Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3858 articles
Browse latest View live

Sungai Musi Tercemar, Ikan-ikan Diduga Mengandung Merkuri

$
0
0

Sungai Musi tercemar dengan berbagai aktivitas industri. Diduga ikan-ikan dari sungai ini sudah mengandung mercuri. Foto: Taufik Wijaya

Walhi Sumatera Selatan mengingatkan masyarakat Palembang berhati-hati mengonsumsi ikan air tawar di Sungai Musi seperti baung, juaro, lais, dan patin. Sebab, sebagian besar ikan-ikan itu diduga tercemar merkuri. Organisasi lingkungan ini meminta pemerintah memberi perhatian serius terhadap masalah ini.

“Merkuri di Sungai Musi, mengendap di tubuh sejumlah ikan itu, kemungkinan besar dari aktifitas pertambangan, bahan pertanian, obat-obatan, cat, kertas dan limbah industri,” kata Hadi Jatmiko, direktur Walhi Sumsel, Senin (26/5/14).

Dugaan ini muncul berdasarkan dokumen pemaparan para akademisi di Palembang, tahun lalu. Dalam makalah itu disebutkan, berbagai aktivitas di Sungai Musi menyebabkan pencemaran yang berdampak pada biota perairan dan kesehatan manusia.

Beragam aktivitas ini mengakibatkan terpaparnya logam logam berat ke dalam badan sungai, termasuk merkuri. Menurut hasil penelitian Eddy, dkk (2012),  Sungai Musi Palembang antara Polokerto sampai Pulau Salah Nama telah tercemar merkuri total. Kadar merkuri dalam air berkisar 17,250 – 21,750 ppb, kadar merkuri di sedimen antara 1.125 – 2.521 ppb. Keberadaan merkuri dalam air dan sedimen dapat menyebabkan merkuri terakumulasi dalam biota Sungai Musi termasuk ikan. Sebab, logam merkuri mudah masuk ke tubuh ikan melalui proses rantai makanan.

Dari penelitian Eddy mengidentifikasi, dari 29 jenis, paling besar kandungan merkuri yaitu baung, juaro, lais dan patin.  Akumulasi merkuri jenis ini lebih tinggi dibandingkan yang lain, karena ikan predator.

Hadi meminta, pemerintah memberikan perhatian serius terhadap pencemaran merkuri ini, misal dengan memulai penelitian. Jika penelitian terbaru membenarkan kandungan merkuri pada ikan hidup di Sungai Musi, perlu kebijakan bagi masyarakat. “Misal melarang masyarakat mengonsumsi ikan dari Musi, sambil pencegahan pencemaran merkuri di sungai itu.”

Menurut dia, pencegahan paling benar dengan menghentikan berbagai aktivitas industri yang aliran limbah menuju Sungai Musi. Namun, selama proses itu, pemerintah harus mengontrol penggunaan merkuri. “Terutama mengontrol peredaran merkuri secara ilegal.”

Pemakan Ikan Sungai

Masyarakat Palembang, senang mengonsumsi ikan. Beragam masakan di Palembang menggunakan bahan baku ikan, seperti pindang, pempek, pepes, atau digoreng maupun disambal.

Patin paling dominan sebagai bahan baku pindang, banyak dari pertambakan ikan. “Itupun tetap hati-hati, sebab sebagian pertambakan patin juga di badan sungai. Bukan di kolam. Terutama di Gandus,” kata Hadi.

 


Sungai Musi Tercemar, Ikan-ikan Diduga Mengandung Merkuri was first posted on June 2, 2014 at 11:11 am.

Aktivitas Tambang Khawatir Ganjal Geopark Merangin jadi Warisan Dunia

$
0
0
Inti Geopark Merangin adalah Fosil Araucarioxylon. Masyarakat setempat menyebutnya Batu Tuo. Foto: Jogi Sirait

Inti Geopark Merangin adalah Fosil Araucarioxylon. Masyarakat setempat menyebutnya Batu Tuo. Foto: Jogi Sirait

Geopark Merangin di Kabupaten Merangin, Jambi, tengah diusulkan kepada Unesco masuk dalam warisan dunia. Namun, tim peneliti khawatir aktivitas pertambangan emas rakyat menjadi batu sandungan pengakuan ini.

Profesor Fauzie Hasibuan, koordinator divisi Geologi Tim Peneliti Geopark Merangin, khawatir tambang emas di Sungai Manau dan Perentak berdampak buruk bagi penilaian.

Dia menilai, Pemerintah Merangin gagal menjaga kelestarian lingkungan. Tambang kian hari kian meluas. Padahal, itu kawasan penyangga bagi Geopark Merangin.

Fauzi berulangkali mengingatkan Pemerintah Merangin menertibkan tambang karena pengakuan geopark itu ditentukan Juni ini. Tim penilai Unesco akan turun ke Merangin dan Kerinci. Saat itu, tim akan melihat tambang yang menyebabkan pencemaran lingkungan.

“Ini sangat kita khawatirkan. Kita tidak tahu apa pandangan Unesco. Memang, Ibrahim Komoo dari Unesco bilang betapa besar potensi Geopark Merangin. Tapi, beliau belum melihat tambang. Kita berharap, tidak akan mempengaruhi,” katanya kepada Mongabay.

Tak hanya itu. Polusi di area tambang bukan saja mempengaruhi Geopark, juga kehidupan masyarakat sekitar. “Air keruh, masyarakat tidak bisa memanfaatkan lagi.”

Hasibuan mengatakan, palaing berbahaya kimia untuk mengekstrak emas misal, merkuri atau sianida dan lain-lain. “Memang masih memerlukan penelitian lebih mendalam. Jenis racun-racun baru terlihat dalam waktu panjang, paling tidak satu generasi, misal kecacatan fisik dan atau mental pada bayi.”

Menurut dia, Badan Geologi tak dapat bertindak karena di luar kewenangan. “Saya kira para ahli semacam ini ada di pemerintahan.”

Badan Geologi, katanya, hanya bisa memberi masukan, eksekusi ada di daerah. Sedang tujuan geopark antara lain konservasi, pelestarian, dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Fosil Daun. Foto: Joni Aswira

Fosil Daun. Foto: Joni Aswira

Al Haris, Bupati Merangin, membantah kekhawatiran Hasibuan. Menurut dia, geopark itu di Sungai Batang Merangin, sementara Sungai Manau dan Perentak itu hulu Sungai Batang Masumai. “Jadi tidak ada kaitan dengan Batang Merangin. Lokasi tambang bukan di geopark. Sejauh ini, proses pengakuan terus berjalan,” katanya kepada Mongabay.

Haris mengatakan, dalam waktu dekat, akan turun menertibkan tambang. Namun, pemkab juga berupaya melegalkan tambang rakyat ini lewat peraturan daerah. Meskipun ranperda inisiatif Pemerintah Merangin sempat ditolak Pemerintah Jambi.

Namun, dia tetap mengupayakan legalitas tambang ini dengan mengkaji kembali ranperda yang disusun agar tidak bertentangan dengan Undang-undang. “Ranperda itu akan dikaji kembali agar lebih rinci soal pertambangan rakyat.”

Contoh Nyata

Pada 2013, Candi Muaro Jambi, gagal mendapatkan pengakuan Unesco sebagai warisan dunia gara-gara pemerintah daerah tak mampu memindahkan stock pile (tempat penimbunan batu bara) dalam komplek candi.

Empat stock pile milik PT Indonesia Coal Resources, Thriveni Mining, Sarolangun Bara Prima, dan Bahar Surya Abadi – yang area penimbunan dikelola PT Tegas Guna Mandiri (TGM) berada dalam zona inti komplek Candi Muaro Jambi. Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus dan Bupati Muaro Jambi saling lempar tanggung jawab mengatasi keempat stock pile ini. Hingga situs terluas di Asia Tenggara itu yang sudah teregistrasi dengan nomor 5695, sejak 2009 gagal mendapat pengakuan.

Selain aktivitas tambang, hasil penilaian Unesco, bersama tim pemerintah daerah ke lokasi, Geopark Merangin mendapat 20 catatan penting, salah satu infrastruktur. Catatan itu, harus dibenahi.

“Memang betul. Ada 20 catatan penting dari Unesco. Infrastruktur jadi sorotan utama. Inilah yang sama-sama dipikirkan,” kata M Arif,  kepala Bappeda Merangin. Tak heran, karena jalan menuju geopark, dan berbagai fasilitas lain sangat minim.

Fosir kerang. Foto: Joni Aswira

Fosir kerang. Foto: Joni Aswira

Fosil tanggul pohon. Foto: Joni Aswira

Fosil tanggul pohon. Foto: Joni Aswira

 


Aktivitas Tambang Khawatir Ganjal Geopark Merangin jadi Warisan Dunia was first posted on June 2, 2014 at 3:18 pm.

Menebar Organik, Menyelamatkan Mangrove Desa Lawallu

$
0
0
Warga memanfaatkan pekarangan sebagai lahan bertani organik. Berbagai macam sayuran ditanam. Foto: Wahyu Chandra

Warga memanfaatkan pekarangan sebagai lahan bertani organik. Berbagai macam sayuran ditanam. Foto: Wahyu Chandra

Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, dulu hanya desa biasa. Kini, desa ini cukup dikenal dengan bercocok tanam organik dan peduli kelestarian mangrove.

Warga desa ini sebagian besar hidup dari hasil laut dan pertanian. Dulu, daerah ini kaya hutan mangrove. Kala harga udang melambung, mangrove menjadi tambak. Kayu bakar dan bangun rumahpun dari mangrove. Hutan tanaman inipun makin tergerus.

Lahan pertanian di Desa Lawallu tergolong subur. Warga ada yang menanam jagung,  tetapi masih banyak lahan tidur. “Dulu tak ada yang berpikiran lahan tidur itu bisa dikelola tepat,” kata Yusran Nurdin Massa, peneliti senior Mangrove Action Project (MAP) Indonesia, kepada Mongabay, Kamis (29/5/14).

Masyarakat di Desa Lawallu, selama ini menganggap mereka masyarakat maritim hingga lebih banyak di laut. Pekarangan rumah warga juga luas hingga berpotensi menjadi lahan pertanian, khusus sayur-sayuran.

Sejak 2010, program restoring coastal livelihood (RCL) masuk. Dengan program ini coba dibangun kesadaran kritis warga terkait pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove. Program ini sekaligus memperkenalkan sistem pertanian organik ramah lingkungan. “Program ini juga memperkuat ekonomi masyarakat pesisir, terutama ibu-ibu rumah tangga.”

Syamsudduha, kepala Desa Lawallu, mengatakan, ketika MAP dan Oxfam memperkenalkan program ini pertama kali, hanya desa ini yang menerima.

“Dari sekian desa ditawarkan program organik, saya pertama kali menyatakan menerima, meski awalnya warga banyak menentang dan pesimis,” katanya.

Namun, dia mulai sosialisasi kepada masyarakat. Setiap hari dia mendatangi rumah warga menawarkan program organik ini membawa 10 polibag bibit sayuran.

“Saya datangi dan berjanji mengecek kembali seminggu kemudian.”

Setelah seminggu, hampir semua tanaman tumbuh baik. Warga makin antusias bahkan menyediakan wadah khusus di pekarangan. Pagar bambu juga dibuat. “Kami menyiapkan cat pagar,” ujar dia.

Warga membuat kelompok. Mulai kelompok usaha tani organik perempuan hingga pemanfaatan pekarangan rumah.

Sayur yang banyak ditanam seperti cabai, tomat, selada, terong ungu sampai jahe merah. “Kadang ada pembeli datang dari desa lain karena tahu produk organik,” kata Syamsudduha.

Selain bertani organik, warga juga diajarkan membuat kue dan beragam produks makanan sebagai unit usaha rumah tangga. Mereka memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di desa. Foto: Wahyu Chandra

Selain bertani organik, warga juga diajarkan membuat kue dan beragam produks makanan sebagai unit usaha rumah tangga. Mereka memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di desa. Foto: Wahyu Chandra

Pengelolaan lahan pun berkelompok. Salah satu yang cukup sukses, Kelompok Sipatuju. Mereka memiliki usaha pembuatan kompos dan pupuk cair. Sekali produksi kompos bisa 500 kilogram. Selain dipakai sendiri juga dijual Rp1.500 per kg.

Menurut Nurbaya, pengurus Kelompok Sipatuju, pupuk organik awalnya menunjang program desa tetapi banyak yang memesan dari warga desa lain sampai instansi pemerintah. “Produksi kami tergantung pesanan.”

Penggunaan kompos Sipatuju masih terbatas. Dari 195 hektar sawah, baru sekitar 10 hektar yang menggunakan kompos. Sebagian besar petani belum yakin sawah organik karena pengelolaan dirasa ribet. Dalam penggunaan pupuk misal, tanaman organik harus berkarung-karung, sedang kimiawi hanya beberapa botol.

Untuk pemasaran, produk organik warga sempat dijual ke swalayan di Makassar, namun terhenti karena kontinuitas produksi. “Produksi kami terbatas,  tak mampu penuhi target swalayan.”

Mereka berencana membuat toko organik di pinggir jalan. Lagi-lagi, terkendala perizinan tempat. “Kami berupaya mendapatkan izin toko organik sampai sekarang,” kata Syamsudduha.

Kesuksesan warga memenuhi kebutuhan pangan mandiri inipun mendapat apresiasi. Pada 2012, Desa Lawallu meraih penghargaan Juara I P2WKSS Sulawesi Selatan. Pada tingkat nasional, Lawallu termasuk 10 besar desa dengan rumah pangan lestari.

Pada 2013, desa ini kembali menerima penghargaan Juara I kelompok wanita tani Sulsel, dan 10 besar tingkat nasional untuk kategori sama.

Tak hanya tanaman organik. MAP pun mendampingi pengelolaan mangrove. Warga, kata Yusran, diikutkan sekolah mangrove selama enam bulan. Di sini, antara lain warga belajar identifikasi masalah mangrove, termasuk pengelolaan dan pelestarian.

Kualitas tambak Desa Lawallu, terus turun karena penggunaan pupuk kimiawi berlebih dan hutan mangrove rusak.

“Padahal, kelestarian mangrove bisa meningkatkan kualitas tambak. Karena mangrove salah satu sumber hara tambak, tanpa harus menggantungkan diri pada pupuk-pupuk kimiawi.”

Sekolah lapangan ini memberi perubahan cukup signifikan bagi warga, terutama kepedulian terhadap mangrove. “Kita berharap mangrove sebagai green belt kawasan ini bisa tetap terjaga. Apalagi kini warga lebih sadar pentingnya mangrove.”


Menebar Organik, Menyelamatkan Mangrove Desa Lawallu was first posted on June 3, 2014 at 12:59 pm.

Penyelundupan Ratusan Batang Kayu Bakau Digagalkan

$
0
0
Hutan mangrove di Sumut  rusak parah karena  alih fungsi  menjadi perkebunan  sawit maupun tambak. Foto: Ayat S Karokaro

Hutan mangrove di Sumut rusak parah karena alih fungsi menjadi perkebunan sawit maupun tambak. Foto: Ayat S Karokaro

Satuan Polisi Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Polhut Dishutbun) Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, Senin (2/6/14), berhasil menggagalkan penyelundupan sekitar 500 batang kayu bakau ditaksir 10 meter kubik.

Sayangnya, ketika penyergapan supir beserta dua kondektur berhasil kabur. Identitas pelaku belum diketahui. TR Nainggolan, kepala  Satpol Kehutanan, mengatakan, penangkapan itu bermula dari informasi masyarakat. Masyarakat mencurigai kayu bakau itu rambahan hutan mangrove di Asahan, yang berdekatan dengan Pelabuhan Kota Tanjung Balai.

Ketika penyelidikan, laporan itu benar. Kayu bakau dari hutan mangrove di Desa Sei Sembikang, Kecamatan Sei Kepayang Timur, Asahan. Di sini, tampak sisa-sisa potongan kayu terapung di pinggir pantai.

“Laporan kami terima, sering terjadi penebangan dan pencurian kayu mangrove. Kami tidak tolerir, langsung sergap saat akan membawa keluar Asahan. Pelaku melarikan diri. Barang bukti sudah diamankan untuk penyidikan lebih lanjut,” katanya.

