Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4135 articles
Browse latest View live

Konflik Lahan Luwu Timur, Polisi dan Warga Adat Pamona Bentrok

$
0
0
Warga yang digiring polisi pasca bentrokan akhir Juni lalu. Foto: AMAN Tana Luwu

Warga yang digiring polisi pasca bentrokan dengan polisi akhir Juni lalu. Foto: AMAN Tana Luwu

Bentrok warga adat Pamona dan polisi, buntut konflik lahan dengan perusahaan terjadi di Sulawesi Selatan. Tepatnya di Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. Sekitar 57 warga luka-luka dan ditahan Polres Luwu Timur.

Bata Manurung, ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, mengatakan, bentrokan pada 29 Juni 2014, namun terkesan ditutup-tutupi. Bata baru mengetahui dari warga pada 17 Juli. Dia langsung mencari informasi.

“Dari 57 orang diamankan masih 20 ditahan polisi. Hampir seluruh warga mengalami kekerasan bahkan luka lebam di wajah,” katanya, Senin (21/7/14).

Dia mengatakan, bentrok warga dengan kepolisian ini buntut konflik warga dengan PT Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka), anak perusahaan Sintesa Grup.

Perusahaan ini menyiapkan bahan baku bio-etanol. Sindoka mendapatkan HGU di Luwu Timur sejak 1987, berakhir 2017, dengan luas 3.500 hektar, di Desa Teromu.

Meski masa HGU berakhir 2017, selama ini lahan dibiarkan terlantar. Masyarakat sekitar menggarap HGU Sindoka sejak 1998. “Masyarakat menilai Sindoka sudah menelantarkan lahan sejak HGU 1987. Tidak ada aktivitas sama sekali. Saat ini, masyarakat menggarab lahan sekitar 300 orang.”

Beberapa warga pasca bentrok dan tampak wajaha mereka luka dan lebam. Setelah itu mereka digiring ke kantor polisi. Foto: AMAN Tana Luwu

Beberapa warga pasca bentrok dan tampak wajaha mereka luka dan lebam. Setelah itu mereka digiring ke kantor polisi. Foto: AMAN Tana Luwu

Setelah sekian tahun dikelola warga, Sindoka berusaha mengambil alih dengan memagari area yang kini menjadi perkebunan masyarakat itu. Akses warga memanen hasil kebun ditutup.

“Inilah yang memicu amarah warga kemudian membakar pos keamanan perusahaan di sekitar kawasan. Buntutnya, kekerasan polisi terhadap warga.”

Kedok bio-etanol buat babat hutan

Asmar Exwar, direktur Walhi Sulsel, menyesalkan, kekerasan aparat ini. Selama ini, Sindoka bermasalah dengan mengambil habis kayu di sana. “Mereka itu perusahaan kayu yang membabat habis hutan dengan dalih bio-etanol.”

Pamona, terbagi 12 anak suku. Ia komunitas adat, secara administratif di dua provinsi, yaitu Sulawesi Tengah (Poso, Tojo Una-Una, dan sebagian Morowali). Sebagian kecil di Luwu Timur, Sulsel.

Diyakini nenek moyang Pamona dari dataran Salu Moge (Luwu Timur). Karena berada di gunung yang jauh dari pusat pemerintahan hingga lewat Macoa Bawalipu, mereka turun mendekati pusat pemerintahan di sekitar Mangkutana (Luwu Timur).

Pasca bentrok, warga dikumpulkan dengan penuh luka dan lebam. Lalau mereka diamankan ke kantor polisi. Hingga kini 20 orang masih ditahan. Foto: AMAN Tana Luwu

Pasca bentrok, warga dikumpulkan dengan tangan diborgol. Sebagian mereka   luka-luka dan lebam. Lalu mereka diamankan ke kantor polisi. Hingga kini 20 orang masih ditahan. Foto: AMAN Tana Luwu


Konflik Lahan Luwu Timur, Polisi dan Warga Adat Pamona Bentrok was first posted on July 22, 2014 at 5:11 pm.

Ramai-ramai Serukan Penyelamatan Harimau Sumatera

$
0
0

Salah satu offset harimau barang, bukti kepemilikan satwa liar ini oleh TNI AD di Aceh Tengah. Inilah mengapa perburuan marak, harga offset di pasaran mahal dan penegakan hukum terbilang lemah. Bahkan, jelas-jelas melanggar hukum, malah aparat negara yang menjadi pemilik harimau Sumatera awetan. Foto: Yusriadi

Seratusan massa dari organisasi lingkungan di Sumatera Utara, Minggu sore (20/7/14), menggelar aksi damai menolak perburuan harimau Sumatera. Mereka juga menolak eksploitasi dan perambahan hutan Indonesia.

Kelompok ini dari organisasi penyelamatan harimau Sumatera seperti Tiger Heart, Biopalas, BFS, dan sejumlah mahasiswa lingkungan Univeritas Sumatera Utara (USU).

Mereka menggelar aksi teatrikal yang menceritakan manusia memburu harimau, termsuk menghancurkan hutan tempat tinggal satwa ini. Kostum menyerupai harimau, membuat pengendara motor yang berhenti kala lampu merah memberikan tepuk tangan. Lalu membunyikan klakson mobil dan sepeda motor bersamaan.

Siska Handayani, koordinator Tiger Heart Sumut, mengatakan, aksi ini satu upaya menyadarkan masyarakat, bahwa harimau Sumatera itu sub-spesies terakhir di Indonesia. Setelah harimau Bali dan Jawa punah.“Ini juga memperingati Tiger Day 29 Juli.”

Dia mengatakan, tahun 70-an, populasi harimau Sumatera sekitar 1.000. Namun terus menurun karena perburuan dan konflik degan manusia. Juga pembukaan hutan buat pembangunan dan alih fungsi lahan menjadi sawit, tambang maupun HTI.

Tahun 1992, populasi diperkirakan hanya 400-500 harimau. “Itupun hidup di lima taman nasional, dan dua kawasan lindung,” katanya. Catatan Kementerian Kehutanan, pada 1997, populasi minimal 250 harimau di delapan taman nasional.

Menurut dia, populasi harimau terus menurun, karena perburuan masih terus terjadi. Pemberian sanksi hukum lemah, hingga pelaku tidak jera.

“Ketika pertemuan tingkat tinggi Tiger Summit di St. Petersburg Rusia 2010, dihadiri 13 negara diketahui hampir seluruh bagian tubuh satwa ini bisa diambil dan dijual. Tertinggi dikirim ke China untuk obat-obatan. ”

Di pasaran gelap, bagian kulit, taring dan gigi dikoleksi, dengan harga lumayan mahal. Setidaknya, ada 253 harimau Sumatera diambil dari habitat. “Itu masih 2002, bagaimana kondisi sekarang? Kami pastikan populasi makin turun, ” kata Siska.

Dia berharap, kesadaran semua pihak, baik penegak hukum, pemerintah, maupun masyarakat, untuk tidak memburu harimau Sumatera ini.

Hamdani, mahasiwa USU mengatakan, pemerintah tidak serius menjaga satwa, terlebih yang tergolong terancam punah seperti gajah Sumatera, orangutan, dan harimau. “Tetapi apa? Menteri Kehutanan hanya sibuk kampanye akan dan akan. Di lapagan, terbalik, perburuan meningkat. Mereka sibuk dengan kepentingan individu dan golongan.”

Aksi menuntut penyelamatan habitat harimau Sumatera, sekaligus memperingati Hari Harimau Sedunia di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

Aksi  gabungan menuntut penyelamatan habitat harimau Sumatera sekaligus memperingati Hari Harimau Sedunia di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

 


Ramai-ramai Serukan Penyelamatan Harimau Sumatera was first posted on July 23, 2014 at 7:55 pm.

KPK Didesak Usut Dugaan Korupsi Perampasan Tanah Petani Karawang

$
0
0

Brimob tengah berjaga-jaga di lahan konflik di Karawang usai pembubaran aksi warga Juni 2014. Foto: Indra Nugraha

KPK menangkap Bupati Karawang Ade Swara, dan istri Nur Latifah serta karyawan Agung Podomoro Land (APL), Aking Saputra dan Rajen Diren, kepala Desa Cilamaya beserta tiga orang lain, baru-baru ini.  Penyidik menyita sejumlah uang dalam bentuk dolar Amerika senilai miliaran rupiah. Sehari setelah operasi, dua orang APL dibebaskan. KPK menganggap APL hanya korban pemerasan.

Kalangan organisasi masyarakat sipil menyayangkan pembebasan karyawan APL ini karena diduga erat berkaitan dengan perampasan lahan petani Karawang. “Padahal ini sangat penting. Mereka erat kaitan dengan kasus sengketa lahan petani di Karawang beberapa waktu lalu,” kata Engkos Kokasih, sekjen Serikat petani Karawang (Sepetak), di Jakarta, Minggu (20/7/14).

APL mempunyai sejumlah proyek di Karawang. Salah satu PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP). Lewat SAMP, APL mengeksekusi lahan 350 hektar dari warga di Desa Margamulya, Wanakerta dan Wanasari, Karawang.

Engkos mengatakan, beberapa hari sebelum operasi tangkap tangan, Bupati Karawang mengeluarkan surat edaran memerintahkan APL tidak berkegiatan apapun di lahan eksekusi. Kuat dugaan, surat ini menghambat APL membangun infrastruktur dan dijadikan alat memeras.

“Kami tidak membela bupati. Biar bagaimanapun kasus pemerasan harus diusut. Kami hanya meminta ini tidak berhenti pada pemerasan. Harus diusut alihfungsi lahan lain. Terutama lahan petani di  Desa Margamulya, Wanakerta dan Wanasari.”

Dia melaporkan ini ke KPK. Sepetak mendesak KPK serius mengusut dugaan suap antara PN Karawang, Kapolres Karawang hingga Polda Jabar dalam eksekusi lahan itu.

“Tertangkapnya Bupati Karawang dan istri sangat erat kaitan dengan kasus pertampasan tanah petani. Kami meminta KPK tidak memandang kasus ini secara linear soal pemerasan. Sampai kini tidak ada satupun APL ditangkap. APL bisa dinyatakan pihak yang bertanggungjawab dalam perampasan tanah rakyat,” katanya.

Engkos berharap, kasus Bupati Karawang menjadi pintu pembuka menyelidiki perampasan tanah petani. “Sekaligus menyidik kasus-kasus alih fungsi lahan lain yang merugikan masyarakat.”

Dalam putusan pengadilan, APL dinyatakan berhak atas 70 hektar tetapi eksekusi 350 hektar. Kuat dugaan ada kongkalikong.

“APL bisa mengerahkan 7.000 Brimob dan Dalmas. Tak mungkin kalau tak ada permainan. Sampai kini aparat masih berjaga. Ini teror. Beberapa waktu lalu kami melaporkan ke Mabes Polri dan Kompolnas. Tidak ada tanggapan sama sekali.”

Aksi petani di Mabes Polri mendesak agar Kapolri menarik ribuan aparat kepolisian yang berjaga-jaga di laha n sengketa. Kini warga terusir. Foro: Indra Nugraha

Iwan Nurdin, sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengapresiasi langkah KPK. Namun dia berharap penyidikan kasus tidak berhenti di persoalan suap.

Menurut dia, persoalan izin tata ruang yang melibatkan APL tetapi perusahaan hanya dianggap korban pemerasan bupati. “Padahal kita tahu APL terlibat langsung penggusuran lahan petani di tiga desa seluas 350 hektar.”

KPK, katanya, harus menyelidiki kejanggalan dalam proses eksekusi lahan itu. Bertahun-tahun, PN Karawang menyatakan tanah tidak bisa dieksekusi karena masih ada tumpang tindih. Namun, tak lama setelah SAMP diakusisi APL, eksekusi dilakukan. “Ganjil lagi, PN Karawang baru menjabat dua minggu. Begitu juga Kapolres Karawang baru menjabat. Ada dugaan suap untuk memuluskan proses eksekusi lahan.”

Saat ini,  petani Karawang hidup dalam ketakutan. Aparat terus berjaga. “Petani diberi kesempatan bertahan hingga lebaran. Setelah itu, info yang saya dapat akan ada eksekusi lanjutan.”

Padahal,  gugatan masyarakat masih berlangsung. APL juga tidak bisa menunjukkan batas-batas wilayah secara jelas. “Pihak yang ditangkap KPK orang-orang sama. Bupati dan APL. Kuat dugaan juga terkait perampasan tanah petani. Ini harus terus ditelusuri,” kata Iwan.

KPA mendesak pencopotan Kapolres Karawang, Kapolda Jabar dan ketua PN Karawang. KPA meminta pemerintah segera menyelesaikan berbagai konflik agraria.

Tama S Langkun, Divisi Investigasi ICW mengatakan hal sama. Dia berharap pengusutan kasus tak berhenti soal pemerasan.  “Betul ada pemerasan. Ada masalah lain harus diselidiki KPK. Perampasan tanah dari 70 hektar menjadi 350 hektar perlu diusut. Ini persoalan pemberantasan korupsi.”

 


KPK Didesak Usut Dugaan Korupsi Perampasan Tanah Petani Karawang was first posted on July 24, 2014 at 4:31 pm.

Hutan Lindung di Simalungun dan Toba Samosir Mulai Terbakar

$
0
0

Kebakaran hutan di Tanjung Leban, salah satu dari puluhan ribu titik api yang muncul di Indonesia akibat pembukaan lahan, pada awal 2014. Memasuki kemarau tahun ini, hutan lindung di beberapa kabupaten di Sumatera Utara mulai mengalami kebakaran, bahkan menjalar ke kebun-kebun warga. Foto: Greenpeace Indonesia

Pembukaan lahan di kawasan hutan lindung di Simalungun dan Toba Samosir, di Sumatera Utara, diduga kuat menjadi penyebab kebakaran sejak Senin (21/7/14) hingga Rabu siang (23/7/14). Kebakaran terjadi di hutan Tarutung, di Desa Aekbolon dan Desa Sihail-hail, Tobasa dan hutan Register II Sibatu Loting di Nagori Sibaganding, Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Simalungun.

Data Mongabay, dari Dinas Kehutanan Simalungun menyatakan, luas kawasan hutan hangus dilalap sijago merah mencapai 10 hektar lebih. Lalu, peladangan dan 12 hektar lahan milik masyarakat adat desa di  Nagori Sibaganding, Girsang Sipangan Bolon, turut terbakar.

Menurut kesaksian sejumlah masyarakat adat Sipangan Bolon, kebakaran karena ada pembukaan lahan di hutan register. Pelaku dibayar pemodal membuka lahan dengan izin pengelolaan kawasan hutan dari Dinas Kehutanan Simalungun.

