

“Jokowi diharapkan tak main-main terhadap tuntutan reforma agraria petani ini. Kalau dia mengulangi seperti era SBY, akan berhadapan dengan petani dan organisasi petani.”

Sama juga diungkapkan Andika, pegiat lingkungan dari Sulawesi Tengah. Dia mendesak, pemerintahan baru, Jokowi-JK konsisten menjalankan reforma agraria seperti termaktup dalam visi misi mereka.

Rahmat, sekjen AGRA mengatakan, masa SBY, sekitar 1.000 lebih warga( petani) ditangkap karena berkonflik dengan perusahaan maupun pemerintah. Perampasan lahan tani terjadi di mana-mana. Untuk itu, diapun menuntut Kementerian Kehutanan dibubarkan. “Karena di sanalah terjadi perampasan lahan petani terbesar.”

Munadi Kilkoda, ketua BPH AMAN Maluku Utara (Malut) mengatakan, kehidupan petani terdesak di mana-mana. Di Patani, Halmahera, petani terancam karena lahan adat mereka hendak beralih menjadi sawit. Mereka menolak izin yang dikeluarkan pemerintah daerah. Hingga kini, perjuangan warga terus berjalan.

Dia berharap, negara memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan hak atas tanah leuhur mereka. “Jadi, tanah sumber pertanian yang mereka kelola turun temurun itu bisa terus generasi ke generasi.”

Menurut dia, tanah adat merupakan sumber utama perekonomian warga hingga jangan pernah diberikan izin kepada perusahaan baik tambang, sawit, HTI dan lain-lain. “Karena koperasi massif itu akan mendatangkan efek tidak menguntungkan petani.”

Sejalan dengan reforma agraria, dia mendesak pemerintah melaksanakan putusan Mahkamah Agung No 35 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara. “Ini untuk melindungi hak masyarakat adat dan tentu petani, bagian dari komponen masyarakat adat.”

Senada diungkapkan Febriyan Anindita, divisi Advokasi AMAN Sumbawa. Dia mengatakan, izin-izin yang diberikan pemerintah yang merampas wilayah adat atau kelola petani menjadi ancaman besar. Tak hanya ancaman petani kehilangan wilayah kelola juga bahaya lingkungan. “Misal, perusahaan hadir, menyebabkan defisit sumber air. Ini sungguh ancaman bagi petani.”

Dia mengatakan, perusahaan masuk ke satu wilayah tak bisa seenaknya, harus ada sosialisasi atau berunding dengan warga untuk memastikan keberlangsungan kelola petani tak terganggu.

Aksi di depan Istana Negara itu juga menyuguhkan aksi teartikal dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Disitu menceritakan lahan petani hangus, terampas, berkat izin-izin dari pemerintah kepada perusahaan. Aparatpun sigap menjaga bisnis itu dengan menjadikan petani subyek tangkapan.

Band Marginal yang dimotori Mike pun tampil dengan menyanyikan beberapa lagu antara lain Negeri Ngeri dan Hukum Rimba. Terik matahari yang menyengat pun seakan tak terasa, bahkan makin menyulutkan semangat petani menyuarakan tuntutan keadilan bagi mereka.

Selama ini, banyak lahan tani terampas dan rumah-rumah mereka digusur. Foto: Sapariah Saturi

Selama ini, banyak lahan tani terampas dan rumah-rumah mereka digusur. Foto: Sapariah Saturi

Perampasan lahan di berbagai daerah

Di Palembang, Sumatera Selatan, aksi Hari Tani dimulai longmarch dari Walhi menuju DPRD Sumsel. Massa dari gabungan Serikat Petani Sriwijaya, Mahasiswa Hijau Indonesia, Walhi, AMAN, SHI, dan Front Mahasiswa Nasional Palembang lalu bergerak kantor BPN terakhir kantor gubernur.

Dedek Chaniago, koordiantor aksi meneriakkan tuntutan kepada pemerintah daerah dan pusat. Pertama, membebaskan enam petani dan tokoh adat di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Kedua, pembaruan agraria di Sumsel dengan penyediaan dan perlindungan tanah untuk petani dan masyarakat adat di Desa Air Sugihan (OKI), dan Desa Sinar Harapan, Telang, Simpang Bayat, Pangkalan Bayat, Dawas, dan Pangkalan Tungkal (Kabupaten Muba).

Ketiga, penyelesaian konflik agraria di Sumsel berasas keadilan petani dan masyarakat. Keempat, meminta pemerintah memberikan perhatian serius pada petani dalam mengelola tanah. Antara lain, melalui akses permodalan dengan pengembalian bertahap dan pengembangan infrastruktur pertanian dengan bantuan teknologi serta sarana produksi pertanian.

Kelima, menuntut peningkatan harga jual karet petani melalui perlindungan harga dan tata niaga karet. Keenam, menuntut penghentian penangkapan, intimidasi, dan teror, terhadap petani, masyarakat adat, dan pejuang agraria. Juga menghentikan keterlibatan TNI/POLRI dalam konflik agraria.

Ketujuh, mendesak gubernur, bupati, walikota, DPRD Sumsel reforma agraria sejati dan membuat peraturan daerah berpihak kepada kepentingan petani dan masyarakat adat.  Kedelapan, Presiden baru melaksanakan pembaruan agraria sejati di Indonesia.

Anwar Sadat, Sekretaris Jenderal SPS mengungkap, selama ini pemerintah tidak serius menjalankan reforma agraria. “Pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, melindungi tanah rakyat yang diancam kepentingan komersial dan imperisalis.”

Alex Noerdin, Gubernur Sumsel memastikan tuntutan mereka segera ditindaklanjuti. “Saya memahami tuntutan itu. Saya pastikan, segera ditindaklanjuti,” kata Alex yang menemui sekitar 300-an massa.

Aksi petani di Sumsel. Foto: Muhammad Ikhsan

Aksi petani di Sumsel. Foto: Muhammad Ikhsan

Ribuan petani di Sumut juga memadati jalanan di Medan. Sambil membawa anak-anak dan keluarga, mereka dari berbagai daerah berkumpul memperingati Hari Tani.

Alunan lagu dari masyarakat adat Suku Karo, terdengar riuh ketika mereka berkumpul di Jalan Imam Bonjol, Medan. Tarian Tor-tor, membangkitkan semangat mereka yang sebagian besar tinggal di sekitar dan kawasan hutan ini.

Zubaidah, ketua dewan Pengurus Serikat Petani Indonesia Sumut, menyebutkan, konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan terus terjadi. Setidaknya, ada 300 kasus penyerobotan lahan dan konflik lahan, sepanjang 2014.

Terbesar di Langkat, Kota Binjai, menyusul Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kabupaten Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Padang Lawas, sampai Mandailing Natal. Semua konflik terjadi antara masyarakat adat dengan perusahaan sawit baik BUMN maupun swasta. Juga konflik antara pemerintah daerah yang merampas lahan adat masyarakat, hingga perusahaan kayu.

“Pemerintah mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria. Pemerintah juga mengabaikan putusan MK. Pemerintah terus memberikan izin perusakan hutan adat untuk jadi perkebunan dan usaha lain.”  Kriminalisasi masyarakat adat yang menolak hutan dan lahan dirusak, terjadi. “Kemana keadilan negeri ini?”

Tobu Ginting, ketua Masyarakat Adat dari Desa Silindak, Serdang Bedagai, menceritakan, kriminalisasi Polres Serdang Bedagai (Sergai), terhadap 21 petani yang turun temurun menanam padi, dan perkebunan palawija, karet dan sawit disana.

Ratusan petani dil lahan 225 hektar yang sudah dikuasai dua generasi, dipaksa keluar. Gubuk-gubuk dibakar, ada yang diseret dan dimasukkan ked truk polisi. Setidaknya ada 21 ditahan, dan 50 kendaraan petani disita.

“Kami diusir dari lahan yang sudah kami miliki lengkap dengan surat-surat, hanya agar PTPN II dan perkebunan sawit bisa mengambil alih lahan kami.” “Tolong anggota DPRD terhormat, bantu kami,” katanyaberkaca-kaca.

“Sekarang kami tergusur, hidup miskin. Kami tetap berjuang hak kami kembali sampai mati.”

Dian Arif, dari SPI Sumut mengta. Dia mengatakan, tidak jelasnya proses kepemilikan lahan, menyebabkan konflik yang terjadi terus menerus.

Kriminalisasi masyarakat adat dan petani yang mempertahankan lahan, menjadi kisah dalam peringatan hari tani nasional di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

Kriminalisasi masyarakat adat dan petani yang mempertahankan lahan, menjadi kisah dalam peringatan hari tani nasional di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

Dia menyatakan perlu dilakukan penginventarisasi kasu-kasus tanah melibatkan masyarakat adat dan kelompok tani, agar ada keterbukaan, sehingga konflik bisa terselesaikan.

Syahmanan, masyarakat adat dari Kabupaten Asahan, menyatakan, lahan adat mereka seluas 350 hektar di Bandar Pasir Mandoge, direbut paksa PT Sinuraya, kini menjadi PT Doge-Doge. Tiga petani tengah bercocok tanam, diculik dan dianiaya. Rumah mereka dihancurkan.

“Ketika kami Tanya ke BPN Asahan, mereka memberikan penegasan perusahaan itu tidak memiliki izin. Cara mereka melibatkan oknum aparat, membuat kami tersingkir. Kembali, keadilan tak berpihak pada kami.”

Azib Syah, ketua sementara DPRD Sumut, menegaskan, dalam waktu dekat akan memprioritaskan menyelesaikan masalah ini. Aparat penegak hukum, diminta tak semena-mena terhadap petani.

“Kita akan bawa kasus ini dalam paripurna dewan. Akan membentuk tim khusus menangani. Jangan ada lagi kriminalisasi petani dan masyarakat adat.”

Soroti MP3EI

Hari Tani di Sulawesi Selatan, menyoroti masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang dicanangkan SBY.

Asmar Eswar, direktur Walhi Sulsel, mewakili Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria pada Hari Tani, di anjungan Pantai Losari Makassar mengatakan, program ini menimbulkan krisis multi dimensi, baik secara ekonomi, sosial dan ekologis. Megaproyek ini dinilai makin membebani masyarakat dan kaum tani di Indonesia.

Menurut Asmar, dalam beberapa tahun terakhir, praktik-praktik monopoli sumber-sumber agraria makin massif dan diperparah kehadiran MP3EI.

Di Sulsel, aksi Hari Tani juga menuntut beberapa hal, salah satu menghentikan kriminalisasi petani. Foto: Wahyu Chandra

Di Sulsel, aksi Hari Tani juga menuntut beberapa hal, salah satu menghentikan kriminalisasi petani. Foto: Wahyu Chandra

“Terjadi peningkatan konflik agraria siginifikan dan menyengsarakan rakyat kecil dan petani.”

Beberapa kasus perampasan tanah di Sulsel antara lain tanah adat Ammatoa Kajang di Bulukumba oleh PT London Sumatera (Lonsum), PTPN XIV vs petani di Luwu Utara, Wajo dan Takalar.

Kasus lain,  perampasan lahan adat Koronsi’e Dongi oleh PT Vale di Tanah Luwu, perjuangan petani di Malili,  Luwu Timur melawan PT Sindoka.  Masyarakat sekitar kawasan karst Maros dan Pangkep melawan Bosowa, Semen Tonasa dan sejumlah korporasi tambang lain.

Aliansi menyampaikan tuntutan , antara lain pembentukan Kementerian Agraria, tolak RUU Pertanahan yang akan menggantikan UUPA 1960, membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria, land reform atau redistribusi lahan.

Sardi Razak, ketua BPH AMAN Sulsel, berharap, pemerintahan baru memberi perhatian terhadap berbagai kasus kriminalisasi masyarakat adat dan petani. Dia mencontohkan, penangkapan dan teror pemerintah serta aparat kepada komunitas adat Barambang Katute, Sinjai ataupun Matteko di Gowa.

Aksi bersama ini mecuri perhatian warga, apalagi diselingi aksi teatrikal perampasan tanah warga disertai kekerasan, dilakukan pemerintah dan penguasa dan mendapat sokongan aparat keamanan.

Dari Sulawesi Tengah, Eva Bande, pejuang petani yang kini mendekam di dalam penjara menulis surat.

“Hari itu bagiku adalah peringatan atas ketertindasan petani, bukan peringatan hari kebangkitan kaum tani. Bukan pula pernyataan penghargaan atau pengakuan negara untuk memerdekakan petani dari ketertindasan mereka berabad-abad.” begitu bunyi surat Eva.

Menurut dia, sejarah bergerak silih berganti melalui titian waktu, berganti generasi, berganti rezim penguasa. “Tetapi satu yang tidak berubah, nasib kaum tani.”

Di era yang merdeka yang maju ini, kaum tani tetap hidup dalam penindasan tak tampak. Mereka hidup di sekeliling kekayaan alam tetapi miskin. “Tanah mereka semakin sempit, mereka makin tak berdaya, karena kemerdekaan lebih dinikmati kaum kaya, kaum pelajar, anak-anak kaum bangsawan.”

Kedaulatan Pangan

Kembali ke Pulau Jawa, di Surabaya, puluhan petani dan aktivis lingkungan tergabung dalam Aliansi Tani Jawa Timur, berunjukrasa di depan Grahadi. Mereka mengangkat tema Pembaruan Agraria dan Kedaulatan Pangan untuk Kemandirian Bangsa.

Aksi teatrikal Hari Tani di Surabaya, menceritakan penderitaan yang dialami petani, yang terpinggir dan menderita. Foto: Petrus Riski

Aksi teatrikal Hari Tani di Surabaya, menceritakan penderitaan yang dialami petani, yang terpinggir dan tergusur oleh kepentingan pemilik modal. Foto: Petrus Riski

Sambil membentangkan spanduk dan poster berisi aneka macam tuntutan, para petani mendesak pemerintah melakukan reformasi agraria dan mengembalikan kedaulatan pangan karena selama ini dikalahkan produk impor.

“Kembalikan kedaulatan pangan, jangan sampai terus dijajah impor. Dulu kita mempunyai semua, kenapa sekarang tergantung negara lain,” kata Sugiono, koordinator lapangan.

Syaiful Zuhri, ketua SPI Jatim mengatakan, penyusutan lahan pertanian terjadi di Jatim, salah satu penghasil padi nasional.

Menurut dia, rata-rata 1,1 juta hektar pertanian irigasi, berubah fungsi. Catatan BPS 2013, ada sekitar 1.500-an hektar beralih fungsi, menjadi perumahan, jalan raya, dan bangunan.

Dia menuturkan, penurunan rumah tanga petani dari 31,23 juta menjadi 26,14 juta pada 2013, menyusut 16 persen dalam 10 tahun terakhir.

Di Indonesia, kelompok petani di bawah 34 tahun, berkisar 12,88 persen (3,36 juta), dari total 26,14 juta rumah tangga petani. Petani diatas 34 tahun 87,14 persen. Sensus pertanian 2013 menyebutkan, mayoritas petani di Indonesia petani kecil atau gurem, dengan kepemilikan lahan rata-rata kurang 0,5 hektar. Dari 26,14 juta rumah tangga petani, 14,62 juta (56,12%) adalah petani gurem.

“Kondisi ini tidak dapat dilepaskan kepemilikan lahan petani yang timpang.”

Konflik petani atau masyarakat adat, masih menjadi persoalan. Ubed, koordinator KPA Jatim mengatakan, ada 36 konflik agraria di sana, melibatkan petani dengan perkebunan.

Selama ini, petani mengelola lahan yang diklaim ‘milik’ perkebunan maupun Perhutani. Mereka menanam tanaman pangan dan produksi, tanpa merusak maupun mengubah fungsi lahan. Bahkan petani ikut menjaga dan melestarikan hutan maupun perkebunan, dari bahaya kerusakan maupun pencurian kayu. Upaya menanami lahan di tengah krisis lahan, semata untuk memperoleh manfaat ekonomi petani.

“Sekarang ini lahan dikelola, ditanami berbagai macam bentuk tanaman, ada model petani di pinggir hutan,  wana tani, ada agroforestri. Konsep pertanian itu juga arif lingkungan sekitar. Juga menjaga ekosistem, konservasi dan menjaga sumber-sumber mata air,” kata Ubed.

Ketua Aliansi Petani Indonesia (API) Jatim, Sugiono mengatakan, dukungan pemerintah di sektor pertanian minim. Pendapatan keluarga petani di bawah standard minimal penghasilan rata-rata masyarakat Indonesia. Sementara biaya produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan obat-obatan pertanian, tidak sebanding dengan harga jual.

