Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3799 articles
Browse latest View live

Koalisi Desak Pemerintahan Baru Serius Tekan Deforestasi dari Perkebunan Sawit. Caranya?

$
0
0
Tandan buah segar sawit milik perusahaan besar di Sumut, perluasan bisnis mereka   menyebabkan deforstasi. Foto:  Ayat S Karokaro

Tandan buah segar sawit milik perusahaan besar di Sumut, perluasan bisnis mereka menyebabkan deforstasi. Foto: Ayat S Karokaro

Tiga organisasi lingkungan di Indonesia, yaitu Greenpeace, Walhi  dan Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS), mendesak pemerintahan baru Joko Widodo-Jusuf Kala, mengevaluasi izin perluasan kebun sawit di kawasan hutan. Tujuannya, menekan laju deforestasi hutan di Indonesia, terlebih di perkebunan sawit cukup luas, seperti Kalimantan, Riau, dan Sumatera Utara. Demikian pernyataan bersama mereka di Medan, Sabtu (30/8/14).

Mansuetus Darto, koordinator SPKS, mengatakan, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, tetapi tidak memperhatikan regulasi. Padahal, dalam UU perlindungan dan pemberdayaan petani, jelas diatur. Untuk itu, pemerintahan baru perlu membangun peta jalan petani (roadmap) hingga bisa menekan deforestasi.

Dengan roadmap ini, pemberdayaan seperti pendanaan dan penguatan kapasitas petani bisa berjalan dan diatur jelas. Bukan, sebaliknya seperti selama ini regulasi bak dipegang perusahaan swasta.

Dia mengatakan, hampir 40% perkebunan sawit milik petani mandiri. Untuk itu, Jokowi-JK diharapkan bisa memberdayakan petani mandiri yang masih memegang teguh adat perlindungan hutan. Jokowi-JK harus bisa meningkatkan produktivitas sawit yang nol deforestasi. Bukan seperti milik perusahaan besar bahkan BUMN yang merusak hutan. Dia menyebutkan, ketimpangan pengetahuan, dan dukungan pemerintah minim, menyebabkan produktivitas kebun sawit mandiri rendah.

Sisi lain, pemerintah menargetkan produksi sawit nasional dari 25 juta ton menjadi 40 juta ton pada 2020.  Kondisi ini,  berisiko mempercepat deforestasi hutan.

“Harus ada aturan tegas mencapai nol deforestasi, bersikap tegas terhadap perusahaan besar yang melanggar, dan pembangunan roadmap kepada petani mandiri,” ucap Darto.

Berdasarkan pemantauan mereka, deforestasi terjadi oleh perusahaan besar. Terbukti, banyak perusahaan sawit melanggar regulasi. Sesuai aturan, jika memiliki perkebunan sawit di atas 25 hektar, harus memiliki izin usaha. Di bawah 25 hektar, hanya wajib memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB). “Itu dilanggar bahkan ada meluaskan lahan usaha sampai kawasan hutan.”

Achmad, koordinator Solusi Greenpeace Indonesia, melihat, bukan hanya perusahaan besar perlu kampanye nol deforestasi, juga petani. Untuk itu, best management practice petani mandiri, menjadi salah satu solusi, dimana poin-poin pengelolaan lingkungan ramah, terutama di lokasi gambut berjalan baik. Roadmap petani sawit juga perlu dibuat. “Ini akan mencegah nol deforesrtasi dan berpihak kepada ekonomi berdikari.”

Selain itu, katanya, moratorium izin hutan dan lahan harus diperkuat. Selama periode ini moratorium lemah, terbukti izin masih bertambah. “Komitmen perusahaan menjaga hutan dan tidak melanggar aturan juga perlu dipertegas.”

Sedangkan Kusnadi Oldani, direktur eksekutif Walhi Sumut, menyatakan, ekspansi kebun sawit perlu ditekan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Juga perlu review ulang konsesi perusahaan karena ada dugaan perluasan konsesi perkebunan sawit pemberian izin.

Pemerintah baru, katanya, harus mengeluarkan konsesi bermasalah bagi masyaraat adat. “Begitu luas kerusakan hutan akibat alih fungsi menjadi perkebunan sawit, rezim baru mesti audit lingkungan.” Untuk itu, Walhi Sumut mendesak rezim Jokowi-JK, menghentikan pemberian izin kebun baru kepada perusahaan yang mengabaikan soal lingkungan.

Kebun milik petani sawit mandiri. Perlu keseriusan pemerintah meningkatkan produktivitas petani sawit mandiri dan menyiapkan roadmap buat mereka. Foto: Ayat S Karokaro

Kebun milik petani sawit mandiri. Perlu keseriusan pemerintah meningkatkan produktivitas petani sawit mandiri dan menyiapkan roadmap buat mereka. Foto: Ayat S Karokaro

Banyak PR

Greenpeace menilai pekerjaan rumah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bidang lingkungan menumpuk dalam 100 hari terakhir hingga menjadi  tugas lanjutan bagi pemimpin baru. Greenpeace Indonesia menggambarkan itu lewat empat film dokumenter bertajuk Silent Heroes.

Empat film ini menceritakan pencemaran lingkungan di Kali Ciliwung, masyarakat Sei Utik, Kapuas Hulu, Kalbar, yang mempertahankan kearifan lokal dan tak mendapatkan listrik pemerintah. Lalu, cerita masyakarat Pandumaan-Sipituhuta yang berjuang mempertahankan hutan kemenyan dari perusahaan. Satu lagi, cerita Mama Dian, dari Pulau Bangka, yang berjuang dan tak gentar menolak tambang yang bakal mengeruk pulau mereka.

Arifsyah Nasution mengatakan, juru kampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, pemerintahan SBY meninggalkan banyak persoalan lingkungan menyangkut perlindungan hutan, keadilan energi, pencemaran air sungai, serta penangkapan ikan berlebih dan ilegal.  “Apabila tak segera diselesaikan, akan menjadi tambahan pekerjaan rumah pemerintahan baru,” katanya dalam rilis kepada media.

Menurut Arifsyah, solusi ketidakadilan energi ini bisa lewat pengembangan sistem energi terdesentralisasi sesuai potensi sumber daya  masing-masing daerah, dan mempertimbangkan kearifan lokal.  Ini sudah dikembangkan di Sui Utik melalui program energi terbarukan nusantara (enter nusantara) diinisiasi Greenpeace bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Pemerintah, katanya, juga masih tak peduli terhadap sumber daya air sebagai kebutuhan pokok manusia. Pemerintah belum melihat air sebagai sumber kesejahteraan masyarakat.  “Regulasi dan penegakan hukum lemah hingga membuat mayoritas sungai di Indonesia tercemar limbah domestik dan B3 industri.”

Untuk itu, sudah saatnya pemerintah mengubah kebijakan agar tekanan terhadap masyarakat tidak berlarut-larut. Sebelum habis masa jabatan, SBY diminta melakukan langkah nyata. “Pemerintah baru harus bersiap dengan tumpukan pekerjaan rumah ini.”

Berharap kepada Jokowi

Konflik wilayah adat juga pekerjaan rumah bagi pemerintah baru, salah satu penahanan tokoh adat di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. 

Ketua Dewan Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel sekaligus Wakil Bupati Muba, Beni Hernedi mengatakan, dalam visi misi Presiden terpilih Jokowi jelas memasukkan komitmen melindungi dan mengakui keberadaan hak masyarakat adat. 

Untuk itu, AMAN berharap, Jokowi bisa merehabilitasi massal masyarakat adat yang dikriminalisasi, termasuk di Sumsel. Sekaligus mendorong dialog antara pemerintah daerah, gubernur, bupati dengan penegak hukum.  “Agar mengambil kebijakan implementatif mengakui keberadaan dan perlindungan masyarakat adat,” Senin (1/9/14).

Dia mengatakan, pasca keputusan MK No 35, seharusnya pihak berwenang mengedepankan pendekatan persuasif dan tidak mengkriminalisasi masyarakat adat akibat berbeda pandangan terhadap hutan.

Pemerintah mengklaim kawasan itu hutan negara. Sedang masyarakat adat adalah hutan adat turun menurun. “Mereka ditangkap disangka mencaplok hutan suaka margasatwa. Kita sangat sesalkan penangkapan itu.”

Menurut dia, setelah keluar MK  35, sudah sepatutnya ada keberpihakkan atas hak-hak adat di Sumsel. “Berikan hak-hak masyarakat adat.”

 

 


Koalisi Desak Pemerintahan Baru Serius Tekan Deforestasi dari Perkebunan Sawit. Caranya? was first posted on September 5, 2014 at 4:18 pm.

Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit

$
0
0
Buah pala yang menjadi salah satu andalan mata pencarian warga di nenerapa desa di Halmahera Utara ini terancam. Perusahaan sawit akan masuk dan mengambil lahan yang selama ini menjadi kebun warga. Foto: AMAN Malut

Buah pala yang menjadi salah satu andalan mata pencarian warga di beberapa desa di Halmahera Utara ini terancam. Perusahaan sawit akan masuk dan mengambil lahan yang selama ini menjadi kebun warga. Foto: AMAN Malut

Warga Desa Masure, Peniti, Damuli dan Banemo, selama ini hidup tenang dengan bertani antara lain, pala dan cengkih. Namun, belakangan mereka resah kala Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, memberikan izin perkebunan sawit kepada PT Manggala Rimba Sejahtera. Kebun mereka yang berada di kawasan hutan adat terancam.

Warga menyatakan, pemerintah dan perusahaan tak ada sosialisasi. Lebih parah, lokasi kebun sawit bakal mengambil lahan adat yang sudah menjadi kebun pala dan cengkih.

Masyarakat adat di tiga kecamatanpun, yakni, Patani Barat, Patani Utara dan Patani Timur, tegas menolak kehadiran perusahan sawit yang bakal menguasai hutan adat seluas 11.870 hektar ini.

Penolakan itu, diikuti pemasangan plang berisi tulisan “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi 35.  Mereka melayangkan 15 tuntutan kepada Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah guna membatalkan izin perusahaan sawit ini.

Kementerian Kehutanan langsung memasang patok diatas kebun warga. Meskipun informasi petugas Kemenhut, patok bukan untuk perusahaan sawit tetapi batas Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, warga tak yakin.

Plang yang dibuat warga adat guna menandai lahan (hutan) mereka agar tak diambil perusahaan. Foto: AMAN Malut

Plang yang dibuat warga adat guna menandai lahan (hutan) mereka agar tak diambil perusahaan. Foto: AMAN Malut

Nasar Jumat, tokoh masyarakat Desa Peniti lewat rilis yang disampaikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara (AMAN Malut) mengatakan, petugas langsung memasang patok di kebun warga. Katanya, patok batas kabupaten dan perluasan desa,” kata Nasar Jumat, tokoh masyarakat Desa Peniti.

Mereka khawatir karena kebun sawit ini mengancam kehidupan dan menghilangkan sumber pencaharian yang sudah dikelola turun-temurun.

“Pala dan cengkih itu menghidupkan kami selama ini. Dari situ kami makan setiap saat, bisa sekolahkan anak, bisa bangun rumah, bisa naik haji, bukan sawit. Jadi kalau pemerintah mau menggantikan dengan sawit, itu akan membuat kami kehilangan segala yang dibangun selama ini,” kata Bakri Sanun, warga Masure.

Hutan bakal menjadi perkebunan sawit itu berisi puluhan ribu pohon pala dan cengkih. Dua produk ini sudah menjadi identitas masyarakat adat setempat. Sekali panen, mereka bisa menghasilkan uang sekitar Rp10 juta.

Penolakan warga tampaknya masih belum dianggap pemerintah daerah. Pada Agustus 2014, seperti dikutip dari Malut Post, Wahab Samad, kepala Dinas Kehutanan Halteng mengatakan, investasi sawit di Patani akan membawa manfaat kepada masyarakat. “Walaupun masyarakat menolak,  investasi ini tetap jalan di Patani,”katanya.

Menurut dia, investasi itu bermanfaat ekonomi karena pengelolaan diserahkan kepada masyarakat. “Jadi manfaat sangat besar bagi masyarakat karena sawit dikelola masyarakat dan dijual ulang ke perusahaan.” Yang dimaksud Wahab, ini sistem plasma yang banyak bermasalah di berbagai daerah. Dia berjanji kebun warga akan dilindungi alias tak digusur.

Warga adat yang memasang plang di hutan-hutan adat mereka. Foto: AMAN Malut

Warga adat yang memasang plang di hutan-hutan adat mereka. Foto: AMAN Malut

Tuntutan Masyarakat Adat Tiga Kecamatan di Halmahera Tengah yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Halteng Menolak Sawit di Patani1.Menolak tegas pembukaan lahan untuk perkebunan sawit.2.Meminta Bupati dan DPRD membatalkan izin pembukaan kebun sawit di Patani Barat.

3.Meminta Pemkab dan DPRD menertibkan izin pengelolaan hutan di Kecamatan Patani Barat.

4.Mendesak Pemkab dan DPRD mengakui hutan adat dan menghormati hak-hak masyarakat adat Banemo, Peniti, Damoli dan Masure.

5.Meminta Pemkab dan DPRD membangun jalan produksi untuk mempermudah akses masyarakat ke kebun.

6.Berdasarkan aspirasi masyarakat, kami menolak izin PT. Manggala Rimba Sejahterah (MRS) yang akan beroperasi di Desa Masure, Peniti, Damuli.

7.Bahwa lahan di konsesi adalah perkebunan masyarakat yang sudah dimanfaatkan sejak lama.

8.Kami hidup dengan hasil pala, cengkih, kopra, coklat, kelapa dan hasil kebun lain.

9.Kami bisa menyekolahkan anak mejadi sarjana dari hasil perkebunan Pala bukan hasil dari kelapa sawit.

10.Lahan tidak cocok untuk perkebunan sawit, karena banyak gunung, tebing, dan bebatuan.

11.Kami tidak mau banjir, erosi, pencemaran lingkungan, krisis air bersih dan lain-lain.

12.Masyarakat Peniti dan Damuli menolak perusahaan sawit karena masyarakat punya kehidupan bergantung, dari hutan.

13.Masyarakat Desa Peniti-Damuli menolak dengan sungguh-sungguh karena khawatir merusak dan menghancurkan hutan, hingga kami tidak bisa lagi berkebun.

14.Kami masyarakat Peniti-Damuli menolak perusahaan karena akan mematikan mata air.

15.Apabila perusahaan memasuki hutan yang selama ini masyarakat Peniti-Damuli jaga dan rawat, maka kami siap nyawa menjadi taruhan.


Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit was first posted on September 7, 2014 at 5:01 pm.

Wah! Investigasi Ungkap Pemasok Perusahaan Besar Masih Beli Sawit Ilegal

$
0
0
Temuan Eyes on The Forest menyebutkan,  pemasok perusahaan-perusahaan besar masih menerima tanda buah segar sawit dari sumber-sumber 'haram' dari kebun sawit di Bukit Batabuh, Riau, yang merupakan koridor harimau Sumatera. Foto: Sapariah Saturi

Temuan Eyes on The Forest menyebutkan, pemasok perusahaan-perusahaan besar masih menerima tanda buah segar sawit dari sumber-sumber ‘haram’ dari kebun sawit di Bukit Batabuh, Riau, yang merupakan koridor harimau Sumatera. Foto: Sapariah Saturi

Pemasok perusahaan-perusahaan sawit besar diduga masih membeli bahan baku dari sumber-sumber ‘kotor’ karena diperoleh dari area koridor harimau Bukit Batabuh, Riau, Sumatera. Padahal, perusahaan-perusahaan ini telah berkomitmen mengurangi deforestasi dari rantai pasokan mereka.

Temuan ini terungkap dalam investigasi Eyes on The Forest berjudul Tiger in your tank, destruction of Riau’s Bukit Batabuh tiger corridor for palm oil yang dirilis Jumat (5/9/14).

Investigasi ini menelusuri asal muasal produksi tandan buah segar sawit, ternyata berasal dari kebun-kebun ilegal yang membabat hutan lindung yang menjadi koridor harimau, di Bukit Batabuh.

Bukit Batabuh terhubung dengan Cagar Alam Bukit Rimbang-Bukit Baling (Sumatera Barat) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi). Lahan seluas 95.824 hektar ini habitat penting harimau Sumatera. TBS sawit dari kebun-kebun ilegal itu masuk ke pabrik-pabrik milik Agro Muko, Wilmar, Asian Agri, Darmex, Incasi Raya, Mahkota, dan Sarimas.

Setelah itu, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dikapalkan lewat pelabuhan milik SK Group, dengan konsumen termasuk Asian Agri/Royal Golden Eagle, Astra, Cargill, Darmex, Salim, Sarimas dan Sinar Mas.

Laporan ini mengindentifikasi, 27 kelompok yang beroperasi di koridor itu. Sebanyak 18 kelompok skala kecil dengan pendanaan sendiri, kebun mandiri dengan rata-rata sekitar delapan hektar per keluarga.  Mayoritas anggota kelompok datang dari berbagai daerah.

Ada juga kelompok berskala besar dengan minimum kebun 250 hektar didanai pemodal luar daerah dan beroperasi seperti perusahaan. Ada lagi, kebun plasma di bawah Kredit Koperasi Primer untuk Anggota dari perusahaan Sarimas Grup, PT. Tri Bakti Sarimas. Perusahaan ini menjalankan dua pabrik di dekat kawasan itu.

Survei ini memperkirakan, dari sekitar 19.000 hektar kebun sawit yang ada, sebagian sudah berbuah dan hampir 4.000 hektar baru pembersihan lahan. Sekitar 9.000 hektar semak belukar, yang diduga juga akan ditanami sawit.

“Kala tanaman sawit kecil dan yang baru ditanami nanti berproduksi, kemungkinan dalam tiga tahun ke depan,  kami perkirakan pasokan tandan buah segar illegal dari area ini akan meningkat tiga kali lipat,” sebut laporan itu.

Penelitian ini dimulai pada Januari 2014, sebulan setelah Wilmar mengumumkan kebijakan nol deforestasi yang juga berlaku bagi para pemasoknya. Sejak itu, Cargil dan Asian Agri juga berkomitmen menekan deforestasi,  sampai ke rantai pemasok mereka.

“Minyak sawit dari buah-buah ilegal yang ditanam di habitat harimau Sumatera ini mungkin dikirim sampai jauh menggunakan kapal. Mungkin saja masuk ke pabrik-pabrik perusahaan terkenal di dunia, baik di Indonesia, Malaysia dan Singapura.”

Peta koridor harimau di Bukitbatabuh. Sumber: Eyes on the Forest

Laporan itu menyebutkan, temuan ini memperlihatkan, untuk menghilangkan deforestasi dan perambahan ilegal menjadi kebun sawit merupakan tantangan berat di Indonesia. Untuk itu, Eyes on the Forest mendesak, pembeli harus melacak sumber pasokan sawit guna memastikan komitmen zero deforestasi mereka kredibel.

Temuan EoF itu memperlihatkan deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi di Indonesia oleh berbagai penyebab, dari HTI, tambang termasuk sawit. Bahkan, Greenpeace pernah merilis laporan menyatakan deforestasi terbesar disumbang oleh pengembangan sawit

100 juta hektar hutan terdegradasi

Sementara itu, analisis terbaru secara global menemukan lebih 104 juta hektar kawasan hutan terdegradasi sejak 2000-2013. Luasan ini sama dengan tiga kali Jerman!

