Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3867 articles
Browse latest View live

Penambangan Pasir Marak, Mangrove Hilang, Abrasi Pantai Merauke Mengkhawatirkan

$
0
0
Kali tak jauh dari pantai yang biasa menjadi tempat penambang pasir beraksi. Foto: Agapitus Batbual

Kali tak jauh dari pantai yang biasa menjadi tempat penambang pasir beraksi. Foto: Agapitus Batbual

Kampung Nasem, Distrik Merauke dengan Dusun Ndalir, Distrik Noukenjerai dibatasi oleh sebuah sungai. Ada Pos Taman Nasional Wasur, tak jauh dari situ. Kedua daerah ini berada di pesisir pantai.

Dulu ia pantai indah. Di tepian hijau oleh hutan mangrove. Kala, musim panas, di kawasan pesisir ini banyak burung dari penjuru dunia berkumpul. Mereka mencari makan di pantai. Namun, sejak 1990-an, banyak penambang pasir, di Kali Ndalir, Kampung Nasem. Abrasi pantai makin parah.

Awalnya, ada jalan di tepian pantai, terbuat dari beton karena abrasi pemerintah Merauke membangun tanggul. Ratusan kayu bulat ditancapkan di lumpur. Terlihat kokoh. Namun, karena penambangan pasir makin parah, akses jalanpun putus. Hutan mangrove hilang. Akhirnya, jalan alternatif dibuat sepanjang sekitar 500 meter.

Tambang terus jalan. Alhasil, jembatan lebar sekitar tujuh meter dan panjang 10 meter, dengan penyangga besi hampir runtuh tersapu ombak. Sebuah rumah milik penduduk terbuat dari beton berfungsi menahan deburan ombak. Si tuan rumah menahan rumah dari deburan ombak dengan beton bekas jalan raya.

Yosep Mahuze, warga sekitar Dusun Ndalir mengatakan, sebagian warga yang mengaku pemilik ulayat di sekitar pantai ini tak mau tahu ancaman abrasi. Mereka seakan tak tahu filosofi tanah sebagai mama atau ibu.

“Coba cari kerja lain. Jangan cuma angkut pasir sampai abrasi hingga sedikit lagi jembatan runtuh. Padahal urat nadi dua distrik ini,” katanya.

Dia sudah melaporkan kasus ini ke polisi dan Satpol PP. Kini, penambang pasir mengubah strategi. Mereka beraktivitas malam hari. Kalaupun siang, mereka menyembunyikan mobil di semak belukar. “Bila terasa aman, baru melanjutkan aktivitas lagi.”

Abrasi makin parah. Foto: Agapitus Batbual

Abrasi makin parah. Foto: Agapitus Batbual

Rumah warga yang berfungsi menahan abrasi pantai. Foto: Agapitus Batbual

Rumah warga yang berfungsi menahan abrasi pantai. Foto: Agapitus Batbual

Pemerintah diminta memberikan pencerahan kepada warga penambang ini. Salah satu, memberi mereka pengertian jika jembatan putus, otomatis akses jalan terhenti. Masyarakat Kampung Kondo, Kampung Tomerauw, Kampung Tomer, Kampung Onggaya,  tak bisa lagi ke Merauke. Begitupun sebaliknya.

“Warga disini sangat terganggu dan terancam dengan penggalian pasir ini.”

Secara adat, katanya, penggali pasir ilegal ini merusak kadungan ibu. Kali ini baru pasir digali. Ke depan, tanah pun dijual. “Pemerintah Meruake harus tegas menyanksi penggali pasir. Kasih hukuman supaya mereka sadar. Merasa anak asli Marind jangan jual atau gali pasir karena merusak adat.”

Hasan Matdoan, Kepala Distrik Merauke mengungkapkan, penggalian pasir sudah dilarang tetapi memang masih ada. Titik rawan penggalian itu di Kampung Buti hingga Kampung Nasem dan Dusun Ndalir.  “Masih berjalan tetapi malam hari, atau siang saat petugas tidak ada.”