Untuk itu, kata Syaiful,  mereka pemerintahan Jokowi-Jk, mampu merealisasikan janji politik, akan membagikan 9 juta hektar lahan kepada petani penggarap lahan.

“Kita menuntut dijalankan model pertanian untuk kedaulatan pangan, karena rezim SBY selalu impor. Kami minta, kriminalisasi petani dan kekerasan dihentikan.”

Di Bali, aksi tani untuk penguatkan kecintaan pangan lokal. Dengan mengganti sampah dengan sayur mayur lokal. Foto:  Luh De Suriyani

Di Bali, aksi tani untuk penguatkan kecintaan pangan lokal. Dengan mengganti sampah dengan sayur mayur lokal. Foto: Luh De Suriyani

Konsumsi produk lokal

Di Bali, Hari Tani diperingati dengan cara kreatif oleh mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar. Puluhan warga menukar tiga botol plastik bekas dengan satu bungkus sayuran lokal.

Mereka ingin mengampanyekan hasil pertanian lokal karena pasar diserbu impor. “Salah satu cara menyelamatkan pertanian dengan konsumsi produk lokal,” kata ketua Badan Eksekutif Mahasiswa I Dewa Gede Wipa Wira Utama.

Tak hanya mahasiswa yang tertarik sistem barter ini, juga pemulung dan pengelola kantin sekitar kampus. Mereka mendapatkan tiga sayuran yakni sawi, buncis, dan wortel. Semua dipasok dari lahan pertanian mahasiswa di pusat budidaya sayuran Bali, Baturiti, Tabanan.

Di Bali, Hari Tani tak mendorong kelompok tani turun ke jalan menyampaikan keluhan. Padahal, pariwisata Bali dihidupi oleh budaya agraris, misal subak, seni tari, ritual, dan lain-lain. Sawah kini makin bak kosmetik. Hadir buat memulas keindahan hotel, villa, restoran.

Kenyataan, petani makin berkurang. Hasil sensus pertanian terakhir di Bali, sekitar 700 rumah tangga pertanian berkurang tiap bulan, termasuk perkebunan dan peternakan.

Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Bali IB Wisnu Wardhana tak terlalu khawatir. Menurut dia, ini konsekuensi logis tumbuh pariwisata dan usaha kecil menengah di Bali. “Kedua sektor menyumbang pendapatan terbesar.”

Menurut dia, indikator keberhasilan bukan jumlah petani tetapi produktivitas pertanian. “Dengan mekanisasi pertanian, produktivitas ditingkatkan.” Alih fungsi lahan pertanian produktif terjadi.

Dalam Kongres Kebudayaan Bali 2013 tentang budaya subak dan pertanian juga dibicarakan mengenai lahan, generasi pertanian, dan revitalisasi subak yang menurun.

Ribuan petani datang ke Jakarta dari beberapa daerah. Mereka aksi di depan istana Negara menuntut keadilan karena selama ini terpinggirkan oleh kepentingan pengusaha dan pemerintah. Mereka rela datang dari jauh-jauh bahkan membawa anak-anak mereka. Foto: Sapariah Saturi

Ribuan petani datang ke Jakarta dari beberapa daerah. Mereka aksi di depan istana Negara menuntut keadilan karena selama ini terpinggirkan oleh kepentingan pengusaha dan pemerintah. Mereka rela datang dari jauh-jauh bahkan membawa anak-anak mereka. Foto: Sapariah Saturi

Dalam aksi tani di Jakarta, pemerintahan baru, Jokowi-JK dituntut menjalankan keadilan agraria. Foto: Sapariah Saturi

Dalam aksi tani di Jakarta, pemerintahan baru, Jokowi-JK dituntut menjalankan keadilan agraria. Foto: Sapariah Saturi

MP3EI, salah satu program SBY yang banyak menyebabkan petani tergusur. Foto: Sapariah Saturi

MP3EI, salah satu program SBY yang banyak menyebabkan petani tergusur. Foto: Sapariah Saturi


Hari Tani: dari Ketimpangan Penguasaan Lahan hingga Kemandirian Pangan was first posted on September 24, 2014 at 11:43 pm.

Dari Kampung Demaisi: Berdiri Menjaga Batas

$
0
0
Pohon yang terlihat di depan petak kebun ini adalah areal yang berbatuan, tak cocok dipakai  berkebun. Tampak di belakang, kawasan hutan nimahamti lebih lebat dan tak boleh diganggu. Foto: Duma Tato Sanda, Manokwari

Pohon yang terlihat di depan petak kebun ini adalah areal yang berbatuan, tak cocok dipakai berkebun. Tampak di belakang, kawasan hutan nimahamti lebih lebat dan tak boleh diganggu. Foto: Duma Tato Sanda

Yohan Ullo sedang duduk sambil mencabuti rumput ketika saya datang ke  Kampung Demaisi, Minyambouw, Pegunungan Arfak, Papua Barat, Selasa, (16/9/14).  Ayah tiga anak ini tengah membersihkan kebun seluas 50 meter persegi di pegunungan itu. Kebun baru berumur satu bulan,  terletak sekitar 500 meter di selatan Kampung Demaisi.

Ullo tidak sendiri. Dia membawa dua anak, satu keponakan dan sang istri, Dorkas Ullo. Tampak dia bergantian dengan istri membersihkan kebun.

Tanah yang dijadikan kebun adalah warisan orang tua Yohan. Itu hutan adat. Sebelum menjadi kebun, katanya, tanah itu ditumbuhi pohon tinggi dan lebat. Dia memeriksa kesuburan tanah dengan melihat ketebalan humus dan vegetasi lantai hutan.

Sekitar 300 meter di kaki bukit sebelah timur Kampung Demaisi, warga lain, Agus Ullo sibuk di kebun. “Dulu bapa mama pernah berkebun di sini,” katanya.

Kebun milik Yohan dan Agus, sama-sama persis di samping pohon-pohon besar menjulang bak menyangga langit. Kebun mereka di hutan ulayat yang menurut hukum adat lokasi untuk bercocok tanam.

Hutan buat kebun ini dibuka mulai dari menebang pohon, disisakan sebagian. Pohon tebangan menjadi pagar kebun. Yang tersisa seluruh batang dan dahan dipangkas menjadi kayu bakar kalau sudah kering. Ia cadangan energi bagi warga. Rumput-rumput di bawah pohon dibersihkan. Setelah itu dibiarkan sekitar dua minggu mengering dan dibakar.

Yohan dan Agus masih memiliki tiga petak kebun di lokasi lain. Luas tiap petak bervariasi. Rata-rata 50 meter persegi.

Yohan Ullo beristirahat pada sebuah kayu yang telah ditebang sambil menjaga anak dan keponakan di kebun. Sementara itu istrinya Dorkas Ullo mencabut rumput di antara tanaman  jagung mereka. Mereka brgantian membersihkan kebun. Foto: Duma Tato Sanda

Yohan Ullo beristirahat pada sebuah kayu yang telah ditebang sambil menjaga anak dan keponakan di kebun. Sementara itu istrinya Dorkas Ullo mencabut rumput di antara tanaman jagung mereka. Mereka brgantian membersihkan kebun. Foto: Duma Tato Sanda

Maikel Ullo, sekretaris Kampung Demaisi mengatakan, warga Kampung Demaisi membuat kebun lima petak di hutan yang sebelumnya bekas kebun. Satu keluarga biasa memakai satu kebun berukuran 50 meter persegi selama satu sampai tiga tahun, tergantung tingkat kesuburan tanah.

“Ada juga sampai setengah hektar,” kata aktivis Perdu, Andreas BD Arep. Dia mendampingi warga diversifikasi produk pertanian, termasuk pengunaan pupuk alami dari hutan sekitar.

Setelah lahan menjadi kebun, akan ditinggalkan dan dibiarkan pulih kembali rata-rata lima sampai enam tahun.

Menurut Maikel, hutan yang menjadi kebun warga berada di daerah khusus berkebun. Dalam bahasa daerah lokasi itu disebut susti. “Di luar susti tidak boleh buat kebun,” kata pria 44 tahun ini.

Warga Demaisi mengelola hutan sesuai tradisi turun-termurun disebut igya sar hanjob atau berdiri menjaga batas. Tradisi ini dijaga andigpoy atau kepala adat. Andigpoy berwenang memberi izin atau tidak mengizinkan warga yang ingin memanfaatkan hutan. Pelanggaran igya sar hanjob kena sanksi diputuskan nekei atau hakim lewat sidang adat. 

Igya sar hanjob dibagi dalam tiga kategori besar, yakni bahamti, nimahamti dan susti. Bahamti adalah kawasan inti atau hutan primer. Disitu hutan tumbuh lebat dengan kerapatan tinggi, bahkan pohon-pohon sampai ditumbuhi lumut. Daerah ini juga termasuk kawasan hutan cagar alam. Tajuk hutan rapat dan ditutupi tumbuhan lebat membuat cahaya matahari tak langsung memapar lantai hutan.  Ini juga rumah satwa liar. Kawasan ini dilarang mengambil kayu, berkebun maupun berburu.

Areal bekas kebun yang sedang dipulihkan atau jeda tanam telah tumbuh pohon berumur sekitar dua sampai tiga tahun. Foto: Duma T Sanda

Areal bekas kebun yang sedang dipulihkan atau jeda tanam telah tumbuh pohon berumur sekitar dua sampai tiga tahun. Foto: Duma T Sanda

Yakob Wonggor, kepala Dinas Pariwisata Pegaf, mengatakan, kalau ada warga mengambil kayu, berkebun atau berburu di Bahamti, akan kena denda kain timur atau senjata api peninggalan Jepang. Nilainya bisa sampai puluhan juta rupiah. “Hanya boleh ambil kulit kayu untuk buat rumah,” katanya. Warga Arfak punya rumah adat disebut kaki seribu. Rumah ini berbahan dasar kayu dan kulit pohon. “Tapi atas izin andigpoy.” 

Nimahamti adalah kawasan hutan diantara susti dan mbahamti. Ciri-cirinya tumbuh pohon-pohon besar berlumut. Ini kawasan hutan penyangga. Meski demikian ia bisa dimanfaatkan oleh warga untuk berburu satwa seperti kus-kus, juga meramu, tetapi atas izin andigpoy. Daerah ini dilarang buat kebun.

Susti adalah kawasan yang bisa dipakai berkebun, buat rumah, tempat ibadah dan keperluan pembangunan lain. Kebun-kebun warga berada pada daerah ini.

Yakob mengatakan, seluruh hukum adat masih berlaku hingga saat ini, termasuk pada distrik lain di Kabupaten Pegunungan Arfak. Tradisi igya sar hanjob juga berlaku untuk kehidupan sosial. “Misal, kalau ada masalah perselingkuhan, jika tidak bisa diselesaikan keluarga, warga meminta bantu nekei dari marga lain untuk mencapai keputusan.”

Mujianto, direktur eksekutif Perdu Manokwari mengatakan, selama ini warga Demaisi mengelola hutan cukup lestari. “Siklus berpindah petak hanya pada areal bekas pakai telah mencegah laju perubahan iklim.” Perdu adalah sebuah organisasi masyarakat sipil berpusat di Manokwari. Ia mendampingi komunitas masyarakat adat untuk isu-isu konservasi dan pengembangan masyarakat.

Hutan  mbahamti bisa lebih jauh dari hutan yang terlihat pada gugusan gunung-gunung seperti tampak pada gambar ini. Menurut warga, ada  berjarak 4 kilo meter dari perkampungan. Foto: Duma T Sanda

Hutan mbahamti bisa lebih jauh dari hutan yang terlihat pada gugusan gunung-gunung seperti tampak pada gambar ini. Menurut warga, ada berjarak 4 kilo meter dari perkampungan. Foto: Duma T Sanda

Minyambouw berada pada ketinggian 1.175 meter dpl merupakan satu —termasuk Membey dan Hink– dari tiga distrik di Kabupaten Pegunungan Arfak sebagai Cagar Alam Pegunungan Arfak.

Daerah ini menyimpan kekayaan alam menakjubkan. Beberapa yang dikenal seperti burung pintar dan kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera spp) –yang digunakan Universitas Negeri Papua Manokwari sebagai logo.

Meski demikian, kawasan ini berada dalam ancaman, terutama setelah pemerintah menetapkan sebagai salah satu distrik dalam Kabupaten Pegunungan Arfak pada 2012.

Direktur Jaringan Advokasi Sosial dan Lingkungan (Jasoil) Tanah Papua Pietsau Amafnini mengatakan, pemerintah Papua Barat telah mengusulkan 82.593 hektar kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak menjadi areal penggunaan lain dalam revisi RTRW Papua Barat.

Menurut Pietsau, rencana ini mengancam masyarakat adat, kekayaan hutan lain termasuk satwa endemik. Di dalam Pegunungan Arfak diperkirakan tersimpan 110 spesies mamalia, 320 jenis burung,  lima merupakan  satwa endemik  seperti  cenderawasih  Arfak  (Astrapia  nigra),  parotia barat (Parotia sefilata), dan namdur polos (Amblyornis inornatus), termasuk 350 jenis kupu-kupu.

“Pemerintah perlu lebih arif memikirkan keberadaan masyarakat adat Pegaf, karena hidup mereka bergantung pada alam. Hutan bagi mereka adalah ibu yang menyediakan segala-galanya. Jika hutan rusak, mereka akan punah,” kata aktivis LSM Papuana Conservasi, George Dedaida.

Secara terpisah Prof. Charlie Heatubun, kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Negeri Papua menambahkan, desakan pembangunan menyebabkan warga adat yang tadi mengelola hutan untuk berkebun dengan kearifan igye sar hanjob, terdesak membuka hutan di lokasi baru pada daerah nimahamti.

 Areal susti, daerah yang boleh dipakai untuk berkebun. Ada yang telah ditumbuhi pohon, ada yang sedang dipakai berkebun. Foto: Duma T Sanda

Areal susti, daerah yang boleh dipakai untuk berkebun. Ada yang telah ditumbuhi pohon, ada yang sedang dipakai berkebun. Foto: Duma T Sanda

Krisdiyanto, aktivis Perdu, yang mendampingi warga di Distrik Minyambouw, mengatakan, ancaman ini sebenarnya sudah terjadi di Kampung Mbenti. Disitu ada warga membuat kebun pada daerah nimahamti, terutama setelah permintaan sayur-sayuran dari Kota Manokwari meningkat akhir-akhir ini.

Charlie mengatakan, jeda istirahat lahan pada kebun di lokasi yang boleh dibuat kebun akan makin singkat. Hingga, lama-kelamaan tidak produktif. “Ini akan jadi masalah serius mengingat topografi berat dan berada pada daerah ketinggian.”

Kerusakan Cagar Alam Pegunungan Arfak berdampak pada masyarakat Kabupaten Manokwari dan Manokwari Selatan, berada puluhan kilo meter di sebelah utara Kabupaten Pegaf. Jika hutan berkurang, bahaya banjir mengintai. “Sama seperti di Jakarta, setiap kali hujan deras di Bogor, maka Jakarta siap-siap tenggelam,” kata George.

Kepala Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Pegunungan Arfak Yakobus Kawer tidak menampik hal itu. Bahkan, katanya, daerah-daerah tertentu di Pegunungan Arfak berada dalam ancaman gempa bumi tektonik. Jika gempa, bisa longsor pada daerah hutan yang rusak.

Yakobus mengatakan, pemerintah Pegaf sangat berhati-hati membangun. Pemerintah, akan memilih daerah-daerah tertentu untuk lokasi pembangunan. “Ke depan kita akan buat aturan-aturan seperti perda agar tidak boleh membangun pada daerah-daerah rawan.”

Selain itu, daerah-daerah di luar cagar alam, seperti di sekitar dua danau besar di Distrik Anggi, diusulkan menjadi taman nasional. Hingga pemanfaatan terbatas. Rencana ini sedang dibahas pemerintah.

“Saya ngeri kalau membayangkan Danau Anggi pecah. Ke depan kita akan buat antisipasi,” kata Yakobus.

Charlie mengingatkan, pemerintah lebih mengedepankan investasi di sektor jasa lingkungan atau ecoservices seperti ecotourism, pertanian berkelanjutan dan lain-lain yang tak mengeksploitasi alam hingga mencegah bencana.

