Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3846 articles
Browse latest View live

Pengakuan Hak Masyarakat Adat Mandek, Komnas HAM Bersiap Investigasi Menyeluruh

$
0
0

Aksi masyarakat Pandumaan-Sipituhuta dan AMAN di depan Kemenhut, Selasa(5/3/13) Mereka meminta pengembalian tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah menjadi tempat tinggal dan hutan mereka turun menurun. Mereka juga meminta pembebasan 16 warga yang ditangkap polisi.Hingga kini, tak ada kejelasan penyelesaian konflik. Kemenhut ngotot memberikan solusi kemitraan yang jelas-jelas ditolak dua desa, Pandumaan dan Sipituhuta. Foto: Sapariah Saturi

Setahun putusan MK 35 tak ada implementasi di lapangan, AMAN bersama organisasi masyarakat sipil akan mengirimkan surat ke Presiden SBY. “Mau diingat sebagai pemegang janji atau pembohong,” begitu kata Abdon Nababan.

Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) “gerah” melihat tak ada perkembangan pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia meskipun sudah ada putusan MK 35 yang menguatkan pengakuan hak mereka setahun lalu. Lembaga inipun bersiap melakukan inkuiri nasional, yakni membongkar pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami masyarakat adat di berbagai daerah secara sekaligus.

“Ini investigasi masalah HAM yang sistematis, bukan kasus per kasus. Masyarakat umum diundang turut serta,” kata Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM pada acara peringatan setahun putusan MK 35 di Jakarta, Selasa (13/5/14).

Dia mengatakan, Komnas HAM menempuh langkah inkuiri nasional karena sudah begitu banyak laporan kasus pelanggaran hak-hak masyarakat adat masuk ke mereka.

Pengakuan hak masyarakat adat, katanya, berlarut-larut sedang konflik di lapangan berlanjut dan korban terus berjatuhan.  “Padahal sudah ada putusan MK sejak 2013. Sudah itu ada pengingkaran pula oleh lembaga pemerintah. Bukan follow up tulus, malah lakukan putusan justru perumit persoalan.”

Dengan inkuiri nasional ini, Komnas HAM akan mengumpulkan bukti publik dari para saksi dan ahli serta investigasi pola sistemik pelanggaran HAM yang dialami masyarakat adat.

Menurut dia, jika mau dibilang, Komnas HAM terpaksa mengambil langkah ini melihat pemerintah belum bertindak. “Dengan proses ini kami upayakan ada informasi komprehensif. Ini juga bisa jadi proses edukasi publik. Dengan kesaksian dilakukan di tujuh wilayah di Indonesia. Dari proses partisipatif ini akan ada rekomendasi kepada pemerintah,” ujar Moniaga.

Dia juga mengajak Kemenkokesra, sebagai pihak yang kini ditunjuk Presiden buat mewujudkan implementasi MK 35, mengikuti keseluruhan proses inkuiri nasional ini. Dia juga mengajak sebanyak mungkin instansi pemerintah bergabung. “Jadi, nanti bisa langsung tahu masalah, dan bisa ditindaklanjuti lebih kongkrit.”

Moniaga mengatakan, inkuiri ini akan launching di Jakarta pada 20 Mei 2014, bersamaan Hari Kebangkitan Nasional. Public hearing, katanya, akan dilakukan di tujuh wilayah, yakni Sumatera Utara, Banten, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Pulau Buru Maluku dan Papua.

Dalam satu wilayah, minimal membahas enam kasus dengan 12 saksi korban. “Baik saksi diadukan, saksi ahli dari akademisi, pemuka masyarakat dan pendamping korban dengan format terbuka dan tertutup di hadapan komisi inkuiri.”

Rumah masyarakat adat Semende Agung di Bengkulu dibakar operasi gabungan TNBBS. Warga di sana dinilai merambah kawasan taman nasional. Padahal, dari warga berargumen mereka di sana sudah turun menurun ratusan tahun. Putusan MK 35 tak bermakna, empat warga dipidana dalam kasus ini. Foto: AMAN Bengkulu

Jalan di tempat

Terkait putusan MK 35, Iwan Nurdin, sekretaris jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan, setahun pasca putusan MK, peluang politik makin meluas, misal ada kesepakatan bersama KPK dan 12 kementerian dan lembaga, antara lain, mendorong percepatan perluasan kawasan hutan, pengelolaan wilayah rakyat dan penyelesaian konflik agraria dan UU Desa.

Sayangnya, peluang ini tak langsung berakibat pada peningkatan akses rakyat. “Karena ada mesin politik bekerja sesuai kepentingan sendiri. Itulah birokrasi pemerintah. Mereka punya kepentingan sendiri yang tak sama dengan kebijakan politik yang tersedia.”

Dia mencontohkan, salah satu Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Mengapa ada kepentingan? “Ini terkait dengan sikap pencari rente dalam izin-izin pengelolaan sumber daya alam.”

Kawasan hutan itu, katanya, tempat ketidakadilan agraria, karena terjadi ketimpangan penguasaan lahan. “Hutan luas, sekian puluh juta hektar untuk HTI dan kebun. Sedang kurang dari satu juta hektar buat masyarakat. Itu ketimpangan luar biasa. Lalu di titik itulah kemiskinan dan keterbelakangan paling banyak.”

Sesungguhnyal kata Iwan, konflik agraria itu  berpusat di kawasan kehutanan. Apa yang dilakukan Kemenhut? “Pelepasan, pinjam pakai (kawasan hutan)  jadi bisnis utama.” Jadi, kata Iwan, batu sandungan terbesar implementasi MK 35 ini ada di Kemenhut.

Dia juga mengusulkan, Kemenhut berubah menjadi Kementerian Perhutanan. “Ia akan setia menjaga hutan, bukan berbisnis lahan. Ia pengawas hutan. Kalo ada yang ga setia dengan fungsi kehutanan, kementerian ini yang nyegel.”

Myrna Safitri, direktur eksekutif Epistema Institute juga sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria menilai, keputusan MK 35 itu seakan-seakan suatu kemajuan. Padahal, ia hanya bergerak dalam lingkaran sendiri dan sulit keluar. “Mbulet.  Ini kesan saya.”

Betapa tidak, putusan MK 35 keluar, tetapi di lapangan masyarakat adat banyak dikriminalisasi. Parah lagi, tak ada upaya pemerintah membuat kebijakan yang mampu mengatasi persoalan ini dengan cepat.

Meskipn begitu, dia menilai daerah sebagai kunci masuk jika ingin putusan MK terlaksana. “Ini sedang berebut ruang dengan kekuatan-kekuatan lain yang lebih mampu pengaruhi kebijakan secara faktual di lapangan.”

Mengapa begitu? Sebab, kondisi kini 90-an persen hutan dialokasikan kepada perusahaan-perusahaan besar. “Hanya tiga persen buat masyarakat.”

Ketimpangan ini, katanya, terjadi by design, salah satu bukti bisa dilihat dalam rencana Kemenhut 2012-2030,  hutan masyarakat hanya 5 juta hektar. “Angka buat rakyat tak akan mencapai lima persen.” Jadi, tak heran jika upaya-upaya pemerintah dalam menyikapi MK 35 malah berlawanan.

Hal lain yang menyebabkan titik simpul penting ada di daerah, kata Myrna, karena apapun kebijakan kalau dicermati bermuara ke daerah. “Suka tidak suka, bola akan dilempar ke daerah, misal edaran Kemenhut yang dibuat dua bulan putusan MK mengatakan, harus ada perda. PP Menhut No 62 juga kembalikan pada pemda. Lalu SE Mendagri juga kembali ke daerah. UU NO 6 tahun 2014, penetapan desa adat juga tugas pemda. Artinya titik simpul paling penting itu ada di daerah.”

Untuk itu, hal yang bisa dilakukan lewat kejelian mendorong peraturan daerah. Sebenarnya, perda mulai diatur sejak 1999 tetapi belum memberikan perubahan signifikan alias tak mampu mencapai sasaran.

Penyebabnya antara lain,  perda-perda itu lebih banyak mengatur prosedural dan sangat jarang tegas menetapkan wilayah masyarakat adat dengan peta jelas. Lalu, problem lembaga pelaksana pengakuan masyarakat itu oleh dinas-dinas yang tak relevan. “Misal, Dinas Pariwisata dan Olah Raga ngurusi masyarakat adat.”

Masyarakat adat di Halmahera meblokade jalan yang dibuat perusahaan di lahan adat. Putusan MK 35 belum menjadi angin segar bagi mereka. Foto: AMAN Maluku Utara

Myrna juga mengingatkan, pelaksanaan putusan MK 35 bukan sekadar menerbitkan peraturan daerah dan pemetaan. “Lebih penting menyadari putusan MK berarti mandat politik lain pada pemda untuk penataan ulang relasi antar komunitas. Ini bukan tugas gampang, perlu keterampilan dan komitmen.”

Sebab, ketika berbicara mengenai pengakuan hak berarti menyangkut negosiasi komunitas yang ada di lingkungan itu. Jadi, bagaimana pemda merekonsiliasi antar komunitas agar berjalan damai tak ada konflik horizontal. “Back up penting diberikan pusat kepada pemda. Saya masih melihat, Kemendagri jadi pihak yang fasilitasi pemda lakukan tugas berat ini.”

Marwan, asisten deputi Urusan Konflik Sosial di Kemenkokesra—sebagai kementerian yang diserahi tugas Presiden mengurusi implementasi putusan MK 35—mengatakan, baru diserahkan putusan itu sekitar dua bulan lalu. “Kita mulai tangani ini. Saat ini baru pertemuan-pertemuan dengan kementerian terkait.” Dia tampak belum menguasai masalah.

Kala ditanya apakah Kemenkokesra akan ikut dalam proses inkuiri nasional agar mendapat pandangan beragam kasus, “Belumlah. Kita urus penetapan-penetapan ini dulu.”

“Penetapan apa pak?”

“Penetapan penyelesaian konflik,” kata Marwan, tanpa menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud penetapan penyelesaian konflik itu.

Surati Presiden

Menyikapi ketidakjelasan kebijakan pemerintah dalam menjalankan putusan MK ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama organisasi masyarakat sipil akan menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

AMAN, Epistema, HuMa, Walhi, Greenpeace, Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) melakukan konsolidasi nasional guna memberikan rekomendasi kepada SBY.

Abdon Nababan, sekretaris jenderal AMAN mengatakan, setelah ada putusan MK, semestinya kepala negara membuat peraturan presiden sebagai kebijakan transisional. Namun, sampai hari ini komitmen SBY baru sebatas ucapan.  “Intinya menagih janji Presiden. Ini masa sudah mau habis.  Mau diingat sebagai pemegang janji atau pembohong,” katanya.

Tak pelak, berbagai upaya masyarakat adat seperti rancangan UU perlindungan masyarakat hukum adat sampai pemetaan partisipatif seakan ‘terlunta-lunta’ tak ada kejelasan. “Draf RUU sudah dibuatkan AMAN, tinggal diperbaiki, tapi belum juga.” Begitu pula peta wilayah adat,  meskipun sudah diserahkan ke Badan Informasi Geospasial tetapi tak ditindaklanjuti. “Yang ada hanya saling lempar. Belum ada yang memverifikasi peta-peta itu. Presiden bisa turun tangan, tunjuk siapa anak buahnya yang menangani itu. Tapi sampai sekarang, tak ada?”

Pemasangan plang tanah adat Matteko secara gotong royong oleh masyarakat adat Matteko. Kaum perempuan pun tak mau ketinggalan turun lapangan. Besarnya antusias masyarakat adat Matteko mengikuti kegiatan pemetaan ini menguat setelah putusan MK 35. Foto: Wahyu Chandra


Pengakuan Hak Masyarakat Adat Mandek, Komnas HAM Bersiap Investigasi Menyeluruh was first posted on May 14, 2014 at 8:14 pm.

KLH akan Gugat Perusahaan Cemari Sungai dan Pertanian di Rancaekek

$
0
0
Hamparan lahan pertanian warga di Kabupaten Bandung, yang berubah menjadi kolam lumpur hitam dampak limbah pabrik tekstil. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Hamparan lahan pertanian warga di Kabupaten Bandung, yang berubah menjadi kolam lumpur hitam dampak limbah pabrik tekstil. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Bahthasar Kambuaya, Menteri Lingkungan Hidup, inspeksi mendadak ke lahan pertanian dan sungai tercemar limbah industri tiga perusahaan tekstil di Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Rabu (14/5/14). Tiga perusahaan tak beritikad baik menyelesaikan masalah meskipun sudah ada kesepakatan. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup, akan bertindak tegas baik memberi sanksi administratif, maupun mengajukan gugatan perdata dan pidana.

“Kasus pencemaran lingkungan hidup ini sudah dikeluhkan masyarakat cukup lama. Sampai saat ini belum ada penyelesaian. Karena itu, perlu penegakan hukum lingkungan yang pasti dan cepat,” katanya dalam rilis kepada media, Rabu (14/5/14).

Pencemaran ini sudah berlarut-larut sejak 2002.  Masyarakat mengeluhkan pencemaran Sungai Cikijing dan sawah di empat desa, yaitu desa Jelegong, Bojongloa, Linggar dan Sukamulya, Kecamatan Rancaekek. Pencemaran ini dari pembuangan air limbah industri tiga perusahaan di Kabupaten Sumedang, yaitu PT KHT-II, PT ISIT dan PT FST.

Perkiraan luas lahan tercemar di Kecamatan Rancaekek, 752 hektar dari total lahan baku sawah 983 hektar.  Tak hanya sungai yang tercemar, juga air permukaan dan air tanah sebagai sumber air bersih bagi penduduk.

Berdasarkan penelitian Balai Peneltian Tanah Bogor, pada 2003, menemukan, tanah yang tercemar membuat produktivitas padi rendah, dari enam sampai tujuh ton per hektar menjadi hanya satu sampai dua ton per hektar.

Berbagai upaya dilakukan pemerintah, termasuk penyelesaian kasus di luar pengadilan.  Hasil verifikasi lapangan menunjukkan ada indikasi kuat tiga perusahaan itu membuang air limbah melebihi baku mutu lingkungan.

Sejak Januari 2013 sampai 26 Februari 2014, Kementerian Lingkungan Hidup, BPLHD Jawa Barat, BLH Sumedang dan BLH Kabupaten Bandung sepakat penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Proses mediasi berlangsung, yaitu pembayaran ganti rugi kepada masyarakat empat desa itu. Juga, pemulihan 752 hektar sawah tercemar dan memperbaiki pengelolaan air limbah.

Sayangnya, sampai saat ini, ketiga perusahaan tak ada itikad baik menyelesaikan ganti rugi dan perbaikan lingkungan. “Jika sudah begitu sesuai UU perlu tindakan tegas.” Dalam sidak itu menteri didampingi Wakil Gubernur Jabar, Deddy Mizwar, Deputi V KLH Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, Sudariyono.

Balthasar Kambuaya, Menteri LH tengah meninjau sungai yang berwarna hitam karena tercemar limbah pabrik di Kabupaten Bandung. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Balthasar Kambuaya, Menteri LH tengah meninjau sungai yang berwarna hitam karena tercemar limbah pabrik di Kabupaten Bandung. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup

Seorang warga korban pencemaran limbah. Lahan pertanian rusak, tanaman pun mati. Tiga perusahaan membandel, KLH berencana menggugat. Foto: Kementrian Lingkungan Hidup

 


KLH akan Gugat Perusahaan Cemari Sungai dan Pertanian di Rancaekek was first posted on May 14, 2014 at 10:43 pm.

UU PPLH Tak Bergigi, Banyak Pejuang Lingkungan Dikriminalisasi

$
0
0

Anwar Sadat, mantan direktur eksekutif Walhi Sumsel, dipenjara dengan tuduhan perusakan pagar Polda Sumsel. Padahal, dia tak melakukan perusakan, bahkan mengalami luka-luka kala ditangkap polisi. Polisi yang melukai malah tak mendapat hukuman. Dia ditangkap kala mendampingi ratusan petani OKI yang menuntut pengembalian lahan dari PTPN Cinta Manis. Foto: Walhi Sumsel

UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 66 menyebutkan pejuang lingkungan tak bisa dikenai hukum. Sayangnya, pasal ini seakan tak berarti karena masih banyak kriminalisasi dialami pejuang lingkungan hidup.

“Implementasi Pasal 66 UU PPLH ini penting agar aktivis lingkungan hidup tidak dikriminalisasi,” kata Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasionaldi Jakarta, akhir April 2014.

