Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4122 articles
Browse latest View live

Sekam Padi di Merauke jadi Sumber Energi, Bagaimana Caranya?

$
0
0
Kesibukan warga kala membuat briket ampas kayu gergajian di Marauke. Foto: Agapitus Batbual

Kesibukan warga kala membuat briket ampas kayu gergajian di Merauke. Foto: WWF

Hari itu, di balai Kampung Yabamaru Satuan Pemukiman (SP) IX, Merauke, berkumpul dari pelajar SMA, mahasiswa, pengurus koperasi, karang taruna sampai unsur pemerintah daerah. Lewat program energi terbarukan dari WWF, puluhan orang ini akan latihan membuat arang briket dari sekam padi dan limbah gergajian kayu.

Wanto Talubun, fasilitator dari WWF Merauke mengatakan, setiap panen sekam padi menggunung di penggilingan. Keadaan ini menarik keinginan WWF untuk mengolah menjadi bahan bakar terbarukan. Tak hanya sekam padi, ampas kayu juga bisa. Terlebih, di Merauke, banyak tempat penggergajian hingga memudahkan mereka memanfaatkan ampas kayu sebagai energi terbarukan.

Menurut Wanto, tak sulit membuat briket dari sekam. Sekam padi, katanya, dikeringkan dulu lalu dimasukkan ke drum atau alat pembakar lain. Ia dibakar hingga menjadi arang dan dihaluskan.

Kemudian, setiap satu kg arang dicampur perekat dari tapioka 100 gr dan 600 cc air mendidih dan dicampurkan. Setelah itu, adonan dimasukkan ke cetakan briket, dan dipres dengan mesin hingga padat. “Terakhir briket dijemur sampai kering lalu dijual,” katanya, Senin (11/8/14).

Paschalina Ch. M. Rahawarin, trans fly landscape manager  WWF Papua menguraikan, Indonesia kaya sumber daya alam termasuk bahan baku energi. Sayangnya, selama ini yang dikuras banyak energi fosil.

Sumber-sumber gas bumi dieksplotasi dan menyisakan masalah lingkungan dan sosial lebih besar. Untuk itu, pengembangan energi terbarukan harus diusahakan. “Potensi begitu besar dari sumber-sumber terbarukan hendaknya menjadi solusi yang harus dipikirkan bersama.”

Data BPS Merauke, produksi padi 2013 mencapai 144.946,82 hektar. Terdapat sekitar 148 penggilingan padi rice miling unit  di Merauke. “Potensi besar untuk pengembangan briket sekam padi.”

Untuk itu, dia berharap, sekam padi ini jadi sumber energi terbarukan. “Kedepan, mau melatih warga memanfaatkan limbah gergaji juga minyak kayu putih,” kata Rahawarin.

Briket hasil buatan warga. Foto: Agapitus Batbual

Briket hasil buatan warga. Foto: WWF

Tungku dan drum untuk  praktik pembuatan briket sekam padi di Kampung Yabamaru (SP-9). Foto: Agapitus Batbual

Tungku dan drum untuk praktik pembuatan briket sekam padi di Kampung Yabamaru (SP-9). Foto: WWF

 

 


Sekam Padi di Merauke jadi Sumber Energi, Bagaimana Caranya? was first posted on August 14, 2014 at 4:54 am.

Menilik Kepedulian Masyarakat Wakatobi dalam Menjaga Laut

$
0
0
Anak-anak di Kepulauan Wakatobi, sudah belajar dan membantu mengelola rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Anak-anak di Kepulauan Wakatobi, sudah belajar dan membantu mengelola rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Pada Oktober 2013,  tiga pelaku pengeboman ikan di perairan Desa Numala Wangi-wangi Selatan, Kepulauan Wakatobi, tertangkap.  Ini operasi gabungan nelayan sekitar, petugas taman nasional dan WWF Wakatobi. Pelaku dari Mola Selatan.

“Awalnya ada laporan masyarakat, ada pengeboman. Kita langsung kejar menggunakan speed boat. Mereka berpencar dan berusaha melarikan diri. Satu dari mereka sudah tua, coba melarikan diri menggunakan sampan,” kata Made, staf Taman Nasional Wakatobi (TNW) seksi I, akhir Mei lalu.

Dua pelaku tertangkap.  Barang bukti satu botol berisi bahan peledak diamankan. Namun, mereka melarikan diri. Baru tertangkap saat Festival Baju. Ketiganya divonis delapan bulan penjara.

Kini, masyarakat antusias bekerjasama. “Balai taman nasional mendapatkan banyak informasi dari mereka. Jika ada laporan, langsung ditindaklanjuti.”

Dia mengatakan, kesadaran masyarakat menjaga ekosistem laut sangat tinggi. Konsep perikanan berkelanjutan dan ramah lingkungan diterapkan. Di SD, SMP dan SMA para pelajar Wakatobi mendapatkan mata pelajaran tambahan, konservasi.

Para nelayan kini bahu membahu menjaga kawasan laut. Patroli rutin dilakukan kelompok nelayan swadaya dan sukarela. Praktik pengeboman, bius dan penangkapan ikan dalam over fishing berkurang. Mereka sadar, kerusakan ekosistem laut membuat tangkapan ikan berkurang drastis.

Lajuma, ketua kelompok nelayan Lagundi 1, kepulauan  Wangi-wangi Wakatobi mengatakan, kesadaran masyarakat sekitar menjaga kelestarian ekosistem laut sudah tinggi.

Dia mengatakan, pengawasan kawasan laut secara berkala oleh warga dan sukarela. Mereka sadar, kawasan laut adalah harta tak ternilai.

“Kita tak mungkin nunggu aparat bertindak. Kalau bukan kita siapa lagi? Orang lain belum tentu mau dan bisa. Meski teror dari luar yang sering ngebom ikan ada tetapi kami bertekad mengamankan,” katanya.

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Kesibukan petani rumput laut. Foto: Indra Nugraha

Hal serupa terjadi di Pulau Kaledupa. Kelompok nelayan di pulau itu, Forum Kaledupa Toudani, berperan aktif menjaga kawasan laut.

“Awal 2000, kami gelisah karena marak pengeboman dan pembiusan ikan. Bahkan ada banyak aparat ikut bermain memasok bahan bom dan bius ikan,” kata Edi Jaimu, sekretaris Forkani.

Dia mengatakan, kegelisahan ini mendorong warga Kaledupa membuat organisasi fokus menjaga lingkungan. Pada 2002, terbentuklah Forkani. Organisasi ini mewakili 25 desa di pulau itu.

“Kita sosialisasi di tiap desa mengenai bahaya pakai bom dan bius dalam tangkap ikan. Ini juga dibantu oleh WWF dan TNC. Warga dibantu pengembangan kapasitas dan pengetahuan soal perikanan berkelanjutan lewat berbagai pelatihan,” katanya.

Mereka juga aktif berkoordinasi dengan Balai TNW, misal, penentuan batas zonasi, mereka aktif memberikan saran.

Tahun 2007, mereka bekerjasama dengan Darwin Initiative mengadakan penelitian mengenai ikan karang selama tiga tahun. Hasilnya, ikan karang yang ditangkap nelayan waktu itu 40% dewasa dan 60% anakan. Seharusnya, ikan kecil tak boleh ditangkap, agar populasi tak menurun drastis.

“Kita berharap, pemerintah bertindak menjaga populasi ikan karang. Kontribusi taman nasional masih kurang dan belum banyak dirasakan. Begitupun dalam pengawasan, kurang. Kelompok-kelompok dampingan mengawasi swadaya,” kata Edi.

Saat mereka melaut jika melihat ada sesuatu mencurigakan, langsung melapor kepada pimpinan kelompok. Setelah itu, mereka berkoordinasi dengan Balai TNW.

“Pernah ada yang mengambil karang. Kita kejar dengan sampan agar karang dikembalikan. Begitu juga penambang pasir, kita kejar.”

Namun, saat ini mereka keluhkan sikap nelayan dari luar Kepulauan Wakatobi masih menggunakan cara-cara tak ramah lingkungan.  Pengeboman dan pembiusan ikan masih ada.

Mereka juga bekerjasama dengan pihak desa untuk menerbitkan perdes penangkapan ikan. Mereka juga kerjasama dengan pengumpul ikan, salah satu Pulau Mas, dengan menerima ikan besar saja.

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Keterbatasan anggaran

Sugiyanta, project leader WWF Wakatobi mengatakan, pengelolaan TN Wakatobi, belum efektif. Hal ini bisa dilihat dari aspek perlindungan biodiversiti maupun kesejahteraan masyarakat. Semestinya, patroli dua kali dalam sebulan. Namun, belum bisa dipenuhi karena keterbatasan anggaran Balai TNW.

TNW terdiri dari beberapa zonasi. Diantaranya zona inti 1.300 hektar, zona pemanfaatan bahari 36.450 hektar, dan zona pariwisata 6.180 hektar. Lalu, zona pemanfaatan lokal 804.000 hektar, pemanfaatan umum 495.700 hektar dan zona khusus darat 46.370 hektar. “Sekitar 105 ribu warga tinggal kawasan taman nasional. Ini unik. Karena luas sama dengan Kabupaten Wakatobi.”

Siti Wahyuna, kepala Balai TNW mengatakan, pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan terus dilakukan. Dalam pengawasan, masyarakat ikut terlibat aktif. Balai juga aktif mengembangkan wisata Wakatobi.

“Kita tak melarang warga beraktivitas di kawasan taman nasional. Asal tidak merusak. Masyarakat sudah ada sejak awal. Jadi tidak mungkin kita keluarkan. Kita juga membuat program beragam yang melibatkan masyarakat.”

Untuk patroli, Balai seringkali melibatkan masyarakat meskipun juga mempunyai patroli rutin. “Segi anggaran patroli sebenarnya tidak cukup. Ya, dicukup-cukupkan.”

Polhut Balai TNW, Sakaria mengatakan, patroli rutin setiap 10 hari dalam sebulan. Tujuh hari di darat, tiga hari di laut. Untuk patroli gabungan lima kali dalam setahun.

“Untuk patroli ke tempat terjauh terkendala jarak. Kita kekurangan sarana dan personil. Saat ini ada 15 polhut.”

Keramba-keramba yang dibuat warga dengan tetap memperhatikan usia tangkap ikan. Foto: Indra Nugraha

Keramba-keramba yang dibuat warga dengan tetap memperhatikan usia tangkap ikan. Foto: Indra Nugraha

Kredit konservasi

Ada hal menarik lagi dari kelompok nelayan di Pulau Wangi-wangi. Mereka sukarela patroli menjaga perairan laut Wakatobi, juga menggalakkan kredit konservasi. Dalam diskusi bersama para nelayan dan petani rumput laut di Pulau Wang-wangi, mereka berbagi kisah.

“Kita tergantung pada laut. Jadi laut kita jaga betul,” kata Sumarni, bendahara kredit konservasi.

Kredit konservasi dengan harapan warga di Wangi-wangi, lebih peduli kelestarian lingkungan. Sejak 2009, rencana kredit ini tetapi baru terealisasi 2011. Program ini dibina WWF Wakatobi.

“September 2013 sudah jalan. Kalau ada anggota kredit konservasi ikut pelatihan WWF biasa suka dikasih uang honor pengganti transpor. Kita sisihkan sebagian untuk program ini.”

Menurut Sumarni, besaran pinjaman dana tidak boleh lebih dari Rp1 juta. Lama tergantung kesepakatan, maksimal lima bulan.

Setiap anggota harus menjaminkan pohon atau terumbu karang. Mereka wajib menjaga jaminan itu. Pohon tak boleh ditebang. Begitu juga terumbu karang, harus pastikan terbebas dari pengeboman. Ketika pinjaman terlunasi, mereka harus menanam sejumlah pohon baru.

“Kalau di bank kan jaminan BPKB atau surat tanah. Kita jaminan pohon atau terumbu karang. Satu pohon Rp100.000. Jika ada mau pinjam Rp1 juta, harus punya 10 pohon jaminan.”

Dia mengatakan, kalau terumbu karang rusak atau dibom, atau pohon ditebang, kredit akan ditarik. Anggota kredit konservasi mempunyai tanggung jawab menjaga lingkungan.

“Lembaga adat berencana membeli tanah untuk lahan baru. Harapan ke depan, jadi lahan milik bersama untuk ditanami pohon baru.”

WWF Wakatobi membantu masyarakat sekitar mengadakan pertemuan rutin dan membuat AD/ART. Aturan main mengenai program sudah jelas.

Kamida, anggota kredit konservasi mengatakan, program ini sangat membantu nelayan dan petani di Wangi-wangi. Sebelum ada program, masyarakat banyak meminjam kepada tengkulak dengan bunga sangat tinggi.

“Saya dulu pinjam dana lewat kredit konservasi untuk modal dagang dengan jaminan mangga dan nangka.”

Anggota kredit konservasi kini berjumlah 20 orang.  Di Pulau Wangwangi ada 12 kelompok nelayan dan petani rumput laut. Satu kelompok beranggotakan 20-30 orang. Perlahan, kesadaran mereka menjaga ekosistem mulai terlihat.

Setiap tanggal 6 mereka rutin bertemu. Tiap anggota harus membayar iuran Rp22.000. Dari jumlah itu Rp20.000 iuran wajib, Rp2.000 ribu konsumsi. Uang iuran dikumpulkan untuk keperluan simpan pinjam koperasi.

Anggota bisa meminjam dana untuk membeli bibit rumput laut, operasional perahu dan lain-lain. Sebagian dana untuk patroli laut dan pengembangan lembaga.

Keramba Pulau Mas, yang hanya menjual ikan-ikan besar, bukan anakan. Foto: Indra Nugraha

Keramba Pulau Mas, yang hanya menjual ikan-ikan besar, bukan anakan. Foto: Indra Nugraha

Patroli rutin yang dilakukan Balai TN Wakatobi. Meskipun begitu, karena keterbatasan anggaran dan personil mereka belum bisa  mengawasi kawasan laut secara optimal. Beruntung, warga Wakatobi, bersama-sama menjaga kawasan laut dengan sukarela. Foto: Indra Nugraha

Patroli rutin yang dilakukan Balai TN Wakatobi. Meskipun begitu, karena keterbatasan anggaran dan personil mereka belum bisa mengawasi kawasan laut secara optimal. Beruntung, warga Wakatobi, bersama-sama menjaga kawasan laut dengan sukarela. Foto: Indra Nugraha

Menimbang ikan di keramba Pulau Mas. Foto: Indra Nugraha

Menimbang ikan di keramba Pulau Mas. Foto: Indra Nugraha

 


Menilik Kepedulian Masyarakat Wakatobi dalam Menjaga Laut was first posted on August 14, 2014 at 11:56 am.

Vonis 16 Bulan bagi Penjual Satwa Langka di Sumut

$
0
0
Trenggiling sitaan di Sumut. Satwa ini salah satu yang terus diburu untuk diperdagangkan. Foto: Ayat S Karokaro

Trenggiling sitaan di Sumut. Satwa ini salah satu yang terus diburu untuk diperdagangkan. Foto: Ayat S Karokaro

Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (14/8/14), menjatuhkan penjara 16 bulan kepada terdakwa, Dede Setiawan, penjual satwa langka dilindungi. Dede tertangkap tangan tengah menjual dua kucing mas dewasa dan anak-anak, satu owa, dan satu siamang.

Dalam putusan, majelis hakim yang diketuai Waspin Simbolon, menyatakan, terdakwa terbukti sah melanggar Pasal 40 UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Dede juga didenda Rp5 juta, subisider satu bulan kurungan. Vonis ini, lebih ringan dari tuntutan JPU, Emmi Manurung, yang menuntut dengan hukuman dua tahun penjara, denda Rp12 juta subsider dua bulan kurungan.

Dia menerima putusan majelis hakim. Sebelum pembacaan putusan, majelis hakim memberikan kesempatan terdakwa membela diri. “Saya menyesal tetapi mohon keringanan hukuman. Saya punya anak dan istri. Tetapi saya menerima dan siap menjalani hukuman atas kesalahan saya memperdagangkan satwa langka dan dilindungi UU.”

Dede ditangkap kala Satuan Polisi Reaksi Cepat (SPORC) Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatra Utara (BBKSDA Sumut), mendapatkan informasi mengenai satwa dilindungi diperjualbelikan. Transaksi satwa dilindungi di Jalan Ngumban Surbakti, Medan, pada Jumat (7/4/14).

Menurut dia, satwa-satwa itu akan dibawa ke luar negeri. Dede mendapatkan satwa dari jaringan di Langkat, Mandailing Natal, Kota Sibolga, dan Simalungun.

“Ada yang pesan orangutan dan sudah pernah dijual oleh kelompok lain. Satwa-satwa ini ada dari hutan Leuser, Aceh. Pembeli dari Malaysia, China, dan Australia.”

Dede mengaku, baru dua kali melakukan transaksi. Menurut dia, mereka berbagi tugas, ada membeli dari pemburu, atau berburu sendiri. “Yang menjual saya dan Arbi Petong, warga Aceh. Aku menyesal tapi bagaimanalah, aku pengangguran,” kata Dede.