Ia terungkap dari hasil analisis Greenpeace GIS Laboratory, University of Maryland dan Transparent World, berkolaborasi dengan World Resources Institute dan WWF-Russia.

Mereka, menggunakan satelit dan teknologi terkini melakukan analisis global untuk menentukan lokasi dan jangkauan dari luas hutan tersisa yang masih terjaga, disebut lansekap hutan utuh (Intact Forest Landscapes/IFLs).

IFLs ini, merupakan kawasan cukup luas untuk menjaga keragaman hayati lokal dengan lokasi tak terpecah-pecah oleh penebangan, dan infrastruktur seperti jalan, tambang maupun eksplorasi minyak dan gas. IFLs juga termasuk area tak produktif dengan tutupan pohon pendek dan area tak berhutan.

Peta baru ini bisa diakses dan dianalis menggunakan tools teranyar Global Forest Watch. Ia sistem yang dinamis, pengawasan hutan online dan memberikan keleluasaan untuk memanaj hutan

Analisis mereka mengungkapkan beberapa temuan kunci, seperti sejak 2000, sekitar 8,1% IFLs telah terdegradasi. Hampir, 95% dari lansekap hutan utuh dunia itu di daerah tropis dan wilayah utara. Daerah utara itu seperti Kanada, Russia and Alaska (47%) dan hutan tropis antara lain, Amazon (25%) and Congo (9%). 

Dr. Christoph Thies, pengkampanye hutan senio Greenpeace International mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah untuk menghentikan degradasi di kawasan IFLs. Caranya, dengan membuat lebih banyak kawasan lindung, memperkuat hak masyarakat di dalam hutan, serta upaya lain untuk melindungi hutan dengan tetap benilai ekonomi, sosial dan konservasi.

“PBB, negara pendonor, dan bank-bank juga perlu mendukung negara-negara itu melindungi IFLs. Juga inisiatif perusahaan swasta seperti Forest Stewardship Council dan berbagai organisasi sawit, kedelai, daging dan lain-lain bisa memperkuat standar mereka guna menghindari degradasi IFLs.”

 


Wah! Investigasi Ungkap Pemasok Perusahaan Besar Masih Beli Sawit Ilegal was first posted on September 8, 2014 at 2:46 am.

Menjaga Hutan di Bukit Pensimoni

$
0
0
Di kiri kanan sungai Dusun Cerekang, hutan terjaga alami. Dengan kearifan lokal, masyarakat mempertahankan hutan agar tak tersentuh pembangunan, sebagai tabungan pasokan air bersih bagi warga. Foto: Eko Rusdianto

Di kiri kanan sungai Dusun Cerekang, hutan terjaga alami. Dengan kearifan lokal, masyarakat mempertahankan hutan agar tak tersentuh pembangunan, sebagai tabungan pasokan air bersih bagi warga. Foto: Eko Rusdianto

Dusun Cerekang. Begitu nama daerah di Desa Manurung, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, ini.  Sepintas tak ada yang istimewa di dusun dengan 400 jiwa ini. Mayoritas masyarakat hidup sebagai nelayan. Namun, kearifan lokal mereka menjaga hutanlah yang mengagumkan. Di sana, ada Bukit Pensimoni, dengan hutan terjaga baik turun menurun hingga sumber air bersih melimpah dan alampun terpelihara.

Pensimoni adalah hutan ‘keramat’ yang dipercaya sebagai tempat pertama Batara Guru (Tomanurung, manusia pertama yang turun dari langit mengisi dunia) menapakkan kaki di bumi. Hutan itu begitu terjaga, tak dapat dimasuki siapapun, bahkan untuk menunjuk saja dianggap sebagai perwujudan sikap sombong dan angkuh (madoraka).

Secara tata kelola pemerintahan modern, Cerekang dipimpin kepala dusun. Secara sosial dan budaya, kampung ini dipimpin dua orang imam– perempuan dan laki-laki- bergelar Pua’. Pua’ berarti perwujudan orang-orang bersih dan terpilih. Pua’ secara tradisi mengikat seluruh elemen kegiatan manusia Cerekang. Proses pemilihan secara musyawarah dan spiritual (melalui mimpi) semua tokoh masyarakat di kampung, yang dianggap sebagai hasil hubungan dari dewata.

Pembagian peran Pua’ pun diatur sedemikian baik. Pua’ laki-laki mengurusi hubungan manusia dengan pencipta. Pua’ perempuan mengurus masalah adat yang berhubungan dengan bumi.

Pada 2010, Pua’ Laki-laki meninggal dunia dan pengganti belum ditemukan hingga kini. Saat ini, Cerekang hanya dipimpin Pua’ perempuan. Namanya Sahe,  70 tahun.

Dusun Cerekang, perkampungan nelayan yang menjaga hutan dengan kearifan lokal yang turun menurun. Foto: Eko Rusdianto

Dusun Cerekang, perkampungan nelayan yang menjaga hutan dengan kearifan lokal yang turun menurun. Foto: Eko Rusdianto

Senin pagi, 25 Agustus 2014, saya menemui Pua.’  Dia sedang bersantai di ruang tamu. Dia menggunakan kursi roda, tangan kanan tak dapat bergerak dengan bebas, bahasa pun sudah mulai sulit dicerna karena serangan stroke beberapa tahun lalu.

Mengapa orang Cerekang tak boleh memasuki hutan di Pensimoni? “Tidak boleh. Tidak boleh. Itu pesan dari dulu,” kata Pua’.

Iwan Sumantri, Arkeolog dari Universitas Hasanuddin mengatakan, jika posisi Cerekang masa lalu merupakan hidden centre atau pusat tersembunyi yang mengatur kerajaan Luwu dari sisi spiritual. “Jadi posisi Cerekang menjadi sangat penting. Hutan dan sungai dikeramatkan sebagai cara mereka menjaga hutan,” katanya.

Bagi masyarakat di Cerekang, bukit Pensimoni adalah tempat yang suci dan tak boleh dijangkau tanpa ritual dan izin dari Pua’. Bahkan warga Cerekang yang pernah menengok isi hutan itu bisa dihitung jari.

Di Cerekang, ada delapan titik hutan adat, selain Pensimoni, ada Lengkong (muara pertemuan Sungai Cerekang, Lakawali, dan Ussu) atau Bukit Sangiang Serri yang dipercaya sebagai tempat bermula tanaman padi. Hutan-hutan ini tetap lestari dan tak boleh digarap.

Laporan The Origin of Complex Society in South Sulawesi (Oxis) oleh Iwan Sumantri, David Bullbeck (Australia National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) tahun 1998 yang dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu  menuliskan, kemampuan masyarakat Cerekang menjaga hutan melalui tetabuan hingga sekarang alam terjaga tetap baik. “Saya kira selama orang Cerekang masih memegang kepercayaan, hutan itu tetap lestari,” kata Iwan.

Muchsind Daeng Manakka, tokoh masyarakat Cerekang mengatakan, dalam hutan di Pensimoni, hanya ada pohon dan tanaman lain, meskipun dipercaya sebagai penanda pijakan Batara Guru. Pensimoni merupakan tanah pertama di dunia. “Kami percaya inilah pusat dunia pertama kali.”

Kapal-kapal nelayan yang sandar di tepian sungai usai melaut. Foto: Eko Rusdianto

Kapal-kapal nelayan yang sandar di tepian sungai usai melaut. Foto: Eko Rusdianto

Ketika saya mengunjungi, Muchsind baru selesai menjaring ikan di laut dan menyandarkan perahu. Agustus adalah musim kerapu. Dia mendapatkan beberapa ekor untuk kebutuhan keluarga, selebihnya dijual. Rumahnya berdiri di sisi Sungai Cerekang dan bersebelahan dengan Bukit Pensimoni. Keteguhan dan kearifan menjaga hutan terlihat. Kepalanya selalu menunduk setiap bercerita tentang hutan.

“Kami bekerja sebagai nelayan. Penghasilan itu sudah cukup, kenapa harus mencari lebih banyak? kata Muchsind.

Nelayan melaut dua hari sekali. Setiap Agustus-September musim kerapu. “Per ekor dijual Rp35.000,” katanya.

Hutan Pensimoni, terjaga tetapi belum terjamin aman. Awal 2000-an, ketika perdagangan kayu ilegal marak, Pensimoni tak lepas dari jarahan. Penjarah menyusup melalui bagian belakang bukit, mereka menebang kayu berukuran besar mengangkut dan menarik dengan kerbau atau alat berat. Tak terhitung konflik antara masyarakat Cerekang dan perambah berujung pertikaian.

Andaipun kelak, kata Pua’, orang-orang Cerekang miskin dan harus menebang pohon dipastikan akan memilih tempat lain.

Sekitar dua kilometer dari Cerekang, beberapa bukit terlihat gundul, pohon besar dan rimbun mulai berganti menjadi sawit. Muncul kekhawatiran serupa ‘menular’ di Pensimoni.

Untuk itu, kepala Desa Maurung, Irwan Jafar akhir tahun ini akan sosialisasi pembuatan peraturan desa mengenai hak hutan adat dan ulayat. Dia berharap, setelah sosialisasi hutan adat, pemerintah kabupaten akan merespon dan menetapkan Pensimoni serta tujuh titik hutan adat lain dalam perda.  “Hutan bagi kami adalah segalanya. Kami tentu tak ingin melihat masa mendatang Pensimoni menjadi perkebunan.”

Rumah adat penduduk tampak asri, berdampingan dengan alam yang tetap terjaga. Foto: Eko Rusdianto

Rumah adat penduduk tampak asri, berdampingan dengan alam yang tetap terjaga. Foto: Eko Rusdianto

Sungai perwujudan dunia bawah 

Catatan lain dari laporan Oxis menuliskan jika perkembangan kerajaan Luwu di Cerekang dimulai sejak abad 12-13. Pensimoni menjadi tempat pengapalan hasil hutan, seperti damar dan biji besi dari daerah Matano. Kapal-kapal perdagangan menyusuri Sungai Cerekang, hingga ke hulu.

Namun, tak ada literatur pasti kapan Pensimoni dan sungai menjadi bagian sakral dari masyarakat Cerekang. Dalam kosmologi penciptaan manusia oleh masyarakat Cerekang (Kerajaan Luwu), dikenal tiga dunia. Dunia atas yang dihuni para Dewa, dunia tengah (bumi) dan dunia bawah dari air. Batara Guru anak dari Patotoe (Dewa Penentu Takdir) dari dunia atas yang menikah dengan We Nyili Timong dari dunia bawah. Dua keturunan ini bertemu di wilayah Cerekang. “Batara Guru turun di Pensimoni dan We Nyili Timong muncul dari dalam air di Lengkong,” kata Muchsind.

Bertahannya tradisi kepercayaan lisan secara turun temurun oleh masyarakat Cerekang menjadikan alam tertata baik. Hutan lebat akan menjaga cadangan air melimpah. Di sungai yang dihuni buaya–dianggap representasi penghuni dunia bawah–tak terusik. “Buaya itu bahasa sekarang, kami bilang nenek. Saya mandi di sungai ini, kadang-kadang berpapasan dengan nenek. Manusia dan nenek tak pernah saling mengganggu,” ucap Muchsind.

Posisi air (sungai) sebagai perwujudan negeri dunia bawah sama dengan hutan yang tak boleh dikotori. Tak dibenarkan membuang hajat dan sampah di aliran sungai. Jika hendak mandi dan menggunakan sabun pun harus naik ke daratan.

Dalam kisah yang tertulis di epik I La Galigo, saat Sawerigading memimpin penduduk bumi, dia menebang pohon walenrenge (pohon kehidupan) untuk keperluan pembuatan perahu untuk berlayar ke negeri Tiongkok menjemput calon istri, We Cudai. Dia membuat kekacauan tiada tara. Pohon yang dipercaya tumbuh di dekat Cerekang itu, ‘marah’ menenggelamkan beberapa kampung, membelah gunung hingga menyebabkan banjir bah.

Tak hanya itu, binatang-binatang yang bernaung di bawah pohon walenrenge ikut bersedih, sarang dan telur burung menjadi pecah. Tak ada lagi tempat perlindungan. “Iya, saya kira itu juga pelajaran dan makna supaya tidak gampang tebang pohon,” kata Muchsind.

Warga Cerekang mendayuh sampan. Sampan, sebagai salah satu alat transportasi di sana. Foto: Eko Rusdianto

Warga Cerekang mendayuh sampan. Sampan, sebagai salah satu alat transportasi di sana. Foto: Eko Rusdianto


Menjaga Hutan di Bukit Pensimoni was first posted on September 8, 2014 at 6:11 am.

Eks PLG, Proyek Sejuta Hektar Sisakan Sejuta Masalah. Mengapa?

$
0
0
Tepian sungai di sekitar eks  PLG di Kalteng. Foto: Indra Nugraha

Tepian sungai di sekitar eks PLG di Kalteng. Foto: Indra Nugraha

Tujuh September 2014. Matahari bersinar terik ketika saya tiba di Kelurahan Bereng Bengkel Kecamatan Kapuas, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, siang itu . Adi Candra, warga setempat, menunggu di Sungai Kahayan, bersama sampan kelotok. Dia mengantarkan saya mengelilingi eks  proyek lahan gambut (PLG) satu juta hektar di kota ini.

Proyek ini muncul era Soeharto. Ia  digadang-gadang menjadi mercusuar swasembada beras. PLG melingkupi beberapa daerah, seperti di Kabupaten Barito Selatan, Sebanggau, Palangkaraya dan Pulang Pisau. Proyek yang tak memperhatikan aspek sosial dan lingkungan inipun gatot, alias gagal total. Kini, kerusakan lingkungan parah terjadi. Berbagai masalah muncul.

“Di lahan itu sering kebakaran. Apalagi musim kemarau seperti saat ini,” kata Adi.

Di kelurahan itu,  ada tim serbu api untuk tangani kebakaran lahan namun fasilitas sangat minim. Kala kebakaran di bekas PLG, warga tak bisa berbuat banyak.

Kelotok melaju membelah Sungai Kahayan. Sepanjang perjalanan tampak warga lalu lalang dengan kelotok. Rumah warga berjejer dengan tiang penyangga tinggi dari kayu. Kami melaju hingga sebuah persimpangan, tempat pertemuan antara sungai air berwarna hitam pekat dan cokelat.

“Itu bendungan. Sudah tidak berfungsi lagi,” kata Adi.

Bendungan itu menjadi saksi bisu kerusakan ekosistem gambut di Kalteng. Masih kokoh, meski tak berfungsi. Era pemerintah Soeharto, bendungan itu untuk menjaga ketersediaan air di PLG. Namun, tak berfungsi sama sekali.

Kelotok berbelok menyusuri kanal berair hitam pekat. Tampak sepanjang kanal lahan gambut mengering. Beberapa sempat terbakar beberapa hari lalu. Suasana sepi. Tak ada warga beraktivitas di sana. “Kalau air lagi surut ikan banyak. Kalau air naik, susah cari ikan.”

Dia membawa rengge. Rengge adalah jaring ikan. Warga biasa memasang perangkap ikan di kanal bekas PLG. Ada juga beberapa warga memanfaatkan lahan untuk bertani walau tak banyak. Ada yang ditanami karet dan pisang. Sebagian besar menjadi lahan tidur.

Alfian, warga Bereng Bengkel mengatakan,  banyak perubahan sejak ada PLG. Warga semula petani dengan kualitas bagus, kini berkurang. Perkebunan warga rusak parah dan sebagian besar berpindah mata pencaharian. Bahkan mencari kerja ke luar daerah.

“PLG membuat Sungai Saka tertutup. Gambut kering hingga sering kebarakan. Memang ada sebagian masyarakat memanfaatkan lahan bertani tetapi kualitas buruk. Karet ditanam getah tak keluar karena kulit tipis. Kualitas tanah dan air buruk karena mengandung asam terlalu tinggi.”

Menurut dia, dibanding manfaat, kerusakan yang terjadi jauh lebih besar. Bahkan, ada beberapa jenis tanaman hilang, antara lain rotan dahanen dan ahas. Kini, dua jenis rotan ini sulit ditemukan.

“Rotan berukuran besar. Dulu mudah dapat. Sekarang gak ada. Itu proyek sejuta lahan menghasilkan sejuta masalah. Proyek itu menyebabkan kekeringan, kebakaran dan kemiskinan,” kata Alfian.

Bendungan di lahan eks PLG, yang tak berfungsi. Foto: Indra Nugraha

Bendungan di lahan eks PLG, yang tak berfungsi. Foto: Indra Nugraha

Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, pemerintah perlu merehabilitasi eks PLG. Namun pendekatan harus menyertakan kearifan lokal masyarakat.

“Dulu pernah ada inpres rehabilitasi lahan eks PLG. Tidak berhasil. Karena inpres itu tidak mengajak masyarakat terlibat aktif.”

Selama ini,  upaya pemerintah merehebilitasi lahan gambut eks PLG selalu base on protection area. Banyak proyek merehabilitasi lahan, tetapi masyarakat tak pernah dilibatkan. Padahal, katanya,  di lahan itu ada ruang kelola masyarakat hingga seringkali menimbulkan konflik baru. Masyarakat sekitar seolah tersingkir dari ruang kelola.

“Sekarang ada pembahasan soal RPP Gambut. Ini menjadi buah simalakama. Gambut dilindungi sedemikian rupa dan seolah menyingkirkan masyarakat. Padahal masyarakat tak bisa disingkirkan begitu saja. Mereka harus dilibatkan partisipatif dalam mengelola lahan gambut.”

Sejak 2004, katanya,  sudah banyak konsesi perkebunan sawit masuk di eks PLG. “Ini menjadi ancaman serius masyarakat di sekitar kawasan.  Bencana ekologis sudah di depan mata.”

Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng mengatakan, lahan eks PLG seharusnya ditata ulang dan peruntukan diperjelas peruntukannya, libatkan masyarakat secara holistik. Namun fakta di lapangan menunjukan, pemerintah daerah justru memberikan izin untuk perkebunan kelapa sawit di bekas lahan PLG.

Dia mengatakan, masterplan rehabilitasi eks PLG sebenarnya sudah berbicara soal tata ruang dan ruang kelola masyarakat. Namun, malah diacak-acak pemerintah daerah dengan menerbitkan izin perkebunan sawit.

Dia mencontohkan, di Kabupaten Kapuas. Daerah ini ditetapkan sebagai lumbung padi Kalteng. Justru bupati banyak memberikan izin konsesi sawit di eks PLG.

“Fakta di lapangan, areal itu diterbitkan arahan lokasi untuk perkebunan sawit. Bahkan  ada tumpang tindih sama Kota Terpadu Mandiri Lamunti.”

Bupati Kapuas Ben Brahim menerbitkan dua izin lokasi pada  PT. Borneo Alam Nusantara dan PT. Surya Mandala Sentosa  di Kecamatan Timpah dan Kapuas Tengah. Juga mengeluarkan arahan enam lokasi pada  PT. Surya Mandala Satria dan PT. Surya Kapuas Mandiri di Kecamatan Kapuas Hulu dan  Mandau Talawang. Juga PT. Duta Agro Indonesia di Kecamatan Mantangai dan Kapuas Murung, PT. Pesona Alam Indah di Kecamatan Dadahup dan Kapuas Murung, serta PT. Kapuas Sawit Sejahtera  di Kecamatan Kapuas Barat.

“Bahkan PT. Pesona Alam Indah arahan lokasi kebun baru diberikan bupati, di lapangan mereka telah beroperasi. Izin kebun belum lengkap dan daerah itu pencadangan lahan pertanian,” kata Itan, begitu dia biasa dipanggil.