“Ada 30 orang datang ke desa kami untuk membuka lahan menjadi perkebunan sawit dan cengkih. Yang saya bingungkan inikan kawasan hutan lindung, mengapa dijadikan perkebunan sawit. Mereka menggunakan truk. Ada yang menunjukkan surat izin pengelolaan kawasan hutan berstempel Dinas Kehutanan Simalungun, ” kata Albert Simamora, tokoh adat Sipangan Bolon, Rabu (23/7/14).

Senada disampaikan warga desa lain, Janji Marbun. Dia sempat marah, karena ada yang membuka lahan menyebabkan asap tebal menyelimuti desa mereka. Kemarau yang menyebabkan kekeringan hingga api cepat menjalar ke lahan perkebunan mereka.

Beruntung kebakaran tidak menjalar, dan pelaku berhasil diusir.  “Sebagai pemuda adat Batak, saya marah karena mereka datang ke desa kami untuk membakar hutan. Mereka gak berani lagi datang,” kata Marbun.

Tak hanya Simalungun, kebakaran hutan juga terjadi di Tobasa. Di wilayah ini, kebakaran ditaksir sekitar 18 hektar. Asap tebal sempat menutupi jalur lintas Sumatera hingga ke wisata Danau Toba, Parapat.

“Rabu pagi api masih terlihat. Ada pembukaan lahan oleh sekelompok pemuda, pura-pura mabuk dan membakar hutan,” kata Hendran Simanungkalit, pemuda adat Tarutung. Dia baru turun dari kawasan hutan yang terbakar.

Dari pendataan, kayu yang terbakar seperti nira, mahoni dan kayu alam lain. Area hutan ini rimbun dan hijau, pada Rabu pagi terbakar.

Dia menilai, kebakaran ini karena ketidaktegasan pemerintah daerah menjaga kelestarian alam dan hutan. Hingga pemodal berani mengeluarkan uang membuka kawasan hutan lindung menjadi perkebunan sawit dan ekaliptus.

Imman Nainggolan, kepala Dinas Kehutanan Simalungun mengatakan, api menyebabkan kebakaran pertama kali muncul di Hubuan, Dusun Swallan, Nagori Sibaganding. Namun dia membantah kebakaran karena pembukaan lahan.

“Kebakaran karena ada unsur kesengajaan oleh pria mabuk dan membakar lahan. Api cepat menjalar ke kawasan lain karena cuaca kemarau.”

Dalam kasus ini, pihaknya sudah membuat laporan resmi ke Kepolisian Resort Simalungun. “Ada satu orang dilaporkan.”

Ipda J Gultom, kanit Reskrim Polsek Parapat, mengatakan, sudah mengamankan tersangka, Budi RS, warga Hubuan, Dusun Swallan, Nagori Sibaganding, Girsang Sipangan Bolon. Tersangka diamankan dari gudang penyimpanan kapal di Swallan, Sipangan Bolon.

“Masih kita sidik siapa yang diduga membakar hutan ini. Satu orang sudah kita amankan.”

Menurut penjelasan masyarakat adat Batak Toba Samosir dan Simalungun, di dua lokasi hutan yang terbakar itu, warga turun temurun memanfaatkan aliran air dari hutan untuk keperluan irigasi sawah dan ladang. Karena kondisi hutan mulai gundul, air juga makin berkurang.

 


Hutan Lindung di Simalungun dan Toba Samosir Mulai Terbakar was first posted on July 27, 2014 at 9:34 pm.

MA Putuskan Penunjukan Kawasan Hutan Sumut Langgar UU

$
0
0
Para petani kemenyan di Pandumaan-Sipituhuta, Humbahas, menjadi salah satu korban penunjukan kawasan hutan  hingga wilayah adat mereka masuk dalam konsesi perusahaan. Mudah-mudahan putusan MA ini memberikan angin segar bagi terwujudkan hutan adat mereka. Foto: Ayat S Karokaro

Para petani kemenyan di Pandumaan-Sipituhuta, Humbahas, menjadi salah satu korban penunjukan kawasan hutan hingga wilayah adat mereka masuk dalam konsesi perusahaan. Mudah-mudahan putusan MA ini memberikan angin segar bagi terwujudkan hutan adat mereka. Foto: Ayat S Karokaro

Majelis hakim Mahkamah Agung memutuskan penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara seluas 3.742.120 hektar melanggar Undang-Undang Kehutanan. Gugatan soal SK Menteri Kehutanan Nomor 44/Menhut-II/2005 dilayangkan Mangindar Simbolon, Bupati Samosir; Torang Lumban Tobing, kala itu Bupati Tapanuli Utara—kini sudah habis masa jabatan– dan Sintong Maruap Tampubolon, ketua Forum Peduli Bona Pasogit.

Sintong Maruap Tampubolon, mengatakan, sudah menerima salinan putusan gugatan uji materi yang memenangkan mereka. Dari salinan putusan tertanggal 2 Mei 2014, majelis hakim agung dipimpin Paulus Effendi Lotulung, menyatakan, SK Menhut mengenai penunjukan kawasan hutan Sumut sekitar 3.742.120 hektar, bertentangan dengan UU dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam amar putusan MA, menyebutkan, SK Menhut ini, dianggap melanggar UU 19 Tahun 2004 Jo. UU 41 1999 tentang Kehutanan. Ia juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan.

SK Mehut juga melanggar UU 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang. Juga UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Majelis hakim memerintahkan Menhut mencabut SK itu. “Menhut diminta membuat surat keputusan baru, yang memperhatikan RTRW kabupaten/kota, sebagai akibat pemekaran beberapa Kabupaten di Sumut.”

Mangindar Simbolon mengatakan, salah satu alasan mereka menggugat SK Menhut karena aturan itu dianggap tidak memperhatikan RTRW kabupaten/kota di Sumut, khusus daerah-daerah pemekaran.

Dalam SK Menhut itu, ada poin peraturan daerah tentang RTRW, tercantum peraturan daerah Sumut Nomor 7 Tahun 2003 mengenai RTRW Sumut 2003–2018.

“Namun pemekaran kabupaten baru belum termasuk.  Perda Sumut dibuat 28 Agustus 2003,” ucap Simbolon.

Desa Sira Pispis, daerah pemekaran di Kabupaten Samosir yang terimbas  SK 44 Menhut. Foto: Ayat S Karokaro

Desa Sira Pispis, daerah pemekaran di Kabupaten Samosir yang terimbas SK 44 Menhut. Foto: Ayat S Karokaro

Dia mencontohkan, kekeliruan SK Menhut itu, antara lain soal pemekaran dan pembuatan RTRW kabupaten baru.  Ada beberapa kabupaten baru, seperti Humbang Hasundutan (Humbahas).  Dalam SK Menhut butir yang menyebutkan soal RTRW, dianggap suatu hal mustahil. Sebab, Humbahas dimekarkan dari Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) pada 27 Juli 2003. Belum lagi Kabupaten Samosir, dimekarkan pada 18 Desember 2003.

“Ada banyak daerah baru lain, yakni Kabupaten Nias Selatan dan Pakpak Barat. Atas dasar itulah kami gugat SK Menhut ini.”

Putusan MA Dimanfaatkan Mafia Hutan?

Pasca putusan MA ini diduga dimanfaatkan para mafia hutan. Dengan menggunakan warga desa, para penjahat-penjahat kehutanan memberikan uang untuk membuka lahan bahkan di kawasan hutan lindung. Ini terkuak ketika terjadi kebakaran hutan di pegunungan, Kecamatan Baktiraja, Humbahas, awal Juni 2014.

Sejumlah saksi mata kepada Mongabay menyebutkan, kebakaran hutan terjadi karena banyak warga membuka hutan lindung. Mereka bukan penggarap lahan, tetapi warga yang diberi upah oleh tiga oknum pengusaha kehutanan. Mereka membuka lahan untuk sawit dan ekaliptus.

“Ketika kami melarang mereka, ada mandor datang dan mengatakan jika MA sudah memenangkan gugatan. Itukan salah arti. Mereka memanfaatkan putusan itu merusak hutan. Hutan lindung loh. Itu hutan negara. Ini harus disikapi serius. Banyak bandit perusak hutan mengincar hutan,” kata Dame Purba, Aliansi Pemuda Adat Humbahas.

Dia menyebutkan, kebakaran hutan bermula dari jembatan Simangira, Pegunungan Aek Sipangolu dan Binanga Rihit yang berbatasan dengan Kecamatan Muara, Tapanuli Utara.

Houtman Sinaga, mantan Camat Baktiraja, Humbahas, membenarkan kebakaran itu.

 

 


MA Putuskan Penunjukan Kawasan Hutan Sumut Langgar UU was first posted on July 30, 2014 at 9:25 pm.

Jalan Panjang Perda Masyarakat Adat Kajang

$
0
0
Plang tanda wilayah adat Kajang di Bulukumba, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Plang tanda wilayah adat Kajang di Bulukumba, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Subuh itu, minggu pertama Maret 2014. Jam sudah menunjukkan pukul 04.00  tetapi Aula Rumah Makan Agri Bulukumba, Sulawesi Selatan, masih ramai, tak seperti biasa. Suara gaduh  terdengar di  ruangan itu.

“Dengan ini draf akhir Perda Kajang kami nyatakan telah selesai,” kata Junaid Abdillah, kepala Dinas Pariwisata sebagai Tim Perumus Perda. Dia tersenyum memandang sekeliling, lalu mengetuk meja tiga kali. Tepuk tangan riuh memenuhi seisi ruangan.

Saat itu, berlangsung pertemuan informal terbatas terkait finalisasi draf akhir Peraturan Daerah tentang Pengukuhan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang.

Belasan orang hadir dalam pertemuan itu. Dari pemerintah hadir Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Kehutanan dan Bagian Hukum Pemda Bulukumba. Ada perwakilan AMAN Sulsel, LSM Balang, dan Cifor. Beberapa perwakilan masyarakat adat Ammatoa juga turut terlibat.

Semua orang tampak lelah, namun terlihat lega. Merekapun bersiap-siap tidur, setelah sepanjang malam berdebat panjang membahas finalisasi draf ini.

Sebenarnya, kegiatan itu lanjutan dari dua pertemuan hari sebelumnya. Pada kali pertama, 5 Maret, pertemuan persiapan seminar, 6 Maret seminar, terakhir menyamakan berbagai pertentantang persepsi hingga finalisasi.

Muhammad Arman, koordinator Divisi Hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, mengatakan, pertemuan ini sangat penting, karena sudah ada titik temu dari sejumlah pertentangan-pertentangan selama ini. Bahkan sempat muncul isu perpecahan antara tim perumus sendiri dan ada ancaman AMAN mundur dari penyusunan perda ini.

“Sudah ada titik temu kesepakatan. Ini kemajuan besar bagi tim penyusun,” katanya.

Pertemuan ini berakhir dengan kompromi-kompromi antara berbagai pihak. Meski demikian, kata Arman, kompromi itu lahir bukan serta merta demi memaksakan perda. Namun, berbagai hal yang selama ini masih kabur menjadi terang benderang.

Dia mencontohkan, terkait judul. Sebelumnya,  kata “pengukuhan” ditolak keras oleh AMAN yang bersikukuh dengan kata “perlindungan.” Akhirnya, sikap AMAN melunak dengan suatu asumsi keberadaan perda ini mengatur subyek hukum khusus, yaitu masyarakat adat Ammatoa. Hingga hanya penetapan bukan pengaturan.

Pertentangan cukup alot terkait konsideran ‘menimbang’. Jika pada draf perda sebelumnya, pemerintah memasukkan Pasal 67 dari UU Kehutanan sebagai salah satu sumber hukum. Pemerintah daerah melunak dan sepakat menghapus Pasal 67 dari konsideran ‘menimbang’ dan memasukkan landasan filsofos, sosiologi dan yuridis usulan dari AMAN.

Dengan finalisasi ini, draf segera diserahan ke bupati lalu ke DPRD untuk dibahas. “Segera diajukan ke Bupati,” kata Junaid.

Pembahasan finalisasi draf ini molor dari jadwal. Pada pertemuan 8 Desember 2013, perda  diperkirakan ketuk palu pada akhir Januari 2014. Namun, berbagai pertentangan jadi batu sandungan. Sejumlah pertemuan kecil non formal antar tim dilakukan.

Menurut Arman, salah satu masalah krusial yang akan muncul terkait perda ini kelak terkait keberadaan pihak ketiga. Termasuk PT London Sumatera (Lonsum),  yang sebagian konsesi masuk kawasan adat Kajang.

“Kita berharap perda ini bagian solusi, bukan malah menimbulkan potensi konflik baru.”

Mencegah berbagai ekses tim ini memutuskan setelah perda lahir, pemerintah daerah segera verifikasi wilayah adat hasil pemetaan partisipatif masyarakat adat Ammatoa Kajang.

Langkah lain, Pemerintah Bulukumba menyurati Menteri Kehutanan agar hutan adat Bulukumba seluas 313 hektar segera menjadi hutan adat. Selama ini,  masuk hutan produksi terbatas yang dikuasai negara.

Proses di DPRD dinilai menjadi tantangan terbesar karena berbagai kepentingan politis. Sardi Razak, ketua AMAN Sulsel, menilai, tahapan di DPRD paling krusial dan harus dikawal dan diawasi.

Kala pertemuan sebelumnya, katanya, masih belum ada kepentingan pragmatis karena antartim yang saling memahami.

“Ini akan menjadi sulit ketika di DPRD. Banyak kepentingan politik dan ekonomi akan masuk, termasuk kepentingan Lonsum, yang mungkin merasa dirugikan dengan perda ini.”

Warga adat Kajang, yang ketata menjaga alam hingga hutan terjaga dengan baik. Foto: Wahyu Chandra

Warga adat Kajang, yang ketat menjaga alam hingga hutan terjaga dengan baik. Foto: Wahyu Chandra

Menjaga alam

Masyarakat adat Ammatoa Kajang dikenal sebagai komunitas yang mempertahankan nilai-nilai leluhur. Kini, populasi penduduk Ammatoa Kajang sekitar 8.563 orang. Mereka hidup dalam kawasan yang disebut Ammatoa.

Masyarakat adat Kajang, menolak segala bentuk modernisasi, termasuk teknologi, listrik, pakaian berlebihan dan gaya hidup modern lain. Bangunan rumah warga sangat sederhana. Tak ada perbedaan mencolok antara rumah satu dengan yang lain, bahkan rumah pemimpin adat mereka, Amma Toa.

Jalanan di kawasan sekitar 331 hektar itu dibangun tanpa aspal. Penduduk tidak menggunakan alas kaki dan identik dengan pakaian berwarna hitam, umumnya berasal dari bahan tenunan sendiri. Pewarnapun alami.