Menurut dia, pendapatan penjualan lumayan, jika berhasil dijual dapat upah Rp1-Rp2 juta. Sedang satwa, katanya, biasa diselundupkan melalui Pelabuhan Belawan dan Tanjung Balai. Juga Pelabuhan Sibolga dan Nias.

Siamang ini berhasil diamankan ketika akan diperjualbelikan oleh Dede yang divonis  16 bulan di  PN Medan. Foto: Ayat S Karokaro

Siamang ini berhasil diamankan ketika akan diperjualbelikan oleh Dede yang divonis 16 bulan penjara di PN Medan. Foto: Ayat S Karokaro


Vonis 16 Bulan bagi Penjual Satwa Langka di Sumut was first posted on August 14, 2014 at 6:16 pm.

Penyelesaian RTRW Sumut Terkendala Status Kawasan Hutan, Mengapa?

$
0
0
Ribuan kubik kayu dari hutan lindung di kawasan Humbahas, Simalungun, hingga Tapanuli Utara ini banyak tergerus. Pemerintah Sumut kini galau karena SK penunjukan kawasan hutan oleh Kemenhut telah dipatahkan MA, RTRW daerah inipun terancam molor. Foto: Ayat S Karokaro

Ribuan kubik kayu dari hutan lindung di kawasan Humbahas, Simalungun, hingga Tapanuli Utara ini banyak tergerus. Pemerintah Sumut kini galau karena SK penunjukan kawasan hutan oleh Kemenhut telah dipatahkan MA, RTRW daerah inipun terancam molor. Foto: Ayat S Karokaro

Menteri Kehutanan menerbitkan surat keputusan penunjukan kawasan hutan Sumatera Utara pada 2005 seluas 3,7 juta hektar lebih. Namun, SK ini digugat dan putusan Mahkamah Agung menyatakan penunjukan kawasan hutan di Sumut melanggar UU. Kondisi ini,  berdampak pada penyelesaian rancangan peraturan daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2034 di daerah ini.

Nurdin Lubis, sekretaris daerah Sumut,  Rabu malam (13/8/14) mengatakan, ranperda RTRW belum bisa selesai, karena terhambat penunjukan kawasan hutan.

Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi ranperda RTRW Sumut telah terbit. Evaluasi itu mengamanatkan rencana pola ruang pada raperda mempedomani SK Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan Sumut. Namun, pasca putusan MA yang menyatakan SK Menhut itu melanggar UU otomatis penyusunan RTRW terganjal.

Dalam amar putusan MA, SK Menhut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum. MA memerintahkan Menhut, mencabut keputusan itu dan menerbitkan keputusan baru. “Finalisasi RTRW menunggu keputusan baru.”

Menurut dia, agar penyusunan RTRW cepat selesai, pihaknya sudah dua kali menyurati Menhut, pada Januari 2014, dan Agustus 2014.

“Jika tidak segera keluar surat keputuan baru, program kita khusus itu akan terganggu. Dampaknya akan terjadi konflik dan tumpang tindih kawasan hutan mana yang bisa dipakai dan tidak. Ini berbahaya jika dibiarkan, jadi kami pro aktif mempertanyakan ke Kemenhut. ”

Forum Masyarakat Adat Batak Padang Lawas (FMABPL)dan Ikatan Pemuda Menolak Eksploitasi Hutan Lindung Wilayah Barat Sumut (IPMEHLBS) berbagi pandangan.

Desa Sira Pispis, daerah pemekaran di Kabupaten Samosir yang terimbas SK 44 Menhut. Foto: Ayat S Karokaro

Edward Jore Napitupulu, FMABPL, kepada Mongabay mengatakan, ulah Kemenhut yang sembarangan membuat aturan penunjukan kawasan hutan Sumut, menjadi gambaran nyata kecerobohan dan rendahnya analisis maupun perhitungan soal itu.

Keadaan ini, memperlihatkan Kemenhut tidak menurunkan tim ke lapangan sebelum membuat aturan. Akhirnya, berdampak pada proses aturan daerah.

“Ini kecerobohan sangat fatal. Ada banyak pertimbangan seharusnya sebelum membuat keputusan,” katanya di Medan, Kamis (14/8/14)

Sedang Erlangga Hutabarat, dari IPMEHLBS, mengatakan, SK Menhut ini sarat kepentingan bagi para bandit kehutanan hingga sengaja digolkan menjadi aturan. “Itu sangat berguna bagi mereka untuk bisa masuk dan menguasi hutan dan lahan di Sumut.”

Berdasarkan catatan mereka, ada beberapa daerah masuk kawasan hutan, kini dikuasi pemodal yang berlindung di balik HPH maupun HTI.

Daerah yang masih berkonflik antara pemodal dengan masyarakat adat itu, seperti di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Ada 12 masyarakat adat sampai kini berstatus tersangka.

Di Mandailing Natal, hutan Rantopuron, Desa Hutabargot, mengalami hal sama, Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) ini rusak dan hancur. “Setidaknya 1.300 hektar hutan lindung hancur di Sumut.”

 


Penyelesaian RTRW Sumut Terkendala Status Kawasan Hutan, Mengapa? was first posted on August 15, 2014 at 4:56 pm.

PBNU Desak Pemda Hentikan Operasi Tambang di Rembang

$
0
0

Rumah warga yang menolak tambang di kawasan karst mayoritas dipasang poster penolakan pabrik semen. Foto : Tommy Apriando

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyerukan Pemerintah Jawa Tengah dan Rembang menghentikan kegiatan PT. Semen Indonesia dan operasi perusahaan-perusahaan tambang lain di Rembang. Setelah itu, lakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap perusahaan-perusahaan itu. Demikian pernyataan sikap PBNU bersama Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam (FNKSDA) di Jakarta, Jumat (15/8/14).

PBNU juga mendukung sepenuhnya aksi warga Rembang menuntut penghentian pendirian pabrik semen, atas pertimbangan besarnya daya rusak ekologis masyarakat di masa depan.

Sejak 16 Juni 2014, warga Rembang dari beberapa desa aksi bertahan di lokasi rencana pembangunan pabrik dengan membuat tenda. Sekitar 100-an ibu-ibu, dalam dua bulan ini hidup di tenda siang dan malam.

“Sangat mengapresiasi perjuangan ibu-ibu. Pemerintah harusnya malu, ibu-ibu sampai turun aksi. Pertama kali yang harus dituntut batalkan pendirian pabrik semen di Kendeng itu adalah pemerintah,” kata M Imam Aziz dari PBNU.

Organisasi agama Islam terbesar di Indonesia ini juga mendesak aparat mengusut kasus-kasus intimidasi terhadap warga sekitar wilayah tambang dan memperlakukan para pemrotes manusiawi dengan sungguh-sungguh menjamin perlindungan hak-hak asasi mereka.

Pada hari itu di Jakarta, PBNU dan FNKSDA mengadakan pertemuan dengan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) dan perwakilan warga Rembang. Adapun penggagas pertemuan yang didukung KH Masdar F Mas’udi selaku Rais Syuriyah PBNU ini, antara lain, dari PBNU KH Yahya Tsaquf, KH Abbas Mu’in, dan M. Imam Aziz. Lalu, dari FNKSDA ada Ubaidillah, Bosman Batubara dan Roy Murtadlo.

Waga Rembang, kala aksi pendudukan lokasi yang akan menjadi pembangunan pabrik semen. Foto: Omahekendeng

Dorong perubahan tata kelola SDA

Selain membahas Rembang, dalam pertemuan itu juga menghasilkan beberapa poin menyikapi tata kelola SDA di negeri ini. Termasuk memberikan dukungan pada Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) dalam menegakkan kedaulatan lingkungan bagi warga Kota Samarinda dan Kalimantan Timur.

PBNU dan FNKSDA juga mendukung langkah-langkah pembicaraan substansial menuju konsensus nasional tentang paradigma tata kelola ekonomi SDA secara komprehensif. Tujuannya, menjamin kepentingan rakyat banyak dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Untuk itu, PBNU menyatakan perlu langkah-langkah perubahan paradigma tata kelola SDA. PBNU mendesak pemerintahan baru bisa membentuk instansi khusus menangani permasalahan konflik SDA di seluruh Indonesia.

“Tugas pertama instansi ini me-review semua perizinan pengelolaan SDA di Indonesia,” kata Ubaidillah, membacakan poin-poin pernyataan sikap.

Selain itu, mereka mendorong pemerintah untuk membentuk badan konstitusi di bagian hulu sebelum perumusan rancangan UU. Hingga fungsi Mahkamah Konstitusi yang berada di hilir dan pasif, tertutupi di hulu hingga menjadi aktif dan preventif agar produk hukum sesuai konstitusi.

Lalu, mendorong pemerintahan menginisiasi pengadilan lingkungan dengan salah satu tugas utama eksaminasi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Ini sekaligus mengantisipasi pendangkalan makna “partisipasi” dalam penyusunan Amdal. Sebab, selama ini “partisipasi” berubah menjadi “mobilisasi,” prosedural, dan meminggirkan kualitas dan substansi partisipasi.

PBNU juga menginstruksikan jajaran NU berperan aktif dalam pengawasan praktik-praktik ekstraksi SDA di lingkungan masing-masing. “Intinya, demi memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dan memelihara kemaslahatan alam.”

 


PBNU Desak Pemda Hentikan Operasi Tambang di Rembang was first posted on August 16, 2014 at 1:29 am.

Pesisir Bali Tolak Reklamasi, Berikut Tuntutan Warga

$
0
0
Warga pesisir di Bali juga menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka khawatir ancaman dampak buruk dari reklamasi ini. Foto: Anton Muhajir

Warga pesisir di Bali juga menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Mereka khawatir ancaman dampak buruk dari reklamasi ini. Foto: Anton Muhajir

“Kami warga Bali siap puputan untuk menolak reklamasi di Teluk Benoa.” Begitu teriak Priatna, koordinator Forum Masyarakat Renon Tolak Reklamasi, melalui pelantang pada aksi Jumat (15/8/14). Tangan kiri memegang pelantang (megaphone) warna merah. Tangan kanan mengangkat keris tinggi-tinggi.

Masih memegang pelantang, dia menusukkan keris ke sendiri. Priatna, yang berpakaian adat Bali madya layak orang mau sembahyang ini, sedang ritual ngurek meski hanya sebentar.

Puputan adalah istilah melawan hingga titik darah penghabisan di Bali. Ada beberapa sejarah puputan ketika melawan Belanda. Puputan Badung pada 20 September 1906 dan puputan Klungkung 21 April 1908. Orang Bali menganggap puputan adalah peristiwa heroik melawan penjajahan.

Baginya, puputan kali ini perlawanan terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali.

Jumat sore itu, Priatna satu dari sekitar 1.500 warga Bali yang aksi menolak reklamasi Teluk Benoa. Peserta dari desa-desa di sekitar Teluk Benoa seperti Kedonganan, Kelan, Jimbaran, Sanur, dan lain-lain.

Tak hanya nelayan dan pemilik usaha pariwisata di sekitar Tanjung Benoa, mereka juga dari pelajar, mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat. Ada pula kelompok warga dari Sukawati dan Ubud, Gianyar bahkan Jembrana di ujung barat Bali.

Bendera massa aksi dari berbagai kelompok ini berkibar-kibar selama aksi. Bendera putih, merah, dan hitam dengan tulisan Bali Tolak Reklamasi terlihat paling banyak

Sekitar pukul 15.00, massa berkumpul di Tanjung Benoa, pusat pariwisata pesisir di Bali selatan. Menggunakan perahu jukung, perahu wisata, jet ski, dan lain-lain, massa bergerak. Tujuannya, tanah timbul (mud island) di lokasi yang akan direklamasi.

Ratusan perahu melaju dalam barisan diiringi gamelan ala Bali. Peserta aksi membentangkan bendera dan spanduk menolak reklamasi.

Kami Rakyat Bali Tidak Butuh Reklamasi. Cabut Perpres No 51 tahun 2014.” “Bali Not For Sale.” “BALI Bukan Ajang Lahan Investor Serakah.” Begitu antara lain bunyi spanduk-spanduk itu.

Setelah berkeliling sekitar satu jam termasuk di bawah jalan tol di Benoa–Nusa Dua, massa berhenti di tanah timbul. Mereka turun dari perahu. Berorasi, membentangkan spanduk raksasa berukuran sekitar 10×3 meter dengan tuntutan,” Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Batalkan Perpres no 51 tahun 2014!”

spanduk-spanduk penolakan Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir

Spanduk-spanduk penolakan Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir

Empat tuntutan

Massa membacakan empat tuntutan. Pertama, menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan Perpres No 51 tahun 2014. Juga menuntut SBY memberlakukan Perpres lama tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). 

Kedua, menuntut SBY untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa karena mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali selatan.

“Reklamasi akan menghancurkan Bali,” kata I Wayan Kartika, koordinator Tanjung Benoa Tolak Reklamasi (TBTR) kala aksi.

Ketiga, massa meminta SBY menghentikan seluruh proses perizinan reklamasi. Terakhir, massa menuntut SBY di akhir jabatan tidak mengeluarkan kebijakan strategis yang mengancam hajat hidup orang banyak, termasuk reklamasi Teluk Benoa.

Reklamasi yang ditolak warga Bali adalah rencana investasi PT Tirta Wahana Bali Internasional (PT TWBI). Perusahaan milik taipan Tomy Winata ini akan membangun pulau-pulau baru di Teluk Benoa. Kawasan ini di antara segi tiga emas sekaligus jantung pariwisata Bali yaitu Sanur, Kuta, dan Nusa Dua.

TWBI akan membangun fasilitas pariwisata serupa Disneyland, Amerika Serikat atau Pulau Sentosa di Singapura. Di sana akan dibangun lapangan golf, gedung konvensi, perumahan, perkantoran dan lain-lain. Kawasan teluk seluas 1.400 hektar akan direklamasi sekitar 810 hektar.

Rencana inilah ditentang warga Bali, termasuk TBTR, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali), dan lain-lain. “Jika teluk di sisi barat direklamasi, terumbu karang di sisi timur akan rusak. Kami mengandalkan keindahan terumbu karang itu sebagai tempat wisata,” kata Wayan.

Teluk ini berada di sisi barat Tanjung Benoa. Di sana terdapat pulau kecil yang jadi tujuan turis. Sisi timur, warga lokal mengelola wisata laut seperti diving, snorkling, dan banan boat yang menjual pesona bawah laut termasuk terumbu karang dan ikan.

“Usaha wisata kami pasti mati jika nanti ada wisata terpadu yang dibangun investor. Apalagi mereka punya modal lebih besar.”

Warga tengah ritual ngurek di pesisir Bali. Foto: Anton Muhajir

Warga tengah ritual ngurek di pesisir Bali. Foto: Anton Muhajir

Bencana lingkungan

Dari sekian banyak dampak negatif, persoalan lingkungan paling mudah terlihat. Lembaga lingkungan Conservation International (CI) Bali pernah membuat riset terkait dampak buruk reklamasi Teluk Benoa terhadap lingkungan. Salah satu, kemungkinan banjir rob jika ada reklamasi.

“Teluk Benoa merupakan kawasan reservoir bagi lima sungai besar di Bali selatan. Jika direklamasi, air pasti melimpah ke luar kawasan jika hujan besar,” kata Iwan Dewantama, manajer Jaringan Pengelolaan Pesisir CI Bali, juga tim riset.

Menurut Iwan, dampak ekologis lain adalah perubahan struktur tanah. Secara geogenesis atau sejarah terbentuknya, Teluk Benoa merupakan daerah mudah berubah. Labil. Dia hanya endapan lumpur. “Jika direklamasi, makin labil hingga meningkatkan  risiko bencana seperti gempa dan tsunami.”

Reklamasi, katanya,  sebagai intervensi terhadap alam justru memperburuk labilitas kawasan Teluk Benoa.  Iwan mengingatkan, dampak lingkungan terhadap lokasi-lokasi yang akan dikeruk pasirnya untuk reklamasi Teluk Benoa. Menurut proposal TWBI, mereka memerlukan 33 juta kubik pasir untuk membangun pulau-pulau baru di Teluk Benoa.

Jutaan kubik pasir untuk reklamasi ini akan diambil dari beberapa lokasi seperti Pantai Sawangan, Bali bagian selatan; Karangasem, Bali bagian timur; Sekotong, Nusa Tenggara Barat; serta bekas material pengerukan pendalaman alur di lokasi reklamasi.

“Logikanya, jika ada bagian dikeruk untuk reklamasi, akan ada bagian lain dari kawasan perairan laut akan rusak. Itu sudah pasti.”

Dia menambahkan, kawasan pesisir merupakan satu kesatuan. Intervensi di satu titik akan berdampak terhadap kawasan di tempat lain. Reklamasi Pulau Serangan di Denpasar selatan pada 1994, bisa jadi contoh. Dampak reklamasi pulau hingga empat kali lipat dibanding luas awal, abrasipun terjadi lebih keras di daerah lain seperti Mertasari, Padanggalak, dan Lebih.