Arahan lokasi PT. Duta Agro Indonesia berada di UPT Trans PLG Blok A5 dan ada percontohan pencetakan sawah tetapi dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Lahan itu juga  tumpang tindih dengan pemukiman di Kecamatan Dadahup.

“Selain perizinan tumpang tindih, paling krusial terjadi alihfungsi lahan dari pertanian berkelanjutan untuk lumbung padi menjadi perkebunan sawit.”

Menurut dia, banyak peraturan dilanggar Bupati Kapuas, seperti UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, UU Tata Ruang,  Perda RTRWP Kapuas, dan Master Plan Rehabilitasi Eks PLG. Juga SK Bupati Kapuas No 800 tahun 2008  dan  Perda Kota Terpadu Mandiri Lamunti. “Saya mendesak KPK turun mengusut aktor di balik semua masalah ini.”

Adi Chandra membawa jaring dan mencoba menangkap ikan. Foto: Indra Nugraha

Adi Chandra membawa jaring dan mencoba menangkap ikan. Foto: Indra Nugraha

 

 


Eks PLG, Proyek Sejuta Hektar Sisakan Sejuta Masalah. Mengapa? was first posted on September 8, 2014 at 4:07 pm.

Tolak Sawit di Halmahera, dari Wabup sampai Anggota DPRD Tandatangani Dukungan

$
0
0
Soksi H Ahmad, Wakil Bupati; Wahab Samad, Kadis Kehutanan dan Sekda Basri Amal, menandatangani surat dukungan penolakan sawit itu. Foto: AMAN Malut

Soksi H Ahmad, Wakil Bupati; Wahab Samad, Kadis Kehutanan dan Sekda Basri Amal, menandatangani surat dukungan penolakan sawit itu. Foto: AMAN Malut

“…kami Pemerintah Halmahera Tengah, DPRD Halmahera Tengah, dan rakyat Halmahera Tengah, dengan tegas mengatakan menolak kehadiran perkebunan sawit, PT Manggala Rimba Sejahtera berinvestasi di Halmahera Tengah…”

Demikian kutipan surat pernyataan penolakan kebun sawit yang disodorkan Aliansi Peduli Patani Barat dan Masyarakat Patani Barat, kala aksi di kantor Bupati dan DPRD Halteng, Senin (8/9/14).

Pada hari itu, Soksi H Ahmad, Wakil Bupati; Wahab Samad, Kadis Kehutanan dan Sekda Basri Amal, menandatangani surat dukungan penolakan sawit itu. Berikut enam anggota DPRD Halteng Faris Abdullah, Muhlis Ajaran, Hamlan Kamaludin, Sofyan H Usman, Mustamir Arsad dan Bahri.

Selama ini, warga Desa Masure, Peniti, Damuli dan Banemo, Halteng, hidup tenang,  mereka bertani antara lain, pala dan cengkih. Merekapun tak rela kebun pala menjadi sawit.

Kekesalan warga bertambah kala pemerintah dan perusahaan tak ada sosialisasi. Terlebih, yang bakalan dicaplok itu lahan adat yang sudah menjadi kebun warga. Masyarakat adat beberapa kecamatan pun menyatakan penolakan.

Aksi  lanjutan Senin itu, berlangsung dari pagi hingga siang di kantor DPRD dan Bupati Halteng. Mereka menuntut antara lain, pencabutan izin dan penghentian pelepasan kawasan buat perusahaan. Massa mendesak anggota DPRD keluar menemui mereka. Dua anggota DPRD keluar.  Mereka menandatangi surat penolakan izin sawit dan berjanji merespon dalam agenda DPRD. Mereka juga akan mengirim surat ke Bupati Halteng,  sesuai tuntutan warga.

Di kantor bupati, mereka diterima wakil bupati, sekda dan Kadis Kehutanan. Massa meminta Pemkab Halteng membuat pernyataan menolak dan segera menyurat ke Menteri Kehutanan menghentikan proses pelepasan kawasan hutan yang berhubungan dengan perusahaan itu. Ketiganya didesak tanda tangan penolakan sawit. Mereka bersedia.

Soksi pun tegas menyatakan penolakan dan berjanji segera menyurati Kementerian Kehutanan (Kemenhut) untuk menghentikan proses pelepasan kawasan hutan.

Tak cukup sampai di situ. Aksi mereka lanjutkan dengan door to door ke kediaman para anggota DPRD Halteng. Mereka bertemu dengan empat anggota DPRD dan memberikan dukungan penolakan.

Solidaritas Masyarakat Halteng Tolak Sawit pun mengeluarkan pernyataan sikap penolakan sawit. Solidaritas ini antara lain terdiri dari AMAN Malut, AMAN Halteng,  LSM Gele-gele, HIPMI Halteng Ternate, Hipma Halteng Sulut, dan Hipma Halteng Jabodetabek.

Aksi gabungan berbagai organisasi dan masyarajat adat Patani Barat, mendesak Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah menolak investasi sawit yang bakal 'membersihkan' kebun pala dan cengkih warga. Foto: AMAN Malut

Aksi gabungan berbagai organisasi dan masyarajat adat Patani Barat, mendesak Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah menolak investasi sawit yang bakal ‘membersihkan’ kebun pala dan cengkih warga. Foto: AMAN Malut

Munadi Kilkoda, ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, menyesalkan, pemerintah daerah sampai mengeluarkan izin sawit. “Sawit ini mengancam hidup masyarakat adat Banemo, Sakam, Peniti, Masure, Damuli, Tepeleo, Palo dan Moreala,” katanya kepada Mongabay via surat elektronik.

Terlebih, katanya, hutan adat mereka sudah menjadi kebun dengan puluhan ribu pala dan cengkih. Beragam tanaman itu, katanya, telah ratusan tahun menjadi sumber utama ekonomi masyarakat di sana. “Lalu akan ditebang begitu saja dan digantikan sawit? Pemerintah sudah kehilangan akal sehat!”

Menurut dia, jika kebun warga berganti sawit, jelas pemerintah benar-benar mementingkan pertumbuhan ekonomi lewat investasi pemodal tanpa peduli hak masyarakat adat yang hilang.

Munadi mengatakan, investasi sawit tidak pantas berada di wilayah itu. Banyak dampak negatif yang bakal muncul, dari kerusakan lingkungan, warga kehilangan akses tanah, wilayah dan sumber daya alam, konflik sosial, dan krisis air. Ia juga akan meningkatkan laju deforestasi.

Dia menambahkan, izin seluas 11.870 hektar kepada perusahaan itu berada di kawasan dengan topografi pegunungan yang berisi kebun pala dan cengkih.

“Pemerintah harus menghentikan seluruh proses ini, tidak boleh ada satu pohon pala dan cengkih ditebang untuk kepentingan perusahaan. Izin harus dihentikan.”

AMAN mendesak,  pemerintah daerah melindungi pala dan cengkih karena merupakan identitas adat daerah itu. “Hutan adat mereka harus diakui pemerintah berdasarkan MK-35 tentang hutan adat.”

Munadi menyatakan, telah mengecek peta, bahwa kawasan hutan yang akan dikonversi untuk perusahan sawit ini, masih berstatus penunjukan, belum penetapan. “Masa’ memberikan izin kepada perusahaan di kawasan hutan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap. Ini harus segera disikapi.”

AMAN, katanya,  menolak tegas investasi sawit ini dan akan menyurati Kemenhut dengan melampirkan sikap warga serta dukungan politik dari pemerintah dan DPRD.

Dua anggota DPRD Halteng kala menandatangani surat dukungan penolakan sawit. Foto: AMAN Malut

Dua anggota DPRD Halteng kala menandatangani surat dukungan penolakan sawit. Foto: AMAN Malut

Sikap Solidaritas Masyarakat Halteng Tolak Sawit

1.Mendesak Kementerian Kehutanan menghentikan seluruh proses yang berhubungan dengan pelepasan kawasan hutan di Patani untuk kepentingan PT Manggala Rimba Sejahtera

2.Mendesak Gubernur Maluku Utara mencabut Keputusan Nomor: 126/KPTS/MU/2011 tentang penunjukan Tim Tata Batas Kawasan Hutan yang bekerja untuk mempercepat proses perizinan PT Mangga Rimba Sejahtera

3.Mendesak kepada Bupati Halmahera Tengah tidak menyetujui seluruh proses yang berhubungan dengan pemberian izin kepada PT Manggala Rimba Sejahtera

4. Mendesak kepada DPRD Halmahera Tengah menyurati Bupati Halteng agar menghentikan seluruh proses perizinan sawit PT Manggala Rimba Sejahtera. Karena akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat Banemo, Moreala, Masure, Peniti, dan Damuli

5.Mendesak kepada BPN kedepan tidak mengeluarkan hak guna usaha kepada PT Manggala Rimba Sejahtera

6. Mendesak KPK dan Kepolisian mengusut proses negosiasi untuk persetujuan izin sawit yang syarat KKN

7. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah harus segera merespon penolakan dari warga Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli atas kehadiran PT Manggala Rimba Sejahtera

8. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah agar menghargai sikap masyarakat Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli yang mempertahankan Pala dan Cengkih dibandingkan sawit

9. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah untuk tidak memperkeruh suasana dengan membuat konflik pada level masyarakat Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli.

10. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah untuk mengakui dan melindungii hak–hak masyarakat adat Banemo, Masure, Peniti, Palo, Sakam dan Damuli atas tanah, wilayah dan SDA.

11. Kepada Pemerintah Halmahera Tengah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lewat pala dan cengkih bukan sawit

12. Jika sikap ini tidak diindahkan, kami bersama masyarakat akan memboikot seluruh aktivitas pemerintahan di Patani.


Tolak Sawit di Halmahera, dari Wabup sampai Anggota DPRD Tandatangani Dukungan was first posted on September 8, 2014 at 11:53 pm.

Sungai Tercemar Limbah Tambang Emas di Mandailing Natal Berkadar Merkuri Tinggi

$
0
0
Alat pemisahan batu-batuan mengandung emas,. Limbah proses langsung dibuang ke sungai. Foto: Ayat S Karokaro

Alat pemisahan batu-batuan mengandung emas,. Limbah proses langsung dibuang ke sungai. Foto: Ayat S Karokaro

Selama ini, sisa pengolahan emas tradisional di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, langsung dibuang ke Sungai Batang Gadis dan Sungai Hutabargot. Hasil uji laboratorium terhadap sampel air tercemar limbah inipun mengandung merkuri di atas ambang batas.

Sampel diambil Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Madina, setelah Mongabay selesai meliput di sana Juli 2014. Sampel diserahkan kepada Forum Mahasiswa Teknik Kimia Institut Teknologi Medan (ITM), dan uji laboratorium.

Syarifah Ainun, anggota Forum Mahasiswa Teknik Kimia ITM, mengatakan, hasil uji laboratorium air limbah pengolahan emas Madina mengandung kimia di ambang batas  seperti, merkuri, timbal, arsen, cadmium, tembaga, nikel, dan zink. Bahkan paling mengejutkan, merkuri yang dibuang mencapai 1,22 mg/l, ambang batas hanya 0,025 mg/l.

Untuk senyawa kimia timbal 0,32 mg/l, ambang batas 0,5 mg/l, dan arsen 0,18 mg/l, ambang batas 0,05 mg/l. Lalu, cadmium ambang batas 0,05 mg/l, namun  hasil uji 1,01 mg/l dan tembaga sebesar 1,14 mg/l, padahal ambang batas 0,5 mg/l. Begitu juga nikel, kandungan 1,11 mg/l, ambang batas sebesar 0,5 mg/l serta zink 3,04 mg/l sedang batas boleh dibuang ke alam 2,5 mg/l.

Menurut dia, merkuri, baik bentuk unsur, gas maupun dalam garam organik, mengandung racun dan tidak bisa ditawar-tawar. “Jika termakan ikan dan ikan dimakan manusia, dipastikan racun masuk ke manusia. Ini sangat beracun,” katanya, Senin (8/9/14).

Kala dia melihat video Mongabay, tampak larutan sisa ekstraksi langsung dibuang tanpa proses. “Kami lihat setelah dicampur merkuri guna memisahkan kandungan emas dengan senyawa lain, tidak diproses lagi, dibuang begitu saja ke aliran air yang biasa digunakan masyarakat. Ini jelas racun yang dibuang.”

Dia menyatakan, secara teori, semua bentuk merkuri baik metal dan alkil, jika terinjeksi tubuh manusia, akan menyebabkan kerusakan otak, ginjal dan hati. Jika dikonsumsi terus menerus akan menyebabkan kerusakan permanen. Dia mengingatkan, Pemerintah Madina, tegas mengatasi ini. Sebab, lebih tiga kecamatan dan puluhan desa setiap hari mengkonsumsi air yang mengandung racun, tertinggi merkuri. Merkuri, katanya, juga bisa menyebabkan penghambatan fungsi enzin. “Ini dapat menyebabkan gangguan syaraf manusia.”

Tempat proses pemisahan batu dan emas menggunakan mercuri, berada di dekat sungai dan langsung mengalir ke sana.  Tak pelak, kala diuji kandungan mercuri di atas ambang batas. Foto: Ayat S Karokaro

Tempat proses pemisahan batu dan emas menggunakan mercuri, berada di dekat sungai dan langsung mengalir ke sana. Tak pelak, kala diuji kandungan mercuri di atas ambang batas. Foto: Ayat S Karokaro

Azudin Siregar, tim yang menguji, menambahkan, manusia akan keracunan jika memakan biota air tercemar mercuri. “Hasil analisis kami atas sampel air limbah yang diserahkan Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas. Kesimpulannya, air sisa pengolahan emas dibuang ke sungai dan mengandung merkuri.”

Dea Nasution, dari FPMMTE Madina, mengatakan, limbah dibuang ke alam tanpa ada pengawasan Balai Lingkungan Hidup (BLH). Limbah dibuang ke Sungai Batang Gadis, yang digunakan masyarakat untuk minum, mencuci, dan kebutuhan sehari-hari.

“Karena kami anggap itu mencemari lingkungan, sampel diperiksa independen oleh para insinyur teknik kimia. Kami tidak percaya hasil Pemerintah Madina,” katanya.

Dahlan Hasan Nasution, Plt Bupati Mandailing Natal, ketika dikonfirmasi mengatakan, sudah berupaya menyelesaikan masalah ini. Dia mengatakan, setidaknya ada lebih 200 mesin galundung, atau gelondongan yang dipakai penambang di sana untuk memecah batu.

Pemkab, katanya, tidak berani gegabah, mengingat pengolahan batu emas oleh penambang tradisional ini sudah berlangsung enam tahun lebih. Jika keputusan dianggap tidak menguntungkan masyarakat, akan ada perlawanan.

Jadi, dalam waktu dekat, pemkab akan menertibkan mesin glondongan dengan memberikan rancangan mesin lain lebih ramah lingkungan guna meminimalisir pencemaran.

Dahlan menyatakan, tengah menyusun rancangan peraturan daerah (ranperda), soal tambang emas tradisional di Madina. Salah satu memasukkan rencana merelokasi tambang, yang beroperasi di hutan lindung Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).

“Saya sudah baca yang ditulis Mongabay soal berita penambangan emas di TNBG. Saya sudah perintahkan ada relokasi dan penindakan jika melanggar UU konservasi dan lingkungan hidup. Soal pencemaran air akibat pembuangan limbah akan ada penertiban.”

Emas yang telah diolah menggunakan senyawa beracun merkuri di Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karokaro

Emas yang telah diolah menggunakan senyawa beracun merkuri di Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karokaro


Sungai Tercemar Limbah Tambang Emas di Mandailing Natal Berkadar Merkuri Tinggi was first posted on September 9, 2014 at 4:05 pm.

Aneh, MA Putuskan Operasi Ilegal, Perusahaan Sawit di Kalteng Cuek. Kok Bisa?

$
0
0
Lahan yang sudah dibuka perusahaan sawit dan diputus beroperasi ilegal oleh Mahkamah Agung. Foto: Save Our Borneo

Lahan yang sudah dibuka perusahaan sawit dan diputus beroperasi ilegal oleh Mahkamah Agung. Foto: Save Our Borneo

Mahkamah Agung pada 24 Desember 2013 memutuskan PT Hati Prima Agro (HPA), anak usaha  Bumitama Gunajaya Agro Group, membuka lahan ilegal. Putusan ini menerima kasasi Kementerian Kehutanan,  sekaligus membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dan Pengadilan Tata Usaha Negara Palangkaraya. Parahnya, hingga kini, perusahaan yang memiliki kebun sawit di Kecamatan Antang Kalang, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah ini, seakan tak peduli. Mereka masih terus beroperasi.

“HPA telah membuka lahan sejak 2009/2010 dengan tidak sah, harusnya serta merta angkat kaki dan meninggalkan lokasi tanpa syarat,” kata Nordin, direktur eksekutif Save Our Borneo, awal September 2014 .

Bahkan, aset bergerak dan tidak bergerak di  perkebunan sebagai alat untuk beraktivitas ilegal selayaknya menjadi  milik negara. Sedang lahan yang sudah dibuka, katanya, harus diambil pemerintah daerah.  “Pemkab Kotim hendaknya segera mengamankan lahan itu.” Selanjutnya, lahan bisa dikembalikan kepada masyarakat pemilik yang dulu mengelola wilayah itu.

Tak jauh beda dikatakan Arie Rompas, direktur eksekutif Walhi Kalteng. Menurut dia, dengan putusan MA menunjukkan HPA beroperasi ilegal. Seharusnya, pemerintah daerah  segera mengambil alih wilayah perusahaan itu agar status jelas.

“Tinggal model pengelolaan mau seperti apa. Daripada dikembalikan kepada perusahaan, lebih baik dikelola daerah atau didistribusikan ke masyarakat. Itu juga bisa dijadikan obyek land reform.  Karena  wilayah  itu  juga merupakan kelola masyarakat,” katanya di  Palangkaraya, Senin (8/9/14).

Proses hukum harus segera berjalan. Bukti-bukti HPA telah beraktivitas ilegal sudah jelas. Pemerintah harus menindaklanjuti dengan penuntutan secara hukum, baik pidana maupun perdata.

“Gugatan bisa dengan pidana lingkungan. Karena telah terjadi kerugian ekologi akibat aktivitas ilegal HPA. Dia harus bayar ganti rugi sebagai upaya pemulihan wilayah. Kalau mau dilihat lebih, ini indikasi korupsi. Ada kerugian negara.”

Karena perusahaan masih beroperasi, Arie mendesak pemerintah menggugat secara hukum. LSM di Kalteng juga mencoba mengirim surat atau mengajukan legal standing terhadap kerusakan ekologis oleh HPA.

“Kita sedang diskusikan dengan sesama aktivis. Ini corporate crime. Pertarungan gugatan sudah dimenangakan di MA.  Dalam konteks kerugian ekologis, kita akan ajukan legal standing.”

Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng mengatakan, pusat dan daerah harus melakukan langkah-langkah sesuai putusan dengan mengeksekusi lahan jika tidak ingin disebut membiarkan atau lalai.

Kebun sawit yang sudah dibuka PT HPA. Anehnya, meskipun sudah diputus ilegal oleh MA perusahaan ini masih terus beroperasi. Foto: Save Our Borneo

Kebun sawit yang sudah dibuka PT HPA. Anehnya, meskipun sudah diputus ilegal oleh MA perusahaan ini masih terus beroperasi. Foto: Save Our Borneo

 


Aneh, MA Putuskan Operasi Ilegal, Perusahaan Sawit di Kalteng Cuek. Kok Bisa? was first posted on September 9, 2014 at 11:51 pm.