Hutan terjaga, sumber air bersih warga pun terjaga. Foto: Duma T Sanda

Hutan terjaga, sumber air bersih warga pun terjaga. Foto: Duma T Sanda

Sekretaris Kampung Demaisi, Maikel Ullo juga sibuk di kebun. Foto: Duma T Sanda

Sekretaris Kampung Demaisi, Maikel Ullo juga sibuk di kebun. Foto: Duma T Sanda

Areal yang terlihat jarang ditumbuhi pohon merupakan lahan yang boleh dipakai untuk berkebun. Ini dikategorikan sebagai hutan susti yang menurut hukum adat setempat  buat kebun. Foto: Duma T Sanda

Areal yang terlihat jarang ditumbuhi pohon merupakan lahan yang boleh dipakai untuk berkebun. Ini dikategorikan sebagai hutan susti yang menurut hukum adat setempat buat kebun. Foto: Duma T Sanda

 

 


Dari Kampung Demaisi: Berdiri Menjaga Batas was first posted on September 25, 2014 at 5:26 pm.

Di New York, 4 Raksasa Sawit Ikrar Jaga Hutan. TUK-Walhi: Jangan Hanya Bagus di Atas Kertas!

$
0
0
Empat produsen raksasa sawit dunia yang beroperasi di Indonesia, bersama Kadin Indonesia, menandatangani komitmen   sawit berkelanjutan di New York, 25 September 2014.  Berbagai kalangan menyambut baik komitmen ini, tetapi harus bisa dipastikan implementasi di lapangan berjalan. Bukan hanya bagus di atas kertas atau buat pencitraan saja. Foto: Sapariah Saturi

Empat produsen raksasa sawit dunia yang beroperasi di Indonesia, bersama Kadin Indonesia, menandatangani komitmen sawit berkelanjutan di New York. Berbagai kalangan menyambut baik komitmen ini, tetapi harus bisa dipastikan implementasi di lapangan berjalan. Bukan hanya bagus di atas kertas atau buat pencitraan saja. Foto: Sapariah Saturi

Empat raksasa sawit,  Golden Agri Resources (GAR), Wilmar, Cargill dan Asian Agri bersama Kadin Indonesia, bersamaan dengan pertemuan iklim di New York, mengumumkan komitmen minyak sawit berkelanjutan, nol deforestasi dan menghargai hak-hak masyarakat. Penandatanganan komitmen ini disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Komitmen ini disambut positif berbagai kalangan, namun terpenting bagaimana implementasi di lapangan. Jangan, sampai komitmen hanya bagus di atas kertas dan hanya pencitraan perusahaan-perusahaan ini ke lembaga keuangan, pembeli (konsumen) dan pemerintah.

Edi Sutrisno, devisi Advokasi Kebijakan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) mengatakan, komitmen mereka langkah bagus, tetapi masyarakat dunia harus melihat realitas di lapangan. “Terutama terkait konflik, jangan gara-gara komitmen ini seakan-akan mereka menjadi baik semua,” katanya di Jakarta, Kamis (25/9/14).

Dia melihat, di lapangan masih banyak konflik-konflik antara perusahaan dan warga. Hak-hak masyarakat masih terabaikan.  Edi mencontohkan, konflik lahan warga dengan Sinar Mas di Padang Halaban, Sumatera Utara (Sumut) sampai sekarang belum ada penyelesaian. “Ini yang membuat kita khawatir, komitmen hanya di atas kertas, terlebih di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ucap Edi.

Dia mengatakan, jangan sampai komitmen ini hanya sebagai pembenaran buat mengamankan  bisnis mereka di mata lembaga keuangan (bank) dan konsumen serta pemerintah yang akan terus melanggengkan bisnis. “Secara deklarasi cukup baik. Ya, harapannya pasar dan bank kuat mengawasi ini agar tak sekadar imej.”

Guna memastikan perusahaan menjalankan praktik baik, TUK pernah mendesak bank asing melakukan due diligence atas uang-uang yang mereka pinjamkan.

Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional menduga, ada upaya menyembunyikan praktik mereka sebelum mendeklarasikan komitmen.

Dia mencontohkan, Wilmar  berani berkomitmen menurunkan deforestasi non persen kawasan gambut. Nyatanya, dua “cucu” perusahaan ini , PT Sawindo Cemerlang dan PT Sawit Tiara Nusa, masih menebang di hutan alam, di Pahuwato, Gorontalo. Wilmar punya saham pada PT Agri Kencana Grup, induk kedua perusahaan itu.

Contoh lagi, titik api alias kebakaran hutan dan lahan masih banyak ditemukan pada konsesi perusahaan. Misal, titik api pada 2013-2014, di Sumatera Selatan,  mayoritas ditemukan di konsesi HTI, antara lain Sinar Mas.  “Ga cukup hanya komitmen lalu diklaim jadi contoh baik. Luar biasa.”

Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi

Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi

Zenzi melihat, dengan manifesto global (komitmen) ini malah berpotensi berbahaya bagi hutan dan masyarakat. Sebab, pemodal di bisnis sumber daya alam bisa membuat skenario dengan menunggangi isu iklim.

Dari skenario ini, katanya, tak hanya terjadi intervensi kesepakatan global juga lokal. Di Indonesia, pemerintah sedang proses RUU Konservasi Air dan Tanah. “Ini curiga jadi payung hukum perampasan lahan baru.” Sedang perusahaan sektor konservasi lancar dengan ‘bisnis’ restorasi ekosistem (RE).

Dalam salah satu draf Pasal dalam RUU ada klausul pengguna air wajib membayar jasa kepada yang melakukan konservasi air dan tanah.  “Itu berpotensi menyusahkan warga atau petani. Bisa jadi petani pakai air konsesi RE wajib bayar pada perusahaan. Pemegang modal punya skenario pegang bisnis di Indonesia,” katanya.

Menurut dia, RE akan diklaim para pengusaha skala besar sebagai bentuk kontribusi  rehabilitasi hutan.  Padahal, kawasan itu memang hutan lestari bahkan sebagian wilayah kelola masyarakat. perampasan sumber kehidupan rakyat atas nama penyelamatan iklim global.”

WWF: Momentum luar biasa

Sementara itu, WWF menyambut baik dan menyatakan, komitmen itu momentum luar biasa. Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, komitmen ini mengarah pada transformasi industri minyak sawit global. WWF, katanya,  menaruh keyakinan komitmen para petinggi  industri sawit terkemuka dan Kadin ini memberikan titik terang di pasar global. “ Bahwa Indonesia serius menjalankan langkah-langkah perbaikan menuju produksi minyak sawit berkelanjutan.”

Dia sadar, tantangan yang dihadapi dalam menjalankan komitmen ini sangat besar dan keberhasilan implementasi komitmen mutlak memerlukan dukungan para produsen lain, organisasi lingkungan, pedagang, konsumen, pemerintah dan masyarakat.

Irwan Gunawan, Strategic Leader of Agriculture & Fisheries Market Transformation WWF-Indonesia mengatakan, sebenarnya pasar global merupakan pendorong penting membantu industri sawit Indonesia mencapai standar keberlanjutan.

“Memboikot atau mencari pengganti sawit bukanlah jalan keluar. Justru berpotensi membawa dampak sampingan terhadap banyak hal di luar komoditas  itu. Yang penting bagaimana menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan,” katanya dalam rilis kepada media.

WWF percaya, komitmen yang disampaikan di New York berada di jalur tepat dalam mencapai keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.

Perlindungan hutan dan REDD+

Sementara itu, dalam event REDD+ di New York, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menekankan pentingnya melindungi hutan tropis dan lahan gambut. Terlebih, Indonesia memiliki hutan tropis ketiga dunia dan lahan gambut terbesar yang menyimpan banyak karbon.

“Melindungi mereka penting guna menghindari dampak perubahan iklim lebih buruk.  Komitmen Indonesia melawan deforestasi dan degradasi lahan gambut bagian dari kontribusi kami kepada dunia dalam menekan laju perubahan iklim,” katanya.

Dia mengatakan, alih fungsi hutan dan lahan memberikan kontribusi besar dalam pelepasan emisi karbon, terbesar diberikan deforestasi dan degradasi hutan. Untuk Indonesia, lebih dari dua pertiga gas rumah kaca disumbangkan oleh alih fungsi lahan dan hutan ini. “Namun di waktu sama, kami juga melindungi hutan guna melawan perubahan iklim ini.”

Dalam kesempatan itu, SBY memaparkan BP REDD+ yang sudah terbentuk sebagai bukti upaya Indonesia menekan deforestasi dan degradasi. Dia secara pribadi terlibat dalam pemberntukan badan ini.

Menurut dia, ada beberapa pelajaran penting dari keberadaan REDD+.  Pertama, ada REDD+ itu mengubah pola pikir dalam penggunakan dan pengelolaan hutan. Yakni, menggunakan pendekatan baru tata kelola hutan yang menekankan pada kontribusi hutan bagi konservasi lingkungan.

Kedua, REDD+ relevan dan tak hanya mengenai lingkungan tetapi juga sosial. Bentuk ini juga memberikan penekanan pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Ketiga, guna memastikan REDD+ berjalan, dengan melibatkan semua stakeholders. “Ini penting untuk bekerja bersama, pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat.”

Keempat, menekankan pentingnya regulasi. Sebagai contoh, kebijakan moratorium izin baru pada kawasan hutan dan lahan gambut pada 2011. Dengan kebijakan itu, SBY mengklaim, Indonesia bisa melindungi lebih dari 63 juta hutan primer dan gambut. Kebijakan ini sudah diperpanjang hingga 2015.

Komitmen empat raksasa sawit

Potret nyata di Kalimantan Tengah, bagaimana hutan berubah menjadi lapangan yang disiapkan untuk kebun sawit. Jangan sampai, perusahaan-perusahaan itu hanya berkomitmen di atas kertas, sedang di lapangan masih terjadi seperti ini. Foto: Sapariah Saturi


Di New York, 4 Raksasa Sawit Ikrar Jaga Hutan. TUK-Walhi: Jangan Hanya Bagus di Atas Kertas! was first posted on September 25, 2014 at 9:59 pm.

Kabar dari Delang, Sejahtera Berkat Menjaga Hutan

$
0
0
Hutan adat Delang yang terjaga baik mendatangkan manfaat besar bagi warga. Mereka bisa memenuhi keperluan hidup dari sana. Foto: Indra Nugraha

Hutan adat Delang yang terjaga baik mendatangkan manfaat besar bagi warga. Mereka bisa memenuhi keperluan hidup dari sana. Foto: Indra Nugraha

Lagi-lagi upaya masyarakat menjaga hutan yang menjadi kehidupan mereka dan sumber udara sehat serta sumber air bagi daerah, tak mendapatkan penghargaan pemerintah. Pemerintah Kabupaten Lamandau, mengeluarkan izin sawit di kawasan itu. Warga bertahan, menolak sawit maupun tambang dan investasi perusak alam yang lain. 

Sore itu, beberapa anak tampak bermain ceria di sungai. Saling memercikkan air ke sesama mereka. Sedang para ibu sibuk mencuci baju. Air begitu jernih. Mengalir deras. Di seberang sungai, pohon-pohon besar menjulang tinggi. Rimbun. Sesekali dahan bergoyang tertiup angin.  Beginilah suasana di Desa Kudangan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Deka Aman, kepala sekolah SMK Pertanian Delang, mengajak saya ke ladang. Setelah mengajar di sekolah, dia mengurus ladang dan ternak sapi. “Kami menggarap lahan 25 hektar. Dari hasil bertani dan sadap karet, empat bersaudara semua lulus sarjana,” katanya pertengahan September 2014.

Masyarakat adat Delang hidup berkecukupan mengandalkan hutan. Mata pencaharian mereka bertani, ternak sapi, babi dan ayam. Sesekali mereka masuk ke hutan berburu atau panen buah di hutan. “Kalau sudah musim buah, disini bisa sampai beli sepedah motor. Banyak sekali. Ada durian, manggis, campedak dan lain-lain.”

Kecamatan Delang, berbeda dengan wilayah lain di Kalteng. Kala berkendara dari Nangabulik menuju Delang, sepanjang perjalanan tak terlihat perkebunan sawit skala besar. Hutan di kawasan ini sangat terjaga. Masyarakat Delang kompak menolak perkebunan sawit maupun pertambangan.“Kalau hutan di sini habis, Nangabulik bisa tenggelam karena banjir,” kata Deka.

Di hutan adat Delang ada mata air Sempangauan dan air bukit tunggal. Dari mata air itu,  mengalir ke Sungai Setongah, Sekakat, Kungkung, Kediu, Mangkalat, Mencara, Joa, Pekawai, Kantu, Setungkap dan juga Magin.

“Aliran air hingga ke Sungai Delang dan Batang Kawa. Hingga ke Sungai Lamandau Nanga Bulik dan Pangkalan Bun.”

Air sangat jernih. Ikan air tawar melimpah. Di sungai, warga biasa menangkap jelawat (somah), andungan, bahau, harwan, pakulan, kilatan, berombang, parau, berakas, seluang, dan kontongir.

Sungai mengalir jernih karena hutan terjaga. Pasokan airpun melimpah. Foto: Indra Nugraha

Sungai bersih  karena hutan terjaga. Pasokan airpun melimpah. Foto: Indra Nugraha

Ladang garapan Deka tak jauh dari pinggir sungai. Hanya berjarak seratus meter. Tiba di ladang, kedua orangtuanya sudah disana.  Sang ibu dengan cekatan menebas rumput liar. Ayahnya mengurus sapi. Dia mengambil air dari sungai dengan jerigen, dan menuangkan ke dalam kotak kayu. Enam sapi menghampiri kotak air  itu.

Hutan di Delang, terjaga tak lepas dari peran Repudi Sigun dan Silpanus Yamaha. Dua orang ini tokoh adat setempat.  Mereka gencar mengedukasi warga agar mempertahankan hutan adat sekaligus menolak perkebunan sawit, dan pertambangan. Warga di sembilan desa dan satu kelurahan Delang, kompak. Desa di Delang antara lain, Riam Panahan, Sepoyu, Riam Tinggi, Landau Kantu, Lopus, Nyalang, Penyobaan, Sekombulan, Kubung dan Kelurahan Kudangan.

Repudi Sigun menjabat sebagai ketua Aliansi Masyarakat Adat Delang. Pria ini kelahiran Lamandau, 23 April 1950. Rambut hampir memutih semua. Semangat berjuang menjaga hutan tak diragukan lagi.

Sedang Silpanus Yamaha sebagai damang masyaraakt Delang. Dia kelahiran Lamandau, 5 Juli 1971. Dia damang termuda se Kalimantan.

“Saya yakinkan warga jangan mau menjual lahan untuk perkebunan sawit. Saya diskusi dengan warga dari rumah ke rumah. Kalau ada acara adat atau nikahan,” kata Repudi.

Kesadaran menjaga hutan dan menolak sawit didapat saat mengikuti studi banding perkebunan karet di Thailand beberapa tahun silam. Dia sangat terkesan dengan negara itu.

Pepohonan hutan yang labat ini bisa menghidupan masyarakat sekitar dengam beragam sumber makanan dan mata pencarian. Mudah-mudahan kehidupan masyarakat dan alam ini tetap terjaga dan pemerintah menyadari kesalahan karena telah mengeluarkan izin di kawasan kelola rakyat. Foto: Indra Nugraha

Pepohonan hutan yang labat ini bisa menghidupan masyarakat sekitar dengam beragam sumber makanan dan mata pencarian. Mudah-mudahan kehidupan masyarakat dan alam ini tetap terjaga dan pemerintah menyadari kesalahan karena telah mengeluarkan izin di kawasan kelola rakyat. Foto: Indra Nugraha

“Ketika ke sana, dari Thailand barat, selatan dan timur saya tak menemukan ada pohon sawit. Akhirnya saya tanya ke raja Thailand mengapa tak ada? Jawabnya dia karena tidak mau 50 tahun ke depan masyarakat Thailand jadi seperti orang Somalia. Menjadi perompak. Lingkungan rusak, dan masyarakat sudah tak bisa berkebun.”

Ucapan ini begitu menginspirasi dia. Repudipun memperdalam soal perkebunan sawit dan pertambangan serta dampak terhadap lingkungan. Sawit  itu banyak memakan unsur hara tanah dan rakus air.

“Paling berbahaya pupuk. Sawit tanpa diberi pupuk tak akan berbuah maksimal. Pupuk kimia itu diberikan empat kali setahun. Pupuk akan merusak tanah hingga mengkristal. Saya khawatir berbagai jenis ikan akan mati karena racun pupuk sawit,” katanya.

Perjuangan bukan berarti tanpa godaan. Dia pernah beberapa kali didatangi investor dan membujuk masyarakat melepas lahan demi perkebunan sawit. Tawaran fantastis pernah didapat, namun dengan mantap ditolak.