Menurut dia, kelurahan sering mengawasi dan mencegah termasuk mengamankan beberapa kendaraan pengangkut pasir.

Dia membenarkan, jika penggalian pasir dibiarkan, air laut pasti masuk ke Rawa Dogamit dan ke Danau Rawa Biru. Padahal, Danau Rawa Biru itu pusat air bersih satu-satunya.

Penambangan pasir makin mendekati jalan...Foto: Agapitus Batbual

Penambangan pasir makin mendekati jalan…Foto: Agapitus Batbual

Di pantai ini, kala musim kemarau menjadi persinggahan burung-burung migrasi. Foto: Agapitus Batbual

Di pantai ini, kala musim kemarau menjadi persinggahan burung-burung migrasi. Foto: Agapitus Batbual

 


Penambangan Pasir Marak, Mangrove Hilang, Abrasi Pantai Merauke Mengkhawatirkan was first posted on April 29, 2014 at 7:00 pm.

APP Komitmen Restorasi dan Lindungi 1 Juta Hektar Hutan Sumatera dan Kalimantan

$
0
0

Kawasan hutan yang menjadi komitmen APP untuk dilindungi di Giam Siak Kecil, Riau. Foto: Rhett A. Butler.

Setelah desakan pasar dan kampanye panjang berbagai organisasi lingkungan, Asia Pulp & Paper (APP), anak usaha Sinar Mas, akhirnya berkomitmen merestorasi dan mendukung konservasi satu juta hektar hutan di Indonesia. Angka itu kurang lebih sama dengan total area hutan tanaman industri (HTI) yang menjadi sumber serat kayu perusahaan pada 2013.

Setelah lebih setahun menerapkan kebijakan konservasi hutan, makin jelas bahwa kunci sukses menghentikan deforestasi melalui pendekatan lansekap terhadap restorasi dan konservasi hutan,” kata Aida Greenbury, Managing Director Sustainability APP di Jakarta, Senin (28/4/14).

Dia mengatakan, inisiatif ini hasil masukan berbagai stakeholders, seperti Greenpeace dan LSM anggota solution working group APP, juga WWF.

Komitmen restorasi dan konservasi ini APP ini, katanya, merupakan langkah logis mengingat tuntutan pasar kini ingin produk bersih dari merusak hutan dan desakan berbagai organisasi masyarakat sipil. “Akhirnya APP kelar dengan angka buat fokus dan perlu stakeholder bekerja bersama.”

Pendekatan lansekap dipilih karena konservasi maupun restorasi tak bisa hanya di lahan konsesi. Memang, tantangan lansekap ini cukup berat karena berbagai pemangku kepentingan ada di sana. “Kami berharap kerjasama dengan semua stakeholder di lokal dan internasional.”

WWF mengapresiasi langkah restorasi dan konservasi lansekap APP ini. “Selamat dengan komitmen ini. Ini paling gede di dunia kalau diliat dari area yang dilindungi,” kata Aditya Bayunanda, Forest Commodities Market Transformation Program Leader, WWF-Indonesia.

Menurut dia, dari sisi ambisi APP cukup besar. Tak banyak perusahaan besar yang mau ‘memitigasi’ masa lalu. “Ini jadi preseden bagus.”

Pendepatan lansekap ini memang bagus, dibandingkan konservasi hanya di wilayah konsesi. Namun, hal ini juga menjadi salah satu tantangan berat karena dalam satu lansekap banyak pemain. “Yang perlu lebih detil dari komitmen ini gimana?  Bagaimana implementasi di lapangan. Ini kunci.”

Jadi, inisiatif ini memerlukan kerjasama dengan para pemangku kawasan lain seperti, masyarakat, instansi pemerintah dan LSM, di lanskap-lanskap yang disebutkan APP.