Catatan Walhi terjadi peningkatan jumlah kriminalisasi pejuang lingkungan hidup. Baik terhadap masyarakat, komunitas bahkan pengurus organisasi di daerah. Tahun 2012, terjadi 147 kasus, 2013 naik signifikan menjadi 227 kasus.

Dedi Bram, ahli hukum lingkungan hidup Universitas Tarumanegara mengatakan, kesulitan pelaksanaan Pasal 66 karena banyak hakim tidak memiliki sertifikasi khusus soal hukum lingkungan. “Masyarakat dijerat hukum karena mengambil ranting di kawasan hutan dan diancam UU P3H, korporasi yang membabat hutan dibiarkan,” katanya.

Dia mencontohkan, kasus di Batu, Jawa Timur. Hakim di kota itu belum banyak memiliki sertifikasi hukum lingkungan hidup sampai diganti. “Ketika saya chek hakim bilang sudah ikut sertifikasi. Kenyataan tidak. Hanya pelatihan, tapi tak lulus. Ini jadi masalah serius.”

Rhino Subagya dari USAID mengatakan, Pasal 66 lahir dengan semangat melindungi aktivis lingkungan hidup. Dalam kenyataan berbalik. Pejuang lingkungan hidup diintimidasi dengan teror. Bahkan digugat hukum, baik pidana maupun perdata.

Mahkamah Agung tahun 2011 sudah membuat pedoman hakim menyikapi ini. “Harus dilihat obyektif tindakan anarkis akibat pengelolaan SDA. Hakim perlu melihat konten pencemaran lingkungan jadi acuan utama saat masuk gugatan hukum.”

Hak atas lingkungan hidup baik dan sehat, merupakan hak asasi manusia jadi wajib diperjuangkan.

Tumpak Winmark Hutabarat, koordinator media Walhi Nasional mengatakan, di kepolisian, pemahaman di Mabes Polri belum sampai kepada penyidik di daerah. Hingga Pasal 66 diabaikan.

Yazid Fanani, dari Bareskrim Polri mengatakan, pejuang lingkungan hidup tidak bisa dituntut tetapi jika merusak dan anarkis jadi masalah lain. “Ini tindak pidana.”

Kala proses penyidikan, polisi tak berdiri sendiri, tetapi tergantung keterangan saksi ahli. “Seringkali saksi ahli, tidak hadir dalam persidangan.”

Keterangan saksi ahli juga menyulitkan penyidik. Misal, polri dan perusahaan menggunakan alhi dari satu universitas sama tetapi keterangan berbeda.  “Kita berkomitmen penuh, tentu masih banyak kekurangan.”

Edo Rahman, pengkampanye Walhi Nasional, mengatakan, Pasal 66 yang masuk pejuang lingkungan perorangan atau badan usaha yang menjadi saksi atau pelapor tidak berlaku masyarakat.

“Bagaimana dengan masyarakat atau kelompok masyarakat yang mempertahankan lingkungan hidup dari ancaman kerusakan? Ini tujuan sama tetapi perlindungan hukum berbeda.”

Dalam beberapa kasus didampingi Walhi, meski berstatus pelapor atau penggugat namun warga tak lepas dari kriminalisasi dan gugatan balik.

 


UU PPLH Tak Bergigi, Banyak Pejuang Lingkungan Dikriminalisasi was first posted on May 15, 2014 at 11:44 pm.

Setahun Putusan MK 35, Pengakuan Hutan Adat Masih di Awang-awang

$
0
0
Rumah warga adat Semende Agung yang dibakar karena berkonflik dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Foto: AMAN Bengkulu

Rumah warga adat Semende Agung yang dibakar karena berkonflik dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Foto: AMAN Bengkulu

Midi, Rahmad, Suraji dan Heri,  tercengang mendengarkan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bintuhan, pada Kamis (24/4/14). Mereka, empat dari masyarakat adat Semende Banding Agung, yang dihukum maksimal tiga tahun dan denda Rp1,5 miliar. Mereka diputus hakim sebagai perusak hutan gara-gara hidup dan berkebun di lahan turun menurun sanak keluarga mereka. Parahnya, lokasi mereka itu ditetapkan pemerintah secara sepihak sebagai taman nasional.

Vonis ini, setelah Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013 memutuskan hutan adat bukan bagian hutan negara. Masyarakat adat memiliki hak atas wilayah dan hutan mereka yang selama ini diklaim sebagai hutan negara. Kini, tepat setahun putusan MK itu. Angin segar pengakuan hak yang diharapkan masyarakat adat tampak masih di awang-awang…

Konflik di Bintuhan, hanya satu dari puluhan bahkan ratusan kasus di Indonesia, bagaimana masyarakat adat mempertahankan lahan berakhir penangkapan sampai dipenjara.

“Tak ada yang berubah dari sikap pemerintah daerah pasca keputusan MK, satu tahun berjalan, pemerintah daerah terkesan banyak menunggu instruksi dari Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono yang nyata-nyata lamban beraksi,” kata Deftri Hamdi, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu kepada Mongabay, Kamis (15/5/14).

Dia mencontohkan, konflik masyarakat adat Semende Dusun Lamo Banding Agung, di Kabupaten Kaur dengan Kementerian Kehutanan tidak pernah ditanggapi bupati. Alasannya, kebijakan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) bukan domain kabupaten. “Konflik ini meruncing karena pemerintah daerah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawab menjalankan UUD 1945 dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat.”

Pasca MK itu 35 16 Mei 2013, sebenarnya angin segar bagi masyarakat adat Bengkulu. Mereka menyikapi positif, dan membantu pemerintah menunjukkan keberadaan wilayah-wilayah adat di Bengkulu. Namun, upaya masyarakat adat tak mampu direspon pemerintah daerah.

Berbagai aksi dilakukan masyarakat adat pasca putusan itu. Seperti masyarakat Semende Banding Agung memasang plang di wilayah adat. “Pengumuman: Hutan Adat Semende Banding Agung bukan lagi hutan Negara berdasarkan putusan MK No.35/PUU-X/2012.”

“Ini untuk memberikan informasi kepada TNBBS dan pemerintah Kaur bahwa wilayah mereka selama ini diklaim sepihak pemerintah Indonesia sebagai kawasan hutan.”

Sayangnya, respon pengelola taman nasional sangat berlebihan. Dalam operasi, aparat-aparat TNBBS merusak dan membakar rumah-rumah warga Semende. “Plang pengumuman putusan MK 35 dibuang.”

Penderitaan warga adat tak sampai disitu. Empat warga Semende Banding Agung dihukum pidana tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar atau sebulan kurungan penjara.

Lahan adat di Maluku Utara, diberi police line oleh aparat keamanan. Warga pun diminta pergi dari lahan yang diklaim sepihak oleh perusahaan. Foto: AMAN Malut

Suara dari Maluku Utara juga serupa. Munadi Kilkoda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara sangat kecewa dengan perkembangan implementasi putusan MK 35 di lapangan.

Kekecewaan bertambah kala harapan besar kepada Presiden SBY untuk segera membuat mandat baik instruksi maupun peraturan presiden terkait putusan MK, bak asa tak berbalas.

“Justru terbalik, malah terjadi pembiaran oleh negara terus-menerus. Terjadi pelanggaran HAM di masyarakat adat dan hak mereka atas tanah, wilayah dan sumber daya alam.”

Perih lagi, kala sebagian masyarakat adat ditangkap dengan tduhan melanggar UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusahan Hutan (P3H). “Padahal mereka beraktivitas di wilayah adat mereka.”

Sedang perusahaan, katanya, diberikan kuasa penuh menghancurkan hutan adat terus-menerus, contoh PT Weda Bay Nickel, PT Antam dan PT Nusa Halmahera Mineral.

“Saya kira konflik agraria membuat negara ini tidak maju-maju. MK-35 ini solusi penyelesaian masalah yang berhubungan dengan hak klaim atas satu kawasan yang selama ini menjadi rebutan banyak pihak,” kata Munadi.

Dia meminta, SBY  maupun presiden baru segera melaksanakan putusan MK. “Jangan mengabaikan. Mengabaikan sama saja mengabaikan amanat konstitusi…”

Perjuangan pengakuan wilayah adat yang lambat terwujud meskipun sudah ada putusan MK 35 juga terjadi di Kalimantan Barat (Kalbar), seperti di Kabupaten Ketapang.

Kampung Tembawang di Ketapang, yang tengah diperjuangkan menjadi wilayah adat. Foto: Andi Fachrizal

Kampung Tembawang di Ketapang, yang tengah diperjuangkan mendapatkan perlindungan sebagai wilayah adat. Foto: Andi Fachrizal

Bagi komunitas masyarakat adat Dayak di Ketapang, Kampung Tembawang adalah sebuah kehormatan. Ia potret kearifan lokal yang dijaga ketat melalui hukum-hukum adat. Kini, kampung itu menuntut pengakuan dan perlindungan masuk skema hutan adat.

“Kampung Tembawang itu identitas budaya kami. Ketika Tembawang hilang, hilanglah identitas orang Dayak,”  kata Petrus Singa Bansa. Dia Raja Ulu Ai’ keturunan ke-51.

Petrus mengatakan, pemerintah seharusnya cepat membuat langkah-langkah pengakuan Tembawang, karena sistem ini warisan pendahulu mereka.

Hampir setiap desa yang dihuni masyarakat Dayak memiliki Kampung Tembawang. Kampung ini sebagai model agroforestry masyarakat adat. Ia menjadi contoh bagi pengelolaan hutan lestari. Namun, status kawasan ini masih dalam bayang-bayang “ancaman”.

Keputusan MK 35, menjadi atmosfer baru bagi masa depan Kampung Tembawang. Melalui keputusan itu, sejumlah elemen masyarakat menuntut pengakuan dan perlindungan Tembawang. Tembawang diyakini sebagai perbaikan tata kelola hutan dan lahan yang berpihak pada keadilan dan keberlanjutan.

Komunitas masyarakat adat di tujuh desa di Ketapang melakukan langkah-langkah strategis menyikapi keputusan MK itu. Desa-desa itu adalah Benggaras, Tanjung Maju, Sinar Kuri, Kepari, Sungai Daka, Benggaras, Demit, dan Desa Benua Krio.

Samuel, kepala Desa Tanjung Maju, memperkuat pernyataan Petrus Singa Bansa. Kampung Tembawang, katanya, perlu pengakuan dan perlindungan. Ciri kampung ini didominasi buah-buahan seperti durian, tengkawang, langsat, mentawa, patingan, nangka, pinang, kelapa, duku, pekawai, dan kemantan/kalimantan.

Ada pula rambai, kapul, kalik, sibo, cempedak, trembrenang, bunyo, manggis, satar, keranji, bawang, jantak, kemayo, tempasi, mentawai, asam pauh, rambutan, jambu, asam atau koli, tengkalak, rambutan, kopi, dan masih banyak lagi. “Kampung Tembawang di desa kami berada dalam satu hamparan luas” ucap Samuel.

Pius Rahasidi, pengurus adat Desa Sungai Daka mengatakan di Desa Sungai Daka, Tembawang disebut periau yang membentuk seperti pulau-pulau Tembawang di tengah perkebunan sawit.

Salfius Seko, akademisi Universitas Tanjungpura Pontianak, mengatakan, putusan MK ini peluang memberikan kesempatan masyarakat adat menunjukkan wilayah hutan adat mereka.

Keputusan ini, katanya,  tidak akan berarti jika tak disusul keputusan politik dari pemerintah daerah.“Tidak ada pertentangan hukum jika bupati mengeluarkan keputusan pengakuan dan perlindungan Tembawang dalam skema hutan adat.”

Nugroho, kabid Perlindungan Dinas Kehutanan Ketapang, mengatakan, Pemerintah Ketapang sangat mendukung usulan masyarakat yang disampaikan 14 November 2013. Namun proses harus bersabar.

Sebab, ada tahapan-tahapan harus dilakukan agar tidak menyalahi perundangan. “Usulan ini akan dimintai pertimbangan Biro Hukum sebelum diajukan kepada bupati. Perlu diingat yang memiliki kewenangan kawasan hutan Kementerian Kehutanan.”

Dede Purwansyah dari Sampan Kalimantan berpendapat, pengelolaan lewat Tembawang sudah terbukti lestari dan berguna bagi keragaman hayati endemik Kalimantan. Berdasarkan identifikasi biodiversity Tembawang oleh Sampan Kalimantan, dalam satu hamparan Tembawang ada lebih 100 jenis tanaman. Pengelolaan hutan lestari juga sejalan komitmen pemerintah Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca.

Ambrosius Pantas, perwakilan Desa Sinar Kuri, berharap, Pemerintah Ketapang benar-benar memperhatikan usulan mereka. “Karena jika Tembawang hilang dari wilayah dan hutan adat kami, identitas masyarakat sesungguhnya hilang.”

Masyarakat adat Dayak yang tengah mengusulkan   pengakuan wilayah adat Kampung Tembawang. Foto: Andi Fachrizal

Masyarakat adat Dayak yang tengah mengusulkan pengakuan wilayah adat Kampung Tembawang. Foto: Andi Fachrizal

Di Sulawesi Selatan, pengakuan hak masyarakat adat juga masih jauh dari harapan.  Yang terjadi, justru banyak bertentangan dengan putusan itu. Sardi Razak, ketua BPH AMAN Sulawesi Selatan, mengatakan, di berbagai forum Presiden SBY menyatakan komitmen mengimplementasikan Putusan MK No 35. “Kenyataan jauh panggang daripada api. Hanya karikatif tanpa eksekusi,” katanya di Makassar, Kamis (15/5/14).

Menurut Sardi, ketika putusan MK lahir jadi harapan. Namun kini justru makin tidak jelas. Upaya KPK memfasilitasi 12 kementerian menandatangani nota kesepahaman pengelolaan hutan pada 2013 juga tak bermakna sama sekali. “Kemenhut belakangan justru melahirkan kebijakan kontraproduktif.”

Sardi khawatir, kondisi ini akan memicu konflik pengelolaan hutan. “Kalau MK 35 masih stagnan, apa yang kami khawatirkan akan benar-benar terjadi.”

Sardi curiga, implementasi MK 35 stagnan karena pengelolaan hutan oleh investor di kawasan-kawasan adat. “Pemerintah lebih pro investor. Masyarakat adat yang mengelola hutan dengan kearifan justru terabaikan.”

Kemungkinan lain penyebab implementasi lamban, biaya besar harus ditanggung pemerintah. Selain regulasi nasional, juga daerah. “Ini biaya besar hingga mungkin menjadi pertimbangan pemerintah.”

Di Indonesia, baru beberapa kabupaten merespon dengan menggagas peraturan daerah. Salah satu di Kabupaten Bulukumba, Sulsel.

Sardi juga menyoroti kinerja Kemenhut yang mengabaikan masyarakat adat. Contoh, pemidanaan Najamuddin di Sinjai, selama lima bulan penjara hanya karena menebang pohon tanaman sendiri yang masuk kawasan hutan.

Sardi memuji Komnas HAM yang memiliki komitmen dan progres positif dalam merespon berbagai konflik SDA.

Marga Dawas, kembali menduduki wilayah adat mereka yang berkonflik dengan Suaka Marga Satwa. Foto: Taufik Wijaya

Marga Dawas, kembali menduduki wilayah adat mereka yang berkonflik dengan Suaka Marga Satwa. Foto: Taufik Wijaya

Dari Sumatera Selatan, putusan MK 35 juga belum berbuah konkrit, meskipun pemerintah daerah merespon positif tetapi menunggu kebijakan pusat.

Mereka berharap, Presiden baru mendorong pengembalian tanah adat yang dikuasai negara dan perusahaan,  kepada masyarakat adat.

“Teorinya pemerintah segera melaksanakan putusan MK, tapi tak terjadi. Hidup kami terus dalam tekanan di atas tanah sendiri,” kata Muhammad Sukri, pria 77 tahun, tokoh adat marga Tungkalulu, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, Kamis (15/5/14).

Dia berharap, pada presiden baru agar benar-benar menjalan putusan MK.

Sukri dan ribuan warga marga Tungkalulu dan Dawas, sejak dua tahun ini menduduki tanah adat yang diklaim milik negara sebagai Hutan Suaka Margasatwa Dangku seluas 28.500 hektar. Lalu perkebunan sawit 30 ribu hektar dikuasai PT Hindoli, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT BSS dan PT Dapur Sawit.