“Pertama kali perusahaan menawari saya gaji Rp15 juta per bulan. Terakhir ditawari Rp25 juta per bulan. Perusahaan berjanji membelikan rumah dan dipindah ke Jakarta. Saya tetap menolak.”

Setelah investor gagal membujuk Repudi, mereka datang kepada Silpanus, menawarkan hal serupa.

“Mereka siap menggaji saya  Rp15 juta per bulan. Mobil dan rumah pun bisa dibuatkan. Supaya saya membujuk orang-orang dan tokoh adat agar mau menerima perkebunan sawit di Delang,” ujar Silpanus.

Tawaran itu langsung ditolak.  Menurut dia, uang tak ada guna jika didapat dengan menyengsarakan masyarakat dan mewariskan kerusakan alam pada anak cucu.

“Anak cucu kami mereka akan menderita. Karena kalau sudah perkebunan masuk, tanah itu jadi milik orang lain. Bukan milik kami lagi. Kami hidup dari berladang, sadap karet dan berburu.”

Masyarakat Delang menggantungkan hidup dari hutan. Mereka memakai sistem ladang berpindah. Lahan yang sudah dibuka ditanami padi. Setelah panen, ladang ditanami pohon karet dan buah-buahan.

“Padi disini alami, tak memakai pupuk kimia. Kami dari dulu memang penghasil padi. Satu keluarga bisa punya tujuh lumbung padi. Selain itu, masyarakat juga tanam ubi untuk pakan ternak.”

Tiap masyarakat punya lumbung padi. Sejak dari membuka lahan, menanam padi hingga panen sampai memasukan padi ke lumbung semua ada ritual. Semua dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

“Masyarakat juga biasa ngambil madu. Kalau sedang musim madu, biasa satu pohon itu puluhan sarang lebah bahkan ratusan. Hasil yang menggiurkan. Dijual kemana-mana pasti laku. Dibawa ke Pangkalan Bun, Ketapang bisa dijual disana.  Satu botol Rp200 ribu. Dari satu sarang, paling sedikit lima liter,” kata Silpanus.

Ayah Deka tengah memberi minum sapi-sapi mereka. Warga delang, selain memanfaatkan hasil hutan hutan seperti madu dan buah-buahan, mereka juga bercocok tanam dan beternak. Foto: Indra Nugraha

Ayah Deka tengah memberi minum sapi-sapi mereka. Warga delang, selain memanfaatkan hasil hutan hutan seperti madu dan buah-buahan, mereka juga bercocok tanam dan beternak. Foto: Indra Nugraha

Satu pohon madu biasa dikerjakan berkelompok. Bisa lima bahkan 10 orang. “Hutan kami masih sangat baik. Orang masih bisa berburu dan berladang. Air masih jernih tidak tercemar. Kesehatan mendukung.  Kalau perkebunan sawit kita jadi tidak leluasa. Masuk kawasan harus lapor sana lapor sini. Nanti kita dikira pencuri.”

Masyarakat juga belajar dari pengalaman. Sebelumnya banyak masyarakat adat Delang bekerja keluar daerah di perkebunan sawit maupun pertambangan. Cerita soal dampak yang ditimbulkan dibawa ke kampung, hingga masyarakat lebih sadar.

“Saya pernah bekerja di perkebunan sawit. Saya sudah tahu latar belakangnya, sawit ini hanya datang saat memerlukan kita. Setelah itu kita ditendang. Daripada seperti itu terjadi, jadi lebih baik kami mempertahankan hutan.”

Damang adat sering mengadakan pertemuan rutin dengan beberapa tokoh seperti kepala desa, ketua BPD, mantir adat, tokoh lain. Mereka sudah membuat kesepakatan bersama. Menolak sawit dan pertambangan.

“Para tokoh menyampaikan ini ke masyarakat. Kecamatan sudah seiring. Tinggal dari kabupaten kadang-kadang ingin ada PAD dengan ada perkebunan sawit atau pertambangan. Kalau mereka tetap memaksa dan itu terjadi, kami berani memisahkan diri,” kata Silpanus.

Pemetaan wilayah adat

Pemetaan wilayah adat Delang sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Hanya, mereka masih banyak kekurangan dari segi sumber daya manusia dan pendanaan. Hingga tahun 2013, Walhi Kalteng ikut membantu fasilitasi pemetaan partisipatif.

“Kami bekerjasama dengan Walhi Kalteng. Mereka betul-betul sanggup dan tahu kondisi kami. Kekurangan SDM termasuk pendanaan mereka bantu kami. Sangat terbantu. Pelatihan dan pertemuan dibiayai mereka,” kata Repudi.

Pemetaan partisipatif dimulai. Beberapa desa sudah selesai seperti Landau Kantu, Kubung dan Sokumbulan. Sisanya, dalam proses.

“Harapannya setelah ada peta, andai perusahaan masuk kami sudah jelas wilayah. Wilayah kami di dalam peta tidak boleh diganggu. Kalau yang diluar peta silakan. Dalam peta itu hak mutlak kami tak bisa diganggu gugat,” kata Silpanus.

Untuk mendapatkan  SK pengakuan wilayah adat, mereka masih menunggu peta selesai. Setelah selesai, masyarakat Delang  akan mendatangi kabupaten dan provinsi supaya betul-betul mengakui hak wilayah adat mereka.

Ibu Deka sibuk menebas rumput liar di lahan yang akan mereka tanami. Foto: Indra Nugraha

Ibu Deka sibuk menebas rumput liar di lahan yang akan mereka tanami. Foto: Indra Nugraha

Di dalam hutan adat, tegakan pohon berukuran besar masih terjaga dengan baik. Satwa liar hidup dengan bebas tanpa terusik aktivitas manusia yang merusak. Orangutan, beruang, beraneka jenis burung tinggal di sana.

“Ada hutan perawan dan itu jangan dibuka. Kalau yang diluar dekat pemukiman boleh. Untuk berkebun boleh asal jangan sawit,” kata Silpanus.

Salah satu hutan perawan yang masih terjaga di kawasan ini di Bukit Sebayan. Kepercayaan masyarakat sekitar menyebut bukit itu sebagai surge. Tempat terakhir arwah umat kaharingan jika sudah meninggal. Karena itu, mereka tak berani merusak.

“Sebayan itu artinya surga, bagi orang Kaharingan bahwa Sebayan itu akhir hidup mereka itu di sana. Sama dengan surga. Bukan cuma umat Kaharingan di Delang, tapi keseluruhan.”

Di Bukit Sebayan, ada tujuh puncak. Sebayan Sulung satu puncak, Sebayan Tongah empat puncak, dan Sebayan Bungsu dua puncak. Masyarakat yang masuk ke sana juga ada aturan. Ketika masuk ke Bukit Sebayan, harus puasa. Di puncak tidak boleh bermalam.

“Di sana juga ada tanah seribu. Tempat  orang ritual. Kalau lewat dari tanah seribu tak boleh bermalam. Boleh naik dan seperlunya di atas. Kalau di tanah seribu boleh bermalam. Pada dasarnya orang yang ke sana ada niatan khusus. Anehnya kalau kita tidak puasa, kita tak mampu. Kalau puasa bisa sampai puncak.”

Untuk tetap menjaga hutan, ada hukum adat berlaku. Perusak hutan akan dikenai sanksi adat sesuai tingkatan kerusakan. Masyarakat menyebut dengan “kamuh”.

“Hukum adat bagi perusak lingkungan itu dilihat dulu kerusakan apa. Kalau yang dirusak itu situs keramat, pohon madu, akan lebih berat. Sesuai tingkat kesalahan. Tergantung kesepakatan petinggi adat. Apakah masalah kecil, menengah atau fatal. Kalau kesalahan fatal, dia harus terusir. Karena dia tidak bisa mempertahankan budaya. Harus terhapus dari daerah itu.”

Damang adat tak akan mengeluarkan surat keterangan adat yang berskala besar. Surat keterangan adat akan keluar kalau sudah ada ladang dan tanaman buah-buahan. Kala lahan kosong, SKTA tak akan keluarkan. Ini untuk menjaga supaya masyarakat tidak leluasa menjual dan kontrak dengan yang lain.

Silpanus mengatakan, nanti tokoh yang menggantikan dia harus berani menolak perkebunan sawit dan tambang. Ada perjanjian adat dalam proses regenerasi kepemimpinan agar hutan adat benar-benar terjaga.

“Saya pernah bekerja di perusahaan kayu dan tambang.  Harus ikut aturan perusahaan. Bangun pagi, kalau salah sendiri dimarahi. Gaji dipotong karena kelalaian. Jadi lebih baik kita mengelola lahan sendiri. Saya sekarang merasa enak karena tidak ada yang mengatur,” kata Silpanus.

Pendapat sama dikatakan ketua majelis agama Kaharingan Delang, Jupriadi. Menurut dia, dalam kepercayaan Kaharingan, menjaga hutan merupakan ibadah. Hutan dianggap hal sakral. Jadi, masyarakat Delang sebisa mungkin menjaga hutan.

Dukungan mempertahankan hutan adat juga datang dari Camat Delang Inyane. Dia mengatakan, masyarakat Delang hidup dari bertani, berkebun, berburu dan mencari madu di hutan.

“Mereka terbiasa dengan ladang berpindah juga cari buah-buahan. Ini sudah dari berabad-abad terjaga.”

Dia sangat menghargai masyarakat Delang. Berharap hutan adat Delang tetap terjaga karena merupakan sumber kehidupan masyarakat sekitar. “Jika kita merusak hutan, masyarakat tak bisa hidup dan akan mengubah pola hidup.Kami mau masyarakat berdaya, mampu membiayai hidup sendiri, menyekolahkan anak dan maju di dalam perekonomian. Tetapi punya lahan sampai ke anak cucu.”

Sayangnya, Pemerintah Kabupaten Lamandau sudah menerbitkan izin perkebunan sawit untuk PT Sawit Mandiri Lestari di desa Riam Panahan. Posisi sebagai camat dilematis.  Dia tak ingin bertentangan dengan masyarakat, tapi izin dari pemerintah sudah dikeluarkan.

“Kecamatan Delang ini hutan penyangga. Kita mengupayakan udara tetap segar. Bukan cuma untuk Delang, tapi untuk Lamandau, Kalimantan bahkan dunia. Jadi ini harus mendapatkan perhatian,” katanya.

Kanan kiri sungai tetap rimbun oleh pepopohan yang terjaga. Foto: Indra Nugraha

Kanan kiri sungai tetap rimbun oleh pepopohan yang terjaga. Foto: Indra Nugraha


Kabar dari Delang, Sejahtera Berkat Menjaga Hutan was first posted on September 26, 2014 at 4:58 pm.

Keren! Geng Motor Keluar Masuk Kampung Kenalkan Teknologi Ramah Lingkungan

$
0
0
Warga tengah menyiapkan pembuatan suplemen pakan ternak yang digunakan kala musim kemarau. Foto: Noverius Nggili

Warga tengah menyiapkan pembuatan suplemen pakan ternak yang digunakan kala musim kemarau. Foto: Noverius Nggili

Keluar masuk kampung membantu warga, geng motor ImuT ini menciptakan beragam produk ramah lingkungan, murah, dan mudah diterapkan, dari biogas, suplemen pakan ternak sampai desalinator air laut!

Biasanya geng motor membuat warga resah, takut dan khawatir karena berkonvoi, mengeraskan gas dan membunyikan sirine. Tak jarang jatuh korban warga. Geng motor dari Nusa Tenggara Timur ini berbeda. Mereka malah dinanti-nanti kehadirannya. Kok bisa? Begini ceritanya…

Geng motor ini dimotori oleh tujuh pemuda yang kerap mempertanyakan rutinitas kerja mereka sehari-hari. “Apakah pekerjaan yang sekarang mereka lakoni sudah tepat? Mendapatkan penghasilan setiap bulan tanpa telat. Punya cadangan uang pensiun untuk persiapan hari tua. “Adakah hal lain yang harus dirisaukan?”

Noverius Henutesa Nggili, salah satu penggagas menganggap diri sebagai sarjana “tak tahu diri,” kala hanya berkutat dalam rutinitas. “Saya adalah sarjana Peternakan, sebagai PNS pertambangan. Teman-teman lain ada pegawai bank atau berkecimpung di dunia politik. Jika dibiarkan akan menghilangkan ilmu bertahun-tahun didapatkan di bangku kuliah. Iya kan?” katanya.

Pergumulan itu mulai 2005. Mereka lalu menemukan ide, membentuk komunitas kecil dan bertekad mengamalkan ilmu peternakan yang diperoleh di Universitas  Nusa Cendana Kupang, NTT. Memilih waktu senggang, berbekal sepeda motor, mereka menyambangi kampung. , Menyeberangi sungai, pulau atau jalan terjal berbatu. Bertemu masyarakat dan memberikan penyuluhan mengenai ilmu peternakan.

Maka lahirlah Geng motor iMuT (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak). Masa awal, anggota hanya 15 orang. Dalam lima tahun, mereka menyambangi puluhan kelurahan dan kampung di NTT.

Kini anggota mencapai 500 orang. Namun yang aktif volunteer 150 orang dari berbagai disiplin ilmu, seperti kedoteran, teknik, video maker, fotografer, hingga tokoh agama. Si iMutpun berubah menjadi Inovasi Mobilisasi untuk Transformasi.

Berkat beberapa inovasi, Geng Motor iMuT mendapatkan beberapa penghargaan yakni Academia Award dari Forum Academia NTT 2010 dan 103 Inovasi Indonesia dari Kementerian Riset dan Teknologi 2011. Lalu, empat besar Mandiri Young Technopreneur Award 2011. Mereka menghadiri beberapa pertemuan inovasi baik di Indonesia dan internasional.

Geng motor ini kala menuju kampung target. Foto: Noverius Nggili

Geng motor ini kala menuju kampung target. Foto: Noverius Nggili

Apa saja yang sudah mereka hasilkan? Biogas. Mereka membawa ide dan menerapkan pada masyarakat. Tahun 2010, mereka menciptakan biogas dari beberapa drum bekas oli, ban dalam bekas mobil dan selang.

Biogas di NTT sangat baik, karena bahan baku kotoran ternak melimpah dari babi, unggas, hingga sapi. Kotoran-kotoran ini, disatukan dan digiling bersama air. Keengganan peternak mencampur kotoran dengan tangan sendiri diakali menggunakan sepeda statis, pemilik tinggal mengayuh.

Masa awal perkenalan teknologi biogas, geng ini hanya menciptakan empat unit sebagai contoh di Kota Kupang. Seiring waktu, penggunaan biogas sudah 43 unit tersebar di beberapa desa. Teknologi ini mereka namakan gester biogas portable.

Cara pembuatan biogas cukup mudah. Dengan, mengumpulkan kotoran ternak, memasukkan ke drum. Pada hari ke-21 sudah menghasilkan gas, namun masih bercampur udara dan belum layak digunakan. Pada hari ke-22, kotoran sudah menghasilkan gas murni dan bisa buat memasak selama dua jam penuh. Untuk menambah daya biogas, pemilik hanya menambahkan satu ember penuh slury (ekstrak kotoran yang sudah dibersihkan) ke drum, 2-3 ember dalam waktu dua hari.

Tak habis akal, geng ini menciptakan tempat penampungan gas dengan memfungsikan ban dalam bekas mobil. “Jadi bisa saja ada beberapa ban sebagai cadangan,” kata Noverius.

Untuk mengurangi pengeluaran membeli kompor gas buatan pabrik, geng motor ini menciptakan kompor biogas dinamakan Kompor Bimuty X-005. Dibuat dari pemanfaatan kaleng bekas ataupun karburator bekas mobil.

Keuntungan lain penggunaan biogas akan meminimalkan risiko kecelakaan, seperti tabung drum meledak atau menyebabkan kebakaran. Biogas, kata Noverius, gas lunak, bukan gas padat seperti dalam tabung LPG.

Mereka juga mengajarkan membuat suplemen pakan ternak. Musim hujan di NTT lebih singkat, kemarau mendera seperti tak kunjung putus. Kala akhir pekan, puluhan anggota geng Motor berkumpul. Mereka menamakan “Sabtu Menghayal” Maka terciptalah inovasi lain, blok suplemen pakan gula lontar.

Saya bertemu Noverius di Makassar, Selasa (22/9/14). Dia menyatakan, blok suplemen ini hasil desertasi dari beberapa peneliti. Namun, mereka mengenalkan dengan cara berbeda, membawa ke kampung-kampung terpencil dan mengajarkan pada masyarakat secara sukarela.