Masyarakat Ammatoa Kajang dikenal dengan kepedulian terhadap alam. Mereka menentang eksploitasi hutan untuk komersialisasi. Penebangan hutan hanya untuk keperluan tertentu mendesak. Itupun harus mengikuti ritual tertentu.

Bagi masyarakat Kajang, hutan adalah sumber kehidupan yang harus mereka jaga dan pertahankan. Kelestarian hutan dinilai sebagai prasyarat agar suplai air tetap terjamin.

Tak heran jika di kawasan ini memiliki kondisi hutan sangat asri. Beberapa pohon tumbuh menjulang tinggi dan besar, kemungkinan sudah berumur ratusan hutan. Berbagai fauna endemik, seperti aneka macam jenis burung masih mudah ditemukan di tempat ini. Kondisi air sangat alami, bersih dan jernih. Konon tak pernah kering bahkan di musim kemarau paling parah sekalipun.

 Kesadaran pemerintah daerah

Ide perda masyarakat Kajang ini digagas Pemerintah Kabupaten Bulukumba, sejak 2008. Namun tersendat-sendat. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Mei 2013 yang menguatkan hak adat lewat hutan adat bukan hutan negara, barulah pembahasan intens kembali.

Misbawati A Wawo, kepala Dinas Kehutanan Bulukumba, mengatakan, pemerintah Bulukumba sudah lama memikirkan rencana ini karena menyadari penting ada regulasi khusus masyarakat Kajang.

“Kalau hutan bisa lestari dengan keberadaan masyarakat adat kenapa kita tidak jaga? Harus ada pemberian pengakuan melalui perda masyarakat adat. Perda ini diperlukan. Itu yang mendorong kami menyusun perda sejak 2008,” ujar dia.

Hal sama diakui Baso Tanriawo, tokoh adat Ammatoa Kajang. Dia juga  DPRD Bulukumba. Dia memiliki harapan besar dengan perda ini. Harapannya,  bisa mengangkat harkat dan martabat masyarakat Kajang, sekaligus memperkenalkan kekayaan khazanah budaya Ammatoa Kajang kepada dunia.

“Kekayaan budaya Ammatoa Kajang tak terpengaruh modernisasi. Ini  harus diakui dan dilindungi melalui regulasi daerah.”

Baso berharap, perda ini mampu menjawab perlindungan hak tanah dan pengolahan sumber daya alam, hak atas pembangunan, hak spiritualitas dan kebudayaan.

“Ini perlu dilindungi dan diakui.”

Arman berharap, kehadiran perda perlindungan masyarakat adat Kajang mampu menjawab tiga hak mereka, meliputi penghargaan hak, perlindungan hak, dan pemenuhan hak (trias obligation) dari pemerintah.

Ide Perda Kajang telah lama bergulir. Menurut Arman, sebelum pembentukan tim perumus perda, jauh hari sudah berkali-kali pertemuan-pertemuan kecil di antara berbagai pihak. Beberapa pihak sedari awal terlibat diskusi ini antara lain pemerintah daerah Bulukumba, masing-masing Dinas Kehutanan, Dinas Pariwisata dan Bagian Hukum Pemda dan DPRD. Ikut terlibat juga perwakilan Cifor, AMAN Sulsel dan LSM Balang. Di sejumlah pertemuan bahkan dihadiri PB AMAN dari Jakarta.

Warga adat Kajang, kala membahas pemetaan partisipatif wilayah adat. Kini, mereka tengah menanti pembahasan peraturan daerah untuk perlindungan komunitas adat Kajang. Apakah peraturan ini akan mampu memberikan perlindungan hak-hak mereka?  Foto: Wahyu Chandra

Warga adat Kajang, kala membahas pemetaan partisipatif wilayah adat. Kini, mereka tengah menanti pembahasan peraturan daerah untuk perlindungan komunitas adat Kajang. Apakah peraturan ini akan mampu memberikan perlindungan hak-hak mereka? Foto: Wahyu Chandra

AMAN Sulsel dari awal mengusulkan regulasi bentuk SK Bupati. “Dengan SK sebenarnya lebih mudah. Kami mendorong ke pembuatan SK itu. Namun, diskusi terus berkembang, sebagian besar peserta diskusi, khusus kalangan pemerintah, justru mendorong regulasi lebih tinggi dalam bentuk perda.”

Pada diskusi awal, kata Arman, pembahasan cukup alot pada masalah wilayah masyarakat adat. Pemerintah Bulukumba membatasi wilayah hanya pada kawasan Kajang Dalam dan mengabaikan eksistensi masyarakat adat di luar kawasan.

Namun, diskusi internal tim sangat dinamis. Akhirnya menyepakati wilayah adalah daerah Kajang keseluruhan, di Bulukumba, mencakup 22 ribu hektar di Kecamatan Kajang. Lalu sekitar 2.000 hektar di Kecamatan Bulukumba serta Ujungloe. Wilayah Kajang Kabupaten Sinjai, tidak termasuk dalam pengaturan ini.

Pada 15 Juli 2013 dilakukan pertemuan tim resmi pertama kali. Tim ini dibentuk melalui SK Bupati.  “Sebuah catatan penting dalam pembuatan naskah perda ini karena disusun banyak pihak. Tidak seperti perda lain yang disusun satu dua orang. Ini diakui Pemda dan DPRD.”

Penyusunan naskah dibagi pada masing-masing tim. AMAN  menangani kerangka hukum, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam kebijakan daerah maupun nasional.

Untuk Cifor dan LSM Balang bertugas penelitian lapangan. Sedangkan Pemerintah Bulukumba, berperan menjelaskan situasi lokal Bulukumba dan Kajang.

“Bagian-bagian ini digabung jadi satu dan disusun dalam draf nol. Draf nol ini masih juga dibahas pada diskusi internal.”

Dengan SK Bupati, tim mulai bekerja maraton. Hasilnya, tim mampu menyelesaikan draf naskah akademik dan draf ranperda. Ini terus dimatangkan dalam pertemuan-pertemuan informal terbatas.

“Dari beberapa kali diskusi intens, disepakati bersama sudah tidak ada lagi hal yang perlu dipermasalahkan,” kata Arman.

Pada diskusi terakhir, 8 Desember 2013, antara lain membahas bagaimana draf masuk ke DPRD Bulukumba, dan perlu pengawasan tim penyusunan. Tim penyusun boleh terlibat dalam pengawalan di DPRD.

Pertemuan 8 Desember 2013 bukan tanpa riak. Berbeda dengan harapan sebelumnya, dalam konsultasi publik ini, sejumlah hal subtansial yang dianggap tuntas ternyata muncul belakangan. Misal, permasalahan nama yang tepat untuk perda ternyata menjadi pertentangan. Sebelumnya, disepakati Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Kajang, diganti menjadi ‘pengukuhan.’

Bagi AMAN istilah pengukuhan ini awalnya dinilai janggal. Ia mengesankan dominasi pemerintah terhadap eksistensi masyarakat adat. “Kami beralasan peran pemerintah dalam masyarakat adat itu tidak lagi mengukuhkan. Tanpa pemerintah pun masyarakat adat itu sudah ada dan akan tetap ada. Pemerintah tidak dalam kapasitas mengukuhkan.”

Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra

Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra

Sempat terjadi deadlock terkait penggunaan istilah ini. Dari Dinas Kehutanan enggan berkomentar. Beberapa pihak dari masyarakat Kajang dan DPRD terlihat frustasi. “Biarlah permasalahan ini akan dikomunikasikan lagi pada diskusi internal tim nanti,” kata Arman.

Masalah lain, dalam draf konsultasi publik ini, banyak berubah dari yang disepakati sebelumnya, seperti satu kausal khusus  terkait kewajiban pemerintah daerah dalam perlindungan masyarakat adat. Jika draf awal terdapat tiga pasal menjelaskan kewajiban pemerintah daerah melindungi hak-hak masyarakat adat, kini semua pasal dihilangkan.

“Kami dari tim AMAN menilai subtansi perda ini justru terletak pada ketiga pasal itu. Roh di situ. Sangat penting ada satu bab atau pasal tersendiri mengatur kewajiban pemerintah daerah.”

Mengapa? Hal ini didasari pengalaman di lapangan, betapa pemerintah abai terhadap perlindungan hak masyarakat adat jika tanpa aturan.

Tim pemerintah justru mengusulkan ada bab tugas dan wewenang. Namun, pemerintah daerah justru mendefinisikan bab usulan tentang tugas dan wewenang sebagai tugas dan kewajiban. “Padahal keduanya sungguh berbeda. Permasalahan ini masih akan dibicarakan dalam waktu dekat ini.”

Pertentangan lain terkait keberadan tim mediasi konflik,  terkait pihak yang menengahi, andai masyarakat adat memiliki konflik dengan perusahaan.

Tim AMAN mengajukan untuk membentuk tim mediasi permanen. Tim mediasi akan bekerja sekitar 2-5 tahun. Anggota tim mediasi ini diseleksi terlebih dahulu oleh pemerintah. Orang-orang yang masuk yang memiliki integritas. Mesti ada utusan masyarakat ada yang menjadi anggota.

Pembentukan tim mediasi konflik bisa membantu mengatasi masalah dan tidak melibatkan tim advokasi karena khawatir memiliki kepentingan sendiri.

AMAN mengharapkan, tim mediasi difasilitasi pemerintah daerah. Kemudian memiliki hak memanggil orang atau pihak bermasalah untuk mediasi.

Pertentangan ini, katanya, jauh hari sudah dikhawatirkan AMAN.  Mereka beranggapan tidak perlu terburu-buru mengesahkan Perda Kajang.

“Kami sebenarnya lebih memprioritaskan pada substansi perda. Seandainya disahkan tanpa memandang subtansi, khawatir hanya bersifat deklaratif. Dimana hilangnya tanggung jawab pemerintah. Itu kami khawatirkan betul dari awal.”

Meski demikian Arman tetap optimis, perda ini bisa tetap disahkan sesuai jadwal. “Semua isu perpecahan dalam tim semoga bisa diselesaikan dalam pertemuan informal. Kita berhadap ketiga pasal subtansial sebagai roh perda ini bisa tetap dipertahankan.”

Misbawati enggan berkomentar banyak dengan protes AMAN. “Prosesnya masih berlangsung. Kita lihat saja nanti.”

Tokoh masyarakat adat, Mansyur Embas, yakin segala kebuntuan dalam penyusunan akhir perda ini terselesaikan dengan baik.

Hutan produksi terbatas yang dibuat pemerintah ini mengambil sebagian wilayah adat Kajang. Kawasan hutan inipun  sebagian telah menjadi 'milik' perusahaan atas izin  pemerintah pusat. Foto: Wahyu Chandra

Hutan produksi terbatas yang dibuat pemerintah ini mengambil sebagian wilayah adat Kajang. Kawasan hutan inipun sebagian telah menjadi ‘milik’ perusahaan atas izin pemerintah pusat. Foto: Wahyu Chandra


Jalan Panjang Perda Masyarakat Adat Kajang was first posted on July 31, 2014 at 5:32 pm.

Lahan Gambut di Rasau Jaya Mulai Terbakar

$
0
0
Nenas milik Sulin yang terbakar bersama tanaman-tanaman lain seperti rambutan, tabu sampai sawit di Desa Rasau Jaya, KKR. Foto: Sapariah Saturi

Nenas milik Sulin yang terbakar bersama tanaman-tanaman lain seperti rambutan, tabu sampai sawit di Desa Rasau Jaya, KKR. Foto: Sapariah Saturi

Sulin tampak lelah pagi itu. Sesekali dia menyeka peluh di dahi.  Pria paruh baya ini baru saja dari kebun. Dia mencangkul membuat pembatas sambil menyirami tanaman. Harapannya, rumah dan tanaman yang tersisa tak terbakar.

Lebih sepekan ini, berhektar-hektar kebun warga di Sekunder C, Desa Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, terbakar, termasuk kebun Sulin.

Di kebun Sulin, tampak pohon rambutan tinggal puing-puing. Begitu juga nenas, tebu, bahkan sawit. Sekitar lahan gambut yang terbakar, masih banyak tanaman lain, seperti jagung, karet, dan tebu. Dia khawatir, tanaman yang tersisa pun dilalap api.

“Sudah sekitar 2,3 hektar kebun saya terbakar. Habis rambutan, nenas, sawit, dan lain-lain,” katanya Sabtu (2/8/14).

Dia berusaha menahan kebakaran agar tak meluas dengan membuat parit kecil dan menyirami dengan air. “Tapi tak mampu saya.”

Warga tak hanya khawatir tanaman, tetapi rumah mereka juga terancam. Bara api terus berjalan mendekati pemukiman.

Sulin sudah melaporkan kebakaran ini kepada Manggala Agni, tetapi tak juga mendapat bantuan pemadaman. “Mereka bilang, saya harus lapor ke atasan. Kalau petugas yang lapor tak didengar. Saya tak tahu siapa atasannya. Ginilah, sampai sekarang, kita sendiri yang usaha padamkan.”

Dia berharap, pemerintah daerah segera memberikan bantuan pemadaman kebakaran lahan gambut ini. Menurut dia, warga sudah mengetahui mengenai kebakaran lahan ini. Jadi, dalam membuka lahanpun mereka tak pakai cara membakar. “Kami tahu itu. Tapi tak tahu ini api darimana. Mula-mula dari belakang sana. Angin kuat lalu sampai ke sini,” ujar dia.

Tanaman milik Sulin yang ludes terbakar. Kebakaran terus meluas dan makin mendekati pemukiman warga. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman milik Sulin yang ludes terbakar. Kebakaran terus meluas dan makin mendekati pemukiman warga. Foto: Sapariah Saturi

Sulin tengah menggali tanah membuat pembatas agar kebakaran tak menjalar ke rumah dan tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Sulin tengah menggali tanah membuat pembatas agar kebakaran tak menjalar ke rumah dan tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Kebakaran lahan gambut juga terjadi di Desa Rasau Jaya II dan lebih parah. Dari jalan raya, asap menyelimuti cukup tebal. Sekitar 100 meter dari jalanan, belasan hektar lahan gambut ‘membara.’

Tampak tanaman warga bertumbangan dan tinggal puing-puing. Di kiri kanan jalan setapak menuju kebun dilalap api. Bunyi api memakan pepohonan terdengar kuat, tetapi api hanya tampak sesekali. Hanya panas dan asap tebal menyesakkan nafas.

Rusli, yang memiliki tiga hektar kebun sawit tengah sibuk menyedot air guna menyelamatkan tanamannya yang masih belum terbakar. Dia punya kebun sawit tiga hektar berusia lima tahun, sebagian ada yang berbuah. “Sudah dua hektar habis, tinggal satu hektar ini yang saya usaha jaga,” katanya.