Karena itulah, bagi sebagian besar warga Bali seperti Priatna yang tinggal jauh dari Tanjung Benoa, reklamasi menjadi masalah. Ini tak hanya masalah warga sekitar lokasi. “Reklamasi Teluk Benoa masalah warga Bali karena akan berdampak abrasi ke seluruh pesisir Bali. Reklamasi harus ditolak,” kata Priatna.

Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa dan meminta Presiden SBY mencabut perpres yang baru keluar. Foto: Anton Muhajir

Aksi tolak reklamasi Teluk Benoa dan meminta Presiden SBY mencabut perpres yang baru keluar. Foto: Anton Muhajir


Pesisir Bali Tolak Reklamasi, Berikut Tuntutan Warga was first posted on August 16, 2014 at 5:48 pm.

Kala Tumpahan Minyak Bikin Nelayan Lampia Tak Melaut

$
0
0
Pukat ikan warga masih hitam terkena tumpahan minyak. Walau dicuci tetap lengket. Foto: Eko Rusdianto

Pukat ikan warga masih hitam terkena tumpahan minyak. Walau dicuci tetap lengket. Foto: Eko Rusdianto

Siang itu, Halim, nelayan di Desa Lampia, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, terkejut ketika mengangkat pukatnya. Hitam. Tak ada seekor ikanpun terjaring. “Awalnya saya tak tahu apa itu. Saya pegang, ternyata oli,” katanya.

Oli tertempel di pukat begitu kental. Berbeda dengan yang biasa ditemui ketika mengganti oli motor. Ternyata, oli itu tumpahan dari kapal tangker ketika dipindahkan menuju kilang PT Vale–perusahaan penambang nikel di Sorowako. “Saya menggunakan perahu berkeliling-keliling. Menyerok air laut, semua oli.”

Halim memperlihatkan pukat yang dipenuhi oli. Diletakkan di dekat perahu, karena tak dapat digunakan. Meskipun sudah dicuci berkali-kali, cairan lengket tak dapat hilang. Perahu katinting pun bernasib sama, perlu sepekan penuh menggosok lambungnya agar tempelan oli menghilang.

Sejak tumpahan oli jenis hight sulphur fuel Oil (HSFO) terjadi awal Ramadhan di laut Lampia, tak seorang nelayan turun ke laut. Mereka memilih mencari pemasukan lain atau sekadar menunggu perusahaan membersihkan sisa oli. “Kami tak tahu harus buat apa,” kata Halim.

Di pesisir Lampia, PT Vale membangun dua buah tangki HSFO berkapasitas 21 juta liter dan satu tangki solar kapasitas 5 juta liter, dinamakan Mangkasa Point. Pengisian tangki dilakukan beberapa kali setiap pekan. Kapal-kapal tangker dengan muatan penuh HSFO dan solar merapat ke dermaga itu.

Lampia adalah wilayah kawasan Teluk Bone. Garis pantai menyisir jalan yang menghubungkan ke Sulawesi Tenggara. Sisi lain di Desa Pongkeru. Hingga 1990-an Teluk Lampia masih surga biota laut, seperti karang, lamun, teripang, kerang ikan, lobster, dan udang-udangan. “Pada masa lalu, nelayan tak perlu menyelam untuk mendapatkan teripang, cukup berjalan-jalan di pesisir pantai,” kata Tasdim, nelayan lain.

Pertengahan 1980 kekacauan mulai terjadi ketika demam bom ikan merebak. Kawasan yang dulu kaya sumber alam laut itu perlahan hilang. Karang mulai rusak. “Tapi orang mengebom ikan di laut jauh sana. Di luar teluk ini. Orang-orang bilang, semua kekayaan laut kami hilang karena bom itu. Kami percaya.”

Kekacauan bom ikan berhenti. Masyarakat lokal kembali dengan cara-cara arif. Menggunakan bila dan rompon, atau hanya  memancing. Nelayan bersatu mengusir pengebom. Teluk kembali diramaikan ikan.

Tasdim adalah nelayan tradisional pengguna pancing (beso-beso). Setiap hari atau kadang sekali dalam dua hari turun ke laut. Pendapatan sehari hingga Rp300 ribu. “Anak saya selesai kuliah dengan penghasilan sebagai nelayan.”

Namun, cerita ini sampai beberapa bulan lalu. Sejak tumpahan oli, Tasdim baru dua kali mencoba memancing ke laut. Hasilnya nihil. “Saya tak bisa mendapatkan ikan lagi. Itu laut seperti kosong,” katanya.

Masyarakat Lampia mencatat, tumpahan oli jenis HSFO dari PT Vale terjadi beberapa kali. Pertama kali 2009, kapal tangker yang bersandar di Mangkasa Point meluberkan cairan oli ke laut. Saat itu tak ada riak, masyarakat cepat diberikan kompensasi sekitar Rp70 juta akibat kerugian yang diderita.

Waega aksi protes karena perusahaan seakan tak peduli nasib nelayan yang tak bisa melaut karena tumpahan minyak. Foto: Eko Rusdianto

Warga aksi protes karena perusahaan seakan tak peduli nasib nelayan yang tak bisa melaut karena tumpahan minyak. Foto: Eko Rusdianto

Tahun 2012, kembali diredam dengan kompensasi. Lalu, awal 18 Juli 2014, tumpahan ketiga terjadi. Ia cukup berdampak, karena daya jangkau sampai ke desa tetangga Pongkeru.

Syafaruddin, kepala Desa Lampia, menerima laporan saat tumpahan terjadi, langsung menyusuri garis pantai. Dia mendapati genangan gelombang berwarna hitam pekat. Alat tangkap nelayan rusak. “Dari Mangkasa Point saya sampai ke Bulu Poloe yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Saya masih menjumpai tumpahan oli itu.”

“Bahkan di salah satu titik perairan, nelayan menyelam dan saat naik ke permukaan badan seperti diluberi minyak. Di bawah air pun mata menjadi sangat perih.”

Bahkan beberapa minggu setelah tumpahan, nelayan ada yang nekat memasang pukat heran dan kaget mendapatkan hasil tangkapan tenggiri. “Padahal tenggiri ada di dasar laut. Tak pernah ke permukaan. Apa yang membuat ikan itu naik, tak ada yang tau sampa saat ini. Ini merupakan pertama kali terjadi di Lampia,” kata Syafaruddin.

Minyak tumpah berkali-kali

Dari informasi yang diterima Mongabay, HSFO yang tumpah mencapai 1.000 liter. HSFO warna lebih pekat dan sangat kental. Jika lengket di tangan, perlu berkali-kali mencuci dengan diterjen untuk bisa hilang.

Selama tiga kali pertemuan bersama PT Vale, yang difasilitasi pemerintah daerah, tak ada kesepakatan. Permintaan masyarakat menginginkan kompensasi karena tumpahan oli untuk 277 keluarga nelayan di Desa Lampia dan 68 keluarga di Desa Pongkeru Rp250.000 ribu di kalikan selama enam bulan, dianggap terlalu besar. “Tapi ini semata-mata bukan soal kompensasi, bukan soal uang. Meskipun alat tangkap nelayan rusak perlu diganti. Ini soal jangka panjang, kami tak ingin laut kami terus tercemar,”  kata Syafaruddin.

Atas dasar itulah, masyarakat di Desa Lampia unjuk rasa di jalur masuk Mangkasa Point. Mereka menutup akses kendaraan dengan menumbangkan dua pohon. Mendirikan tenda dan menyampaikan aspirasi selama beberapa hari.

Nico Center, Presiden Direktur PT. Vale Indonesia, dalam klaim tertulis hanya mengimbau penyampaian pendapat dan aspirasi di muka umum sesuai koridor hukum dan tidak anarkis. Perusahaan selalu membuka pintu dialog untuk membahas solusi terbaik. Termasuk dengan pembentukan tim ahli yang ditunjuk pemda.

Namun siapakah yang dapat menjamin tumpahan oli tak terjadi lagi? “Dari laporan yang kami peroleh, tim ahli bergerak observasi di perairan Lampia Rabu (6 Agustus 2014). Kita tunggu apa yang mereka dapat,” kata Syafaruddin.

Sebelum itu, pertemuan dengan perwakilan Vale difasilitasi pemda. Salah seorang yang hadir Lili Lubis bagian lingkungan Vale. Dalam laporan Lili mengatakan jika kadar baku mutu air di perairan sekitar Lampia masih normal, tak ada dampak buruk dengan lingkungan. “Kami memperlihatkan limpahan oli dan membawa jala yang dipenuhi oli. Kami minta angka baku mutu, sebelum ada tumpahan dan setelah ada tumpahan. Tapi tak disanggupi,” ujar Syafaruddin.

Saya mencoba menghubungi Lili Lubis melalui pesan pendek untuk meminta penjelasan mengenai tumpahan oli di Lampia, namun tak ada tanggapan.

Syahidin Halun adalah Asisten I Bidang Pemerintahan yang ditunjuk Pemerintah Luwu Timur sebagai ketua tim teknis negosiasi dan menjadi mediator antara perusahaan dan warga, tak bisa bicara banyak. “Tim yang saya kepalai sebatas mediasi. Untuk urusan teknis dan dugaan pencemaran itu kita serahkan ke tim ahli dari Universitas Hasanuddin.”

Air laut masih pekat dampak tumpahan minyak dari kapal tangker yang memasok ke lilang PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Air laut masih pekat dampak tumpahan minyak dari kapal tangker yang memasok ke kilang PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Menurut Syahidin, tim ahli dari Universitas Hasanuddin bersama Vale dan pemda telah survei di lokasi kejadian. Mengambil sampel air dan meneliti. Diperkirakan hasil diketahui setelah enam bulan. “Dari laporan ada dua jenis oli tumpah, tapi saya tak tahu apa saja. Coba tanyakan, pada pak Mahatma (Dr. Mahatma Lanuru dosen Fakultas Ilmu Kelautan Unhas) ketua tim ahli dari Unhas.”

Ketika saya mencoba menghubungi Lanuru, dia mengirimkan pesan pendek. “Mohon maaf saya belum banyak mengetahui persoalan Vale karena survei laut di lokasi tumpahan minyak dan perairan sekitar belum kami lakukan. Mohon pengertian. Salam.”

Penanganan harus segera

Oseanografi Kimia dan Pencemaran Laut Universitas Hasanuddin, Muhammad Farid Samawi mengatakan, minyak yang tertumpah ke laut adalah pencemaran. Penanganan harus dengan cepat dan tanggap. Secara mekanis tumpahan harus dilokalisasi dengan booms selanjutnya dipindahkan dengan skimmer.

Tumpahan minyak yang tersebar telah diupayakan menggunakan sistem dispersant (penyemprotan) oleh Vale untuk memecah minyak menjadi ukuran lebih kecil. Namun tak ada yang bisa menjamin, apakah akan lenyap atau malah tenggelam ke dasar laut.

“Penggunaan dispersant apabila tidak dapat dihindari lagi, setelah penanganan mekanis tidak dapat dilakukan. Apabila dispersant yang digunakan tidak sesuai jenis minyak tumpah, akan menyisakan minyak di perairan laut. Tentu akan sangat berbahaya.”

Sistem lainnya, bioremediasi dilakukan apabila konsentrasi minyak mulai berkurang dengan penambahan nutrien untuk menumbuhkan bakteri pengurai minyak. Penggunaan absorbent (penyerap) bisa apabila minyak mencapai pantai.

Penanganan tumpahan minyak di laut diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 tahun 2006 tentang penanganan tumpahan minyak. Farid menegaskan, minyak tumpah ke laut tak boleh diabaikan, karena akan berdampak pada biota dan ekosistem laut.

Nelayan yang berusaha mencuci jaring ikan mereka. Walau sudah pakai diterjen, pukat tetap saja lengket dan hitam. Foto: Eko Rusdianto

Nelayan yang berusaha mencuci jaring ikan mereka. Walau sudah pakai diterjen, pukat tetap saja lengket dan hitam. Foto: Eko Rusdianto

Minyak hitam pekat dan lengket yang tumpah ke laut. Bagaimana nasib ekosistem laut jika begini? Foto: Eko Rusdianto

Minyak hitam pekat dan lengket yang tumpah ke laut. Bagaimana nasib ekosistem laut jika begini? Foto: Eko Rusdianto

Warga nelayan aksi protes memblokir jalan masuk ke dermaga PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Warga nelayan aksi protes memblokir jalan masuk ke dermaga PT Vale. Foto: Eko Rusdianto

Nelayan yang berusaha mencuci jaring ikan mereka. Walau sudah pakai diterjen, pukat tetap saja lengket dan hitam. Foto: Eko Rusdianto

Kala Tumpahan Minyak Bikin Nelayan Lampia Tak Melaut was first posted on August 17, 2014 at 12:50 am.

Soal Pengelolaan Energi, Inilah Pesan buat Presiden Baru

$
0
0

Galian tambang batubara di Kalimantan Tengah. Tambang batubara banyak menyisakan kerusakan lingkungan dan masalah sosial bagi masyarakat sekitar. Foto: Walhi Kalteng

Saat ini, di Indonesia, investasi pada sektor energi terbuka lebar bagi perusahaan asing, bahkan dana dari luar negeri ini mengalir ke perusahaan-perusahaan nasional. Energi fosilpun dikuras sebanyak-banyaknya. Sedang energi terbarukan hanya menjadi ‘pemanis” dan selalu diberi label sebagai sumber energi alternatif. Alhasil, produksi tambang Indonesia jadi pemenuh energi negara lain, sedang keperluan dalam negeri dari impor! Pemerintahan ke depan harus mengubah pola-pola seperti ini. Berikut beberapa pandangan dari para aktivis lingkungan.

Hendrik Siregar, koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, hingga kini, Pertamina yang ditugaskan memenuhi pasokan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri dikebiri UU Migas. “Ketidakmampuan Pertamina terlihat, mereka hanya mampu penuhi 24% BBM. Selebihnya impor,” katanya dalam diskusi energi di Jakarta, minggu pertama Agustus lalu.

Kondisi tampak rumit kala ada kebijakan yang bikin Indonesia tak memproses BBM sendiri, hingga terus impor. “Jadi, energi selain terbarukan itu impor.”

Bagi Hendrik, tak heran keadaan ini menyebabkan, 80% blok migas di Indonesia, dikuasai perusahaan-perusahaan berbasis di luar negeri. “Jadi, Indonesia tak berdaya memenuhi kebutuhan sendiri.”

Dia mengingatkan, pemerintah ke depan harus memikirkan strategi baru, bukan seperti saat ini. “SBY 10 tahun terakhir tak punya visi kedaulatan energi, walau buat UU Energi, hanya konteks regulasi yang mudah dimainkan.”

Untuk itu, pola-pola lama, katanya, tak perlu dipertahankan termasuk ASEAN Power.  ASEAN Power Grid ini,  mengintegrasikan sumber-sumber energi seperti PLTU tambang ke negara-negara ASEAN, seperti di Kalimantan Barat, menuju Serawak, Malaysia.

“Kebijakan-kebijakan ini seperti ini harus di-review. Jangan sampai kita meributkan subsidi ke rakyat tapi malah kasih subsidi ke negara lain,” ujar dia.

Ke depan, bagaimana pemerintah mampu mengelola sumber energi untuk dan aset rakyat. “Jadi ga bisa lagi pengelolaan seperti biasa, sumber energi harus jadi energi rakyat.”

Hal lain lagi, kata Hendrik, selama ini, dua per tiga kebutuhan energi Indonesia untuk kendaraan atau alat transportasi. Untuk itu, perlu dibenahi dan melihat moda transportasi publik mana yang benar-benar buat masyarakat.

Selain itu, katanya, energi terbarukan harus serius dikembangkan dan menjadi sumber energi utama. Menurut dia, Indonesia, mempunyai potensi energi terbarukan sangat besar, tetapi hanya jadi pemanis.  “Energi panas bumi justru begitu besar malah hanya jadi energi alternatif. Ini yang salah. Harusnya energi terbarukan jadi sumber energi utama.”

Untuk itu, pemerintah baru harus mengubah pola pikir ini. Ke depan, yang menjadi sumber energi utama (main source energy) adalah energi-energi terbarukan.

Tak jauh beda dengan pandangan Siti Maimunah, aktivis lingkungan yang konsern dengan isu-isu tambang.  Dia mengatakan, Joko Widodo, orang baru namun berada pada sistem lama. Dia tak lepas dari penguasaan bahan-bahan energi fosil itu.

Bagaimana memperbaiki keadaan ini? Pertama, menurut Mai, harus memperlakukan energi sebagai titik puntir, hingga perspektif pengelolaan tidak sektoral. Letakkan energi sebagai sumber kebutuhan rakyat dan bukan sumber pengelolaan untuk mendapatkan rente.  “Energi jadi titik puntir penting karena bisa berdampak luas,” ujar dia.

Kedua, membahas energi harus berbicara mengenai produksi dan konsumsi. Bukan hanya menghitung produksi dan terus menguras alam sebanyak-banyaknya.