Geng ini juga membuatkan warga pesisir yang kesulitan air bersih, teknologi sederhana dan mudah. Yakni, desalinator yang bisa mengubar air laut menjadi air tawar. Foto: Noverius Nggili

Geng ini juga membuatkan warga pesisir yang kesulitan air bersih, teknologi sederhana dan mudah. Yakni, desalinator yang bisa mengubar air laut menjadi air tawar. Foto: Noverius Nggili

Menurut dia, di NTT saat musim hujan sangat hijau. Tumbuhan bagi ternak melimpah, namun kala kemarau semua mengering. Ternak sulit makan. Blok suplemen menjadi alternatif sangat baik dan cara pembuatan sangat mudah. Ketika musim hujan, para peternak diajak memetik pakan ternak, dikeringkan, dan dicacah halus.

Daun-daun yang sudah dihaluskan dicampur dengan beberapa bahan lain, terutama gula lontar yang banyak dijual di pasar. Setelah tercampur rata, peternak mengambil cetakan, bisa kotak ataupun silender, tergantung kemauan. Setelah padat, pakan ini disimpan dan tahan hingga setahun.

Saat musim kemarau, suplemen atau pakan ternak yang mengeras digantung di kandang. Sapi atau ternak lain akan menjilati suplemen ini. “Selama kami pendampingan, ternyata ternak yang memakan suplemen saat kemarau, bobot sama saat musim hujan, ketika makanan melimpah,” kata Noverius.

Beberapa desa sudah menerapkan teknik suplemen ini. Noverius mengatakan, hampir dipastikan semua peternak menerapkan teknologi ini.

Geng ini juga memperkenalkan desalinator air laut.  NTT adalah pulau dengan garis pantai yang panjang. Sebagian besar penduduk bermukim di pesisir pantai dan beberapa pulau kecil. Mereka kerap kesulitan air bersih.

Untuk memenuhi itu, katanya,  penduduk membeli air bersih dalam jerigen. Membawa dengan perahu atau menggandeng dengan motor. Geng inipun menciptakan teknologi tepat guna murah dan ramah lingkungan, yakni Desalinator iMuT. Ini teknologi mengubah air laut menjadi air tawar siap minum. Pembuatannya sederhana, menggunakan balok kayu berbentuk kotak. Pada setiap sisi kotak dilapisi plastik ataupun seng. Menggunakan atap dari bahan plastik transparan, berbentuk seperti rumah-rumahan kecil.

Dengan ukuran kotak penampungan air 80×80 cm dan tinggi 30 cm, air laut dapat ditampung maksimal 72 liter. Air dalam kotak ditempatkan pada wilayah terpapar langsung matahari. Untuk mempercepat proses penguapan, biasa daya tampung dikurangi hingga 30 liter.

Jika terik matahari tidak begitu menyengat, 30 liter akan menghasilkan air tawar antara 2–3 liter. Bila matahari terik, air tawar yang dihasilkan mencapai 7-12 liter. Cara kerja desalinator ini memanfaatkan prinsip penguapan. Ketika air laut terpapar matahari dengan suhu 70 derajat celcius, akan menghasilkan uap air tawar yang menempel pada dinding atap dari plastik transparan.

Uap air ini mengalir pada empat buah titik yang ditentukan dengan sudut kemiringan tertentu. Lalu, menuju pipa penampungan air tawar yang diletakkan di bagian bawah bak. Sisa air laut yang menguap akan menghasilkan garam, dan mudah dicampur yodium buat konsumsi. Bisa juga untuk penghasilan tambahan masyarakat.

 

 


Keren! Geng Motor Keluar Masuk Kampung Kenalkan Teknologi Ramah Lingkungan was first posted on September 27, 2014 at 4:52 am.

Inilah Ancaman Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jateng dan Yogyakarta

$
0
0
Aksi Warga di lahan pertanian mereka di rencana lokasi PLTU Batang. Foto:  Greenpeace

Aksi Warga di lahan pertanian mereka di rencana lokasi PLTU Batang. Foto: Greenpeace

Ancaman alih fungsi lahan pertanian ke tambang, tambak dan lain-lain terjadi di berbagai daerah di Jawa Tengah. Para petanipun protes agar pemerintah mendengar kekhawatiran warga.

Data BPS Jateng menyebutkan, pada 35 kabupaten/kota Jateng, lahan pertanian mengalami penyusutan mencapai 6,484 hektar dalam 10 tahun terakhir. Belum termasuk lahan pertanian hilang akibat bencana lingkungan seperti rob dan abrasi pantai. Di pekalongan lahan pertanian menjadi tambak sekitar 1.800 hektar dan di Demak 2.000 hektar.

Di Rembang, lahan tani terancam pabrik semen. Pada Selasa (23/9/14), sekitar 30 ibu-ibu berkebaya, berkain panjang dan mengenakan caping. Mereka membawa hasil tani seperti jagung, singkong dan labu dan tuntutan di di depan kantor Pemerintah Rembang.

“Petani tidak butuh tambang. Bebaskan lahan pertanian dari pertambangan. Tolak pabrik semen.” Ini antara lain tuntutan mereka. Warga aksi bisu. Tidak orasi. Mereka melakban mulut.

Sukinah, petani dari Desa Tegaldowo, kepada  Mongabay mengatakan, jika pertambangan semen tidak berhenti pasti berdampak pada sumber air mereka. “Kami sudah sejahtera sebagai petani. Pertambangan malah membuat pertanian kami hilang. Pertanian kami subur, hasil tani melimpah dan cukup menyekolahkan anak-anak kami.”

Dia berharap,  pemerintah, terutama Gubernur Ganjar Pranowo mendengarkan aspirasi warga. “Tepati janji, Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung padi, bukan untuk pertambangan,” kata Sukinah.

Saat ini, katanya,  warga sudah menggugat pemerintah Jateng yang ke PTUN. Seharusnya, pemerintah menghentikan aktivitas pertambangan sampai ada keputusan PTUN.

“Jika janji Pak Ganjar dulu, ingin membuat Jateng ijo royo-royo, dengarkanlah suara kami, cabut izin lingkungan tambang.”

Aan Hidayah, pendamping warga mengatakan, alih-alih memenuhi kebutuhan konsumsi dan pangan nasional, lahan pertanian yang ada tergerus. Banyak peraturan perlindungan kawasan dilanggar. Dimulai pelanggaran RTRW Rembang yang menetapkan kawasan Watu Putih sebagai imbuhan air. Lalu peraturan cekungan air tanah (CAT) yang dilindungi.

“Ini hari ke-100 warga menduduki tapak pabrik Semen Indonesia. Pertambangan semen berdampak hasil tani menurun, dan sumber air pertanian warga hilang.”

Aksi petani Rembang menolak pabrik semen Indonesia dan meminta pemerintah mendengarkan keluhan mereka.Foto:  Aan Hidayah.

Aksi petani Rembang menolak pabrik semen Indonesia dan meminta pemerintah mendengarkan keluhan mereka.Foto: Aan Hidayah.

Munhur Satyahaprabu dari Walhi Nasional mengatakan, Jateng darurat ekologi. Alih fungsi lahan tinggi, mengancam petani kehilangan pekerjaan dan kerusakan lingkungan.

Data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jateng menyebutkan, alih fungsi lahan pangan di Jateng 300–400 hektar pertahun. Ia beralih menjadi industri, perkantoran, kawasan bisnis, perumahan dan lain-lain. “Setidaknya lebih dari 2.240 hektar ditambang, terancam 7.467 hektar.”

Di Batang, Jawa Tengah, ratusan warga dari Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban (UKPWR) membentuk formasi bertuliskan “Food Not Coal.” Mereka ingin memperlihatkan penolakan petani dan nelayan terhadap rencana pembangunan pembangkit listrik batubara di  Desa Ponowareng, Batang, Jateng.

Pada Selasa (23/9/14), sekitar 87 petani membuat formasi dari kain kuning berukuran 50×50 meter di lahan pertanian produktif yang terancam tergusur rencana PLTU.

Arif Fiyanto dari Greenpeace mengatakan, PLTU Batang mengancam sawah produktif yang panen tiga kali setahun. Program kedaulatan pangan yang disebut-sebut prioritas Presiden terpilih Joko Widodo, terancam. Terlebih, Indonesia masih mengimpor beras.

PLTU Batang, salah satu contoh masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengancam kedaulatan pangan, budaya pertanian, dan mempercepat laju perubahan iklim global.

“Proyek ini mengancam mata pencaharian puluhan ribu masyarakat petani, nelayan, dan masyarakat lain tergantung dari pertanian dan perikanan tangkap,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Menurut dia, yang terjadi di Batang, bukan sekadar pembebasan lahan untuk PLTU. Kisah PLTU ini tentang puluhan ribu nelayan dan petani yang tergusur, berjuang mempertahankan produksi pangan, kehidupan, dan mata pencaharian mereka. “Mereka mempertahankan bumi dari ancaman bencana perubahan iklim yang mengerikan.”

PLTU Batubara juga akan meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Ia dapat menghasilkan emisi CO2 sekitar 10,8 juta ton pertahun. Setara emisi Myanmar pada 2009.

Wahyu Nandang Herawan, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, pemerintah Indonesia harus bersikap bijak dan aspiratif terkait pembangunan PLTU Batang.

Proyek kerja sama pemerintah swasta ini bakal menggunakan lahan 226 hektar. Tercatat sejak awal 2012,  warga mulai menolak hingga PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) dua kali gagal memenuhi tenggat waktu pencairan pinjaman investasi yang ditetapkan Japan Bank for International Coorperation. Kondisi ini memaksa BPI mengumumkan keadaan gawat.

Aktivis Greenpeace, YLBHI, bersama para petani dan nelayan di Batang, membentuk formasi Foot Not Coal di lahan pertanian yang bakal terimbas jika PLTU Batang terealisasi. Foto: Greenpeace

Aktivis Greenpeace, YLBHI, bersama para petani dan nelayan di Batang, membentuk formasi Foot Not Coal di lahan pertanian yang bakal terimbas jika PLTU Batang terealisasi. Foto: Greenpeace

Lahan pertanian di Yogyakarta

Penurunan lahan pertanian juga terjadi di Yogyakarta. Halik Sandera, direktur eksekutif Walhi Yogyakarta mengatakan, masalah utama petani ketersediaan air selama musim kemarau. Irigasi beberapa rusak dan tidak berfungsi. Dampaknya, konflik antar warga berebutan air irigasi. Di Pesisir Selatan, pertanian lahan pasir terancam beralih fungsi menjadi tambak udang dan pertambangan pasir besi.

“Padahal, pertanian warga subur dan produktif. Tambak malah merusak pertanian dan menurunkan kualitas dan kuantitas tani.”

Dia menambahkan, MP3EI menjadi ancaman bagi petani. Lahan proyek MP3EI kebanyakan pertanian produktif. “Bagaimana pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan jika lahan pertanian hilang? Seharusnya pertanian menjadi prioritas.”

Menurut dia, keputusan Gubernur tentang 35.000 hektar lahan pertanian berkelanjutan harus dipertahankan.

Sugeng Purwanto, kepala Bidang Perekonomian Bappeda Yogyakarta mengatakan, lahan pertanian, secara luasan cenderung menurun.

Berdasarkan data BPS dan Dinas Pertanian 2013, di Gunung Kidul luas lahan 125.700 hektar (53,3%), Kulon Progo 45.326 hektar (18,9%), Sleman 39.341 hektar (16.4%), Bantul 29.611 hektar (12,3%) dan Kota Yogyakarta 264 hektar (0.1%). Total 240.242 hektar lahan pertanian, dan 56.364 hektar sawah baik irigasi dan non-irigasi.

Sebaran wilayah pertanian di DIY ada di Gunung Kidul dan Kulon Progo (71.2%), sedangkan basis wilayah pertanian produktif (sawah) terletak di Bantul dan Sleman (67,7%). Luas sawah terkonversi setiap tahun dengan laju penurunan lebih dari 200 hektar.  “Laju konvseri sawah massif terjadi pada sawah produktif di Bantul dan Sleman. Konversi menjadi permukiman atau perluasan perkotaan.”

 


Inilah Ancaman Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jateng dan Yogyakarta was first posted on September 27, 2014 at 3:25 pm.

Bentrok Warga Pulau Bangka, Koalisi Desak Pemda Bertanggungjawab

$
0
0
Kala alat berat perusahaan tambang mulai menebangi mangrove di tepian pantai untuk reklamasi dan membangun fasilitas perusahaan, beberapa waktu lalu. Gugatan warga penolak tambang yang dimenangkan sampai Mahkamah Agung pun tak digubris pemerintah daerah. Izin tambang tetap tak dicabut, malah Bupati Minut mengeluarkan izin 'perpanjangan' lagi. Foto: Save Bangka Island

Kala alat berat perusahaan tambang mulai menebangi mangrove di tepian pantai untuk reklamasi dan membangun fasilitas perusahaan, beberapa waktu lalu. Gugatan warga penolak tambang yang dimenangkan sampai Mahkamah Agung pun tak digubris pemerintah daerah. Izin tambang tetap tak dicabut, malah Bupati Minut mengeluarkan izin ‘perpanjangan’ lagi. Foto: Save Bangka Island

Puluhan aktivis dari Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka aksi solidaritas terkait tragedi bentrokan antar warga penolak dan pro tambang di pulau itu, di Manado, Senin (14/7/14). Koalisi mengecam dan mendesak pemerintah daerah bertanggung jawab. Masalah ini terjadi lantaran mereka abai melaksanakan putusan Mahkamah Agung, untuk mencabut izin tambang bijih besi PT Mikgro Metal Perdana (MMP).

Mereka membentangkan spanduk dan membagikan selebaran. “Selamatkan Pulau Bangka. Usir PT MMP penyebab perang saudara.”

Ada tiga tuntutan koalisi. Pertama, Bupati segera mencabut izin MMP secara permanen. Kedua, Gubernur Sulut dan Bupati Minahasa Utara harus bertanggung jawab atas tragedi di Bangka. Ketiga, mendesak kapolri, Kapolda Sulut dan Kapolres Minut segera investigasi keterlibatan oknum aparat kepolisian yang diduga memback-up MMP.

Agus Brans Subajou dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Manado, mengatakan, aksi ini bentuk kekecewaan atas keberpihakan kepolisian, penegakan hukum lemah oleh pemerintah daerah. Juga sekaligus memberi dukungan moral bagi warga Pulau Bangka.

Dia menyesalkan, sikap pemda tidak menggubris putusan MA dan surat PTUN Manado, hingga warga yang ingin membacakan di depan basecamp MMP harus menjadi korban.

“Pemda, baik Sulut maupun Minut, segera mengeluarkan MMP dari Bangka. Mereka tidak mempunyai izin.”

Kesusahan warga penolak tambang makin diperparah tindak represif kepolisian. Seharusnya, Brimob tidak perlu menembakkan gas air mata.

“Kapolda Sulut, jangan sekali-kali mengintimidasi warga dengan pasukan.” “Polisi harusnya menjadi pelindung dan pengayom. Bukan berat pada salah satu pihak.”

Aryati Rahman, aktivis LBH Manado, menyatakan, hingga pagi hari polisi masih mengawal pegawai tambang mengukur tanah di Desa Kahuku. Padahal, , MMP beroperasi ilegal. “Kalau kepolisian masih terus mengawal perusahaan ilegal, berarti mereka telah melanggar hukum.”

Mereka memperkirakan potensi konflik sejak lama, namun pemerintah seakan membiarkan masalah ini berlarut-larut. “Kalau bupati tidak ambil tindakan, tidak menutup kemungkinan bisa kembali terulang.”

Keindahan Pulau Bangka, terusik. Perusahaan tambang MMP mulai mereklamasi pantai untuk membangun dermaga, beberapa waktu lalu. Foto: save Bangka Island

Keindahan Pulau Bangka, terusik. Perusahaan tambang MMP mulai mereklamasi pantai untuk membangun dermaga, beberapa waktu lalu. Foto: Save Bangka Island

Di sejumlah media lokal, bupati menyatakan operasi MMP dihentikan. Kenyataan, di lapangan berkata lain. Pagi tadi, dikabarkan karyawan MMP didampingi Brimob mengukur di Desa Kahuku. “Bupati Minut menjilat ludah sendiri. Kalau misal terjadi hal tidak diinginkan menimpa warga, bupati dan kapolda harus bertanggung-jawab.”

Cindy Samiaji, aktivis Tunas Hijau, menilai, keberpihakan kepolisian pada perusahaan tambang seakan menempatkan warga pada posisi bersalah. Padahal, justru sebaliknya. MMP, pihak yang tidak memiliki izin.