Di bagian lain tampak tanaman jagung, nenas singkong yang hangus. “Ada yang sudah lapor BNPB, katanya hari ini mau datang. Tapi tak jadi. Polisi pun sudah datang tiga orang. Foto-foto lalu pulang.”

Rusli berharap, pemerintah segera memberikan bantuan pemadaman api jika tidak kebakaran akan meluas. “Kebakaran dari Rabu (30 Juli).” Dia juga berharap, hujan turun agar api dan bara padam.

Entah mengapa badan yang mengurus penanggulangan kebakaran lahan dan hutan lamban bergerak. Padahal, Kalimantan Barat, merupakan salah satu daerah yang menjadi prioritas penanganan.

BNPB menyebutkan, ada sembilan provinsi mendapat perlakuan khusus, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Lalu, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.

Taufikurahman, kadaops Manggala Agni Rasau Jaya kala dihubungi  Mongabay, belum bisa berkomentar. “Saya lagi berkendara. Bisa hubungi besok ya.”

Pepohonan yang tumbang dilalap api dan kebakaran yang terus meluas melalap kebun warga di Desa Rasa Jaya. Foto: Sapariah Saturi

Pepohonan yang tumbang dilalap api dan kebakaran yang terus meluas melalap kebun warga di Desa Rasa Jaya. Foto: Sapariah Saturi

Asap tebal diikuti bunyi api memakan dahan terus menjalar di lahan gambut Desa Rasau Jaya II. Kapan pemerintah mulai turun membantu? Foto: Sapariah Saturi

Asap tebal diikuti bunyi api memakan dahan terus menjalar di lahan gambut Desa Rasau Jaya II. Kapan pemerintah mulai turun membantu? Foto: Sapariah Saturi

Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar mengatakan, musim kemarau memang rawan kebakaran hutan dan lahan hingga menyebabkan kabut asap. Terlebih kawasan bergambut seperti di Kalbar, lahan mudah dilalap api dan sulit dipadamkan.

Kebakaran lahan gambut di Rasau, katanya, seharusnya mendapatkan penanganan segera, terlebih warga sudah melaporkan peristiwa itu. “Ini bentuk partisipasi warga guna meminimalisir dampak kebakaran lahan. Penting direspon segera agar kebakaran tak meluas dan tak berkepanjangan.”

Menurut dia, dalam menanggulangi kebakaran lahan dan hutan ini perlu keterlibatan semua pihak. Termasuk, tak membiarkan baik sengaja maupun tidak kebakaran itu.

Selama ini, kebakaran hutan dan lahan, terutama di konsesi perusahaan,  belum mendapatkan perhatian serius, misal penindakan hukum masih lemah.

Belum ganggu penerbangan

Meskipun kebakaran lahan mulai terjadi di sekitar Bandara Supadio Pontianak, seperti di Rasau Jaya, namun belum mengganggu penerbangan. Pantauan Mongabay, pada Sabtu (2/8/14), penerbangan berjalan lancar sesuai jadwal. Menurut petugas di bandara, sudah ada asap sedikit namun belum menggangu penerbangan. Selama Lebaran ini, belum ada penundaan penerbangan karena asap.

Lahan gambut di kebun warga yang dilalap api di Desa Rasau Jaya II. Foto: Sapariah Saturi

Lahan gambut di kebun warga yang dilalap api di Desa Rasau Jaya II. Foto: Sapariah Saturi

Pohon-pohon yang hangus terbakar di Desa Rasa Jaya II. Kebakaran cukup hebata sudah berlangsung empat hari, tetapi belum ada penanganan dari pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Pohon-pohon yang hangus terbakar di Desa Rasa Jaya II. Kebakaran cukup hebata sudah berlangsung empat hari, tetapi belum ada penanganan dari pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Api menyala melalap kebun warga di Desa Rasau Jaya II.  Pohon-pohon pun tampak hangus dan bertumbangan. Foto: Sapariah Saturi

Api menyala melalap kebun warga di Desa Rasau Jaya II. Pohon-pohon pun tampak hangus dan bertumbangan. Foto: Sapariah Saturi

Angin kuat, kebakaran makin meluas di Desa Rasau Jaya II. Pemilik kebun berusaha mandiri mengurangi dampak kebakaran dengan menyirami tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Angin kuat, kebakaran makin meluas di Desa Rasau Jaya II. Pemilik kebun berusaha mandiri mengurangi dampak kebakaran dengan menyirami tanaman. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman jagung warga mulai terbakar. Meskipun hanya asap tebal yang tampak, namun bara api berjalan dan terus meluas. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman jagung warga mulai terbakar. Meskipun hanya asap tebal yang tampak, namun bara api berjalan dan terus meluas. Foto: Sapariah Saturi


Lahan Gambut di Rasau Jaya Mulai Terbakar was first posted on August 2, 2014 at 7:27 pm.

Kala Penolakan Reklamasi Teluk Benoa Makin Meluas, Mengapa?

$
0
0

Baliho Bali Tolak Reklamasi yang dipasang warga di berbagai desa di Bali. Mereka khawatir bencana bakal mendera, dari banjir sampai abrasi kala reklamasi dijalankan. Foto: Anton Muhajir

Minggu (3/8/14), tiga baliho baru muncul di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Baliho-baliho itu dipasang di tiga titik yaitu Jalan Raya By Pass Ngurah Rai, pertigaan Jalan Toyaning, dan depan pertokoan Benoa Square.

Baliho ketiga dipasang dengan iringan demonstran. Sekitar 100 warga, laki-laki dan perempuan, berpakaian adat madya mengiringi pemasangan baliho ini. Berkaos putih bertuliskan,”Kedonganan Tolak Reklamasi.”

Berjalan sekitar 200 meter dari pertigaan Jalan Toyaning ke Benoa Square, warga bernyanyi dan berorasi. Musik tradisional bleganjur dan lagu-lagu Tolak Reklamasi mengiringi perjalanan.

“Reklamasi….” teriak koordinator lapangan I Dewa Ketut Subamia berdiri di mobil terbuka.

“Tolaaaaak,” sahut warga bersamaan.

Mereka mengepalkan tangan kiri ke udara.

Kedonganan, salah satu desa yang mengelilingi Teluk Benoa. Ada pula desa lain seperti Desa Serangan, Tuban, Kelan, Bualu, dan lain-lain. Desa-desa ini mengelilingi kawasan teluk sekitar 1.373 hektar.

Lokasi Teluk Benoa strategis hingga menjadi incaran banyak investor. Salah satu PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Perusahaan akan membangun pusat pariwisata sekelas Walt Disney. Untuk mewujudkan itu, perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan mereklamasi teluk seluas 800 hektar.

Niat TWBI menimbulkan ketakutan pada warga desa sekitar Teluk Benoa. “Kami tidak mau daerah kami kebanjiran,” kata I Gede Sudiana, ketua Forum Pemerhati Pembangunan Bali (FPPB) Desa Kedonganan.

Tak hanya itu. Reklamasi akan mematikan kehidupan nelayan. Ada sekitar 200 warga Kedonganan menjadi nelayan di Teluk Benoa. Pembangunan pusat pariwisata baru di Teluk Benoa, katanya, juga akan mematikan sumber pendapatan warga. Kedonganan,  selama ini menjadi pusat restoran khas ikan laut. Restoran-restoran milik warga berderet di sisi barat pantai yang menghadap ke arah Bandara Ngurah Rai Bali itu.

“Kalau ada pusat pariwisata baru, apalagi didukung kapital lebih besar, kami yakin tempat wisata kami akan mati, kalah bersaing.”

Pemerintah Badung dan Bali,  harus menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. “Kami tidak menolak pariwisata. Kami hanya berharap pembangunan pariwisata dikembangkan ke daerah lain di Bali seperti bagian timur atau utara. Bali Selatan sudah penuh fasilitas pariwisata,” katanya.

Warga Desa Kedonganan, Bali, aksi tolak reklamasi Teluk Benoa, Jika reklamasi terjadi, salah satu dampak 200 an nelayan terancam kehilangan tempat hidup. Foto: Anton Muhajir

Warga Desa Kedonganan, Bali, aksi tolak reklamasi Teluk Benoa, Jika reklamasi terjadi, salah satu dampak 200 an nelayan terancam kehilangan tempat hidup. Foto: Anton Muhajir

Takut Abrasi

Sebelumnya, penolakan muncul dari Desa Tanjung Benoa, Kelan, Sanur, Suwung, dan Sukawati. Penolakan itu dikoordinir para pemuda.

Di Desa Kelan, di sebelah Bandara Ngurah Rai, misal, muncul baliho di pinggir jalan. Tulisannya,” Desa Kelan Menolak Reklamasi. Melawan atau Tenggelam.”

Di Suwung, baliho serupa di pinggir Jalan By Pass Ngurah Rai. “Jangan Tenggelamkan Kami Bapak Presiden SBY. Bali Tolak Reklamasi Batalkan Perpres No. 51/2014.” Tak beda di Sukawati, Gianyar, berjarak 20 km dari Teluk Benoa.

Kadek Tila, pemuda pemasang baliho menuturkan, menolak reklamasi karena khawatir desa akan kena abrasi. “Sekarang sudah abrasi, apalagi kalau reklamasi jadi,” kata Tila, pemilik agen perjalanan.

Menurut Tila, desa-desa di sisi selatan Gianyar rentan terkena dampak reklamasi Teluk Benoa. Pantai-pantai selatan di kecamatan ini antara lain Pantai Ketewel, Purnama, dan Lebih,  bisa terkena abrasi parah.

Hingga awal 1990-an, pantai di daerah ini masih menjorok ke lautan. Begitu ada reklamasi di Pulau Serangan milik PT Bali Turtle Island Development (BTID) milik Bambang Trihatmodjo pada 1994, daerah ini terkena abrasi. Bangunan-bangunan seperti kafe, wantilan, dan rumah warga kini hancur akibat abrasi.

“Jika reklamasi Teluk Benoa, habislah pantai di desa kami. Reklamasi tak hanya mengancam desa-desa di sekitar juga pantai-pantai lain di Bali.”

Penolakan-penolakan warga spontan, seperti di Kedonganan. Ada pula yang berkoordinasi dengan Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali).

Menurut koordinator ForBali Wayan Gendo Suardana, hingga kini ada 13 komunitas Bali yang menyuarakan penolakan.

Komunitas-komunitas ini tersebar di sembilan desa di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. “Suara-suara perlawanan itu menunjukkan reklamasi Teluk Benoa memang masalah bagi warga Bali.”

Spanduk tolak reklamasi yang dipasang warga di beberapa lokasi. Penolakan terus meluas dan berharap pemerintah memperhatikan keluhan warga. Foto: Anton Muhajir

Spanduk tolak reklamasi yang dipasang warga di beberapa lokasi. Penolakan terus meluas dan berharap pemerintah memperhatikan keluhan warga. Foto: Anton Muhajir


Kala Penolakan Reklamasi Teluk Benoa Makin Meluas, Mengapa? was first posted on August 4, 2014 at 5:15 am.

Video: Mengeruk Emas dari Perut Bumi Batang Gadis

$
0
0
Tenda-teneda ini berdiri di tengah  hutan yang dijadikan lokasi menambang emas. Ia berada di hutan Hutabargot, Mandaliling Natal. Foto:  Ayat S Karokaro

Tenda-tenda ini berdiri di tengah hutan yang dijadikan lokasi menambang emas. Ia berada di hutan Hutabargot, Taman Nasional Batang Gadis, Mandaliling Natal. Foto: Ayat S Karokaro

Gunung Hutabargot, adalah kawasan hutan yang masuk wilayah Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dari puncak gunung ini, banyak ditemukan gubuk-gubuk atau lebih tepat tenda-tenda ukuran 5×5 meter. Tenda ini tempat para pekerja tambang emas yang biasa menggali ke dalam perut bumi.

Dea Nasution, dari Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Mandailing Natal, mengatakan, hutan Hutabargot, tempat penambangan emas ini masuk TNBG. Artinya, selama bertahun- tahun, terjadi perusakan hutan yang melanggar  UU Kehutanan.

Di hutan ini,  terjadi kerusakan cukup parah akibat tambang emas tradisional yang menggali lubang hingga 100 meter.  Sejak 2013, mereka sudah mengkampanyekan setop penambangan di kawasan hutan lindung ini.

Di  sini, setidaknya ada lebih 20 lubang cukup dalam untuk mencari batu emas.

Usrizal Ahmad, biasa disapa Amang Boru Kocu, mengatakan, jika dihitung emas dengan kerusakan hutan lindung ini, tidak sebanding.

Jika dihitung, setiap hari ada lebih 320 karung dibawa dari gunung untuk proses pemisahan batuan dengan kandungan emas. Karung bebatuan, yang dibuang di hutan sangat banyak.

Jika beruntung, dalam satu karung berisi bebatuan, katanya, ada tiga hingga lima gram emas seharga Rp1,5 juta. Jika 320 karung itu hanya 10 gram emas, dikalikan Rp1,5 juta, nilai hanya sekitar Rp12-Rp15 juta.

“Jika satu bulan gunung dikeruk, berapa nilai uang harus disiapkan buat mengembalikan seperti semula? Apakah Rp100 miliar cukup? Tidak. Belum lagi ekosistem dan satwa hilang,” lata Kocu.

Begitulah tambang emas di Mandailing Natal ini. Eksploitasi tanpa memperhatikan dampak kerusakan lingkungan, bahkan keselamatan pekerja tambang juga mengkhawatirkan.


Video: Mengeruk Emas dari Perut Bumi Batang Gadis was first posted on August 4, 2014 at 9:59 pm.

Bayi Orangutan Berhasil Disita di Aceh, Bagaimana Kondisinya?

$
0
0
Anggota  tim yang mengevakuasi bayi orangutan dari Aceh dan dibawa ke Batu Mbelin,  karantina SOCP. Foto: Ayat S Karokaro

Anggota tim yang mengevakuasi bayi orangutan dari Aceh dan dibawa ke Batu Mbelin, karantina SOCP. Foto: Orangutan Information Centre

Bayi orangutan dengan kondisi malnutrisi dan penuh luka berhasil disita  Tim Human Orangutan Conflict Response Unit milik Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre, bersama petugas Dinas Kehutanan dan Perkebunan Gayo Lues, di Aceh, Selasa (5/8/14).

Bayi orangutan yang diamankan dari Desa Pepelah, Kecamatan Pining, Gayo Lues, Aceh ini langsung dibawa ke karantina sementara di Batu Mbelin, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada Rabu pagi (6/8/14), tim penyelamatan tiba di sana. Bayi inipun diberi nama Pepe.