Dia ambil contoh batubara yang tak pernah dihitung kebutuhan dalam jangka panjang. Pasokan barubara Indonesia,  kata Mai, hanya dua sampai tiga persen, tetapi sombong, produksi kejar-kejaran dengan Australia. Belum lagi, 60% batubara hanya dikuasai enam perusahaan, terutama milik Abu Rizal Bakrie.

Penambangan batubara di dekat lokasi Taman Wisata Alam Bukit Serelo Kabupaten Lahat. Kerusakan alam dan polusi udara, di antara dampak yang ditimbulkan dari eksploitasi energi tak terbarukan ini. Foto: Taufik Wijaya.

Tak hanya itu, dalam mengkonsumsi energipun harus ada aturan. Jadi, perlu dipikirkan bagaimana mengurangi konsumsi. Dia mencontohkan, ada mal di pinggiran Jakarta, yang menggunakan energi sama dengan Bandara Soekarno-Hatta.

“Kita hanya bicara produksi. Ini harus bicara produksi dan konsumsi. Harus koreksi konsumsi. Ga bisa energi tak terbarukan tak diatur penggunaannya.”

Menurut dia, dalam penggunaan energi harus melihat skala prioritas. Berbagai hal ini, katanya, harus menjadi perhatian serius bagi pemerintahan baru.

Ketiga, selama ini, dampak ekologi dan sosial dalam memproduksi energi tak pernah diperhitungkan negara. Padahal, ongkos luar biasa besar. Misal, masyarakat sekitar tambang minyak dan batubara mengalami krisis energi luar biasa. Belum lagi kerusakan lingkungan  parah. Ongkos sosial dan ekologi ini, mesti menjadi perhatian pemerintahan baru.

Keempat, pemerintah ke depan harus kongkrit memikirkan bagaimana mengurangi energi fosil atau tak terbarukan. Terlebih, katanya, energi terbarukan Indonesia diperkirakan bisa sampai 100 tahun, misal sumber angin, biomasa, dan geothermal. Untuk itu, dia menyarankan, pemerintah menjadikan energi terbarukan bukan pemanis bibir tetapi sumber energi utama.

Namun, Mai tak yakin bisa mengurangi eksploitasi energi fosil jika program yang menjadi andalan pemerintah itu MP3EI—yang memang getol menguras sumber energi.  Dia mendesak, pemerintahan baru tak lagi menggunakan MP3EI sebagai patron.

“Jika bicara perubahan iklim, jika Indonesia tak jalankan energi terbarukan maka 2030, Indonesia akan jadi pengemisi terbesar di dunia. Masak kita mau disamakan dengan AS, Canada ataupun Australia sebagai penjahat perubahan iklim.”

Masukan kepada pemerintahan baru juga datang dari Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional. Menurut dia, jika berbicara energi ada tiga hal perlu dilakukan.

Pertama, konservasi energi dengan mendorong pemanfaatan energi secara efesien dan rasional. Tentu, tanpa mengurangi penggunaan energi yang benar-benar diperlukan. Antara lain, konservasi pada pembangkit yang didahului dengan audit energi, mengurangi pemakaian listrik konsumtif termasuk buat keindahan dan kenyamanan. Lalu mengganti peralatan tak efesien seperti mesin-mesin produksi dan transportasi yang tak hemat energi dan mengatur pemakaian peralatan.

Kedua, diversifikasi energi penting dilakukan karena selama ini di Indonesia, justru terjadi penyeragaman. Deversifikasipun berjalan lambat. Dia mengatakan, banyak wilayah berpotensi biofuel tetapi pemanfaatan tak berjalan baik. Bahkan, katanya, sampai sekarang Indonesia,  tak memiliki skenario perubahan pegggunaan energi. “Misal mau gunakan batubara itu sampai kapan?” Ketiga, insentif dan disinsentif sangat penting untuk mengakselerasi pengelolaan energi.

Namun, Abetnego memberikan catatan soal energi ini, yakni, penting melihat sejauh mana kekuatan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) bisa mengubah struktur kabinet. “Karena kalau struktur kabinet seperti sekarang tak akan jalan. Lamban, ego sektoral.”

Riza Damanik, direktur eksekutif Indonesia for Global Justice juga memberi pandangan mengenai pengelolaan energi di Indonesia. Menurut dia, perombakan pemberian subsidi bisa dijalankan tetapi harus berdasarkan keadilan hak. “Sepakat penghentian subdisi bagi kapal-kapal besar dan industri-industri ekstraktif. Tapi tidak bagi sektor-sektor kerakyatan seperti pertanian dan perikanan,” katanya.

Di Indonesia, ada subsidi salah sasaran, misal,  pemberian pada kapal-kapal lebih 60 gross atau industri pergudangan. “Jika ini dipangkas akan memberikan cukup banyak penghematan dalam penggunaan energi.”

Hal penting lain yang harus diperhatikan pemerintahan Jokowi-JK,  yakni penggunaan teknik lokal dalam pengelolaan energi agar tak ada ketergantungan luar.  “Bukan hanya energinya tapi masyarakat bisa kelola sendiri energi tak perlu tergantung asing.”

Untuk itu, pemerintah harus memberi ruang khusus dan anggaran khusus agar kampus-kampus bisa menghasilkan teknologi terapan hingga teknologi-teknologi lokal bisa dikembangkan.

Selain itu, guna mendorong kedaulatan energi, katanya, harus meletakkan sumber daya alam (SDA) sebagai suatu yang integral bukan sektoral.


Soal Pengelolaan Energi, Inilah Pesan buat Presiden Baru was first posted on August 18, 2014 at 7:09 am.

Berburu Emas di Batang Gadis

$
0
0
Batu emas  dari dalam lubang hasil galian para penambang di hutan Hutabargot, Mandailing Natal. Foto:  Ayat S Karokaro

Batu emas dari dalam lubang hasil galian para penambang di hutan Hutabargot, Mandailing Natal. Foto: Ayat S Karokaro

Mereka menambang dengan peralatan seadanya di lubang-lubang tambang emas dengan kedalalam 35 hingga 100 meter. Hutan rusak, sampah botol mineral berserakan. Tanah dan bebatuan galianpun bertumpuk sembarangan di dalam hutan di Taman Nasional Batang Gadis ini. 

Cuaca begitu bersahabat akhir Juni lalu, mengiringi perjalanan saya menelusuri kabupaten pemekaran bagian selatan Sumatera Utara (Sumut), Mandailing Natal. Tepatnya, Desa Hutabargot Nauli.

Dari desa ini, saya menuju kawasan hutan di Gunung Hutabargot, yang masuk Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Di puncak gunung, banyak gubuk-gubuk ukuran 5×5 meter berdiri. Ternyata ini, gubuk atau tenda ‘rumah’ para pekerja tambang emas.

Ditemani Usrizal Ahmad, biasa disapa Amang Boru Kocu, tokoh adat Mandailing juga penolak tambang, saya melanjutkan perjalanan ke pintu rimba.  Menuju ke puncak Hutabargot, ternyata tidak mudah. Bebatuan cadas. Jalanan licin menukik. Kami harus menyeberangi sungai dengan arus deras. Perjalanan lebih kurang enam jam menuju ke lokasi penambangan emas tradisional. Cukup berat, terlebih saya sedang berpuasa.

Di sepanjang perjalanan, tampak para pekerja tambang emas hilir mudik di kawasan taman nasional ini. Ada turun ke desa. Ada yang naik untuk menambang dengan kedalaman 35-100 meter!

Tampak pula puluhan pria menggendong karung goni berisi bebatuan yang kemungkinan mengandung emas. Ditambah limbah plastik minuman mineral berserakan.

Dua jam perjalanan, di tengah hutan sejumlah pria bersenda gurau di sebuah gubuk. Ternyata warung minuman buat pekerja tambang. Saya sempat menghitung, sepanjang perjalanan,  ada 15 warung di dalam hutan lindung itu. Ia bak desa yang tak pernah mati.

Sebagian besar pekerja tambang dari Jawa, seperti Jawa Tengah, Surabaya, dan Bogor. Selebihnya, warga Mandailing Natal.

“Kalau pemilik lubang warga Mandailing Natal. Itu sudah hukum, gak boleh orang luar. Kami hanya bekerja, ” kata Wahyu Setiawan, pemuda 28 tahun asal Jawa Tengah. Dia mengaku sudah empat tahun menambang di sana.

Tiba di lokasi tambang tepat waktu berbuka puasa. Lega bisa melepas dahaga tetapi sedih melihat hutan rusak. Bebatuan berserakan dan ditumpuk sembarangan. Ia limbah karena dianggap tak mengandung emas.

Para pekerja tambang sempat curiga. Beruntung, Kocu bisa berbahasa Mandailing. Akhirnya, mereka menyambut kami dengan baik. Bahkan mereka mempersilakan saya menyaksikan dan meliput langsung ke lubang tambang.

Galian  tambang emas tradisional di hutan Hutabargot menyebabkan hutan hancur dan rusak. Foto:  Ayat S Karokaro

Galian tambang emas tradisional di hutan Hutabargot menyebabkan hutan hancur dan rusak. Foto: Ayat S Karokaro

Di lubang tambang

Pada kedalaman 10 meter. Suasana hening. Tak ada suara apapun. Hanya tarikan nafas terdengar. Saya terus turun. Pada kedalaman 35 meter, saya dikejutkan suara ribut dari dalam perut bumi. Pukulan palu dan mesin bor bersahutan. Sedikit sesak, asupan oksigen mulai berkurang.

Pemilik lubang hanya menggunakan pipa blower untuk asupan oksigen bagi pekerja tambang. Kala masuk kedalaman 60-100 meter nafas makin sesak.

Di tempat penambangan, tampak tiga pekerja bergantian mengebor. Mereka mencari emas di sekitar bebatuan yang digali ukuran 1×1,5 meter. Tak ada rasa khawatir. Raut wajah mereka begitu santai.

“Bawa air? Bagi sikit, ” kata Benget Januar, seorang penambang.

Bagi Benget, pekerjaan ini bak judi. Jika beruntung akan mendapatkan batuan mengandung emas cukup bagus. Jika tidak, sebanyak dan selama apapun mengebor bebatuan akan mengecewakan.

“Kami pernah mendapatkan hasil tidak memuaskan. Bekerja dua hari dapat satu, tiga gram emas. Tetapi di lubang sebelum ini, kami pernah mendapatkan bebatuan hampir satu ons. Bos pemilik lubang kaya raya. Kami kecipratan. Lumayan uang bisa dikirim ke kampung.”

Sedangkan Rizal, penambang asal Bogor, mengatakan, sudah menggeluti pekerjaan berbahaya ini lebih 12 tahun. Menurut dia, proses diawali mencari titik bor yang diprediksi ada batu sedeng atau batu emas. Kedalaman pelubangan antara 30-150 meter dari permukaan tanah.

Berdasarkan pengalaman, dengan kedalaman itu peluang mendapatkan hasil lebih baik. Jika tidak, hasil tidak akan berimbang dan tidak bisa memenuhi biaya operasional sehari-hari. Mulai biaya hidup di penambangan, gaji pengangkut karung batu, hingga pemisahan antara batu dan emas. Dalam satu karung bebatuan, katanya, biasa ada tiga 3-30 gram emas.

Untuk pengambilan batu sedeng biasa menggunakan palu atau bor dan pahat. Arus listrik biasa menggunakan baterai basah.“Jadi sebelum membuka lubang baru, kita analisis dulu. Setelah dipastikan terdapat bebatuan mengandung emas, baru pelubangan.”

Bagi Edi, warga Rumbeo, Kota Panyabungan, Mandailing Natal, juga pengawas mengatakan, harus berada di lubang maupun permukaan untuk mengawasi para pekerja.

Menurut dia, jika ditemukan emas, antara pemilik lubang dengan pekerja berbagi hasil. Di bawah pengawasan dia ada tujuh penambang dibagi dua shif kerja, siang dan malam. Keluarganya, pernah memiliki delapan lubang emas di berbagai kawasan hutan.

Gubuk-gubuk atau tenda ini berdiri di tengah kawasan hutan lokasi menambang emas di hutan Hutabargot. Foto:  Ayat S Karokaro

Gubuk-gubuk atau tenda ini berdiri di tengah kawasan hutan lokasi menambang emas di hutan Hutabargot. Foto: Ayat S Karokaro

Di lubang, untuk keamanan penambang, dibuat kayu-kayu penyanggah ukuran 1×1 meter. Namun, cara ini menurut sebagian pihak masih berbahaya. Sebab, kayu penyangga tidak akan kuat menahan bebatuan, apalagi hingga kedalaman 100 meter.

Berdasarkan data tim SAR Mandailing Natal, sepanjang 2013-akhir Juli 2014, setidaknya 100 pekerja tambang meninggal tertimbun di lubang longsor. Bahkan, jenazah pekerja tidak ditemukan.

Kocu mengatakan, jika dihitung emas yang didapat tidak sebanding dengan kerusakan hutan, ekosistem dan ancaman keselamatan.

Menurut dia, ada dua wilayah lain tempat penambangan emas di Mandailing Natal, yaitu Desa Huta Julu, dan Desa Naga Juang.

Dea Nasution, dari Forum Pemuda Mandailing Menolak Tambang Emas Mandailing Natal, mengatakan, hutan Hutabargot masuk kawasan TNBG. Di hutan ini, terjadi kerusakan cukup parah akibat tambang emas. “Sejak 2013, kami kampanye menghentikan penambangan di hutan lindung ini, ” katanya.

Dia mengatakan, delapan tahun lalu, monyet, tringgiling, gajah, dan jejak harimau masih terlihat. Namun, kini satwa-satwa itu perlahan menghilang. Mengapa? Sebab, rumah mereka rusak. Bebatuan dibuang di hutan begitu banyak.

“Dulu kita paling takut jika harus melintas di hutan Hutabargot. Sebab ular, gajah liar, babi hutan, bahkan auman harimau masih terdengar. Sekarang, hanya limbah botol mineral berserakan, ditambah bebatuan kerukan berserakan. Belum lagi pohon ditebang.”

Lantas apa tanggapan Pemerintah Mandailing Natal menyikapi soal ini?

Syahrir Nasution, ketua Dewan Riset Daerah Mandailing Natal, malah berpendapat, tambang emas ini harus dilegalkan. Untuk itu, perlu penanganan terpadu agar bisa menambah PAD.

“Jadi jika ada payung hukum, ada timbal balik baik pemerintah mendapatkan PAD, penambang juga terlindungi melalui payung hukum.” Dia mengelak menjawab soal dampak buruk penambangan termasuk kerusakan hutan di TNBG.

Melalui lubang ukuran 1x1 meter ini penambang emas Hutabargot masuk ke bawah dengan kedalaman antara 35-100 meter untuk mencari bebatuan beremas. Foto: Ayat S Karokaro

Melalui lubang ukuran 1×1 meter ini penambang emas Hutabargot masuk ke bawah dengan kedalaman antara 35-100 meter untuk mencari bebatuan beremas. Foto: Ayat S Karokaro


Berburu Emas di Batang Gadis was first posted on August 19, 2014 at 7:33 pm.

Komnas HAM Mulai Bongkar Kejahatan terhadap Masyarakat Adat, Bagaimana Caranya?

$
0
0

Rumah warga adat yang dibakar dalam operasi gabungan TNBBS di Bengkulu. Konflik antara masyarakat adat dan taman nasional terus terjadi dan menyebabkan beberapa warga adat ditangkap. Foto: AMAN Bengkulu

Sebanyak 41 kasus konflik masyarakat adat mulai dilakukan public hearing (dengar keterangan umum) pada akhir Agustus 2014 yang dipusatkan di tujuh wilayah. Proses ini merupakan bagian dari inkuiri nasional yang digagas Komnas HAM guna mengungkap dan mengupas tuntas konflik-konflik yang menimpa masyarakat adat khusus di kawasan hutan.   

“Minggu depan dimulai public hearing, pertama di Palu, Sulawesi Tengah, akan menghadirkan enam kelompok masyarakat,” kata Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM sekaligus komisioner Inkuiri Adat di Jakarta, Selasa (19/8/14).

Public hearing ini dimulai setelah hampir tiga bulan pengumpulan data dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait. Lewat proses ini memungkinkan para pihak berkonflik bertemu. Ia akan ada saksi, saksi korban, saksi ahli dan para pihak yang diduga terlibat pelanggaran hak ulayat atau hak adat.

Untuk tiap wilayah, selama tiga hari mulai 27 Agustus hingga 28 November. Yakni, Sumatera di Medan (Sumatera Utara), Jawa di Banten, dan di Bali untuk wilayah Bali-Nusa Tenggara (NTB). Lalu, di Pontianak (Kalimantan Barat) untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi dipusatkan di Palu (Sulawesi Tengah) serta wilayah Maluku dan Papua di Ambon.

Terakhir, akan ada public hearing nasional di Jakarta khusus para pemangku kewajiban dan penyusun regulasi pada awal Desember. “Proses-proses ini diharapkan bisa selesai awal Desember,” katanya.

Mengenai pemilihan kasus, kata Sandra, terkait waktu karena dengar keterangan umum ini memerlukan sekitar tiga jam tiap konflik. Hingga, dipilihkan kasus-kasus yang dipandang bisa mewakili.