Dia menyebutkan, daerah pesisir laut di Kabupaten Asahan sering terjadi pencurian bakau. Ratusan kubik kayu dari hutan mangrove di kabupaten ini, diselundupkan ke sejumlah negara melalui Malaysia dan Singapura.

Polhut bekerja sama dengan kepolisian dan TNI. Dengan Polair Asahan juga razia laut, mengingat kayu keluar melalui kapal laut baik Pelabuhan Tanjung Balai, maupun pelabuhan kecil di Asahan dan Batubara. Hasilnya, dalam 30 hari, berhasil menggagalkan lebih lima kali penyelundupan bakau.

“Kita terus kembangkan siapa aktor perambahan hutan mangrove di Asahan ini. Bantuan dan informasi masyarakat sangat kami butuhkan. Mari sama-sama kita cegah karena berbahaya bagi masa depan pesisir pantai.”

Rusak parah

Sebelumnya, hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut, menyebutkan 90 persen hutan mangrove di provinsi ini, rusak parah. Salah satu penyebab, alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, dan tambak baik ikan, udang dan lain-lain.

Alih fungsi hutan mangrove menjadi perkebunan sawit, cukup besar, lebih dari 12.000 hektar, tambak ikan, 10.000 hektar lebih.

Hidayati, kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut mengatakan, kondisi ini berdampak buruk pada pelepasan gas carbon dioksida dan serapan air bawah tanah, maupun lingkungan rusak.

Bibit mangrove siap ditanam di tepian pantai buat mengatasi abrasi. Foto: Ayat S Karokaro

Bibit mangrove siap ditanam di tepian pantai buat mengatasi abrasi. Foto: Ayat S Karokaro

Kerusakan mangrove 90 persen di daerah pesisir pantai seperti Serdang Bedagai, Batubara, Tanjung Balai, Sibolga, dan Nias, dengan angka rata-rata kerusakan alih fungsi menjadi perkebunan sawit, pembuatan tambak, dan penebangan kayu ilegal, 1.000 -4.000 hektar.

Dia mencontohkan, di Serdang Bedagai, kerusakan hutan mangrove seluas 3.700 hektar. Di sini, penanaman sawit, masih di bibir pantai. Padahal sesuai aturan baku, seharusnya jarak 300 meter dari bibir pantai, tidak boleh ditanami dan dimanfaatkan untuk pengembangan mangrove.

Hidayati menyebutkan, fungsi mangrove selain tempat hidup biota laut, juga menjadi filter abrasi. Untuk itu, harus ada konservasi mangrove kembali ke awal.

“Di Sumut, konversi hutan mangrove, parah. Harus dicegah agar tidak terjadi kerusakan lebih luas.”

Dia menyebutkan, pengambil manfaat dengan merusak mangrove harus bertanggungjawab, dan memberikan kompensasi hingga memberikan nilai lingkungan serta sosial di pesisir pantai.

Mengatasi kehancuran hutan mangrove ini, pada Sabtu (24/5/14) di Pantai Desa Tanjung Rejo, Percut Sei Tuan, Deli Serdang menggelar aksi penanaman bakau dan pelepasan burung migran.

Mereka ini terdiri dari tim pelestarian hutan manggrove dan burung mingran, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat, bersama aktivis pelestarian hutan mangrove dan mahasiswa dari Universitas Negeri Medan (Unimed).

Prof Suharta, ketua panitia program pelestarian hutan manggrove menyebutkan, kesadaran masyarakat menjaga pelestarian hutan mangrove lemah. Ditambah pemodal datang tidak memperhitungkan dampak eksplorasi hutan mangrove untuk usaha mereka.

 


Penyelundupan Ratusan Batang Kayu Bakau Digagalkan was first posted on June 3, 2014 at 6:28 pm.

Spesies Ikan Lokal Nasibmu Kini…

$
0
0
Mujair atau Oreochromis mossambicus sudah mulai sulit dicari berganti nila, awalnya ikan impor. Foto: Wikipedia

Ikan lokal, mujair atau Oreochromis mossambicus sudah mulai sulit dicari berganti nila, awalnya ikan impor. Foto: Wikipedia

Populasi ikan lokal di Indonesia terancam dengan makin merebak spesies asing yang invasif. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mencatat, setidaknya ada 1.800 flora dan fauna asing invasif masuk ke Indonesia dan mengancam spesies ikan lokal.

“Indonesia negara yang memiliki keragaman hayati tinggi seharusnya tidak mudah memasukkan spesies asing,” kata Slamet Budi Prayitno, guru besar Perikanan Universitas Dipenogoro, di Jakarta, Rabu( 21/5/14).

Dia mengatakan, ikan asing biasa masuk melalui tiga jalur, yakni penghobi ikan hias, konsumsi, dan ketidaksengajaan. Banyak masyarakat belum memahami dampak membawa spesies asing terhadap perikanan lokal, maupun nasional.

Slamet mencatat, ada 21 jenis ikan produksi asing ke Indonesia dan diterima masyarakat luas.  “Ikan hias diimpor dari China, AS, Thailand, Belanda, Afrika, dan lain-lain.”

Ikan asing yang sudah diterima banyak orang  seperti mas, nila, sepat siam, lele dumbo, patin, bawal, edang putih, mola dan lain-lain. “Ikan impor ini lambat laun pasti menggusur ikan lokal. Mereka dibawa tanpa memikirkan dampak bagi ikan di Indonesia,” kata Slamet.

Ikan impor masuk perairan Indonesia sebagian besar ikan hias yang belum proses analisis risiko importasi ikan (ARI). Masuk tanpa mendapatkan izin.

“Koan dari China pertama kali masuk untuk mengontrol eceng gondok. Sekarang jadi invasif dan mendesak ikan lokal. Sebaran ikan asing ini kemana-mana.”

Contoh lain, bawal dibawa ke Indonesia untuk tujuan produksi. Ia dipelihara di danau, dan banyak lepas dari keramba hingga menyerang spesies lokal. Bawal sangat invasif.

“Kita kehilangan keragaman hayati. Contoh mujair dulu sirip atas, bawah dan ekor berwarna merah. Sekarang, tidak karena invasif dari nila. Genetik mujair sudah tidak ada. Padahal kalau masih ada bisa diteliti. Bisa direkayasa agar memiliki kemampuan sama seperti nila yang cepat bereproduksi,” kata Slamet.

Nila, yang awalnya diimpor kini menguasai pasar Indonesia. Mujair asli malah sulit dicari. Foto: Wikipedia

Nila (Oreochoromis niloticus), yang awalnya diimpor kini menguasai pasar Indonesia. Mujair asli malah sulit dicari. Foto: Wikipedia

Seharusnya, pemerintah memprioritaskan spesies lokal.  Jangan sampai ikan lokal hilang, berganti dengan spesies asing. “Kasus ini bisa dilihat dengan berkurang lele lokal berganti dumbo. Juga mujair, berganti nila dan lain-lain. Perlu ada pengaturan lebih tegas dari pemerintah mengendalikan spesies asing.”

Padahal, budidaya ikan lokal tak sulit. Contoh, di Papua ada mujair hijau, dan ikan Batak di Sumatera. “Ikan jenis itu makan rumput dan plankton. Biaya budidaya murah.” Ada juga, katanya, udang windu di Tarakan dan delta Mahakam, jenis terbaik di dunia. Semestinya, hal-hal seperti ini bisa  bertahan dan berkembang menjadi ikon daerah setempat. “Budidaya ikan lokal harusnya bisa dikembangkan jadi program nasional.”

Slamet mengimbau, pecinta ikan hias tidak membuang peliharaan ke sungai. Sebab berdampak buruk bagi ekosistem perikanan. “Seperti sapu-sapu. Masuk Indonesia sebagai  ikan hias untuk pembersih akuarium. Karena tidak diminati, dibuang ke sungai. Berkembang sangat cepat dan rakus. Memakan banyak hal termasuk telur dan ikan-ikan kecil. Akhirnya spesies lokal  hilang.”

Arief Yuwono, deputi III KLH bidang Pengendalian dan Perubahan Iklim mengatakan, telah menginventarisasi bersama Kementerian Kehutanan, Pertanian serta Kelautan dan Perikanan.

“Kami sedang menyiapkan peraturan menteri lingkungan hidup. Turunan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Saat ini sudah masuk biro hukum,” katanya.

Peraturan menteri ini berisi tata cara dan pengawasan spesies asing ke Indonesia. Arief mengatakan, banyak pihak belum sadar dampak negatif spesies asing invasif ini. “Sosialisasi pencegahan, penguatan kelembagaan, dan sistem informas perlu dibenahi.”

Lele dumbo (Clarias garie) yang mulai memenuhi Indonesia, hampir menggantikan posisi lele kampung. Foto: Wikipedia

Lele dumbo (Clarias garie) yang mulai memenuhi Indonesia, hampir menggantikan posisi lele kampung. Foto: Wikipedia

Lele lokal (Clarias batrachus) mulai menjadi 'tamu' di daerah asal setelah hadir ikan impor, lele dumbo. Foto: Wikipedia

Lele lokal (Clarias batrachus) mulai menjadi ‘tamu’ di daerah asal setelah hadir ikan impor, lele dumbo. Foto: Wikipedia

 


Spesies Ikan Lokal Nasibmu Kini… was first posted on June 4, 2014 at 12:26 pm.

Menang Gugat Perusahaan Sawit, Warga Kubu Belum Dapatkan Kepastian Hukum

$
0
0
Masyarakat Kubu memperlihatkan  perkebunan yang harus dilepaskan perusahaan setelah warga menang gugatan sampai kasasi. Di areal yang bersengketa ini tanaman masyarakat kerap dirusak  perusahaan. Foto: Aseanty Pahlevi

Masyarakat Kubu memperlihatkan perkebunan yang harus dilepaskan perusahaan setelah warga menang gugatan sampai kasasi. Di areal yang bersengketa ini tanaman masyarakat kerap dirusak perusahaan. Foto: Aseanty Pahlevi

Belasan warga dari beberapa desa di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, datang ke Jakarta. Mereka mencari kepastian hukum atas lahan yang selama ini diserobot perusahaan sawit, PT Sintang Raya, anak usaha Miwon Group.

Warga sudah menggugat perusahaan dan menang sampai kasasi bahwa HGU Sintang Raya, batal demi hukum.  Namun, hingga kini amar putusan belum mereka pegang.

“Kami ke MA untuk tanya implementasi putusan. Ke KPK buat membahas dugaan penyalahgunaan wewenang oleh beberapa instansi hingga HGU keluar,” kata M Yunus, kepala desa Seruat II, Kecamatan Kubu di Jakarta, Senin (3/6/14).

Mereka juga mendatangi Komnas HAM guna mengadukan pelanggaran HAM oleh Sintang Raya. Lalu ke BPN, agar tak ada lagi HGU-HGU dikeluarkan. “Kami datang buat melanjutkan perjuangan masyarakat Seruat menuntut Sintang Raya mengembalikan lahan.”

Senada diungkapkan Junedi, warga Desa Pelita Jaya. Dia ingin mendapatkan kepastian dari putusan MA itu.

Sebenarnya, wilayah Desa Pelita Jaya dan Olak-olak Kubu tak masuk dalam wilayah hak guna usaha perusahaan sawit ini. Namun sawit bercokol di desa mereka. Padahal, lahan warga transmigrasi sejak 1996-1997 ini sudah bersertifikat, tetapi tetap diserobot.

“Itulah yang membuat kami mengajukan gugatan, dari PTUN Pontianak, PPTUN sampai Mahkamah Agung, gugatan kami dimenangkan tapi kami masih was-was,”  ujar dia.

Dia kecewa, sudah ada keputusan ini tetapi pemerintah terkesan tak ada reaksi apa-apa.  Dia khawatir di lapangan terjadi gejolak dan konflik pecah.

Untuk itu, Janedi, meminta pemerintah menyikapi serius dan menjalankan putusan MA segera. “Lembaga manapun yang bisa putuskan, tolong bersikap jelas jangan sampai ada gejolak. Konflik meletus itu yang ditakutkan.”

Suwandi, pengurus BPD Desa Ulak-ulak Kubu mengatakan, hal sama. Menurut dia, tumpah tindih lahan ini sudah diakui BPN sejak lama. Dia pernah diundang BPN di Jakarta pada 2012, untuk menghadiri gelar perkara. Namun, tetap tak ada kejelasan karena saling lempar tanggung jawab antara BPN pusat dan daerah. “Hingga akhirnya warga menggugat dan menang.”

Kemenangan warga ternyata masih menyisakan tanya.  Intimidasi masih terjadi di lapangan. B Sudaryanto, kades Ulak-ulak Kubu mengatakan, kini di desa warga mau dipecah belah.

“Masyarakat yang bekerja sebagai karyawan perusahaan ditakut-takuti akan diberhentikan hingga mereka dukung perusahaan.”

Warga diminta menandatangani surat pernyataan yang menyebutkan mereka tak keberatan ada perusahaan sawit di sana.

Kebun sawit perusahaan yang mengklaim lahan warga hingga digugat ke PTUN. Sampai Mahkamah Agung, warga memenangkan gugatan ini. Sayangnya, eksekusi lamban. Amar putusan MA saja belum sampai ke PTUN Pontianak. Foto: Aseanty Pahlevi

Kebun sawit perusahaan yang mengklaim lahan warga hingga digugat ke PTUN. Sampai Mahkamah Agung, warga memenangkan gugatan ini. Sayangnya, eksekusi lamban. Amar putusan MA saja belum sampai ke PTUN Pontianak. Foto: Aseanty Pahlevi

Ridwan dari Agra mengatakan, mereka sudah mencoba berkomunikasi dengan pemerintah daerah. Serikat Tani Kubu Raya, juga sudah bertemu Komnas HAM di Kalbar. “Tapi tidak ada langkah kongkrit apa yang akan dilakukan atas perkembangan ini.”

Warga bisa polisikan perusahaan

Akademisi hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Hermansyah, menilai, kasus hukum antara warga Seruat II dengan Sintang Raya adalah simbol perjuangan rakyat yang sebenarnya.

“Saya apresiasi tata cara warga melawan perusahaan tanpa anarkisme. Mereka melawan secara hukum dan menuntut keadilan atas hak-hak mereka. Ini langkah sangat mulia,” katanya di Pontianak, Rabu (4/6/14).

Direktur Environmental Low Clinic (ELC) ini mengapresiasi pengadilan yang memenangkan rasa keadilan warga. Kata Hermansyah, hakim sangat jeli dengan memenangkan warga dalam sengketa ini.

Dengan begitu, seharusnya perusahaan menghentikan aktivitas. “Kalau sudah ada keputusan tetap yang membatalkan HGU, tapi perusahaan masih beroperasi, Ini sebenarnya terjadi pelanggaran hukum negara. Polisi, bisa memperkarakan perusahaan itu,” katanya.

Polisi,  seyogyanya memeriksa legalitas perusahaan karena beraktivitas di tanah masyarakat. “Di situ penegakan hukum sangat penting. Keberpihakan aparat penegak hukum terhadap kasus masyarakat ini sangat diperlukan. Bukan keberpihakan kepada yang memiliki uang.”

Hermansyah mengatakan, masyarakat harus melaporkan aktivitas perusahaan itu ke polisi. “Laporkan saja, mereka sudah merusak lingkungan tanpa alat hukum jelas.”

Arief Tridjoto, kuasa hukum yang ikut mendampingi warga mengatakan, hingga kini PTUN Pontianak belum menerima salinan putusan MA. Kala MA sudah menyampaikan salinan putusan, PTUN akan mengirim surat salinan itu ke BPN guna membatalkan HGU Sintang Raya. Jika salinan putusan itu tidak diindahkan BPN, warga bisa mengajukan surat eksekusi ke PTUN dan BPN.

 


Menang Gugat Perusahaan Sawit, Warga Kubu Belum Dapatkan Kepastian Hukum was first posted on June 5, 2014 at 12:29 am.

Perkebunan Sawit di Riau, Menyejahterakan Siapa?

$
0
0

lahan gambut yang terbakar di Riau. Foto: Zamzami

Riau merupakan  provinsi dengan  lahan sawit terluas di Indonesia, sekitar 2,1 juta hektar. Tak pelak, lahan mineral habis (up land), gambut pun jadi sasaran perkebunan produk ini.  Namun, pengeringan lahan gambut, terlebih gambut dalam menimbulkan masalah besar. Ia membuat gambut mudah terbakar. Kondisi ini memicu kebakaran hutan dan lahan.