Hutan Adat Tumbang Bahanei, Terjaga di Tengah Keterancaman

$
0
0
Hutan keramat tumbang Bahanei  yang tak boleh diganggu gugat. Foto: Indra Nugraha

Hutan keramat Tumbang Bahanei yang tak boleh diganggu gugat. Foto: Indra Nugraha

Ada sebuah desa di tengah hutan, Tumbang Bahanei, namanya. Ia berada di Kecamatan Rungan Barat,  Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dengan kearifan lokal, masyarakat adat di kawasan ini berusaha menjaga dan mengelola hutan dengan lestari. Meskipun, hutan adat mereka terancam, karena diklaim masuk konsesi perusahaan.

Wilayah adat ini dihuni 139 keluarga dengan luas terdiri dari beberapa bagian. Ada hutan pertahanan adat 2.858,898 hektar, hutan cadangan berladang 132,082 hektar, hutan karet 5.841,327 hektar dan hutan wisata adat 43,661 hektar. Total 8.888,0337 hektar.

Wilayah ini berbatasan dengan enam desa lain. Yakni, Tumbang Langgah dan Tusang Raya (Kecamatan Rungan Barat), Desa Tehang (Kecamatan Manuhing Raya), Desa Tumbang Rahuyan dan Sei Antai serta Tumbang Tuwe (Kecamatan Rungan Hulu).

“Tumbang Bahanei jadi yang pertama menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Mereka luar biasa. Mereka tidak lelah terus berkoordinasi dengan kami. Menelpon dan datang ke Palangkaraya berkali-kali. Bahkan kami bilang ke mereka,”  kata Alfianus Genesius Rinting, deputi umum AMAN Kalteng.

Saya berkesempatan ke desa ini bersama rombongan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, minggu pertama September 2014. Mantir adat, Suley Medan dan Dunal S. Rintung menyambut hangat. Banyak warga berkumpul di rumah itu. Ternyata, mereka sedang menyiapkan upacara adat Punduk Sahur. Sebuah ritual menjaga hutan agar tidak terganggu dari pihak jahat. Meminta roh-roh leluhur ikut menjaga hutan tetap lestari.

Masyarakat adat Tumbang Bahanei tidak bisa dilepaskan dari hutan. Bagi mereka, hutan adalah sumber kehidupan. Mata pencaharian warga sebagian besar berladang dan penyadap karet. Sesekali mereka berburu di hutan.

Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Memasuki wilayah adat Tumbang Bahanei. Warga berupaya menjaga lingkungan dan hutan mereka. Mereka juga telah menyelesaikan pemetaan wilayah adat. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah ini aturan adat sudah dibuat tertulis yang disahkan 29 Mei 2014. Meski begitu, hukum adat sudah lama berlaku di wilayah mereka. Hanya, dulu lisan saja. Hukum tertulis dibuat untuk menguatkan keberadaan mereka.

“Kalau melanggar hukum adat nanti kena jipen,” kata Suley, yang biasa disapa Pak Dagik.

Dia mengatakan, satu jipen setara Rp100.000. Besaran jipen tergantung pelanggaran. Makin berat pelanggaran,  jipen makin besar pula.

Jika ada warga menebang pohon di hutan pertahanan adat, harus membayar 700 jipen per pohon.  Menebang pohon keras di luar hutan pertahanan adat 100 jipen per batang, pohon lunak 70 jipen per batang.

Sanksi perusahaan yang memasuki wilayah adat tanpa izin 2.760 jipen. Perusahaan yang membuka jalan baru di wilayah adat Tumbang bahanei kena 550 jipen ditambah kerusakan yang dihitung mantir adat. Jika perusahaan tetap nekad beroperasi, maka sanksi berlipat ganda menjadi 55.200 jipen.

Menurut dia, warga tidak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat. Mereka hanya boleh menggunakan lahan yang ada sekarang. Hutan pertahanan adat, tetap dibiarkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

“Warga tak ada yang berani merusak alam. Karena kita sadar hutan ini titipan untuk anak cucu kita ke depan. Hutan adalah sumber kehidupan. Jangan sampai hilang,” katanya.

Meski begitu, bukan berarti masyarakat adat Tumbang Bahanei terbebas dari konflik. Banyak warga dari desa tetangga merasa tidak senang. Masih banyak warga di luar Tumbang Bahanei bekerja di dalam hutan adat mereka. Membuka lahan, ataupun menambang emas justru di hutan pertahanan adat.

“Karena kami ada batas-batas dengan mereka. Seolah kami ini mengusir mereka. Ada omongan yang tidak pantas. Kami hanya diam saja. Ini akan dicarikan solusi terbaiknya seperti apa. Kami kumpulkan data-data. Pada 16 kami akan bertemu dengan Wakil Bupati Gunung Mas, Arton. Kami akan beritahukan permasalahan ini.”

Ironis, kala warga Tumbang Bahanei, berupaya seskuat tenaga menjaga hutan, warga dari desa tetangga malah membabat hutan mereka. Kini, masalah ini akan dibahas dalam pertemuan antar desa. Foto: Indra Nugraha

Ironis, kala warga Tumbang Bahanei, berupaya seskuat tenaga menjaga hutan, warga dari desa tetangga malah membabat hutan mereka. Kini, masalah ini akan dibahas dalam pertemuan antar desa. Foto: Indra Nugraha

Pertemuan dengan desa-desa tetangga hingga saat ini masih belum terjadi. Masyarakat adat Tumbang Bahanei menunggu inisiatif Camat Rungan Barat membuat pertemuan dengan desa-desa tetangga.  “Tapi bukan dari desa tetangga saja. Ada komunitas lain yang masuk ke hutan pertahanan adat Tumbang Bahanei.”

Pengurus komunitas adat berniat menyebarkan buku hukum adat ke desa-desa tetangga. Namun, mereka masih menunggu pengesahan di tingkat kabupaten atau provinsi.

Dia mengatakan, pencemaran lingkungan akibat pertambangan emas  terjadi. Air sungai keruh dan tercemar. Dagik  mengatakan, yang menambang dari datang dari wilayah Kahayan, Barito Selatan dan lain-lain.

Ironis. Di saat warga Tumbang Bahanei berusaha sekuat tenaga menjaga hutan mereka tetapi warga dari luar membuka  hutan pertahanan adat. Ditambah lagi ancaman perusahaan HPH, PT East Point.

Gerge Gio I Nanyan, kepala Desa Tumbang Bahanei mengatakan, demi melestarikan hutan adat, tawaran investor berkali-kali ditolak. “Saya sudah empat kali didatangi perusahaan HPH. Namanya PT East Point. Kami sepakat menolak.”

Selain kepala desa, Gio juga merupakan bendahara komunitas adat. Beberapa waktu lalu, katanya, perusahaan datang meminta tandatangan persetujuan pembukaan lahan di hutan adat. Saat itu, Gio mempersilakan dua orang perusahaan masuk ke dalam rumah. Mereka menjelaskan peta wilayah yang akan dikelola. Terlihat, wilayah adat Tumbang Bahanei masuk ke sana.

East Point ke wilayah adat Tumbang Bahanei atas  persetujuan kecamatan. Kepala kecamatan menyetujui pembukaan lahan perusahaan untuk HPH. Pembukaan lahan belum terjadi tetapi membuat masyarakat Tumbang Bahanei khawatir.

SK penuntukan East Point keluar tanggal 17 Mei 2010 dengan nomor SK. 370/menhut-II/2010. Luas wilayah  tertera dalam SK mencapai 50.665 hektar. Jika di-overlay, peta itu termasuk wilayah adat Tumbang Bahanei. Tak ada yang tersisa jika East Point benar-benar beroperasi di wilayah itu. Inilah yang membuat warga khawatir dan segera pemetaan wilayah adat.

“Saat itu juga saya suruh istri untuk memanggil seluruh warga. Sementara saya tetap ngobrol dengan East Point.”

Ancaman lain bagi Hutan Tumbang Bahanei tamang emas yang dilakukan oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli  mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Ancaman lain bagi hutan Tumbang Bahanei yakni tambang emas  oleh orang-orang yang datang dari luar desa mereka. Warga Bahanei terus berpatroli mengurangi kerusakan hutan dan pencemaran air dari tambang emas ini. Foto: Indra Nugraha

Malam itu suasana di rumah Gio riuh. Penuh oleh warga. Permintaan perusahaan untuk tandatangan persetujuan pembukaan lahan, tak pernah didapat. Warga juga membuat kesepakatan untuk tidak menyetujui apapun kegiatan yang berhubungan dengan perusahaan.

“Saya katakan kepada perusahaan, untuk meminta tandatangan saya harus meminta persetujuan dari masyarakat di sini. Karena masyarakat menolak, saya tak bisa memberikan tandatangan,” katanya.

Menurut Dagik, patroli akan terus dilakukan. “Kami tak akan henti-hentinya untuk mengusir mereka. Mereka tidak ada izin. Mereka sudah tahu ada pemetaan. Mereka bilang biarkan saja melakukan pemetaaan, nanti kami akan babat hutannya.”

Pemetaan wilayah adat sudah mereka kerjakan. Kesiadi, ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalteng  mengatakan, selama pemerintah belum mengeluarkan perda pengakuan masyarakat adat Tumbang Bahanei maka permasalahan masyarakat adat tak akan pernah selesai. “Kami mendesak pemerintah daerah segera mengeluarkan perda. Setidaknya pemerintah kabupaten segera mengeluarkan SK agar masyarakat punya kekuatan hukum mengikat,” katanya.

AMAN berusaha mendukung warga Tumbang Bahanei mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Saat inui, terkendala Bupati Gunung Mas Hambit Bintih tersangkut KPK sambil menanti pergantian kepemimpinan baru.

Persoalan lain, BPN Kalteng belum memahami putusan MK 35. Mereka masih menggunakan pemahaman lama, syarat pengakuan wilayah harus dengan sertifikat dan lain-lain. Meski begitu, tanggapan pemerintah sudah menunjukkan hal positif.

Hari makin gelap. Wilayah adat Tumbang Bahanei tidak teraliri listrik. Hanya beberapa rumah menggunakan genset. Itupun hanya dinyalakan malam hari.  Satu genset memerlukan premium lima liter per hari. Harga bensin Rp15.000 per liter. Warga sangat memerlukan bantuan pemerintah guna  pemasangan sumber energi listrik seperti solar panel, microhydro atau yang lain.

“Malam ini kami akan mengadakan basarah untuk persiapan besok upacara Punduk Sahur,” kata Dunal.

Genset dinyalakan. Warga berkumpul di rumah ketua adat. Membacakan puja-puji. Meminta roh leluhur untuk melancarkan acara besar yang akan digelar besok hari.

Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Di wilayah adat Tumbang Bahanei ini, hutan terbagi dalam beberapa bagian, ada hutan keramat yang tak boleh disentuh, hutan cadangan, hutan tempat berladang sampai hutan wisata. Foto: Indra Nugraha

Keesokan hari, saya memasuki hutan keramat bersama Bambang dan Hendro, warga Tumbang Bahanei. Busung, deputi AMAN Gunung Mas juga menemani. Perjalanan menuju hutan keramat menggunakan sepeda motor sekitar 20 menit. Melewati tanjakan terjal. Sepanjang mata memandang, hutan karet kelola masyarakat yang rimbun berderet di hadapan. Tak lama motor parkir dan lanjut berjalan kaki.

Bambang menjelaskan soal sistem membuka lahan. Warga dibatasi membuka lahan tak boleh lebih dari dua hektar per keluarga. Itu pun tak bisa sembarangan. Jika warga ingin membuka lahan, ada ritual adat yang harus dijalankan.

“Hutan karet ini dulu ini bekas ladang warga. Karena di sini ladang berpindah-pindah. Setelah berladang selesai, mereka tanami pohon karet hingga tumbuh besar seperti ini. Warga boleh membuka lahan kembali di hutan karet ini, jika pohon karet sudah tua,” kata Bambang.

Karet tumbuh bersama pohon-pohon lain. Pohon besar dibiarkan tumbuh bersama karet. Begitu juga rotan, buah-buahan. Semua tumbuh subur di dalam hutan ini.

Kami menembus hutan karet.  Pohon-pohon besar menjulang tinggi sesekali ditemui. Kicauan burung dan suara binatang lain menemani perjalanan. Sekitar satu jam berjalan, akhirnya tiba di pondok yang dikeramatkan warga.

“Di waktu-waktu tertentu warga datang ke sini mengantarkan sesaji. Hutan ini dikeramatkan. Tak ada yang berani mengganggu,” kata Bambang.

Hutan pertahanan adat mereka menyimpan banyak keragamanhayati. Hasil penelitian AMAN Kalteng menunjukkan, di dalam hutan ini masih terdapat banyak satwa liar. Ada 11 jenis tanaman obat, 15 jenis kayu, 174 jenis pohon, 56 jenis ikan sungai, 31 jenis umbut-umbutan, 27 jenis jamur bisa dimakan, lima jamur  tak bisa dimakan, 58 jenis burung dan lain-lain.

“Di sini masih banyak kijang, beruang dan owa. Kalau berjalan terus ke dalam pohon-pohon besar. Warga masuk ke dalam hutan hanya untuk berburu. Warga tak boleh membuka lahan di hutan pertahanan adat.”

Pemukinan warga adar Tumbang Bahanei. Kawasan adat ini sudah dilakukan pemetaan partisipatif, bahkan mereka sudah membuat aturan adat secara tertulis. Mereka menanti pemerintah segera memberikan pengakuan wilayah adat lewat perda atau setidaknya melalui keputusan bupati. Foto: Indra Nugraha

Pemukiman warga adat Tumbang Bahanei. Kawasan adat ini sudah dilakukan pemetaan partisipatif, bahkan mereka sudah membuat aturan adat secara tertulis. Mereka menanti pemerintah segera memberikan pengakuan wilayah adat lewat perda atau setidaknya melalui keputusan bupati. Foto: Indra Nugraha


Hutan Adat Tumbang Bahanei, Terjaga di Tengah Keterancaman was first posted on September 10, 2014 at 2:05 pm.

Inkuiri Nasional Sumatera: dari Kasus Pandumaan-Sipituhuta hingga Talang Mamak

$
0
0
Konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipitihuta belum selesai. Hutan adat, yang ditanami kemenyan, kini berubah menjadi kebun ekaliptus. Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan, seakan enggan mengakui wilayah adat masyarakat. Foto: Ayat S Karokaro

Konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta belum selesai. Hutan adat, yang ditanami kemenyan, kini berubah menjadi kebun ekaliptus. Pemerintah lewat Kementerian Kehutanan, seakan enggan mengakui wilayah adat masyarakat. Foto: Ayat S Karokaro

Usai di Sulawesi, Komnas HAM melanjutkan Inkuiri Nasional hak masyarakat adat ke region Sumatera. Ia dipusatkan di Kantor Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara,  pada 10-11 September 2014. 

Dalam inkuiri kali ini, Komnas HAM, melakukan ‘sidang terbuka’ enam kasus konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan pengusaha.  Inkuiri  pertama, konflik masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dengan  PT Toba Pulp Lestari (TPL), di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut.

Lalu kasus masyarakat adat Suku Semende Dusun Lame Banding Agung, Bengkulu, yang berkonflik dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Lalu, sengketa  antara PT AP dengan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 113, Desa Bungku, Jambi, dan terkucilnya suku adat Talang Mamak, Riau. Terakhi,r konflik tenurial, dan pengusiran masyarakat adat Marga Belimbing, Dusun Pengekahan Pekon Way Haru, Kecamatan Bengkunat Belimbing, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.

Saurlin Siagian, tutor Inkuiri Nasional region Sumatera mengatakan, keenam kasus ini dianggap paling mencuat dalam lima tahun terakhir. Kasus-kasus ini juga mempunyai peluang tanah adat kembali ke masyarakat adat. Sebab, masih ada komunitas adat dengan ha tercederai.

“Terdapat beberapa kasus sebenarnya layak, karena keterbatasan sumberdaya dan ketidakmampuan menjangkau wilayah jadi kami harus hapus, seperti kasus Pepulauan Mentawai, ” katanya di Medan, Rabu (10/9/14).

Saurli mengomentari kasus Pandumaan-Sipituhuta. Menurut dia, kasus ini  mencerminkan bagaimana hak-hak masyarakat adat diabaikan negara.  Sistem pengaturan hutan oleh masyarakat adat yang berlangsung ratusan tahun,  tetapi tidak masuk kamus negara dan pengusaha.

Penanda hutan versi masyarakat adat diabaikan, status hutan negara menjadi alas bagi Kementerian Kehutanan membuat sistem kepengaturan baru. Lalu, wilayah diserahkan kepada pengusaha melalu izin. Padahal wilayah itu, sejak ratusan tahun didiami, masyarakat adat hidup damai berdampingan dengan hutan.

Penanda adat bahwa wilayah hutan dan tanah masuk ulayat lewat berbagai jenis tumbuhan seperti rotan, jalan setapak, tumpukan bukit, dan sungai. Penanda turun-menurun ini, ternyata tidak diakui negara hanya karena tidak punya “surat” versi negara.

Rumah warga adat Semende Banding Agung, yang dibakar Polhut, kala operasi gabungan TNBBS, di Bengkuku, Senin (23/12/13). Foto: AMAN Bengkulu

Benturan klaim antara pengusaha plus negara versus masyarakat adat inilah, katanya, menimbulkan pelanggaran HAM, penangkapan warga, kekerasan, penggeledahan rumah, hingga sumber penghidupan warga hilang.

“Itulah mengapa kasus Pandumaan-Sipituhuta diangkat, melibatkan berbagai pihak, termaksud perusahaan yang berkonflik, dan pemerintah yang memegang kebijakan.”

Menurut Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumut, Harun Nuh, model inkuiri ini diharapkan bisa diterapkan lebih luas di Indonesia. Dengan duduk bersama antara masyarakat adat dengan perusahaan  dan pemerintah serta pihak-pihak lain.

Dia berharap, pemerintah mengakui masyarakat adat dan lebih menghargai soal hukum mereka serta tak mengggunakan cara-cara kekerasan buat membungkam perjuangan memperolek hak.

Berdasarkan cacatan AMAN Sumut tertinggi konflik antara masyarakat adat dengan pemodal yang menggunakan jasa preman dan oknum aparat, seperti di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang dan Porsea, serta konflik masyarakat adat Batak di Pematang Siantar. Ada juga, masyarakat Simalungun dengan TPL dan sejumlah perusahaan lain. Disusul Mandailing Natal, dimana masyarakat adat menolak hutan mereka dirambah tambang Sorikmas Maining.

“Ada lebih 50 kasus antara masyarakat adat dengan pemodal dan pemerintah. Ada lebih 100 kasus perebutan lahan adat. Ini sudah disampaikan kepada tim Komnas HAM.”

Dia menegaskan, banyak pelanggaran HAM menimpa masyarakat adat di sini, antara lain,  intimidasi menggunakan polisi  dan oknum penegak hukum lain. Lalu, menggunakan jasa preman untuk membakar rumah, dan tanaman dirusak. Jika kompromi dan damai, masyarakat adat kembali ke lahan, dan pemodal terus beraksi.

Sedangkan Suryati Simanjuntak, dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), juga pendamping warga mengatakan, sudah lima tahun warga Pandumaan-Sipituhuta berjuang mempertahankan Tombak Haminjon.