Saat ini, sekitar 2.000 warga menanam karet, bambu, buah-buahan hutan seperti duku, durian, cempedak, serta pisang, palawija dan sayuran.

Itu hanya satu dari sekian kasus di Sumsel. Rustandi Adriansyah, Ketua AMAN Sumsel, berharap, Presiden baru memiliki antusiasme mengembalikan hak masyarakat adat. “Moratorium perpanjangan dan pemberian izin konsesi baru. Selesaikan konflik tanah adat.”

Lalu, hentikan kekerasan aparat penegak hukum terhadap masyarakat adat yang menuntut hak dan mengelola kawasan yang diklaim industri dan negara. “Terakhir, audit sumber daya alam perlu guna menegaskan hak-hak rakyat dan keadilan hukum agraria,” katanya.

Nasib miris masyarakat adat memperjuangkan hutan adat juga terjadi di Sumatera Utara, salah satu di Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Mereka menolak hutan kemenyan dan hutan Register 41 yang masuk dalam hutan adat, dibabat PT Toba Pulp Lestari (TPL).

James Sinambela, tokoh adat Batak juga Ketua Masyarakat Perjuangan Hutan Kemenyan, Pandumaan- Sipituhuta, mengatakan, salah satu alasan menolak hutan kemenyan diambil TPL karena merupakan tanah adat.

Seharusnya, kata Sinambela, dengan putusan MK memperkuat posisi mereka dalam mempertahankan hutan adat. Namun, pemerintah terkesan membiarkan. Hingga sekarang, sosialisasi putusan ini tidak pernah dilakukan.

“Masyarakat adat tidak mendapatkan informasi apapun soal keputusan MK ini. Sepertinya sengaja didiamkan, demi kepentingan pengusaha dan penjahat kehutanan.”

Mengapa putusan MK diabaikan?  Kata Sinambela, ada indikasi karena pemerintah, khusus oknum di Kemenhut dan pemerintah daerah sudah mendapatkan komisi dari sejumlah perusahaan yang beroperasi di hutan adat.

Pohon kemenyan dan pohon-pohon lain di Registes 41 (Hutan Kemenyan) yang habis dibabat TPL, kini tinggal tanaman ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro


Setahun Putusan MK 35, Pengakuan Hutan Adat Masih di Awang-awang was first posted on May 16, 2014 at 5:43 pm.

Raung dan Umba, Pasangan Capres-Cawapres Wakili Lingkungan

$
0
0
Capres Raung dan Cawapres Umbu memasuki ruangan KPU untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan yang mewakili lingkungan Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Capres Raung dan Cawapres Umbu memasuki ruangan KPU untuk mendaftarkan diri sebagai pasangan yang mewakili lingkungan Indonesia. Foto: Sapariah Saturi

Surat pernyataan bakal calon Presiden/wakil Presiden.

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama calon                            : Raung dan Umba

Pekerjaan                               : Raja hutan dan intelektual laut

Alamat tempat tinggal              : Lingkungan Indonesia

Menyatakan sebenar-benarnya bahwa saya berkomitmen 100% untuk lingkungan Indonesia. 

Begitulah spanduk besar, dibawa aktivis Greenpeace, sebagai kertas ‘pendaftaran’ calon Presiden (Capres), Raung dan calon wakil Presiden (Cawapres) Umba, ke KPU, di Jakarta, pada Jumat (16/5/14). Pasangan berkomitmen lingkungan ini juga menyampaikan visi misi mereka.

Raung, adalah harimau Sumatera, telah kehilangan keluarga karena kebakaran hutan. Lebih dari separuh habitat Raung juga hilang karena deforestasi.  Pada periode 2000-2012, Indonesia kehilangan 15,8 juta hektar hutan.

Umba ini lumba-lumba terancam karena penangkapan ikan berlebih dan kehilangan laut bersih akibat tailing serta buangan minyak kotor. Sejak April 2014, pencemaran buangan minyak kotor di pesisir Bintan, Batam dan Karimun, Kepulauan Riau diperkirakan mencapai 5.000 barel-10.000 barel setara hingga 1.590 meter kubik minyak kotor. Ia mencemari kawasan pantai.

Tujuan Raung dan Umba mendaftar untuk meramaikan bursa pencapresan sekaligus menyerukan para pasangan capres Indonesia, yang bakal mendaftar 18-20 Mei, mempunyai visi misi melindungi lingkungan.  Sedang pemilihan Presiden, pada 9 Juli 2014. Walau belum resmi mendaftar, beberapa capres ditetapkan partai dan koalisi pun mulai dikukuhkan. Ada Capres Joko Widodo dari PDIP dengan Cawapres belum ditetapkan. Ada Prabowo Subiyanto dari Gerinda berpasangan dengan Hatta Radjasa, PAN, walaupun dikabarkan formasi mungkin masih bisa berubah.

Pasangan Raung-Umba, ini ditemui komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Dengan membawa Raung dan Umba, Greenpeace menyerukan agar pasangan capres dan cawapres memiliki komitmen lingkungan. Foto: Sapariah Saturi

Dengan membawa Raung dan Umba, Greenpeace menyerukan agar pasangan capres dan cawapres memiliki komitmen lingkungan. Foto: Sapariah Saturi

Pasangan Raung dan Umba  bersama  komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah.Foto: Sapariah Saturi

Pasangan Raung dan Umba bersama komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah.Foto: Sapariah Saturi

Ariefsyah Nasution, juru kampanye Greenpeace Indonesia, melihat sampai saat ini belum ada capres dan cawapres yang berkomitmen penuh melindungi lingkungan Indonesia, yang sudah kritis ini. Kini, di Indonesia, hutan dan gambut banyak hancur, sungai-sungai sampai laut tercemar limbah.

“Jadi, ingin mengajak para cawapres agar punya misi perlindungan bagi sumber daya alam yang kritis, spesies langka, sampai perlindungan sumber daya air,” katanya.

Untuk itulah, Greenpace, membawa simbol harimau dan lumba-lumba sebagai capres dan cawapres mewakili lingkungan dan simbol dua spesies terancam.

Hadar menyambut gembira kedatangan para aktivis Greenpeace yang menyerukan agar pasangan capres-cawapres memiliki visi misi perlindungan lingkungan.  “Sore, kami ada pertemuan dengan perwakilan partai politik, akan kami sampaikan pula aspirasi ini,” katanya.

Soal pencapresan, kata Hadar, merupakan otoritas partai politik. Untuk itu, dia menyarankan Greenpeace juga bertemu dengan para capres guna mengajak mereka berkomitmen melindungi lingkungan.

Raung dan Umba, sebelum 'pendaftaran' sebagai salah satu pasangan capres dan cawapres di KPU. Foto: Sapariah Saturi

Raung dan Umba, sebelum ‘pendaftaran’ sebagai salah satu pasangan capres dan cawapres di KPU. Foto: Sapariah Saturi

Pasangan ini memaparkan visi misi yang berkomitmen 100% terhadap perlindungan lingkungan. Foto: Sapariah Saturi

Pasangan ini memaparkan visi misi yang berkomitmen 100% terhadap perlindungan lingkungan. Foto: Sapariah Saturi

 


Raung dan Umba, Pasangan Capres-Cawapres Wakili Lingkungan was first posted on May 16, 2014 at 8:08 pm.

Jarah Hutan Lindung, Kadis Pendapatan Simalungun jadi Tersangka

$
0
0
Potonga-potongan kayu hutan di wilayah  Register Simalungun siap diangkut. Foto: Ayat S Karokaro

Potonga-potongan kayu hutan di wilayah Register Simalungun siap diangkut. Foto: Ayat S Karokaro

Sekitar 250 hektar hutan lindung Simalungun rusak parah dijarah komplotan JW Saragih yang kini duduk sebagai Kadis Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Pemkab Simalungun. Sebelumnya dia Kadis Kehutanan Simalungun.

Tim penyidik gabungan Polres) Simalungun,  dan  Satuan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara, akhirnya menetapkan mantan Jan Wanner Saragih, mantan kadis Kehutanan Simalungun, sebagai tersangka perambahan hutan. Penetapan ini, setelah gelar kasus antara Polres Simalungun dengan Polda Sumut, beberapa pekan lalu.

Saragih, saat ini menjabat kepala Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Pemkab Simalungun, jadi tersangka setelah pengembangan dan pemeriksaan 12 tersangka yang ditangkap terlebih dahulu. Ke-12 orang ini menebang hutan lindung di Simalungun.

“Benar, sudah kita tetapkan tersangka, berinisial JWS. Penyidikan tersangka diambil alih Polda Sumut. Ini masih dikembangkan, ” kata AKP Wilson BF Pasaribu, Kasat Reskrim Polres Simalungun, ketika dikonfirmasi Mongabay Rabu (14/5/14).

Wilson mengatakan, dari pemeriksaan dan sejumlah bukti,  tersangka bersama 12 tersangka lain,  diduga terlibat perambahan ratusan hektar hutan register di Desa Togur, Kecamatan Dolok Silau, Simalungun.

“Apakah itu membuat kebijakan, termasuk soal izin dan menerima sesuatu menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, termasuk berdampak pada kerusakan hutan lindung di Simalungun,” katanya.

Selain memeriksa 12 tersangka, Polres Simalungun, juga memeriksa saksi ahli antara lain antara lain Dinas Kehutanan Sumut, dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Dari pemeriksaan 12 tersangka dan sejumlah saksi, ada dugaan otak pelaku Saragih. Apalagi, juga menemukan sejumlah bukti kuat, ada aliran uang dari Saragih. Uang itu untuk merambah, dan menebang kayu hutan di hutan lindung Simalungun.

“Jadi aliran uang diduga dari Saragih ke 12 tersangka sebagai upah menebang. Ini terus kita dalami dan tidak akan dihentikan.”

Wilson mengatakan, polisi terus mendalami kasus ini. Setelah Polres Simalungun, berhasil membongkar dan menangkap 21 orang diduga merambah hutan pada 19 Maret 2014. Dari sana 12 orang tersangka, selebihnya saksi.

Polres Simalungun, juga mengamankan barang bukti berupa kayu hutan berbagai jenis 1.900 gelondongan, dan empat alat berat. Dari floting area hutan, setidaknya ada 250 hektar hutan lindung rusak parah.

Saragih diduga otak pelaku berdasarkan keterangan tersangka Iwan Lubis. Dia menyebutkan Saragih pemodal perambah hutan lindung Sianak-anak I, II dan Hutan Register 4-6 Nagori Togur, Kecamatan Dolok Silau, Simalungun.

Langsung Dicopot

Pasca penetpan tersangka, Bupati Simalungun, Jopinus Ramli Saragih langsung mencopot jabatan Saragih sebagai Kadis Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemerintahan Simalungun. Posisi ini sementara waktu dipegang Jasman Saragih.

Bupati menyebutkan pergantian itu tidak ada kaitan dengan kasus Saragih, murni penyegaran agar mempercepat pembangunan di kabupaten itu. “Hanya penyegaran tugas. Ini berlaku sejak 7 Mei.”

Para tersangka diancam Pasal 78 UU 41 1999 tentang Kehutanan, dan UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) jo Pasal 55, 56 KUHPidana.

Sejumlah data Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (HIMAPSI), dari hasil penelusuran selama sebulan terakhir, kerusakan terparah ada di tiga titik.

Di Kecamatan Silau Kahean, kerusakan hutan lindung dan hutan register akibat penebangan liar sekitar 1.000 hektar lebih. Di Kecamatan Dolok Silau, mencapai 1.140 hektar, dan di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, luas hutan lindung dan hutan register rusak parah 2.000 hektar lebih.

Lokasi kerusakan hutan juga terjadi di Gunung Sianak-anakI , dan Gunung Sianak-anak II. Kayu di lereng gunung, dirambah dan gundul. Lokasi di Kecamatan Silo Kahean dan Dolok Silau.


Jarah Hutan Lindung, Kadis Pendapatan Simalungun jadi Tersangka was first posted on May 17, 2014 at 1:05 pm.

Beragam Ancaman Mengintai, Habitat Kedua Badak Jawa Mendesak

$
0
0
Petugas menunjukkan jejak Badak yang ditemukan di daerah Cidaon, sebrang Pulau Seucang. Foto: Indra Nugraha

Petugas menunjukkan jejak badak yang ditemukan di daerah Cidaon, seberang Pulau Peucang. Foto: Indra Nugraha

Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten. Kawasan itu rawan bencana alam. Taman nasional seluas 122.956 hektar ini dekat anak Krakatau. Kala bencana alam dan menimbulkan tsunami khawatir menyebabkan badak Jawa punah. Habitat kedua bagi satwa langka inipun mutlak dilakukan.

“Kalau populasi hanya di satu kantong akan membuat spesies rawan kepunahan. Terlebih sekitar daerah penyangga TNUK rawan wabah penyakit,” kata Elisabet Purastuti, Project Leader WWF Ujung Kulon, awal Mei 2014.

Elis mengatakan, jika kondisi dibiarkan, ketika TNUK terkena wabah penyakit, badak Jawa bisa mati dalam jumlah banyak hingga cepat punah.

Masyarakat sekitar TNUK yang memelihara kerbau memiliki kebiasaan mengembalakan binatang itu tanpa di kandang. Seringkali kerbau masuk ke TNUK. Kerbau bisa membawa penyakit ke satwa liar di TNUK, termasuk badak Jawa.

“Kami kerjasama dengan Cornell University meneliti penyakit yang ada di kerbau. Dari 19 desa berbatasan dengan TNUK, kita ambil sampel darah kerbau. Hasilnya menunjukan ada potensi penyebaran penyakit dari kerbau ke satwa liar di TNUK,” kata Nia, dokter hewan WWF project Ujung Kulon.

Nia mengatakan, beberapa penyakit yang ditemukan pada kerbau endemik buffer zone TNUK. Juga penyakit trypanosoma dan antraks. Trypanosoma pernah ditemukan pada darah tujuh badak Sumatera yang mati di Malaysia.

Tantangan lain yang TNUK adalah invasi langkap (Arenga obtusifolia) yang makin merebak. Vegetsi jenis palma ini mengandung zat alelopati hingga membuat pakan badak Jawa sulit tumbuh. Badak Jawa memakan 253 jenis tumbuhan.

“Dari TNUK, hanya 40 persen bebas langkap. Jika dibiarkan, pakan badak makin berkurang,” timpal Elisabet.

WWF project Ujung Kulon telah meneliti dengan makin merebak langkap di TNUK. WWF ujicoba pada lima hektar dibagi dalam lima plot, masing-masing plot satu hektar. Ada beberapa plot langkap dibabat habis, ada juga dibiarkan tumbuh, atau sebagian tumbuh. Hasil pengamatan WWF, di daerah langkap dibabat habis, beberapa bulan badak Jawa datang dan terekam kamera trap.

Jejak-jejak badak Jawa di Ujung Kulon. Foto: Indra Nugraha

Jejak-jejak badak Jawa di Ujung Kulon. Foto: Indra Nugraha

“Langkap makin meluas. Tak hanya di pesisir, juga di pegunungan. Biji langkap disebarkan musang. Kita sedang meneliti apakah di TNUK ada rantai makanan hilang atau tidak. Bisa jadi pemangsa musang mungkin hilang. Hingga langkap makin merebak.”

Untuk memperdalam penelitian, WWF Project Ujung Kulon akan memasang kamera trap di areal yang banyak langkap.

“Saat ini menangani langkap dengan roundup (nama sejenis herbisida, red), atau diracun. Cara lain dipotong habis. Kita tak bisa menghilangkan langkap sepenuhnya,” ujar Elis.

Pertumbuhan langkap di TNUK sulit terlacak. Meskipun menggunakan citra satelit, persebaran makin merebak. Balai TNUK bersama WWF project Ujung Kulon, IPB, dan Yayasan Badak Indonesia (YABI) bekerjasama membuat manajemen habitat guna mengontrol penyebaran langkap.

Persaingan ruang dan pakan dengan banteng juga menjadi ancaman badak Jawa. Sebab, penelitian beberapa pihak menunjukkan banteng TNUK tak hanya memakan rumput, juga pucuk daun. Sama seperti badak Jawa. Populasi banteng di TNUk  lebih dari 800.

Tanpa habitat baru, juga bisa memperbesar risiko perkawinan sedarah pada badak Jawa. Jika habitat baru dibuat, upaya perkembangbiakan bisa disiasati dengan memindahkan individu yang genetik berlainan.