Panut Hadisiswoyo, direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (OIC), mengatakan, penyitaan Pepe berkat informasi masyarakat. “Setelah dapat informasi kita langsung tancap gas, dan berhasil mengevakuasi bayi orangutan itu.”

Setelah pemeriksaan menyeluruh oleh dokter hewan SOCP, Pepe ternyata menderita dehidrasi dan malnutrisi serius. Ia juga memiliki beberapa luka di wajah dan kaki.

Meskipun beberapa warga mengaku, bayi orangutan ditemukan tergeletak di tanah ditinggal sang induk, namun tim evakuasi tak yakin. Terlebih melihat kesehatan bayi yang menghawatirkan. Diduga kuat, katanya, Pepe terlepas dari pegangan induk yang diburu.

“Tim yakin, luka-luka pada tubuh bayi orangutan, dari serangan orang yang mencoba mengambil dari induk. Lalu jatuh dari pohon. Induk orangutan ditembak hingga terluka dan mungkin mati.”

Beberapa jam setelah perawatan dokter hewan, kondisi Pepe mulai stabil.

Yenny Saraswati, manager Karantina SOCP, mengatakan, kondisi Pepe belum 100 persen stabil. Namun, tim dokter penyelamatan awal dengan memasang infus dan memberikan susu.

Dari pemeriksaan awal, ditemukan bekas luka cukup banyak. Di pipi bagian kiri bengkak dan lebih banyak luka pukulan. Mata kiri bengkak sampai mata kiri tertutup dan sulit dibuka.  Pepe juga luka di bagian kepala hingga sulit menggerakkan atau mengangkat kepala.

“Jika dilihat bentuk luka, kemungkinan terkena pukulan cukup keras pada bagian kepala. Kita masih pantau kesehatannya.”

Kondisi Pepe,  terlihat lemah.Ia mengalami malnutrisi dan luka-luka di beberapa bagian tubuh. Foto: AYat S Karokaro

Kondisi Pepe, terlihat lemah.Ia mengalami malnutrisi dan luka-luka di beberapa bagian tubuh. Foto: Orangutan Information Centre 

 

 


Bayi Orangutan Berhasil Disita di Aceh, Bagaimana Kondisinya? was first posted on August 6, 2014 at 2:14 pm.

Kebakaran Hutan Riau, KLH Usut 26 Perusahaan dalam 2014

$
0
0

Kebakaran lahan. Warga mencoba memadamkan api di Dumai, Riau. Kebakaran hutan dan lahan di Riau, terus terjadi. Namun, tersangka yang dijerat hukum, terutama perusahaan masih sangat sedikit. Foto: Zamzami

Kementerian Lingkungan Hidup tengah menyelidiki 26 perusahaan dengan 29 kasus dugaan kebakaran hutan dan lahan di Riau dalam tahun ini. Kini, penyelidikan dilakukan bersama ahli kebakaran hutan dan lahan serta ahli kerusakan  lingkungan serta pemanggilan saksi dari perusahaan.

Imam Hendargo Abu Ismoyo, plt Deputi V Bidang Penaatan Hukum Lingkungan KLH mengatakan, dari pemeriksaan lapangan terhadap 26 perusahaan ini, ada tiga perusahaan sudah dinaikkan ke tingkat penyidikan. Yakni, PT. TFDI (perkebunan sawit) di Siak, perusahaan HTI PT. SGP di Dumai dan PT. TKWL (perkebunan sawit) di Kabupaten Siak.

Lalu, tiga perusahaan tidak dilanjutkan ke penyidikan karena kepemilikan lokasi yang terbakar tidak jelas. “Satu perusahaan berupa kawasan industri dan satu perusahaan sedang proses penyidikan di Polres Indra Girihilir. Yang lain, penyelidikan lebih lanjut,” katanya dalam rilis kepada media di Jakarta, Rabu (6/8/14).

Dia mengatakan, sampai akhir Juni 2014, sudah 18 perusahaan dengan 67 saksi dimintai keterangan. Dalam penanganan kasus ini, katanya, KLH mengalami berbagai kendala.

Menurut Imam, kendala-kendala itu antara lain, keterbatasan sumber daya penyidik, keterbatasan sarana dan prasarana menuju lokasi kebakaran, sulit menentukan waktu para ahli yang akan diminta keterangan. Selain itu, saksi yang dipanggil kadang tidak hadir hingga penjadualan ulang.

Namun, kata Imam,  KLH segera menyelesaikan penyelidikan dengan ahli kebakaran hutan dan lahan, ahli  kerusakan lingkungan, ahli korporasi pidana dan ahli pidana. Penyidikpun akan memanggil saksi-saksi perusahaan, masyarakat dan pemerintah daerah.

Sedangkan kasus kebakaran hutan dan lahan pada 2012,  yang ditangani KLH ada dua yaitu PT. Kalista Alam (sudah vonis) dan PT. Surya Panen Subur (SPS). Kasus pidana, SPS sedang sidang di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh dan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Kami harapkan dalam waktu dekat diputuskan hakim.”

Untuk tahun 2013, ada tujuh berkas perkara pidana sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung dan satu berkas perkara perdata masih dalam proses penyusunan draf gugatan.

 


Kebakaran Hutan Riau, KLH Usut 26 Perusahaan dalam 2014 was first posted on August 6, 2014 at 11:34 pm.

Soal Amdal Tambang Semen di Rembang, Ini Kata Pakar Hukum Lingkungan

$
0
0

Aktivitas peghancuran pegunungan Kendeng. Foto: GERAM

Warga Rembang, Jawa Tengah, terutama para perempuan, sudah lebih sebulan aksi ‘menduduki’ lokasi yang akan dibangun pabrik PT Semen Indonesia. Mereka menolak tambang karst dan pabrik semen, salah satu karena khawatir sumber mata air hilang. Kehadiran perusahaan juga tanpa sosialisasi kepada warga sekitar. Belum lagi, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) perusahaan keluar tanpa melibatkan masyarakat. Bahkan dokumen lingkungan ini menimbulkan pertanyaan, baik proses maupun pembuatnya.

Terkait masalah Amdal ini, Deni Bram, pakar Hukum Lingkungan Hidup, angkat bicara. Menurut dia, dampak sosial dan ekologis pembangunan pabrik semen di Rembang hendaknya menjadi perhatian serius dalam menetapkan persyaratan dokumen Amdal sebelum izin keluar.

“Amdal, merupakan instrumen ilmiah yang memiliki peran penting saat menggambarkan korelasi antara kaidah ilmiah dan kebijakan penguasa,” katanya, belum lama ini.

Dia mengatakan, sebagai dokumen ilmiah (scientific evidence) pada tataran hulu, Amdal sangat menentukan validitas dan keabsahan kebijakan hukum (legal evidence)  di hilir.

Untuk itu, guna mendorong dokumen lingkungan seperti Amdal memiliki validitas, perlu langkah-langkah atau terobosan progresif pro natura. Pertama, pembentukan pengadilan lingkungan mendesak.  Karena itu, diperlukan segera para ahli hukum yang memahami substansi konsep eco management secara holisitik.

Kedua, mengoptimalkan eksistensi pemerintah selaku pelaksana pemerintahan. Yakni, dengan mengeluarkan regulasi yang mengatur lembaga yang memiliki otorisasi untuk penelitian ekosistem yang sedang proses hukum.  Bisa juga, katanya, menetapkan prasyarat tertentu sebagai tolak ukur lembaga penelitian yang mempunyai validitas dan mengedepankan kaidah–kaidah ilmiah obyektif.

Hakim, kata Deni,  dalam konteks ini akan berfungsi sebagai gatekeeper dalam mengawal keterkaitan ilmiah suatu metode ilmiah dengan sengketa yang diadili.

Ketiga, perlu optimalisasi dan proses perenungan mendalam terkait peran perguruan tinggi, sebagai salah satu pilar penting kehidupan berbangsa dan bernegara. Perguruan tinggi, menyandang tugas Tri Dharma hendaknya bisa memberikan andil dan menjadi pioneer dalam penelitian–penelitian dengan validitas tinggi. “Hingga kualitas penelitian juga terjamin secara ilmiah.” Jangan sampai terjadi,  seperti disebutkan dalam karya Julian Benda,”Pengkianatan Kaum Cendekiawan.”

Sejak Senin (16/6/14) hingga hari ini perlawanan warga tak surut. Warga masih bertahan di tenda aksi. Pada pertengahan Mei 2014 itu, tak kurang 500-an warga desa aksi menolak tambang karst dan pembangunan pabrik SI)di Kawasan Gunung, Kendeng, Rembang Jawa Tengah. Mereka mengalami kekerasan dari aparat TNI/Polri. Bahkan, tujuh warga sempat diamankan.

Warga protes karena tidak mendapatkan sosialisasi ataupun informasi seputar tambang dan pembangunan pabrik itu. Penolakan sudah dilakukan sejak awal tetapi tak mendapatkan tanggapan.

Sebelum itu, pada 25 Mei 2014, kalangan tokoh agama terkemuka di Jateng juga menolak rencana pembangunan pabrik ini. Mereka antara lain, K.H. A. Mustofa Bisri, K.H. Yahya Staquf, K.H. Zaim Ahmad Ma’sum,  K.H. Syihabuddin Ahmad Ma’sum,  K.H. Imam Baehaqi dan K.H. Ubaidillah Ahmad.

Dikutip dari website Omahkendeng, menyebutkan, diadakan istighosah atau doa bersama di tapak pabrik Semen Indonesia, hutan Perhutani KPH Mantingan, Rembang. Dalam istighosah ini, warga delapan desa yakni, Suntri, Tegaldowo, Bitingan, Dowan, Timbrangan, Pasucen, Kajar, dan Tambakselo, sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang.

Istighosah ini dibarengi pertemuan di Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang pada 25 Mei 2014 dihadiri berbagai organsisasi. Antara lain, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Pengurus NU Rembang, Lasem, Pondok Pesantren Ngadipurwo Blora, Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam.

Pertemuan ini sepakat menolak penambangan dan pendirian pabrik semen di Rembang dengan berbagai alasan, seperti temuan ratusan mata air, gua, dan sungai bawah tanah yang masih mengalir dan mempunyai debit bagus. Lalu fosil-fosil sampai RTRW Jateng yang dilanggar.

Tambang ini dinilai melanggar prinsip kaidah fikih “dar’ul mafasid muqoddamun ‘ala jalbil mashalih.” Bahwa, kerusakan lingkungan akibat pembangunan pabrik semen lebih besar daripada manfaat.

Kendaraan berat bermuatan adukan semen hilir mudik melewati tenda perjuangan warga warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang , Jawa Tengah. Foto : Tommy Apriando.


Soal Amdal Tambang Semen di Rembang, Ini Kata Pakar Hukum Lingkungan was first posted on August 8, 2014 at 7:11 pm.

Wow! Singapura Bakal Denda Perusahaan Penyebab Kabut Asap

$
0
0

Sisa hutan dan lahan gambut yang hangus terbakar di Jurong, Desa Bonai, Kabupaten Rokan Hulu Riau terlihat pada 24/6/13. Foto: Zamzami

Tampaknya, Singapura trauma dengan kabut asap yang menyelimuti negeri mereka tahun lalu dari kebakaran hutan dan gambut di Sumatera, Indonesia. Merekapun berupaya agar kabut asap bisa dicegah. Caranya? Baru-baru ini, parlemen Singapura menyetujui aturan yang bisa menghukum perusahaan, baik domestik maupun asing yang bertanggungjawab sebagai penyebab kabut asap di negara itu.

Sebelum berlaku, aturan ini masih perlu ditandatangni Presiden Singapura. Dikutip dari Reuters, bagi penyebab polusi udara di negeri Singa ini karena pembakaran kebun atau hutan oleh perusahaan akan didenda sampai S$100.000 atau sekitar US$80.000. Denda ini bisa mencapai US$2 juta per perusahaan. Tak hanya itu, perusahaan-perusahaan ini juga bisa digugat perdata atas kerusakan yang terjadi.

“Parlemen telah menyetujui UU Pencemaran Kabut Lintas Batas” kata Vivian Balakrishnan, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura dalam postingan di laman Facebook.

Aturan ini, katanya, akan menjerat pidana dan perdata bagi perusahaan-perusahaan bandel  yang menyebabkan kabut asap dari pembakaran hutan dan lahan gambut.

“Kami harus membuat perusahaan bertanggungjawab untuk bahaya yang mereka ciptakan bagi kesehatan dan lingkungan kami.”

Data NASA dari website World Resources Institute’s Global Fire Watch, baru-baru ini puluhan kebakaran di Riau, tepat berseberangan dengan Singapura.

Singapura telah mendapatkan ‘kiriman’ polusi udara karena kebakaran hutan dan gambut di Sumatera. Banyak dari kebakaran itu terkait dari konsesi sawit, kayu dan bubur kayu dari perusahaan-perusahaan yang dikendalikan dan beroperasi di Singapura.

Namun, para ahli mengatakan, hukum ini kemungkinan sulit diterapkan karena juga berlaku bagi perusahaan di luar Singapura.

Selain itu, data konsesi di Indonesia kerap tak jelas hingga sulit untuk langsung menyalahkan sebagai penyebab kabut asap.

 


Wow! Singapura Bakal Denda Perusahaan Penyebab Kabut Asap was first posted on August 9, 2014 at 3:14 pm.

Akankah Tanaman-tanaman Ini Berganti Sawit?

$
0
0
Langsat, salah satu buah musiman andalan Kubu Raya, bahkan Kalbar. Sentra buah ini ada di Punggur Besar, Kecamatan Sei Kakap. Apa jadinya, jika buah-buah lokal seperti ini suatu waktu berubah menjadi sawit? Foto: Sapariah Saturi

Langsat, salah satu buah musiman andalan Kubu Raya, bahkan Kalbar. Sentra buah ini ada di Punggur Besar, Kecamatan Sei Kakap. Apa jadinya, jika buah-buah lokal seperti ini suatu waktu berubah menjadi sawit? Foto: Sapariah Saturi

Bise-bise lima atau 10 tahun lagi kalau jalan ke sini, kite cuma nemu sawit jak,” kata Tursih, warga Pontianak, awal Juli 2014. Saat itu, dia menemani saya ke Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Kekhawatiran Tursih beralasan. Kala mulai memasuki desa-desa di kecamatan itu,  tanaman sawit tampak menghiasi hampir di setiap kebun warga. Ada satu dua pohon nyempil di antara pisang,  singkong, maupun jagung. Ada yang tengah menyemai bibit-bibit di samping rumah. Bahkan, beberapa sudah mulai menanam sawit berhektar-hektar.

Saat ini, buah-buah dan tanaman produksi dari kecamatan ini cukup banyak, dari rambutan, pisang, nenas, jagung, sampai beras.