“Kebakaran di Riau karena kondisi gambut kering.  Dahulu tidak pernah terjadi kebakaran karena masyarakat lewat kearifan lokal dapat mengelola gambut basah meskipun mereka melalui pembakaran lahan,” kata Arifudin, pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru, kepada Mongabay Indonesia di sela diskusi Industri Sawit Riau: Evaluasi dan Tantangannya ke Depan (4/614) yang diadakan Majalah Kontan.

Lahan gambut merupakan ekosistem basah, dengan pengeringan lewat drainase kanal menjadikan gambut kering dan mudah terbakar.  Akibatnya,  tujuan pengelolaan sawit lestari lewat panduan prinsip dan kriteria Roundatable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dirasa sulit. Hal ini pun tidak terlepas fakta, dari sekitar 9 juta hektar lahan sawit di Indonesia, 40 persen perkebunan rakyat skala kecil.

Dalam kasus di Riau, banyak perkebunan skala kecil dibuka masyarakat dari luar provinsi. Para pemukim pendatang ini membuka lahan di pesisir timur Riau yang merupakan lahan gambut.  Mereka memanfaatkan infrastruktur seperti kanal yang dibangun perusahaan, bahkan tak jarang menduduki lahan-lahan konsesi HTI dan sawit perusahaan.

Sudirman Yahya, Guru Besar Pertanian dari IPB menyebutkan, perkebunan sawit rakyat swadaya di Riau cenderung bermasalah karena selama ini pemerintah abai dan cenderung melakukan pembiaran.

“Beda jauh dengan model FELDA di Malaysia, dimana pemerintah mendukung para petani kecil, mereka dibangunkan kebun berstandar setara di perusahaan.”

“Kalau produktivitas kebun rakyat tinggi, tidak perlu kita buka hutan lagi. Sudah jadi rahasia umum, aparat pun memihak perusahaan ketimbang kebun rakyat. Seharusnya, pemerintah bertindak membina petani skala kecil ini.”

Sudirman menyatakan, pengelolaan model minim infrastruktur dan modal inilah yang sangat rentan menyulut risiko kebakaran di lahan gambut.

Bagaimana sawit mengeringkan lahan gambut. Ini gambarannya. Grafis: RAN

Menurut Arifudin terdapat dua akar permasalahan sawit di Riau. Pertama, persoalan lahan gambut kering dan kedua, rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) yang tak kunjung selesai.   Tarik-menarik RTRWP Riau adalah pengusulan “pemutihan” kawasan hutan yang akan mengkonversi jutaan hektar kawasan hutan yang sebelumnya dalam status hutan produksi konversi (HPK) menjadi area penggunaan lain (APL) yang merupakan kawasan non budidaya kehutanan.

Hudoyo, staf ahli Menteri Kehutanan mengatakan, secara keseluruhan Kemenhut mengalokasikan 17 juta hektar hutan produksi, sekitar 8,3 juta sudah pelepasan kawasan. Sekitar 80 persen dari angka itu pelepasan buat sawit, di Riau sekitar 2,1 juta hektar.

“Saya ganti nanya, sebenarnya Indonesia perlu sawit itu berapa? Sudah 8,3 juta hektar, rakyat belum sejahtera juga,” katanya.

Dia juga mempertanyakan bagaimana pengaturan petani inti dan plasma hingga tak memberikan dampak signifikan antara luar wilayah perkebunan dengan kesejahteraan masyarakat.

Menurut dia, di Sumatera, hutan produksi sekitar 5,2 juta hektar, untuk Riau 2,8 juta hektar. “Cukup luas. Dari 2,8 juta hektar di Riau itu sudah dimanfaatkan sekitar 1,5 juta hektar.”

Dia mengatakan, hasil citra satelit, kawasan HPK menjadi sawit, dengan tidak menyisakan lagi tutupan hutan.

Mengapa kawasan HPK menjadi sawit? “Yang memberi izin pembukaan sawit itu bupati, kepala daerah, kalau dari Kemenhut kami tidak pernah mengeluarkan izin sawit di kawasan hutan,” jawab Hudoyo.

Menurut dia, idealnya, RTRWP itu rencana tata ruang, bukan melegalkan keterlanjuran yang terjadi. “Tapi faktanya seperti itu.”

Hudoyo menjelaskan, pada 2012, pemerintah mengeluarkan kebijakan kebijakan atas ‘investasi keterlanjuran’ lewat PP 60.  PP ini dibuat setelah ada masalah perizinan. Perusahaan mendapat izin dari daerah berdasarkan tata ruang. Namun ketika di-overlay oleh Kemenhut, ternyata berada di kawasan hutan. “Nah, dengan PP itu, kalau terbukti perusahaan berizin benar secara tata ruang, maka ada pelepasan kawasan tanpa proses hukum. Itu jika di hutan produksi. Jika hutan produksi terbatas, pakai tukar kawasan.”

Secara nasional, kata Hudoyo, ada 229 perusahaan yang mengajukan pelepasan kawasan hutan karena ‘investasi keterlanjuran’ ini.  “Riau 20 perusaahan yang ajukan.”

Arief Juwono Deputi KLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim mengatakan,  berbicara sawit tentu larinya ke kebakaran. Perusahaan sawit besar, menyatakan sudah dilengkapi sarana dan prasarana termasuk penanganan kebakaran.  “Ini perlu diaudit. Benar ga itu. Harus dikejar. Apakah caranya sudah benar?” Dia mengacu kasus yang tengah ditangani KLH,  beberapa perusahaan besar menjadi terduga kebakaran hutan dan lahan di Riau.

Menurut dia, guna melindungi lahan gambut, pemerintah sedang menggodok peraturan pengelolaan gambut yang belum disetujui Presiden.

“Belum ada kata sepakat dari PP ini adalah tentang pengaturan kriteria kerusakan lahan gambut. Misal, jika ditanami sawit, berapa muka air tanah lahan gambut yang akan turun. Apakah batasnya 25, 50 atau 100 cm, jika kita sepakat, PP ini sebenarnya sudah final.”

Arief mengatakan, makin banyak permukaan air tanah di lahan gambut turun akibat sistem kanal drainase akan menyebabkan risiko pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer makin tinggi, seperti metana.

Peta titik api di Riau, antara lain dari kebun sawit. Riau, salah satu daerah di Indonesia langganan kebakaran hutan dan lahan karena gambut sudah banyak dikeringkan oleh kanal-kanal perusahaan hingga mudah terbakar. Foto: Eyes On The Forest

 

 


Perkebunan Sawit di Riau, Menyejahterakan Siapa? was first posted on June 5, 2014 at 1:32 pm.

Cuplikan Potret Ancaman Alam Negeri di Hari Lingkungan

$
0
0
Walhi aksi Hari Lingkungan Hidup di Jakarta, menyerukan penyelamatan lingkungan dari eksploitasi, mulai dari kawasan perisisr hingga hutan. Foto: Walhi

Walhi aksi Hari Lingkungan Hidup di Jakarta, menyerukan penyelamatan lingkungan dari eksploitasi, mulai dari kawasan perisisr hingga hutan. Foto: Walhi

“Raise your voice, not the sea level.” Itu merupakan tema  Hari Lingkungan Hidup Dunia tahun ini. Atau di Indonesia seruan itu menjadi,” Satukan langkah, lindungi ekosistem pesisir dari dampak perubahan iklim.” Ini sejalan dengan Indonesia, sebagai negara kepulauan yang  memiliki kerentanan tinggi menerima dampak perubahan iklim.

Bagaimana kondisi ekosistem pesisir di Indonesia? Parah. Kritis. Menurut Achmad Poernomo, staf ahli Menteri Kelautan dan Perikanan ekosistem pesisir negeri ini mengalami banyak kerusakan, seperti mangrove, dan terumbu karang, salah satu penyebab pengelolaan sumber daya tak lestari. Padahal, Indonesia memiliki keragaman laut begitu kaya.

“Kekayaan mangrove, terumbu karang, jenis ikan sampai ratusan jenis rumput laut ada di pesisir Indonesia.”

Ekosistem pesisir ini harus terjaga, demi keberlanjutan kekayaan alam yang beragam itu. Sayangnya, kata Achmad, peran penting ekosistem pesisir ini seakan terabaikan.

Kerusakan ekosistem pesisir Indonesia, kini makin parah dampak eksploitasi sumber daya alam tak lestari berkedok pembangunan ekonomi, seperti tambang maupun aktivitas lain.

Dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup, pada Kamis (5/6/14), inipun berbagai elemen masyarakat mengingatkan, betapa kehancuran ekosistem pesisir negeri ini sangat memprihatinkan.

Di Manado, Sulawesi Utara, misal, para aktivis lingkungan menyuarakan penolakan pada perusahaan tambang di Pulau Bangka, Minahasa Utara. Pulau dengan luas 4.000-an hektar itu kini merana. Mangrove di sebagian tepian pantai pulau itu sudah dibabat, dan lautpun ditimbun demi kepentingan fasilitas perusahaan tambang. Aktivitas ini otomatis berdampak pada ekosistem mangrove dan terumbu karang sekitar yang sudah dikenal para turis dengan keindahan alam bawah lautnya.

Aksi Tunai Hijau di Sulut, yang mendesak tambang MMP keluar dari Pulau Bangka. Foto: Tunai Hijau

Aksi Tunai Hijau di Sulut, yang mendesak tambang MMP keluar dari Pulau Bangka. Foto: Tunai Hijau

Warga tak terima dengan perusakan ini, terlebih bakal berdampak langsung bagi mereka yang kehidupan sehari-hari dari laut. Mereka mengajukan gugatan ke pengadilan dan menang sampai Mahkamah Agung. Namun, semua upaya mereka seakan tak digubris pemerintah.

Para pegiat lingkungan menilai, aparat pemerintah daerah cenderung berpihak PT Mikgro Metal Perdana (MMP), padahal putusan MA menyatakan Pulau Bangka tak layak menjadi lokasi pertambangan. Kini, MMP berupaya menguasai daratan dan perairan pulau itu. Pekan lalu, para turis yang tengah menyelam dilarang dan diteror. Kamera mereka diambil dan diminta menghapus dokumentasi kerusakan bawah laut diduga dampak aktivitas tambang.

Tunas Hijau bersama pecinta alam menggelar orasi dan membentang  spanduk mengecam pertambangan di Bangka. Mereka menyatakan lima tuntutan. Pertama, usir MMP dari Bangka. Kedua, ganti Kapolda Sulut yang mengabaikan UU dan putusan MA.

Ketiga, turunkan Bupati Minut karena penjahat lingkungan dan penjarah sumber daya alam. Keempat, rakyat Pulau Bangka berdaulat dan berkuasa atas pulau dan laut. Kelima, bebaskan tanah Minahasa dari perusahaan tambang asing dan perusakan lingkungan.

Maria Taramen, ketua Tunas Hijau, mengatakan, para aktivis melihat poin-poin itu berdasarkan dari fakta di lapangan. Pengusaha tambang seakan kebal hukum. Putusan MA yang menyatakan Pulau Bangka, tak layak jadi pertambangan tidak digubris pemerintah daerah. “Bupati tidak menjalankan putusan hukum.”

Dia tambah kecewa kala bupati malah menyatakan putusan MA kadaluarsa. “Makin terlihat keberpihakan Bupati Minut pada perusahaan tambang.”

Aksi Tunah Hijau di Hari Lingkungan menyerukan penyelamatan Pulau Bangka. Foto: Tunas Hijau

Aksi Tunah Hijau di Hari Lingkungan menyerukan penyelamatan Pulau Bangka. Foto: Tunas Hijau

Maria mengatakan, pemerintah kabupaten mengaku memiliki izin baru. Padahal, SK Bupati yang dikatakan baru itu merupakan perpanjangan dari izin-izin sebelumnya. “Putusan MA telah membatalkan SK IUP No 162, turut membatalkan izin-izin setelah itu,” ujar dia.

Bagaimana posisi kepolisian? “Mereka tidak mengambil posisi sebagai pengayom, malah memihak dan membela pengusaha.”

Menurut Maria, jika warga berbuat kesalahan, polisi cepat bertindak. Berbeda kala pengusaha tambang. “Ini, kan, lucu. Bisa-bisanya mereka melarang orang menyelam. Mereka pikir telah membeli laut.”

Pulau Bangka, hanya salah satu potret keterancaman ekosistem perisir. Di Sulawesi Selatan atau di Sumatera Utara, sebagian besar mangrove rusak karena alih fungsi menjadi tambak, bahkan kebun sawit.

Juga di Kepulauan Aru, terancam menjadi perkebunan. Baru saja lepas dari cengkraman perusahaan yang bakal membuka kebun tebu, kini muncul kabar kebun sawit akan bercokol.

“Ini bahaya sekali, bisa mengancam perairan sekitar yang sudah dikenal memiliki produksi perikanan tinggi,” kata  Cherry Yunia, kepala sub Direktorat Lahan Basah, Kementerian Kehutanan.

Aksi Hari Lingkungan Hidup di Palembang menyerukan perlindungan Sungai Musi dari pencemaran. Foto: Taufik Wijaya

Aksi Hari Lingkungan Hidup di Palembang menyerukan perlindungan Sungai Musi dari pencemaran. Foto: Taufik Wijaya

Di Palembang, Sulawesi Selatan, kekhawatiran Sungai Musi yang tercemar diusung para pegiat lingkungan dalam memperingati HLH tahun ini. Sebuah spanduk besar terbentang di Sungai Musi, tak jauh dari Jembatan Ampera. “Stop!!! Cemari Sungai Musi”

Spanduk itu ditarik menggunakan dua perahu ketek mengelilingi Sungai Musi yang mengalir di Palembang, sebelum dibentangkan di tepi Jembatan Ampera.

Pesan cukup jelas itu disampaikan para pengiat lingkungan hidup dari Walhi Sumsel, Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI), Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel dalam memeringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2014.

Para aktivis membagikan selebaran yang menuntut pemerintah melakukan empat langkah penyelamatan Sungai Musi. Pertama, selamatkan Sungai Musi dan ekosistem dengan menghentikan semua aktivitas industri di sepanjang aliran sungai. Hentikan segera pembuangan limbah industri ke sungai.

Kedua, setop alih fungsi lahan gambut untuk pembangunan pelabuhan pertambangan. Ketiga, berikan sanksi bagi pemerintah dan perusahaan yang merusak lingkungan hidup di Sumsel tanpa terkecuali. Keempat, segera masukkan pendidikan lingkungan hidup dalam kurikulum sekolah dari SD hingga SMA.

“Sungai Musi kian memprihatinkan. Apalagi air sudah tercemar merkuri,” kata Norman Cegame, koordinator aksi.

Sungai Musi merupakan jantung kehidupan warga Sumsel sejak dulu, tetapi belum ada  upaya perlindungan dari berbagai ancaman pencemaran dan perusakan ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Tidak heran, katanya, kini Sungai Musi kehilangan sekitar 221 anak sungai.

Bahkan, sejumlah ikan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti baung, juaro, lais, dan patin, kini diduga mengandung merkuri.

Peringatan Hari Lingkungan Hidup di Pontianak juga mengingatkan berbagai permasalahan lingkungan dampak industri ekstraktif. Foto: Andi Fachrizal

Peringatan Hari Lingkungan Hidup di Pontianak juga mengingatkan berbagai permasalahan lingkungan dampak industri ekstraktif. Foto: Andi Fachrizal

Di Pontianak, Kalimantan Barat, Koalisi Masyarakat Sipil menggelar aksi damai di Tugu Digulis Universitas Tanjungpura Pontianak, Kamis (5/6/14). Mereka menuntut penyelamatan ekosistem Kalimantan demi keberlanjutan kehidupan rakyat.

“Hari ini kita kembali turun ke jalan untuk satu tujuan sama, selamatkan ekosistem Kalimantan demi keberlanjutan hidup manusia,” kata Hendrikus Adam, dari Walhi Kalbar, juga koordinator aksi.

Mereka juga mengusung sejumlah pamflet bertuliskan berbagai seruan. “Hentikan Izin pertambangan dan perkebunan.” “Stop ekspansi sawit.” “Jangan rampas tanah adat.” “Selesaikan konflik agraria, implementasikan putusan MK 35.” “Hutan adat bukan hutan negara.” “Tanah untuk rakyat.” “Cintai lingkunganmu cintai hidupmu.”