“Saat ini, populasi badak Kawa TNUK statis. Jantan lebih banyak dari betina. Idealnya satu jantan berbanding empat betina. Di TNUK statis mungkin jantan berantem terus hingga menghambat proses perkawinan,”  kata Elis.

WWF project Ujung Kulon sudah meneliti beberapa lokasi untuk dijadikan second habitat. Lokasi itu antara lain, Cagar Alam Leweung Sancang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Hutan Produksi KPH Banten, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Cagar Alam Rawa Danau dan Hutan tutupan Baduy.

“Dari sekian banyak, Suaka Margasatwa Cikepuh mendekati ideal. Masih perlu diteliti lagi. Juni nanti kami akan workshop membahas masalah ini.”

Pemerintah telah membuat strategi rencana aksi konservasi badak Jawa 2007-2017. Dalam rencana itu, target pertumbuhan populasi dipatok 20 persen hingga 2017. Dalam pertemuan negara-negara yang memiliki badak di Bandar Lampung, disepakati membuat pertumbuhan populasi badak di seluruh dunia 3% per tahun.

Untuk mencapai pertumbuhan ini, wacana membuat habitat kedua badak Jawa menguat. Namun, menuju ke sana memerlukan waktu panjang. Perlu kesiapan matang.

“Saya tidak bisa memastikan berapa badak akan ditranslokasi ke habitat baru. Apakah sepasang, dewasa atau remaja, masih diteliti,” kata Elis.

Dia mengatakan, Kementerian Kehutanan dan stakeholder lain harus menyepakati wilayah mana yang tepat bagi habitat baru badak. Kapasitas sumber daya manusia TNUK dan mitra ikut berperan. “Harus ditingkatkan. “Jalan masih sangat panjang. Harapan saya 2017 bisa dilakukan.”

Tantangan lain, membuat habitat baru badak Jawa adalah soal budaya setempat. Selama ini, masyarakat Banten terlanjur berbangga hati dengan badak Jawa hanya di Ujung Kulon. Ketika dibuatkan habitat baru, membuat kebanggaan berkurang.

Lahan yang ditumbuhi langkap. Foto: Indra Nugraha

Lahan yang ditumbuhi langkap. Foto: Indra Nugraha

Indra Kristiawan, koordinator Javan Rhino Study Conservation Area (JRSCA) mengatakan, ada tantangan dari masyarakat untuk membuat habitat baru dengan anggapan badak Jawa hanya milik Banten. “Habitat baru mutlak.”

Untuk mengintensifkan penelitian mengenai badak Jawa, sejak 21 Juni 2010, TNUK membangun JRSCA. Pembangunan di lahan 500 hektar itu sudah memasuki tahap akhir. Diperkirakan Juni tahun ini selesai.

“Kita sudah menyelesaikan pagar sepanjang 5,3 km dengan lebar jalan lima meter. Kita sedang membangun di utara. Panjang 2,350 km.”

Saat ini, belum selesai pemasangan listrik di JRSCA. Tempat ini akan menjadi tempat memperluas habitat badak Jawa. JRSCA juga dibuat mencegah ancaman penyakit zoonosis, tempat reproduksi badak lebih intensif, dan untuk riset.

JRSCA juga sebagai ecotourism. Pengunjung TNUK bisa mendapatkan banyak pengetahuan mengenai badak Jawa di sana.

“Kita akan memasang menara dan canopy track. Ini sedang dibicarakan para peneliti.”

 

Badak Mati

Maret 2014, badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) bernama Sultan ditemukan mati di pantai Cikembang. Tepat di muara sungai TNUK, seberang Pulau Peucang. Sebelum itu, Balai TNUK melansir peningkatan populasi badak Jawa. Waktu itu populasi 58 ekor. Terdiri dari 35 jantan, dan 23 betina.

Saat ditemukan, badak jantan ini masih utuh, namun organ sudah membusuk. Bangkai badak ditemukan tim pemasang video trap Rhino Monitoring Unit (RMU). Perkiraan umur badak sekitar 23-26 tahun.

“Ketika ditemukan, masih utuh. Berbeda dengan badak Jawa mati tahun lalu. Organ badak sudah dibawa ke IPB untuk diteliti. Termasuk air hingga serangga di dekat bangkai juga ikut dievakuasi,” kata Muhiban, penanggungjawab Rhino Health Unit Balai TNUK.

Hingga kini, Balai TNUK menunggu hasil investigasi.“Investigasi memakan waktu sangat lama.”

Tahun 2012 dan 2013 pernah ditemukan badak Jawa mati tetapi tinggal tulang belulang.

Balai TNUK membentuk tim investigasi untuk memastikan penyebab kematian badak Jawa ini. Tim terdiri dari beberapa peneliti dan mitra TNUK.

Ridwan Setiawan, Rhino Monitoring Officer WWF Ujung Kulon mengatakan, investigasi penyebab kematian badak Jawa  ini akan lama karena jejak sudah terinjak.  Hingga sulit melacak pakan terakhir yang dimakan badak sebelum mati.

Warga mulai mengandangkan ternak yang biasa dibiarkan lepas hingga khawatir menularkan penyakit ke satwa liar. Foto: Indra Nugraha

Warga mulai mengandangkan ternak yang biasa dibiarkan lepas hingga khawatir menularkan penyakit ke satwa liar. Foto: Indra Nugraha


Beragam Ancaman Mengintai, Habitat Kedua Badak Jawa Mendesak was first posted on May 18, 2014 at 6:03 am.

Pejuang Petani Eva Bande Ditangkap, Giliran Kasus Bos Sawit Malah Dilupakan

$
0
0
Aksi petani menolak sawit karena mengambil lahan hidup warga. Foto: Walhi Sulteng

Aksi petani menolak sawit karena mengambil lahan hidup warga. Foto: Walhi Sulteng

Kamis (15/5/14), sebuah rumah di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, kedatangan beberapa orang tak dikenal. Salah seorang perempuan, tiba-tiba ditangkap. Perempuan itu adalah Eva Susanti Hanafi Bande (36). Perempuan asli Luwuk, Kabupaten Banggai, ibu tiga anak ini ditangkap tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung.

Eva diinapkan semalam di Kejati Yogyakarta. Esok hari, dia dikawal ke pesawat dan diterbangkan ke Luwuk, Sulawesi Tengah. Pukul 17.00, Eva tiba di Luwuk. Dengan pengawalan petugas, langsung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B.

Eva bak momok bagi penguasa di Banggai. Dia aktivis perempuan pejuang agraria. Dia memimpin organisasi rakyat yang memperjuangkan hak-hak petani mendapatkan tanah yang dirampas pemodal. Nama organisasi itu adalah Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng.

Karena aktivitas inilah Eva ditangkap. Dia dianggap melanggar hukum karena memimpin perjuangan petani melawan perusahaan sawit di Desa Piondo, Kecamatan Toili.

Syahrudin A. Douw, direktur Jatam Sulteng, mengatakan, penangkapan Eva bermula dari penutupan jalan produksi petani di Desa Piondo oleh perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati. Jalan itu yang biasa dilalui petani ke kebun kakao dan persawahan. Ratusan petani pengguna jalan itu marah besar. Mereka menuntut perusahaan segera memperbaiki jalan yang mereka lalui.

Peristiwa itu terjadi 26 Mei 2011. Sontak ratusan petani yang marah mendatangi kantor KLS. Eva yang berada di kerumunan massa, meminta petani tenang. Jangan terbawa emosi. Karena kemarahan warga kepada perusahaan sudah memuncak, Eva tak bisa mengendalikan massa.

“KLS menutup jalan karena berencana menggusur kebun kakao petani di Desa Piondo. Warga marah dan petani merusak karena perusahaan tidak mau memperbaiki jalan yang mereka lubangi,” kata Etal, sapaan akrab Syahrudin, Sabtu (17/05/14).

Ahmad Pelor, Direktur Walhi Sulteng menjelaskan, KLS perusahaan milik Murad Husain, telah merampas lahan petani di Desa Piondo, Singkoyo, Moilong, Tou, Sindang Sari, Bukit Jaya, dan beberapa desa lain. Secara keseluruhan tanah-tanah petani digusur KLS seluas 7.000 hektar.

Sejak 1996, Murad membuka perkebunan sawit skala besar di Toili Kabupaten Banggai. KLS mendapat izin pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) 13.000 hektar dengan dana pinjaman pemerintah untuk penanaman sengon dan akasia Rp11 miliar. Hingga kini dana tidak dikembalikan dan lahan HTI malah jadi kebun sawit.

“KLS menanam sawit di hutan konservasi seluas 500 hektar. Kini nasib Suaka Margasatwa Bangkiriang hancur dan dibiarkan begitu saja aparat,” jata Pelor.

Sementara Murad telah ditetapkan sebagai tersangka pada 2010, hingga kini Polres maupun Polda Sulteng mendiamkan kasus seakan tidak terjadi apa-apa.

Eva Bende, yang membantu perjuangan petani di Luwuk, segera dieksekusi setelah putusan MA menvonis dia empat tahun penjara. Sedang kasus bos sawit PT PT Kurnia Luwuk Sejati, seakan dilupakan oleh aparat. Foto: dari change.org

Eva Bande, yang membantu perjuangan petani di Luwuk, segera dieksekusi setelah putusan MA menvonis dia empat tahun penjara. Sedang kasus bos sawit PT PT Kurnia Luwuk Sejati, seakan dilupakan oleh aparat. Foto: dari change.org

Sebaliknya, pejuang gerakan agraria Eva, yang membela petani karena tanah dirampas KLS malah dipenjara. “Eva dianggap melanggar hukum dan dituntut melanggar pasal 160 KUHP, karena memimpin perjuangan petani dan dianggap melakukan kejahatan di depan penguasa umum. Eva divonis 4,6 tahun.”

Sedangkan Murad dibiarkan bebas oleh aparat penegak hukum. “Padahal telah merampas tanah petani dan merusak suaka alam dan mencuri uang negara Rp11 miliar.”

Aries Bira, manajer advokasi Walhi Sulteng menambahkan, Eva ditangkap di Yogja saat berdiskusi dengan petani. Dalam catatan Walhi Sulteng, kurun waktu lima tahun terakhir, di Banggai setidaknya ada 32 petani berhadapan dengan perkebunan sawit menjadi korban kriminalisasi dari perusahaan maupun kepolisian.

Penahanan Eva menguatkan beberapa indikator penegakan hukum di Indonesia, khusus Sulteng, cenderung tebang pilih. Sebab, sebelum penetapan tersangka Eva dan beberapa petani, Murad lebih dahulu menjadi tersangka. Kasusnya,  tidak dilanjutkan dalam satu persidangan yang jelas, bahkan status tersangka Murad berubah menjadi saksi.

“Kasus kejahatan lingkungan KLS tidak pernah mendapat respon. Sedangkan semua perlawanan petani mempertahankan tanah selalu menjadi korban intimidasi. Mereka ditahan bahkan dipenjara.”

Eva Bande, bukan kali ini bermasalah dengan KLS. Pada 27 Mei 2010, karena perlawanan bersama petani, dia dijebloskan ke penjara. Perlawanan berakhir di penjara itu bermula ketika terbit surat bernomor 14/KLS-PKS/PC/V/2010 dari KLS, yang dikirimkan kepada warga di beberapa desa di Kecamatan Toili Barat. Surat itu, berisi KLS akan menutup jalan menuju kawasan HTI di Desa Piondo Kecamatan Toili.

KLS menutup jalan dengan alasan, kawasan HTI milik PT Berkat Hutan Pusaka harus ditertibkan dari warga merambah hutan maupun penambang emas tanpa izin. BHP adalah perusahaan patungan antara KLS, pemilik 60 persen saham dan PT Inhutani I. KLS mengakuisisi saham Inhutani, hingga BHP menjadi milik KLS.

Penangkapan ketika Eva bersama petani aksi protes. Protes itu berujung kericuhan seperti melempar kantor perusahaan dengan batu, hingga perusakan dan pembakaran alat berat perusahaan. Eva dituduh biang kericuhan dan provokator.

Protes yang dilayangkan warga karena KLS menanami sawit di kawasan HTI BHP, sambil menakut-nakuti warga dengan menghadirkan tentara yang disebut-sebut sedang latihan perang.

Belakangan diketahui, tentara ini tidak latihan, melainkan mengawasi karyawan KLS menanam sawit. Jalan-jalan petani menuju perkebunan rakyat dan persawahan dirusak.

Irwan FK, dari Konsorsium Pembaruan Agraria Sulutenggo dalam siaran pers mengutuk perampasan tanah petani dan pemenjaraan Eva Bande. Menurut dia,  sejak 1996 aksi KLS seakan ada pembiaran dan dilindungi pemerintahan serta aparat keamanan di sana.

“Makin tak jelas penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah dan aparat keamanan ini,” katanya.

Untuk itu, KPA mendesak pemerintah dan aparat segera mengambil tindakan tegas atas kejahatan perusahaan selama ini.

Kontras Sulawesi, dalam siaran pers mengatakan, Eva divonis penjara  4,6  bulan oleh PN Luwuk 2010. Namun Eva maju kasasi di MA. Majelis Kasasi, menjatuhkan vonis bersalah kepada Eva dengan pidana 4  tahun, hanya berkurang enam bulan.

Asman, koordinator Kontras Sulawesi mengatakan, kriminalisasi Eva membuat Kontras khawatir dengan posisi pembela HAM di Indonesia. Mereka bekerja tanpa ada perlindungan hukum jelas. Sikap arogansi negara, melalui sistem peradilan ini, para pembela HAM makin tidak aman.

“Eva harus dipandang sebagai bagian pembela HAM yang berupaya memenuhi kewajiban universalnya memperjuangkan hak-hak kaum tani yang dirampas lahannya oleh PT KLS di Toili, Sulawesi Tengah. Dan karenanya wajib dilindungi, bukan sebaliknya, dikriminalisasi.”

Kontras menyoroti sikap Kejaksaan Negeri Luwuk bersama Kejaksaan Agung begitu agresif menangkap Eva. Menurut Asman, seharusnya mereka menunjukkan sikap agresif juga saat menangani kasus Murad. “KLS pangkal persoalan ini, hingga tidak bisa diabaikan.”

Sejak awal, dukungan kepada Eva dan petani datang dari berbagai kalangan. Dari situs evabande.wordpress.com, pada 2011, George Junus Aditjondro, sosiolog terkemuka, membuat surat dukungan bagi petani di Sulteng yang ditangkap karena mempertahankan hak mereka.

“Saya bangga melihat kawan-kawan tidak menyerah, menghadapi kekuasaan perkebunan kelapa sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik Murad Husain bersama isterinya, Ny. Silvia  Maindo, anak mereka, Rahmawati Husain, dan seorang perempuan, Jamalia Ningsih. Soalnya, perusahaan ini melakukan ekspansi secara ilegal…” Begitu kutipan surat itu.

Kini, Mustafa Surya dari Solidaritas untuk Eva Susanti Bande membuat petisi Bebaskan Eva Bande dan Tutup, Tangkap Pemilik PT. KLS,  Murad Husain, di change.org.  

 


Pejuang Petani Eva Bande Ditangkap, Giliran Kasus Bos Sawit Malah Dilupakan was first posted on May 18, 2014 at 5:28 pm.

Dinilai Tertutup, Rame-rame Desak Kemenhut Buka Informasi Tata Batas Hutan

$
0
0

Konflik antara masyarakat dan perusahaan karena penetapan kawasan hutan sepihak, hingga pemerintah berkuasa penuh membagi-bagi izin kepada perusahaan. Korban warga pun berjatuhan, seperti Suku Anak Dalam di Jambi. Foto: Jogi Sirait

Selama ini penunjukan sampai penetapan kawasan hutan dilakukan sepihak oleh pemerintah hingga memicu konflik-konflik agraria di lapangan.

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sedang dalam proses penetapan kawasan hutan. Namun, kegiatan ini dinilai tertutup alias tak transparan hingga berpotensi besar merampas hak-hak masyarakat adat maupun lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Untuk itu, kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai komunitas masyarakat menuntut Kemenhut membuka informasi berita acara tata batas beserta peta yang menjadi dasar penetapan kawasan hutan.

Lembaga dan elemen masyarakat itu antara lain, dari Epistema Institute, HuMa, Walhi, KPA, AMAN, Silvagama, ICEL, RMI, Kontras, SetaM, Agra dan Spuba. Lalu, JPIK, LBH Semarang, Geram dan Lidah Tani.