Kala saya memantau kebakaran gambut di Rasau Jaya, dan singgah di kebun seorang warga, Sulin, tampak beberapa pohon sawit ditanam berkumpul bersama tanaman lain. “Sawit sudah lima tahun, mulai berbuah. Ini hampir terbakar,” kata Sulin, menunjukkan satu dua pohon sawit yang gambut di sekelilingnya sudah terbakar.

Kebun sawit milik Rusli yang terbakar di Desa Rasau Jaya II, KKR. Rusli memiliki tiga hektar sawit berusia sekitar lima tahun. Foto: Sapariah Saturi

Kebun sawit milik Rusli yang terbakar di Desa Rasau Jaya II, KKR. Rusli memiliki tiga hektar sawit berusia sekitar lima tahun. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman jagung, di dekatnya tumbuh sawit di Desa Rasau Jaya, KKR. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman jagung, di dekatnya tumbuh sawit di Desa Rasau Jaya, KKR. Foto: Sapariah Saturi

Di kebun itu ada rambutan, nenas, tebu, singkong, jagung, pisang sampai karet. Sayangnya, pohon rambutan ludes terbakar, tersisa jagung dan karet.

Dalam beberapa tahun ini, di kecamatan ini, sawit menjadi salah satu tanaman di kebun warga. “Jujur saya ngeri dan tak mau membayangkan kala 10 atau 20 tahun lagi melalui jalan yang sama dan melihat semua telah menjadi sawit. Akan tambah miris lagi, jika lahan-lahan itu beralih menjadi milik perusahaan,” kata Hendrikus Adam dari Walhi Kalbar.

Berpindah ke Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya. Untuk kecamatan ini, bisa dibilang ‘aman’ dari sawit. Warga masih mengandalkan hasil kebun dari tanaman-tanaman yang sudah berpuluh-puluh tahun mereka kelola.

Seperti di Desa Punggur Besar dan sekitar, langsat menjadi buah andalan. Ada tanaman produksi lain seperti manggis, rambutan, pisang, durian, kopi, padi dan kelapa.

Rambutan, buah musiman yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Kalbar, termasuk di Kabupaten Kubu Raya. Foto: Sapariah Saturi

Rambutan, buah musiman yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Kalbar, termasuk di Kabupaten Kubu Raya. Foto: Sapariah Saturi

Jagung manis, salah satu produk andalan di KKR, termasuk di Rasau Jaya. Foto: Sapariah Saturi

Jagung manis, salah satu produk andalan di KKR, termasuk di Rasau Jaya. Foto: Sapariah Saturi

Kabupaten Kubu Raya, baru dimekarkan dari Kabupaten Pontianak, pada 2005. Ia mempunyai sembilan kecamatan. Kebun sawit milik korporasi besar memang sudah bercokol di beberapa kecamatan di kabupaten ini,  seperti di Rasau Jaya dan Sei Ambawang.

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pertanian, menyatakan, sebagian besar penduduk KKR bekerja di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan industri.

Data statistik 2006, pertanian di KKR antara lain padi luas panen 40.323 hektar dan produksi 132.419 ton, palawija produksi terdiri dari jagung 1.468 ton per hektar, kedelai 7,09 ton per hektar, singkong 9,96 ton per hektar, ubi jalar 5.055 ton per hektar, kacang tanah 6.667 ton per hektar  dan kacang hijau 0.437 ton per hektar.

Dari hasil perkebunan, kelapa 29.964 ton dengan luas lahan 34.040 hektar, kelapa hiprida 3.358 ton seluas 7.590 hektar, karet 11.791 ton seluas 30.441 hektar, kopi 1.006 ton seluas 6.170 hektar, lada 32 ton seluas 290 hektar, kakao 80 ton seluas 534 hektar, pinang 634 ton (551 hektar), dan sawit (18.041 hektar).

Produksi peternakan antara lain sapi 185.600 kg, kerbau 3.030 kg, babi 33.640 kg, ayam buras 1.026,02 ton, ayam ras pedaging 2.039,36 ton, itik 15.81 ton.

Produksi perikanan terdiri atas ikan laut 10.753.8 ton, nilai produksi Rp77.052.359.000, ikan perairan umum 255.5 ton nilai produksi Rp3.283.681.800.

Manggis, salah satu buah musiman yang banyak ditemui di KKR. Foto: Sapariah Saturi

Manggis, salah satu buah musiman yang banyak ditemui di KKR. Foto: Sapariah Saturi

Di Kalbar, buah ini dikenal dengan nama cempedak, seperti nangka, lebih kecil dan lembut, manis serta berbau harum. Ia juga buah-buah yang banyak terdapat di KKR. Foto: Sapariah Saturi

Di Kalbar, buah ini dikenal dengan nama cempedak, seperti nangka, lebih kecil dan lembut, manis serta berbau harum. Ia juga buah-buah yang banyak terdapat di KKR. Foto: Sapariah Saturi

Berhati-hati jika petani ingin menanam sawit

Adam mengatakan, ruang yang diberikan pemerintah kepada investasi sawit maupun jenis lain dalam skala luas begitu massif. Terlebih ia diberikan di dalam wilayah kelola masyarakat yang jelas berimbas pada kian berkurangnya lahan dan alat produksi petani.

Belum lagi, mulai terlihat tren pembukaan lahan pertanian sawit oleh warga, seperti di Rasau Jaya maupun di wilayah lain. Fenomena ini penting dipertimbangkan petani yang selama ini terbiasa mengembangkan lahan pertanian untuk menghasilkan sumber pangan.

Hal-hal yang perlu dilihat dari tanaman sawit. Pertama, lahan pertanian yang ditanami sawit sulit dikembalikan pada keadaan semula untuk tanaman pangan lain. Sebab, struktur tanah dengan akar serabut sawit yang keras akan sulit terurai.

Kedua, sawit merupakan tanaman padat modal. Ini berarti hanya mungkin dikelola maksimal bila didukung biaya tidak sedikit terutama dalam meningkatkan produktivitas tanaman.

“Nah, bagi petani yang tidak memiliki modal cukup, lahan yang ditanam sawit berisiko gagal, sementara lahan tidak dapat dikelola untuk menanam tanaman pangan lain.”

Akibatnya, kata Adam, lahan berpotensi terlantar dan tidak menghasilkan apapun.

Ketiga, kala lahan sudah tak bisa ditanami, agar tidak terlantar dan produktif dengan menjual kepada pemodal atau perusahaan. Konsekuensinya, petani berpotensi kehilangan hak atas tanah yang selama ini dikelola. “Bila ini terjadi, bersiap-siaplah menjadi buruh di tanah sendiri.”

Dalam hal ini, petani penggarap lahan sesungguhnya sangat berkepentingan dengan alat maupun sumber produksi pertanian yang dimiliki. Ketersediaan lahan pertanian penting.

Untuk itu, katanya, memastikan tanah garapan tidak beralih ke pemodal harus menjadi pilihan sadar.

“Ini sekaligus jadi tantangan tersendiri agar petani tetap menjadi tuan atas usaha mereka sendiri. Tanpa tanah untuk berusaha, petani akan menemukan kesulitan.”

Nenas, salah satu produk andalan Kubu Raya, termasuk di Kecamatan Rasau Jaya. Kini, sawit sudah mulai masuk kebun warga, sedikit demi sedikit mengurangi tanaman yang sudah lama diproduksi warga. Foto: Sapariah Saturi

Nenas, salah satu produk andalan Kubu Raya, termasuk di Kecamatan Rasau Jaya. Kini, sawit sudah mulai masuk kebun warga, sedikit demi sedikit mengurangi tanaman yang sudah lama diproduksi warga. Foto: Sapariah Saturi

Salah satu produksi pertanian dari Kubu Raya, adalah pisang. Produksi daerah ini dipasok ke daerah sekitar seperti ke Kota Pontianak. Sulit dibayangkan kala beberapa tahun lagi pisang sudah berganti menjadi sawit. Keragaman produksi petani yang kaya bisa sirna. Foto: Sapariah Saturi

Salah satu produksi pertanian dari Kubu Raya, adalah pisang. Produksi daerah ini dipasok ke daerah sekitar seperti ke Kota Pontianak. Sulit dibayangkan kala beberapa tahun lagi pisang sudah berganti menjadi sawit. Keragaman produksi petani yang kaya bisa sirna. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman singkong, pisang diselingi sawit juga di Desa Rasa Jaya, KKR. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman singkong, pisang diselingi sawit juga di Desa Rasa Jaya, KKR. Foto: Sapariah Saturi

 


Akankah Tanaman-tanaman Ini Berganti Sawit? was first posted on August 10, 2014 at 9:58 am.

Memperjuangan Kemerdekaan, Meraih Pengakuan Hak Masyarakat Adat

$
0
0

Warga adat Kajang, yang ketata menjaga alam hingga hutan terjaga dengan baik. Perda Masyarakat Adat Kajang tengah proses. Foto: Wahyu Chandra

“Menjembatani kesenjangan: melaksanakan hak-hak masyarakat adat.” Begitulah tema Hari Masyarakat Adat Internasional, tahun ini, yang jatuh pada 9 Agustus lalu. Tema ini,  merupakan simbol komitmen negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

Bagaimana kabar masyarakat adat di Indonesia? Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi memutuskan hutan adat bukan hutan negara. Ini angin segar bagi pengakuan hak masyarakat adat di Indonesia. Gerakan masyarakat adat juga makin menguat.

Sayangnya, pengakuan lewat MK ini belum diikuti pada tataran pelaksana baik di pusat maupun daerah. Baru beberapa daerah, yang memiliki peraturan daerah mengenai pengakuan hak masyarakat adat, seperti Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur, memiliki tiga perda. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, sedang penyusunan perda masyarakat adat Kajang. 

Pengakuan lambat ini mengancam wilayah adat dengan kekayaan alam, termasuk hutan bakal habis terbabat. Sebab, sebagian wilayah adat itu sudah ‘terbebani’ izin-izin yang dikeluarkan pemerintah kepada para pengusaha. “Padahal, sekitar 70% hutan terbaik yang tersisa di Indonesia itu ada di wilayah adat,” kata Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).”  

Lambannya pengakuan hak inipun memicu konflik-konflik di lapangan, baik antara masyarakat adat dengan pengusaha maupun pemerintah. Penangkapan-penangkapan warga adat yang berdiam di wilayah mereka terus terjadi hingga kini di berbagai daerah.

Salah satu palang ditancapkan di Kampung Wambi di Wambi, Merauke, menolak masuknya perusahaan yang bakal mengancam kehidupan mereka. Foto: Agapitus Batbual

Munadi Kilkoda, ketua BPH AMAN Maluku Utara mengatakan, gerakan masyarakat adat di Indonesia berhasil mencuri perhatian dunia internasional. Misal, lewat keterlibatan pada pertemuan-pertemuan penting di dunia. Termasuk, tekanan internasional hingga terjadi berbagai perubahan kebijakan di negara ini.

Namun, katanya, masyarakat adat belum merdeka. Saat ini, mereka masih berhadapan dengan masalah klasik dari periode ke periode pergantian kekuasaan. “Di berbagai daerah kita mengalami hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam dirampas, justru negara melegitimasi itu,” katanya, Minggu (10/8/14).

Menurut dia, Indonesia memiliki persoalan mendasar yang sulit diselesaikan sesegera mungkin. Yakni, tata kelola SDA yang tidak berpihak pada masyarakat adat. Pembangunan, lebih mengedepankan pertumbuhan ekonomi dengan menguras habis SDA, dan hak-hak masyarakat adat diabaikan.

Akhirnya, kata Munadi, terjadi konflik dan kemiskinan. Ratusan kasus konflik agraria terjadi setiap tahun. “Siapa yang rugi? Masyarakat adat, mereka kehilangan sumber ekonomi sebagai sumber menopang hidup.”

Dia mengatakan, ada terobosan hukum dengan MK-35 tetapi respon pemerintah Indonesia, lain dari semangat keputusan itu. “Ini diabaikan mereka. Sudah satu tahun lebih masyarakat adat menunggu presiden dan kepala daerah membuat kebijakan lebih populis, yang terjadi sebaliknya. Jadi memang tidak ada niat baik dari mereka.”

Masyarakat adat, katanya, justru terus dihadapkan dengan pemilik-pemilik modal yang didukung militer. “Pemerintah memelihara konflik ini, karena itu mereka tak memiliki kesungguhan menyelesaikan lewat MK-35.”

Belum lagi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPHMA), yang sudah tiga tahun terkatung-katung. “AMAN menuntut pemerintah mengesahkan RUU ini karena sangat penting guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.”

Namun, sampai akhir pemerintah saat ini RUU masih di meja persidangan DPR. “Ironis bisa membentuk negara rakyat sejahtera, kalau negara masih memandang investasi padat modal lebih penting daripada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat,” ucap Munadi.

Buldoser yang digunakan oleh pihak perusahaan untuk membuka hutan adat di Muara Tae, Kutai Barat, kalimantan Timur. Foto: Margaretha Beraan/AMAN Kaltim

Senada dengan Margaretha Seting Beraan, ketua BPH AMAN Kalimantan Timur. Dia mengatakan, pengakuan masyarakat adat di Indonesia, masih jauh dari harapan.

Gak jauh beda. Sekarang, kami desak agar pembahasan perda adat tingkat provinsi segera diselesaikan. Sedangkan kabupaten-kabupaten segera membuat perda adat sebagai bagian dari pelaksanaan MK 35,” katanya.

Margaretha mengatakan, perda ini sangat penting demi kepastian hukum kawasan kelola masyarakat adat dan klaim mereka atas tanah adat. “Perda ini juga dasar pengelolaan atas hutan adat dan perliindungan hukum bagi mereka. Terutama dalam menjaga dan mengelola hutan adat.”

Sampai kini, katanya, masih banyak kabupaten belum punya perda adat. Bahkan, Kaltim dalam membahas perda ini masih tarik ulur. “Mungkin bagi mereka perda ini tidak seksi karena tidak ada duit. Belum lagi, terlalu banyak kepentingan bersinggungan, terutama kepentingan investasi,” ujar dia.

Pandangan serupa juga datang dari Deftri Hamdi, ketua BPH AMAN Bengkulu.  Menurut dia, pada dasarnya tidak ada yang berubah kondisi masyarakat adat di Indonesia. Berbagai macam tata peraturan perundangan-perundangan yang berpihak kepada masyarakat adat tidak cukup mampu melindungi dan memberi pengakuan terhadap hak-hak kepada mereka.

Ekskalasi konflik pengelolaan sumber daya alam, kehutanan makin meningkat sepanjang 2013- 2014. Pengusiran dan kriminalisasi masyarakat adat, katanya, menggerus keyakinan mereka akan bernegara.