Dia menyatakan, pemilik modal selalu menggunakan berbagai pendekatan dan strategi dalam melemahkan perjuangan masyarakat. Penggunaan aparat keamanan, menjadi salah satu strategi menakut-nakuti, mengintimidasi, dan melemahkan perjuangan. Juga elit-elit tertentu, misal, menggunakan isu putra daerah untuk mendekati warga. Lalu, menjadikan pengusaha lokal sebagai kontraktor, mengangkat tokoh masyarakat menjadi humas. , mendekati tokoh agama dengan memberikan sumbangan untuk pembangunan rumah-rumah ibadah.

“Masyarakat adat harus tetap kritis dan curiga terhadap pihak-pihak yang tiba-tiba muncul ke desa, terlebih menawarkan berbagai bantuan dan janji-janji, ” katanya.

Dia juga menyimpulkan, pemilik modal selalu berlindung di balik izin. Pada kasus-kasus perampasan, biasa perempuan paling rentan menjadi korban kekerasan aparat sampai beban ekonomi.

 

Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. Foto: Feri Irawan


Inkuiri Nasional Sumatera: dari Kasus Pandumaan-Sipituhuta hingga Talang Mamak was first posted on September 10, 2014 at 8:52 pm.

Getol Jerat Warga, Tumpul ke Perusahaan, UU P3H Digugat

$
0
0

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan tengah menyerahkan berkas gugatan uji materil di Mahkamah Konstitusi, Rabu (10/9/14) di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan tengah menyerahkan berkas gugatan uji materil UU P3H  di Mahkamah Konstitusi, Rabu (10/9/14) di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Sejak awal penyusunan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) sudah menimbulkan banyak kontroversi. Kala itu, kekhawatiran muncul UU ini bakal menyasar masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam hutan.  Ternyata, kekhawatiran itu terbukti. Sejak setahun disahkan,  10 kasus lebih menjerat masyarakat adat, petani dan buruh. Tak satupun kasus yang menyeret perusahaan atau pengusaha.

Khawatir bakal makin massif mengkriminalisasi warga, masyarakat adat bersama beberapa organisasi mengajukan gugatan uji materil (judicial review) UU P3H ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (10/9/14).

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan mengatakan, UU ini lahir dengan pertimbangan–tercantum dalam konsiderans—guna mencegah perusakan hutan masif, transnasional dan menggunakan modus operandi canggih dan  mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat. “Ini kan kerusakan-kerusakan yang dilakukan perusahaan. Harusnya, mereka yang disasar,” katanya di Jakarta, hari itu.

Sayangnya, dalam setahun berjalan, UU ini melenceng jauh dari tujuan alias bukan menjadi solusi atas masalah yang hendak diatur malah menjerat warga yang tinggal di dalam hutan.

Dia mengatakan, setidaknya ada 10 kasus masyarakat yang tinggal di kawasan hutan menjadi ‘korban’ UU P3H ini. Dia mencontohkan, di Bengkulu, empat warga adat Semende Agung menerima vonis maksimal tiga tahun penjara denda Rp1,5 miliar per orang dengan tuduhan merusak Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Padahal, mereka sudah hidup di sana turun menurun dari sebelum kawasan itu  ditetapkan pemerintah menjadi taman nasional.

Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Enam warga, di antaranya tokoh adat, yang tengah pertemuan pemetaan partisipatif dicokok polisi. Kini mereka menjalani persidangan gara-gara berkonflik dengan Suaka Margasatwa Dangku dan terjerat UU P3H.

Menurut dia, beberapa hal yang menjadi permohonan uji materi mereka setidaknya ada 16 pasal dalam UU P3H itu, antara lain, defenisi perusakan hutan. Dalam Pasal 1 poin 3 ini disebutkan, perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan…di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah. “Proses pengukuhan kawasan hutan selesai setelah penetapan. Ini peta baru penunjukkan, belum selesai mengapa bisa jadi bukti yuridis?” katanya.

Mereka juga meminta seluruh ketentuan pidana yang menyasar individu dibatalkan. “Agar UU ini benar-benar bisa menyasar perusahaan perusak hutan.”

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan (di tengah), bersama Abetnego Tarigan (Walhi), Rukka S (AMAN), Mualimin P Dahlan (BPAMAN) kala jumpa pers usai memasukkan gugatan uji materil P3H di MK. Foto: Sapariah Saturi

Andi Muttaqien, koordinator Tim Advokasi Anti Mafia Hutan (di tengah), bersama Abetnego Tarigan (Walhi), Rukka S (AMAN), Mualimin P Dahlan (BPMAN) kala jumpa pers usai memasukkan gugatan uji materil UU P3H di MK. Foto: Sapariah Saturi

Mualimin Pardi Dahlan, ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mengatakan, UU P3H tak layak ada karena dalam praktik, pengecualian tak pernah menjadi bahan pertimbangan. Hingga yang kerap terkena masyarakat atau kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar dan kawasan hutan. “Jadi, masyarakat yang berladang dan berkebun tradisional yang jadi sasaran UU ini. Padahal, ada pengecualian untuk mereka, tapi tak dipakai.”

Menurut dia, ada ketidakadilan dan diskriminasi dalam penerapan UU P3H  ini. Dia mencontohkan, penangkapan warga adat yang sudah lama tinggal di Suaka Margasatwa Dangku. “Mereka ditangkap. Sedang ada beberapa perusahaan sawit yang jelas-jelas beroperasi di dalam suaka margasatwa dibiarkan begitu saja?” katanya.

Jadi, katanya, UU ini dibuat memang bukan buat kebaikan bagi masyarakat dan hutan tetapi sebaliknya.

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional mengatakan, sebagian atau sekitar 40%  kawasan hutan di Indonesia, belum dikukuhkan. Di wilayah itu, masih banyak warga berdiam. Dengan UU P3H ini, katanya, pemerintah dan DPR mau sapu jagat semua aktivitas di kawasan hutan terjerat. “Padahal, kerusakan terbesar hutan itu oleh pengusaha, tetapi UU P3H malah nyasar masyarakat?”

Untuk itu, dia berharap, uji materil UU ini bisa dikabulkan keseluruhan hingga produk hukum ini bisa fokus menyasar serius perusahaan. “Kami dorong pemerintah mengejak corporate crime dan tinggalkan kriminalisasi terhadap masyarakat!”

Tak jauh beda diungkapkan Rukka Sombollinggi, deputi sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Menurut dia, sejak awal UU P3H sudah mengabaikan pengakuan masyarakat adat, dengan tak menjadikan putusan MK 35–yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara—sebagai pertimbangan.

“Padahal, putusan MK 16 mei 2013, UU P3H disahkan Agustus 2013 tapi sama sekali tak mempertimbangkan hak-hak konstitusional masyarakat adat. Mestinya UU ini tak disahkan.”

UU ini, katanya, sama sekali tak memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat adat atau lokal yang menjadi penjaga terbaik hutan. “Ia malah digunakan memiskinkan dan mengorbankan masyarakat adat. UU ini tak perlu ada, harus dibatalkan!”

Adapun pengaju uji materil, dari masyarakat adat Nagari Guguk Malano di Sumatera Barat, dan individu Edi Kuswanto (Nusa Tenggara Barat), Rosidi (Jawa Tengah) dan Mursyid (Banten). Serta dari lembaga swadaya masyarakat, yaitu Walhi, AMAN, KPA, ICW, Sawit Watch dan Yayasan Silvagama.

Permohonan Pengujian UU PPPH dan UU Kehutanan 

Draft RUU P3H _Paripurna 9 Juli 2013_


Getol Jerat Warga, Tumpul ke Perusahaan, UU P3H Digugat was first posted on September 11, 2014 at 8:48 am.

Suarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa, dari Seni Musik hingga Mural

$
0
0
Para senimau visual menyuarakan rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Para seniman visual menyuarakan rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: WD

Ratusan anak metal, penggemar rockabilly, dan punker berkumpul pada Sabtu (6/9/14) di Lingkar Art, ruang kreatif, Denpasar. Mereka berdendang, moshing, dan berdonasi untuk gerakan Bali Tolak Reklamasi di Teluk Benoa. Inilah aksi bertajuk Musik Bergetar. Dana hasil bantingan Rp.5000 terkumpul lebih Rp10 juta.

Ada sedikitnya 15 band tampil. Ada Ciminal Asshole, The Bullhead, NatterJack, The Dissland, Mom Called Killer, Goldvoice, dan lain-lain.

Puluhan dari mereka menambah donasi membeli kaos “Bali Tolak Reklamasi” Rp100.000.  Ada lagi, bonusn newsletter edukasi penuh penjelasan ilmiah Teluk Benoa.

“Tanah kita diinjak-injak, janji tinggal janji dan omong kosong,” kata Oddie Girindra, rapper band Golvoice juga mengisi di lagu anthem propaganda “Bali Tolak Reklamasi.”

Nyoman Angga, personil Nosstress, band akustik ini tak kalah seru. “Saya bukan pengusung musik distorsi tapi bicara reklamasi, saya yakin otak saya dan otak kalian terdistorsi.” Dia kerab mencipta lagu jenaka tetapi sarkas.

“Teman saya bilang percuma melawan karena begitu besar kuasa lawan. Gerakan ini sama sekali tak percuma. Seandainya tak ada mungkini kini Teluk Benoa sudah diurug.”

Jayak, personil Criminal Asshole, band punk Bali, salah satu penggerak Musik Bergetar. “Saya pernah semobil dengan anak Manado. Dia cerita warga senang karena dikasi fasilitas bagus di lahan reklamasi. Pas hujan deras, Manado banjir besar karena teluk yang direklamasi tak bisa menampung limpasan air.”

Dia berpikir, mencegah hal sama di Bali dengan music. Jayak dan beberapa teman termasuk aktivis ForBALI mengajak rekan musisi. Bahkan, ada yang tak bisa tampil karena keterbatasan waktu.

Barisan artis di aksi Forbali-Lapangan Renon, Denpasar, menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Barisan artis pada aksi Forbali di Lapangan Renon, Denpasar, menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Ini bukan konser musik kampanye sekaligus penggalian dana pertama. Sebelumnya, sudah beberapa serial musik ForBALI melibatkan beragam genre termasuk band-band  dengan lagu berbahasa Bali seperti Johny Agung and Double T, Bintang. Juga ada barisan band folk dan grunge seperti Dialog Dini Hari dan Navicula.

Seni visual

Seniman visual juga menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Sekitar 130 baliho dibuat kelompok muda dan banjar di sudut desa dan kota.

Hampir semua mencetak visual dramatic namun estetik, tangan ombak menangkap eskavator yang mengurug laut. Desain asli dibuat Alit Ambara, pengelola web progresif, Indoprogress.com.

Di Yunani, street art Bali asal Nusa Penida, membuat mural raksasa di tembok Unversitas Polytechniupoli Athena. Mural ini berpesan jelas. Terlihat ombak tinggi berbentuk tangan menangkis mesin pengeruk.

“Suatu hari, lewat sosial media saya sempat dikontak kawan, bahwa di Bali lagi ramai rencana reklamasi di Tanjung Benoa,” katanya.

Dia membaca informasi media dan diskusi di forum-forum sosmed.  “Saya menolak proyek-proyek megah pariwisata mengatasnamakan pelestarian budaya Bali, ternyata sama sekali tidak melestarikan alam Bali,” kata WD, alias Wild Drawing, nickname artis jalanan ini.

Pelukis lain, I Wayan Dania, juga melelang lukisan berjudul “Pasar” untuk dana kampanye. Dalam karya realis di atas kanvas ini terlihat dua orang, laki dan perempuan berkursi roda berbelanja di pasar. Ada gambar toilet dengan undakan tak bisa dilalui kursi roda. Keduanya termenung di depan toilet.

Ada juga dua lukisan Yayasan Anak Tangguh. Lukisan floral ini dibuat anak-anak sanggar belajar alternatif di Desa Guwang, Sukawati. Ada juga t-shirt, foto, instalasi dari Komunitas Pojok.

Dewa Keta, pegiat Komunitas Pojok melelang lukisan berjudul Bulung. Bulung (rumput laut) merupakan sumber penghasilan masyarakat pesisir Bali, Nusa Penida, dan sekitar. “Akan makin banyak petani bulung mati kalau Bali tak memedulikan pesisir.”

Aksi The Bullhead di gawe Musik Bergerak untuk menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Aksi The Bullhead di gawe Musik Bergerak untuk menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

 


Suarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa, dari Seni Musik hingga Mural was first posted on September 11, 2014 at 12:11 pm.

Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup

$
0
0
Mulut Gua Sulaiman di karst Maros. Foto: Rko Rusdianto

Mulut Gua Sulaiman di karst Maros. Foto: Eko Rusdianto

Menjulang. Berbentuk tebing-tebing curam, menonjol layaknya tower-tower (mogote) tampak di sepanjang Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan.  Itulah batuan kapur (karst). Bak permainan, tak beraturan, namun indah dipandang mata.

Karst di dua daerah ini mejadi terluas kedua di dunia setelah China bagian Selatan. Menara-menara karst Maros-Pangkep oleh  beberapa ahli dikatakan sebagai The Spectacular Tower Karst.

Selain bentang alam, ekosistem karst sangat unik, mulai flora fauna, kehidupan bawah tanah, hingga lorong-lorong batuan alias gua. Di karst Maros-Pangkep, tak kurang ada 400 gua. Ada vertikal, dan horizontal. Panjang bervariasi, dari puluhan hingga ribuan meter.

Pada Selasa (9/9/14), saya bersama Kamajaya Saghir, peneliti di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, memasuki gua Sulaiman. Terletak di pinggir Jalan utama Maros-Camba. Mulut gua terlihat kecil, dengan dua percabangan. Kami memilih percabangan arah kiri. Sepatu boots, lampu kepala (head lamp), dan senter siap menemani.

Di mulut gua, Kamajaya memperlihatkan sebuah stalaktit yang membekukan beberapa hewan laut, seperti kerang dan molusca. Inilah salah satu fungsi ornamen gua dan batuan karst.

Kala menyelip di antara batuan, sebuah ornamen gordyn menyambut, berbentuk gorden, warga kecoklatan, berlekuk-lekuk menjuntai. Antara untaian terlihat jangkrik. “Coklat, karena rembesan air membawa material tanah,” kata Kamajaya.

Semua ornamen gua dihasilkan melalui media air. Berbentuk unik bahkan terkesan misterius. Mulai fish stone (bentuk tulang ikan), gordam (lahan sawah terasaring), hingga mata tombak. Untuk menghasilkan bentukan itu, perlu waktu sangat lama, bisa puluhan, bahkan ratusan tahun. “Bayangkan, jika seseorang memasuki gua dan memotong stalaktit atau ornamen gua lain hanya buat hiasan.”

Stalaktit mati di mulut gua Sulaiman. Foto: Eko Rusdianto

Stalaktit mati di mulut gua Sulaiman. Foto: Eko Rusdianto

Panjang gua Sulaiman mencapai 500 meter, di ujung ada sungai bawah tanah. Ke sana, harus menuruni lereng lumpur dan terjal sekitar 10 meter. Perlu kewaspadaan dan peralatan memadai. Makin menyusuri gua, makin beragam ornamen ditemui. Ada jalur dilalui berjalan tegak dan berbungkuk, dasar gua dari tanah berlumpur, tebing berkelok karena bentukan air. Ataupun stalaktit menjuntai dari plafon gua seperti lampu hias. Begitu indah.

Pada satu titik, kami berhenti memperhatikan tetesan air dari stalaktit dan bakal stalakmit yang menonjol dari dasar gua. “Ini musim kemarau. Kita tak tahu, apakah air yang menetes ini dari musim hujan lalu, atau sebelumnya, bahkan puluhan tahun lalu?”

Sedangkan, proses pembentukan ornamen gua, Goelog dan Peneliti Karst Universitas Hasanuddin Makassar, Imran Umar menyebut sebagai proses karstifikasi. Menurut dia, punggung-punggung karst yang membuka celah atau retakan akan membawa air hujan dan menyimpan dalam batuan. Lalu larut bersama kalsit atau unsur semen (CaCO3) dan merembes perlahan menuju dinding ataupun plafon gua.

Setiap perjalanan membentuk ornamen gua, memiliki proses kimia dari unsur air (H2O), udara (O2), dan karbon (CO2) yang larut bersama kalsit (CaCO3).  Proses ini, pada dasarnya sama dengan pembentukan karang di bawah laut. “Maka karang ataupun stalaktit dan ornamen gua lain sangat rentan perubahan iklim,” kata Imran.

Masa Depan

Tahun 2013, beberapa peneliti mendatangi gua di TN Bantimurung-Bulusaraung. Mereka telaten memunguti beberapa patahan stalaktit dan stalakmit. Perlahan mengebor bagian tengah dan memasukkan lem khusus. Kamajaya menjadi pendamping lapangan penelitian itu. “Mereka menempelkan kembali.”

Ornamen gua berbentuk gorden. Foto: Eko Rusdianto

Ornamen gua berbentuk gorden. Foto: Eko Rusdianto

Saya bertemu beberapa penjelajah gua, baik mahasiswa dan kelompok pencinta alam. Rata-rata mereka berpendapat ornamen adalah bagian rentan dalam gua, tak boleh disentuh apalagi dipatahkan. Sebagian besar,  tak ada yang mengetahui fungsinya.

Stalaktit adalah ornamen gua yang menjuntai berbentuk gigi taring runcing. Pasangannya, stalakmit menonojol dari bawah melalui tetesan air stalaktit. Ketika dua ornamen menyatu,  akan membentuk tiang (pilar). “Ornamen inilah yang dijadikan peneliti memprediksi perubahan iklim purba,” kata Imran.

Stalaktit, katanya, sama seperti potongan batang pohon, memiliki garis semburat untuk mengetahui periode dalam menentukan usia. “Ingat iklim itu siklus. Gempa Jogja siklus 30 tahunan. Semua didapatkan dari kajian geologi.”

Dalam kajian Arkeologi, gua di Maros-Pangkep dihuni manusia sejak 4000 tahun lalu. Melalui teori migrasi Out of Taiwan, dari China menuju Taiwan, kemudian dari Taiwan menuju Filipina, lalu turun ke Kalimantan dan Sulawesi. Dari Sulawesi menuju kepulauan Polonesia.

Migrasi ini karena terjadi perubahan iklim di Eropa dan Amerika. Air laut menjadi es dan permukaan air turun hingga 120 meter. Namun, laut di sekitar Sulawesi tak mengalami pendangkalan karena memiliki garis palung, sebagai daerah terisolir.

Mengapa mereka meninggalkan Sulawesi? Apakah terjadi perubahaan iklim? “Kita belum bisa menyimpulkan itu. Namun kita bisa memprediksi, apakah siklus iklim ekstrim pernah terjadi di Sulawesi khusus Maros, dengan meneliti stalaktit yang masih hidup dan segar. Sebab stalaktit sudah mati tak memberikan informasi apa-apa,” kata Imran.

Untuk itu, ujar dia, menjaga dan menata kawasan karst bukan hanya kepentingan pariwisata, melainkan laboratorium hidup untuk memprediksi masa depan.

Stalakmit yang menonjol dari bawah, dan menempel pada sebuah pilar. Foto: Eko Rusdianto

Stalakmit yang menonjol dari bawah, dan menempel pada sebuah pilar. Foto: Eko Rusdianto


Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup was first posted on September 11, 2014 at 4:33 pm.