“WWF terbuka melanjutkan diskusi dengan APP untuk dapat memberikan masukan terkait pendekatan implementasi, prioritas dan pengembangan rencana aksi dengan target waktu jelas.”

Konsesi pemasok APP di Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Rod Taylor, Direktur Program Kehutanan Global dari WWF-Internasional, Rod Taylor, mengatakan, WWF dan LSM lain  telah mengidentifikasi masalah APP terhadap deforestasi di masa lalu. “Rencana baru ini akan menyempurnakan kebijakan konservasi hutan mereka,” katanya dalam rilis kepada media.

Guna menjalankan komitmen ini, APP fokus pada sembilan lansekap di Sumatera dan Kalimantan. Pertama, Bukit Tigapuluh, Jambi. Di sini, APP melindungi hutan alam Bukit Tigapuluh dengan membangun koridor satwa liar dan area penyangga tambahan. Serta membatasi akses ke area guna menyempurnakan fungsi Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dengan melibatkan komunitas lokal. 

Kedua, di Senepis Riau, mendukung konservasi harimau Sumatera dan hutan rawa gambut. Ketiga, Giam Siak Kecil, Riau. Upaya melindungi dan merestorasi hutan alam inti dalam Cagar Alam Biosfer Giam Siak Kecil. Sekaligus mendukung kehidupan komunitas lokal di sana.

Keempat, Kampar, Riau, lewat dukungan perlindungan lansekap hutan rawa gambut menggunakan pendekatan multipihak, termasuk pemegang konsesi lain. Kelima, Kerumutan, Riau, dengan mendukung perluasan area hutan yang dilindungi.

Keenam, Muba Berbak Sembilang, Jambi dan Sumatera Selatan. Di sini melindungi hutan alam yang ada dan kemungkinan memperluas hutan lindung, misal merestorasi area kunci dan fokus perlindungan harimau dan satwa kunci lain. Juga memberi dukungan kepada taman nasional. Ketujuh, di Ogan Komering Ilir, Sumsel, dengan membangun koridor satwa guna memperluas habitat gajah Sumatera.

Kedelapan, Kubu Raya, Kalimantan Barat, lewat menjaga habitat orangutan dan menilai kemungkinan perluasan hutan bakau untuk konservasi buaya muara. Kesembilan, Kutai, Kalimantan Timur. Ini lewat dukungan kepada taman nasional dan menyediakan daerah penyangga serta koridor orangutan.

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mendukung upaya ini. Hadi Daryanto, Sekjen Kemenhut mengapreasiasi langkah perusahaan yang menyeimbangkan antara bisnis dan konservasi. “Ini perlu kerja bersama para stakeholders. Dialog bersama akan memcapai hasil lebih baik.”


APP Komitmen Restorasi dan Lindungi 1 Juta Hektar Hutan Sumatera dan Kalimantan was first posted on April 29, 2014 at 10:24 pm.

Pesona Emas Hitam Ancam Bumi Khatulistiwa

$
0
0
Tambang di konsesi Harita. Foto: Aseanty Pahlevi

Tambang di konsesi Harita. Foto: Aseanty Pahlevi

Industri pertambangan bak dewa bagi sebagian masyarakat di Kalimantan Barat (Kalbar). Tambang dianggap memberikan pekerjaan, perbaikan infrastruktur serta sarana dan prasarana. Terlebih, di perusahaan tambang, ada kemasan corporate social responsibility dan community development. Tanpa sadar, berbagai masalah menanti.

Arif Munandar, Peneliti Swandiri Institute, mengungkapkan, di Kalbar, hingga kini ada 721 konsesi pertambangan, dengan luas mencapai luas 5 juta hektar dan tersebar di semua kabupaten. Ketapang 1,3 juta hektar diberikan pada 156 perusahaan. Lalu Landak (86) dan Kapuas Hulu (73).