Beragam seruan itu akumulasi dari sejumlah persoalan di Kalbar belakangan ini. Fakta menunjukkan, krisis lingkungan hidup bersumber dari persoalan struktural. Industri ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan, hutan tanaman skala luas, memicu kerusakan ruang hidup masyarakat dan habitat satwa.

Adam mencontohkan, kriminalisasi warga Batu Daya Ketapang. Mereka hingga kini masih mendekam dalam tanahan Polda Kalbar. Kasus ini dipicu kehaidran PT Swadaya Mukti Prakarsa (First Resources).

“Krisis air dan krisis lahan pangan, konflik sumber daya agraria, bencana kabut asap terus berulang, pengabaian hak-hak komunitas atas hadirnya korporasi melahirkan persoalan ketidakadilan dan kemanusiaan.”

Catatan koalisi, izin korporasi ekstraktif di Kalbar, perkebunan sawit mencapai 378 izin dengan luas 4.962,022 hektar. Ada 721 izin pertambangan luas 5.074,338 hektar, dan 76 HTI seluas 3.611,721 hektar. Luas keseluruhan mencapai 13,648,081 hektar. Angka ini memperlihatkan ketimpangan luar biasa atas pemanfaatan sumber daya alam. “Kebijakan ini berpotensi melahirkan pelanggaran dan perampasan tanah masyarakat.”

Aksi Greenpeace ke KPK menyerukan perlindungan kekayaan alam negeri. yang ditampilkan lewat Raung dan Umba, sebagai capres dan cawapres perwakilan lingkungan. Foto: Greenpeace

Aksi Greenpeace ke KPK menyerukan perlindungan kekayaan alam negeri. yang ditampilkan lewat Raung dan Umba, sebagai capres dan cawapres perwakilan lingkungan. Foto: Greenpeace

Dari Gorontalo, Hari Lingkungan Hidup, terasa spesial bagi RRI Gorontalo. Tepat hari itu, salah satu program unggulan “Kabar dari Alam” berusia tiga tahun. Program ini memberikan ruang publik menyuarakan kondisi lingkungan di Gorontalo.

“Di Gorontalo, media besar tidak memberikan ruang kepada isu-isu lingkungan. Semua bicara soal politik praktis. Media akan menayangkan berita lingkungan ketika sudah ada bencana seperti banjir. Sifanya reaktif, tanpa mencari akar penyebab bencana. Beruntung RRI memberikan ruang,” kata Syamsul Huda Suhari, ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo, kepada Mongabay, Kamis (5/6/14).

Budi Akantu, penyiar RRI Gorontalo, mengatakan, dampak Kabar dari Alam ini sangat terasa. Selain menjembatani komunikasi antara penggiat lingkungan dan pengambil kebijakan, masyarakat menjadi tahu mengenai informasi lingkungan di wilayah mereka. “Ini harus terus disuarakan. Sekarang tinggal bagaimana sikap pemerintah menindaklanjuti kondisi lingkungan di Gorontalo,” kata Budi.

Aksi Walhi di Jakarta yang menyerukan penyelamatan pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman kehancuran seperti oleh tambang. Foto: Walhi

Aksi Walhi di Jakarta yang menyerukan penyelamatan pesisir dan pulau-pulau kecil dari ancaman kehancuran seperti oleh tambang. Foto: Walhi

Pemimpin baru peduli lingkungan 

Jakarta juga tak ketinggalan dalam memperingati Hari Lingkungan ini. Berbagai elemen masyarakat juga menyuarakan penyelamatan lingkungan, terlebih menjelang pemilihan pemimpin baru.

Walhi Nasional menggelar aksi menyuarakan lingkungan negeri, yang tengah kritis. Aktivitas perusahaan merusak hutan dan pertambangan di pulau-pulau kecil makin marak. Reklamasi pantai juga menggila  seperti di Bali, Manado, Palu dan banyak lagi.

Mereka juga aksi ke KPU, sekaligus merespon debat capres agar mengedepankan topik lingkungan hidup demi pemulihan negeri.

Greenpeace kembali  tampil dengan capres dan cawapres lingkungan, Raung dan Umba,  yang mendatangi KPK buat mendaftarkan harta kekayaan alam Indonesia.  Ia sebagai simbol seruan dan mengajak pemerintahan mendatang melindungi, menjaga, dan menyelamatkan kekayaan alam Indonesia.

Aksi Raung dan Umba ini simbol guna memastikan proses pembangunan lima tahun ke depan tidak membuat kekayaan alam hilang, rusak, atau berkurang.

Hindun Mulaika, jurukampanye Greenpeace Indonesia mengatakan, praktik korupsi berakibat karena pengelolaan sumber daya alam buruk lantaran ekspolitasi tidak bertanggung jawab. “Kami mendesak penegakan hukum dengan pendekatan terpadu antara KPK, kementerian, dan lembaga pemerintahan lain benar-benar dilaksanakan.”

Kekayaan alam Indonesia mencakup 8.157 spesies fauna atau mencakup 10% dari keberagaman spesies dunia, serta 15,5% dari total tumbuh-tumbuhan di dunia. Potensi sumber daya ikan Indonesia mencapai 6,52 juta ton pertahun dengan luas terumbu karang mencapai 50.875 km2 atau 18% dari total luas dunia. Padang lamun hingga 30.000 km2.

Indonesia termasuk 10 negara dengan potensi ketersediaan air tertinggi di dunia mencapai 694 miliar m3 per tahun dan ketersediaan air rata-rata per kapita lebih besar dari rata-rata di dunia yakni 16.800 m3 per kapita per tahun. Di antaranya, mengaliri lebih dari 5.590 sungai di seluruh Indonesia.

Indonesia terletak di khatulistiwa juga memanen sinar matahari sepanjang tahun hingga menghasilkan 4,80 kWh per meter persegi per hari, dan potensi energi angin 3-6 m/ det. Energi dari mikrohidro berpotensi menghasilkan 450 MW.

Capres dan cawapres, Raung dan Umba, melaporkan kekayaan alam Indonesia ke KPK, sebagai simbol harapan agar pemimpin baru dalam membuat perencanaan ke depan tak makin merusak alam dan bisa menjaga kekayaan alam Indonesia. Foto: Greenpeace

Capres dan cawapres, Raung dan Umba, melaporkan kekayaan alam Indonesia ke KPK, sebagai simbol harapan agar pemimpin baru dalam membuat perencanaan ke depan tak makin merusak alam dan bisa menjaga kekayaan alam Indonesia. Foto: Greenpeace

Kekayaan ini belum memasukkan potensi energi panas bumi yang terbesar di dunia dengan perkiraan 296 titik potensi dan bisa menghasilkan energi 29.038 GW.

Di sektor kehutanan tercatat luas hutan Indonesia mencapai 132,54 juta hektar, tersisa 94,34 juta hektar pada 2012. Luas lahan gambut dari 21,53 juta hektar tersisa 10,82 juta hektar pada 2011.

Sedang Pemerintah Indonesia juga punya agenda di hari ini. Puncak peringatan HLH 2014 diselenggarakan di Istana Wakil Presiden Boediono.

Pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup, memberikan penghargaan lingkungan hidup, yaitu Adipura, Kalpataru, Adiwiyata Mandiri serta Penyusun Status Lingkungan Hidup Daerah Terbaik.

KLH bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan kepada sekolah berbudaya lingkungan melalui Program Adiwiyata, hingga 2014 diikuti 6.357 sekolah. Tahun ini, Dewan Pertimbangan Adiwiyata menetapkan peraih penghargaan Adiwiyata Mandiri kepada 44 sekolah dari 10 provinsi.

Evaluasi terhadap Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dilakukan guna mendorong pemerintah daerah melaporkan kondisi lingkungan hidup. Tahun ini,  penyusun SLHD 2013 terbaik untuk kategori provinsi adalah Sumatera Barat, Jambi, dan Jawa Timur. Untuk kategori kabupaten/kota diraih Dharmasraya, Padang dan Sungai Penuh.

Wapres memberikan penghargaan lingkungan dan menandatangani sampul hari pertama perangko seri peduli lingkungan: Hari Lingkungan Hidup 2014.

 


Cuplikan Potret Ancaman Alam Negeri di Hari Lingkungan was first posted on June 5, 2014 at 11:42 pm.

Penguatan Agroforestry Warga Gorontalo di Tengah Serbuan Sawit dan HTI

$
0
0

Umi Lamara, warga Desa Molanihu, Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo, saat panen kacang tanah. Warga di desa ini dipusingkan oleh perusahaan sawit yang kini mengincar tanah mereka. Foto: Christopel Paino

Populasi penduduk Gorontalo sekitar 1.084.192 jiwa, dengan mata pencaharian utama  sektor pertanian. Kini, perusahaan sawit dan hutan tanaman industri mulai masuk. Sejak 2009, pemerintah daerah membuka investasi bagi kedua sektor ini. Model investasi masuk di beberapa kabupaten, seperti Pohuwato, Gorontalo, Boalemo dan Gorontalo Utara.

Berdasarkan pengamatan Agroforestry and Forestry in Sulawesi (Agfor Sulawesi), ada lima sistem pertanian utama petani kecil, yaitu jagung, kelapa, kakao, kayu-kayuan, dan kebun campuran di pekarangan rumah.

Program Agfor Sulawesi memulai kerjasama dengan Kabupaten Gorontalo dan Boalemo, dalam meningkatkan pendapatan petani kecil melalui agroforestry atau kebun campur dan kehutanan setara serta berkelanjutan. Kerjasama ini dimulai dengan lokakarya pembukaan Agfor Sulawesi di Gorontalo, Selasa, (3/6/14).

James M. Roshetko, pimpinan Agfor Sulawesi mengatakan, program ini untuk meningkatkan sistem pertanian melalui kebun campur, sekaligus berusaha melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan. “Juga mendorong pengelolaan lingkungan berkelanjutan,” katanya.

Pengelolaan sistem pertanian warga masih tradisional. Namun, populasi dan permintaan pasar bertambah, maka intensifikasi produksi sangat diperlukan. “Namun harus dengan metode sesuai kondisi masyarakat dan memperhatikan kelestarian lingkungan.”

Menurut dia, Gorontalo dan Boalemo dipilih menjadi fokus Agfor Sulawesi berdasarkan empat kriteria. Yaitu, keberadaan kebun campur banyak di masyarakat, komitmen petani memperbaiki sistem kebun, keberadaan hutan, serta dukungan pemerintah daerah.

“Kami menyelaraskan pengalaman kami dengan pengetahuan para pemangku kepentingan, dan kearifan lokal guna memperoleh solusi tepat,” kata Roshetko.

Program ini, didanai Canadian International Development Agency (Cida), dan dimulai 2011 di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Kegiatan ini dipimpin World Agroforestry Centre (ICRAF) berkolaborasi dengan Center of International Forestry Research (Cifor), Winrock International, Operation Wallacea terpadu, Universitas Hasanudin, serta Bappenas.

Kebun campur ini sistem menggabungkan pertanian dan kehutanan. Tanaman jangka panjang dipadu dengan pangan dan ternak. Pengalaman membuktikan, agroforestry bisa meningkatkan pendapatan petani dan menjaga kelestarian lingkungan.

“Sambutan pemerintah daerah di Gorontalo sangatlah menggembirakan. Kami mendapat banyak dukungan. Ini permulaan baik.”

Kebun sawit di Kabupaten Banggai, provinsi tetangga Gorontalo, Sulawesi Tengah. Perusahaan sawit sudah menyebabkan banyak konflik dengan warga maupun petani, yang lahan atau kebun mereka terampas. Foto: Pusar-Banggai

Rahman Dako, aktivis lingkungan di Gorontalo mengingatkan, ICRAF harus lebih mengenal Gorontalo. Dia kecewa dengan alih fungsi hutan melalui konseptor beberapa akademisi di Gorontalo tergabung dalam tim terpadu. Merekalah yang melahirkan SK Menhut-II No. 325 tahun 2010 tentang luas kawasan hutan. Kini, luas kawasan hutan 824.668 hektar.

“Jangan sampai lokasi ICRAF ini di wilayah alih fungsi hutan. Sebab kebijakan kehutanan Gorontalo, banyak analisis politik ketimbang ilmiah,” kata Rahman.

Dia mempertanyakan apakah ICRAF dengan Agfor Sulawesi mendukung perkebunan sawit atau tidak. Sebab di Gorontalo, warga dibujuk menjual tanah dengan harga murah kepada perusahaan sawit. Hingga banyak petani tak lagi memiliki tanah dan akan menjadi pekerja di perusahaan sawit. Roshetko mengatakan, Agfor bukan protes keberadaan sawit tetapi di banyak tempat, produk tidak cocok untuk petani kecil. “Juga tidak cocok untuk tiga komponen Agfor, yaitu mata pencaharian, tata kelola, dan lingkungan.”

Dalam lokakarya itu, masing-masing pemerintah daerah ikut persentasi. Dari pemaparan pemerintah Kabupaten Gorontalo, terungkap daerah itu menjalin kerjasama dengan tiga perusahaan sawit, yaitu PT Tri Palma Nusantara 8.998 hektar, PT Agro Palma Khatulistiwa 11.292 hektar, dan PT Heksa Palma seluas 14.168 hektar. Untuk HTI yaitu PT Gorontalo Citra Lestari 46.170 hektar.

Husen Alhasni, kepala Dinas Kehutanan Gorontalo, memaparkan, saat ini menggalang kolaboratif masyarakat di Gorontalo dengan HTI. Menurut dia, sudah ada 20 kelompok masyarakat bekerjasama dengan dua HTI di Gorontalo Utara.“Tiap hari, ada 20 hektar ditanam ribuan pekerja HTI di Gorontalo Utara. Saya rasa ini sangat bagus.”

Nurdin, kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan mengatakan, di Balemo, perkebunan sawit sudah beroperasi PT Agro Artha Surya, milik Artalita Suryani. Namun, sejak 2012, pemerintah Boalemo menanam kakao sebagai unggulan dengan sistem pertanian terintegrasi.

“Kalau sawit, saat ini 4.800 hektar ditanam dari izin 20.000 hektar. Di Boalemo skema 50 inti 50 plasma. Semua sudah proses perizinan. Jika kemudian hari bermasalah,  kami akan menagih janji perusahaan. Kalau perlu izin kami dicabut.”


Penguatan Agroforestry Warga Gorontalo di Tengah Serbuan Sawit dan HTI was first posted on June 7, 2014 at 2:51 pm.

Sepanjang Mei, Polisi Sita Belasan Satwa Dilindungi di Aceh

$
0
0
Tulang belulang gajah yang disita dari operasi penangkapan perdagangan ilegal satwa liar di Aceh Barat. Foto: Istimewa

Tulang belulang gajah yang disita dari operasi penangkapan perdagangan ilegal satwa liar di Aceh Barat. Foto: Istimewa

Sepanjang Mei 2014, Reskrimsus Polda Aceh dengan Wildlife Conservation Society (WCS) menyita belasan satwa dilindungi, dari siamang sampai offset harimau. Dua pedagang gading dan tulang gajahpun ditangkap di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat.

Dalam keterangan WCS, Rabu (4/6/14) pada 27-28 Mei, Reskrimsus Polda Aceh dibantu WCU, Sumatran Orangutan Conservation Programme, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyita satwa-satwa langka dari rumah Khairil. Dia terkenal dengan nama Limbat, warga Desa Kandang, Kecamatan Kluet Selatan, Aceh Selatan.

Selama ini, Limbat dicurigai sebagai perantara perdagangan satwa dari pemburu kepada kolektor. Dia terkenal mengkoleksi banyak satwa dilindungi mulai orangutan, beruang, siamang, buaya, elang, dan lain-lain. Sudah bertahun-tahun Limbat memelihara satwa-satwa tanpa izin dan dijadikan tontonan pengunjung yang berwisata ke tempatnya. Selama itupun, tak ada aparat hukum berani menyita satwa-satwa yang kebanyakan dipelihara di kandang tak layak ini.

Sebagian satwa langka seperti anak orangutan dan beruang, mati akhir tahun lalu karena terjebak dalam kandang saat banjir. Dari data  polisi, satwa-satwa langka datang dan pergi silih berganti hingga mencurigai pria ini perantara perdagangan satwa langka di Aceh Selatan. Namun masih terus diselidiki.