“Jika tak ada hutan, Tongkonan akan punah”

$
0
0
Hutan adat d iKe’te Kessu, Kampung Bonoran, Kelurahan Panta’nakan Lolo, Kecamatan Kesu, Toraja Utara. Hutan ini banyak ditumbuhi bambu, yang menjadi bahan penting dalam proses-proses ritual adat. Foto: Eko Rusdianto

Hutan adat di  Ke’te Kessu, Kampung Bonoran, Kelurahan Panta’nakan Lolo, Kecamatan Kesu, Toraja Utara. Hutan ini banyak ditumbuhi bambu, yang menjadi bahan penting dalam proses-proses ritual adat. Foto: Eko Rusdianto

Layuk Sarungallo (68) duduk menyandarkan punggung pada kursi plastik.  Dia menyeruput kopi. “Jika Tongkonan tak memiliki lili (wilayah) untuk hutan, rante (lapangan upacara), tempat pemakaman, dan sawah, maka bagaimana menentukan nasib keluarga kelak,” katanya.

Tongkonan adalah rumah adat  masyarakat di Toraja, dibangun atas kesepakatan bersama rumpun keluarga. Bentuk atap menyerupai tanduk kerbau, ada pula yang mengatakan mirip perahu. Setiap Tongkonan memiliki lumbung (alang) untuk menyimpan padi dan hasil bumi lain.

Alang memiliki enam tiang berjejer dua, terbuat dari pohon banga–mirip palem namun ukuran lebih besar, berkulit keras namun isi seperti serabut. Alang ini sebagai tempat menerima tamu.

Tongkonan dan alang merupakan bagian dari identitas masyarakat Toraja. Ia berfungsi suatu lembaga atau institusi yang bisa mempererat hubungan kekerabatan. Di Tongkonan-lah segala macam perjumpaan dan musyawarah keluarga dilaksanakan. Sekaligus menjadi tempat ritual, baik syukuran hingga kedukaan.

Layuk Sarungallo adalah tokoh adat di wilayah Ke’te Kessu, Kampung Bonoran, Kelurahan Panta’nakan Lolo, Kecamatan Kesu, Toraja Utara. Di area itu, terdapat enam tongkonan keluarga, berjejer rapi. Di jalan masuk Tongkonan ada sebuah loket penarikan retribusi untuk pengunjung. Disanalah Layuk setiap hari beraktivitas sekaligus sebagai kantor.

Ketika saya menjumpai pada Sabtu pagi 30 Agustus 2014, dia sedang bersantai. Meja bersisihan dengan jendela menjadikan pandangan begitu lapang, melihat loket penjagaan dan memperhatikan setiap tamu yang melintas.

Setiap Tongkonan di wilayah Ke’te Kessu menggunakan atap bambu. Kokoh dan anggun. Atap bambu disusun dan berpasangan hingga sirkulasi udara terjaga baik. Udara melalui celah-celah atap tersimpan. Saat malam mengeluarkan udara hangat. Kala siang terasa dingin.

Rumah-rumah adat yang menggunakan atas dan beberapa bagian dari bambu. Bambu menjadi bahan penting bagi masyarakat adat di sini. Foto: Eko Rusdianto

Rumah-rumah adat yang menggunakan atap dan beberapa bagian dari bambu. Bambu menjadi bahan penting bagi masyarakat adat di sini. Foto: Eko Rusdianto

Sedang di beberapa tempat, penggunaan atap seng ataupun asbes makin banyak. Namun tidak bagi masyarakat di sini. “Kami dalam rumpun keluarga menggunakan bambu, karena kearifan lebih terjaga,” katanya. “Kalau saya bertahan pakai bambu maka generasi selanjutnya berusaha menanam. Tidak serta merta membeli bahan jadi.”

Untuk satu bangunan Tongkonan ukuran 4×10 meter, atap bambu mencapai 1.000 batang. Lalu dipotong-potong sesuai kebutuhan menjadi 6.000 keping. Untuk keperluan upacara penguburan, sedikitnya 8.000 batang.

Layuk mencoba merinci penggunaan bambu sesuai jenis. Tahun 2012, ketika upacara penguburan ibunya, perlu sekitar 600 batang bambu pattung (betung). Parrin (jenis bambu lebih kecil dari betung) 3.000 batang dan tallang-jenis bambu lebih kecil dari parrin biasa untuk pembuatan lemang dan atap rumah–mencapai 4.000 batang.

Darimana bahan baku bambu sebanyak itu? Layuk tersenyum dan menunjuk sekeliling Tongkonan. Bukit kapur menjulang, hutan hijau menyediakan rumpun-rumpun bambu, kayu dan kebutuhan lain keluarga dengan luas mencapai 50 hektar. “Dari sanalah. Inilah kenapa mempertahankan atap dan penggunaan bambu dalam berbagai ritual kami pertahankan,” katanya.

Hutan-hutan adat Tongkonan dipelihara baik. Jauh sebelum pemerintah menggalakkan sistem tebang pilih dalam kawasan hutan, masyarakat Toraja sudah melaksanakan. Memilih bambu ataupun kayu untuk merenovasi rumah harus dengan hati-hati. Tak seorangpun dibiarkan leluasa memasuki kawasan hutan, apalagi menebang tanaman tanpa seizin ketua adat. “Kalau menebang, sekalipun dia keluarga, tanpa izin, dianggap pencurian,” kata Tato Dena.

Tato Dena adalah seorang To Minani (pendeta yang beragama leluhur Aluk Todolo). Tato dipilih turun temurun dan menjadi pemimpin ritual. Menurut dia, kombongna (hutan adat) yang dimiliki Tongkonan adalah kehidupan. “Jika tak ada hutan, Tongkonan akan punah,” katanya. “Nanti tidak ada tempat rumpun keluarga bertemu, kecuali jika Toraja sudah menjadi kota besar, yang itu orang-orangnya sudah masing-masing egois.”

Kees Buijs, antropolog Belanda dalam buku Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit, menjelaskan, peran penting hutan untuk masyarakat Toraja di masa lalu. Menurut dia, hutan lebat menjadi simbol dan tempat bermukim arwah-arwah dari dewa yang bertugas menjaga kesuburuan dan kehidupan bumi. Pemimpin ritual adalah toburake (imam perempuan) yang digantikan toburake tambolang (seorang wadam/waria). Jadi hutan adalah simbol identik dengan perempuan.

 Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat di Toraja. Foto: Eko Rusdianto

Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat di Toraja. Foto: Eko Rusdianto

Setiap tahun, menurut perkiraan Layuk, hutan adat yang hilang karena penduduk bertambah, perluasan kebun dan sawah, sekitar dua persen. Sulit dihindari, manusia makin banyak dan lahan tak pernah bertambah.

Toraja seperti romansa alam dan manusia, tak dapat dipisahkan. Hutan-hutan terjaga akan menjaga pasokan air melalui celah-celah gunung batu, lalu dialirkan ke sawah, dan rumah-rumah penduduk untuk kebutuhan sehari-hari. Ditambah menjaga kontur tanah dengan kemiringan hingga 45 derajat, agar tetap stabil.

Pertengahan 1990-an dan 2010, sebagian warga mendadak heran. Dataran tinggi Toraja dilanda banjir, tebing-tebing tanah di tepi jalan longsor. Kota Rantepao pun terendam hingga kedalaman 30 sentimeter. “Saya kira itu dampak dari hutan hilang,” kata Marla dari Tongkonan Buntu Pune.

Buntu Pune dan Ke’te Kessu adalah warisan benda cagar budaya yang ditetapkan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan. Di Buntu Pune terdapat dua Tongkonan dan enam alang. Tongkonan itu peninggalan Pong Maramba-pahlawan Toraja yang disegani.

Kompleks Tongkonan Buntu Pune dikelilingi hutan rindang dan sejuk. Di salah satu sudut terdapat bukit batu kokoh dipenuhi beberapa tanaman, dari bambu, kayu uru, banga, nira, nangka, dan masih banyak yang lain.

Marla dan keluarga penerus dari Pong Maramba membangun rumah tinggal di belakang Tongkonan utama. Dia menarik selang air melalui celah batu untuk kebutuhan sehari-hari dan menampung di bak. Air sangat dingin dan segar. “Karena hutan itu persediaan air kami, saya berusaha setiap pekan, dalam waktu senggang menanam tanaman apapun,” katanya.

Bagaimana dengan kehadiran masyarakat yang membangun rumah di sekitar hutan? Layuk punya solusi. Sebelum bangunan rumah berdiri, dia merinci rumpun bambu atau pohon yang hilang. Kemudian pemilik bangunan baru mengganti tanaman dalam jumlah yang sama. Ditanam di halaman depan rumah, di belakang, ataupun di samping. “Jadi setidaknya lahan berkurang, tapi tanaman tak berkurang.”

Tak hanya itu, Layuk pun mengenalkan kecintaan pada pohon dan hutan terhadap anak-anak sejak dini. Setiap minggu, setelah anak-anak pulang beribadah, dia menyiapkan beberapa bibit tanaman, dan memasuki hutan untuk menanam bersama. “Maka hutan menjadi milik bersama, bukan milik orang per orang, apa lagi ketua adat,” ujar dia.

Selain bambu untuk atap dan pelaksanaan ritual, banga menjadi sangat penting. Banga untuk tiang lumbung. Tak boleh menggunakan kayu lain. Pohon ini memiliki kulit keras dan tak berpori. Ini untuk mencegah tikus dan binatang lain merayap memasuki lumbung sebagai tempat persediaan dan penyimpanan makanan.

Bambu di hutan adat. Untuk mengambil bambu ini mereka memiliki tata cara sendiri. Bagi yang mengambil bambu tanpa izin meskipun keluarga sendiri dianggap sebagai pencurian. Foto: Eko Rusdianto

Bambu di hutan adat. Untuk mengambil bambu ini mereka memiliki tata cara sendiri. Bagi yang mengambil bambu tanpa izin meskipun keluarga sendiri dianggap sebagai pencurian. Foto: Eko Rusdianto

Lahan warga adat sudah terbagi-bagi, ada buat pemukiman, hutan yang tak boleh dimasuki sembarangan dan lokasi bertani. Foto: Eko Rusdianto

Lahan warga adat sudah terbagi-bagi, ada buat pemukiman, hutan yang tak boleh dimasuki sembarangan dan lokasi bertani. Foto: Eko Rusdianto

Bambu dari hutan adat, yang diambil buat berbagai keperluan. Namun hutan terus terjaga karena mereka sudah mengatur tata cara pemanfaatan di dalam hutan adat. Foto: Eko Rusdianto

Bambu dari hutan adat, yang diambil buat berbagai keperluan. Namun hutan terus terjaga karena mereka sudah mengatur tata cara pemanfaatan di dalam hutan adat. Foto: Eko Rusdianto

Undakan-undakan lahan pertanian warga dengan rumah adat di bagian atas dan di kelilingi hutan. Foto: Eko Rusdianto

Undakan-undakan lahan pertanian warga dengan rumah adat di bagian atas dan di kelilingi hutan. Foto: Eko Rusdianto


“Jika tak ada hutan, Tongkonan akan punah” was first posted on September 12, 2014 at 1:18 pm.

Kala Penolakan HPH Berbuah Penangkapan Warga Long Isun

$
0
0
Pohon-pohon hutan yang tumbang dan tanah menjadi lapang. Hutan adat sudah mulai bersih oleh operasi perusahaan. Foto:

Pohon-pohon hutan yang tumbang dan tanah menjadi lapang. Hutan adat sudah mulai bersih oleh operasi perusahaan. Foto:Tekla Tirah Liah

Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini tampaknya cocok dengan nasib warga Kampung Long Isun. Sudahlah lahan adat terampas, warga ditahan pula.

Masyarakat adat Long Isun di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, ini sejak lama menolak kehadiran perusahaan HPH, PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT), anak usaha Roda Mas Group. Batas wilayah perusahaan dengan Desa Long Isun, belum ada kesepakatan hingga kini.

Meskipun belum ada kesepakatan batas, mulai 2014, perusahaan nekad beroperasi di wilayah adat itu. Kala warga berupaya memperjelas batas dengan memeriksa lokasi, perusahaan mulai menggunakan ‘kekuatan’ dengan melaporkan mereka ke polisi. Beberapa tokoh adat termasuk warga diperiksa, satu orang, Theodorus Tekwan Ajat menjadi tersangka. Kini dia mendekam di Polres Kutai Barat sejak akhir Agustus 2014.

Menyikapi kriminalisasi warga ini, Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat, mengirimkan somasi ke perusahaan dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada 8 September 2014. Mereka memberi batas waktu, jika dalam sebulan Kemenhut tak merespon, koalisi akan melanjutkan ke jalur hukum.

Surat somasi tertanda Fathur Roziqin Fen, selaku koordinator koalisi mendesak Kemenhut mencabut Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2014 tentang inventarisasi hutan menyeluruh berkala dan rencana kerja pada izin pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam. Somasi itu juga meminta Menteri Kehutanan mencabut izin HPH KBT.

Kepada perusahaan, koalisi mendesak KBT harus menghentikan aktivitas di tanah adat Long Isun selama penyelesaian konflik. Perusahaan harus menghormati dan mengakui adat-istiadat serta hak masyarakat adat Kampung Long Isun. KBT juga harus meminta maaf terbuka baik melalui surat dan media massa, cetak maupun elektronik kepada masyarakat Kampung Long Isun serta diminta mencabut aduan di Polres Kutai Barat.

Surat itu juga berisikan kronologi pemanggilan warga. Pada Kamis, 28 Agustus 2014, P. DJuan Hajang, petinggi Kampung Long Isun dijemput sejumlah aparat dari Polres Kutai Barat. Mereka tengah rapat resmi petinggi kampung se-Kabupaten Mahakam Ulu diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Hajang diperiksa sebagai saksi.

Ternyata belum selesai. Jumat, 29 Agustus 2014, Lusang Aran, kepala Adat dan Theodorus Tekwan Ajat, pemuda Long Isun didatangi Brimob Polres Kutai Barat. Lusang diperiksa sebagai saksi, sedangkan Theodorus menjadi tersangka dan ditahan. “Mereka  yang selama ini aktif menolak kehadiran perusahaan yang telah mencaplok hutan adat masyarakat Long Isun. Padahal, hingga kini tapal batas hutan adat di Kampung Long Isun belum ada kesepakatan,” kata Tekla Tirah Liah dari Nurani Perempuan, yang ikut mendampingi warga.

Hutan adat Long Isun yang terancam habis. Foto: Tekla Tirah Liah

Hutan adat Long Isun yang terancam habis. Foto: Tekla Tirah Liah

Pada 2010,  PT. Roda Mas Timber Kalimantan (PT RMTK), dan KBT membuat tapal batas pada 14 kampung di Kecamatan Long Pahangai, dan Kecamatan Long Bagun. Beberapa kampung masuk areal kedua perusahaan, masing-masing KBT 82.810 hektar dan RMTK 69.660 hektar. Dari hasil pemetaan, Kampung Long Isun dan Naha Aruq belum sepakat mengenai tapal batas.

Pada April 2013, warga Long Isun melakukan pemetaan partisipatif. Setelah survei lapangan berdasarkan sejarah dan pemetaan partisipatif luas kampung 80,049 hektar. Sengketa batas kampung antara Long Isun, dan Naha Aruq masih berlangsung. Klaim batas wilayah berbeda hingga belum ada kesepakatan.

“Situasi makin konflik karena wilayah itu diserahkan Kampung Naha Aruq kepada KBT yang membuka rencana kerja tahunan pada 2014. Mereka mulai menebang dan mengambil kayu,” kata Tekla, dalam kronologi yang dikirimkan ke Mongabay, bulan lalu.

Sejak 2011 sampai 2014, lembaga adat Kampung Long Isun mulai mengirim surat protes kepada perusahaan. Salah satu, pada 10 Februari 2014, Lembaga Adat Kampung Long Isun mengirim surat penolakan kepada KBT. Surat penolakan dewan adat, perangkat kampung dan tokoh-tokoh masyarakat dengan alasan antara lain, hutan, tanah akan gundul dan merusak alam, dan bahaya banjir. Lalu mereka khawatir perusahaan masuk bakal merusak lahan pertanian dan perkebunan masyarakat serta hak tanah dan wilayah.

Pertemuan-pertemuan juga digagas guna mencari kesepakatan batas dua kampung itu. Tetap saja, belum ada titik temu. Parahnya, mulai 2014, perusahaan sudah menebang di areal yang bersengketa itu. “Kesepakatan belum ada, masyarakat adat Long Isun berinisiatif memeriksa ke lapangan (blok tebangan),” kata Fathur, juga dari Walhi Kaltim ini.

Pada 20 Mei 2014, warga menemukan perusahaan tengah menebang pohon di hutan. Mereka menyita satu chainsaw, dan dua kunci alat berat untuk menghentikan aktivitas perusahaan. Lembaga adat mengirim surat protes kepada perusahaan dan bersurat kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten Mahakam Ulu meminta pendampingan penyelesaian masalah.

Sayangnya, kata Fathur, upaya warga Long Isun memperjelas tapal batas justru ditanggapi oleh perusahaan dengan melaporkan mereka ke Polres Kutai Barat. Polisi melakukan pemanggilan terhadap tokoh adat dan warga.

“Kriminalisasi ini bentuk pengingkaran terhadap perlindungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan serta penghormatan prinsip hak-hak ekonomi, sosial, dan dudaya. Hak dasar manusia harus dilindungi dan dipenuhi.”

Mongabay, sejak bulan lalu meminta konfirmasi kepada perusahaan mengenai konflik dengan warga Kampung Long Isun ini melalui surat elektronik. Namun, hingga berita ini terbit tak mendapatkan tanggapan.

Kronologi Kampung Long Isun Vs PT Kemakmuran Berkah Timber

 Ritual adat napoq. Napoq bagi masyarakat Long Isun merupak komunikasi dengan para leluhur yang berada di dalam alam nirwana. Foto: Tekla Tirah Liah

Ritual adat napoq. Napoq bagi masyarakat Long Isun merupak komunikasi dengan para leluhur yang berada di dalam alam nirwana. Foto: Tekla Tirah Liah

Bagian hutan adat Long Isun yang kini rata. Pohon-pohon telah ditebangi padahal batas wilayah masih bersengketa. Foto: Tekla Tirah Liah

Bagian hutan adat Long Isun yang kini rata. Pohon-pohon telah ditebangi padahal batas wilayah masih bersengketa. Foto: Tekla Tirah Liah

 


Kala Penolakan HPH Berbuah Penangkapan Warga Long Isun was first posted on September 12, 2014 at 10:13 pm.

Soal PLTU Batang, Preman Intimidasi Warga dan Aktivis Greenpeace

$
0
0
Perwakilan warga Batang dan para aktivis di Jepang, kala aksi tolak PLTU Batang. Foto: YLBHI

Perwakilan warga Batang dan para aktivis di Jepang, kala aksi tolak PLTU Batang. Foto: YLBHI

Aksi penolakan warga Batang ke negara sakura mendapat respon positif dari parlemen Jepang. Parlemen mendesak pemerintah Jepang menghentikan investasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM ini.

Intimidasi dan teror di desa-desa yang bakal terkena megaproyek PLTU Batang, Jawa Tengah, kembali marak. Diduga ini buntut financial closing proyek yang jatuh pada 6 Oktober 2014, tetapi masih terganjal pembebasan lahan. Warga pun melaporkan intimidasi dan ancaman ini ke Komnas HAM pada Jumat (12/9/14).