“Tidak ada pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat akan makin menjadikan mereka obyek pembangunan di negeri ini.”

Belum lagi, keputusan MK-35 tidak mampu dijalankan rezim SBY.  “Imbas tidak ada komitmen SBY dalam menjalankan perintah MK berdampak pada kebijakan politik di tingkat lokal. Pemerintah daerah menjadi tidak berani mengimplementasikan keputusan MK ini.”

Keindahan Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan, yang terus dijaga oleh masyarakat adat Meratus. Foto: Greenpeace

Berharap pada Presiden terpilih

Untuk itu, katanya, perlu kemauan politik kuat pemerintah dalam mengimplementasi kebijakan bagi masyarakat adat. “Presiden terpilih diharapkan berani membuat kebijakan dan terobosan startegis guna menjalankan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat.”

Dalam siaran pers Abdon mengatakan, tahun ini menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat adat. Sebab, pada pilpres kali ini AMAN resmi mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Menurut dia, jika produk hukum yang penting bagi masyarakat adat tak keluar pada pemerintahan SBY-Boediono,  maka agenda ini harus menjadi prioritas pasangan Jokowi-JK.

”Mudah-mudahan pasangan Jokowi-JK tidak mengingkari janji setelah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.”

Abdon mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus melanjutkan kebijakan satu peta (one map policy), moratorium izin baru di kawasan hutan, nota kesepakatan bersama (NKB) 12 kementerian dan lembaga negara dimotori KPK – UKP4.  Lalu, pengembangan ekonomi kreatif berbasis keragaman budaya, ekonomi hijau dan REDD+ berbasis masyarakat adat.

Ada lagi program pemerintah yang harus dikaji ulang, bahkan dihentikan antara lain master plan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).

Penetapan MP3EI, katanya, dalam memilih wilayah tertentu dengan kekayaan sumberdaya dilakukan sepihak. Masyarakat termasuk warga adat tak pernah diminta pendapat dan persetujuan sebagaimana terkandung dalam prinsip Free, Prior, Informed Concent (FPIC).

 


Memperjuangan Kemerdekaan, Meraih Pengakuan Hak Masyarakat Adat was first posted on August 11, 2014 at 5:20 am.

Masyarakat Watu Ata, Bercocok Tanam Seraya Merawat Hutan

$
0
0
Petani Watu Ata tengah memanen kopi mereka. Foto: Anton Muhajir

Petani Watu Ata tengah memanen kopi mereka. Foto: Anton Muhajir

Juli hingga Agustus adalah puncak musim panen kopi di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Begitu pula bagi warga di Desa Beiwali, Kecamatan Bajawa, Ngada. Pekan ini, musim panen masih terasa. Sisa-sisa kopi biji merah tampak di pepohonan. Di depan rumah-rumah adat,  warga menjemur kopi itu di atas para.

Berada di ketinggian antara 1.000 hingga 1.500 meter di atas permukaan laut, Bajawa salah satu pusat produksi kopi di Ngada, satu dari delapan kabupaten di daratan Flores.

Selain Bajawa, pusat produksi kopi lain di Ngada adalah Kecamatan Golewa. Dua kecamatan bertetangga ini memiliki karakter sama, berada di lereng Gunung Inerie. Keduanya masuk kawasan Cagar Alam Watu Ata. Petani lokal mempraktikkan pertanian berkelanjutan atau agroforestry di tepi hutan.

Dari kebun-kebun di itu, kopi khas ini dikirim ke berbagai negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa dengan nama komersial Arabika Flores Bajawa (AFB). Tiap musim panen, petani kopi di Ngada menghasilkan sekitar 300 ton kopi AFB ini.

Meskipun belum sepopuler kopi khas (specialty coffee) seperti kopi bali, kopi toraja, kopi gayo, dan lain-lain, AFB makin dikenal di pasaran. Komoditas ini mulai mendapat tempat tersendiri.

Petanipun masih menghadapi tantangan ketidakpastian status lahan. “Hingga saat ini, status lahan kami masih sebatas hak kelola, bukan hak milik,” kata Damianus Rege, petani kopi di Beiwali.

Ketidakjelasan status lahan ini buntut konflik lama antara petani dengan pemerintah lokal.

Menurut Damianus, turun temurun, warga lokal menguasai lahan di sekitar desa mereka dari nenek moyang. Kepemilikan lahan di sini bersifat komunal sebelum dikelola satu per satu oleh warga berdasarkan pembagian di antara mereka. Kepemilikan oleh suku-suku di kawasan hutan Watu Ata ini ditandai oleh batu-batu besar di tengah hutan.

Pada zaman kolonial, tepatnya 1932, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan hutan seluas 5.400 hektar ini sebagai hutan tutupan. Namun, warga masih bisa mengelola lahan di sana.

Pada Desember 1983, status hutan ini berubah. Kala itu, Departemen Kehutanan menetapkan Kelompok Hutan Ngada Wolo Merah Riung (RTK 142) Pulau Flores sebagai hutan lindung. Di dalamnya termasuk hutan di kawasan Watu Ata.

Pada 5 Mei 1992, status kawasan ini berubah menjadi cagar alam sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.432/Kpts-II/1992. Perubahan status kawasan ini berdampak terhadap petani-petani di sekitar kawasan hutan. Mereka tak diperbolehkan lagi mengolah kebun yang menurut SK itu di kawasan cagar alam.

“Padahal, kebun kopi kami berada di sana,” ujar Damianus.

Beberapa anggota Perhimpunan Masyarakat Watu Ata tengah. Mereka menyepakati sumpaha dat, untuk hidup, bercocok tanam dengan menjaga kelestarian alam. Foto: Anton Muhajir

Beberapa anggota Perhimpunan Masyarakat Watu Ata tengah. Mereka menyepakati sumpaha dat, untuk hidup, bercocok tanam dengan menjaga kelestarian alam. Foto: Anton Muhajir

Tak hanya Dami, sekitar 15.000 jiwa yang hidup di pinggir kawasan seluas 4.298 hektar ini terganggu. Mereka diusir dari hutan meskipun sebagian besar memilih tetap bertahan di lahan mereka sebagai bagian dari hak ulayat.

Sejak itulah, konflik antara warga dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) terjadi. Puncak konflik pada 1999 hingga 2000 ketika pondok-pondok milik warga dibakar petugas BKSDA. Meski tak sampai jatuh korban jiwa, bentrokan terjadi antara warga dan petugas BKSDA.

Dengan pendampingan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat (Lapmas) dan Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Ngada, warga di sekitar kawasan membentuk Forum Masyarakat Watu Ata (Formata).

Melalui forum yang sekarang berubah menjadi Perhimpunan Masyarakat Watu Ata (Permata) ini, warga bernegoisasi dengan BKSDA, Dinas Kehutanan, ataupun pihak lain terkait pengelolaan kawasan Cagar Alam Watu Ata. Permata juga menjadi organisasi di mana warga melestarikan hutan di kawasan mereka.

“Prinsip petani di sekitar kawasan yang tergabung dalam Permata adalah hutan lestari, ekonomi terjaga,” kata Rikardus Nuga, koordinator Program Lapmas Bajawa.

Salah satu upaya organisasi ini, dengan membuat aturan adat menjaga hutan. Pada 2010, anggota Permata melaksanakan sumpah adat ri’i. Petani dari sembilan desa di kawasan Watu Ata mengikuti sumpah adat ini.

Upacara ini digelar di atas bukit dengan mengorbankan hewan persembahan berupa kerbau. Melalui upacara ini, warga mengikatkan diri secara adat untuk menjaga hutan melalui 10 kesepakatan. Sumpah dibacakan kepada Tuhan, leluhur, dan sesama manusia.

Kesepakatan dalam sumpah adat ini adalah, warga tidak akan membuka lahan di zona inti (kala mae, hutan alam dan mata air), membuka lahan baru, menguasai lahan tanpa pengolahan lahan (tada bheka), dan membakar hutan di kawasan Watu Ata.

Warga juga bersumpah tidak akan jual beli lahan dalam kawasan, menebang pohon dalam zona inti, menangkap dan memperjual belikan satwa yang dilindungi, melepas hewan berkeliaran dalam kawasan dan mengambil hasil dari kebun milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik kebun.

Tiap pelanggar sumpah dikenakan sanksi kaba mosa baka zua atau kerbau bertanduk panjang 45 cm, beras 400 kg, tua bhara pud’a zua atau 60 liter tuak putih, dan memberi makan masyarakat sembilan desa.

“Warga di kawasan percaya bahwa hukum adat harus lebih dipatuhi daripada hukum formal negara,” kata Rikardus.

Selain hukum adat, warga di kawasan Watu Ata juga terlibat sebagai pengamanan swakarsa untuk menjaga hutan. Salah satu, Greogirus Bawa, yang juga petani.

Tiap satu bulan sekali, para anggota pam swakarsa akan turun ke lapangan. Lima belas anggota pam swakarsa yang kini disebut mitra BKSDA itu rutin patroli bersilang, misal, dari Desa Beiwali ke Wawowae atau sebaliknya.

“Dengan begitu, kami bisa menjaga hutan kami sendiri,” kata Gregorius.

Menurut dia, keterlibatan warga dalam pengawasan hutan berdampak hutan tetap terjaga, tidak ada lagi konflik antara warga dengan pemerintah. Warga pun bisa mengolah kebun mereka yang masuk di kawasan.

Sumber-sumber air bisa terjaga, begitu pula dengan komoditas di lahan-lahan mereka. Di kebun mereka rata-rata luas 0,5 hektar, petani menanam tak hanya kopi juga komoditas lain seperti kemiri, vanili, dan cokelat. Ada pula sayur mayur melalui sistem tumpang sari.

Dengan hukum adat, petani menjaga hutan sekaligus sumber pendapatan mereka.

Hutan di kawasan cagar alam, sekaligus wilayah masyarakat adat Watu  Ata menjaga hutan mereka. Foto: Anton Muhajir

Hutan di kawasan cagar alam, sekaligus wilayah masyarakat adat Watu Ata menjaga hutan mereka. Foto: Anton Muhajir

Kebun kopi masyarakat adat Walu Ata. Masyarakat yang bercocok tanam serata menjaga hutan. Foto: Anton Muhajir

Kebun kopi masyarakat adat Watu Ata. Masyarakat yang bercocok tanam seraya menjaga hutan. Foto: Anton Muhajir

 


Masyarakat Watu Ata, Bercocok Tanam Seraya Merawat Hutan was first posted on August 11, 2014 at 11:39 pm.

Kabut Asap Datang (Lagi)

$
0
0
Kebun warga di Desa Easau Jaya II, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang dilalap api, awal Agustus 2014. Kemarau datang sejak awal Juli dan lahan gambut di Kalbarpun mulai terbakar. Foto: Sapariah Saturi

Kebun warga di Desa Rasau Jaya II, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, yang dilalap api, awal Agustus 2014. Kemarau datang sejak awal Juli dan lahan gambut di Kalbarpun mulai terbakar. Kabut asappun mulai menyelimuti daerah sekitar. Foto: Sapariah Saturi

 *Deni Bram, Pengajar Hukum Lingkungan, Universitas Tarumanagara, Jakarta. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Bencana kabut asap hadir kembali pada medio tahun ini. Dampak El-Nino kali ini ditandai titik api bertambah pada beberapa tempat baik di Sumatera dan Kalimantan. Dampak pun masif. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tak kurang Rp20 triliun “hadir” sebagai kerugian ekonomi muncul dari bencana ini.

Sayangnya, besaran kerugian tak mampu menggugah penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) secara bersamaan. Padahal, kabut asap ini sudah agenda tahunan rutin di kawasan ASEAN.

Ironis lagi, langkah preventif dan represif tetap jalan di tempat selama kurun lebih 10 tahun belakangan ini, di tengah berbagai target. Beberapa langkah strategis hendaknya dapat ditempuh Pemerintah Indonesia–dalam konteks penanggulangan kebakaran hutan sekaligus mengembalikan kepercayaan publik internasional– hendaknya mengoptimalkan beberapa langkah strategis utama. 

 

Urgensi ratifikasi

Dalam konteks kekinian, langkah kongkrit dari suatu negara hadir sebagai suatu indikator komitmen penanggulangan suatu bencana, salah satu ditentukan langkah hukum. Pencemaran kabut asap yang makin masif setiap tahun, locus delicti berada di yurisdiksi teritorial Indonesia menjadi latar belakang utama kehadiran ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas). Perjanjian internasional ini mengatur pendistribusian tanggung jawab dan penanganan pencemaran kabut asap di regional Asia Tenggara pada Juni 2002. Lalu, came into force pada 25 November 2003.

 

Kabut asap menutupi pandangan pengguna jalan di Ujung Tanjung, Rokan Hilir (25 Feb 2014). Kejadian terus terulang, penegakan hukum, terutama bagi perusahaan masih lemah. Foto: Made Ali

 

Namun, hingga kini, setelah lebih satu dasawarsa seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi utuh, hanya tersisa Indonesia yang enggan. Ini menjadi kontradiktif saat Indonesia sebagai notabene subyek utama perjanjian itu dan kontributor dominan kabut asap justru menunjukkan keraguan. Langkah – langkah normatif cenderung bergerak ke arah sebaliknya. Putusan pengadilan malah memvonis bebas pelaku pembakar lahan, dan titik api meningkat menjadi indikator nyata. Ditambah lagi, legislasi memberikan alas untuk membakar lahan dan hutan.

Rasanya cukuplah sudah kajian dan upaya analisis dalam waktu lebih 10 tahun belakangan guna menunjukkan urgensi ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Satu yang jelas,  proses ratifikasi akan menunjukkan, Indonesia mempunyai niat dan komitmen nyata menanggulangi segala bentuk kebakaran hutan dan lahan selama ini. Bahkan proses ratifikasi ini, suatu bentuk transformasi sistem hukum secara integralistik guna penurunan emisi. Ini langkah strategis yang dilakukan beberapa institusi.

Untuk itu, dengan ratifikasi diharapkan mempermudah rezim baru mengambil  langkah ke depan. Jangan sampai rezim pemerintahan baru justru terbebani proses yang tak kunjung usai. Langkah ini dalam momentum sama,  sekaligus bisa menjadi bukti nyata Indonesia dalam menurunkan emisi yang disumbangkan sektor kehutanan.