“Kebanyakan kasus-kasus yang sudah masuk dalam administrasi Komnas HAM, atau kalau belum bisa dilaporkan, misal kasus ditangani AMAN yang belum masuk Komnas.”

Kasus-kasus yang diambil khusus di kawasan hutan. Termasuk, konflik di kebun sawit atau tambang yang sebelum pelepasan atau pinjam pakai adalah kawasan hutan.

“Ia mewakili berbagai peruntukan kawasan hutan baik lindung, konservasi, kawasan produksi tetap atau produksi konversi.”

Kriteria lain, masyarakat yang berkonflik mau public hearing.  Jika tak mau maka tak akan diajukan.

Sandra mengatakan, Kementerian Kehutanan, sepakat mengikuti proses inkuiri nasional ini. Para saksipun, kata Sandra, tak perlu khawatir karena jika perlu perlindungan, LPSK siap membantu.

Dalam inkuiri nasional ini, Komnas HAM didukung Komnas Perempuan, AMAN, Sayogyo Institute, HuMa, Elsan dan lembaga lain. Tim inkuiri nasional juga menyadari keadilan gender penting dalam persoalan hak-hak masyarakat adat.

Salah satu palang ditancapkan di Kampung Wambi di Wambi, Merauke, menolak masuknya perusahaan yang bakal mengancam kehidupan mereka. Foto: Agapitus Batbual

Rekomendasi buat pemerintahan baru

Abdon Nababan, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, dengan inkuiri adat ini, AMAN yang sudah berangotakan 2.230 komunitas adat ini meminta diungkap dan diteliti lagi pelanggaran-pelanggaran HAM yang menimpa masyarakat adat.

“Hasil rekomendasi inkuiri nasional ini diharapkan diakomodasi Presiden baru. Berdasarkan kebenaran yang muncul, Presiden mau minta maaf kepada masyarakat adat,” ujar dia.

Sebab, kata Abdon, kelalaian, pengabaian dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, sungguh luar biasa. “Kalau mau bayar kerugian, pemerintah bisa bangkrut. Menurut kami paling penting inkuiri nasional ini jadi pemicu maaf-maafan. Mudah-mudahan arahnya rekonsiliasi nasional, hingga masyarakat adat tak diperlakukan menjadi kelas kesekian.”

Noer Fauzi Rachman dari dari Sajogyo Institute  mengatakan, pelanggaran HAM luas dan sistemik yang dialami masyarakat adat terjadi karena pelaksanaan UU. Dia mencontohkan, Mahkamah Konstitusi mengoreksi UU Kehutanan pada 16 mei 2013, dan memutuskan hutan adat bukan hutan negara.

Dampak UU menimbulkan konflik di mana-mana. Anehnya, kata Noer Fauzi, luasan masalah besar, tetapi pemerintah tetap tak mengakui masyarakat adat. “Kenyataan ada, mereka lihat. Tapi tak bisa kasih pengakuan hukum. Ini janggal. Ada apa?”

Ternyata, katanya, ini kelanjutan praktik era kolonial. Di mana peraturan-peraturan kolonial diteruskan kala nasionalisasi.  Dengan inkuiri nasional ini, penelitian dilakukan di wilayah-wilayah adat dari era kolonial sampai kala pemerintah Indonesia memberikan status pada kawasan, yang berujung konflik agraria berkepanjangan.

“Pemerintah seperti lupa atau menyangkal,  karena terus menerus jadi kebiasaan. Jadi harus ada pengakuan keliru untuk memperbaiki keadaan.  Kita harus bikin pemerintah bertobat. Ini mekanisme mengungkap kesalahan.”

Namun, katanya, hasil inkuiri nasional ini, bukan hanya mengungkap kebenaran juga untuk bekerja bersama pemerintahan baru. Sebab, Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah berjanji akan mengkaji ulang dan menyelaraskan UU yang bertentangkan satu sama lain serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Presiden terpilih juga berjanji memproses lanjut RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Bahkan, pemerintah baru akan membuat mekanisme khusus guna penyelesaian konflik agraria lewat komisi atau badan independen di bawah Presiden.


Komnas HAM Mulai Bongkar Kejahatan terhadap Masyarakat Adat, Bagaimana Caranya? was first posted on August 19, 2014 at 10:30 pm.

WWF Ajak Pebisnis Terlibat Serius Konservasi Orangutan Borneo

$
0
0
Orangutan Kalimantan. WWF Indonesia dan Malaysia, mengajak berbagai pihak, termasuk pebisnis lebih menguatkan konservasi orangutan Borneo. Foto: Sapariah Saturi

Orangutan Kalimantan. WWF Indonesia dan Malaysia, mengajak berbagai pihak, termasuk pebisnis lebih menguatkan konservasi orangutan Borneo. Foto: Sapariah Saturi

Sembilanbelas Agustus merupakan Hari Orangutan Internasional. Pada hari itu, WWF Indonesia dan WWF Malaysia menyerukan pemangku kepentingan termasuk pebisnis memperkuat upaya konservasi orangutan Borneo khusus di kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia.

Efrnasjah CEO WWF-Indonesia, dalam siaran pers mengatakan, penelitian WWF menunjukkan 70 persen populasi orangutan di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat, di kawasan lintas batas. Ia berbatasan dengan Cagar Alam Lanjak Entimau, Malaysia. “Penting kerjasama antara kedua negara, bahu-membahu menyelamatkan spesies ini,” katanya Selasa (19/8/14).

Di Kalimantan, lebih 70% orangutan tinggal di luar kawasan lindung, misal di konsesi perusahaan. Jadi, keberlangsung hidup satwa langka ini perlu kerjasama dengan pengusaha pemilik konsesi.

WWF-Indonesia, katanya, bekerjasama dengan beberapa pemilik konsesi HPH di Kalimantan, dalam melindungi orangutan. Yakni, mengintegrasikan antara rencana pengelolaan produksi kayu dan konservasi satwa liar. Konsesi itu mencakup 300.000 hektar atau lebih sepertiga wilayah prioritas orangutan dalam lansekap orangutan Arut Belantikan di Kalimantan.

PT Suka Jaya Makmur (SJM), di Kabupaten Ketapang, Kalbar, mengembangkan dan menerapkan rencana pengelolaan  hutan produksi bersinergi dengan konservasi orangutan. SJM, perusahaan pertama di Indonesia yang mengembangkan pengelolaan orangutan dengan konsep ini.

Dari penelitian WWF,  menunjukkan, sepanjang logging dengan cara-cara lestari, pakan alami orangutan dijaga tetap tersedia, dan ancaman perburuan dikontrol ketat, orangutan bisa hidup dalam hutan produksi.

Menurut CITES, orangutan Borneo (Pongo pygmaues) adalah spesies terancam punah (Appendix I). Populasi terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan.

Populasi orangutan terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan. Foto: Sapariah Saturi

Populasi orangutan terancam karena habitat terfragmentasi lebih 55% dalam 20 tahun, antara lain akibat konversi hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pemukiman. Mereka juga terancam kebakaran hutan dan perdagangan untuk peliharaan. Foto: Sapariah Saturi

Prabianto Mukti Wibowo, ketua Kelompok Kerja Nasional Heart of Borneo (HoB) Indonesia, mengatakan, pemerintah berkomitmen dalam konservasi dan pembangunan berkelanjutan di HoB. Untuk itu, penting memperbaiki kondisi hutan-hutan gundul kritis dan memastikan konektivitas koridor keragaman hayati satwa liar. Saat sama, juga mendorong pengelolaan hutan berkelanjutan. “Partisipasi swasta dan masyarakat lokal menjadi faktor utama,” katanya.

Pulau Borneo, merupakan pulau unik karena memiliki tiga sub-spesies orangutan: Pongo pygmaeus pygmaeus, di bagian barat laut, Pongo pygmaeus morio, populasi di bagian timur laut dan Pongo pygmaeus wurmbii di bagian barat daya. Tahun 2004, diperkirakan ada sekitar 54.000 orangutan di Borneo.

Dionysius Sharma, CEO WWF-Malaysia, mengatakan, guna mencapai rencana pengelolaan orangutan, perlu koneksi ekologi memantau pergerakan orangutan dan mengamankan kondisi hutan di HoB.

Dia mencontohkan, konektivitas ekologi  antara Taman Nasional Batang Ai dan Cagar Alam Lanjak Entimau, Sarawak, dengan Taman Nasional Betung Kerihun di Kalimantan serta konsesi kawasan adalah wilayah konservasi yang penting.

“Kami mengajak para perusahaan konsesi menerapkan rencana aksi orangutan di kawasan lintas batas. Dimana, habitat orangutan yang berdekatan dengan konsesi mereka.”

Rencana Aksi Orangutan di Lintas Batas yang telah diinisiasi Departemen Kehutanan Negara Bagian Sarawak, Malaysia, pada 2005, menjadi relevan diperkuat bagi kedua negara dalam konteks perlindungan lebih baik bagi primata di kawasan HoB ini. Tepatnya Kalimantan dan negara bagian Sabah dan Sarawak, Malaysia.

Sapuan Ahmad, direktur Departemen Kehutanan Negara Bagian Sarawak, mengungkapkan, saat ini penelitian masih dilakukan berbagai organisasi orangutan dan spesies lain di kawasan HoB dan sekitar. Fokusnya, pengelolaan hutan lestari, ekowisata berbasis budaya, petualangan dan alam, konservasi keragaman hayati, pertanian berkelanjutan dan penggunaan lahan serta pemberantasan kemiskinan masyarakat di pedesaan.

Sam Mannan direktur Departemen Kehutanan Negara Bagian Sabah, mengatakan, bersama WWF-Malaysia, mereka mereboisasi habitat orangutan terdegradasi seluas sekitar 2.400 hektar di hutan lindung Bukit Piton sejak 2005. Hutan ini kritis karena penebangan liar dan kebakaran hutan masa lalu. Di kawasan ini populasi orangutan diperkirakan 170-300 individu pada 2007 dan 2008.

Orangutan Kalimantan di Cagar Alam Lamandu di   Kalimantan Tengah. Foto: WWF

Orangutan Kalimantan di Cagar Alam Lamandu di Kalimantan Tengah. Foto: WWF


WWF Ajak Pebisnis Terlibat Serius Konservasi Orangutan Borneo was first posted on August 20, 2014 at 1:22 pm.

Lebih 22 Ribu Hektar Hutan TNGL Rusak, Mengapa?

$
0
0
Gajah Sumatera yang juga hidup di hutan Langkat terancam. Sebab  hutan di daerah itu itu banyak terbabat. Foto: Ayat Roby Karokaro

Gajah Sumatera yang juga hidup di hutan Langkat terancam. Sebab hutan di daerah itu itu banyak terbabat. Foto: Ayat Roby Karokaro

Hasil pendataan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), hingga awal Agustus 2014 kerusakan hutan di Sumatera Utara (Sumut) yang masuk TNGL lebih 22.000 hektar.

Data TNGL, pada 2012, luas kerusakan hutan 21.000 hektar, 2013-Agustus 2014, bertambah 1.000 hektar, hingga total 22.000 hektar. Andi Basyrul, kepala Balai TNGL, kepada Mongabay di Medan, mengatakan, kerusakan hutan di Sumut lebih parah dari Aceh. Kedua provinsi ini masuk TNGL. Di Sumut, wilayah hutan TNGL seluas 213.000 hektar, sudah rusak cukup parah 22.000 hektar.

Terparah, di Kabupaten Langkat. Catatan mereka, pada 2012, kerusakan hutan tertinggi di Sumut dengan penyebab utama alih fungsi lahan ilegal, dan menjadi perkebunan sawit. Menurut dia, meskipun sudah menyurati dan melaporkan ke Kementerian Kehutanan, namun tetap nihil.

Khusus di Langkat, mereka sudah melakukan berbagai cara penanganan konflik lahan. Bahkan, sudah memaparkan di hadapan gubernur dan instansi di Sumut, termasuk Polda, dan jajaran Kodam I/BB.

Mereka melakukan berbagai operasi penindakan, namun semua mundur. Alasannya, karena akan dihadapkan pelanggaran hak azasi manusia (HAM).

Balai juga pernah menindak tegas perambah hutan. Namun, para perambah bermain pada isu pelanggaran HAM. Balai TNGL berurusan dengan Komnas HAM karena dianggap melanggar HAM.

“Khusus kerusakan hutan TNGL di Sumut, yang belum saya laporkan itu kepada Tuhan dan malaikat. Yang lain mental, mundur dan gak berani bersikap.”

Dia mempertanyakan isu HAM dan penegakan hukum yang dijadikan alat berlindung bagi perambah hutan. “Apakah HAM membela para penjahat kehutanan yang bersembunyi di balik masyarakat adat?”

Sedang  penelitian Rudi Putra, penerima The Goldman Environmental Prize juga  menemukan fakta sejumlah kawasan hutan di Sumut yang masuk Kawasan Ekosistem Leuser rusak parah. KEL di Sumut, yakni Deli Serdang, Dairi, Langkat, Karo, dan sebagian di PakPak Barat.

Dari penelitian bersama tim, khusus di Sumut, terparah kerusakan hutan di Langkat, dengan luas 200.000 hektar lebih, sisanya 100.000 hektar, di Karo, dan Dairi dengan luas 40%. “Ini akibat perambahan dan alih fungsi hutan.”

Harimau ini hanya bisa mengaum di Medan Zoo karena hutan tempat tinggalnya dirusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Ayat S Karokaro

Harimau ini hanya bisa mengaum di Medan Zoo karena hutan tempat tinggalnya dirusak dan beralih fungsi menjadi perkebunan sawit. Foto: Ayat S Karokaro

Menurut Rudi, perambahan hutan menjadi alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit. Pemilik sawit yang merambah hutan itu, pemodal besar, dan sebagian masyarakat. “Nasib hutan di Langkat sangat menghawatirkan.”

Dulu, kawasan hutan di kabupaten yang berdekatan dengan wilayah hutan Aceh Tamiang ini lebat dan rimbun. Saat ini, menyedihkan dan habis menjadi perkebunan sawit. Jadi hasil perhitungan, 200.000 hektar hutan di Langkat, hancur. Sisanya, 100.000 hektar rusak parah.

Hasil penelitian beberapa tahun lalu, di hutan Langkat dan sejumlah wilayah lain ditemukan ada 40 gajah, orangutan Sumatera dan harimau Sumatera masih hidup.

Apa yang dikatakan Basyrul tentang perambah hutan berlindung di balik masyarakat adat, ditepis Saurlin P Siagian, pendiri Hutan Rakyat Institute. Dia mengatakan, secara historis hutan di Indonesia sebagian besar ditetapkan menjadi hutan negara. Hingga, penunjukan hutan negara inilah yang menjadi faktor penghancuran hutan.

Ketika diklaim menjadi hutan negara, disitu terjadi penghancuran massif, karena investasi masuk memakai mekanisme hukum negara, dengan mendapat izin HPH dan lain-lain. “Penegakan hukum lemah, itulah dimanfaatkan penjahat kehutanan, katanya, di Medan, Rabu (20/8/14).

Malah, hutan adat tidak rusak karena ada masyarakat yang menjaga. Justru jika masyarakat adat sulit masuk ke wilayah mereka karena diklaim pihak lain, kontrol akan lemah. Dalam kondisi ini,  kehancuran hutan bisa terjadi. Jadi, salah besar kalau perambahan  hutan dengan memanfaatkan masyarakat adat.

 


Lebih 22 Ribu Hektar Hutan TNGL Rusak, Mengapa? was first posted on August 21, 2014 at 7:33 am.

Menjaga Bumi Mbay dengan Pertanian Alami

$
0
0
kala petani Mbay menanam palawija. Foto: Anton Muhajir

Kala petani Mbay menanam palawija. Foto: Anton Muhajir

Waktu mengubah Lukas Kota, petani kecil di Mbay, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dua tahun lalu, Lukas termasuk petani penentang sekolah lapangan (SL) pertanian organik di desanya. Dia tak pernah ikut SL, bahkan pernah mencabuti padi organik uji coba di lahan miliknya.

Kala itu, dia berpikir pertanian organik tak akan berhasil di Mbay, kawasan sawah terluas di Flores selain Lembor, Kabupaten Manggarai Batat. Diapun pesimis ketika melihat petani merintis pertanian organik. “Setelah melihat sendiri hasil, saya baru percaya,” katanya.

Tak hanya percaya pertanian organik bisa membuat hasil lebih baik, Lukas kini salah satu petani aktif mengampanyekan pola berkelanjutan di sawah seluas 3.000 hektar.

Sebagai kawasan sawah terluas di Nagekeo, Mbay, menjadi lumbung beras bagi warga kabupaten ini maupun kabupaten lain di sekitar, seperti Ende, Bajawa, dan Sikka.

Sejak 1970-an, petani yang bermigrasi ke daerah ini termasuk Lukas Kota pun membabat hutan dan mengubah menjadi persawahan. Ketika awal bertani di sini, mereka bisa mendapatkan rata-rata 6-8 ton padi per hektar. “Saat itu, kami masih menggunakan bahan-bahan alami untuk bertani. Tanah juga masih subur.”