Teror, dan ancaman dialami warga dan aktivis Greenpeace yang berkunjung ke Batang, yakni Untung, warga Karanggeneng dan Didit Haryo, koordinator akar rumput Greenpeace.

Untung, menceritakan, pada Rabu (10/9/14), rombongan Greenpeace datang. Dia mengantar mereka dari Ponowareng ke Karanggeneng, sekitar pukul 14.00. “Waktu bersama Greenpeace di jalan, sampai di Ponowareng, saya dicegat sama tiga orang.”

Mereka menarik baju Untung sambil mengancam. “Lu ngapain bawa Greenpeace ke kampung kami. Mau mati lu?” Kalo sampe gue ketemu lo lagi, mati lo! Untung tak berkutik. “Badannya gede-gede.

Rombongan preman ini membawa dua mobil dan beberapa motor. Ada sekitar empat orang. Beruntung ada warga lewat dan menyatakan kalau Untung warga asli Ponowareng, lalu dilepas.

Setelah kejadian ini Untung tambah khawatir. “Kasian orangtua, karena masih dalam ancaman mereka,” kata pemuda berusia 25 tahun ini. Dia sehari-hari membantu orang tua menanam padi.

Didit juga menceritakan, intimidasi yang dialami. Kala itu, Greenpeace berniat mengujungi, warga yang dikriminalisasi di penjara di Batang, salah satu Cahyadi. Namun, mereka kesiangan karena jam besuk sampai pukul 12.00. Lalu, mereka berinisiatif mengunjungi istri warga yang suami ditahan. “Ingin kasih support agar mereka tetap semangat,” katanya.

Ditemani Untung dia berkunjung ke rumah Cahyadi. Tak sampai 30 menit di rumah itu mereka pamitan. Namun, sudah dicegat di depan pintu rumah Cahyadi oleh dua orang. Mobil Greenpeace dihadang mobil mereka. “Ada beberapa preman di atas mortor yang nunggu. Ketika keluar mereka ajak ketemuan.”

Didit melihat kondisi tak kondusif. Dia bilang ke para pria itu kalau ingin berbicara di Semarang atau Jakarta.

“Kami masuk ke mobil. Lalu keluar kampung, diikuti sama mereka, tak lama masih di Desa Karanggeneng, mobil dipalangi motor. Preman mulai turun. Driver buka jendela malah dipukul. Ngelak. Gak kena. Mereka yang di mobil turun dan seakan melerai, langsung masuk mobil Greenpeace.”

Mereka mengajak bertemu ke restoran. Akhirnya, bertemu di restoran Arwana II. Awalnya, dua orang, lalu mulai datang preman-preman yang lain.

Mereka mempertanyakan alasan Greenpeace menolak PLTU. Menurut mereka, seharusnya Greenpeace berbicara mengenai kesejahteraan warga. “Harusnya, Greenpeace bantu naikkan tanah warga,” begitu Didit menirukan ungkapan salah satu dari mereka.

Sikap mereka aneh-aneh. “Dua orang ada yang ngaku awalnya dari rumah transisi Ganjar (Gubernur Jateng), lalu berubah ke rumah transisi Jokowi. Sejak kapan Ganjar punya rumah transisi. Ngaku kenal orang Komnas HAM.”

Didit menduga, motivasi mereka bagaimana warga-warga di sana mau menjual lahan, dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan lebih banyak. Dari pembicaraan itu terungkap, seakan ada janji jika pembebasan lahan selesai alias semua lahan menjual lahan, tanah akan dihitung dengan harga terbaru.“Jadi warga yang dijual lahan lama, mau minta harga tinggi. Warga diiming-imingi kalo semua jual lahan, harga semua jadi harga terbaru, sekarang Rp400.000 per meter. Awal Rp30.000 per meter.”

Hampir dua jam berbicara dengan mereka lalu para aktivis Greenpeace boleh pergi dengan ancaman.  “Jangan sekali-sekali lagi kalian masuk kampung. Kalo kalian masuk kampung hukum jalan yang akan berlaku.” Mereka diikuti terus sampai Alas Roban.

Didit menilai, ada upaya menciptakan konflik horizontal, adu domba antar warga. “Sepanjang obrolan itu, selalu munculkan nama-nama warga, yang sekarang menjadi pemimpin perlawanan, seolah-olah mereka itu cari keuntungan. Adu domba warga.”

Intimidasi juga dialami Sarmujo, pemilik kebun melati seluas 1,350 hektar di Desa Karanggeneng. Dia salah satu petani yang tak mau menjual tanah.

Setiap hari pria empat anak ini panen bunga sekitar 60 kg. “Per kg Rp30.000, buat ongkos metik Rp5.000 buat 20 orang. Setelah itu bersih buat saya,” katanya.

Pada Oktober, November, Januari dan Februari harga melati lebih mahal. Karena pada bulan-bulan itu, dia sudah punya pasar tetap ke Singapura. “Kalau bulan biasa per kg Rp30.000. Nah, yang ke Singapura itu harga berkisar Rp100.000 sampai Rp200.000 per kg.”

Sarmujo nyaman dan hidup cukup dari berkebun melati. Dari kebun inilah dia hidup sehari-hari sampai menyekolahkan anak-anak.

Namun, kegembiraan hidup Sarmujo terusik kala rencana pembangunan PLTU Batang, masuk ke kampung mereka.

Sejak 2012, dia mulai didatangi polisi maupun tentara. Para aparat ini ikut membujuk Sarmujo agar menjual lahan.

“Saya bilang, tanah itu ditinggalkan dari nenek moyang. Ini buat kerjaan sehari-hari, buat makan dan sekolahkan anak. Saya tak mau menjual.” Mereka terus datang, kadang seminggu dua kali. Kadang datang berdua, berempat, atau berenam.

Sampai-sampai, dia tak lagi menggunakan telepon seluler karena kerap diintimidasi agar menjual tanah.

Pengaturan Kawasan Pantai Ujungnegoro dan Roban. Dokumen: Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah

Namun, ketenangan Sarmujo tak bertahan lama, pekan lalu intimidasi kembali datang. Beberapa orang mulai hilir mudik meminta agar dia mau menjual tanah. “Polisi dan tentara datang kini sudah setop sejak Ganjar Pranowo naik (Gubernur Jawa Tengah). Saya sudah tenang, sekarang datang lagi, khawatir lagi. Bedanya, kalau dulu polisi dan tentara, sekarang warga.”

Mereka mendesak, Sarmujo mau menjual tanah terlebih saat ini harga tinggi. “Pak, tanah harus dijual. Dulu Rp100.000, sekarang Rp400.000 per meter. Saya bilang, dulu tak dijual. Sekarangpun tidak.”

Mereka lalu pergi. “Nanti datang lagi, ganti orang lagi. Kadang datang satu atau dua orang,” katanya.

Wahyu Nandang Herawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, perkembangan terakhir, intimidasi dan teror masih terus berlanjut.

Pada Jumat (12/9/14), YLBHI, dan perwakilan warga melaporkan lagi kasus intimidasi yang dialami warga dan aktivis Greenpeace.

“Karena intimidasi dilakukan militer dan preman. Seperti Untung diancam akan dibunuh karena mengawal kawan-kawan Greenpeace,” katanya.

Desak tolak PLTU Batang hingga ke Jepang

Taryun dan Roidi, dua warga Batang, pada 7-10 September 2014, ke Jepang untuk menyuarakan penolakan PTLU Batang. Bersama Greenpece, YLBHI dan organisasi lingkungan di Jepang, mereka menemui perlemen Jepang, pemerintah Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan perusahaan. Sayangnya, perusahaan, tak mau menemui.

Mizuho Fukushima, anggota parlemen Jepang, mantan Menteri Negara Urusan Konsumen dan Keamanan Pangan, Sosial, dan Kesetaraan Gender,  mendukung gerakan dua warga Batang di Jepang yang menyampaikan penolakan dan menuntut pembatalan mega proyek PLTU US$4 miliar oleh konsorsium Jepang.

Arif Fiyanto, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia,  mengatakan, dalam pertemuan itu Mizuho mendesak perwakilan dari Kementerian Keuangan dan JBIC menemui perwakilan warga Batang.

Mizuho menegaskan, kepada JBIC dan Kementerian Keuangan, Jepang harus mengacu prinsip-prinsip hak azazi manusia [HAM] dan lingkungan dalam investasi. Dia meminta investasi dihentikan karena tak ada investasi batubara bersih lingkungan dan demi menjaga hubungan baik kedua negara.

Hirofumi Oishi, Director Press and External Affairs Division JBIC, dan Kazunori Ogawa, Deputy Director Power and Water Finance Department JBIC, akan mempertimbangan suara masyarakat, Pemerintah Indonesia, dan perusahaan, sebelum memutuskan meneruskan atau membatalkan PLTU itu.

Sebelumnya,  Naoto Sakaguchi, Direktur Jenderal Departemen Internasional Partai Restorasi, juga terkejut mengetahui yang terjadi di Batang. Dia berjanji,  memanggil JBIC, dan Menteri Luar Negeri. “Ini tak hanya merugikan rakyat Indonesia, tetapi akan merusak citra Jepang di mata internasional,” kata Arif, mengutip ucapan Sakaguchi.

Organisasi lingkungan di Jepang, seperti Friends of the Earth (FoE), Greenpeace Jepang, dan banyak lagi, mendukung aksi mereka. FoE akan melanjutkan desakan kepada pemerintah dan parlemen untuk membatalkan pembangunan PLTU Batang.

Roidi, warga Batang,  yang aksi ke Jepang mengatakan, kampanye di Jepang,  sangat penting karena investasi PLTU Batang,  disokong investor dan pemerintah Jepang serta didanai JBIC. “Ke Jepang salah satu perjuangan untuk suarakan aspirasi penolakan PLTU Batang.”

Di sana, investor tak mau menemui. “Namun kami lewat DPR Jepang diketemukan dengan JBIC dan perwakilan menteri keuangan. Kami minta JBIC jangan turunkan dana untuk PLTU Batang.”

Jika PLTU Batang terealisasi, katanya, akan menyengsarakan petani, nelayan dan warga sekitar. “Kami sudah survei ke Cilacap, Jepara, bahwa PLTU batubara sangat merugikan warga. Debu batubara sangat ganggu kesehatan warga sekitar.”

Belum lagi, kata Roidi,  lahan-lahan pertanian produktif dan laut yang kaya ikan terancam dengan PLTU. “Jadi sebelum petani dan nelayan terganggu, dari awal kami tolak. Agar warga sekitar batang tak alami nasib sama seperti di PLTU lain yang sudah dibangun.”

Senada dengan Taryun. “Jangan sampai ada investasi yang merusak pertanian.”

 

Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Nelayan khawatir kehadiran PLTU Batang akan merusak kawasan konservasi laut dan mengancam sumber perikanan mereka. Dokumen: LBH Semarang

Taryun dan Roidi, dua warga Batang kala aksi di depan kantor JBIC di Jepang. Foto: YLBHI

Taryun dan Roidi, dua warga Batang kala aksi di depan kantor JBIC di Jepang. Foto: YLBHI

 

 


Soal PLTU Batang, Preman Intimidasi Warga dan Aktivis Greenpeace was first posted on September 14, 2014 at 3:00 am.

Inkuiri Nasional Sumatera: 12 Komunitas Adat Ungkap Kebijakan Pemerintah Rampas Wilayah Kelola Masyarakat

$
0
0
Proses inkuiri nasional di Medan, Sumatera Utara mendengarkan kesaksian dari 12 komunitas atas yang berkonflik dengan pemerintah maupun perusahaan di kawasan hutan. Foto: Ayat S Karokaro

Proses inkuiri nasional di Medan, Sumatera Utara mendengarkan kesaksian dari 12 komunitas atas yang berkonflik dengan pemerintah maupun perusahaan di kawasan hutan. Foto: Ayat S Karokaro

Inkuiri nasional Komnas HAM di Kantor Hukum dan HAM Sumatera Utara, Medan selama tiga hari, menghadirkan sekitar 12 tokoh masyarakat adat dari wilayah Sumatera.

Kesaksian mereka didengarkan oleh perwakilan pemerintah baik kabupaten dan kota maupun provinsi, aparat penegak hukum seperti kepolisian, pakar, sampai akademisi serta dari kalangan NGO.  Pemerintah daerah juga dimintai keterangan terkait konflik lahan masyarakat adat di lima provinsi ini. Dari kesaksian 12 komunitas adat ini terlihat dampak kebijakan pemerintah yang menghilangkan wilayah kelola masyarakat.

Kala para tokoh adat bersaksi, bak sidang peradilan umum, komisioner Komnas HAM, fokus mengorek informasi yang mereka perlukan.

Haposan Sinambela, dan Opung Putra, dua masyarakat adat dari  Desa Pandumaan dan Sipatuhuta di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, pertama didengarkan keterangannya. Dua desa ini masih berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari, karena izin konsesi dari pemerintah masuk wilayah adat mereka.

Sinambela, juga pendeta memberikan penjelasan dan memaparkan berurutan, bagaimana konflik terjadi, dan bagaimana masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, bertahan menjaga hutan adat agar tidak dirusak TPL..

“Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sudah ada sebelum republik ini berdiri. Kami menjaga hutan tetap subur, dan mengelola dengan tidak merusak, yang berdampak pada hutan hancur, satwa marti. “Termasuk hutan haminjon, rusak, selama turun temurun dikelola buat menambah ekonomi masyarakat.”

Sedang Opung Putra, bercerita bagaimana peristiwa kekerasan dan teror terjadi di desa mereka, karena menolak hutan kemenyan hancur dan berganti pohon ekaliptus milik TPL. Tak pelak pohon penyimpan air berkurang hingga kekeringan.

“Terjadi pelanggaran HAM ketika kami menolak hutan kemenyan dihancurkan TPL. Brimob datang menggunakan senjata api, letusan, penangkapan, penyekapan terhadap perempuan dan anak terjadi, ” kata Putra, sambil menghusap airmata yang menetes di pipinya yang mulai berkerut.

Wina Khairina, direktur Hutan Rakyat Institue (HaRI), mengatakan, hari pertama inkuiri nasional mendengarkan keterangan masyarakat adat Pandumaan- Sipituhuta di Sumut dan Desa Margo Semende Nasal di Bengkulu.

Kesimpulannya, ditemukan kebijakan negara berdampak tanah kelola masyarakat adat hilang di dua wilayah Sumatera ini.

Dari inkuiri ini, diduga terjadi pelanggaran atas hak akses budaya, untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam, hak atas pemulihan (redress) yang adil untuk sumber penghidupan dan pembangunan dirampas. Lalu, hak tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau digunakan atau warisi. Juga terjadi pelanggaran hak mendapatkan akses kepada keputusan cepat melalui cara-cara adil dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan dengan negara atau dengan pihak lain. “Juga perampasan tanah kelola masyarakat adat melalui kebijakan negara,” katanya.

Hutan yang dulu banyak pohon kemenyan kini menjadi ‘kebun’ ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan kasus Masyarakat Adat Margo Semende Nasal, juga dihadirkan dalam inkuiri  ini. Akar masalah, konflik pertanahan antara masyarakat adat ini, dengan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 

Konflik dalam bentuk perebutan lahan karena terbit sejumlah peraturan dari 1982 sampai 2007, terkait penetapan TNBBS, secara sepihak tanpa benar-benar melibatkan mayarakat, dan memperhatikan realitas sosial masyarakat disana.

Dari keterangan masyarakat adat juga terungkap pemberian label ‘perambah hutan’ oleh BTNBBS, Kepolisian Resort Kaur, dan Pemerintah Kabupaten Kaur, menyebabkan tindakan kekerasan mulai intimidasi atau ancaman, pembakaran rumah dan lahan pertanian, penangkapan secara paksa. Bahkan vonis penjara.

Masyarakat Margo Semende Nasal, katanya, terancam kehilangan tanah adat, pemukiman, dan kehilangan lahan pertanian. “Potensi kehilangan adat istiadat juga sangat besar.”

Dari inkuiri ini diduga terjadi pelanggaran hak mendapatkan perlindungan reputasi, karena dituduh perambah hutan, hak persamaan di depan hukum, hak sebagai subyek hukum, hak atas keamanan dan integritas pribadi. Juga hak mendapatkan perlindungan reputasi, hak menikmati kondisi hidup memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan. Lalu, hak rasa aman dan hak perlindungan oleh negara dari kekerasan.

Bungaran Antonius Simanjuntak, Pakar Antropologi Sosial dan Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed), menyikapi putusan MK 35, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.

Bungaran mengatakan, putusan MK ini harus terealisasi di lapangan hingga menyelesaikan konflik-konflik yang ada.

Fakta perampasan hak-hak masyarakat adat telah berlangsung sejak lama, tanpa ada penyelesaian adil  karena kebijakan negara pro pemodal. Korupsi di jajaran lembaga negara pun menggila, seperti di Kementerian Kehutanan.

“Putusan MK ini, makin menguatkan fakta buruk ada pengelolaan salah dalam mengatur hutan negara. Hutan adat selama ini diklaim milik negara. Reformasi birokrasi dan penuntasan korupsi di tubuh instansi pemerintahan perlu segera,” kata Bungaran.

Sedangkan Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM, menambahkan, perlu ada mekanisme yang baik menindaklanjuti keputusan MK  ini. Dalam momentum kepemimpinan nasional yang baru, tim nasional inkuiri dipimpin Komnas HAM, akan mengusulkan kepada para pengambil kebijakan, terutama Presiden untuk harmonisasi atas berbagai peraturan perundang-undangan. Juga mengkaji dan revisi UU agraria, karena tidak mungkin ada penyelesaian adil tanpa pembenahan hukum.

Rumah warga adat yang dibakar dalam operasi gabungan TNBBS di Bengkulu. Foto: AMAN Bengkulu


Inkuiri Nasional Sumatera: 12 Komunitas Adat Ungkap Kebijakan Pemerintah Rampas Wilayah Kelola Masyarakat was first posted on September 15, 2014 at 1:41 pm.

Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida

$
0
0
Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Pesisir Bali,  boleh tersohor karena aktivitas turis seperti berjemur atau diving, namun para petani rumput laut juga punya hak atas pemanfaatan pesisir.

Bali satu dari sembilan provinsi penghasil rumput laut di Indonesia. Rumput laut dibudidayakan di tiga pulau di tenggara Bali, yakni Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Semua ada di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.

Selain sumber pendapatan warga, lahan-lahan dan kegiatan petani rumput laut mempercantik ketiga pulau itu. Aktivitas memasang bibit, mengayuh perahu, dan memanen merupakan pemandangan istimewa. Mereka kerap menjadi foto ikonik di majalah jalan-jalan dengan latar sunset atau sunrise.

Ironisnya, petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Sejak Juli, hingga kini, hasil panen turun lebih 50% karena cuaca buruk. Angin kencang dan ombak keras merusak lahan budidaya.

“Hasil panen menurun drastis sampai 60%, cuaca buruk sejak Juli,” kata I Ketut Jagra, petani kelompok Mertha Segara, Desa Semaya, Nusa Penida. Desa ini salah satu pusat budidaya rumput laut di Klungkung.

Biasa sekali panen, antara 25-35 hari, pria ini menghasilkan 400 kg rumput laut kering atau siap jual ke pengepul. Kini hampir tiga bulan, tiap panen hanya 150-200 kg.

Jagra mengatakan, rumput laut rontok terbawa arus karena gelombang tinggi akhir-akhir ini. “Katanya cuaca buruk sampai bulan sebelas.”