Lewat pernyataan bersama Minggu(18/5/14), mereka menuntut Kemenhut membuka informasi penetapan kawasan hutan 2014. Juga melibatkan partisipasi dan persetujuan masyarakat terdampak penetapan kawasan hutan.

Jika tuntutan mereka tak dipenuhi Kemenhut, masyarakat dan LSM pendukung akan bersama-sama mengajukan surat pengaduan ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Tujuannya,  untuk memaksa Kemenhut membuka Berita Acara dan Peta Kawasan Hutan.

Abetnego Tarigan, direktur eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, upaya ini karena praktik tak transparan penetapan kawasan ini akan mengulang pengelolaan hutan Orde Baru. Hasilnya, konflik dan kekerasan di berbagai tempat. Transparansi, juga penting guna mengantisipasi kepentingan–kepentingan pelaku usaha besar yang mengabaikan masyarakat adat.

Senada diungkapkan Iwan Nurdin, sekretaris jendral Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Menurut dia, penetapan kawasan hutan bukanlah cara melegalkan kawasan hutan saja. Namun, harus membuka akses bagi penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan, dan melegalkan kawasan-kawasan kelola rakyat.

Rekaman Konflik Agraria 2013, per sektor. Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria

Komnas HAM mendukung desakan transparansi Kemenhut. Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM, menyatakan, dokumen berita acara  merupakan informasi terbuka untuk publik berdasar UU Keterbukaan Informasi Publik dan Permenhut Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kemenbhut. Permenhut  itu, menjelaskan informasi kawasan hutan merupakan informasi yang tersedia setiap saat.

“Informasi ini dokumen terkait langsung dengan kondisi hak asasi mereka yang dijamin UUD 1945 hasil amandemen dan UU No. 39 tentang Hak-hak Asasi Manusia,” kata Moniaga.

Percepatan penetapan kawasan hutan ini terkait Nota Kesepakatan Bersama (NKB) KPK dengan 12 kementerian dan lembaga serta rencana mekanisme klaim dan verifikasi yang digagas Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Kemenhut menargetkan, penetapan kawasan hutan 60% pada 2014. Rencana aksi sebagai bagian NKB KPK menyepakati target penetapan sebesar 80% pada 2016. Rencana aksi ini mensyaratkan sejumlah langkah persiapan dan perbaikan.

Sayangnya, Kemenhut tidak mengindahkan prasyarat NKB, antara lain perbaikan kebijakan, termasuk prasyarat harus mekanisme identifikasi hak dan akses masyarakat dalam proses penataan batas kawasan hutan. Juga tersedia mekanisme penyelesaian konflik dalam proses pengukuhan kawasan hutan.

 

Grafis: Konsorsium Pembaruan Agraria

Sumber: Konsorsium Pembaruan Agraria

 


Dinilai Tertutup, Rame-rame Desak Kemenhut Buka Informasi Tata Batas Hutan was first posted on May 18, 2014 at 6:55 pm.

Belasan Izin Tambang di Jambi Bercokol dalam Hutan Lindung dan Konservasi

$
0
0
Aksi mahasiswa mendesak Gubernur sumsel segera bertindak atas temuan KPK terhadap tambang-tambang bermasalah. Foto: Taufik Wijaya

Aksi mahasiswa mendesak Gubernur sumsel segera bertindak atas temuan KPK terhadap tambang-tambang bermasalah. Foto: Taufik Wijaya

Belasan izin tambang di Jambi, menjarah hutan lindung dan kawasan konservasi. Dari luas izin tambang di Jambi mencapai 1.078 juta hektar lebih, sebanyak 480.502,47 hektar di kawasan hutan. Sebanyak 6.300,22 hektar hutan konservasi, 63.662,22 hektar di hutan lindung, serta 410.540,03 hektar hutan produksi. Total 138 izin tambang di kawasan hutan.

Sembilan perusahaan di hutan konservasi adalah PT Abdi Pertiwi Loka, PT Aneka Tambang, PT Arta Bevimdo Mandiri, PT Batu Alam Jaya Mandiri, PT Geomineral Bara Perkasa, PT Jambi Gold, PT Tunas Prima Coal, PT Sarwa Sembada Karya Bumi serta satu izin PKP2B yakni PT Wilson Citra Mandiri.

Tiga perusahaan yang sama PT Aneka Tambang, PT Tunas Prima Coal, Jambi Gold bersama dua perusahaan lain: PT Delapan Inti Power dan PT Semen Baturaja (persero) memegang izin tambang di hutan lindung.

“Yang di kawasan konservasi itu izin harus dicabut. Tidak ada alasan,  sebab sudah menyalahi aturan. Kalau proses pidana itu itu masalah lain. Kita masih fokus proses pencegahan,” ujar Zulkarnain, wakil ketua KPK bidang Pencegahan, di Jambi, awal Mei 2014.

Dia mengatakan, kepala daerah yang mengeluarkan izin, berhak  membina bahkan sampai pencabutan izin perusahaan. “Kita terus mendorong kementerian, dinas untuk pencegahan korupsi. Kepala daerah harus berkoordinasi dengan dinas terkait, menindaklanjuti pertambangan bermasalah.”

Zulkarnain mengingatkan, kepala daerah menjauhi tindakan korupsi. KPK takkan membiarkan kepala daerah leluasa korupsi. “Sekali lagi KPK mengimbau seluruh kepala daerah jangan lagi melakukan tindakan penyimpangan. Jika terus dilakukan, pasti KPK akan memburu sampai ke manapun,” katanya.

Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus mengatakan,  siap mengawasi perusahaan yang bermasalah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mencabut perusahaan tambang yang bermasalah, apalagi menggarap hutan konservasi. “Kita bersama bupati dan walikota komitmen memperbaiki. Kita sudah tanda tangan komitmen itu.”

Bupati Sarolangun Cek Endra berkilah terkait banyak temuan perusahaan menggarap hutan konservasi, seperti Antam. Dia bilang, pemberian izin sebelum dia bupati.

Namun, dia akan mengikuti aturan KPK segera menyelesaikan clear and clean(C&C) pertambangan sampai November 2014. Jika perusahaan tidak jaminan reklamasi, akan dicabut izin. “Kita akan ikuti aturan KPK, yang jelas Sarolangun jelang November 2014 permasalahan akan selesai.”

Bambang dari PT Aneka Tambang membantah, masuk dalam hutan konservasi maupun lindung. Menurut Bambang, sekitar 90 persen masuk hutan produksi. “Hanya sebagian kecil masuk kawasan hutan lindung, bagian barat Kabupaten Merangin dan sebagian kecil lain masuk hutan konservasi di bagian selatan TN Kerinci Seblat,” katanya via telepon kepada Mongabay.

Tata Kelola Buruk

KPK berkesimpulan tata kelola pertambangan mineral dan batubara di Indonesia sangat buruk setelah mengkaji di 12 provinsi yang menemukan seabrek permasalahan. Dari izin tumpang tindih di kawasan hutan hingga kerugian negara mencapai triliunan rupiah.

KPK mengunjungi satu persatu ke-12 provinsi itu sejak 19 Februari lalu hingga 27 Juni 2014. Ke-12 provinsi itu Sulawesi Tengah, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, dan Sulawesi Selatan.

Dian Patria, koordinator Tim Kajian Sumber Daya Alam Direktorat Litbang KPK, menemukan, tidak sikron data produksi batubara antara Ditjen Minerba Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan lembaga negara lain. Misal, data produksi batubara 2012, Ditjen ESDM mencatat 288,5 juta ton, data BPS 466,3 juta ton. Kalau selisih ini dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, ada potensi hilang penerimaan pajak Rp28,5 triliun pada 2012.  Sedang data World Coal Association 443 juta ton. Beda pula dengan data US EIA 452,1 juta ton.

Ditjen Minerba mencatat, sejak 2005-2013, piutang negara Rp1,3 triliun, terdiri dari iuran tetap Rp31 miliar atau 2,3 persen dan royalti Rp1,2 triliun atau 97,6 persen. Sedangkan piutang 12 provinsi yang dilakukan korsup Rp905 miliar atau 69 persen dari piutang. Terdiri dari iuran tetap Rp23 miliar dan royalti Rp882 miliar. Piutang ini dari 1.659 perusahaan total 7.501 IUP di 12 provinsi.

Dari rekapitulasi data per April 2014, Ditjen Minerba, terdapat 10.922 IUP di Indonesia. Sebanyak 6.042 berstatus C&C dan 4.880 non C&C. Persoalan lain masih banyak pemegang IUP belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Data Ditjen Pajak Maret 2014, ada 7.754 pemegang IUP, 3.202 tak memiliki NPWP.

Aksi teatrikal mahasiswa di depan Kantor Dinas Pertambangan, Sumsel, memperlihatkan dampak tambang batubara yang menyebabkan polusi dan menyengsarakan warga. Foto: Taufik Wijaya

Aksi teatrikal mahasiswa di depan Kantor Dinas Pertambangan, Sumsel, memperlihatkan dampak tambang batubara yang menyebabkan polusi dan menyengsarakan warga. Foto: Taufik Wijaya

Di Jambi, dari 398 IUP, 198 non C&C. Paling banyak di Kabupaten Bungo 51 IUP, Sarolangun 47 IUP dan Batanghari 31 IUP. Salah satu, PT Ken Brother Muda Satya mengantongi izin eksplorasi di Batanghari. Ken Brother diduga dimiliki Bujang alias Josia, kontraktor yang dikenal Gubernur Jambi, Hasan Basri . Bujang disebut-sebut termasuk penyumbang dana kampanye terbesar kala pemilihan Gubernur Jambi pada 2010.

Dari IUP di Jambi, mayoritas IUP mengalami kurang bayar, sebanyak 341 IUP atau 85,68 persen, lebih dari Rp3,2  miliar plus US$9 juta. Paling banyak di Batanghari dengan 85 IUP, diikuti Sarolangun 67 IUP, Bungo 65 IUP dan Tebo 55 IUP. Alhasil, kata Dian, Jambi di peringkat ketujuh, daerah yang masih bermasalah kurang bayar PNBP 2011-2013.

Bahkan ada beberapa perusahaan memiliki alamat, sebut saja misal PT Deltamas Perkasa, sudah eksplorasi di Muaro Jambi. Ada pula beberapa perusahaan memiliki NPWP ganda.

Secara nasional, dari 74 PKP2B yang dicek pelaporan SPT, hanya 51 melaporkan SPT tahun 2011 (68,9 persen) dan 50 perusahaan melaporkan SPT pada 2012 (67,6 persen).

Zulkarnain menilai, aturan yang dibuat Kementerian ESDM terlalu ringan. Salah satu, pembayaran pajak royalti dibayar setelah penjualan. Seharusnya, perusahaan membayarkan royalti ke pemerintah sebulan sebelum penjualan.”Kita akan terus dorong kementerian membuat peraturan royalti lebih baik dan membuat SOP, hingga pemerintah tidak dirugikan.”

Peta Dasar Masih Berbeda-beda

KPK berkoodinasi dengan 12 kementerian. Antara lain ESDM, Kehutanan, Perhubungan, Pajak, Lingkungan Hidup, Bea Cukai.  “Termasuk Kehutanan, sudah 12 kementerian kita koordinasikan dan bikin MOU mengkaji kementerian itu. Masalah peta dasar saja, 12 kementrian itu berbeda-beda. Informasi peta Indonesia skala 1:250.000 sudah ada tapi peta skala 1:25.000 belum. Bagaimana jika peta dasar saja tidak sama?” tanya Zulkarnain.

Ditjen ESDM maupun Pemprov Jambi ternyata memiliki data berbeda mengenai perusahaan yang menyetorkan dana jaminan reklamasi dan pasca tambang. Versi pemprov 85 dana jaminan reklamasi dan tujuh dana pasca tambang, data ESDM hanya 35 dana jaminan reklamasi dan 15 dana pasca tambang.

Setiap kepala daerah dari walikota, bupati hingga gubernur wajib melaporkan progres pembenahan setiap tiga bulan, terhitung 10 Juli 2014, 10 Oktober 2014 terakhir 10 Desember 2014.

Erman Rahim, kepala Dinas ESDM Jambi mengatakan, pemerintah provinsi akan menyurati kabupaten dan perusahaan-perusahaan IPU bermasalah untuk menagih pembayaran royalti, iuran tetap dan berbagai kewajiban terhadap negara.

Jambi Gold, sudah delapan bulan menunggak membayar rolayti Rp1,56 miliar. “Amanat UU, kita tak boleh mencabut izin sampai selesai melunasi semua kewajiban.” Erman mengaku, sejak koordinasi dan sepervisi KPK, PNBP meningkat drastis, jika April 2013 hanya Rp2 miliar, kini April 2014 menjadi Rp14 miliar.

Mahasiswa Palembang Desak Gubernur Cabut Izin Tambang

Di Palembang, setelah Walhi dan AMAN, giliran mahasiswa mendukung upaya KPK menyelesaikan sejumlah penambangan batubara di Sumsel yang terindikasi merugikan negara. Mereka mendesak Gubernur segera mencabut izin perusahaan batubara bermasalah.

Desakan ini karena belum ada langkah maju pemerintah Sumsel. Ryan Saputra, koordinator aksi mahasiswa, Walhi Sumsel dan pemuda AMAN Sumsel di Jumat (16/5/14) mengatakan, setelah dua pekan penjelasan KPK di Palembang, belum ada langkah konkrit pemerintah Sumsel. Misal, bagaimana hasil penagihan kerugian negara oleh penambangan batubara itu.

Para mahasiswa dari Universitas PGRI Palembang, Universitas Muhammadiyah Palembang, Universitas Sriwijaya, dan Universitas Palembang, yang tergabung dalam Mahasiswa Hijau Indonesia (MHI) menolak dialog dengan Dinas Pertambangan.

“Kami hanya minta segera cabut izin 31 perusahaan yang tidak punya NPWP. Tidak perlu dialog, tidak akan menyelesaikan persoalan. Apalagi kami berdialog dengan orang yang bukan pengambil kebijakan,” kata Ryan.

Saat aksi, para pengunjukrasa menampilkan fragmen para petani dengan tubuh hitam terkena polusi batubara. Mereka hidup miskin dan berpenyakitan.

KPK menemukan 31 perusahaan belum memiliki NPWP di Sumsel. Sekitar 81 perusahaan batubara belum clean dan clear. Ada perusahaan masuk kawasan hutan lindung mencapai 9.300 hektar di Banyuasin dan Empat Lawang. Sekitar 932 hektar di hutan konservasi di Musirawas, Musi Banyuasin dan Banyuasin. Semua perusahaan tersebar di Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, Muaraenim dan Lahat.

 


Belasan Izin Tambang di Jambi Bercokol dalam Hutan Lindung dan Konservasi was first posted on May 19, 2014 at 8:49 am.

Sebulan di Karantina, Angelo Kembali ke Alam Bebas

$
0
0

 

Orangutan yang berada di karantina Sumut. Data SOCP, jumlah orangutan   Sumatera tinggal sekitar 7.000. Mereka terus terdesak karena habitat terus tergerus. Foto: Ayat S Karokaro

Orangutan yang berada di karantina Sumut. Data SOCP, jumlah orangutan Sumatera tinggal sekitar 7.000. Mereka terus terdesak karena habitat terus tergerus. Foto: Ayat S Karokaro

Angelo, orangutan Sumatera hasil penyelamatan dari jeratan manusia di Desa Litur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, dilepasliarkan ke hutan Jantho, Aceh Besar, Aceh, pada Kamis (22/5/14). Orangutan 18 tahun itu, selama ini ‘nginap” di karantina Desa Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Sumut.

Ian Singleton, direktur Sumatran Orangutan Conservation Programe (SOCP), kepada Mongabay, mengatakan, selama 30 hari lebih, Angelo mendapat perawatan serius di karantina. Primata ini ditemukan di hutan hancur dan menjadi kebun sawit di Kabupaten Langkat.

Selama ini, mayoritas orangutan di Karantina Batu Mbelin, hasil sitaan dan peliharaan manusia, atau evakuasi akibat dijerat. Habitat mereka rusak karena berubah menjadi kebun sawit atau tambang, seperti di Martabe, Batangtoru, Tapanuli Selatan

Singleton menyebutkan, jumlah orangutan terus menurun karena perkebunan sawit, pertambangan, pembukaan jalan, dan illegal logging. Data terakhir, diperkirakan tinggal 7.000 orangutan lagi. Dengan pelepsliaran Angelo, katanya, diharapkan ada peluang besar berkembangbiak dan meneruskan habitat.