Sejumlah spesies dilindungi disita dalam operasi itu, termasuk dua buaya muara, siamang, tupai jelang, landak, empat kukang,  elang perontok, elang laut dan bangau tong-tong.

Offset harimau yang disita dari rumah warga. Foto: WCS

Offset harimau yang disita dari rumah warga. Foto: WCS

Tim juga menyita satu offset harimau Sumatera dari rumah Monalisa, warga Aceh Barat. Monalisa sudah mengkoleksi offset harimau selama 13 tahun.

Polda Aceh belum menyelidiki lebih lanjut Limbat maupun Monalisa. Polisi baru menyita satwa-satwa dilindungi yang kini di karantina BKSDA.

AKBP Joko Irwanto, direktur Divisi Reskrimsus Polda Aceh meminta masyarakat mendukung upaya melestarikan satwa liar Indonesia. “Kami terus bekerja sama dengan LSM nasional dan internasional.”

Rabu (4/6/14), Polda Aceh menangkap dua pedagang gading  dan tulang gajah, yakni Dedi Julian warga Desa Ujung Kalak dan Ahmad Fahrial warga Desa Kutapadang. Dari operasi berpura-pura hendak membeli, polisi menyita satu gading dan caling gajah seberat empat kilogram dan 650 kilogram tulang belulang gajah.

Polisi masih nyelidiki apakah gading dan tulang itu dari gajah mati dibunuh di Desa Teupin Panah, Kaway XVI pada awal April 2014. Kondisi tulang belulang bau dan berbelatung. “Kami meyakini tulang itu setidaknya dari dua gajah.”

Polisi masih memeriksa para tersangka. Keduanya dikenai tahanan luar dan wajib lapor dua kali seminggu.

“Ini langkah maju yang penting dalam menangani perburuan dan perdagangan satwa liar,” kata Ian Singleton, direktur SOCP.

Noviar Andayani, country director program WCS-Indonesia menghargai upaya polisi mengungkap sindikat satwa liar di Aceh.

 


Sepanjang Mei, Polisi Sita Belasan Satwa Dilindungi di Aceh was first posted on June 7, 2014 at 8:26 pm.

Hutan Nahornop Dibabat, Pemerintah dan Aparat Tutup Mata

$
0
0
Kayu yang ditebang dari kawasan hutan di Sumut, dikumpulkan di satu tempat untuk  diselundupkan ke luar negeri. Foto: Ayat S Karokaro

Kayu yang ditebang dari kawasan hutan di Sumut, dikumpulkan di satu tempat untuk diselundupkan ke luar negeri. Foto: Ayat S Karokaro

Pembabatan hutan terus terjadi di Sumatera Utara. Kini, Desa Sungai Datar, Kecamatan Dolok, Kabupaten Padanglawas Utara,  jadi sasaran. Hutan Nahornop yang menjadi tempat hidup masyarakat adat Batak dirambah dan beralih menjadi perkebunan sawit. Laporan  warga tak digubris pemerintah dan aparat, penebangan terus terjadi.

Informasi Komunitas Pemuda Batak Penjaga Hutan Adat Nahornop, kerusakan hutan sekitar 88 hektar lebih. Sahut Sinaga, anggota komunitas kepada Mongabay Rabu (4/6/14) mengatakan, pembalakan hutan Nahornop sudah berlangsung hampir dua tahun.

Mereka sudah melaporkan kasus ini ke polisi dan Dinas Kehutanan kabupaten maupun provinsi. Namun, laporan  seakan diabaikan. “Sampai saat ini tidak ada tindakan apapun untuk menghentikan penggundulan hutan adat Nahornop,” katanya.

Dia sempat mencoba menghentikan perambah hutan yang tengah menebang kayu. Namun mendapat perlawanan. Bahkan, ketika truk mengangkut kayu melintas di desa, sempat dihentikan dibantu pemuka adat. Lagi-lagi, tidak menyurutkan pelaku menjalankan aksi.

“Aparat terkesan mengabaikan. Ini penuh tanda tanya. Mengapa dibiarkan penebangan hutan adat Nahornop Desa Sungai Datar. Kami pertanyakan ke ketua Poktan Mekar Nauli, namanya Toib Harahap, dan kepala Desa Sungai Datar, Panggabean Harahap. Mereka membantah illegal logging. Katanya itu kayu dari kebun warga. Bohong itu semua, ” kata Sinaga.

Benny Pasaribu, pemuda adat Desa Sungai Datar, menyatakan, ketika menghentikan truk kayu, sopir bernama Budi Pangaribuan, menunjukkan secarik kertas berisikan izin mengolah kayu. Lembaran kertas tertanggal 5 Oktober 2014, terdapat keterangan dari Koptan Mekar Nauli.  Isinya menyebutkan, mereka memiliki surat dokumen kayu. Atas dasar itulah mereka melepaskan truk yang memuat berbagai jenis kayu hutan Nahornop.

“Kami sempat pegang surat itu. Sopir bukan orang kampung kami. Dia hanya mengangkut kayu keluar hutan.”

Dari penelusuran, perusahaan itu ada sejak akhir 2012. Pada 2013, baru mulai beroperasi. Kayu-kayu dimuat ke truk dan dibawa ke Pelabuhan Tanjung Balai untuk diseludupkan ke luar negeri, seperti Singapura dan Tiongkok.

Benny mengatakan,  truk membawa kayu-kayu melintasi Danau Toba, Parapat, lalu Pematang Siantar. Berhenti di Lima Puluh, Kabupaten Batubara. “Kayu-kayu besar dipindahkan menjadi beberapa bagian. Setelah itu dibawa truk ke jalur laut Batubara. Sebagian ke Pelabuhan Tanjung Balai. Ada juga yang menggunakan jalur darat Kota Rantau Parapat.”

Kusnadi Oldani direktur eksekutif Walhi Sumut , mengatakan, sebagian besar lahan di Sumut menjadi perkebunan sawit dan karet. Selebihnya, perkebunan cokelat.

Hasil survei mereka, khusus perkebunan, selama ini dikelola swasta maupun negara. Sumut menghasilkan karet, cokelat, teh, sawit, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau. Perkebunan ini tersebar di Kabupaten Deli Serdang, Langkat, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, dan Tapanuli Selatan.

Untuk luas tani padi, 2005 tinggal 807.302 hektar, turun 16.906 hektar dibanding 2004 mencapai 824.208 hektar. Perkebunan karet 2002, 489.491 hektar, produksi 443.743 ton. Pada 2005, luas karet tinggal 477.000 hektar dengan produksi hanya 392.000 ton.

“Area karet dan sawit itu, sudah banyak masuk kawasan hutan lindung.”

Menurut dia, kawasan hutan banyak menjadi perkebunan sawit dan karet, di bagian utara, selatan dan timur Sumut. “Salah satu, di hutan Nahornop.”

Kayu-kayu dari hutan, dibawa keluar wilayah utaraSumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro

Kayu-kayu dari hutan, dibawa keluar wilayah utaraSumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro

 


Hutan Nahornop Dibabat, Pemerintah dan Aparat Tutup Mata was first posted on June 8, 2014 at 5:54 pm.

Penyelamatan Penyu dan Terumbu Karang di Pesisir Malang

$
0
0
Iwan Yudha dan Rosek Nursahid usai penandatanganan kerjasama antara Pokmaswas Gatra Alam Lestari dengan ProFauna Indonesia. Foto: Petrus Riski

Iwan Yudha dan Rosek Nursahid usai penandatanganan kerjasama antara Pokmaswas Gatra Alam Lestari dengan ProFauna Indonesia. Foto: Petrus Riski

Kondisi terumbu karang dan populasi penyu di pesisir pantai Kabupaten Malang, mengkhawatirkan karena pencurian dan penangkapan liar. Titik rawan penangkapan penyu di enam kecamatan, antara lain, Ponomulyo, Sumber, Manjing, dan Wetan. Bersyukur, ada insiatif masyarakat memulai penyelamatan kekayaan laut ini.

Sri Seswanti, anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Gatra Alam Lestari mengatakan, penangkapan dan perdagangan telur penyu, serta pencurian terumbu karang di perairan pesisir selatan Malang menyebabkan tangkapan nelayan berkurang.

Awal Maret, katanya, memasuki musim ikan. Pada April produksi ikan makin banyak sampai Mei. “Sekarang tangkapan tidak mesti, apalagi kalau ada angin atau badai. Rata-rata itu kami bisa dapat delapan boks, satu boks sekitar dua kuintal. Sudah jauh berkurang,” katanya di Malang, awal Juni 2014.

Dia yakin, kerusakan terumbu karang dan penangkapan penyu menjadi penyebab utama tangkapan ikan berkurang.

Sri menceritakan, penyu diperjualbelikan Rp75.000 per kilogram. Berat rata-rata penyu dewasa 75-90 kilogram. “Setelah dibeli dipotong dan diasap, itu dikonsumsi, infonya untuk obat kuat,” katanya.

Konservasi mulai dilakukan Gatra Alam Lestari karena prihatin kerusakan terumbu karang dan pencurian penyu. Menurut Iwan Yudha, wakil ketua Pokmaswas Gatra Alam Lestari, mengatakan, konservasi penyu untuk mengembalikan populasi yang banyak hilang.

Anggota Gatra Alam Lestari kebanyakan masyarakat setempat yang bertekat menjaga kelestarian penyu dengan membudidayakan dan melepasliarkan kembali ke habitat.

Sejauh ini, Gatra Alam Lestari telah melepas lebih 800 tukik ke laut, dan sosialisasi kepada masyarakat agar tak menangkap penyu.

Rosek Nursahid, ketua ProFauna Indonesia, mengutarakan, kerjasama antara ProFauna dengan Gatra Alam Lestari menekankan penguatan lembaga, peningkatan kapasitas, pengetahuan, serta keterampilan anggota. Termasuk, penanganan penyu dan pemindahan telur. ProFauna juga membantu membuatkan desain dan konsep ecotourism ramah lingkungan.

Agung Revolusi, kepala seksi Sumber Daya Laut dan Pesisir, Dinas Kelautan dan Perikanan Malang, mengatakan, perlu pengawasan intensif melibatkan masyarakat. “Kami lakukan dan libatkan masyarakat. Kami tidak bisa sendiri.”

Pada kecamatan-kecamatan rawan itu, pelaku memotong terumbu karang berusia lima tahun. Kondisi ini, katanya, menyebabkan nelayan kehilangan area tangkap. Ekosistem laut pun rusak.

“Kelompok masyarakat ini sangat penting. Kita perlu membina dan bersinergi. Tenaga pemerintah hanya bisa menyediakan tiga orang di setiap lokasi, tidak akan mencukupi,” kata Agung.

Bunga karang yang diperjualbelikan. Foto: Petrus Riski

Bunga karang yang diperjualbelikan. Foto: Petrus Riski


Penyelamatan Penyu dan Terumbu Karang di Pesisir Malang was first posted on June 9, 2014 at 3:41 am.

Keluarkan Dana Besar, Penanganan Sungai Citarum Dinilai Belum Efektif

$
0
0

 

Aktivis Greenpeace menandai saluran pembuangan limbah yang mengalir ke Sungai Citarum. Foto: Greenpeace

Masalah Sungai Citarum, hingga kini belum selesai. Pencemaran air di ambang batas, membawa Citarum, mendapat predikat salah satu sungai tercemar di dunia. Berbagai upaya mengembalikan fungsi sungai ini sudah dilakukan. Salah satu, skema program Integrated Citarum Water Resources Management Investment Program, yang dicanangkan sejak 2005 oleh Bappenas dan Asian Development Bank (ADB).

Desember 2008, ADB menyetujui pendanaan melalui pinjaman US$500 juta, dibagi empat tahap dan dijalankan selama 15 tahun melalui skema multitrache financing facility (MFF). Pinjaman ADB tahap pertama Rp50 miliar.

Dadang Sudarja, dari Dewan Walhi Nasional, mengatakan, Citarum sangat kritis dan sakit. “Proyek ICWRMIP awalnya diyakini model yang mampu menjawab persoalan Citarum. Kenyataan membuat Indonesia makin banyak utang,” katanya dalam diskusi publik di Bandung, Kamis (5/6/14).

Dia mengatakan,  utang luar negeri untuk proyek ini terus berjalan. Sedang penanganan belum efektif.

Ali Iskandar, kepala Desa Tarumaja,  Kecamatan Kertasarti, mengatakan, Gunung Wayang di Kecamatan kertasari,  Bandung Selatan merupakan hulu sungai Citarum. Sebanyak 39.603 warga atau sekitar 70% mata pencaharian sebagai petani. Namun, mereka mengalami krisis air bersih. Debit sumber mata air menurun drastis karena alih fungsi hutan. Sungai juga tercemar limbah ternak sapi, dan sampah rumah tangga dan lain-lain.

Menurut Ali, yang menjadi permasalahan masih banyak kandang sapi perah berjejer di sepadan sungai. “Tahun 2014 dari Dinas Peternakan ada program pengandangan sapi milik warga. Bantuan 150  kandang. Jadi masalah karena tidak ada lahan.  Hingga kandang berjejer di sepadan sungai. Kotoran dibuang ke sungai.”

Dia berharap, ada bantuan pemerintah untuk memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas. “Lahan kami perkebunan dan Perhutani. PTPN VIII luas sekali. Kami berharap mereka bisa mengalokasikan untuk kepentingan warga.”

Cellica Nurrachadiana, wakil Bupati Karawang mengatakan, sudah banyak alihfungsi lahan imbas makin banyak pabrik di kawasan itu. Untuk itu, perlu kebijakan pemerintah serius pemerintah mengendalikan perusahaan.

“Saya menyadari program ini tak bisa langsung. Pasti ada prioritas. Mungkin utama kawasan hulu. Karawang tetap perlu pertanian lebih.  Apalagi akan ada MP3EI. Pembangunan bandara dan pelabuhan, sebagai proyek akan berpengaruh terhadap Citarum,” katanya.

Dia akan mengumpulkan perusahaan di Karawang untuk membahas isu lingkungan hidup. “Agar tidak membuang limbah ke sungai. Kami punya program Citarum Lestari. Kerjasama dengan semua stakeholder. Industri, komunitas dan pemerintah karawang.”

Deddy Mizwar, mengatakan,  dana pembenahan sungai yang tertuang dalam program Citarum bestari sudah Rp60 miliar. Sebagian dana itu, Rp25 miliar dari APBD Jabar. “Citarum Bestari akan resmi tengah bulan ini. Menyasar kawasan hulu sepanjang 70 km mulai Sungai Cisanti hingga waduk Saguling,” katanya.

Dia mengatakan, dana diperlukan Rp125 miliar. Tahap pertama, dikerjakan 20 km. Dana segmen pertama ini akumulasi bantuan beberapa pihak dari komunitas, CSR perusahaan dan Pemprov Jabar.

“Ini proyek ambisius sebenarnya. Untuk menjalankan ini, pemerintah tak tangani sendiri. Masyarakat harus ikut berperan. Membuat gerakan kolaboratif. Program ini dijalankan selama lima tahun untuk kembalikan fungsi Citarum.”
Sebanyak 25 juta orang Jabar dan Jakarta tergantung dari air di sungai itu. Itu setara 10 persen penduduk Indonesia.

Berbeda dengan Deddy. Dadan Ramdan, direktur eksekutif Walhi Jabar, mengatakan, besaran anggaran tak menjamin proyek berjalan baik. Hingga kini, sudah banyak dana keluar namun kondisi sungai tetap memprihatinkan. Pencemaran masih sangat tinggi.

Senada dengan Dadan. Aktivis Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan pengelolaan Citarum harus melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis. “Di awal kebijakan, KLHS harus komprehensif. Selama ini penanganan Citarum belum melalui KLHS.”

Kawasan lindung di hulu Sungai Citarum seharusnya 178.394,74 hektar (52%).  Namun, tinggal 68.617 hektar atau 20%. Total luas Citarum hulu 343.087 hektar. Daerah resapan air tersisa tak lebih 50.000 hektar dari yang seharusnya 39 ribu hektar. Citarum tercemar limbah domestik 50%, industri 40%, peternakan 8% dan pertanian 2%. “Saat musim hujan, banjir melanda. Genanganlebih dari tiga ribu hektar.”