Desa-desa pusat produksi rumput laut di Nusa Penida antara lain Desa Suana, Batununggul, Kutampi Kaler, Ped, dan Toyapakeh. Desa lain yang termasuk Nusa Penida tapi di Pulau Nusa Lembongan adalah Desa Jungut Batu dan Lembongan.

I Nyoman Murta, kepala Desa Lembongan, mengatakan,  di desanya sudah berdiri sekitar 50 fasilitas akomodasi besar dan kecil, penghasilan utama warga adalah rumput laut. “Lebih 90% sumber penghasilan rumput laut. Sisanya, jadi pegawai hotel dan lain-lain.” Jika dijumlahkan,  dengan Desa Jungut Batu, katanya, akomodasi sekitar 150 unit, dari hotel, penginapan, vila, dan lain-lain.

Menurut dia, petani mengeluhkan limbah dari akomodasi wisata yang dibuang langsung ke laut lepas. “Baru saja 21 Agustus lalu kami merapatkan dengan Bupati Klungkung untuk membina hotel agar tak buang limbah sembarangan.”

Limbah merusak kualitas rumput laut bahkan mematikan. Ada limbah cair domestik dan limbah padat seperti sampah. Murta menyebutkan, pernah ada beberapa kasus petani harus pindah karena tergusur hotel.

Dari desa-desa ini, Nusa Penida menghasilkan dua jenis rumput laut untuk konsumsi dunia yaitu catony dan spinosum. Dengan rata-rata luas lahan petani 10-15 are, berdasarkan data Coral Triangle Centre (CTC), total hasil panen rumput laut di Nusa Penida sekitar 40-50 ton per sekali panen.

Menurut Wayan Sukadana, ketua Yayasan Nusa Penida, masalah terbesar dihadapi petani cuaca ekstrim dan penanganan pascapanen serta perlindungan alih fungsi lahan untuk pariwisata. Untuk itu, katanya, ada tiga hal perlu dilakukan pemerintah dalam mendukung petani rumput laut di Nusa Penida. Pertama membantu penanganan pascapanen. Selama ini, petani rumput laut tidak pernah mendapat pelatihan penanganan pascapanen. Petanipun masih menjemur secara tradisional. Mereka juga tak bisa membuat para-para untuk menjemur karena tidak punya cukup modal.

Petani rumput laut Nusa Penida, ruang kelola makin terhimpit di tengah perkembangan fasilitas pariwisata di sana. Foto: Anton Muhajir

Petani rumput laut Nusa Penida, ruang kelola makin terhimpit di tengah perkembangan fasilitas pariwisata di sana. Foto: Anton Muhajir

Kedua, pemerintah sebaiknya membangun pabrik pengolahan rumput laut di Nusa Penida. “Jika ada pabrik pengolahan, petani tak perlu menjual ke Surabaya lewat tengkulak. Saya yakin harga akan lebih tinggi.”

Ketiga, perlu komitmen pemerintah agar petani di Nusa Penida tidak tergusur pariwisata. Pariwisata menjadi satu ancaman petani rumput laut di sana dan sudah terjadi di Nusa Lembongan. Dampak pembangunan hotel, vila, atau fasilitas pariwisata lain, petani rumput laut di Nusa Lembongan tergusur.

“Selain karena lahan dipakai membangun fasilitas pariwisata, rumput laut bisa tercemar limbah pariwisata hingga rusak. Jangan sampai hal serupa terjadi di Nusa Penida,” ujar Sukadana.

Jika berkunjung dan memasuki desa-desa penghasil rumput laut di kepulauan ini, bisa melihat kendala lain yakni lahan menjemur terbatas. Jalanan desa sempit kerap menjadi area penjemuran selain di tepi pantai. Kendaraan makin bertambah karena banyak wisatawan ke kawasan ini hingga perlu pelebaran jalan dan penataan dini.

Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut tahun 2013 sebanyak 145.597 ton, atau naik satu persen dibandingkan 2012, sebesar 144.000 ton.

Harga rumput laut kering berbeda tergantung jenis. Rumput laut spinosum—dikenal warga setempat dengan bulung–biasa Rp5.000 per kg kering dua hari. Untuk catony atau bulung gondrong bisa sampai Rp15.000 per kg.

Kawasan konservasi perairan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo meresmikan kawasan Nusa Penida menjadi kawasan konservasi perairan (KKP) pada 9 Juni 2014. Perairan  ini memiliki keragaman hayati tinggi, hampir 150 hektar terumbu karang dengan 296 jenis karang.  Kawasan ini termasuk global triangle center dengan 576 jenis ikan, lima baru. Area ini menjadi cleaning station ikan mola-mola atau sunfish.

Penetapan KKP ini melalui proses panjang hingga keluar Keputusan Bupati Klungkung mengenai pengesahan dokumen rencana pengelolaan jangka panjang 20 tahun dan zonasi KKP Nusa Penida. Meliputi kawasan lebih 20 ribu hektar. Zona inti hampir 500 hektar, perikanan berkelanjutan hampir 17.000 hektar, dan budidaya rumput laut 464 hektar. Ada zona pariwisata bahari 1.200 hektar, dan lain-lain.

Zona perikanan berkelanjutan secara teknis, misal, untuk penangkapan ikan dengan alat dan cara ramah lingkungan, pariwisata, penelitian dan pendidikan. Pada zona bahari khusus ditetapkan pukul 9.00-16.00. Mulai 416.00-09.00 jadi zona perikanan tradisional.

Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta meminta, kementerian juga memperhatikan infrastruktur dan masalah lain sebagai tindak lanjut penetapan KKP. Dia menargetkan, pertumbuhan kunjungan wisatawan rata-rata 200.000 orang per tahun.

Nusa Penida merupakan pulau terpisah dari Bali daratan. Perjalanan ke Nusa Penida bisa lewat beberapa jalur seperti dermaga Sanur di Denpasar, Kusamba di Klungkung, atau pelabuhan Padang Bai di Karangasem. Terpisah oleh Selat Badung di sisi tenggara Bali, pulau seluas 20.284 hektar, terluas dibanding Lembongan dan Ceningan ini seperti tenggelam di antara gemerlap pariwisata Bali selatan.

Petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Foto: Anton Muhajir

Petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Foto: Anton Muhajir


Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida was first posted on September 17, 2014 at 3:59 pm.

Pertanian Terancam, Warga Desak Presiden Baru Batalkan PLTU Batang

$
0
0
Aksi warga Batang di Jakarta, mendesak Menteri Koordinator Perekonomian membatalkan proyek pembangunan PLTU batubara di Batang. Mereka juga meminta hal serupa kepada Presiden terpilih, Joko Widodo. Foto: Greenpeace

Aksi warga Batang di Jakarta, mendesak Menteri Koordinator Perekonomian membatalkan proyek pembangunan PLTU batubara di Batang. Mereka juga meminta hal serupa kepada Presiden terpilih, Joko Widodo. Foto: Greenpeace

Pilih Pangan, Bukan Batubara, Tolak PLTU Batang.” Begitu bunyi spanduk yang dibawa warga Batang dalam aksi, Rabu (17/9/14) di depan Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta. Mereka meminta Chaerul Tanjung, selaku Plt Menteri Koordinator Perekonomian agar menghentikan pembangunan PLTU batubara di Batang, Jawa Tengah.

Setelah itu, ratusan orang ini menuju ke Rumah Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perwakilan warga Batang mengingatkan Jokowi kala masa kampanye pernah berjanji menghentikan pembangunan PLTU batubara ini, bila warga keberatan.

“Warga mendesak Presiden terpilih menunjukkan komitmen terhadap masalah kedaulatan pangan. Sebab PLTU batubara ini akan dibangun di atas ratusan hektar lahan persawahan produktif beririgasi teknis yang dapat panen tiga kali setahun,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam rilis  kepada media, Rabu (17/9/14).

Dia mengatakan, memaksakan PLTU batubara Batang sama dengan menutup mata terhadap konversi sawah produktif di Jawa. Satu sisi, Indonesia masih mengimpor beras. Jika PLTU Batang dibangun, pasokan beras kabupaten ini berpotensi menyusut sekitar 619,88 ton dari total 17.975 ton.

Tak hanya merugikan lahan persawahan produktif, PLTU Batang juga berpotensi mencemari kawasan pesisir.  “Batang kaya ikan. Ini salah satu perairan di pantai utara Jawa yang menjadi tumpuan utama para nelayan.”

Wahyu Nandang Herawan, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, Chairul Tanjung harus bersikap bijak dan aspiratif terkait keberlanjutan PLTU Batang. “Para pemilik lahan tak mau menjual tanah. Sepatutnya Chairul Tanjung bersikap tegas tidak membangun PLTU Batang. Jika dibiarkan terus, akan berpotensi konflik tidak berkesudahan. Akan banyak pelanggaran HAM terhadap warga.”

Dia juga mendesak, Jokowi harus mendengarkan dan memutuskan sesuai kehendak rakyat. Warga Batang, katanya, tegas menolak PLTU. “Saatnya Jokowi membuktikan janji mendengar aspirasi rakyat dan mendorong kedaulatan pangan.”

Menjelang masa financial closing, yang direncanakan 6 Oktober ini, Batang lebih ‘memanas.’ Preman-preman kembali bergerilya berupaya membujuk dan menekan warga menjual lahan. Bahkan, kala aktivis Greenpeace berkunjung ke Batang, mendapatkan ancaman dari para preman itu.

Sejak awal, warga Batang, menolak pembangunan PLTU dengan kapasitas 2×1.000 MW ini. Berbagai aksi mereka lakukan dari Batang, Jakarta bahkan hingga ke Jepang. Warga Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban terus berjuang.

Seorang ibu membawa poster salah satu warga yang dipenjara gara-gara menolak PLTU Batang, kala aksi di Jakarta. Foto: Greenpeace

Seorang ibu membawa poster salah satu warga yang dipenjara gara-gara menolak PLTU Batang, kala aksi di Jakarta. Foto: Greenpeace

Warga Batang penolak PLTU Batang ke Jakarta. Mereka meminta Presiden terpilih, berpihak ke petani dan nelayan yang terancam jika proyek ini terealisasi. Foto: Greenpeace

Warga Batang penolak PLTU Batang ke Jakarta. Mereka meminta Presiden terpilih, berpihak ke petani dan nelayan yang terancam jika proyek ini terealisasi. Foto: Greenpeace

 


Pertanian Terancam, Warga Desak Presiden Baru Batalkan PLTU Batang was first posted on September 18, 2014 at 1:26 am.

Aneh, Izin Kadaluarsa, Kok Amdal Tambang Zircon Diterima

$
0
0

Lokasi tambang zircon di Dusun Tanjung Keramat, Desa Nanga Tempunak, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalbar. Warga protes karena perusahaan tak ada sosialisasi. Di Kalimantan Tengah, Amdal tambang serupa  diterima padahal izin tambang sudah mati. Proses-proses administrasi izin seperti ini berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. Foto: Yuzrizal

Perizinan tambang zircon PT. Giri Indahandalan (GI) sudah kadaluarsa. SK Walikota Palangkaraya No 93 Tahun 2010, terbit 1 Februari, berlaku tiga tahun. Namun, Walikota Palangkaraya H.M. Riban Satia, justru menerbitkan kesepakatan kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) Nomor 69 tertanggal 17 Januari 2014. Kesepakatan keluar saat izin sudah tak berlaku.

“Saya melihat dokumen ini ngeri-ngeri sedap. Kalau berbicara soal kelayakan lingkungan, gak bisa dilepaskan dari kelayakan administrasi. Jadi bullshit berbicara lingkungan tapi dokumen bodong,” kata Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng, dalam rapat Komisi Amdal di aula Bappeda Palangkaraya, Selasa (9/9/14).

GI memperoleh izin Walikota Palangkaraya untuk pertambangan zircon seluas 3.014 hektar di Kelurahan Pager, Kecamatanan Rakumpit, Palangkaraya.

Itan begitu dia biasa disapa mengatakan, dalam konteks kelayakan lingkungan harus disertakan data-data pendukung konkrit, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dia menilai, dokumen Amdal yang ada tak memperbaiki beberapa saran masukan saat rapat terdahulu.  Sebelumnya, ada rapat teknis pada Maret. Amdal juga diumumkan melalui Palangka Post, pada 26-28 Februari 2013–saat itu perizinan telah kadaluarasa. Sedang sosialisasi 4 April 2013.

“Sekarang ada lagi rapat tetapi hal yang harus diperbaiki tidak diperhatikan. Melihat SK perizinan, dasar hukum jelas. Ketika berbicara soal Amdal, ada empat aspek. Uji administrasi, relevansi, kedalaman dan konsistensi dokumen. Perizinan itu bagian dari uji administrasi.”

Komisi Amdal Palangkaraya,  katanya, mempunyai tanggungjawab moral yang harus dijaga.  Jangan sampai, buntut izin ini memaksa walikota diperiksa KPK karena menyalahi aturan.

“Harus kita garisbawahi. Karena SK berlaku tiga tahun. Artinya, ia sudah tidak berlaku sejak 2013. Kalau saya lihat, bagaimana konteks ketika muncul kesepakatan kerangka acuan diterbitkan walikota 17 Januari 2014 dikaitkan kontrak penyusunan dokumen Amdal? Ini menarik.”

Menurut dia, tiga nama konsultan penyusun dokumen Amdal pertambangan zircon ini jadi taruhan. Padahal, mereka mempunyai lisensi dan sertifikasi. “Bagaimana bisa menerima kontrak penyusunan dokumen Amdal padahal izin sudah tidak berlaku?”

Tercantum nama konsultan tertera dalam dokumen Amdal itu antara lain, Junaidi, Najamuddin, dan Yansen Noky.  Sertifikat lisensi Yansen Noky, kadaluarsa. “Jadi bukan hanya pemda yang kena, tapi teman-teman konsultan juga kena,” kata Itan.

Seharusnya, konsultan tak boleh menerima kontrak penyusunan dokumen Amdal karena izin sudah tak berlaku. “Tidak boleh ada data fiktif. Jangan sampai ada kesan sengaja melakukan kesalahan. Bagaimanapun, konsekuensi nanti ketika audit, pertama kali diperiksa keluar SK,” katanya.

Dalam dokumen Amdal sekarang, konsultan sudah memprediksi besaran produksi tambang dan umur ditetapkan 11 tahun. Itan beranggapan, ketika konsultan mendapatkan angka pasti datang ke lokasi.

“Dalam ilmu kehutanan,  itu namanya tahapan eksplorasi. Pertanyaan saya, apakah ketika masuk ke kawasan hutan hingga memunculkan angka-angka itu ada izin pinjam pakai tahap eksplorasi?”

Menurut dia, ketika berbicara soal izin pinjam pakai, ada dua tahap, yakni kala eksplorasi, dan izin operasi produksi.

Dia menilai, materi dokumen Amdal tidak jelas. Di dalam dokumen tertulis akan ada penciutan lahan menjadi 1.094 hektar tetapi tidak dicantumkan lokasi, aspek legalitas dan titik koordinat.

Angka-angka dalam perencanaan pertambangan menandakan perusahaan bersama konsultan telah eksplorasi. Padahal, perusahaan belum memiliki IPPKH eksplorasi.

“Kalau mau jelas, harus ada SK. Kalau tidak mengantongi SK, berarti abal-abal. Bisa jadi luasan berubah. BLH Kota akan kesulitan ketika pemantauan. Dasar hukum tidak ada. Saya berbicara konsistensi terhadap peraturan.”

Itan merekomendasikan penundahan pengesahan dokumen Amdal karena aspek kelengkapan administrasi tak terpenuhi.

Dalam SK Walikota Palangkaraya No 93 tahun 2010 tentang pemberian izin usaha pertambangan eksplorasi GI tercantum, jangka waktu berlaku IUP tiga tahun. Dengan perincian satu tahun penyelidikan umum, setahun eksplorasi, dan studi kelayakan setahun.

Dalam SK itu tertulis IUP eksplorasi bisa diberhentikan sementara, dicabut atau dibatalkan bila pemegang izin tidak memenuhi kewajiban dan larangan yang ditentukan. Jika tidak bisa memenuhi target tiga tahun, berarti izin tidak berlaku. IUP otomatis batal. Anehnya, 17 Januari,  walikota malah menerbitkan SK No 69 tahun 2014 tentang kesepakatan kerangka acuan analisis dampak lingkungan pertambangan itu.

Prosedurnya, perusahaan memproses dahulu perizinan pertambangan dengan meningkatkan status dari IUP ekplorasi menjadi IUP operasi. Dengan begitu bisa memproses perizinan lingkungan hidup seperti SK kelayaan lingkungan dan izin lingkungan. IUP eksplorasi zircon paling lama tiga tahun dan tidak bisa diperpanjang, melainkan ditingkatkan status menjadi IUP operasi produksi atau izin dicabut apabila tidak prospek.

“Seharusnya, pemerintah Palangkaraya tidak melanjutkan pembahasan Amdal sepanjang legalitas IUP belum jelas. Yang terjadi SK-KA analisis dampak lingkungan (Andal) terbit, padahal izin mati. Pembahasan Amdal dipaksakan, sedang izin belum diproses,” ucap Itan.

Kesempatan sama, Rawang, ketua BLH Palangkaraya mengatakan, hal berbeda. Dia beranggapan, pembahasan Andal sudah sesuai rekomendasi walikota. Juga sesuai rekomendasi rapat komisi Amdal terakhir.

“Saya menyadari, seharusnya izin eksplorasi itu satu grup dengan keputusan rekomendasi Amdal dan kelayakan lingkungan. Mungkin, yang menjadi pertimbangan Pak Wali (walikota) izin sudah berjalan, sudah ada, dan Amdal sangat panjang.  Hingga selama tiga tahun belum selesai, sampai izin mati.”

Rawang mengatakan, ada jaminan dari walikota memperpanjang izin ketika pembahasan Amdal selesai.  “Pak wali mengatakan, ketika Amdal selesai, hari ini juga izin perpanjangan ditandatangani. Ini yang menjadi dilema bagi komisi Amdal. Saya akui ini kurang pas,” katanya.

Pernyataan ini ditimpal Itan. Berarti ini berlaku surut ya pak?” Peserta rapat komisi, tertawa. Mereka seakan sadar bahwa ini menyalahi aturan.

“Saya mohon, ini kebijakan kita.  Ini bisa berlaku. Bagaimana teknis nanti, itu ditangani biro hukum. Kesepakatan  kerangka acuan sudah jatuh. Perpanjangan izin dalam proses. Kita sama-sama memaklumi. Ini kebijakan dari Pak Walikota,” kata Rawang.

Direktur GI Saptaryo Kunindar,  mengatakan,  walikota memberikan jaminan, menerbitkan perpanjangan IUP, bersamaan kelayakan lingkungan dan izin lingkungan.

“Memang ini menjadi blunder bagi kami. Kondisi seperti ini. Kami berupaya supaya memenuhi aturan. Mundur sudah tidak bisa. Perpanjangan izin sedang berjalan.”

Itan tidak sepakat dengan itu. Menurut dia, aneh bin ajaib, ketika tanpa dasar hukum, dokumen Amdal masih bisa dibahas. “Perizinan kan kadaluarsa.”

Rapat ditutup dengan kesepakatan menerima dokumen Andal dengan catatan memperbaiki kelengkapan dokumen paling lambat 30 hari setelah rapat itu.


Aneh, Izin Kadaluarsa, Kok Amdal Tambang Zircon Diterima was first posted on September 20, 2014 at 5:51 am.
Viewing all 3799 articles
Browse latest View live