Yenny Saraswati, dokter hewan SOCP, menjelaskan, selama di Karantina, ada pemeriksaan kesehatan Angelo. Tidak ada masalah. Ia makan dengan baik. Berat badan 54 kilogram.

Saat masuk karantina, mereka menemukan sebutir peluru di paha bahagian kanan. Ketika operasi, peluru itu jenis senapan angin. Namun, kondisi kesehatan yang lain baik-baik saja.

 


Sebulan di Karantina, Angelo Kembali ke Alam Bebas was first posted on May 23, 2014 at 11:14 pm.

Hancurkan Kawasan Konservasi, Tangkap Murad Husain, Bebaskan Eva Bande

$
0
0
Hutan di Suaka Margasatwa yang baru ditebag pada 2013 dan siap d tanami sawit. Foto: Etal Dauw

Hutan di Suaka Margasatwa yang baru ditebag pada 2013 dan siap d tanami sawit. Foto: Etal Douw

Kamis 22/5/14), sejak pukul 09.00 pagi, satu persatu orang mulai berdatangan di halaman kampus lama Universitas Tadulako, Palu. Mereka terkumpul sembari membawa spanduk dan poster. Ada gambar wajah Murad Husain, bos perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati  dan Eva Bande. “Tangkap Murad Husain.” “Bebaskan Eva Bande.” Poster-poster pun terpampang wajah aktivis perempuan beranak tiga itu.

Sekitar 150-an orang terhimpun dalam Front Penyelamat Kedaulatan Rakyat (FPKR) memulai aksi. Massa berjalan kaki menuju Kejaksaan Tinggi Negeri Sulawesi Tengah. Mereka meneriakkan tuntutan mendesak Murad Husain ditangkap. Sebab sejak 2010 ditetapkan Polres Banggai sebagai tersangka, namun tidak pernah ditangkap. Murad diduga membuka kebun sawit menerabas kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang.

Kepala Kejari Sulteng tidak berada di tempat. Menurut Aris Bira, manajer advokasi Walhi Sulteng, sejak penangkapan Eva Bande, mereka empat kali aksi hendak menemui kepala Kejari Sulteng. Namun tidak pernah ada.

Setelah itu, massa aksi ke Polda Sulteng. Saat berdemo itu, mereka ditemui Kapolda Sulteng, Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen) Ari Dono Sukmanto. Menurut Kapolda, dia akan mengerahkan satuan segera gelar perkara atas kasus Murad Husain. Bahkan di hadapan massa, Kapolda mengaku telah berkomunikasi dengan Kapolres Banggai terkait dengan kasus ini.

“Saya meminta kalian melengkapi dokumen pendukung lain. Supaya ketika dibutuhkan, saya bisa menghubungi perwakilan massa,” katanya.

Massa menyebutkan Murad mendapat izin hutan tanaman industri tetapi menanam sawit. Kapolda berjanji tidak akan tebang pilih.“Jika benar Murad bersalah, dengan bukti, kami tidak akan segan-segan memproses hukum. Termaksud menahan Murad.”

Massa pengunjuk rasa tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan. Foto: Walhi Sulteng

Massa pengunjuk rasa tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan. Foto: Walhi Sulteng

Sebelumnya, Rabu, (21/5/14), perwakilan masyarakat se- Sulawesi yang berkumpul  dalam hajatan Dewan Kehutanan Nasional regio Sulawesi di Palu, bersolidaritas terhadap Eva Bande. Mereka membuat petisi pembebasan Eva Bande.

“Saya geram mendengar perempuan pejuang agraria dipenjara. Negara ini sudah keterlaluan. Kriminalisasi pejuang dan pembela hak rakyat seperti Eva terus terjadi. kita harus melawan ketidakadilan ini,” kata Andreas Lagimpu, ketua DKN regio Sulawesi.

Syahrudin A. Douw, direktur Jatam Sulteng, mengatakan, pembabatan SM Bangkiriang itu kejahatan atau tindak pidana yang jels-jelas diatur dalam UU Kehutanan. “Jika ini dibiarkan, preseden buruk buat aparat penegak hukum.”

Untuk itu, dia mendesak Kapolri dan Kementerian Kehutanan segera menindak dan menyelamatkan SM Bangkiriang. “Murad, pemilik KLS yang membabat hutan harus segera ditangkap. Jangan dibiarkan!”

Kalau kondisi ini dibiarkan begitu saja, perluasan perkebunan sawit di kawasan konservasi itu akan makin menggila.

Deni Bram, ahli hukum lingkungan dari Universitas Tarumanagara melihat dalam eksekusi Eva Bende lagi-lagi memperlihatkan secara nyata bahwa kriminalisasi ini tidak pro aktivis lingkungan hidup. Dalam konteks ini, katanya,  kapasitas dan kapabilitas seorang hakim sangat dipertaruhkan.

Terlepas dari argumentasi hukum yang disusun hakim, seharusnya keberadaan Pasal 66 UU Lingkungan Hidup dan doktrin In Dubio Pro Natura (jika terdapat keraguan harus melindungi alam), menjadi skala prioritas bagi upaya penegakan hukum lingkungan dewasa ini.

Potret tidak jauh berbeda terjadi pada kasus Murad Husain. Kegamangan aparat penegak hukum, katanya,  terlihat jelas saat status Murad mengalami dinamika cukup cepat dari tersangka menjadi saksi. Keadaan ini, ucap Deni, mencerminkan pola pikir dan konstruksi hukum dari aparat yang prematur dalam menangani kasus lingkungan hidup.

Menurut dia, dengan kondisi seperti itu, cukup alasan untuk menghadirkan sistem penegakan hukum lingkungan tersendiri dengan kapasitas sumber daya manusia SDM yang mumpuni di bidang hukum lingkungan.

“Ini gamblang menunjukkan ada politik hukum lingkungan hidup yang berjalan secara diametral, hingga pembangunan sistem yurisdiksi khusus penegakan hukum lingkungan menjadi urgen.”

Tapal Batas Suaka Margasatwa Bangkiriang.  Di dalam SM Bangkiriang ini ada perkebunan sawit PT. KLS 500 hektar, ada gudang permanen, ada perumahan perusahaan. Foto: Etal Dauw

Tapal Batas Suaka Margasatwa Bangkiriang. Di dalam SM Bangkiriang ini ada perkebunan sawit PT. KLS 500 hektar, ada gudang permanen, ada perumahan perusahaan. Foto: Etal Douw

Gedung perusahaan sawit yang dibangun di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang. Foto: Etal Dauw

Gedung perusahaan sawit yang dibangun di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang. Foto: Etal Douw

 


Hancurkan Kawasan Konservasi, Tangkap Murad Husain, Bebaskan Eva Bande was first posted on May 24, 2014 at 12:00 am.

Ratusan Perusahaan Tambang di Kalbar Rambah Hutan Lindung dan Konservasi

$
0
0

Tambang di konsesi Harita di Ketapang. Temuan Kemenhut di Kalbar, ada 13 perusahaan di kawasan konservasi dan 125 pertambangan di hutan lindung. Foto: Aseanty Pahlevi

Sekitar 300 an perusahaan tambang di Kalbar masih berstatus non clear and clean. Potensi kerugian negara dari tambang di Kalbar, Rp2,72 miliar.

Ratusan izin usaha pertambangan di Kalimantan Barat (Kalbar) berada di kawasan hutan lindung dan konservasi. Kementerian Kehutanan meminta pemerintah daerah segera menindaklanjuti temuan sesuai kewenangan.

“Saya mengkonfirmasi 13 perusahaan di Kalbar masuk wilayah konservasi. Ada 125 pertambangan di hutan lindung,” kata Bambang Soepijanto, direktur jenderal Planalogi Kemenhut, di Pontianak, Rabu(21/5/14).

Dia mengatakan, pada 21 Mei 2014, Kemenhut membuat surat edaran kepada seluruh kepala daerah di Indonesia terkait ini. Sekaligus, Kemenhut mewajibkan,  kajian analisis dampak lingkungan (Amdal) bagi perusahaan yang membangun smelter. Selaras penerapan PP No 1/2014 bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan kontrak karya wajib mengolah dan pemurnian hasil penambangan.

Kemenhut juga mensyaratkan harus ada rencana kerja tingkat lanjut untuk reklamasi dan rehabilitasi hutan. Penekanan ini, lantaran pemerintah tak mau kecolongan. Sebelumnya, izin pinjam pakai bias didapat terlebih dahulu, setelah itu baru rencana kerja penanaman. Praktik di lapangan,  perusahaan, cenderung eksploitasi baru penanaman.

Sekarang, perusahaan diminta menunjukkan perencanaan penanaman, baik di dalam dan luar tambang yang sama luas dengan yang dipakai. “Ketika pinjam kawasan hutan diberikan, penanaman sudah dilakukan. Ketika kegiatan selesai, tanam juga selesai. Jangan sampai tambang selesai, tanaman nggak.”

Adnan Pandu Praja, wakil ketua KPK, menyatakan, masalah ini harus menjadi perhatian pemda. Begitu pula masalah piutang royalti di Kalbar. “Harus segera ditagih, kalau tidak cabut izin.”

KPK menyatakan, berpotensi kerugian negara Rp272 miliar dari IUP kurang bayar di Kalbar kurun waktu 2011-2013.

Untuk IUP di Ketapang (102 IUP), Kapuas Hulu (69), Sanggau (59), Melawi (45), dan Kayong Utara (40). Dari 682 IUP, 312 berstatus non clean dan clear.

KPK, katanya, berkoordinasi dan supervisi untuk menatakelola izin usaha minerba. “Ini untuk mencegah korupsi di pengelolaan pertambangan minerba.”

Cornelis, Gubernur Kalbar, mengatakan, siap menjalankan arahan KPK, termasuk mencabut izin perusahaan. Cornelis berjanji metinjau ulang izin tambang yang tumpang tindih.

Sumber: Kemenhut

Sumber: Kementerian Kehutanan

Sumber: Kementerian Kehutanan

Sumber: Kementerian Kehutanan

 


Ratusan Perusahaan Tambang di Kalbar Rambah Hutan Lindung dan Konservasi was first posted on May 25, 2014 at 9:05 pm.

Pesan buat Pemimpin Baru: Selamatkan Hutan, Gambut dan Jamin Hak Kelola Masyarakat

$
0
0

Ketika pembangunan hijau baru sebatas slogan, kebijakan yang dibuatpun, seperti Inpres Moratorium tak berjalan. Hutan tetap dibabat walaupun masuk wilayah moratorium. Foto: LIli Rambe

Moratorium hutan dan lahan gambut sudah memasuki tahun ketiga, tepat 20 Mei 2014. Kebijakan ini bertujuan memberi jeda waktu buat perbaikan tata kelola hutan. Tujuannya, memastikan keberlangsungan alam sekaligus pengakuan hak kelola masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.

Sayangnya, dalam kurun tiga tahun, carut marut tetap terjadi.  Izin-izin buat perusahaan sawit, HTI, tambang dan lain-lain terlebih dengan dalih master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) terus berjalan di kawasan yang masuk moratorium. Alam dan kehidupan masyarakat terus terancam. Moratorium hutan dan lahan seakan dikangkangi.

Indonesia, tak lama lagi memsuki era pergantian pemimpin baru. Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, mendesak,  pemimpin baru harus memiliki komitmen lebih kuat dalam penyelamatan hutan, gambut dan menjamin hak kelola masyarakat.

Demikian benang merah diskusi bertajuk “3 Tahun Moratorium Izin Kehutanan, Seperti Apakah Perlindungan Lahan Gambut, Pencegahan Kebakaran Hutan dan Penyelesaian Konflik di era Moratorium serta Harus Seperti Apakah Pemerintah Ke Depan?” di Jakarta, 21 Mei 2014.

Mereka mengajukan beberapa rekomendasi kepada Presiden SBY ataupun pemimpin baru nanti. Rekomendasi itu antara lain. Presiden harus memastikan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca nasional seperti dicanangkan. “Salah satu lewat menghapus pengecualian dalam Inpres Moratorium,” kata Teguh Surya, pengkampanye Politik Hutan Greenpeace.

Adapun pengecualian Inpres Moratorium yang harus dihapus itu terkait permohonan yang mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan, pelaksanaan pembangunan nasional bersifat vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi,ketenagalistrikan, dan lahan untuk padi dan tebu. Lalu, perpanjangan izin pemanfaatan hutan atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usaha masih berlaku.

Perusahaan tambang Arthaindo tengah membabat hutan di kawasan hutan lindung Tojo Una-una. Meskipun perusahaan ini sudah di-police line karena diduga beroperasi sebelum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kemenhut, tetapi tetap beroperasi. Lucunya lagi, kawasan ini masuk moratorium. Foto: Jatam Sulteng

Bagian restorasi ekosistem, katanya, masih berlaku dengan mengganti istilah RE dengan pemulihan ekosistem.

Koalisi mendesak, Presiden segera menerbitkan landasan hukum peninjauan kembali izin‐izin konsesi perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan di atas hutan dan lahan gambut serta hutan adat. Juga memastikan pemerintah membangun mekanisme pemantauan atau pengawasan moratorium yang mudah dimengerti dan diakses masyarakat, khusus kaum perempuan.

Presiden juga didesak revisi RPP Gambut dengan melibatkan partisipasi aktif pemangku kepentingan, khusus masyarakat di sekitar lahan gambut.

Lalu, menghentikan dan mencegah dampak bencana kebakaran hutan dan gambut meluas. Caranya, tidak membenarkan pembangunan kebun baru dan HTI pada lahan gambut dan hutan yang tersisa, mengkaji ulang konsesi di lahan gambut, termasuk yang masih tahap pengajuan. Lantas, penegakan hukum perusahaan yang areal konsesi terbakar, dan fokus kejahatan korporasi.

Pemerintah juga didesak segera mengesahkan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.

Contoh-contoh di lapangan yang menunjukkan moratorium belum berjalan efektif dijabarkan. “Melihat perkembangan peta indikatif penundaan izin baru, justru terjadi kompromi dengan izin-izin lokasi yang baru diusulkan,” kata Frangki, Yayasan Pusaka.

Dia mencontohkan, di Papua dan Papua Barat, setidaknya ada tiga permasalahan besar. Pertama, ketentuan pengecualian dalam kebijakan moratorium masih memungkinkan perkebunan besar masuk wilayah moratorium dengan mengusung kepentingan pangan dan energi. Salah satu contoh, mega proyek MIFEE di Merauke, izin dan rekomendasi keluar meskipun di wilayah moratorium.

Kedua, pemberian izin baru oleh pemerintah daerah meningkat, hingga terjadi alih fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan. Lebih dari 1,5 juta hektar kawasan hutan di Papua dan Papua Barat untuk pencadangan hutan tanaman industri (HTI) dan 2,6 juta hektar hutan alam dialokasi buat ditebang.

Ketiga, alih fungsi kawasan hutan massif. Pemerintah Papua Barat mengesahkan usulan revisi RTRW dengan perubahan kawasan hutan seluas 1.836.327 hektar. Ini terdiri dari perubahan peruntukan 952.683 hektar dan fungsi 874.914 hektar. Kawasan APL menjadi kawasan hutan hanya 8.730 hektar. “Sebagian besar untuk investasi perkebunan.”

Azmi Sirajuddin, Yayasan Merah Puti Palu, Sulawesi Tengah, angkat bicara. Di Sulteng, dari 443 IUP memakan kawasan hutan sleuas 1,3 juta hektar. “Ini sudah dua pertiga dari kawasan hutan Sulteng yang tinggal 3,1 juta hektar. Besar sekali, ini buat kepentingan pertambagan,” ujar dia.

Dia mengatakan, kawasan-kawasan parah perusakan kawasan hutan, termasuk di kawasan moratorium, seperti di Kabupaten Banggai, Morowali dan Tojo Una-una. “Desa Podi, itu masuk Inpres Moratorium, tetapi pada 2012 bupati kasih izin nikel dan biji besi. Ini daerah bencana tapi tetap dikasih izin. Moratorium sama sekali tak ditaati.”