Konflik terjadi karena putusan hukum diabaikan pemerintah daerah. Selama ini, tidak pernah terjadi konflik antar desa begitu besar di Bangka. “Masuknya perusahaan tambang, dan hukum diabaikan, menciptakan kebencian antarmasyarakat yang saling bersaudara.”

Dia mengajak masyarakat bersolidaritas dengan cara apa saja. “Kalau kemarin dan sekarang warga Bangka merasakan penindasan, mungkin besok salah satu dari kita.”

Jimmy Kumendong, humas Pemerintah Sulut, menyatakan, menyerahkan masalah di Pulau Bangka dalam pengawasan kepolisian. Dia berharap, keberadaan polisi di lapangan bisa meredam dan menghindarkan Bangka dari konflik lanjutan.

Pemerintah daerah, katanya, sudah menghentikan operasi MMP, sesuai instruksi UKP4. Namun, ketika ditanya soal perusahaan tambang masih beroperasi, Jimmy  berkelit. Dia menyerahkan, masalah ini pada pemerintah kabupaten.

“Rekomendasi dari UKP4 dihentikan sementara. Sampai MMP berhasil mengurus izin yang dipersyaratkan di lintas kementerian.”

Mengenai pengukuran lahan  oleh MMP, katanya, sudah area Pemkab Minut. “Yang mengeluarkan izin Pemkab Minut.”

Mongabay masih belum bisa mendapat keterangan dari kepolisian. Wilson Damanik, humas Polda, tak berkomentar banyak. Dia meminta agar menanyakan kasus Bangka pada Polres Minut.

Pada Sabtu (12/7/14), warga Desa Kahuku bersama warga  desa lain syukuran dan doa bersama atas kemenangan putusan MA. Setelah itu, mereka berniat ke camp MMP di Desa Ehe untuk membacakan putusan MA beserta surat perintah dari PTUN Manado. Sayangnya, belum sempat dibaca, bentrokan antara warga kontra dan pro tambang terjadi. Tiga warga penolak tambang dianiaya dan luka-luka.

Mereka adalah Daniel Buagho, warga Desa Lihunu; Waldus Makawowode dari Desa Kahuku; dan Jefri Tagulighi, warga Batu Putih.

Aksi Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka mendesak Pemerintah Sulut dan Minut  segera menjalankan eksekusi putusan MA, di Manado, Senin (14/7/14). Foto: Temmy Doaly

Aksi Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka mendesak Pemerintah Sulut dan Minut segera menjalankan eksekusi putusan MA, di Manado, Senin (14/7/14). Foto: Themmy Doaly


Bentrok Warga Pulau Bangka, Koalisi Desak Pemda Bertanggungjawab was first posted on July 14, 2014 at 8:26 pm.

10 Tahun Tak Tampak, Ulat Bulu Beracun Muncul di Sinabung

$
0
0
Ini ulat bulu yang hinggap di rumah penduduk yang tinggal di bawah radius lima kilometer dari kaki Gunung Sinabung. Foto:  Ayat S Karokaro

Ini ulat bulu yang hinggap di rumah penduduk yang tinggal di bawah radius lima kilometer dari kaki Gunung Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Warga desa pada radius empat hingga lima kilometer dari kaki Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dikejutkan kemunculan ulat bulu dianggap beracun. Warga melihat, Senin (14/7/14), kala pulang ke rumah untuk memantau tempat tinggal yang rusak akibat erupsi Gunung Sinabung.

Warga mengungsi di Kota Berastagi dan Kota Kabanjahe, Karo, karena pemerintah melarang kembali mengingat radius di bawah lima kilometer harus dikosongkan. Mereka adalah warga Desa Guru Kinayan, Desa Payung, Desa Berastepu, Desa Sukandebi dan Desa Sigarang-garang.

Sudah sekitar 10 tahun, mereka tidak pernah melihat ulat beracun in. Pasca Sinabung erupsi kembali Minggu (29/6/14) dan Sabtu (12/7/14), ulat bulu berwarna coklat kehitam-hitaman ini satu persatu muncul.

Guru Putra Brahmana, tokoh adat Suku Karo di Desa Sukandebi, mengatakan, ulat beracun ini hinggap di luar dapur rumah yang sudah tertutupi debu vulkanik. Jumlah tidak banyak, terlihat hanya lima ekor. Jika ulat ini menyerang, bisa menyebabkan gatal pada kulit manusia. Di bagian bulu tipis itu, terdapat racun jika terkena darah manusia bisa muntah, gatal-gatal, hingga iritasi kulit.

Menurut dia, ada beberapa kemungkinan ulat ini muncul, seperti kegiatan bertani dan berkebun, 100% terhenti. Asupan makanan ulat tidak ada lagi, ditambah area gersang dan rumah serta lahan, juga tumbuhan banyak mati.

“Jadi mereka tak lagi bisa hidup di hutan, karena Sinabung meletus dan suhu panas. Desa mati. Itu dugaan saya mengapa ulat muncul.”

Beginilah kondisi Desa Naman pasca terkena erupsi debu vulkanik Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Beginilah kondisi Desa Naman pasca terkena erupsi debu vulkanik Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Di kebun dan ladang buah,  ada beberapa ulat biasa muncul. Khusus ulat beracun baru pertama kali terlihat setelah 10 tahun tak tampak.

Forum Alumni 99 Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyah) Banda Aceh di Medan, menyatakan, penyebab ulat muncul karena beberapa faktor. Salah satu, kelembapan di area Sinabung, khusus radius di bawah lima kilometer berkisar 82 persen, ditambah curah hujan tinggi, lebih 250 milimeter per bulan.

Reni Fitriani, anggota forum mengatakan, jika dilihat bentuk, ulat yang muncul di pemukiman ini menyerupai ulat cedar putih. Namun kecil kemungkinan ditemukan di Indonesia, karena ulat ini hanya hidup di Australia. Kemungkinan, ulat ini jenis serit. Dalam dunia medis kedoteran hewan, ulat bulu dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Lymantria marginalis, Arctonis species, dan Cyana veronata.

“Jadi bahaya berbeda dengan ulat bulu di Australia, masuk dalam satu dari 10 ulat beracun di dunia.”

Dia menilai. ulat di Tanah Karo ini menimbulkan gatal cukup kuat jika terkena. Kalau terkena aliran darah manusia akan bereaksi kimia menjadi racun. “Dugaan saya ini tidak berbahaya.”

Bagaimana  menghadapi ulat ini? Paling utama, katanya,  jangan pernah menyentuh bulu bagian depan tengah dan belakang karena bisa gatal cukup kuat. Infeksi kerato-konjungtivis akan terjadi karena bulu bisa bersarang di jaringan lunak dan selaput lendir tubuh manusia. “Jika terkena segera dibawa ke dokter supaya disuntik.”

Ulat bulu beracun muncul setelah sekitar 10 tahun tak pernah kelihatan. Mereka singgah di rumah-rumah penduduk yang ditinggalkan karena erupsi Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro

Ulat bulu beracun muncul setelah sekitar 10 tahun tak pernah kelihatan. Mereka hinggap di rumah-rumah penduduk yang ditinggalkan karena erupsi Sinabung. Foto: Ayat S Karokaro


10 Tahun Tak Tampak, Ulat Bulu Beracun Muncul di Sinabung was first posted on July 15, 2014 at 5:57 am.

Inilah Cara Pemerintah Palembang Atasi Pencemaran Sungai Musi

$
0
0

Nasib Sungai Aur kini. Di masa lalu kapal-kapal dagang berlabuh di Sungai Aur, lokasi loji VOC. Namun kini, anak Sungai Musi ini hanya menjadi tempat berlabuh sampah-sampah. Foto: Taufik Wijaya

Pencemaran air Sungai Musi dan anak-anak sungai terus terjadi. Untuk mengatasi limbah yang masuk ke sungai, Pemerintah Palembang berencana menerapkan sistem instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) komunal. Targetnya,  kualitas air pembuangan dari mencuci, mandi, dan lain-lain, saat mengalir ke parit, anak sungai, dan Sungai Musi, lebih baik atau tidak lagi mengandung limbah seperti diterjen.

“IPAL komunal membuat kualitas air sungai maupun anak sungai terjaga,” kata Isnaini Madani, kepala Dinas Tata Kota Palembang, awal Juli 2014.

Isnaini mengatakan, IPAL komunal memiliki fungsi hampir sama dengan septictank. Namun IPAL hanya bagi air pembuangan rumah tangga yang berpotensi merusak lingkungan, yang menggunakan diterjen, sampo, sabun mandi, dan lain-lain.

Sejak 1 Juli 2014, setiap pemohon izin mendirikan bangunan (IMB) baik rumah, rumah toko, hotel, serta perumahan, wajib memiliki IPAL komunal.

“Jika kita tidak lakukan pembenahan, dalam waktu 10-20 tahun ke depan, konsumsi air baku Sungai Musi untuk masyarakat Palembang, tidak bisa lagi.”

Guna memperkuat dasar hukum, pihaknya meminta Walikota Palembang membuat Peraturan Walikota (Perwali) mengenai kewajiban membangun IPAL komunal.

IPAL ini bisa berupa septictank berbahan fiberglass maupun beton. Jika fiberglass, terdiri tiga bagian dengan fungsi berbeda. Pertama, penampungan limbah. Kedua, limbah diurai bakteri dan dialirkan. Ketiga, diuraikan lebih lanjut.  Sebelum dibuang ke drainase,  air limbah melalui tabung disenfektan guna membersihkan hama.

Jika berbahan beton memiliki enam bagian. Yakni, pemisahan kotoran dengan air. Limbah padat yang terendap disedot. Sedangkan cairan masuk ke bagian kedua melalui proses mikroorganisme. Seterusnya, hingga masuk bagian akhir yang berisi filter berupa batuan vulcano. Kemudian dialirkan ke drainase.

Contoh IPAL komunal di Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah. Foto: Dwi Kusuma Sulistyorini

Contoh bagian dalam IPAL komunal di Kecamatan Cepu, Blora, Jawa Tengah. Foto: Dwi Kusuma Sulistyorini

Biaya Tinggi

Sistem IPAL ini dinilai cukup bagus dan memiliki keunggulan. Pertama, lahan sedikit karena dibangun di bawah tanah. Kedua, biaya pengoperasian dan perawatan murah. Ketiga, efisiensi pengelolaan limbah tinggi.

Namun, katanya, membangun IPAL ini memerlukan biaya tidak sedikit. Selain bahan mahal, perlu tenaga ahli. Jadi, kemungkinan hanya dilakukan rumah mewah, perumahan, rumah tokoh, hotel, atau rumah sakit. “Kalau masyarakat biasa sulit, harus ada bantuan pemerintah atau pihak lain untuk membangun IPAL komunal dalam pemukiman,” kata Hilmin Sihabudin, koordinator Green Srivijaya, komunitas peduli sungai, Jumat (11/7/14).

Menurut Hilmin, penataan kualitas air Sungai Musi bukan hanya melalui pembangunan IPAL dan perbaikan drainase. Namun, perlu penanaman pohon seperti bambu atau buahan.

Selain itu, penimbunan rawa yang tersisa 5.834 hektar harus dihentikan. Saat ini, masih ditemukan penimbunan rawa oleh pengembang perumahan.

Jangan buat Angkutan Batubara

Salah satu ancaman besar bagi kualitas Sungai Musi, kata Hilmin, justru dari daerah huluan. Eksplorasi batubara, termasuk penghabisan wilayah resapan, baik hutan dan rawa.

“Bukan hanya mengancam kualitas air, juga berpotensi Palembang banjir pada musim penghujan atau krisis air pada kemarau.”

Untuk itu, rencana pemerintah Sumsel dengan PT Pelindo II untuk menjadikan Sungai Musi sebagai sarana angkutan batubara harus dihentikan. Karena akan memperlancar eksplorasi batubara di huluan, dan menyebabkan pencemaran limbah batubara di Sungai Musi.

“Kita harus belajar dengan Sungai Air Bengkulu yang rusak, dipenuhi limbah batubara. Jangan sampailah batubara merusak Musi. Kerjasama itu harus dihentikan. Batubara itu bukan industri berkelanjutan. Itu industri kotor.”

Pada Selasa (24/6/14) Pemerintah Sumsel dengan PT Pelindo II menandatangani nota kesepahaman untuk pengangkutan batubara melalui Sungai Musi. Pelindo akan mengeruk Musi, dan ditimbunkan untuk reklamasi Terminal Khusus Tanjungcarat, Banyuasin. Pelindo II akan memungut biaya pengangkutan batubara menggunakan tongkang melalui Musi. Setiap tongkang membawa batubara hingga 3.000 ton batubara!

Potongan memanjang ipal komunal. Grafis: Dwi Kusuma Sulistyorini

Potongan memanjang IPAL komunal. Grafis: Dwi Kusuma Sulistyorini

Bagian dalam bak kontrol. Foto: Dwi Kusuma Sulistyorini

Bagian dalam bak kontrol. Foto: Dwi Kusuma Sulistyorini

 


Inilah Cara Pemerintah Palembang Atasi Pencemaran Sungai Musi was first posted on July 15, 2014 at 10:26 pm.

Sidang Kebakaran Hutan: Eksepsi Presiden, Polri dan Pemda Riau Ditolak, Berikut Alasan Hakim

$
0
0

Lahan gambut yang terbakar di Palalawan, Riau pada 2013. Foto: Zamzami

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi tiga dari 19  tergugat kasus kebakaran hutan di Riau tahun 2013.  Penolakan ini membuat proses perisdangan kasus kebakaran hutan di Riau dilanjutkan.

“PN Jakarta pusat memiliki wewenang menggelar sidang ini. Tergugat banyak hingga sidang bisa dilakukan di salah satu domisili tergugat,” kata Nani Indrawati, majelis hakim PN Jakpus, Selasa (15/7/14).

Ketika pengaju eksepsi yakni Presiden, Polri dan Pemerintah Riau. Dalam eksepsi, Presiden dan Polri mengatakan, salah satu digugat isu HAM. Dalam kewenangan absolut, seharusnya kasus diadili dalam pengadilan khusus HAM. Pemprov Riau beralasan kasus ini diadili di PN Riau. Berlandaskan wewenang relatif.

Nani mempunyai sertifikat hakim lingkungan hidup. Dia memimpin sidang putusan sela bersama hakim Anis Mustaqim dan Iin Nurohim. Persidangan mulai digelar sejak 20 November 2013.

“Kami meminta Walhi menyiapkan bukti-bukti selengkap mungkin. Hingga sidang tidak tertunda lagi,” katanya.

Walhi menggugat Presiden, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Polri, Pemprov Riau dan Jambi dan 13 pemerintah kabupaten serta kota di Jambi dan Riau. Gugatan itu atas kebakaran hutan pada 2013.

Ke-19 tergugat dianggap bertanggungjawab atas kebakaran hutan yang melanda Riau pada 2013. Mereka dianggap lalai menjalankan kewajiban konstitusi menjaga hutan dan lingkungan hidup.

Muhnur Satyaprabu, manajer kebijakan dan pembelaan hukum Walhi Nasional, mengatakan, putusan majelis hakim tepat. Sebab, dalam pasal 184 Herziene Inlandsch Reglemen; Hukum Acara Perdata, jika tergugat banyak, penggugat bisa memilih salah satu lokasi  sidang sesuai domisili tergugat.

“Kami sudah menyiapkan bukti-bukti. Terkait pelanggaran HAM, titik point rusaknya lingkungan hidup hingga membuat hak masyarakat mendapatkan lingkungan hidup baik tidak terpenuhi. Padahal, hak masyarakat mendapatkan lingkungan hidup yang baik diatur UUD 1945.”

Walhi mendorong perbaikan tata kelola kehutanan yang bisa dilakukan dengan meninjau kembali perizinan. Pemberian izin tanpa kontrol, katanya, menyebabkan tata kelola hutan rusak. “Ini juga menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut.”

Setelah sidang selesai, semua perwakilan tergugat bergegas meninggalkan ruang persidangan. Tak ada yang bersedia memberikan keterangan. Sidang dilanjutkan 12 Agustus dengan agenda pembuktian dari Walhi dan mendengarkan keterangan saksi ahli.

Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/6/13. Foto: Zamzami

 


Sidang Kebakaran Hutan: Eksepsi Presiden, Polri dan Pemda Riau Ditolak, Berikut Alasan Hakim was first posted on July 16, 2014 at 5:38 am.

RPP Gambut, Semangat Perlindungan atau Pemanfaatan?