Aktivis Greenpeace yang aksi di Bandung, untuk penyelamatan Sungai Citarum. Foto: Greenpeace

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Keluarkan Dana Besar, Penanganan Sungai Citarum Dinilai Belum Efektif was first posted on June 9, 2014 at 11:15 am.

Suarakan Perlindungan Mata Air Lewat Seni Budaya

$
0
0
Lokasi Festival Mata Air VI akan dilaksanakan di Desa Tajuk, Lereng Gunung Merbabu. Foto: Komunitas Tanam Untuk Kehidupan

Lokasi Festival Mata Air VI akan dilaksanakan di Desa Tajuk, Lereng Gunung Merbabu. Foto: Komunitas Tanam Untuk Kehidupan

Lapangan Desa Tajuk, Kecamatan Getasan, Semarang, tepat di lereng Gunung Merbabu, akan menjadi lokasi Festival Mata Air VI pada 13-15 Juni 2014. Gawe yang digawangi Komunitas Tanam Untuk Kehidupan (TUK)  ini sebagai aksi perlindungan mata air sekaligus kampanye lingkungan lewat seni, budaya dan kegiatan luar ruang.

Panitia Festival Mata Air VI akan menampilkan panggung hiburan, panggung budaya, diskusi lingkungan, dan workshop. Ada juga pemeliharaan tanaman dan pameran instalasi bersebelahan dengan area perkemahan di hutan pinus.

“Pemilihan Desa Tajuk karena ada komunitas warga desa yang selama ini konsen menjaga kelestarian hutan dan sumber mata air di lereng Gunung Merbabu,” kata Jatmiko,  panitia Festival Mata Air, kepada Mongabay awal Juni 2014.

Selain itu, katanya, hutan di lereng gunung menjadi daerah tangkapan air, yang dialirkan ke Boyolali, Semarang dan Salatiga. Kepedulian warga Desa Tajuk terhadap hutan dan sumber mata air selama ini menuai hasil positif.

“Debit air terus meningkat dan tanaman endemik dan konservasi dijaga warga, tumbuh baik dan menuai manfaat.”

Dalam rilis yang diterima Mongabay, 5 Juni 2014, Festival Mata Air VI mengambil tema “Garuda di Mata Air Indonesia.” TUK memilih tema ini karena bersamaan dengan tahun politik di Indonesia. Festival ini mungkin tidak sepopuler “pesta demokrasi,” tetapi mereka rutin menyuarakan dan aksi perlindungan mata air.

Kenyataan, katanya, hanya sedikit pilihan pada calon pemimpin bangsa yang mau peduli dan benar-benar turun tangan bersama rakyat mengatasi berbagai masalah lingkungan.

“Kami terinspirasi pada Garuda, sebagai ideologi bangsa yang mulai dilupakan. Kami juga kagum pada elang, yang terbang di lahan penanaman Gumuk Sambu, tempat kami dan para sukarelawan menanam dan memelihara  13.000 pohon selama ini.”

Garuda, jata Jatmiko, mengajarkan keragaman, elang melambangkan cara pandang yang fokus dan tepat sasaran. “Inilah yang kami coba renungkan dan pelajari kembali.”

Berdasarkan penelitian Komunitas Tanaman Untuk Kehidupan (TUK) ditemukan debit mata air Senjoyo sejalan dengan kegiatan konservasi mata air. Pada 1999, debit mata air Senjoyo sebesar 1.150 liter perdetik, 2009 menurun tinggal 900 liter per detik. Pada 2014, terjadi kenaikan debit mata air Senjoyo menjadi 1.617 liter per detik. “Inilah salah satu alasan kenapa juga kita harus merayakan mata air.”

Festival Mata Air 6 didukung banyak pihak, antara lain, Kelompok Anak Tajuk Bernyanyi bersama Gading Suryadmaja, Tari Prajuritan Desa Tajuk, Drumblek Gareng, Tlatah Bocah, Ucup and the Rebel Project, Leonardo and his Impecable Six, Galih Folk Fore. Lalu, Wayang Kampung Sebelah, Karawitan Desa Tajuk, Sita and the Yoga Gank, Laskar Kendeng, dan Mongabay Indonesia, sebagai media partner pada event ini.

“Kami mengundang anda semua menikmati alam pegunungan lereng Gunung Merbabu, keramahan Desa Tajuk,kemeriahan hajatan rakyat dan kesederhanaan dalam memaknai lingkungan.”

 


Suarakan Perlindungan Mata Air Lewat Seni Budaya was first posted on June 10, 2014 at 4:48 am.

Ambil Alih Lahan buat Tambang Berkedok Bagi-bagi Duit, Warga Pulau Bangka Merasa Tertipu

$
0
0
Reklamasi pantai yang mulai dilakukan PT MMP di Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Reklamasi pantai yang mulai dilakukan PT MMP di Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Warga merasa tertipu, merekapun berbondong-bondong mengembalikan uang yang dibagi-bagikan pemerintah desa yang ternyata dana buat mengambil tanah adat mereka itu.

Senin (9/6/14), pemerintah Desa Kahuku membagi-bagikan uang pada warga desa. Ketidakjelasan peruntukan uang itu membuat warga curiga. Setelah ditelusuri, warga meyakini, uang dari PT Mikgro Metal Perdana (MMP) untuk membayar tanah adat. Merekapun, berbondong-bondong mengembalikan dana itu.

Merty Katulung, warga Desa Kahuku, mengatakan, bagi-bagi uang berlangsung sekitar pukul 7.00-10.00. Mulanya, warga desa tidak mengetahui peruntukan uang itu. Sekitar 40 keluarga berbondong-bondong menuju kantor Desa Kahuku. Tak ada sosialisasi. Hanya ada lembar tanda terima harus ditandatangani. “Warga mengambil uang itu. Satu keluarga mendapat Rp1 juta,” katanya pada Mongabay, Selasa (10/6/14).

Di kantor desa hadir hukum tua (kepala desa), bendahara desa dan kepala lingkungan III. “Anehnya, ada pegawai MMP di sana.”

Warga curiga ajang bagi-bagi uang punya hubungan dengan aktivitas pertambangan di Pulau Bangka. “Setelah ditelusuri uang itu untuk membayar tanah adat. Per keluarga dihitung 2,8 hektar.”

Mengetahui ini, mereka langsung mengumpulkan kembali uang-uang tadi, lalu sekitar 23 warga penolak tambang mengembalikan ke bendahara desa dan kepala lingkungan III.

Menurut Merty, masyarakat merasa dibohongi. Pemerintah desa dinilai melakukan praktik-praktik tidak transparan demi meloloskan tambang. “Ini pembohongan massal. Pemerintah harusnya terbuka. Bukannya membayar tanah adat tanpa sosialisasi.”

“Selain itu, tanah adat bukan tanah negara. Keputusan mengenai ini harusnya diatur masyarakat, bukan pemerintah. Keputusan harus datang dari bawah bukan dari atas.”

Maria Taramen, ketua Tunas Hijau, melihat, kejadian ini merupakan konspirasi pemerintah kabupaten hingga desa. “Lihat saja, eksekusi MA ditunda hingga 18 Juni 2014.”

Pemerintah, seharusnya melindungi hak masyarakat adat. Bukan melakukan praktik terselubung untuk meloloskan perusahaan tambang dengan menggusur tanah adat.

“Kalau masyarakat tidak mau terima, jangan tipu mereka. Masyarakat adat sudah lebih dulu ada sebelum negara ini terbentuk.”

Maria menyesalkan, pemerintah kabupaten bukan berupaya melindungi hak masyarkat adat, tetapi malah menjual pada perusahaan tambang.

Tepian laut yang mulai direklamasi buat pembangunan infrastruktur tambang MMP. Foto: Save Bangka Island

Warga Bangka adalah Komunitas Babontehu

Warga Bangka termasuk dalam komunitas adat Babontehu. Secara historis, komunitas ini tersebar di pulau-pulau bagian utara dan barat Ninahasa, seperti di Pulau Bangka dan Pulau Manado Tua.

Berdasarkan catatan Matulandi Supit, ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, keseluruhan wilayah Bangka berstatus wilayah adat. Malahan, di Desa Lihunu terdapat hutan adat yang diakui pemerintah.

Masyarakat Babontehu memanfaatkan wilayah adat untuk berbagai kepentingan, seperti bidang pertanian dan pemanfaatan wilayah laut.

Dia meyakini, penolakan warga Desa Kahuku, berangkat dari kesalahan pemerintah desa dalam menjalankan kebijakan. Pemerintah desa dinilai tidak mengkomunikasikan peruntukan uang  itu hingga masyarakat merasa dibohongi.

Seharusnya, kata Matulandi, pemerintah desa mengkomunikasikan jelas pembayaran tanah adat itu. Komunitas adat,  harus diberi tahu dan ada penawaran soal pembelian tanah adat.

“Ada mekanisme dan tidak bisa dilakukan seenaknya. Penawaran tak bisa lisan, harus ada dokumen tertulis.”

Kejadian ini, mengindikasikan upaya penipuan kepada masyarakat adat secara sistematis. Ke depan, AMAN Sulut akan memetakan wilayah untuk memperkuat status masyarakat adat Babontehu di Pulau Bangka.

Warga Datangi PTUN Manado

Upaya  menuntut pemerintah eksekusi putusan MA terus dilakukan warga Bangka. Pekan lalu, sekitar 50 warga Bangka menghadiri undangan PTUN Manado yang diagendakan membahas permasalahan ini.

Jauh-jauh datang dari Pulau Bangka, mereka berniat meminta hakim eksekusi putusan MA. Sayangnya, bukan tidak bisa masuk ruang pertemuan, eksekusi putusan tidak muncul.

Situasi ini, membuat warga naik darah. Mereka merasa dikelabui penegak hukum. Sebab, setahu warga, undangan PTUN Manado berkaitan dengan permasalahan tambang di Bangka. Situasi sempat memanas. Tak sedikit warga mengeluarkan umpatan. Namun, tak satupun pejabat hukum muncul menemui mereka.

Angelique Batuna, pemilik Murex Dive Resort, menilai, aparat penegak hukum berlagak tidak tahu permasalahan di Bangka. Warga malah disarankan menunggu keputusan bupati.

“Sekitar 50 warga datang jauh-jauh dari Bangka menanti niat penegak hikum untuk eksekusi, yang mereka dapatkan lain. Kalau PTUN Manado tidak punya taring, buat apa mereka ada?”

Padahal, sesuai peraturan, eksekusi putusan MA harus dilakukan dalam waktu 60 hari, sejak 28 Maret 2014. “Artinya, izin Bupati Minut sudah lama dibatalkan. Eh, mereka malah pura-pura tidak tahu,” kata Angelique.

Dia menyayangkan, sikap pejabat hukum terkesan membiarkan praktik-praktik pelanggaran hukum. “Sekarang Bangka sudah makin parah. MMP bilang sudah punya izin bikin dermaga.” 

Warga Desa Kahuku berbondong-bondong mengembalikan uang yang ternyata sebagai dana pengalihan lahan adat mereka. Warga merasa dibohongi karena pembagian uang tanpa penjelasan. Foto: Save Bangka Island

Warga Desa Kahuku berbondong-bondong mengembalikan uang                             yang ternyata sebagai dana pengalihan lahan adat mereka.                                     Warga merasa dibohongi karena pembagian uang tanpa penjelasan.                     Foto: Save Bangka Island

Sedang proses izin?

Permasalahan Bangka membuat pemerintah daerah memutar kepala buat mencari celah mengeluarkan izin baru bagi MMP.

“Gubernur Sulut, Sinyo  Harry Sarundajang, mengatakan izin pertambangan di Bangka berproses,” kata Jimmy Kumendong, Humas Sulut, kepada Mongabay.

Namun,  dia tidak menyatakan jelas, izin apa yang sedang diproses. Hanya, Amdal sedang dikaji. “Bila tidak memungkinkan beroperasi, ya, tidak bisa. Kalau mereka bisa penuhi, menurut Gubernur, ya, kita harus obyektif. Perusahaan tambang bisa beroperasi.”

Pernyataan aneh malah muncul dari kepolisian Wilson Damanik, Kabid Humas Polda Sulut. Dia justru mempertanyakan keabsahan putusan MA yang memenangkan tuntutan warga Bangka. “Apa putusan itu sudah mengacu UU? Kalau izin yang dikeluarkan bupati, jelas mengacu dari situ,” katanya.

Namun, dia mengatakan, kepolisian berupaya obyektif di lapangan. Penegak hukum, katanya, bekerja berdasarkan prosedur.

Mengenai larangan menyelam oleh perusahaan tambang, katanya, masih investigasi. “Sebenarnya, wisatawan harus difasilitasi. Namun, perlu diperhatikan dan diketahui bersama, apakah lokasi itu lokasi menyelam?” kata Wilson.

KLH Turun ke Bangka

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan siap bersinergi dengan masyarakat sipil mengusut dan menuntaskan kasus MMP di Pulau Bangka.

Basuki Widodo Sambodo, Asisten Deputi Bidang Pengaduan Sanksi Administrasi, Deputi V Penaatan Hukum Lingkungan, KLH, di Jakarta (3/6/14)  mengatakan, KLH sudah mengikuti pertemuan koordinasi di UKP4 dihadiri berbagai instansi pemerintah awal Juni ini. “Tim KLH sedang berada di lapangan untuk melihat langsung dan mengumpulkan berbagai data dan informasi,” katanya dalam diskusi bersama Koalisi.

Wahyu Nandang Herawan, dari YLBHI mengatakan, tindakan melawan hukum MMP dan Bupati Minut tidak bisa dibiarkan.  “Kami mempelajari kasus ini dan menemukan tidak hanya unsur-unsur pelanggaran administratif, juga pidana.”

Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009, katanya, Bupati Minut bisa dijerat hukum pidana karena telah melawan hukum dengan mengeluarkan IUP bertentangan dengan UU sebagaimana ditegaskan Putusan MA No. 291K/TUN/2013.

Pertemuan KLH dan Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka juga menghasilkan beberapa rekomendasi penting. Antara lain, mendesak penghentian sementara kegiatan MMP di Bangka dan mempersiapkan langkah-langkah mempidanakan perusahaan dan Bupati Minut jika unsur pelanggaran pidana terpenuhi.

Tepian pantai di Pulau Bangka, yang mulai direklamasi. Mangrove ditebang. Batu-batu ditumpahkan ke laut. Foto: Save Bangka Island


Ambil Alih Lahan buat Tambang Berkedok Bagi-bagi Duit, Warga Pulau Bangka Merasa Tertipu was first posted on June 10, 2014 at 11:55 pm.

Bertahan dari Cengkeraman Perusahaan Sawit, Dua Warga Ketapang Masuk Bui

$
0
0

Konflik lahan antara perusahaan, termasuk perkebunan sawit dan warga banyak terjadi di Kalimantan Barat, dan berkepanjangan karena tak ada penyelesaian serius, seperti kasus anak perusahaan First Resources di Ketapang ini.Ujung-ujungnya warga selalu menjadi korban, sudahlah lahan hidup mereka terancam, dibui pula. Kepolisian harus memiliki kemampuan mumpuni dalam memahami konflik-konflik seperti ini, bukan sekadar berdiri di pihak perusahaan. Foto: Sapariah Saturi

Bethlyawan, kepala Desa Batu Daya, Bethlyawan, ini berada di balik jeruji besi Polda Kalbar gara-gara mempertahankan lahan adat yang hendak terampas perusahaan sawit. Adalah PT Swadaya Mukti Prakarsa, anak usaha First Resources, tanpa koordinasi dengan aparatur pemerintah desa dan adat setempat menggarab lahan untuk sawit.

“Penggarapan ini merugikan masyarakat desa hingga tidak bisa untuk keperluan masyarakat sehari-hari,” katanya dalam blog pribadi.

Desa Batu Daya, terletak di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Wilayah ini dikelilingi perkebunan sawit. Padahal, wilayah itu kaya sumber daya alam, dan potensi wisata.

Ia juga masuk kawasan lindung dan sebagian kebun karet masyarakat dan tanah adat seluas 1.088,33 hektar. Di kawasan itu terdapat Bukit Batu Daya, atau dikenal dengan Bukit Onta. Bukit ini berbatu cadas. Ketinggian lebih dari 100 meter, dan kerap menjadi tempat panjat tebing.