Hutan di Kepualauan Aru ini baru saja terlepas dari ancaman buat kebun tebu. Kini, muncul ancaman baru dari sawit. Padahal ini pulau kecil yang ditegaskan dalam UU tak boleh ada eksploitasi besar-besaran. Foto:

Kebijakan MP3EI menambah parah kerusakan, terlebih Sulteng masuk koridor biji besi dan nikel. Kepala daerah, katanya, lebih senang mengeluarkan izin atas nama MP3EI ketimbang taat pada Inpres Moratorium. “Ini sikap pembangkangan di Sulteng. Lebih suka uang tunai. Satu izin di Sulteng sekitar Rp1 miliar dengan dalih dana reklamasi. Ini jadi bisnis bupati di  Sulteng.”

Abu Meredian, Forest Watch Indonesia juga mengungkapkan kekhawatiran sama. Aturan di negeri ini, katanya, seakan tak bergigi. Sesuai UU Pesisir, pulau-pulau kecil di bawah 2.000 meter persegi dilindungi tetapi kenyataan berbeda, seperti terjadi di Kepulauan Aru. Izin-izin penguasaan lahan untuk perkebunan tebu dikeluarkan pemerintah daerah. Meskipun, belakangan disebutkan Menteri Kehutanan, kebun tebu tak layak di Kepulauan Aru. Bukan berarti aman, muncul kabar, sudah menanti persetujuan izin buat kebun sawit.

Di Kepulauan Aru, katanya, memiliki potensi kayu merbau cukup besar. “Di sana kayu merbau banyak diameter lebih satu meter.”

Dia meminta, pulau-pulau kecil jangan dianaktirikan, karena hutan-hutan di wilayah ini sangat rentan. “Kalau sampai dibabat akan munculkan dampak buruk bagi pulau dan orang di sana.”

Begitu pula terjadi di Kalimantan Tengah. Edo Rahman dari Walhi, mengatakan, Inpres Moratorium tak maksimal di daerah pilot project REDD+ ini. “Terbukti di Kalteng, muncul izin-izin memanfaatkan kawasan hutan yang masuk Inpres Moratorium.”

Miris. Meskipun Presiden sudah mengeluarkan inpres tetapi seakan tak wajib laksanakan daerah. “Karena para pemimpin daerah tak anggap wajib jalankan inpres itu. Terbukti banyak izin keluar.”

Muslim Rasyid, koordinator Jikalahari  mengatakan, moratorium seharusnya menjadi momentum koreksi izin-izin bermasalah di Riau, yang sampai saat ini penanganan tak jelas. Dia memperlihatkan bagaimana peta kawasan yang dilindungi moratorium, setiap revisi enam bulan berkurang dan akhirnya bersih dari perlindungan.

Tolak Capres Mafia Migas dan Tambang

Sebelum itu, Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam mendesak kandidat yang maju dalam pilpres tidak melibatkan mafia tambang dan migas dalam tim sukses pemenangan. Koalisi menganggap keterlibatan mafia tambang dan migas punya andil besar dalam carut marut tata kelola hutan selama ini.

Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi itu antara lain, KontraS, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Fitra, Indonesia Corruption Watch, Jatam dan Solidaritas Perempuan.

Tepian pantai di Pulau Bangka, yang mulai direklamasi. Mangrove ditebang. Batu-batu ditumpahkan ke laut. Foto: Save Bangka Island

“Sektor tambang dan migas rumah nyaman bagi para koruptor. Di pilkada maupun pilpres banyak mafia tambang ikut sokong dana kampanye. Tambang dan migas jadi primadona kumpulkan modal politik,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jatam, Selasa (20/5/14).

Jika mafia tambang dan migas berperan, akan terjadi politik balas jasa. Banyak peraturan dan kebijakan menguntungkan mereka sebagai bagian balas jasa dukungan politik. “Tahun 2009, pasangan SBY-Boediono mendapatkan dana kampanye Rp24,5 miliar dari pengusaha tambang. Begitupun capres lain.”

Data Jatam, 68 persen Indonesia sudah terkavling untuk konsensi tambang, migas dan perkebunan. “Faktanya, pertambangan tidak membuat masyarakat sejahtera. Justru memakan lahan luas dan menimbulkan konflik dengan masyarakat. Akses mereka menjadi terbatas. Juga mengancam ketersediaan air,” kata Bagus.

Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia, mengatakan, sebaiknya capres menutup celah mafia tambang dan migas masuk dalam tim sukses. “Jangan sampai ada penumpang gelap.”

Dia berharap,  capres yang maju transparan mengungkap sumber dana kampanye mereka. “Kami ingin capres dan cawapres tegas, mereka tidak melibatkan mafia migas dan tambang.”

Chalid mendesak, capres berkomitmen memperbaiki kebijakan tata kelola energi pertambangan yang lebih memihak rakyat. Juga membersihkan kabinet pemerintahan dari intervensi mafia tambang dan migas.

Senada dengan Hadi Prayitno dari Knowledge Management Manager Fitra.  Dia mengatakan, eksploitasi sumber SDA besar-besaran karena belanja negara dibebankan pada sumber lain, yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Padahal, 97 persen PNBP dari eksploitasi tambang dan migas. Di APBN 2014, mencapai Rp198 triliun. Tak heran eksploitasi SDA besar-besaran dengan dalih penyeimbang APBN.”

Dengan skema ini, bisa menyelamatkan APBN. Namun sisi lain mengorbankan alam, lingkungan dan keselamatan warga sekitar tambang. “Capres harus berpikir soal ini. Mereka harus berani menerapkan rasio pajak lebih tinggi. Beranikah yang maju sekarang berpikir ke arah sana? Sebab, mereka berhadapan dengan mafia,” kata Hadi.

Tak jauh beda dengan Syamdul Munir, divisi advokasi ekonomi dan sosial KontraS. Menurut dia, pertambangan seringkali merenggut hak masyarakat sekitar. Sebab, memakan lahan sangat luas. “Capres harus berani berkomitmen sejak awal menerapkan kebijakan reforma agraria. Kita kawal dari sekarang.”

Hingga 2013, KontraS mencatat ada 12 orang tewas, 211 luka dan 89 ditahan akibat konflik pengelolaan SDA, terutama tambang dan energi.

Emerson Yuntho aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, isu mafia migas dan tambang harus menjadi konsen utama capres. Ada banyak temuan KPK membuktikan negara dirugikan karena keluar izin tambang dan migas.

“Mereka harus berkomitmen sejak awal tidak menempatkan menteri dari kalangan politisi. Sebab jika kementerian penting seperti ESDM dan Kehutanan ditempati politisi akan tersandera. Sama seperti sekarang di Kemenhut. Kepentingan partai kental.”

Aliza Yuliana, dari divisi perempuan dan konflik SDA Solidaritas Perempuan menyorori dampak buruk pertambangan bagi perempuan. Setiap kali perusahaan tambang beroperasi, tidak pernah mempertimbangkan aspirasi perempuan.

“Padahal, perempuan pihak paling dirugikan. Dampak berlapis. Terutama soal kesehatan reproduksi. Capres harus berkomitmen mengubah ini. Jangan lagi ada politik balas jasa menguntungkan mafia tambang dan migas.”

 

Hutan-hutan di pebukitan botak di Kabupaten Morowali, seperti di Kecamatan Bungku Timur, dan Bahodopi, bukan pemandangan asing lagi. Eksploitasi SDA yang menjadi andalan pendapatan negara mengancam alam dan warga. Foto: Sapariah Saturi

Evaluasi Tiga Tahun Moratorium


Pesan buat Pemimpin Baru: Selamatkan Hutan, Gambut dan Jamin Hak Kelola Masyarakat was first posted on May 25, 2014 at 11:56 pm.

Perlu Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria di Muba

$
0
0
Kampung oleh warga Dawas di Suaka Margasatwa Dangku. Warga mengklaim sudah hidup turun menurun sejak kawasan konservasi ini belum ditetapkan. Foto: Taufik Wijaya

Kampung oleh warga Dawas di Suaka Margasatwa Dangku. Warga mengklaim sudah hidup turun menurun sejak kawasan konservasi ini belum ditetapkan. Foto: Taufik Wijaya

Kabupaten Musi Banyuasin, wilayah terbanyak konflik agraria antara masyarakat dan pemerintah maupun perusahaan di Sumatera Selatan. Keberadaan lembaga Ad Hoc sangat diperlukan guna penanganan konflik ini.

“Lembaga ini berdiri berdasarkan peraturan daerah,” kata  Dr. Laksmi A. Savitri, peneliti dari Universitas Gajahmada Yogyakarta saat Workshop Penyempurnaan Policy Brief Penanganan Konflik Agraria Muba, digelar Spora Institute di Palembang, pertengahan Mei.

Meskipun begitu, lembaga berjalan optimal, perlu persyaratan lain, seperti pemerintah Muba menjalanlkan moratorium izin-izin baru dan me-review izin lama terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA). “Kalau tidak didukung kebijakan, lembaga tak akan berjalan optimal,” kata Hadi Jatmiko, direktur Walhi Sumsel.

Dari 2009-2014, tercatat 60-an konflik agraria di Sumsel tersebar sembilan kota dan kabupaten, yakni Palembang, Ogan Komering Ulu (OKU), dan Ogan Komering Ilir (OKI). Lalu, Ogan Ilir (OI), Banyuasin, Musi Banyuasi (Muba), Musi Rawas (Mura), Ogan Komering Ulu (OKU), Muara Enim dan Lubuk Linggau. Hingga 2012, hanya 14 kasus diselesaikan. Kabupaten Muba paling banyak konflik agraria, sekitar 23 kasus.

Tingginya konflik di Muba karena daerah paling banyak beroperasi HTI, perusahaan sawit, pertambangan batubara, dan migas. Ada sembilan HTI, didominasi milik Sinar Mas Grup. Penambangan batubara sekitar 69 perusahaan yang mendapatkan izin operasional. Perusahaan sawit 43 perusahaan skala besar, dan migas 15.

Konflik agraria diduga sebagai penyebab kemiskinan masyarakat Muba menjadi tertinggi di Sumsel. Pada 2012 tercatat 106.900 warga Muba miskin, atau 18 persen di Sumsel. “Ini melebihi standar kemiskinan nasional, mematok 11 persen,” kata Hadi.

Keinginan Politik

Latar gagasan pembentukan lembaga penanganan konflik agraria di Muba, berdasarkan penelitian Spora Institute selama tujuh bulan di tiga wilayah konflik yang melibatkan masyarakat Dawas, Sinar Harapan dan Simpang Bayat. Ternyata penyebab konflik karena kebijakan pemerintah.

Konflik masyarakat Dawas dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sumsel, ketika kelola masyarakat 28.500 hektar ditetapkan Menteri Kehutana sebagai Suaka Margasatwa Dangku pada 1986, mencapai 70.240 hektar.

Masyarakat melawan penguasaan kembali lahan mereka sejak 2012. Dalam mengatasi konflik ini,  pemerintah lewat pendekatan keamanan, seperti pengusiran dan penangkapan walau kebijakan baru muncul berpihak masyarakat, seperti keputusan MK No.35. “Sampai kini konflik tidak terselesaikan, perlu kemauan politik pemerintah,” kata Laksmi.

Hadi berharap, Presiden Indonesia yang baru memiliki komitmen kuat menyelesaikan konflik agraria.


Perlu Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria di Muba was first posted on May 26, 2014 at 3:18 pm.

Video: Si Pemalu yang Terus Diburu

$
0
0

Trenggiling yang bernilai ekonomi terus menjadi sasaran buruan. Foto: Ayat S Karokaro

Trenggiling (Manis javanica), satwa langka pemalu ini terus menjadi sasaran buruan karena bernilai ekonomi tinggi. Di pasar luar, per sisik bisa dihargai US$1-US$2, belum organ tubuh lain. Seperti awal Mei 2014, upaya penyelundupan empat tringgiling oleh sindikat penjualan satwa, berhasil dibongkar tim Polresta Medan, Sumatera Utara.

Penyidik berhasil mengamankan empat tringgiling, satu mati karena dipotong dan berencana dijual Rp300.000-Rp400.000 per kilogram.

Kompol Jeal Calvin Simanjutak, Kasat Reskrim Polresta Medan menyatakan, tringgiling ini akan diseludupkan ke sejumlah negara, seperti China, Singapur, dan Malaysia. “Untuk bahan dasar narkoba, bahan kosmetik dan obat-obatan,” katanya.

Sindikat penjualan satwa ini, masih diburu. Baru dua dari lima pelaku ditangkap.  Mereka S dan SL, warga Desa Tanjung Gusti, Galang, Deli Serdang.  Para tersangka terancam hukuman lima tahun dan denda Rp100 juta.


Video: Si Pemalu yang Terus Diburu was first posted on May 26, 2014 at 3:51 pm.

KLH-OJK Perkuat Peran Lembaga Jasa Keuangan agar Peka Lingkungan

$
0
0
Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, dan ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad usai penandatanganan kesepakatan bersama memperkuat peran lembaga jasa keuangan yang peduli lingkungan. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, dan ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad usai penandatanganan kesepakatan bersama memperkuat peran lembaga jasa keuangan yang peduli lingkungan. Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

Dengan kesepakatan ini lembaga jasa keuangan mesti menunjukkan bukti konkrit lewat kepedulian dan kepekaan mereka lewat penyaluran pembiayaan kepada proyek-proyek ‘hijau.”

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menandatangani kesepakatan bersama guna meningkatkan peran lembaga jasa keuangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui pengembangan jasa keuangan berkelanjutan. Kesepakatan ini ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, dan ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad.

Baltasar mengatakan, sebagai otoritas jasa keuangan bank, OJK memiliki posisi strategis mengatur perekonomian melalui kebijakan penyaluran kredit atau pembiayaan ramah lingkungan. Kesepakatan ini, diharapkan bisa mendorong jasa keuangan non bank lain berwawasan lingkungan dalam pendanaan mereka. “Seperti saham, asuransi dan sektor jasa keuangan lain,” katanya dalam rilis yang diterima Mongabay, di Jakarta, Senin (26/5/14).

Kerjasama ini, katanya, sejalan dengan komitmen KLH mendorong pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan seperti amanat UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.  “Kementerian mendukung segala upaya para pihak mengimplementasikan kebijakan lingkungan hidup pada sektor jasa keuangan.”

Muliaman, mengatakan, perlu peningkatan peran lembaga jasa keuangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup lewat pengembangan jasa keuangan berkelanjutan ini.

Lewat peran strategis OJK ini,  diharapkan membuahkan aksi kongkrit lembaga jasa keuangan dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. “Yakni, dengan penyediaan sumber-sumber pendanaan proyek-proyek ramah lingkungan, seperti energi baru dan terbarukan, pertanian organik, industri hijau dan eco tourism,” ucap Muliaman.

Untuk implementasi, OJK-KLH akan melaksanakan beberapa upaya bersama. Pertama, harmonisasi  kebijakan sektor jasa keuangan dengan kebijakan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kedua, harmonisasi kebijakan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan kebijakan sektor jasa keuangan. Ketiga, penyediaan dan pemanfaatan data dan informasi lingkungan hidup untuk pengembangan jasa keuangan berkelanjutan.

Keempat, melakukan penelitian guna penyusunan konsep kebijakan bidang keuangan berkelanjutan. Kelima, peningkatan kapasitas dan kompetensi  sumber daya manusia (SDM) sektor jasa keuangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Sejak 2010, KLH dan Bank Indonesia sudah bekerja sama green banking. Green banking ini salah satu upaya mengubah paradigma pembangunan nasional dari greedy economy menjadi green economy. Greedy economy adalah istilah fokus ekonomi terbatas pada pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan.

 

 


KLH-OJK Perkuat Peran Lembaga Jasa Keuangan agar Peka Lingkungan was first posted on May 26, 2014 at 11:49 pm.

Polemik Bendungan Malle Majene, dari Rampas Lahan sampai Tak Ada Izin Lingkungan

$
0
0
Embung Mangge yang berada sekitar 500 meter dari lokasi yang akan dibangun bendungan baru. Ini dinilai hanya akan makin mengurangi debit air di daerah hulu, sementara kondisi hutan di daerah itu sebenarnya lebih memerlukan perhatian pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Embung Mangge yang berada sekitar 500 meter dari lokasi yang akan dibangun bendungan baru. Ini dinilai hanya akan makin mengurangi debit air di daerah hulu, sementara kondisi hutan di daerah itu sebenarnya lebih memerlukan perhatian pemerintah. Foto: Wahyu Chandra

Siang itu, Selasa (20/5/14), matahari terik, puluhan warga Kelurahan Baruga, Kecamatan Banggae Timur, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, long march ke kantor Bupati Majene. Mereka yang tergabung dalam Forum Masyarakat  Baruga (FMB) menuntut Bupati Mejene Kalma Katta, menghentikan pembangunan embung (bendungan) Malle.