$
0
0

Kebakaran lahan gambut di Desa Selingsing, Medang Kampai, Dumai, Riau, Sabtu (1/3/2014). Foto : Zamzami

Setelah berulang kali direvisi, rancangan peraturan pemerintah tentang gambut akhirnya selesai. Kini, draf final kebijakan ini sudah di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, siap ditandatangani. Namun, masih muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan jika aturan itu belum memberikan perlindungan bagi gambut yang tersisa. Sebab, RPP Gambut ini dinilai masih lekat semangat pemanfaatan daripada perlindungan.

Haris Gunawan, ahli gambut dari Univeritas Riau mengatakan, pemerintah seharusnya fokus pada semangat perlindungan gambut yang tersisa bukan pemanfaatan. Jikapun, sampai ada izin, harus benar-benar ketat sekali.  “Saat ini, dengan setuasi seperti ini, saya belum yakin ada izin keluar bisa dikontrol, pengawasan bagus,” katanya di Jakarta, belum lama ini.

Di Indonesia, katanya, banyak pendapat dari kalangan ahli gambut. Mereka mempunyai mazhab-mazhab. “Mazhab saya berbeda dengan spirit RPP Gambut itu. Ga bisa hanya 30% perlindungan. Dengan kasus Riau 17 tahun terbakar.  Kalimantan terbakar 1 juta hektar.” Dalam RPP Gambut itu disebutkan ekosistem gambut dengan fungsi lindung 30% dari seluruh luas kesatuan hidrologis gambut.

Menurut dia, jika kebijakan gambut seperti itu tak akan menyelesaikan masalah. “Itu spiritnya pemanfaatan kok, bukan spirit perlindungan. Yang kita harus bangun adalah spirit perlindungan. Sudah selesai itu spirit pemanfaatan,” ujar dia.

Haris membenarkan, para akademisi masing-masing mempunyai banyak sudut pandang dan latar belakang. “Kalau tanya ke saya, RPP Gambut itu jangan segera ditandatanganilah. Harus dimatangkan dulu, mendengarkan semua dulu,” katanya.

Dia mengusulkan, jikapun ada kebijakan publik mengenai gambut, harus konteks pelestarian atau perlindungan. “Yang tersisa harus diprotek. Inilah sebelum Papua mengikuti Kalimantan dan Riau sekarang. Karena yang tersisa itu benteng terakhir buat menyangga kehidupan ke depan. Saya khawatir kita ini generasi yang bikin kolaps generasi berikutnya.”

Bagaimana kongkretnya?  Kata Haris, buat peratusan khusus tentang bagaimana mengelola kanal-kanal yang sudah ada. Juga,  lebih mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang sesuai karakteristik gambut berair. “Jangan mengedepankan tanaman-tanaman budidaya yang gak suka air, misal sawit.”

Ratna berusaha memadamkan api yang membakar lahan gambut di Desa Selingsing, Medang Kampai, Dumai, Riau, Sabtu (1/3/2014). Foto : Zamzami

Teguh Surya dari Greenpeace mengatakan, isi draf kebijakan ini masih sangat kompromis dan membenarkan gambut nol sampai tiga meter dikonversi. “Sanksi yang diterapkan pun tidak akan memberikan efek jera karena bisa dikerjakan pihak ketiga dan nilai dikompromikan,” katanya kepada Mongabay di Jakarta, belum lama ini.

Dia mengatakan, hal penting lain yang menjadi sorotan adalah izin-izin yang keluar dan berada di kawasan dengan fungsi lindung gambut tetap berlaku sampai izin habis. Pasal ini, katanya, menghilangkan esensi perlidungan gambut. “Seharusnya izin ditinjau ulang dan kawasan dikukuhkan sebagai kawasan gambut fungsi lindung. Kalau RPP gambut gini dapat dipastikan Indonesia tidak akan bisa mencapai target penurunan emisi pada 2020 sesuai janji.”

Indonesia, kata Teguh, tidak akan pernah bisa menghentikan dan mencegah becana asap akibat hutan dan gambut terbakar. Kondisi ini, katanya, akan menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan Indonesia ke depan. “Jika Presiden tetap menandatangani RPP Gambut dengan isi begitu, berarti Presiden SBY inkonsiten dengan komitmen dan meninggalkan warisan bom waktu.”

Menurut dia, sampai saat ini, setidaknya ada tiga draf RPP Gambut beredar. Antara lain, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, pada Oktober 2013 dan edisi Januari 2014. Lalu, Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang diyakini versi terbaru.

“Perubahan tiga kali sejak Oktober 2013, tetapi jika dilihat detil, substansi pokok perlindungan gambut tidak berubah.”

Teguh mencontohkan, gambut dengan kedalaman 0-3 meter tidak terlindungi, baku kerusakan gambut dengan fungsi budidaya dan sanksi juga masih sama.  “Intinya yang berubah hanyalah struktur penulisan, tidak pada substansi yang selama ini dipersoalkan.”

Dia menilai, isi RPP Gambut tak mengalami perbaikan kemungkinan  karena tidak ada ruang partisipasi publik dalam mencermati isi aturan ini. “Konsultasi publik KLH hanya terbatas pada ahli gambut, beberapa organisasi yang fokus pada isue gambut. Bagaimana dengan pemerintah dan masyarakat khusus yang hidup di wilayah bergambut?”

Dia memaparkan beberapa hal, seperti Pasal 22, pada bagian pencegahan kerusakan eksoistem gambut , seharusnya kebakaran hutan atau gambut menjadi salah satu kriteria kerusakan ekosistem gambut.

Begitu juga Pasal 27 dan 28, malah melemahkan esensi perlindungan gambut. Bahkan, terkesan terlalu memberikan keistimewaan kepada pengusaha yang tidak mau bertanggungjawab atas kerusakan ekosistem gambut.

Lalu, Pasal 42, cukup mengkhawatirkan. Sebab, masa pembuatan peta acuan tentang kesatuan hidrologis gambut dan peta fungsi lindung dan fungsi budidaya, memakan waktu empat tahun. “Kita tidak bisa menunggu selama itu karena bisa jadi gambut telah habis peta baru keluar dan PP Gambut menjadi tidak bermanfaat.”

Mas Achmad Santosa, deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, membenarkan jika draf final RPP Gambut sudah diserahkan ke Presiden, tinggal ditandatangani.

Menurut dia, revisi kali itu sudah lebih baik, tak malah longgar atau memberikan peluang pemanfaatan gambut. Dia setuju, terpenting dari kebijakan ini bisa melindungi gambut yang tersisa.

Draf RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

Sumber: Greenpeace


RPP Gambut, Semangat Perlindungan atau Pemanfaatan? was first posted on July 16, 2014 at 11:41 pm.

Banjir Rob Rutin Landa Belawan, Apa Upaya Pemerintah Daerah?

$
0
0
Kawasan pesisir di Gabion Belawan, Medan tepatnya di area rawa dan hutan mangrove, banjir rob menggenangi rumah warga. Foto: Ayat S Karokaro

Kawasan pesisir di Gabion Belawan, Medan tepatnya di area rawa dan hutan mangrove, banjir rob menggenangi rumah warga. Foto: Ayat S Karokaro

Banjir rob yang melanda kawasan Belawan, Medan, Sumatera Utara pada Sabtu (13/7/14)-Senin malam(14/7/14) nyaris menenggelamkan kawasan pesisir laut di daerah itu. Ketinggian air mencapai pinggang orang dewasa. Ini sudah ‘penyakit’ rutin tetapi kali ini lebih parah dari biasa.

Air laut naik hingga ke Pelabuhan International Belawan. Rumah-rumah penduduk tergenang. Arus keluar masuk transportasi Pelabuhan Belawan terganggu. Bahkan banjir mengakibatkan aktivitas di Dermaga Ujung Baru Pelabuhan Belawan, nyaris lumpuh.

Menurut warga pesisir Belawan, fenomena ini biasa terjadi dua kali setahun. Namun pasang kali ini, terparah karena ketinggian air laut hingga ruas jalan Pelabuhan Belawan Medan.

Agus Harianja, warga Ujung Baru, Belawan, beruntung mendirikan rumah panggung dengan konstruksi tinggi, hingga air laut menggenangi kolong rumah. Namun, warga Kota Belawan, terpaksa menyelamatkan harta benda ke daerah lebih tinggi.

Pantauan Selasa pagi, banjir mulai surut. Meski begitu, warga belum berani beraktivitas penuh. Sebagian mereka mulai membersihkan tembok-tembok rumah.

Lantas apa penyebab banjir rob? Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin, mengatakan, banjir karena tidak ada penyangga atau konstruksi mencegah saat air pasang laut datang.

Dermaga TPI Ujung Baru Pelabuhan Belawan tenggelam akibat  banjir rob sejak Sabtu hingga Senin malam. Foto:   Ayat S Karokaro

Dermaga TPI Ujung Baru Pelabuhan Belawan tenggelam akibat banjir rob sejak Sabtu hingga Senin malam. Foto: Ayat S Karokaro

Menurut dia, wilayah ini acapkali menjadi langganan banjir jika pasang perdani datang. Dampaknya, sektor ekonomi di pesisir Pelabuhan Belawan hingga jalur perbatasan darat dan wilayah laut, mengalami gangguan. Ternak warga banyak mati, kolam apung beternak berbagai jenis ikan laut rusak.

Untuk mengatasi, katanya, Pemerintah Medan dan Sumut, menyiapkan anggaran untuk membangun tanggul sepanjang tujuh kilometer.  Dengan tanggul ini,  diharapkan mampu mencegah banjir rob di Belawan dan sekitar.

Pembangunan tanggul ini, katanya, diperkirakan paling lama 2015. Mereka sudah membentuk tim untuk proyek pembangunan ini. Saat ini, masih menunggu anggaan untuk membuat detail engineering design (DED).

Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut, menyatakan, sudah membahas anggaran DED, dan diskusi serius dengan Balai Wilayah Sungai Sumatera II.

Tahun ini, katanya,  ada anggaran studi DED. Jika selesai, akan mengusulkan proyek ini masuk PAPBN 2014 atau selambat-lambatnya APBN 2015.

“Saya minta studi bisa diselesaikan cepat. Soalnya banjir rob kali ini cukup besar. Saya optimis, 2015 tanggul sepanjang tujuh kilometer sudah dibangun,” kata Gatot.

Ketika akan masuk ke kawasan pesisir pantai di Belawan, banjir rob sudah terlihat. Foto: Ayat S Karokaro

Ketika akan masuk ke kawasan pesisir pantai di Belawan, banjir rob sudah terlihat. Foto: Ayat S Karokaro

 

 


Banjir Rob Rutin Landa Belawan, Apa Upaya Pemerintah Daerah? was first posted on July 17, 2014 at 1:45 pm.

Tolak Tambang Pulau Bangka, Dua Warga jadi Tersangka

$
0
0
Sekitar tujuh warga Bangka dipanggil polisi untuk diperiksa sebagai saksi, mendatangi Polsek. Warga lain juga bersolidaritas mendatangi Polsek pada Rabu (16/7/14). Foto: save Bangka Island

Sekitar tujuh warga Bangka dipanggil polisi untuk diperiksa sebagai saksi, mendatangi Polsek. Warga lain juga bersolidaritas mendatangi Polsek pada Rabu (16/7/14). Foto: Save Bangka Island

Penegak hukum dinilai diskriminatif, hanya berjalan buat rakyat kecil. Kala warga menang gugatan hukum sampai MA, tak digubris pemerintah daerah. Perusahaan tetap beroperasi. Kepolisian malah menjadi penjaga perusahaan walau warga beberapa kali melaporkan pelanggaran perusahaan. Kala warga dituduh melakukan pelanggaran terhadap perusahaan, dalam waktu sekejab, polisi menentapkan mereka menjadi tersangka. 

Perjuangan warga Pulau Bangka, Sulawesi Utara, mendapatkan lingkungan sehat, dengan menolak tambang, berbuah pahit. Bagaimana tidak, PT Mikgro Metal Perdana (MMP), perusahaan tambang bijih besi masih bisa terus beroperasi meskipun Mahkamah Agung memerintahkan bupati mencabut izin. Warga yang sejak awal menolak tambang menggunakan jalur-jalur damai akhirnya ‘terjebak.” Mereka terlibat bentrok, satu alat berat perusahaan terbakar.  Polisi  ’sigap’ bekerja, dua warga, Y Tuhema dan F Kaongan,  dituding sebagai pelaku. Mereka ditetapkan menjadi tersangka pada Kamis dini hari (17/7/14).

Di Manado, perwakilan warga Desa Kahuku menyesalkan, sikap diskriminatif kepolisian antara  warga dan perusahaan. Penegakan hukum hanya tajam ke masyarakat kecil dan tumpul ke pengusaha.

Mengapa? Sejak 24 September 2013 putusan inkracht MA memenangkan gugatan warga atas penolakan tambang di Pulau Bangka. Ketua PTUN Manado, pada 24 Juni 2014, melayangkan surat perintah eksekusi MMP.

Belum lagi, aktivitas pertambangan itu, beberapa kali dilaporkan warga pada instansi terkait. Misal, 20 Mei 2014, 18 warga mengajukan laporan tindak pidana pertambangan (ilegal mining) dan lingkungan, ke Polda Sulut diterima Dirintelkam. Sebulan berlalu, 30 Juni 2014, Merty Katulung, warga Desa Kahuku juga melaporkan ke Polda Sulut.

Kenyataan, Polda Sulut belum menindaklanjuti laporan warga. Lebih aneh, setelah bentrok antar desa Sabtu (12/7/14), dua warga penolak tambang langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Polsek Rural Likupang, tempat pertama beberapa warga diperiksa sebelum dibawa ke Polda Sulut dan menjadi tersangka. Foto: Save Bangka Island

Polsek Rural Likupang, tempat pertama beberapa warga diperiksa sebelum dibawa ke Polda Sulut dan menjadi tersangka. Foto: Save Bangka Island

Kejadian bermula Minggu (13/7/14). Kepolisian memanggil tujuh warga Desa Kahuku yang dituduh membakar bor milik MMP. Pada  Rabu (16/7/14), tujuh warga memenuhi panggilan Polsek Likupang Timur. Belum rampung pemeriksaan, empat warga dibawa diam-diam ke Polres Minahasa Utara.

“Ketika menghubungi Wakapolres Minut, beliau menjelaskan sebagai pemeriksaan lanjutan,” kata Pieterson Andaria, ketua Badan Perwakilan Desa Kahuku.

Dia merasa ada yang janggal dengan panggilan itu. Undangan awal diterima warga hanya ke Polsek Likupang Timur, sebagai saksi. Pemeriksaan sehari, status berubah menjadi tersangka.

Menurut dia, tindakan kepolisian tidak adil kepada warga. Sejauh ini, masyarakat mengikuti aturan. Sejumlah laporan dibuat, bahkan mendapat legitimasi dari MA.”Warga yang dimenangkan hukum, merasa ditempatkan pada posisi ilegal. Perusahaan tambang yang tidak layak operasi dinyatakan legal.”

Sejak penetapan status itu, sejumlah warga Desa Kahuku merasa terintimidasi. Namun, mereka terus menjalin komunikasi agar kondisi tidak makin memburuk. “Kami akan terus melakukan upaya hukum memperjuangkan kepentingan bersama.”

Merty Katulung, warga Desa Kahuku menambahkan, kepolisian seharusnya memiliki fungsi pelindung dan penegakan hukum. Dalam kasus pertambangan Bangka, justru kontradiktif.

“Polisi melindungi tambang dan mengenakan hukum hanya pada masyarakat kecil. Perusahaan tambang ilegal tidak diberi sanksi.”

Dia menilai, seharusnya kepolisian memeriksa MMP yang sampai sekarang masih beroperasi, walaupun secara administratif izin sudah dibatalkan MA. Belum lagi, PTUN Manado sudah mengeluarkan surat eksekusi pemberhentian aktivitas pertambangan itu.

“Bupati pernah menyampaikan pertambangan harus berhenti. Sampai sekarang MMP terus beroperasi.”

Jull Takaliuang, direktur Yayasan Suara Nurani (YSN) Minaesa, mengatakan, penegakan hukum kepolisian hanya pada masyarakat. Tidak kepada perusahaan tambang dan bupati.

Dalam kasus ini, kepolisian memainkan dua peran berbeda. Kepada perusahaan tambang, polisi memberi pengamanan. Kepada masyarakat, polisi sebagai penegak hukum.

“Di sini, kita melihat anehnya institusi negara. Harusnya dua tugas bersamaan dan adil. Bukan terpisah.” Padahal, MMP melanggar hukum. “Mereka tidak mematuhi hukum di Indonesia. Kok, malah dibela?”