Akses ke gunung ini dapat melalui jalan darat setelah melewati perkebunan sawit. Sawit di daerah ini sudah sejak 1990-an dan hampir merambah kaki bukit hingga sering terjadi konflik dengan masyarakat setempat.

Desa Batu Daya, cukup jauh dari ibukota provinsi. Sinyal telepon selular kurang baik. Belum ada trayek angkutan umum ke sana. Dari Pontianak, desa ini lebih mudah ditempuh. Melalui jalan arah Rasau Jaya, naik speed boat selama tiga jam ke Teluk Melanau, Kayong Utara. Perjalanan diteruskan ke Desa Matan, baru Desa Batu Daya.

Jika menggunakan pesawat, dari Pontianak ke Ketapang kurang lebih 40 menit, menuju Teluk Melanau kurang lebih 100 km, selama  tiga jam. Jalur lain darat ke Kecamatan Tayan menuju ke Kecamatan Simpang Dua.

Hendrikus Adam, koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar, mengatakan, perkebunan sawit hadir kala warga termakan janji perusahaan. “Daerah jauh dari ibukota kabupaten, perusahaan menawarkan kesejahteraan, walau kenyataan setelah bertahun-tahun tidak demikian.”

Adam mengatakan, sejumlah korporasi pernah ada di wilayah ini, seharusnya memberi dampak baik. Penguasaan hutan adat oleh perusahaan, karena pemerintah daerah mengeluarkan hak guna usaha

“Masyarakat adat jauh sebelum korporasi masuk. Dalam keseharian, hutan adat dikelola komunal. Arealnya dilepaskan Pemda untuk sawit.”

Terhitung 1088,33 hektar hutan adat dicaplok perusahaan. Pada 1995, Sidin, ketua Adat Baya, meminta perusahaan mengeluarkan hak kelola masyarakat itu dari konsesi. Hingga kini, sengketa lahan belum selesai, sampai terjadi penangkapan lima warga desa.

Sulistiono, dari Gerakan Bantuan Hukum Rakyat Kalbar,  mengatakan, telah mengirimkan surat permohonan penanggguhan dua warga ditahan Polda Kalbar, yakni Yohanes Singkul dan Anyun. “Tinggal menunggu jawaban dari Polda.” Saat ini, warga desa telah saweran. Mereka mengumpulkan dana Rp10.030.000, akan diserahkan sebagai jaminan penangguhan penahanan.

Selain dana saweran warga juga mengumpulkan lebih seribu tandatangan jaminan penangguhan penahanan. Jaminan ini juga dilakukan sejumlah warga Kalbar melalui berbagai organisasi. Forum Relawan Kemanusiaan Pontianak (FRKP) turut memberikan surat jaminan penangguhan penahanan.  Br. Stephanus Paiman, menyatakan, bersedia menggantikan kedua warga bila penangguhan tidak dikabulkan.

Adam pun membuat petisi di change.org, meminta Kapolda Kalbar melepas dua warga desa yang dikriminalisasi itu. Petisi itu, ditujukan kepada Kapolri, Kapolda Kalbar, Bupati Ketapang dan Komnas HAM.

Kapolda Minta Polisi Tak Bela Perusahaan

Brigjen Pol Arief Sulistyanto, Kapolda Kalbar, memberikan arahan selama tiga jam kepada seluruh Kapolres di jajaran Polda Kalbar, Sabtu (31/5/2014). Dia meminta seluruh Kapolres tidak berpihak perusahaan yang berkonflik dengan warga.

“Proporsional saja, dan professional. Dilihat latarbelakang, kalau perusahaan salah, jangan dibela, walau ada anggota yang ditempatkan menjaga perusahaan itu.”

Hal ini,  mencegah stigma kepolisian menjadi alat perusahaan dan tameng dan berbenturan dengan masyarakat. Sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, Arief meminta semua kepala kepolisian bisa memetakan potensi masalah di daerah masing-masing.

Terpisah, Hidayat Nasution, general manager affair SMP, membela diri. Dia mengatakan, perusahaan sudah melakukan kewajiban-kewajiban kepada masyarakat. “Kita sudah membayarkan uang Rp250 ribu per keluarga untuk periode 2014-2016,” katanya.

Hidayat mengatakan, Yohanes Singkul –salah satu warga yang ditangkap mewakili warganya menerima uang secara simbolis dari perusahaan. Total, masyarakat mengantongi sekitar Rp6 juta.

Berdasarkan kesepakatan antara warga dan perusahaan, jumlah akan ditambah hingga menerima Rp550 ribu per keluarga untuk 1.250 keluarga. “Sisa akan kita bagikan dalam waktu dekat,” kata Hidayat.

“Wilayah” SMP di Ketapang, meliputi empat desa, yakni, Batu Daya, Sempurna, Mekar Harapan dan Matan Jaya, termasuk Dusun Air Manis dan Dusun Jelutung.

 

 


Bertahan dari Cengkeraman Perusahaan Sawit, Dua Warga Ketapang Masuk Bui was first posted on June 11, 2014 at 12:07 pm.

Usai Pelatihan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat, Lima Petani Muba Ditangkap

$
0
0
Usai pelatihan pemetaan wilayah adat yang diadakan AMAN Sumsel, lima warga ditangkap aparat gabungan dengan tuduhan merambah Suaka Margasatwa Dungku.

Usai pelatihan pemetaan wilayah adat yang diadakan AMAN Sumsel, lima warga ditangkap aparat gabungan dengan tuduhan merambah Suaka Margasatwa Dangku.

Lima petani ditangkap aparat Polri, TNI dan petugas BKSDA sesaat setelah  mengikuti pelatihan pemetaan wilayah adat yang  digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumatera Selatan. Mereka dituduh merambah hutan Suaka Margasatwa Dangku, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel.

Penangkapan ini dilakukan sekitar 150 petugas pada Rabu (11/6/14) sekitar pukul 14.30 di Posko Dewan Petani Sumsel (PDS), di Tungkal Jaya, Muba, yang tengah menggelar pelatihan pemetaan partisipatif wilayah adat. Mereka yang ditangkap Muhammad Nur Djakfar (73), Zulkipli (60) dan Wiwin (22). Sedang Heriyanto (33) dan Samingan (52) ditangkap saat di hutan Margasatwa Dangku.

Kelima petani berada  Mapolda Sumsel. “Kami masih mendampingi kelima petani yang dituduh merambah Suaka Margasatwa Dangku,” kata Rustandi Ardiansyah, ketua AMAN Sumsel, Rabu (11/6/14).

Anwar Sadat, ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS) mengatakan, penangkapan kelima petani itu bentuk intimidasi perjuangan para petani yang ingin memanfaatkan tanah adat yang sudah dijamin dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.35. “Kami jelas protes, dan meminta kepolisian segera membebaskan kelima petani itu.”

Suaka Margasatwa Dangku berada di Kecamatan Bayung Lencir, Musi Banyuasin, Sumsel. Kawasan ini berjarak sekitar 150 kilometer dari Palembang, kini memiliki luas 31.752 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Mei 1991. Sebelum itu, SK Menhut tahun 1986, menetapkan luas Margasatwa Dangku 70.240 hektar.

Kini, kondisi Suaka Margasatwa Dangku, mulai kritis. Sulit ditemukan harimau Sumatera, gajah, tapir, dan sejumlah flora khas hutan tropis. Suaka Margasatwa dikelilingi perkebunan sawit dan HTI. Namun, tuduhan perusakan santer tertuju pada sekitar 2.000 keluarga yang berkebun di sana.

Warga membantah. “Tidak benar itu. Harimau, gajah, tapir, sudah lama tidak ditemukan di hutan Dangku. Mereka hilang sejak perusahaan perkebunan, batubara dan minyak hadir,” kata Yusril Arafat, warga Tungkalulu.

Suaka Margasatwa Dangku, sebelah utara berbatasan dengan perkebunan sawit PT Berkat Sawit Sejati, sebelah selatan perkebunan sawit PT Musi Banyuasin Indah dan HTI milik PT Pakerin serta kebun sawit PT Pinago. Lalu, sebelah barat berbatasan dengan kawasan hutan lindung, dan sebelah timur dengan areal penggunaan lain.

Sebelum ditetapkan pemerintah sebagai Register 37, Suaka Margasatwa Dangku, sekitar 20 ribu hektar lahan di lansekap Dangku merupakan hutan adat marga Tungkalulu. Marga Tungkalulu terbentuk pada 1926, kali pertama dipimpin pesirah Bahmat alias Badui. Saat marga terbentuk mereka menjadikan lansekap Dangku sebagai tanah adat, sebagai sumber kehidupan dari bertani. Luas hutan adat mencapai 160 kilometer persegi.

Di lansekap Dangku terdapat tujuh sungai, yakni, Sungai Tungkal, Jerangkang, Petaling, Petai, Dawas, Biduk dan Sungai Lilin. Di sana, ada sejumlah flora endemik seperti meranti, merawan, medang, manggeris, jelutung, balam, tembesu dan merbau. Lahan ini juga habitat harimau Sumatera, gajah, rusa, tapir, trenggiling, kera ekor panjang, landak, babi hutan dan beruang madu, serta burung seperti rangkong dan raja udang.

Ketika sebagian tanah adat dijadikan Suaka Margasatwa Dangku, masyarakat belum merasakan dampak negatif. Masih ada lahan adat lain untuk bertani dan berkebun. Kala tanah adat diberikan pemerintah untuk perkebunan, migas dan pertambangan, masyarakat merasakan kesulitan hidup.

Puncaknya pada 2006, aparat polisi mengusir dan merusak rumah warga yang diklaim masuk wilayah perkebunan sawit milik PT Sentosa Mulia Bahagia (SMB). Ada warga menjadi gila dan bunuh diri. Kala sebagian warga ingin bertani di tanah adat yang masuk Suaka Margasatwa Dangku, mereka pun ditangkap dan dipenjara. Sekitar 18.000 warga kehilangan lahan pertanian dan hidup miskin.

Perjuangan warga terus berjalan. Sejak 2012 hingga kini, sekitar 2.000 keluarga membangun pondok dan berkebun di Suaka Margasatwa Dangku. “Kami melakukan ini karena hidup kami miskin. Selama puluhan tahun kami kehilangan lahan pertanian.”

Kabupaten Musi Bayuasin dengan luas 14.265,96 kilometer persegi merupakan kawasan di Sumsel yang paling banyak dimanfaatkan perusahaan.

Berdasarkan data Walhi, ada 68 perusahaan mendapat kuasa penambangan batubara dengan luas lokasi sekitar 1.108.032 hektar di Kabupaten Musi Banyuasin. Puluhan perusahaan sawit, baik asing maupun nasional, mengusai sekitar 191.425 hektar. Perusahaan perkebunan karet 4.148 hektar.

 


Usai Pelatihan Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat, Lima Petani Muba Ditangkap was first posted on June 11, 2014 at 11:22 pm.

Usaha Perikanan Ramah Lingkungan Masih Minim

$
0
0

Pengelolaan manajemen kelautan dan perikanan yang melibatkan masyarakat secara aktif, terbukti bisa memperbaiki taraf hidup masyarakat dan keberlangsungan sumber daya alam. Foto: Ripanto. WCS Indonesia

Kondisi perikanan di Indonesia makin memprihatinkan. Stok ikan menipis karena kegiatan over fishing selama bertahun-tahun. Penangkapan ikan menggunakan bom dan potassium juga marak beberapa tahun lalu meskipun sudah mengalami penurunan. Usaha perikanan berkelanjutan masih minim di Indonesia.

Untuk itu,  WWF-Indonesia menginisiasi program bernama Seafood Savers. Lewat program ini, perusahaan perikanan diajak menerapkan konsep perikanan berkelanjutan.

“Seafood Savers kali pertama digulirkan 2009. Ini kerjasama bussines to bussines diinisiasi WWF untuk fasilitasi perbaikan perikanan tangkap dan budidaya di Indonesia,” kata Margareth Meutia, koordinator Seafood Savers WWF-Indonesia, dalam diskusi di Jakarta, Selasa (10/6/14).

Laporan Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) tahun 2012 mengidentifikasi 40% dari 1,2 juta hektar areal tambak di Indonesia– 500 ribu hektar tambak tradisional–sudah tidak mampu berproduksi maksimal. Sebagian, sudah tidak berproduksi sama sekali.

Sedang FAO menyatakan, tekanan sumber daya perikanan dunia makin meningkat. Tahun 2010, FAO merilis 53% sumber daya ikan dimanfaatkan maksimal (fully exploited), 28% berlebih (over exploited), 3% habis (depleted) dan 1% dalam pemulihan. Kondisi ini,  disumbang eksploitasi perikanan tangkap maupun budidaya.

Begitu juga dengan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 45 tahun 2011 menunjukkan hal sama. Sekitar 72% sumberdaya ikan di 11 wilayah Indonesia “over fishing” dan “fully-exploited”. Tersisa 27% atau 35 spesies dan kelompok spesies dari seluruh stok perikanan nasional masih bisa dimanfaatkan.

Meutia mengatakan, Seafood Savers mendorong perusahaan perikanan menerapkan konsep perikanan berkelanjutan merujuk pada dua sertifikasi. Diantaranya, perikanan tangkap sertifikasi Marine Stewardship Council dan  perikanan budidaya Aquaculture Stewardship Council. Kedua sertifikasi dijadikan acuan karena dianggap paling berkelanjutan.

“Untuk mendapatkan sertifikasi sangat sulit. Penilaian sangat ketat. Tak hanya aspek lingkungan juga sosial. Seafood Savers menjadi jembatan pengusaha  perikanan menuju ke sana.”

Menurut dia, banyak perusahaan retail di dunia mensyaratkan sertifikat ini. Syarat ini menggambarkan kepedulian retail perikanan berkelanjutan sangat tinggi. Mereka ingin memastikan ikan yang diterima hasil kegiatan ramah lingkungan.

Kini, ada beberapa perusahaan perikanan Indonesia memproses sertifikasi MSC dan ASC. Untuk MSC,  belum ada satupun lolos sertifikasi. ASC,  satu perusahaan, PT Aqua Farm Nusantara.

Kondisi ini,  menyebabkan, industri perikanan Indonesia sulit bersaing dengan negara lain. Padahal, Indonesia penghasil ikan terbesar di dunia. Perikanan juga tumpuan ekspor.

Saat ini, baru ada tiga perusahaan bergabung dalam keanggotaan Seafood Savers, yakni PT Arta Mina Tama (AMT), PT Pulau Mas dan PT Sea Delight. Ketiga perusahaan itu eksportir ikan karang dan tuna. Beberapa perusahaan perikanan lain sedang dalam proses pengesahan keanggotaan. WWF, sedang menginisiasi keanggotaan seafood Savers untuk komoditas udang di Tarakan, Kalimantan.

Perusahaan yang tergabung dalam Seafood Savers didorong memperoleh sertifikasi MSC dan ASC. “Saya rasa tanpa kita sadari pergerakan pasar sangat cepat, perbaikan pengelolaan harus segera mungkin. Ini urgen.”

Saut Hutagalung, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Laut (P2H) KKP, mengatakan, produksi perikanan budidaya meningkat lebih tinggi dibandingkan perikanan tangkap. Total produksi perikanan 2013,  sebesar 19,56 juta ton, terdiri dari perikanan tangkap 5,86 juta ton dan budidaya 13,70 juta ton.

Tahun 2012, transaksi perdagangan Indonesia dari ekspor ikan di posisi ke tujuh dunia US$3,85 miliar. Indonesia di bawah China, Norwegia, Thailand, Vietnam, USA dan Canada.

Dalam UU Perikanan sudah mencantumkan persyaratan pengelolaan perikanan termasuk dari aspek lingkungan. “Kebijakan pemerintah sudah sangat jelas. Hanya, taat atau tidak terhadap peraturan itu?”

Dia berharap, prinsip perikanan berkelanjutan bisa diterapkan bertahap. “Sekarang pasar menghendaki itu. Suistainable trade penting buat kita. Kita harus terus update syarat-syarat pasar.”

Hutagalung juga mengharapkan, makin banyak perusahaan perikanan memperoleh sertifikasi MSC maupun ASC. “KKP tidak mengarahkan sertifikasi mana yang paling utama. Terpenting, prinsip keberlanjutan. Sertifikasi refleksi menerapkan asas keberlanjutan.”