Seperti umumnya pertanian di Indonesia, malapetaka datang di Mbay sejak 1980-an ketika muncul Revolusi Hijau. Akibat tingginya penggunaan bahan-bahan kimia pertanian baik pupuk maupun pestisida, kesuburan tanah justru menurun.

Awalnya, hasil bagus tapi makin lama tanah makin keras. Akibatnya, panen terus menurun. Paling banyak mereka hanya mendapatkan 4-5 ton per hektar.

Melihat tanah yang makin tak subur dan hasil panen yang kian turun petani mulai berinisiatif untuk beralih ke pertanian organik. Dua lembaga swadaya masyarakat di sana yaitu Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) dan Pertanian Alternatif Sumatera Utara (PANSU) memberikan pendampingan kepada petani melalui SL pertanian organik.

Sebagian petani setempat yang bergabung dalam Asosiasi Tani Organik Mbay (ATOM) antusias mengikuti SL itu. Salah satunya, Klemens Tado. Dia mempraktikkan pola tanam dengan sistem intensifikasi padi atau system of rice intensification (SRI). Dia menggunakan bahan-bahan alami sebagai pupuk.

Pupuk ini dibuat secara berkelompok. Pekan lalu misal, kelompok tani bernama Idola Petani Dange, Lape, dan Airamo (Idola) membuat pupuk organik itu bersama-sama. Bahan baku pupuk organik mereka peroleh dari lingkungan sendiri seperti kotoran sapi, batang pisang, dan lain-lain.

Di bawah, rindang pohon mangga di samping sawah, mereka mencampur aduk berbagai bahan itu untuk dipendam sebelum siap jadi pupuk. Umumnya, petani membuat pupuk ini secara berkelompok. Begitu pula dengan anggota Idola, kelompok tani yang bergabung dalam ATOM juga.

Warga Mbay, membuat pupuk sendiri. Foto: Anton Muhajir

Warga Mbay, membuat pupuk sendiri. Foto: Anton Muhajir

Untuk menangani hama, petani juga menggunakan bahan-bahan alami. Misal, dengan bahan campuran daun intaran dan bahan-bahan lain untuk mengusir hama walang sangit dan kepik hitam. “Setelah pakai bahan-bahan alami, hama malah tidak datang sama sekali,”  kata petani lain, Hendrikus Koba. Dia dikenal sebagai Dokter Padi karena keahlian menangani hama padi secara alami.

Dia mengamati sendiri untuk mempelajari bagaimana perilaku hama. “Saya amati tiap hari agar tahu apa makanan yang disukai dan tidak disukai. Dengan cara itu,  kita bisa mengenali perilaku hama sekaligus membuat pestisida alami yang tidak disukai.”

Sejak beralih ke pertanian organik sekitar tiga tahun lalu, petani di Mbay mulai merasakan perubahan. “Biaya produksi kami jadi lebih hemat,” kata Lukas.

Dia mencontohkan, ketika masih menggunakan bahan kimia, satu petani bisa menghabiskan rata-rata Rp4-7 juta tiap hektar untuk satu kali musim tanam. “Sekarang paling banyak hanya Rp200.000 untuk beli bahan pembuat pupuk.”

“Meskipun hasil belum kembali seperti sebelum kami pakai bahan kimia, setidaknya biaya produksi jauh lebih rendah.”

Dengan menggunakan pestisida organik petani bisa lebih bertahan dari serangan hama. Hendrikus mencontohkan, terjadi serangan hama tahun lalu hingga petani hanya mendapat 4-5 karung per hektar.  “Karena pakai pestisida alami, saya dapat 25 karung per hektar.”

Saat ini, hasil panen petani di Mbay belum kembali seperti 1970-an. Tiap hektar masih berkisar 4-5 ton per hektar. Namun, peningkatan hasil panen mulai terlihat. Pada panen pertama setelah beralih ke pertanian organik hanya dapat enam karung gabah kering per 0,5 hektar. Namun panen kedua naik jadi 15 dan 23 karung. “Kami yakin hasil bisa lebih tujuh ton per hektar karena pertanian organik,” kata Lukas.

Dengan pertanian berkelanjutan, petani kini memberikan jeda bagi lahan sawah mereka. Dulu, sepanjang tahun mereka menanam padi tanpa ada komoditas lain.

Saat ini, ketika hujan agak berkurang, mereka menanam palawija seperti jagung dan kedelai. Semua tetap menggunakan pupuk organik baik padat maupun cair.

Namun, ada dampak lain yang menurut petani penting yakni, keberlanjutan sistem pertanian dan kesehatan mereka. “Dengan pertanian organik, kami merasa bisa mewariskan tanah lebih subur untuk anak cucu nanti,” kata Lukas. “Beras yang kami makan lebih sehat karena tidak mengandung bahan-bahan kimia,” ujar Klemens.

Beras sehat dari Mbay itu tak hanya dimakan sendiri tapi dijual ke kios-kios di kota seperti Ende ataupun di koperasi petani. Harga jual beras organik lebih tinggi rata-rata Rp1.000 dibandingkan harga konvensional.

Namun, petani di Mbay, masih menghadapi tantang lain saat ini, masih terbatas konsumen yang sadar kesehatan termasuk mengonsumsi beras organik.

Beras organik yang sehat produksi petani Mbay, sudah dipasarkan ke berbagai daerah. Foto: Anton Muhajir

Beras organik yang sehat produksi petani Mbay, sudah dipasarkan ke berbagai daerah. Foto: Anton Muhajir

 


Menjaga Bumi Mbay dengan Pertanian Alami was first posted on August 21, 2014 at 2:14 pm.

Kampanye Pelestarian Satwa Langka Bersama Ulama

$
0
0

Salah satu dari badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Foto: TNUK

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fakwa pelestarian satwa langka,  awal tahun ini. Seruan ini, bisa berjalan efektif melindungi satwa langka seperti badak Jawa kala sosialisasi dilakukan berbagai pihak termasuk alim ulama. Demikian diungkapkan Haryono, kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) di Banten, Selasa (18/8/14).

Untuk itu, katanya, BTNUK akan bekerjasama dengan MUI kecamatan agar sosialisasi fatwa ini dilakukan di mushola-mushola sekitar kawasan TNUK. “Kyai atau ustad bisa memasukkan bahasan mengenai ini dalam khotbah mereka,” katanya.

Langkah strategis lain yang dilakukan BTNUK dengan membangun Javan Rhino Study Conservation Area untuk konservasi intensif.  Mereka juga menyiapkan habitat kedua di luar TNUK.

Dia menilai, Indonesia harus memiliki cadangan populasi badak Jawa di tempat lain. Jika tidak, sangat rentan bagi populasi mereka karena hanya ada di TNUK.

Asrorun Niam, sekretaris komisi fatwa MUI mengatakan, manusia sebagai khalifah di muka bumi wajib melestarikan satwa langka, termasuk badak Jawa. Fatwa MUI ini dibuat untuk memperkuat kebijakan pemerintah dalam melestarikan dan melindungi satwa langka terancam punah.

“Manusia sebagai wujud ketaatan kepada Allah mempunyai kewajiban memakmurkan bumi dan menjaga keseimbangan. Jika ada satwa punah, berarti kita berdosa.”

Komisi ini mengkaji dalam mengenai fatwa ini selama tujuh bulan sebelum resmi dikeluarkan awal Januari lalu, launching Maret.  Fatwa keluar sebagai wujud nyata kontribusi agama untuk menyelamatkan lingkungan. Satwa liar tak hanya harus dipertahankan, juga dikembang biak.

Mengidentifikasi jejak-jejak badak Jawa di Ujung Kulon. Foto: Indra Nugraha

Fatwa ini keluar untuk memberikan penjelasan sekaligus bimbingan bagi umat Muslim di Indonesia dalam perspektif hukum terkait konservasi satwa. Umat Islam harus melakukan berbagai ikhtiar melestarikan badak Jawa. “Termasuk mengembangkan habitat baru agar makhluk ciptaan Allah ini tidak punah.”

Ulama, katanya,  selama ini hanya dakwah biasa. Isu lingkungan hidup terutama penyelamatan satwa langka dan dilindungi jarang dilakukan. Padahal, Islam adalah agama yang tak bisa melepaskan diri dari alam. Ada ajaran Islam yang mengatur mengenai interaksi manusia dengan keseimbangan alam dan ekosistem.

Untuk mengefektifkan fatwa ini, MUI berencana membuat buku panduan bagi para ulama agar pesan mengenai penting melindungi satwa masuk dalam materi khotbah. Fatwa menjadi alat mengejawantahkan nilai-nilai ajaran Islam mengenai keseimbangan ekosistem.

Facrudin Mangunjaya, akademisi Universitas Nasional mengatakan, Unas sedang riset melihat sejauh mana keefektifan fatwa ini di masyarakat. “Ini bentuk pendekatan baru guna penyadaran kepada masyarakat Muslim dalam pelestarian satwa langka seperti badak Jawa.”

Spesies coordinator WWF Indonesia Chairul Saleh mengatakan, fatwa ini memberikan harapan bagi pelestarian satwa langka, termasuk badak Jawa. “Melindungi spesies langka merupakan kerja sangat berat. Perlu kerjasama dari berbagai pihak. Harus ada pendekatan tidak konvensional. Tidak hanya berkutat di penelitian.”

Bambang Dahono Adji, Direktur Konservasi Keragaman Hayati Kementerian Kehutanan mengungkapkan, fatwa ini sebagai penuntun umat Muslim mengambil langkah aktif memperkuat kebijakan pemerintah dalam melestarikan satwa langka. “Juga memberikan kepastian hukum menurut pandangan Islam tentang perlindungan terhadap satwa terancam punah seperti badak Jawa.”

Elisabet Purastuti, project leader WWF Ujung Kulon  mengatakan, sosialisasi ini diharapkan bisa membuat masyarakat di sekitar buffer zone TNUK sadar menjaga kelestarian satwa langka, terutama badak Jawa.“Badak Jawa di Ujung Kulon populasi kecil dan terisolir hingga rentan mengalami kepunahan.”

Dia mengatakan, populasi badak Jawa dekat dengan gunung Krakatau yang berpotensi erupsi dan tsunami serta mengancam populasi dan habitat mereka.


Kampanye Pelestarian Satwa Langka Bersama Ulama was first posted on August 22, 2014 at 3:23 am.

Reklamasi Pantai Berlanjut, Nelayan Sario Protes. Mengapa?

$
0
0
Reklamasi Pantai Sario Tumpaan di Manado, Sulut, dilakukan di ruang terbuka. Nelayan pun tak bisa melaut sejak Novemver 2013. Foto: Themmy Doaly

Reklamasi Pantai Sario Tumpaan di Manado, Sulut, dilakukan di ruang terbuka. Nelayan pun tak bisa melaut sejak Novemver 2013. Foto: Themmy Doaly

Reklamasi di Sario Tumpaan, Manado, Sulawesi Utara (Sulut) kembali mendapat perlawanan warga dan nelayan Pasalnya, perluasan lahan oleh PT Kembang Utara, menghilangkan fungsi ruang terbuka pantai itu. Padahal, sudah ada kesepakatan mediasi para pihak difasilitasi Komnas HAM,  September 2010. Dampaknya, sejak akhir 2013, nelayan tidak bisa melaut. Merekapun menolak reklamasi pantai, meski penimbun mendapat pengawalan polisi.

Penolakan Aksi penolakan kembali bergejolak, pada  Senin-Selasa (18-19/8/14). Kala itu, warga yang menyaksikan penimbunan pantai langsung  menghadang pengemudi eskavator. Warga merasa, sebagai pihak terdampak reklamasi tidak pernah ikut proses pengambilan keputusan.

Bahkan, pada Selasa, oknum kepolisian sektor Sario terlibat saling dorong dengan warga. Keadaan ini dipicu oknum polisi tersinggung aksi warga dianggap mengeluarkan makian.

Saling dorong selama beberapa menit. Polisi dari Polsek Sario, diketahui bernama Trikorawan berusaha menangkap seorang penolak reklamasi. Sayangnya,  Trikorawan justru mengeluarkan makian pada penolak reklamasi. Suasana makin memanas.

Dia menilai, kepolisian tidak netral, seakan melindungi penimbun pantai. Padahal, nelayan berharap, polisi berada di posisi pengaman situasi dan mendorong berbagai pihak menyepakati kesepakatan mediasi.

Polisi tengah mengawasi alat berat yang menimbun ruang terbuka hijau. Foto: Themmy Doaly

Polisi tengah mengawasi alat berat yang menimbun ruang terbuka hijau. Foto: Themmy Doaly

Yamin Laindjong, wakil ketua Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, menyatakan, tindakan kepolisian merupakan intimidasi baik kekerasan fisik dan  psikologi. “Sebab, beberapa di antara polisi terlihat membawa senjata api.”

Reklamasi Pantai Sario Tumpaan, katanya, melanggar kesepakatan para pihak dalam mediasi oleh Komnas HAM, September 2010. “Mediasi menyepakati pemanfaatan ruang terbuka pantai untuk nelayan Sario. Saat ini, timbunan batu meghalangi perahu nelayan melaut.”

Sejak November 2013, sejumlah nelayan tidak lagi bisa melaut. Parahnya, bukan melibatkan nelayan membicarakan tapal batas, Kembang Utara dan Pemerintah Manado, malah mengeluarkan perjanjian kerja sama (PKS) pada 2013. “Perjanjian itu membahas reklamasi di Sario Tumpaan.”

Hingga kini, para pihak yang terlibat mediasi belum pernah membicarakan perihal tapal batas reklamasi pantai. Dalam mediasi 2010,  ruang adalah 40 meter dari titik batas tanah milik pemerintah daerah ditarik ke utara, ke titik batas reklamasi Kembang Utara.

Namun, belum disepakatin titik batas, ditindaklanjuti pemerintah Manado dengan pembuatan PKS 2013. Keadaan ini, membuat nelayan menuding pemerintah kota ikut melanggar kesepakatan perdamaian 2010.

Pemerintah kota pasal enam memiliki tugas, pertama, menjamin kesepakatan perdamaian. Kedua, menjamin ruang terbuka pantai tidak dalam persoalan hukum. Ketiga, akan menyelesaikan permasalahan hukum jika ada pihak lain menggugat dan atau mempersoalkan ruang terbuka Pantai Sario Tumpaan.

“Konflik hari ini merupakan kegagalan pemerintah dalam menjaga perjanjian damai.”

Dalam pasal 7, disebutkan jika ada yang belum diatur, akan diputuskan para pihak dengan musyawarah. “Nelayan tak dilibatkan dalam pembahasan mengenai reklamasi adalah salah satu bentuk pelanggaran kesepakatan perjanjian damai.”

Reklamasi pantaipun tak memiliki izin jelas. Penilaian itu didasari surat edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 10 April 2014.

Dalam surat itu, reklamasi di Pesisir Malalayang II dan Sario Tumpaan, dapat kami sampaikan bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan, u.p Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau kecil, KKP, belum pernah menerima dokumen-dokumen persyaratan proses reklmasi.

“Jadi, surat tertulis baik yang tanggapan atau rekomendasi terhadap reklamasi belum pernah diterbitkan,” demikian bunyi surat KKP kepada Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Marthin Hadiwinata, koordinator bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan Kiara, mengatakan, nasib nelayan Sario kontradiksi dengan suasana kemerdekaan RI beberapa hari lalu.

“Dalam suasana hari kemerdekaan Indonesia, nelayan tradisional tetap tidak merdeka mengakses ruang publik akibat reklamasi,” katanya Kamis (21/8/14).

Dia mengatakan, reklamasi di Sario Tumpaan bentuk pelanggaran hak publik dalam mengakses laut. Pelanggaran ini terjadi di reklamasi sekitar 23.277 meter di Pantai Sario Tumpaan. “Izin bentuk PKS 2013 ditandatangani Pemerintah Manado diwakili Sarundajang selaku Pejabat Walikota Manado dan Kembang Utara diwakili Jeffry Putra Wijaya.”

Reklamasi kembali dimulai oleh perusahaan meskipun ada penolakan dari nelayan Sario Tumpaan. Foto: Themmy Doaly

Reklamasi kembali dimulai oleh perusahaan meskipun ada penolakan dari nelayan Sario Tumpaan. Foto: Themmy Doaly

Kiara juga menyesalkan keterlibatan aparat terkesan ‘menjaga’ perusahaan. Seharusnya, mereka berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.

Kembang Utara diwakili Anto dan Susilo Sukiyono, menilai tindakan mereka sesuai peraturan. Kembang Utara dan pemerintah Manado telah membuat PKS 2013. “Kami bekerja berdasarkan izin pemerintah. Kalau tidak sepakat silakan lapor Pemkot,” katanya, Selasa (18/8/14).

Malahan, perwakilan Kembang Utara mengatakan, seluruh wilayah pantai di Manado merupakan milik pemerintah kota. Jika pemerintah menghendaki penimbunan pantai, tidak ada satu pihak pun bisa menghalangi.