Warga Pulau Bangka, ikut bersolidaritas atas rekan-rekan mereka yang diperiksa kepolisian. Foto: Save Bangka Island

Warga Pulau Bangka, ikut bersolidaritas atas rekan-rekan mereka yang diperiksa kepolisian. Foto: Save Bangka Island

Menurut Takaliuang, permasalahan ini membuat upaya-upaya menyelamatkan warga Bangka tidak bisa lagi di pemerintah daerah. Mereka akan memperjuangkan kasus ini hingga ke nasional maupun internasional.

“Perasaan dan mata hati pemerintah daerah sudah tertutup. Kami akan terus menunjukkan bukti-bukti pelanggaran yang mereka buat.”

Perwakilan warga menyatakan,  setelah syukuran di Desa Kahuku, Sabtu (12/7/14), masyarakat pergi ke basecamp MMP untuk membacakan surat perintah eksekusi PTUN Manado. Namun, dilempar batu oleh warga Desa Ehe diduga sudah dihasut MMP. Perayaan ini murni inisiatif warga. Mereka juga membantah pernyataan kepala desa acara dibiayai pihak luar.

Seruan Bebaskan Warga dan Laksanakan Putusan MA

Organisasi lingkungan fokus advokasi tambang, Jatam  menyerukan kepada masyarakat di Indonesia berpartisipasi mengirimkan pesan kepada pejabat daerah dan Polda maupun Polres Minahara Utara di Sulut, agar membebaskan dua warga yang ditangkap, dari segala tuduhan.  “Serta mendesak Bupati, Gubernur dan Kepolisian menghormati dan melaksanakan keputusan pengadilan,”  bunyi seruan itu.

Menurut Jatam, seharusnya, kepolisian ikut melaksanakan putusan yang sudah berkuatan tetap itu. Begitu juga pemerintah daerah. Namun, Bupati Minut, Sompie Singgal, dan Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang, justru mengabaikan perintah PTUN Manado untuk mengeksekusi putusan MA.

Sebelum itu, Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka, mengeluarkan pernyataan menyayangkan sikap TNI/polri yang tak netral dan represif. Wahyu Nandang Herawan, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, mengatakan, keberadaan TNI/Polri selama ini di Pulau Bangka patut dipertanyakan.

Terkait warga luka-luka dalam bentrok pekan lalu, katanya,  aparat TNI/Polri dan pihak manapun hingga menyebabkan jatuh korban harus bertanggung jawab.

Ki Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, mengatakan. sikap bupati dan gubernur yang bersikukuh mempertahankan pertambangan Bangka merupakan pembangkangan terhadap hukum. “Jaminan keselamatan dan ruang hidup warga seharusnya lebih diutamakan ketimbang kepentingan investor.”

Edo Rakhman, pengkampanye Walhi Nasional, menilai Pemerintah Minut dan Sulut dengan sengaja melemahkan hukum di Indonesia. “Jika bupati dan gubernur di Indonesia berperilaku seperti Sompie dan Sarundajang, bisa dipastikan tidak akan ada gunanya lagi lembaga Mahkamah Agung di Indonesia.”

Menurut dia, warga ingin memperkuat posisi negara dengan penegakan hukum. “Justru pemerintah daerah sengaja melemahkan dengan mengorbankan rakyat.”

Warga Pulau Bangka, penolak tambang luka-luka terkena pukulan kala bentrok dengan warga pro tambang. Foto: Save Bangka Island

Perairan Pulau Bangka yang indah, biasa menjadi tujuan turis menyelam melihat surga laut bakal terancam dengan kehadiran tambang. Kehidupan nelayan pun terancam jika ekosistem laut rusak. Mengapa pemerintah daerah begitu kekeuh mempertahankan tambang meskipun warga banyak menolak? Bahkan, putusan Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga, hingga izin tambang harus dicabutpun tak digubris Pemerintah Minahasa Utara. Ada apa? Foto: Save Bangka Island

Pemandangan hijau nan teduh bakal musnah kala tambang berhasil menguasai separuh Pulau Bangka ini. Foto: Save Bangka Island


Tolak Tambang Pulau Bangka, Dua Warga jadi Tersangka was first posted on July 18, 2014 at 2:36 am.

Donggala akan Terapkan Green Mining. Benarkah?

$
0
0
Galian C yang menyebabkan laut dan udara tercemar. Foto: Syarifah Latowa

Galian C yang menyebabkan laut dan udara tercemar. Foto: Syarifah Latowa

Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) Donggala, Sulawesi Tengah, berencana menerapkan program green mining  yang diperkirakan terlaksana pada 2015.

Syamsu Alam, kepala Dinas ESDM Donggala mengatakan, tujuan program ini untuk meningkatkan upaya reklamasi bertahap pada lahan bekas tambang dan kritis dengan tanaman hijau disusun indah. Juga meningkatkan pemahaman masyarakat untuk menjaga kelestarian bumi, terutama peran aktif mencegah peningkatan panas bumi.

“Jadi, kami berusaha menjaga keseimbangan dengan mempertahankan lingkungan melalui penghijauan dan reklamasi bekas tambang.”

Sejauh ini, telah dibentuk  tim green mining atau menambang indah dan hijau. Ia diberi nama tim green mining Loli Pangga.  Lalu, melakukan pertemuan bersama stakeholder seperti Dinas Kehutanan, Dinas PU Tataruang Dinas Perikanan Kelautan, Badan Lingkungan Hidup, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Termasuk pengusaha tambang se Donggala serta menghadirkan Dinas PU Wilayah VII Makassar.

“Ini sebagai media komunikasi antara stakeholder, sebagai mitra pemerintah mendorong percepatan penghijauan di sepanjang jalan lokasi pertambangan di Desa Loli Oge hingga Desa Pangga kabupaten Donggala.”

Ke depan,  tim Loli Pangga akan membangun pemukiman bekas tambang, lalu klinik kesehatan dan menata indah jalan nasional sekitar tambang dengan penghijauan.

Dia mengakui, mewujudkan rencana ini, tidak mudah, karena memerlukan biaya cukup besar.  Namun, dia yakin, akan mudah jika semua pihak bekerja sama.

Bagaimana tanggapan Walhi Sulteng?

Ahmad Pelor, direktur eksekutif Walhi Sulteng, menilai, konsep green mining sebenarnya semacam stempel agar aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan terus berjalan.

“Mengapa kami katakan demikian? Belajar dari pertambangan di Indonesia, tidak ada satupun yang mempertimbangkan lingkungan termasuk, kegiatan-kegiatan pasca tambang.”

Aktivitas tambang galian C di Kabupaten Donggala. Foto: Syarifah Latowa

Aktivitas tambang galian C di Kabupaten Donggala. Foto: Syarifah Latowa

Walhi menginginkan, evaluasi semua izin-izin pertambangan yang keluar. Bukan malah mengembangkan konsep hanya hayalan seperti green mining itu.

Justru sekarang, katanya, bagaimana menghentikan aktivitas-aktivitas tambang itu, memoratorium, kemudian evaluasi termasuk audit lingkungan. “Apakah kondisi lingkungan kita masih punya kemampuan, atau daya dukung terhadap aktivitas-aktivitas pertambangan?”

Walhi menolak program itu, kalaupun idenya bagaimana daerah-daerah sekitar Loli ditetapkan sebagai jalur hijau. “Program apapun di hilir jika tidak ada rehabilitasi dari hulu tidak akan berfungsi. Bagaimana mungkin, ditata di bawah, sementara kerusakan di atas tidak diperbaiki.”

Tambang Sirtu di Loli

Penambangan galian C (pasir dan batu) di Loli, terjadi kerusakan lingkungan hebat yang menyebabkan infrastruktur rusak dan memicu sedimentasi serta pencemaran laut. “Bisa pastikan juga memicu penyakit ISPA tinggi di Loli.”

Sedang upaya pemerintah atau perusahaan tambang sebatas menyiram jalan sepanjang lokasi agar tidak berdebu.

Dia mencontohkan, galian C  oleh PT Mutiara Alam Perkasa (MAP)  di Desa Batusuya, Kecamatan Sindue, Tombusabora, Donggala sudah berlangsung 10 tahun. Ia mengakibatkan kerusakan perkebunan masyarakat di sepanjang jalur sungai. Namun, penataan ulang alur sungai bekas tambang tidak dilakukan.

 


Donggala akan Terapkan Green Mining. Benarkah? was first posted on July 18, 2014 at 4:31 pm.

Sungai Tercemar Limbah Pabrik, Ikan-ikan pada Mati

$
0
0
Dulu air sungai mengaliri Desa Pintubosi, dan Desa Gasaribu ini jernih, kini keruh. Ikan-ikanpun mati. Foto: Ayah S Karokaro

Dulu air sungai mengaliri Desa Pintubosi, dan Desa Gasaribu ini jernih, kini keruh. Ikan-ikanpun mati. Foto: Ayah S Karokaro

Air sungai di sepanjang Desa Pintubosi, Kecamatan Laguboti, dan Desa Gasaribu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, berkualitas buruk bahkan beracun. Pencemaran ini, diduga dampak pengolahan limbah pabrik tepung tapioka, PT Hutahaean. Ikan-ikan di sungai itu mati.

Demikian diungkapkan Forum Mahasiswa Teknik Kimia Institut Teknologi Medan (ITM) asal Toba Samosir, pada Rabu (16/7/14) di Medan. Mereka baru saja menyelesaikan pemeriksaan laboratorium kualitas air sungai di daerah mereka.

Para mahasiswa ini berangkat ke Desa Pintubosi dan Gasaribu awal Juli 2014, mengambil sampel air dan meneliti penyebab utama berbagai jenis ikan mati tiba-tiba. Hasil pengujian memperlihatkan, ikan-ikan mati karena kualitas air sungai sepanjang Desa Pintubosi dan desa Gasaribu, buruk. PH air mengandung senyawa asam cukup tinggi.

Beni Anggiat Purba, tim dari forum mahasiswa ini mengatakan, dari pemeriksaan laboratorium diketahui dalam cairan sampel air sungai itu ditemukan senyawa kimia karbon, hidrogen dan oksigen cukup tinggi. Bahkan, mengandung asam sianida (HCN), yang bersifat racun dengan kadar 51-97 mg perkg.

Kadar HCN tinggi, jarang ditemukan dalam air sungai di desa yang masih alami ini. Dari ikan emas dan nila yang mati bagian insang ditemukan lendir dan bahan padat cukup kental.  Setelah ditelusuri, selama dua tahun terakhir, aliran sungai tercemar pembuangan limbah cair pabrik Hutahaean.

Dengan kadar HCN setinggi itu, mengindikasikan perusahaan membuang limbah pengolahan tepung mengandung racun ke sungai. Dalam pengolahan ubi kayu, limbah HCN boleh dibuang setelah pengolahan di bawah 50 mg/kg. Jika diatas ambang batas, tergolong racun.

“Ini sangat berbahaya apalagi masyarakat menggunakan air sungai untuk  minum, mencuci, dan mandi, dan lain-lain.”

Dia menyarankan, perusahaan melakukan fermentasi sebanyak mungkin, untuk mengurangi kadar HCN yang sudah setengah beracun. Jika fermentasi makin sering, makin banyak pula cairan HCN keluar. Setelah itu, baru dapat membuang limbah cair ke alam, dengan catatan kadar harus di bawah 50 mg/kg.

Kasmin Simanjuntak,  Bupati Toba Samosir, ketika dikonfirmasi mengatakan, sudah pernah membuat teguran tertulis kepada perusahaan agar memperbaiki pembuangan limbah pabrik. Karena tidak ada tindak lanjut, dia langsung mengeluarkan surat perintah penghentian pengoperasian sementara pabrik itu.

Dia menilai, perusahaan dianggap tidak mengindahkan peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan peraturan lain. Izin pengoperasian baru akan keluar, katanya,  jika perusahaan memperbaiki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan baku mutu lingkungan sesuai ketentuan.

“Ini berbahaya, limbah yang dibuang sudah tercemar dan mengandung racun. Masyarakat saya selama ini menggunakan air sungai itu loh. Bahayakan jika terus dibiarkan. Itu sebabnya kita lakukan penghentian pengoperasian sementara,” kata Simanjuntak. Sang bupati sendiri kini menjadi tersangka oleh Polda Sumut, dalam kasus dugaan korupsi di kabupaten pemekaran itu.

Dungdung Simanjuntak, office manager Hutahaean, menyatakan, telah memperbaiki sistem pengolahan limbah pabrik. Selama ini, proses pengolahan limbah dianggap memenuhi standar baku mutu lingkungan.

“Kita tidak pernah membuang limbah beracun ke aliran sungai. Sudah kita dalami, ternyata bukan kesalahan peralatan, tetapi ada operator kurang cermat. Semua sudah kita perbaiki. Kami tidak ada niat merusak lingkungan dengan membuang limbah pabrik.”


Sungai Tercemar Limbah Pabrik, Ikan-ikan pada Mati was first posted on July 20, 2014 at 4:37 pm.

Nasib Petani Sawah Lebak di Tengah “Madu” HTI dan Sawit

$
0
0
Persemaian padi terapung sawah lebak di Desa Kuro, OKI. Foto: MH Sobri

Persemaian padi terapung sawah lebak di Desa Kuro, OKI. Foto: MH Sobri

Sekitar 146.279 hektar lebak dikelola 220 ribu petani di Sumatera Selatan, terancam perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Produksi padi lahan lebakpun kian menurun setiap tahun. Saat ini, per tahun pendapatan mereka rata-rata Rp8 juta atau hasil padi 2,67 ton per hektar.

Selama 10 tahun terakhir, sekitar 25 ribu hektar lebak hilang untuk perkebunan sawit dan HTI. Sekitar 90% di OKI, terutama di Kecamatan Pangkalan Lampan dan Pampangan.“Alih fungsi lahan lebak ini karena dinilai tidak produktif, berubah menjadi perkebunan sawit dan HTI,” kata Ahmad Fitriadi Monginsidi, ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumsel, awal Juli 2014.

Keadaan ini, ternyata memberi dampak populasi kerbau rawa, burung, sejumlah jenis ikan, serta tradisi kerajinan seperti tikar purun, berkurang. “Dulu OKI terkenal sebagai sentra produksi susu dan daging kerbau. Kini sulit didapatkan.”

Data BPS OKI 2004, ke-220 ribu petani sawah lebak itu menyebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) 45.687 hektar (31,23%), Kabupaten Ogan Ilir 40.562 hektar (27,73%), dan Kabupaten Banyuasin 16.705 (11,42%).  Sisanya, 29,62% persen tersebar di Musi Banyuasin, Muaraenim, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Timur, Musi Rawas, Prabumulih dan Palembang.

Salah satu upaya memperbaiki lahan pertanian sawah, dengan reklamasi. Selama ini, pemerintah hanya fokus lahan pasang surut  hingga dalam 10 tahun terakhir, produksi melampaui pertanian lebak, yang sudah ratusan tahun.

Untuk menyelamatkan lahan lebak, katanya, pemerintah harus menjadikan petani lebak sebagai potensi kedaulatan pangan nasional.

Untuk itu, lahan lebak harus direklamasi. “Reklamasi bukan berarti penimbunan, melainkan perbaikan, peningkatan kualitas lahan, melalui pemberdayaan teknologi dan manusia.”

Saat ini, rata-rata petani lebak di Sumsel menguasai 1,24 hektar. Dari luasan itu produksi padi per tahun hanya 2,67 ton per hektar atau Rp8 juta. Dengan perbaikan tata air mikro dan peningkatan kesuburan lahan melalui reklamasi, produksibisa mencapai 4-5 ton padi per hektar setahun.

“Petani lebak setahun mampu menyumbang 600 ribu ton untuk pangan nasional. Petani makmur, rakyat Indonesia terpenuhi pangan. Negara tidak perlu lagi impor beras.”

Miliki potensi

Sebenarnya, Pemerintah OKI melihat potensi sawah lebak. Mereka berencana menyusun program pengembangan guna ketahanan pangan.

Dedi Kurnawan, kabag Humas & Protokol OKI, mengatakan, Pemerintah OKI akan bekerjasama dengan pemerintah pusat mensosialisasikan potensial sawah lebak ini.  Mereka telah memberikan pendidikan atau penyuluhan petani sawah lebak di Kecamatan Jejawi.

OLYMPUS DIGITAL CAMERAKawasan lebak di Kecamatan Pampangan, OKI. Foto: MH Sobri

sawah1-Screen Shot 2014-07-22 at 9.09.55 PM

 


Nasib Petani Sawah Lebak di Tengah “Madu” HTI dan Sawit was first posted on July 22, 2014 at 3:17 pm.
Viewing all 3799 articles
Browse latest View live