 

Api masih menyala membakar sagu di konsesi perusahaan pada Februari 2014 di Riau. Foto: Walhi Riau

 

Penyelesaian sengketa

Salah satu risiko dalam mengambil langkah hukum terkait ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yakni mengenai  kemungkinan Indonesia diminta pertanggungjawaban hukum terhadap dampak kepada negara – negara tetangga. Sesungguhnya, terlepas dari konteks non hukum hal ini justru bisa dihindari pada saat Pemerintah Indonesia mengambil langkah ratifikasi terhadap ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

Secara eksplisit dinyatakan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution bahwa, mekanisme penyelesaian sengketa merujuk pada pendekatan kerja sama dan upaya–upaya pembantuan antarnegara guna pengurangan titik api. Juga langkah antisipatif lain dalam mitigasi penyebab dan dampak kebakaran hutan. Bahkan, di bawah naungan lembaga khusus pada tingkatan ASEAN kerjasama penanggulangan secara teknis akan difasilitasi lembaga khusus yang mengedepankan tanggung jawab bersama dengan porsi berbeda (Common But Differentiated Responsibility)–yang dalam perjanjian ini secara bersamaan menggusur tanggung jawab negara secara masing–masing. Hendaknya ini menjadi solusi nyata dalam menunjukkan keseriusan langkah strategis dalam penyelamatan ekosistem nasional dan regional.

 

Haze Bill dan doktrin ekstra teritorial

Langkah yang berlarut – larut dan cenderung tidak mengalami kemajuan signifikan dalam 10 tahun terakhir, memicu upaya agak frontal dari salah satu negara yang rutin menjadi korban kabut asap Indonesia. Pada medio 2014, Pemerintah Singapura merancang Draft Haze Bill sebagai langkah hukum yang diharapkan menjangkau para pelaku pembakaran lahan dan hutan yang selama ini memberikan dampak kepada negara mereka. Menyadari secara penuh motif ekonomi melatarbelakangi pembakaran lahan dan hutan, serta pelaku korporasi yang menjadi entitas utama dalam kegiatan ini, maka pendekatan sanksi ekonomis dilakukan dalam rancangan terakhir peraturan ini. Satu hal patut menjadi catatan penting, aturan tingkat nasional Singapura ini menganut konsep ekstra teritorial yang membuka peluang diberlakukan kepada entitas hukum berada di luar yurisdiksi teritorial Singapura. Selama ia memberikan dampak kepada ekosistem Singapura. Hal ini menjadi valid saat Singapura telah mengidentifikasi bahwa pelaku pembakaran hutan dan lahan didominasi korporasi dari negeri Singa itu. Jika mereka menunggu langkah pemerintah Indonesia untuk penegakan hukum, akan terhambat pada legislasi nasional Indonesia yang cenderung lemah.

Sisi lain, hendaknya ini menjadi teguran tegas pada Pemerintah Indonesia agar bisa merespons nyata bahwa terdapat ketidakpercayaan masyarakat internasional, salah satu Singapura, atas keberpihakan dan komitmen Indonesia terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan.

 

Kebakaran lahan gambut di Kalbar, mulai menyumbang titik api cukup tinggi sejak akhir Juli 2014. Foto: Sapariah Saturi

Kebakaran lahan gambut di Kalbar, mulai menyumbang titik api cukup tinggi sejak akhir Juli 2014. Foto: Sapariah Saturi

 

kebakaran lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, sudah mendekati pemukiman warga, yang terjadi sejak akhir Juli 2014. Foto: Sapariah Saturi

kebakaran lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, sudah mendekati pemukiman warga, yang terjadi sejak akhir Juli 2014. Foto: Sapariah Saturi


Kabut Asap Datang (Lagi) was first posted on August 12, 2014 at 10:10 pm.

Lubang-lubang Resapan Biopori Kota Probolinggo Raih Rekor MURI

$
0
0
Baltasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup menggunakan alat biopori dalam acara pembuatan 15.000 lubang biopori yang memecahkan  rekor MURI  pada 8 Agustus 2014 di Kota Probolinggo. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Baltasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup menggunakan alat biopori dalam acara pembuatan 15.000 lubang biopori yang memecahkan rekor MURI pada 8 Agustus 2014 di Kota Probolinggo. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Lubang-lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman sekitar satu meter terlihat kala menyusuri berbagai wilayah di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Ada apa? Ternyata,  pada 8 Agustus 2014 itu, secara serentak sekitar 15 ribu warga kota membuat 15.000 lubang resapan biopori tersebar pada 600 rukun tetangga. Alhasil, pembuatan belasan ribu lubang biopori ini tercatat sebagai pemecah rekor Rekor Museum Rekor Indonesia (MURI).

Aksi bertema Gerakan Aksi untuk Lingkungan (Gaul) ini gawe Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Semangat Masyarakat Sadar Lingkungan (SMS Darling) Pemda Kota Probolinggo. Balthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup juga  ikut membuat lubang biopori pada kampanye yang diprakarsai Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Ekoregion Jawa ini.

Dalam rilis kepada media, menyebutkan, kegiatan ini masih rangkaian Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2014 bertema “Satukan Langkah, Lindungi Ekosistem Pesisir dari Dampak Perubahan Iklim.” Pada 2013, aksi Gaul dengan membuat kerajinan bahan daur ulang oleh 1.141 orang dan tercatat MURI juga.

Baltasar mengatakan, lubang resapan biopori merupakan contoh sederhana yang baik, mudah dan murah diterapkan masyarakat. Upaya ini, katanya, juga langkah konservasi sumberdaya air hujan sekaligus sarana prasarana mengolah sampah organik menjadi kompos.

Menurut dia,  persoalan lingkungan tak bisa suatu hal yang berdiri sendiri, tetapi terkait perilaku manusia terutama dalam memenuhi kebutuhan. Untuk itu, dari aksi ini Baltasar berharap, bisa menumbuhkan kesadaran dan perubahan perilaku masyarakat.

“Lubang resapan biopori dan pengolahan sampah jika dipadukan tidak hanya berdampak bagi lingkungan. Ia dapat mengurangi timbulan sampah, mengurangi efek gas rumah kaca sekaligus meningkatkan ketahanan lingkungan dari dampak perubahan iklim.”

 


Lubang-lubang Resapan Biopori Kota Probolinggo Raih Rekor MURI was first posted on August 12, 2014 at 11:11 pm.

Suarakan Penyelamatan Yaki dari Inggris dan Amerika

$
0
0

Bagian-bagian tubuh yaki dijual di Pasar Tondano, Sulawesi Utara, tahun lalu. Foto: dari Facebook Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki

Populasi monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) atau dikenal dengan yaki, terus berkurang baik karena habitat hilang sampai diburu untuk pelihara maupun konsumsi. Kekhawatiran muncul dari berbagai kalangan di berbagai negara, termasuk dari Inggris dan Amerika.

Di Inggris, 10 pekerja kebun binatang berhasil mengumpulkan lebih Rp50 juta untuk membantu program penyelamatan yaki. Di Amerika, seorang bocah mempresentasikan pentingnya keberadaan satwa ini di sekolah.

Awal Juni 2014, 10 pekerja kebun binatang Inggris penggalangan dana dengan mendaki tiga puncak gunung. Mereka terdiri dari Jodie Dryden, Lewis Rowden, Steph Sawyer, Nicole Fenton, Johanna Bellerby, Emma Sweetland, Poppy Mcgoldrick, Andrew Double dan Nicola Wright.

Aksi pendakian diberi nama three peaks challange. Meskipun target menyelesaikan pendakian dalam 24 jam tidak tercapai, tapi mereka sangat gembira karena bisa pulang dengan selamat dengan mengumpulkan dana sekitar £2.700, atau sekitar Rp50 jutaan. Hasilnya, untuk membantu upaya pelestarian yaki.

Setelah berhasil menaklukkan tiga gunung, Jodie Dryden koordinator kegiatan itu, mengirimkan surat kepada Yayasan Selamatkan Yaki di Manado. Jodie menceritakan kegembiraan dan kesulitan tim. “Hallo kawan, saya dan pekerja kebun binatang dari Inggris mendaki tiga gunung dan menggalang dana untuk selamatkan yaki.  Tantangan dimulai dengan mendaki Ben Nevis di Skotlandia, yang indah dan memiliki salju di puncaknya.” Begitu bunyi surat Dryden.

“Meskipun target 24 jam tidak tercapai namun tim sangat senang karena bisa menyelesaikan pendakian ini selama 26 jam 59 menit.”

Monyet hitam Sulawesi hasil operasi penyelamatan satwa di Sulut, tahun lalu. satwa endemik Sulawesi ini terancam karena perburuan untuk konsumsi dan pelihara masih tinggi. Foto: dari Facebook Tasikoki Wildlife

Dari surat itu Dryden menceritakan, atribut tim berhasil menarik perhatian penduduk sekitar gunung. “Misal, ketika melihat kaos bergambar yaki, penduduk sekitar tertarik, lalu mencari tahu tentang yaki, dan Yayasan Selamatkan Yaki.”

Dukungan juga datang dari David Harris (12), bocah asal Bancroft, Amerika. Kepada Mathilde Canvin, koordinator Utama Pendidikan Konservasi Tangkoko, David menceritakan ketertarikan pada monyet pantat merah ini.

Mulanya, Harris kebingungan menyelesaikan tugas presentasi ilmu pengetahuan alam di sekolah. Namun, dia mendapat ide setelah menyaksikan dokumentasi BBC terkait yaki. Sejak menyaksikan tayangan itu, dia tidak bisa berhenti menceritakan dan memikirkan yaki.

Dia lantas memilih yaki sebagai bahan presentasi di kelas. Penelusuran informasi segera dilakukan. Dibantu ibu, surat elektronik dikirimkan pada sejumlah peneliti yaki, balasan datang dari Canvin.

“Saya mungkin tidak mendapat nilai sangat bagus, tetapi saya sangat termotivasi terus belajar mengenai yaki  dan memberikan informasi mengenai upaya mencegah  kepunahan yaki kepada tempat-tempat lain di luar Indonesia.”

Dalam suratnya dia berharap,  bisa memberikan informasi dan mengumpulkan sumbangan buat menyelamatkan yaki.

Sejak Maret, Harris dan Canvin banyak berkomunikasi. Menggunakan Skype, mereka memulai bekerja membuat presentasi mengenai ilmu pengetahuan alam.

Yunita Siwi, Education officer Yayasan Selamatkan Yaki, menilai, aksi para pecinta lingkungan khusus satwa liar ini sangat membantu kelompok organisasi  pelestarian alam Selamatkan Yaki di Manado, Sulut.

Dengan bantuan dana dan ekstra semangat dari “orang luar’ ini, mereka makin optimis bisa bekerja lebih keras dalam meningkatkan kesadaran masyarakat di Sulut. Upaya penyelamatan yaki, tidak akan sukses tanpa ada bantuan seluruh masyarakat.

Dia berharap, lewat dukungan di kancah internasional ini perburuan yaki makin berkurang, hingga satwa endemik ini bisa dinikmati anak-cucu.

“Maraknya pembantaian yaki selama periode pengucapan syukur (thanks giving) di Minahasa, membuat kami menyadari masih banyak masyarakat harus dijangkau. Sementara tim Selamatkan Yaki sangat terbatas.”

Kala tim berada di puncan Ben Navis, Scotlandia, mengkampanyekan penyelamatan yaki. Foto: Yayasan Selamatkan Yaki

Kala tim berada di puncak Ben Navis, Scotlandia, mengkampanyekan penyelamatan yaki. Foto: Yayasan Selamatkan Yaki

David Harris dari Amerika, yang mempresentasikan tentang yaki di sekolah. Foto: Yayasan Selamatkan Yaki

David Harris dari Amerika, yang mempresentasikan tentang yaki di sekolah. Foto: Yayasan Selamatkan Yaki


Suarakan Penyelamatan Yaki dari Inggris dan Amerika was first posted on August 13, 2014 at 11:12 pm.

Sekam Padi di Merauke jadi Sumber Energi, Bagaimana Caranya?

$
0
0
Kesibukan warga kala membuat briket ampas kayu gergajian di Marauke. Foto: Agapitus Batbual

Kesibukan warga kala membuat briket ampas kayu gergajian di Merauke. Foto: WWF

Hari itu, di balai Kampung Yabamaru Satuan Pemukiman (SP) IX, Merauke, berkumpul dari pelajar SMA, mahasiswa, pengurus koperasi, karang taruna sampai unsur pemerintah daerah. Lewat program energi terbarukan dari WWF, puluhan orang ini akan latihan membuat arang briket dari sekam padi dan limbah gergajian kayu.

Wanto Talubun, fasilitator dari WWF Merauke mengatakan, setiap panen sekam padi menggunung di penggilingan. Keadaan ini menarik keinginan WWF untuk mengolah menjadi bahan bakar terbarukan. Tak hanya sekam padi, ampas kayu juga bisa. Terlebih, di Merauke, banyak tempat penggergajian hingga memudahkan mereka memanfaatkan ampas kayu sebagai energi terbarukan.

Menurut Wanto, tak sulit membuat briket dari sekam. Sekam padi, katanya, dikeringkan dulu lalu dimasukkan ke drum atau alat pembakar lain. Ia dibakar hingga menjadi arang dan dihaluskan.

Kemudian, setiap satu kg arang dicampur perekat dari tapioka 100 gr dan 600 cc air mendidih dan dicampurkan. Setelah itu, adonan dimasukkan ke cetakan briket, dan dipres dengan mesin hingga padat. “Terakhir briket dijemur sampai kering lalu dijual,” katanya, Senin (11/8/14).

Paschalina Ch. M. Rahawarin, trans fly landscape manager  WWF Papua menguraikan, Indonesia kaya sumber daya alam termasuk bahan baku energi. Sayangnya, selama ini yang dikuras banyak energi fosil.

Sumber-sumber gas bumi dieksplotasi dan menyisakan masalah lingkungan dan sosial lebih besar. Untuk itu, pengembangan energi terbarukan harus diusahakan. “Potensi begitu besar dari sumber-sumber terbarukan hendaknya menjadi solusi yang harus dipikirkan bersama.”

Data BPS Merauke, produksi padi 2013 mencapai 144.946,82 hektar. Terdapat sekitar 148 penggilingan padi rice miling unit  di Merauke. “Potensi besar untuk pengembangan briket sekam padi.”

Untuk itu, dia berharap, sekam padi ini jadi sumber energi terbarukan. “Kedepan, mau melatih warga memanfaatkan limbah gergaji juga minyak kayu putih,” kata Rahawarin.

Briket hasil buatan warga. Foto: Agapitus Batbual

Briket hasil buatan warga. Foto: WWF

Tungku dan drum untuk  praktik pembuatan briket sekam padi di Kampung Yabamaru (SP-9). Foto: Agapitus Batbual

Tungku dan drum untuk praktik pembuatan briket sekam padi di Kampung Yabamaru (SP-9). Foto: WWF

 

 


Sekam Padi di Merauke jadi Sumber Energi, Bagaimana Caranya? was first posted on August 14, 2014 at 4:54 am.
Viewing all 4135 articles
Browse latest View live