Setelah berdebat dengan nelayan, perwakilan Kembang Utara berjanji menghadirkan pemerintah kota di lokasi konflik. Sayangnya, upaya pencarian solusi tidak kunjung terrealisasi. Para pihak bersengketa belum sempat duduk bersama, reklamasi pantai kembali berlangsung.

Komnas HAM, sejak akhir tahun menyurati Kapoltabes Manado terkait konflik yang berulang kali. Pada 19 November 2013, Komnas HAM melalui Sandra Moniaga mendesak kepolisian untuk menjaga suasana kondusif di lapangan.

Pada 17 Desember 2013, Komnas HAM mendesak walikota Manado. Pertama, Kembang Utara segera menghentikan sementara reklamasi di wilayah sengketa. Kedua, mendorong kesediaan para pihak untuk kembali duduk bersama membahas perbedaan pendapat mengenai kesepakatan perdamaian dan penambahan atau revisi kesepakatan perdamaian, jika diperlukan.

Penolakan reklamasi di Sario berlangsung sejak 2009. Saat itu, reklamasi diduga berpotensi memberi dampak negatif pada masyarakat pesisir, khusus nelayan, seperti, kerusakan dan hilangnya infrastruktur profesi kenelayanan, kerugian dan ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan dan pelanggaran UU.

Konflik di tataran lokal, yang tak kunjung menemui kata sepakat, membuat nelayan memilih Komnas HAM menjadi fasilitator penyelesaian konflik reklamasi.

Warga dan nelayan protes dan berusaha menghentikan pengerukan tepian Pantai Sario Tumpaan. Foto: Themmy Doaly

Warga dan nelayan protes dan berusaha menghentikan pengerukan tepian Pantai Sario Tumpaan. Foto: Themmy Doaly

Sisa sedikit pantai di Manado yang kini untuk sandar kapal nelayan, bagian lain sudah direklamasi menjadi bangunan dan pusat perbelanjaan. Ini kondisi Juli 2013. Saat ini, air laut sudah makin menjauh karena tertimbun. Foto: Sapariah Saturi

 

 


Reklamasi Pantai Berlanjut, Nelayan Sario Protes. Mengapa? was first posted on August 23, 2014 at 4:56 am.

Polres Langkat Gagalkan Penyelundupan Landak ke China

$
0
0
Ini salah satu jenis landak yang ada di Indonesia, landak Jawa. Foto: Wikipedia

Ini salah satu jenis landak yang ada di Indonesia, landak Jawa. Foto: Wikipedia

Polres Langkat, Sumatera Utara, Jumat (22/8/14), berhasil mengagalkan penyelundupan sekitar 55 landak ke China melalui Aceh. Tiga pelaku diamankan, sebagian masih buron.

AKBP Yulmar Tri Himawan, Kapolres Langkat, menjelaskan, aksi polisi ini berkat informasi dari masyarakat kepada satuan intel Polres Langkat. Setelah informasi dikembangkan, langsung membentuk tim dan mulai penyelidikan.

Menurut Yulmar, 55 landak itu, diamankan di Jalan Lintas Sumatera jalur Medan-Aceh, persis di Stabat, Kecamatan Stabat, Langkat. Puluhan landak itu diamankan dari truk bernomor BK-8672-CE.

“Truk diintai melintas di Stabat, tim langsung menghentikan. Terbongkarlah semua. Jadi 55 landak itu disembunyikan dalam kotak kayu sebagai kandang sementara,” katanya.

Selain itu,  tiga pelaku  bagian jaringan peredaran satwa diamankan. Ketiga tersangka, Ponidi dan Sumadi merupakan warga Langsa, dan Adianto warga Aceh Timur. Dari penyidikan, diketahui puluhan satwa itu diperoleh dari warga Medan, kini masih buron.

Yulmar menyebutkan, ada tersangka lain  bagian jaringan penyelundupan satwa dilindungi ini yang belum tertangkap. Polrespun bekerjasama dengan tim Polda Sumut. “Identitas tersangka sudah dikantongi. Agar tidak kabur belum bisa saya sebutkan. Sabar ya.”

Sedang Adianto, mengaku, hanya sebagai penjemput dan mengantarkan barang kiriman berisi 55 landak dari Medan ke Aceh.

Dia baru tiga kali mengirimkan satwa-satwa dengan upah Rp425.000 sekali antar. Pengantaran pertama, dari Medan menuju Aceh membawa tringgiling. Kiriman kedua 118 penyu kecil. Ketiga landak, namun gagal.

Dengan wajah menunduk, dia menjelaskan satwa-satwa yang mereka bawa dalam truk berbeda itu, akan diselundupkan keluar negeri melalui jalur laut Aceh. Agar tidak terbongkar, satwa disembunyikan dalam kapal laut yang sudah dimodifikasi. Di tengah laut, ada kapal lain yang menunggu dan langsung memindahkan satwa-satwa itu.

“Timnya lain lagi bang. Ada tim penjemput yaitu kami, ada mengurus transaksi. Ada yang membeli dan mencari satwa sesuai pesanan.”

Sedangkan Ponidi dan Sumadi, mengaku baru kali ini menjemput landak dari Medan. Dia mengaku tidak mengetahui kalau satwa-satwa ini dilindungi. “Aku gak tahu kalau ini dilarang dijual bang. Nyesal kali ikutpun. Aku baru sekali ini ikut bang,” kata Ponidi.

Hingga Sabtu (23/8/14) ketiga tersangka masih menjalani pemeriksaan intensif di Mapolres Langkat. Ketiganya mengaku kalau di Medan, ada dua orang yang menyerahkan satwa ini kepada mereka, yaitu Tuti dan Andre. Puluhan landak ini diambil dari Tembung, Deli Serdang, Sumut.

Ketiga tersangka diancam melanggar pasal 21 UU Nomor 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem.

AKP Yasir Ahmadi, kepala Satuan Reskrim Polresta Langkat, menyatakan, agar landak tidak mati, mereka titipkan ke Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut.

Jika berkas penyidikan tiga tersangka sudah lengkap, barang bukti akan dilepasliarkan.“Sudah titipkan ke BBKSDA. Nanti mungkin dilepasliarkan tapi tidak semua, sebagian dijadikan barang bukti. Kita lihat nanti apa rekomendasi BBKSDA.”

Landak Sumatera. Foto: Wikipedia

Landak Sumatera. Foto: Wikipedia


Polres Langkat Gagalkan Penyelundupan Landak ke China was first posted on August 23, 2014 at 2:11 pm.

Penyu Hijau Masuk Sungai Kapuas, Kok Bisa?

$
0
0
Para pemuda yang menemukan penyu hijau di Sungai Kapuas, dan mencoba menyelamatkan  dengan meletakkan di dalam kolam sebelum menyerahkan ke BKSDA dan dilepasliarkan. Foto: Aseanty Pahlevi

Para pemuda yang menemukan penyu hijau di Sungai Kapuas, dan mencoba menyelamatkan dengan meletakkan di dalam kolam sebelum menyerahkan ke BKSDA dan dilepasliarkan. Foto: Aseanty Pahlevi

Akun Facebook grup Pontianak Informasi mendadak mendapat sorotan ratusan masyarakat. Ada apa? Ternyata, anggota grup,  Agus Nadi, mengunggah beberapa foto penyu pada 19 Agustus. Posting disertai gambar penyu dipegang orang dewasa.

Gan ane nemu penyu hijau di sungai dekat rumah ane. Pertanyaan ane, bagus penyu ini diapakan? Makanan penyu ini apa?” tulis Agus Nadi.

Berbagai komentar masuk, bahkan ada menawar Rp3 juta. Agus mendapat banyak permintaan pertemanan, terutama dari media massa. Keesokan, pukul 17.11, rekan Agus, Noval Riyanda, juga mengunggah foto penyu. Kali ini mereka seakan memamerkan si penyu, dengan mengangkat di bagian tempurung.

Tiga pose Noval ditautkan dengan Agus dan Rafy Bertuah. Ketiganya, tidak menyadari penyu sangat langka.  Saat dihubungi via Facebook, Agus membenarkan penyu itu masuk ke sungai dekat kediamannya. “Penyu Bos, kayaknya sih penyu hijau.”

Dari Agus, diketahui penyu itu dipelihara Muhammad Rudini, warga Jalan Tanjung Harapan, Kelurahan Banjar  Serasan Pontianak Timur. Karena terbatasan tempat, Rudi pun menitipkan penyu di kediaman Fathana di Gang Kejora. Mahasiswa Politeknik Untan ini menyiapkan kolam ikan di depan rumah.

Rudi mengisahkan, mereka mendapati penyu berjalan di bawah surau, Senin (18/8/14) di Jalan Tanjung Harapan. Awalnya, mereka tidak menyangka itu penyu. “Penyu masuk ke bawah surau, air semata kaki. Lalu ditangkap ramai-ramai.”

Dari penelusuran di internet Rudi dan rekan-rekannya mengetahui penyu itu tergolong langka. Namun, Rudi tidak mengetahui, kepada siapa hewan ini diserahkan.

Ketidaktahuan harus menyerahkan penyu ke mana, mereka sempat ingin melepaskan ke pantai. Rudi dan teman-teman pergi Pantai Jungkat. Karena kemalaman, pantai sudah ditutup. Penyu kembali menempati kolam berukuran 1×3 meter di depan rumah Fatan.

Lebar karapas penyu muda itu 40 cm, dengan panjang 44,5 cm. Kondisi penyu mulai lemah. Ada lecet-lecet di bawah tubuhn. Kaki dan sirip kanan sedikit terluka.

Dwi Suprapti, koordinator Konservasi Penyu WWF-Indonesia Program Kalbar, mengkonfimasi itu penyu hijau, masuk endangered species. Penyu hijau (chelonia mydas) dilindungi PP 7 Tahun 1999 dan Appendix 1 CITES, serta UU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya.

Habitat penyu di laut, kemungkinan mencapai sungai (estuaria) karena faktor tertentu. Ia dapat bertahan hidup dalam jangka waktu tertentu di air payau. Namun, kata  Dwi, di sekitar DAS Kapuas, tidak ada feeding ground maupun pantai penelusuran. Hingga, memerlukan investigasi lebih lanjut mengapa penyu sampai ke Sungai Kapuas.

Dwi menyarankan, segera menghubungi Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam di Pontianak. Makin lama penyu tidak dikembalikan ke habitat, makin sedikit peluang bertahan hidup.

Kate Mansfield, peneliti biologi kelautan dari University of Central Florida, dalam laporan yang dimuat di jurnal Proceedings of the Royal Society B, 4 Maret 2014, menyatakan, pengamatan melalui satelit menemukan banyak penyu keluar dari rute migrasi dan membuat jalur sendiri. Walau Penyu muda dibekali dengan insting peta magnetik untuk mengikuti rute migrasi, namun banyak yang melenceng. Hal ini karena kumpulan rumput laut atau  sargassum, yang menjadi tumpangan nyaman bagi para penyu muda sekaligus makanan bagi selama menjelajah lautan.

Penyu satwa berdarah dingin, hingga memerlukan panas eksternal untuk menaikkan suhu tubuh. Namun pola penyu muda yang mengikuti sargassum ini, mengakibatkan mereka kian terancam.

Keberadaan penyu muda masuk Sungai Kapuas, cukup menarik. Dwi mengatakan, Banjar  Serasan, terletak hampir 20 kilometer dari muara sungai. “Walau bisa terbawa arus, tetapi terlalu jauh.”  Dari besar karapas, Dwi memperkirakan usia sekitar 5-10 tahun.

Peta migrasi penyu. Grafis: WWF

Peta migrasi penyu. Grafis: WWF

Petugas BKSDA Kalbar, P Samosir, berterima kasih kepada anak muda yang mau menyelamatkan penyu. Evakuasi penyu Sabtu (23/8/14) dari kediaman Fathana. Rudi dan rekan-rekan menandatangani berita acara penyerahan hewan langka itu, untuk kemudian dilepasliar ke Pantai Jungkat. “Kondisi sangat lemah. Harus segera dirilis.”

Penyu hijau memiliki ciri warna kuning kehijauan atau coklat hitam gelap, cangkang bulat telur bila dilihat dari atas dan kepala relatif kecil dan tumpul. Ukuran panjang antara 80-150 cm dan berat mencapai 132 kg. Penyu hijau jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat pesisir benua dan sekitar kepulauan.

Usia kematangan seksual penyu hijau tidak pasti,  sampai saat ini diperkirakan 45-50 tahun. Penyu hijau betina bermigrasi dalam wilayah luas, antara kawasan mencari makan dan bertelur, tetapi cenderung mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan terbuka.

Masih Diburu

Saat Festival Pesisir Paloh 2014, menyisakan cerita tersendiri. Salah satu festival sosialisasi kepada warga untuk menjaga penyu dari pencurian, baik individu maupun telur.  Namun, satuan petugas pengamanan lintas Yonif 143/Tri Wira Eka Jaya berhasil menangkap pemuda yang mencoba menyelundupkan penyu di perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak Malaysia.

Nauval, warga Dusun Teluk Nibung Desa Paloh, Sabtu (23/5/14), mencoba menerobos perbatasan saat diperiksa Satgas Pamtas. “Dia tidak menghentikan kendaraan, saat anggota memeriksa warga yang akan keluar perbatasan maupun yang masuk,” kata Danton Pamtas Temajo, Lettu Kav M Eka Perwira Chandra.

Eka mengatakan, anggota TNI berhasil menghentikan Nauval dan memeriksa bawaan serta kendaraan. Nauval mengaku mendapat telur penyu dari lima pemuda di Pantai Sungai Banyuan. Dia bersama Syarif, petugas Rutan Sambas. “Mereka kami dapati membagi-bagikan telur penyu. Lalu memberi kami 31 telur penyu,” kisah Nauval.

Dia dengar, Sajudi, warga Desa Melano Sarawak, mau membeli RM80 sen per butir. Sajudi sehari-hari sebagai penjual sembako.

Dwi mengatakan, Nauval mungkin pemain baru. Semula dia menengarai warga masih mencuri dan menjadi pengumpul telur penyu.

Albert Tjiu, species officer WWF Kalbar, April lalu, menyatakan, Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, yang kaya keragaman hayati merupakan ladang empuk pelaku perdagangan satwa ilegal.

Data Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Indonesia mengalami kerugian lebih Rp9 triliun per tahun akibat perburuan dan perdagangan satwa dilindungi. Di pasar global, perdagangan ilegal satwa liar berkisar US$10-20 miliar per tahun, atau terbesar kedua setelah bisnis narkoba.

Di Indonesia, wilayah yang termasuk rawan perdagangan satwa dilindungi adalah Pontianak, Jakarta, Medan dan daerah pesisir Sumatera. Kalimantan bahkan menjadi sumber utama perdagangan hewan dilindungi dan hampir punah yakni trenggiling.

Rute dimulai dari Kudat (Sabah) ke Johor Bahru (Peninsular Malaysia) lalu dari Philipina ke Kudat dan Sandakan hingga dari Kalimantan Barat ke SarawakLimbang (Sarawak) menuju ke Tawau lalu ke China.

Menurut Albert, China menjadi pasar terbesar perdagangan satwa liar ini. “Di China masih ada kepercayaan satwa liar memiliki khasiat manjur.”

Modus, dengan menyembunyikan dalam kontainer, badan, tas, dan jalan pemalsuan dokumen. Albert meyakini, sebelum 2000-an perdagangan satwa dilindungi bersamaan dengan penyelundupan kayu (terutama orangutan dan kelempiau).  Lalu, dicampur yang legal dan mirip, menggunakan kapal penumpang dan berlindung di balik kepentingan adat.

Kolam tempat menyimpan penyu hijau sementara sebelum dilepasliarkan di laut. Foto: Aseanty Pahlevi

Kolam tempat menyimpan penyu hijau sementara sebelum dilepasliarkan di laut. Foto: Aseanty Pahlevi


Penyu Hijau Masuk Sungai Kapuas, Kok Bisa? was first posted on August 24, 2014 at 2:14 pm.

Walabi, Minyak Kayu Putih dari Taman Nasional Wasur

$
0
0
Seorang warga Kampung Yanggandur  membalik-balik  daun kayu putih ( dianginkan) untuk mengurangi air yang menempel di daun sebelum direbus. Foto: Agapitus Batbual

Seorang warga Kampung Yanggandur membalik-balik daun kayu putih ( dianginkan) untuk mengurangi air yang menempel di daun sebelum direbus. Foto: Agapitus Batbual

Kala memasuki Kampung Yanggandur, Distrik Sota, Merauke, tampak beberapa rumah penyulingan minyak kayu putih. Warga hilir mudik membawa karung berisi daun kayu putih yang baru dipetik. Begitulah kesibukan warga kampung yang masuk dalam Taman Nasional Wasur ini.

Pemandangan unik pun terlihat saat melalui kawasan ini. Ribuan “candi” berjejer. Lebih unik lagi karena si pembuat adalah semut, dalam bahasa Marind Anim disebut musamus. Semut itu membangun rumah dengan menggumpal tanah hinggi setinggi bubungan rumah. Candi ini dalam bahasa Marind Anim disebut bomi.