Rencana Pemkab Majene membangun embung baru di Baruga menyisakan beragam masalah. Tak hanya merampas belasan hektar kebun warga tanpa ganti rugi, juga belum mengantongi perizinan lingkungan. Apalagi, hanya 500 meter dari sana, ada embung lama, embung Abaga, masih berfungsi baik.

Syamsuddin, koordinator FMB, mengatakan, sebelum embung di sana, seharusnya ada sosialisasi dan konsultasi publik. “Sejak 2010, tak pernah ada rembuk dengan masyarakat. Tiba-tiba beberapa bulan ini,  pemerintah ingin membangun proyek. Langsung pengukuran lahan,” katanya.

Tuntutan lain, pengusutan pembangunan embung tidak memiliki izin Amdal ataupun izin  upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL). Seharusnya, pembangunan ini memiliki izin lingkungan karena di kawasan hutan lindung.

FMB juga mempersoalkan dampak proyek bagi warga sekitar. “Di hulu, karena saluran pembuangan kecil, dipastikan luapan air ketika debit tinggi. Di hilir,  debit air sangat kurang. Ini bisa menyebabkan kekeringan.”

Persoalan lain pada desain embung dinilai tidak memiliki kekuatan memadai menampung air. “Kalau debit air tinggi, apalagi dari sungai, kemungkinan besar jebol. Ini ancaman bagi warga,” kata Syamsuddin.

Pembangunan ini dinilai berdampak penghilangan sumber mata pencaharian warga, yang selama ini menggantungkan hidup dari bambu, yang banyak tumbuh di sana.

Pembangunan embung atau bendungan Malle di Kelurahan Baruga, Majene, Sulbar, menggunakan lahan warga tanpa gantI rugi. Garis merah pada pohon batas genangan air jika embung ini jadi dibangun. Belasan hektar lahan warga tergenang, termasuk ratusan pohon bambu yang menjadi sumber penghasilan warga selama ini.  Foto: Wahyu Chandra

Pembangunan embung atau bendungan Malle di Kelurahan Baruga, Majene, Sulbar, menggunakan lahan warga tanpa gantI rugi. Garis merah pada pohon batas genangan air jika embung ini jadi dibangun. Belasan hektar lahan warga tergenang, termasuk ratusan pohon bambu yang menjadi sumber penghasilan warga selama ini. Foto: Wahyu Chandra

Ikhsan Welly, ketua Walhi Sulbar, mengatakan, jika alasan membangun embung karena debit air kurang, seharusnya memperbaiki daerah hulu yang rusak berat karena pembalakan liar. “Bukan membangun embung baru justru makin menggerus suplai air di daerah itu.”

Ikhsan mengkritisi alasan demi mensuplai air bersih bagi masyarakat Kota Majene dengan mengabaikan kepentingan pasokan air warga Baruga.

Jika terealisasi, pembangunan embung ini akan meluas dan bisa menenggelamkan daerah lain sekitar, khusus di Dusun Asing-asing Desa Pallarangan, Pamboang, Majene.

Pembangunan embung yang dibiayai APBN dan dikerjakan PT Indah Seratama, tanpa sosialisasi jelas dan sarat intimidasi ini juga diakui Rusdi Meleng, tokoh masyarakat di Baruga.

Menurut dia, warga baru mengetahui rencana itu beberapa bulan lalu. Sebanyak empat kali pertemuan tanpa hasil, karena tak ada pembicaraan ganti rugi.

Dalam pembebasan lahan, intimidasi kerap dilakukan. Dalam setiap pertemuan dengan warga puluhan polisi dipersenjatai ikut mengawal. Warga didatangi polisi.

“Polisi mendatangi rumah warga. Ketika di masjid kami pernah didatangi polisi agar pembangunan embung tidak dihalang-halangi dan harus dikerjakan apapun yang terjadi.”

Syamsuddin sering mendengar ancaman ini dari warga. Warga takut melawan karena diancam pidana jika menolak. Apalagi, pernyataan bupati yang bersikukuh membangun embung itu apapun yang terjadi.

Warga keberatan dengan embung karena ada sejumlah fasilitas publik seperti musallah, sekolah, perkuburan dan perkebunan warga di sepanjang area genangan. Majelis Ulama Majene ikut menolak.

Rusdi dan puluhan warga geram dan merasa tertipu, karena ketika pertemuan dengan bupati, ternyata perusahaan dikawal polisi dan Satpol PP pengukuran lokasi.

Penduduk Baruga sekitar 2.060 jiwa, terdiri dari empat lingkungan, yaitu Baruga, Simullu, Tanete dan Barga Barat. Ia dikenal sebagai daerah religius. Sejumlah tokoh  besar ulama Sulawesi lahir di sini. Embung ini khawatir menghancurkan sejumlah bangunan bersejarah.

 


Polemik Bendungan Malle Majene, dari Rampas Lahan sampai Tak Ada Izin Lingkungan was first posted on May 28, 2014 at 9:04 pm.

Kala Tata Batas Hutan Terus Mendulang Konflik di Sulawesi

$
0
0

Hutan Adat masyarakat Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang diklaim sebagai hutan negara dan diberikan izin kepada perusahaan. Kini, hutan adat ini hampir terlindungi karena perda tengah disusun. Foto: Christopel Paino

 “Sejak negara ini ada, hutan makin hancur. Hutan kami hancur. Padahal,  kearifan menjaga hutan ada sejak nenek moyang. Pengelolaan hutan itu harus berbeda-beda tiap-tiap wilayah adat, karena kami memiliki kearifan berbeda-beda. Harus ada aturan yang mengawal aturan putusan MK 35…”

Kalimat itu meluncur keras dari Den Upa Rombelayuk, ibu paruh baya perwakilan masyarakat adat Tana Toraja, Sulawesi Selatan. MK 35 yang dimaksud adalah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2013 yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.

Dia mengungkapkan kekecewaan terhadap pengelolaan hutan oleh negara ini pada diskusi isu terkini kehutanan terkait masyarakat adat dan masyarakat lokal, diinisiasi Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional Regio Sulawesi, di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (19/5/14).

Den Upa mengatakan, sebelum ada keputusan MK 35, banyak masyarakat adat ditangkap ketika masuk wilayah kelola mereka. Misal, memotong kayu dan mengambil hasil hutan, masyarakat adat bisa masuk penjara. Banyak harus berurusan dengan polisi. “Sekarang putusan MK 35 itu belum dilaksanakan pemerintah. Tidak ada implementasi di lapangan,” katanya kepada Mongabay.

Serupa diungkapkan Rusdin ZM, dari masyarakat Dampelas Tinombo, Donggala, Sulteng. Konflik antara masyarakat adat dengan negara terus terjadi. Masalahnya, penetapan batas hutan. Di Desa Talaga, masyarakat rumpun Dampelas seperti dipecah belah. Mereka bingung dengan kawasan lindung yang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dampelas Tinombo.

Yang membuat warga geram, ladang tempat mencari tiba-tiba dipasangi patok-patok pal batas. Bahkan di belakang rumah ketua adat, diam-diam dipasangi batas. Mereka kaget, wilayah yang dikelola sejak lama menjadi kawasan lindung. Masyarakat mengira kepala desa sudah sekongkol.

“Akibat pemasangan pal-pal di Desa Talaga, kepala desa diserang masyarakat. Karena sebelumnya, petugas datang ke kepala desa ngobrol biasa, esoknya mereka jalan-jalan ke sebarang danau. Ketika masyarakat pergi ke kebun, sudah terpasang pal batas. Dampak pal batas ini konflik,” kata Erwin Laudjeng, masyarakat lokal lain dari Sulteng.

Perkebunan sawit salah satu sumber konflik dengan masyarakat adata. Lahan kelola masyarakat yang dianggap masuk hutan negara diberikan izin kepada perusahaan besar hingga menimbulkan konflik berkepanjangan. Foto: Pusar-Banggai

Jamlis Lahandu, ahli kehutanan Sulteng dan akademisi Universitas Tadulako Palu,  mengatakan, bicara lingkungan adalah bicara ruang hidup. Disana ada sumber kehidupan. Semestinya, regulasi untuk mensejahterakan masyarakat dan mempertahankan kawasan tetap lestari.  “Ada negosiasi, namun ini tidak terjadi. Definisi ini perlu dikaji, hingga semua komponen bisa masuk.”

“Jangan sampai taman nasional punya persepsi berbeda bahwa semua ini kita yang punya, sementara masyarakat tidak punya. Kalau itu terjadi baku perang saja di lapangan. Itu tidak diharapkan. Hutan itu sumber penghidupan dan memberikan kontribusi bangsa ini. Kalau hutan konflik tidak pernah berakhir, bubar saja negeri ini.”

Jamlis pernah divonis penjara karena menolak pertambangan bijih emas di Kecamatan Balaesang Tanjung, Donggala. Meski dosen, dia menjadi Ketua Forum Masyarakat Anti Tambang Balaesang Tanjung, memimpin warga menolak perusahaan bernama PT Cahaya Manunggal Abadi. Aksi itu pada 17 Juli 2012, warga menggelar aksi besar hingga kerusuhan. Jamlis dianggap provokator dan mendekam penjara enam bulan.

Jamlis mengatakan, penetapan kawasan hutan seharusnya melalui prosedur. Fakta selama ini belum ada penetapan sudah diterobos. Sementara dalam setiap konflik selalu diandalkan aparat. Aparat mengandalkan senjata.

Masyarakat adat, katanya, harus segera mentetapkan wilayah adat, unsur-unsur seperti apa, dan harus ada dokumen. Jadi menuntut kepada pemerintah ada bukti. Kalau di gunung adalah kebun, harus ada pengelolaan berdasarkan sistem keadatan di wilayah masing-masing. Semua harus dipersiapkan agar berjalan baik.

“Begitupun perlakuan sanksi adat atau givu, siapapun yang melanggar harus digivu. Termasuk taman nasional.”

Persoalannya, kalau masyarakat mengambil coklat yang ditanam sendiri malah ditangkap, masyarakat adat harus bisa membalas givu kepada pemerintah. “Ini keputusan adat, Anda melanggar harus menerima givu. Artinya sama kekuatan pengadilan negeri dan pengadilan adat. Sekarang banyak orang melanggar tidak digivu, tapi kita mengambil cokelat digivu.”

Nurudin, kepala seksi Konservasi Alam Dinas Kehutanan Sulteng,  mengatakan, memperoleh legitimasi kawasan hutan ada prosedur. Hal ini kadangkala sering bermasalah. Di lapangan, Dinas Kehutanan hanya operasional mengacu pada petunjuk Kementerian.

Kegiatan pengukuhan kawasan hutan, katanya, tidak oleh Dinas Kehutanan. Ada unit pelaksana teknis pemerintah pusat di daerah, seperti Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Merekalah yang mengukuhkan. “Artinya, ketika hutan ditunjuk dan diberi tanda tata batas, Dinas Kehutanan hanya masuk pada pengelolaan,” kata Nurudin.

Pada 2013, perkembangan tata batas hutan di Sulteng mencapai 10.984 kilometer atau 92 persen. Itu batas luar, berbatasan langsung dengan areal peruntukan lain, batas fungsi, progres sudah 3.960 kilometer atau 76 persen.

Nurudin melanjutkan, terkait fungsi hutan, contoh taman nasional, untuk penyelesaian masalah harus dialogis. Klaim masyarakat harus dibicarakan baik-baik. “Kalau hutan dibagi-bagi, itu akan memperingan tugas kehutanan. Karena sudah menjadi taman nasional, fungsi tetap hak kelola masyarakat adat. Nanti dimasukkan ke RUU Masyarakat Adat.”


Kala Tata Batas Hutan Terus Mendulang Konflik di Sulawesi was first posted on May 28, 2014 at 9:56 pm.

El-Nino Datang, Kebakaran Besar Mengancam, Pemerintah Harus Serius Lindungi Gambut

$
0
0

Kebakaran lahan gambut di Desa Selingsing, Medang Kampai, Dumai, Riau pada awal Maret 2014. Jika tak ada perlindungan serius pada gambut, maka el-nino akan menyebabkan kebakaran gambut lebih parah. Foto: Zamzami

BMKG memperkirakan el-nino mulai Juli 2014 . Kemarau panjang dan kekeringan ini bakal memicu kebakaran lahan gambut parah. Untuk itu, pemerintah diminta serius menyelamatkan gambut di tengah kerusakan yang begitu memprihatinkan. Jika tidak, daerah gambut seperti Sumatera, akan tertutup asap. “Dampak El-nino membuat Indonesia musim kemarau sangat panjang. Tahun lalu siklus Mei-Juni. Sekarang Februari-Maret sudah ada kebarakan hutan,” kata Yuyun Indradi, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, di Jakarta, Rabu (28/5/14).

Kemarau biasa saja, kebakahan hutan dan lahan sudah parah. Apalagi el-nino, jauh lebih mengerikan. Pengalaman el-nino 1997, emisi dikeluarkan dari  lahan gambut terbakar 0,81 dan 2,57 GtC atau 13-40 persen emisi gas karbon dunia dari pembakaran bahan bakar fosil.

“Melindungi gambut kaya karbon kunci mengurangi kerugian akibat kebakaran hutan.” Namun, katanya, hingga kini belum ada perlindungan hukum kuat bagi ekosistem gambut.

Dia mengatakan, sepanjang Februari-Mei, tercatat 11.288 titik api di Indonesia, 75,7% atau 8.542 di lahan gambut. Sekitar 3.758 (33%) lahan gambut moratorium. Yuyun berharap, pemerintah lebih serius melindungi gambut. “Titik api di gambut karena perluasan perkebunan skala besar. Baik sawit maupun HTI. Padahal harusnya ekosistem gambut dilindungi. Berapapun dalam dan dimanapun letaknya,” kata Yuyun.

Menurut dia, provinsi dengan kerusakan gambut tinggi adalah Riau. Kerugian negara akibat kebakaran hutan di  Riau Februari-Maret 2014 mencapai Rp15-Rp20 triliun. “Jumlah itu tidak sebanding dengan APBD provinsi. Keuntungan pembukaan gambut untuk investasi sangat sedikit dibanding kerugian.”

Riau merupakan provinsi diperkirakan menyimpan 40% karbon dari gambut. Setara nilai setahun lebih emisi gas rumah kaca dunia. Di beberapa titik,  lahan gambut mencapai 14 meterlebih. Luas Riau hanya lima persen daratan Indonesia tetapi menyumbang 40% titik api dan hampir tiga perempat di lahan gambut.

Warga di Dumai coba memadamkan bara api yang membakar lahan gambut. Jika tak ada penanganan serius, el-nino akan menjadi bencama kebakaran lebih besar lagi. Foto: Zamzami

Riau juga provinsi paling banyak memproduksi minyak sawit. Sekitar 40% minyak sawit Indonesia melalui pelabuhan Dumai di Riau. Pembukaan gambut di massif.

Contoh, PT Rokan Adi Raya konsesi 10.500 hektar di hutan gambut dalam. Penebangan hutan antara 2009-2013 menyebabkan kebakaran hebat. Analisis landsat akhir 2013, hanya 419 hektar hutan tersisa. Penyelidikan Greenpeace Juni 2013, mendokumentasikan eskavator perusahaan tak henti membangun drainase di lahan gambut.

“Pemerintah harus mengevaluasi izin dan menindak keras pelawan hukum. Izin konsesi perusahaan membakar hutan harus dicabut.”

Pemerintah, katanya, harus mengembangkan rencana perlindungan, rehabilitasi dan pengelolaan lanskap hutan dan gambut berkelanjutan. Termasuk solusi berbasis masyarakat. Pengelolaan gambut harus memastikan tak ada lagi pengeringan lahan.

Kiki Taufik, kepala Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia mengatakan, meski Presiden SBY sudah mengeluarkan kebijakan moratorium, namun tidak efektif. Tak ada lembaga khusus memonitor lahan yang masuk moratorium. “Terbukti, masih melihat sebaran titik api di gambut kawasan moratorium. Perlindungan menyeluruh gambut harga mati.”


El-Nino Datang, Kebakaran Besar Mengancam, Pemerintah Harus Serius Lindungi Gambut was first posted on May 30, 2014 at 1:34 am.
Viewing all 3846 articles
Browse latest View live