Abdullah Habibi, Fisheris and Aquaculture Improvement Programme Manager WWF Indonesia, mengatakan, prinsip utama harus diimplementasikan dalam perikanan berkelanjutan adalah  kolaboratif. “Suistainable bisa tercapai jika ada sinergi antara pemerintah pusat, lokal, NGO, nelayan dan managemen. Butuh political will yang kuat.”

 


Usaha Perikanan Ramah Lingkungan Masih Minim was first posted on June 12, 2014 at 12:50 am.

SBY Terbitkan Perpres Reklamasi Teluk Benoa, ForBALI Layangkan Protes

$
0
0

Anak-anak dikenalkan dengan hutan mangrove dan tanaman bakau di Teluk Benoa yang kini semakin terancam akibat laju pembangunan. Jika reklamasi dilakukan, maka fungsi hutan mangrove sebagai sarana pendidikan lingkungan pun akan terancam hilang. Foto: Ni Komang Erviani

Tampaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kejar target merilis permintaan-permintaan para pengusaha menjelang habis masa tugas. Setelah kontrak PT Freeport diperpanjang hingga 2041, kini giliran reklamasi Teluk Benoa, Bali, mendapat angin segar.

Meskipun mendapat penolakan berbagai elemen masyarakat sejak awal, Presiden tetap mengeluarkan Perpres persetujuan reklamasi di Bali ini. SBY mengganti Perpres 45 2011 menjadi Perpres Nomor 51 tahun 2014.

Tak pelak, ForBALI, gabungan berbagai elemen masyarakat sipil penolak perubahan kawasan konservasi Teluk Benoa menjadi pemanfaatan umum, melayangkan surat protes kepada Presiden.

Suriadi Darmoko, direktur eksekutif Walhi Bali kepada Mongabay, mengatakan, sudah jauh hari menolak perubahan Perpres ini. “Kami mensinyalir ada upaya meloloskan reklamasi Teluk Benoa. Ternyata benar. Presiden tidak konsisten menjaga dan melestarikan kawasan konservasi untuk dilindungi,” katanya.

Dia mengatakan, dengan mudah Presiden mengganti peruntukan kawasan untuk pemanfaatan umum. “Kami melihat perubahan ini bentuk kerakusan dibungkus dalam MP3EI dengan alasan mensejahtrakan rakyat, pendapat daerah, meningkatkan ekonomi dan janji-janji lain.”

Dengan perubahan ini memperlihatkan betapa mudah Presiden membela kepentingan investor daripada mendengarkan penolakan warga Bali yang ingin melestarikan alam.

Gendo, koordinator ForBali memperlihatkan peta perbandingan antara Prepres baru dan lama. Foto: ForBali

Gendo, koordinator ForBali memperlihatkan peta perbandingan antara Prepres baru dan lama. Foto: ForBali

Dalam analisis ForBALI, upaya pemaksaan untuk perubahan Perpres 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita diprediksi sejak awal. Presiden SBY memanggil khusus Yusril Ihza Mahendra. Sejak itu, pemerintah agresif merevisi Perpres 45 tahun 2011, berbagai pertemuan dilakukan digagas pemerintah pusat, seperti hearing dengan para akademisi non Universitas Udayana.

“Pelaksanaan konsultasi publik sembunyi-sembunyi dan seluruh proses hanya melibatkan kelompok pro-reklamasi. Sementara komponen masyarakat yang menolak reklamasi tidak didengarkan.”

Catatan terakhir ForBALI pada Senin, 14 April 2014 di ruang rapat Cempaka Kantor Bappeda Bali, Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) bersama dengan Pemerintah Bali. Mereka mengadakan konsultasi publik tentang rencana perubahan pasal 55 ayat (5) Perpres No. 45 tahun 2011 khusus pada pasal yang menyatakan Teluk Benoa kawasan konservasi perairan, menjadi kawasan pemanfaatan umum.

“Di dalam konsultasi publik ini tidak satupun pihak kontra rencana reklamasi Teluk Benoa dilibatkan. Bahkan organisasi yang terlibat sebagai anggota BKPRD yaitu Walhi Bali tidak dilibatkan.”

Wayan “Gendo” Suardana, Koordinator ForBALI mengatakan,  salah satu poin terpenting dari Perpres 51 tahun 2014 tentang perubahan perpres nomor 45 tahun 2011 adalah mengubah peruntukan perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya. Ia dapat direklamasi maksimal seluas 700 hektar. Perpres ini menetapkan zona budi daya baru, yakni zona P (penyangga), merupakan perairan pesisir dengan karakteristik kawasan teluk.

Jerink, Superman Is Dead kala aksi gabungan di Jakarta, menolak reklamasi Teluk Benoa. Sayangnya, teriakan penolakan warga tak dianggap oleh kepala negara. Karena pada beberapa bulan masa jabatan, Presiden SBY menandatangani Perpres yang mengamini reklamasi di sana. Foto: Sapariah Saturi

Zona P sebagai kawasan pemanfaatan umum potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi, pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama. Zona P yang dimaksud adalah kawasan Teluk Benoa.

“Lokasi Teluk Benoa, Badung berada di timur Bandara Ngurah Rai Bali, dan dilintasi Jalan Tol Bali Mandara. Di kawasan inilah rencana reklamasi diizinkan.”

Perpres ini juga mengubah kawasan konservasi pulau kecil dari seluruh Pulau Serangan dan Pudut, menjadi sebagian Pulau Serangan dan Pudut. Dalam aturan itu juga menghapus besaran luas taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagai kawasan pelestarian alam. Dalam aturan sebelumnya,  ditetapkan spesifik luas taman Hutan Raya Ngurah Rai, yakni 1.375 hektar.

Perubahan Perpres 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita, katanya, merupakan tindakan gegabah dan tidak memperhatikan bahkan mengabaikan aspirasi masyarakat Bali.

Gendo menduga,  perubahan Perpres Sarbagita dengan mengakomodir rencana reklamasi di Teluk Benoa, salah satu upaya memutihkan dugaan pelanggaran tata ruang oleh Gubernur Bali ketika memberikan izin reklamasi kepada PT. Tirta Wahana Bali International, perusahaan milik Tomy Winata.

Aturan ini menjadi preseden buruk. Sebab, kawasan konservasi bela-belain diubah gara-gara ada investor yang berminat.

ForBALIpun, katanya,  melayangkan nota protes kepada Presiden. Ada tiga pokok tuntutan. Pertama,  mendesak SBY, membatalkan dan mencabut Perpres 51 Th 2014 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Serbagita. Lalu, memberlakukan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan.

Kedua, menuntut Presiden menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan meningkatkan risiko bencana ekologis di Bali Selatan.

“Presiden dalam masa akhir jabatan jangan mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengancam keberlangsungan hajat hidup orang banyak termasuk kebijakan yang mengakomodir reklamasi Teluk Benoa.”

Edo Rachman dari Walhi Nasional mengatakan, SBY tidak mempertimbangkan wilayah konservasi, dampak bagi masyarakat sekitar Teluk Benoa dan ancaman bencana ekologi.

Perbandingan Perubahan Perpres Serbagita

Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali

Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali


SBY Terbitkan Perpres Reklamasi Teluk Benoa, ForBALI Layangkan Protes was first posted on June 13, 2014 at 1:20 pm.

Lahan Adat di Degeuwo Terampas Tambang Emas, Lingkungan Tercemar

$
0
0
Pendulangan emas di tepian Sungai Degeuwo oleh PT Martha Mining. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Tambang di tepian Sungai Degeuwo oleh PT Martha Mining. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Warga penolak tambang diberondong senjata hingga satu orang tewas, beberapa luka-luka pada 2012. Para istri protes dengan memotong jari tangan mereka. Sayangnya, tambang masih menggila, lahan adat terampas, hutan hancur dan sungai tercemar.

Masyarakat Adat dari Suku Walani, Mee dan Moni yang tinggal di sepanjang Sungai Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua, makin resah dalam beberapa tahun belakangan ini. Operasi tambang emas makin menggila, tanah-tanah adat terampas. Tak hanya itu, kini air sungai keruh, tercemar limbah pengolahan tambang. Kondisi tambah parah kala warga yang menolak dan protes harus berhadapan dengan aparat keamanan yang ketat menjaga tambang. Tambang terus beroperasi, penyebaran penyakit seperti HIV/AIDs tak terhindarkan.

Thobias Bagubau, Ketua Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni kepada Mongabay, mengatakan, warga tak mengetahui jelas bentuk perizinan tambang di sekitar itu. Yang jelas, banyak beroperasi tambang emas dan meresahkan warga. Sebab, tanah-tanah ulayat terampas hingga menimbulkan banyak korban.

Tambang emas di daerah itu berawal 2001. Kala itu, orang-orang luar mulai masuk dan menambang secara tradisional. Baru, pada 2003, perusahaan masuk, dengan alat-alat berat yang mulai merusak hutan.  Kini, setidaknya ada 26 pertambangan, antara lain PT Madinah Qurrata’ain, bekerja sama dengan PT West Wist Mining, asal Australia dan PT Martha Mining. Perampasan tanah masyarakat adat, penghancuran rumah, kebun, bukit dan tempat–tempat keramat masyarakat, terjadi.

Istri-istri para korban tembakan Brimob pada Mei 2012 yang protes dengan memotong jari tangan mereka. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Istri-istri para korban tembakan Brimob pada Mei 2012 yang protes dengan memotong jari tangan mereka. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

“Warga yang melawan berhadapan dengan aparat. Di-back up TNI dan Polri. Sampai terjadi Brimob menembak warga tewas di tempat,” katanya di Jakarta, awal Juni 2014.

Bukan itu saja. Ketika warga penolak tambang emas bertindak, dituding separatis ataupun Organisasi Papua Merdeka (OPM). “Ini untuk tutupi masalah di sana, agar perusahaan aman dikawal aparat keamanan.”

Pelanggaran HAM merajalela. Pada 16 Juli 2009, masyarakat menuntut hak ulayat di Taijaya kepada Ongge, pemilik salah satu tambang emas. “Tuntutan warga tak direspon, malah terjadi penembakan pada Sefanya Onoka oleh polisi.”

Tragedi warga terjadi lagi pada 15 Mei 2012 di lokasi 99. Terjadi perdebatan antara pemilik billiard dan warga yang protes hingga menyebabkan satu orang tewas, Melianus Abaa Kegepe. “Dia mati ditembak ditempat oleh Brimob. Empata orang lain, Lukas Kegepe, Yulianus Kegepe, Amos Kegepe dan Sefianus Kegepe luka-luka.

Pasca penembakan itu, para istri protes dengan memotong jari mereka.

Masalah lain, katanya, penyebaran penyakit sosial terjadi dari mabuk-mabukan karena minuman keras marak hingga lokalisasi. Penularan HIV/AIDs menggila, sudah ditemukan sekitar 250 kasus, sekitar 10 orang meninggal dunia. Di sekitar tambang, ada 20 kamp berupa rumah-rumah yang ditinggali para pengusaha. Ada karoke sampai billiard.

Butiran-butiran emas yang dihasilkan dari penambangan di sepanjang Sungai Degeuwo. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Butiran-butiran emas yang dihasilkan dari penambangan di sepanjang Sungai Degeuwo. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Tambah lagi, hutan makin terkikis hingga menyebabkan longsor beberapa kali. Air Sungai Degeuwo pun kini keruh terkena limbah pengolahan emas.

“Ini merampas kekayaan alam yang luar biasa oleh para pengusaha. Warga susah, miskin di atas kekayaan sendiri. Warga malah terampas hak, terancam penyakit menular, sungai tercemar dan terkena longsor.”

Lembaga tiga suku ini baru terbentuk. Sejak 2013, Bagubau mendampingi warga adat menhadapi gempuran tambang. Berbagai upaya sudah dilakukan, dari audensi ke berbagai lembaga pemerintah, DRPD hingga Kepolisian. “Dari Kapolda, DPRP Papua, Dinas Pertambangan Papua, Komnas HAM perwakilan Papua, dan lain-lain turun ke lapangan. Namun, hingga hari ini tak ada solusi apa-apa. Tempat hidup warga terus terampas,” katanya.

Bagubau bersama beberapa rekan ke Jakarta, didampingi Padma, dan Walhi Nasional melaporkan masalah ini ke Komnas HAM.

Mereka juga menyuarakan beberapa tuntutan. Pertama, Presiden didesak menyelamatkan masa depan masyarakata adat Suku Walani, Mee dan Moni dari perampasan hak oleh perusahaan tambang di Degeuwo. Kedua, mendesak Komnas HAM mengusut pelanggaran HAM di sana. Ketiga, mendesak Gubernur Papua segera menyelesaikan persoalan di sepanjang Sungai Degeuwo.

Keempat, mendesak Bupati Paniai mencabut semua izin perusahaan-perusahaan tambang yang dikeluarkan bupati sebelumnya, dan menghentikan tambang sepanjang Sungai Degeuwo.

Jowel Ematapa, kepala sub bagian Program Dinas Pertambangan Kabupaten Paniai mengatakan, saat ini dinas melakukan pembenahan terhadap tambang-tambang yang beroperasi di sekitar Degeuwo.

Para pengusaha tambang, pekerja tambang sampai pekerja billiar dan karoke menggunakan helikopter sebagai alat transportasi menuju wilayah tambang di  sekitar Sungai Degeuwo. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Para pengusaha tambang, pekerja tambang sampai pekerja billiar dan karoke menggunakan helikopter sebagai alat transportasi menuju wilayah tambang di sekitar Sungai Degeuwo. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Sebenarnya, Gubernur Papua, pada 2011 telah mengeluarkan surat keputusan penghentian tambang emas tak berizin di Papua, lalu bupati lama pada 2009, mengeluarkan penghentian sementara tambang di sepanjang Sungai Degeuwo. Namun, beragam aturan pemerintah tak digubris. “Selama 10 tahun ini masyarakat pemilik hak ulayat memang menjadi korban. Sekarang, kami upaya memperbaiki,” katanya.

Dia berharap, Bupati Paniai saat ini mampu memperbaiki sistem, termasuk mencabut izin-izin tambang. Menurut dia, bupati sudah membuat tim menangani masalah tambang di Degeuwo ini.

“Ada kesulitan kalau mau masuk ke kawasan tambang. Bupati juga harus ada surat resmi Kapolres. Kalau sudah ada surat resmi baru bisa masuk.”

Mukri Friatna, Manajer Penanganan Bencana Walhi Nasional mengatakan, perusahaan ilegal beroperasi dan merampas kawasan- kawasan adat. “Beroperasi tak bawa manfaat. Kerusakan lingkungan, penyakit dan konflik sosial,” katanya kepada Mongabay.

Untuk itu, dia meminta pemerintah sekaligus KPK memeriksa pertambangan di Paniai ini. “Tutup seluruh tambang dan tegakkan hukum.”

Polisi yang berjaga-jaga di dekat pendulangan tambang di Deguewo. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Polisi yang berjaga-jaga di dekat pendulangan tambang di Deguewo. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Mengenai aparat yang menjaga tambang, dia meminta Kapolri bertindak. Brimob melakukan kekerasan sampai jatuh korban jiwa. ”Pelanggaran HAM tak boleh berlarut. Tindak aparat keamanan yang menembak warga,” katanya.

Dia mendesak, seluruh aset perusahaan tambang disita dan mereka didenda serta wajib melakukan pemulihan kawasan.

Operasi tambang yang memberikan dampak buruk pada lingkungan  hidup dan sosial ini bisa dikatakan pembunuhan etnis secara pelahan. “Bayangkan,  sekarang banyak warga terkena penyakit HIV/AIDs, belum lagi sumber air mereka tercemar bahan berbahaya. Ini pembunuhan pelahan-lahan.”

Berbagai aktivitas tambang emas dan helikopter sebagai alat transportasi sehari-hari. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Berbagai aktivitas tambang emas dan helikopter sebagai alat transportasi sehari-hari. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

Lokasi tambang emas PT West Wist Mining di Sungai Degeuwo (Derewo). Foto dari website PT WWM


Lahan Adat di Degeuwo Terampas Tambang Emas, Lingkungan Tercemar was first posted on June 13, 2014 at 9:29 pm.
Viewing all 3858 articles
Browse latest View live