Mata pencaharian utama warga kampung ini memang menyuling minyak kayu putih jenis Asteromyrthus symphyocarpa dan melaleuca sp. Dua jenis  kayu putih ini memang banyak tumbuh di kawasan TN Wasur.

Yayasan Wasur Lestari, yang membina warga penyuling minyak kayu putih ini. Mereka bekerja sama dengan WWF Indonesia, Balai Taman Nasional Wasur dan Lembaga Masyarakat Adat Kawasan TN Wasur.

Kearifan lokal yang kuat  hingga pohon kayu putih terjaga baik. Tetua adat melarang warga menebang, tak boleh memetik daun sampai habis. Lokasi pengambilan daunpun digilir.

Walabi, begitu nama minyak kayu putih produksi warga. Nama itu berarti kangguru, bahasa Marind disebut Walabi. Kadar minyak bisa mencapai cineol 60%, sesuai standar nasional. Alhasil, minyakpun kental tetapi tak lengket ke kulit.

Liberata Mbanggu, warga kampung mengatakan, bahan baku penyulingan, yakni daun kayu putih mudah diperoleh, karena tumbuhan ini banyak sekali. Daun kayu putih dipetik, masukkan ketel lalu direbus. “Daun dianginkan hingga warna hijau daun menjadi coklat, baru direbus.”

Setiap hari, Mbanggu memetik daun sebanyak tujuh karung ukuran 15 kg untuk diproses menjadi minyak kayu putih dan dijual.

Yulius Gelambu, kepala Kampung Yanggandur menuturkan, kampung dengan penduduk 37  keluarga atau 97 jiwa ini mayoritas bertani minyak kayu putih. Hasil produksi mereka dipasarkan ke Yayasan Wassur Lestari, dan didistribusikan ke PT Sumber Alam Solo. Yayasan ini menyediakan dua botol kemasan minyak kayu putih dalam dua kemasan, 300 ml dan 120 ml.

Gelambu mengatakan, pohon kayu putih ini bak isteri bagi laki-laki dan suami bagi perempuan. Sebab, ialah yang menjamin masa depan generasi muda jika terpelihara baik “Buat masa depan anak cucu. Pendidikan sangat penting. Dengan minyak kayu putih, pendidikan mulai dari SD hingga perguruan tinggi bisa terjamin.”

Meicy Sarbunan dari Yayasan Wasur Lestari mengatakan, warga Kampung Yanggandur harus menjaga pohon kayu putih dengan baik. “Pohon yang ditanam jangan ditebang. Ini jadi andalan warga Marind Kanume dan Marind Marori Menggey.”

Pohon kayu putih banyak tumbuh di kampung dan sekitar kawasan itu. Foto: Agapitus Batbual

Pohon kayu putih banyak tumbuh di kampung dan sekitar kawasan itu. Foto: Agapitus Batbual

Ribuan candi seperti ini akan ditemui kala melewati kampung Yanggandur, Distrik Sota, Merauke, yang masuk Taman Nasional WAsur. Candi ini dibangun oleh semut. Foto: Agapitus Batbual

Ribuan candi seperti ini akan ditemui kala melewati Kampung Yanggandur, Distrik Sota, Merauke, yang masuk Taman Nasional Wasur. Candi ini dibangun oleh semut. Foto: Agapitus Batbual

Minyak kayu putih produksi warga yang diberi nama Walabi. Foto: Agapitus Batbual

Minyak kayu putih produksi warga yang diberi nama Walabi. Foto: Agapitus Batbual

 

 

 


Walabi, Minyak Kayu Putih dari Taman Nasional Wasur was first posted on September 3, 2014 at 11:54 pm.

Berharap Usulan 18 Hutan Nagari dari KKN Tematik

$
0
0
Sawah di Nagari Sei Buluh, Padang Pariaman, Sumbar, salah satu yang sudah mendapatkan izin hutan nagari seluas 1.000 an hektar lebih.  Di bagian belakang, tampak terbentang hutan nagari. Foto: Sapariah Saturi

Sawah di Nagari Sei Buluh, Padang Pariaman, Sumbar, salah satu yang sudah mendapatkan izin hutan nagari seluas 1.000 an hektar lebih. Di bagian belakang, tampak terbentang hutan nagari. Foto: Sapariah Saturi

Pagi itu, Selasa (26/8/14), sebanyak 54 muda mudi berkumpul di kediaman Gubernur Sumatera Barat. Mereka adalah mahasiswa Kehutanan dari Universitas Muhammadiyah, Sumbar, saat pelepasan KKN tematik pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM).  Dari KKN ini, diharapkan bisa menghasilkan 18 usulan hutan nagari.

Hari itu, hadir antara lain, Gubernur Sumbar, Irwan Prayetno; Kadis Kehutanan Sumbar, Hendri Octavia; Kepala Badan Pengelola REDD+, Heru Prasetyo dan Yuzardi Ma’ad, Wakil Rektor III, Universitas Muhammdiyah serta para bupati.

Khairani Dinl Haq mahasiswa semester V Fakultas Kehutanan mengatakan, sebelum turun ke lapangan mereka diberi perbekalan. “Kita dibekali apa hutan nagari itu. Lalu, gimana kita bersosialisasi dengan masyarakat. Karena yang kita hadapi kan masyarakat langsung,” katanya.

Selain itu, mahasiswa juga diajarkan bagaimana mengusulkan hutan nagari. Tentu, katanya, sesampai di wilayah KKN mereka harus mengenal dan tahu kondisi masyarakat di sana. “Pedekate dulu dengan tokoh-tokoh  masyarakat di sana sebelum mengenalkan hutan nagari.” Pada KKN ini dia ditempatkan di Nagari Sei Lundang, Kabupaten Selatan.

Hendri Octavia, kepada Dinas Kehutanan Sumbar mengatakan, ada 54 orang ditempatkan di 18 nagari, di delapan kabupaten dan kota, antara lain Padang,  Padang Pariaman, dan Pasaman. “Kami harapkan outputnya, terusulkan 18 hutan nagari,” katanya di Padang, hari itu.

Dia mengatakan, usulan hutan nagari nanti tak sekadar membuat permohonan, tetapi diawali sosialisasi. “Berikan pengertian apa itu hutan nagari, membuat pra kondisi kelembagaan, membuat aturan-aturan hutan nagari apabila hutan nagari berjalan, dan lain-lain. Bahkan, sampai, mau diapakan hutan nagari baik secara ekonomi maupun ekologi.”

Dari usulan KKN tematik ini, katanya, Pemerintah Sumbar  menargetkan 500.000 hektar hutan baik di kawasan hutan lindung, produksi, hutan produksi konversi (HPK) menjadi hutan nagari. “Artinya, kita berikan pengelolaan kepada masyarakat. Jadi itu unit-unit kecil dalam memberdayakan dan bekerja sama dengan masyarakat,” ujar dia.

KKN Tematik di Sumbar, yang disebar ke berbagai kabupaten dan kota. Harapannya, mereka mampu mengusulkan 18 hutan nagari. Foto: Sapariah Saturi

KKN Tematik di Sumbar, yang disebar ke berbagai kabupaten dan kota. Harapannya, mereka mampu mengusulkan 18 hutan nagari. Foto: Sapariah Saturi

Dia mengatakan, hutan nagari perlu dibentuk di berbagai wilayah demi menjaga kelestarian hutan. Mengapa? Sebab, kawasan hutan di Sumbar luas akan sulit terjangkau jika hanya dijaga pemerintah.

Dinas Kehutanan, katanya,  diberi tanggung jawab mengelola hutan di Sumbar agar lestari dan sesuai daya dukung dan fungsi. Untuk itu, perlu memperkecil ruang gerak pengelolaan maupun pengawasan.

“Maka, kita bekerja dama dengan unit nagari, dengan kelompok masyarakat untuk kelola satu hamparan hutan tertentu.”

Lewat hutan nagari, mereka akan melakukan perencanaan, pemanfaatan, pemeliharaan sampai penataan dalam satu kawasan agar pemanfaatan hutan tetap sesuai kapasitas dan daya dukung. “Salah satu kita bekerja sama dengan nagari, itu disebut hutan nagari. Di tingkat nasional disebut hutan desa.”

Menurut dia, Dinas Kehutanan akan memberikan pembinaan atau pendampingan, monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan kawasan hutan itu.

Gimana hutan dimanfaatkan, bukan untuk dilihat-lihat saja. Ada manfaat ekonomi, ekologi, sosial dan budaya di sebuah hutan. Maka buat hutan nagari.”

Program ini, kata Hendri, merupakan rencana aksi provinsi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Hendri mengatakan, di Sumbar, hutan nagari yang mendapatkan surat keputusan dari Menteri Kehutanan ada dua unit, yang sudah ditetapkan areal kerja sebanyak tujuh lokasi, antara lain di Padang Pariaman dengan total areal sekitar 18.000 hektar.

Irwan Prayetno, Gubernur Sumbar berharap, mahasiswa Kehutanan jadi tulang punggung dalam menjaga hutan. “KKN ini sebenarnya tak hanya demi Indonesia, juga dunia. Karena Indonesia paru-paru dunia,” katanya.

Menurut dia, menjaga hutan sangat penting demi menjaga keseimbangan alam. “Ketika sistem ini diputus oleh ulah manusia, maka akan menciptakan masalah berentet.”

Kerusakan hutan Sumbar terlihat dari tipe tutupan lahan. Data Kementerian Kehutanan, tutupan lahan di Sumbar didominasi kelompok non hutan, mencapai 55,24% dari luas wilayah. Hanya 13,79% masih bertutupan baik berupa hutan primer.

Provinsi ini sebagian besar penduduk bertani atau budidaya aneka tanaman, seperti padi, jagung, kopi, kakao, karet, sampai sawit. Komoditas tanaman pangan paling utama di daerah ini, salah satu jagung, dengan sentra di Kabupaten Pasaman Barat. Luas tanaman jagung di Sumbar, mencapai 43.370 hektar.

Budidaya karet alam di Hutan Nagari Sei Buluh. Foto: Sapariah Saturi

Budidaya karet alam di Hutan Nagari Sei Buluh. Foto: Sapariah Saturi

Dari Buku SLHD Sumbar 2011, disebutkan, di provinsi ini, ada 152 perusahaan pertambangan skala besar dan menengah, 64 pertambangan batubara, 19 tahap eksplorasi, dan 45 perusahaan sudah operasi produksi. Sisanya, mineral logam, batu kapur, silika, clay dan non logam lain. Total luasan lahan yang dibuka pada 2011, 10.527, 6 hektar, dengan total produksi hingga Oktober 2011, sebesar 9.386.581 ton per tahun.

Adapun luas bukaan lahan terbesar batu bara 7.510,08 hektar, terutama di Sawahlunto, Pesisir Selatan, Sijunjung dan Dharmasraya. Meskipun begitu, hasil tambang terbesar dari batu kapur 6.444.585 ton per tahun oleh PT Semen Padang.

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ mengatakan, pesan terkandung dari KKN tematik yang mengusung PHBM ini, bagaimana mengelola hutan dengan baik hingga mengurangi tekanan atau kerusakan.

“Hutan dimanfaatkan tetapi ekologi yang baik tetap bisa dirasakan. Jangan sampai jadi padang pasir macam di Maluku.” Di Maluku, ada pulau-pulau dieksploitasi hingga ‘botak.’ Atau macam pengembangan sawit yang menggerakkan perekonomian tetapi tidak menjaga kelestarian hutan. “KKN ini diharapkan bisa jadi inspirator, sekaligus peserta terinspirasi. Ini proses pembelajaran yang luar biasa.”

Nur Masripatin, Deputi Tata Kelola dan Hubungan Kelembagaan BP REDD+ mengungkapkan, KKN tematik seperti di Padang yang fokus hutan nagari ini salah satu program REDD+. Kegiatan di masing-masing daerah bisa berbeda tergantung problem yang dihadapi, seperti di Riau, karena masalah kebakaran hutan dan lahan, maka kegiatan fokus ke sana.

Menurut dia, program ini tak hanya melibatkan mahasiwa juga staf pengajar, yang dijabarkan dalam ke program universitas. “Ada terkait pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Ini dijalankan melalui network perguruan tinggi.

Melalui berbagai kegiatan ini, katanya,  BP REDD+ ingin menyampaikan pesan-pesan lingkungan terutama terkait kehutanan.

Untuk membangun itu semua, BP REDD+ sudah bekerja sama dengan jaringan universitas di seluruh Indonesia. Ada di level nasional  juga di tujuh region, yakni, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan Bali-Nusa Tenggara.

Bagian Hutan Nagari Sei Buluh yang tak boleh diganggu karena berfungsi melindungi kawasan dari bencana dan sumber pasokan air. Foto: Sapariah Saturi

Bagian Hutan Nagari Sei Buluh yang tak boleh diganggu karena berfungsi melindungi kawasan dari bencana dan sumber pasokan air. Foto: Sapariah Saturi

Hendri Octavia, Kadis Kehutanan Sumbar (kiri), Gubernur Sumbar, Irwan Prayetno dan Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+, dalam acara pelepasan KKT Tematik. Foto: Sapariah Saturi

Hendri Octavia, Kadis Kehutanan Sumbar (kiri), Gubernur Sumbar, Irwan Prayetno dan Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+, dalam acara pelepasan KKN Tematik. Foto: Sapariah Saturi


Berharap Usulan 18 Hutan Nagari dari KKN Tematik was first posted on September 4, 2014 at 8:17 am.

Dukung Ruang Terbuka Hijau, Warga Ingatkan Pemerintah Jakarta, Soal Apa?

$
0
0

Banjir di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Januari 2014. Jakarta langganan banjir. Mengatasi banjir, salah satu upaya Pemerintah Jakarta, memperluas ruang terbuka hijau. Sayangnya, upaya inibertolak belakang dengan beberapa kondisi di lapangan  yang  masih terjadi alih fungsi kawasan hijau. Foto: Prio

Jakarta, merupakan salah satu daerah yang selalu menjadi langganan banjir setiap tahun. Pemerintah Jakartapun berupaya mencari tanah kosong untuk dijadikan ruang terbuka hijau (RTH). Kini,  RTH di Jakarta hanya sekitar 9% dari total luas wilayah. Namun, upaya ini seakan kontradiksi dengan kondisi di lapangan, karena masih banyak areal bisnis dan apartemen dibangun dengan alih fungsi kawasan hijau.  Warga khawatir, mereka berupaya mengingatkan Pemerintah Jakarta.

Lukman Hakim selaku ketua RW03 Kelurahan Kayumas, Jakarta Timur, mendukung langkah serius Jakarta memperluas RTH.

Sayangnya, praktik alihfungsi lahan hijau menjadi pusat bisnis dan apartemen seperti di kawasan hijau Pulomas, Jakarta Timur, membuat mereka bertanya-tanya mengenai komitmen memperluas RTH. “Jika pemerintah serius ingin menambah luasan RTH pembangunan fisik di Pulomas harus dihentikan,” katanya yang melaporkan masalah ini ke Walhi Nasional, pekan lalu.

Menurut dia, ada dua alasan mendasar penolakan alih fungsi kawasan hijau ini. Pertama, pembangunan tanpa dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Kedua, Pemerintah Jakarta, sedang menambah RTH. “Lebih penting menyelamatkan kawasan terlebih dahulu, baru mencari lahan kosong untuk dibeli.”

Dahyar Budi Ananta, dari perkumpulan RW yang tergabung dalam Front Masyarakat Peduli Lingkungan mengatakan, mengatasi masalah lingkungan hidup di Jakarta ini bukan pekerjaan mudah. Untuk itu, perlu kemauan politik kuat, termasuk anggaran berpihak lingkungan.

“Lingkungan kami di Kelurahan Pulomas acap kali kena banjir dampak alih fungsi ruang hijau Pulomas. Kami sangat merasakan itu.”

Saat ini, areal hijau di Pulomas hanya 63 hektar, semula 350 hektar. Lahan yang adapun mulai ‘dijarah’ perusahaan untuk pusat bisnis. Pembangunan yang sedang berjalan apartemen Pasadena II.

“Lahan hijau di Pulomas sangat krusial, kami menolak segala bentuk alih fungsi dan medesak Pemerintah Jakarta tak membebani izin baru di Pulomas.”

Pada era Gubernur Ali Sadikin, Pulomas diarahkan menjadi areal  hutan kota dan ruang terbuka hijau. Sayangnya, belakangan ada perubahan yang memperbolehkan alih fungsi kawasan. RTH menyusut drastis.

Mukri Friatna, manajer Penanganan Bencana Walhi Nasional mengatakan, mau tak mau salah satu jawaban mendesak mengatasi banjir, polusi udara dan krisis air di Jakarta, dengan memperluas RTH. “Pulomas harus menjadi prioritas.”

Dia mendesak, Pemerintah Jakarta, memperbaiki kebijakan yang membolehkan alih fungsi agar terjamin kepastian peruntukan dan fungsi kawasan hijau Pulomas.

 


Dukung Ruang Terbuka Hijau, Warga Ingatkan Pemerintah Jakarta, Soal Apa? was first posted on September 4, 2014 at 8:38 pm.
Viewing all 4122 articles
Browse latest View live