Perusahaan Tiongkok yang berinvestasi di Ketapang didominasi Citra Investama Investindo TBK, melalui salah satu anak perusahaan PT Harita PAM Group (Harita). Untuk cakupan Kalbar, salah satu andalan selain perkebunan sawit itu pertambangan.

Menurut Arif, meski Ketapang memiliki potensi tambang sangat besar, namun kondisi ini berbanding terbalik dengan kesejahteraan warga. Dari data, kemiskinan di Ketapang, relatif lebih tinggi dari kabupaten lain.

Industri ekstraktif, katanya, justru menyebabkan pemanfataan sumber daya alam warga makin berkurang. “Dulu mereka bisa memanfaatkan berbagai sumberdaya hutan, seperti rotan, kayu, damar, dan lain-lain. Sekarang semua sudah banyak hilang. Sebagian besar warga justru menjadi buruh. Itu semua tidak meningkatkat kesejahteraan mereka.”

Data BPS 2011, penduduk miskin di Ketapang, lebih 37.000 orang. Ini jumlah penduduk miskin terbesar di Kalbar. Menyusul Sambas dan Landak, yang memiliki perkebunan dan pertambangan.

Ratusan tahun lalu, Belanda dan Jepang telah mengeskploitasi emas di sini. Emas masih mempunyai deposit 541,6 juta ton tersebar di Bengkayang, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, Landak, dan Melawi.

Belakangan fakta menunjukkan, Kalbar berpotensi emas lain yakni, bauksit, dikenal dengan emas hitam. Produksi per tahun mencapai 25 juta ton. Potensi mencapai 3 miliar ton, dengan masa eksploitasi 150 tahun ke depan.

Bauksit yang sudah dicuci namun tidak sempat ekspor, karena regulasi pemerintah. Kini menumpuk di area pelabuhan yang juga mati. Foto: Aseanty Pahlevi

Bauksit yang sudah dicuci namun tidak sempat ekspor, karena regulasi pemerintah. Kini menumpuk di area pelabuhan yang juga mati. Foto: Aseanty Pahlevi

Data Dinas Pertambangan dan Energi Kalbar, hingga 2011, Kalbar ada 651 izin usaha pertambangan dan 477 izin eksplorasi. Sedangkan izin eksploitasi 174 perusahaan. Dari semua izin ini, tidak semua memulai kegiatan usaha. Sebagian hanya broker.

Izin terbanyak dikeluarkan Ketapang, 60 perusahaan sudah eksplorasi. Izin ini meliputi bahan tambang, bauksit, biji besi, timah, emas, mangan, galena, baal clay, zircon, sampai pasir kuarsa.

Di Kalbar, terutama Ketapang, bauksit jadi primadona baru. “Di Ketapang, lapisan bauksit tidak begitu dalam, digali semeter sudah ketemu. Jadi tidak ada itu cekungan seperti di Papua,” kata Ali, supir kontraktor pertambangan.

Di Ketapang, Harita berencana mendirikan dua pabrik pengolahan bauksit dengan investasi Rp 4,5 triliun per pabrik. Persyaratan deposit minimal 120 juta ton terpenuhi. Di pabrik ini, bauksit diolah menjadi alumina. Jika teralisir, pabrik ini pertama di Indonesia. Bahkan, bisa mengolah bauksit dari daerah lain di Kalimantan.

Masalah mengintai Kalbar. Mursyid Hidayat, Aktivis Lembaga Gemawan, mengatakan, kebijakan menggali sumber pendapatan negara lewat eksploitasi tambang ini berisiko. “Dampak tambang tidak sebanding dengan hasil, terutama penurunan kualitas lingkungan dan konflik lahan,” kata Dayat.

Menurut Arif, banyak contoh kerusakan lingkungan dampak tambang begitu parah. Reklamasipun sangat sulit. “Biaya reklamasi bekas pertambangan tiga kali lipat dibanding keuntungan. Sebagian besar perusahaan memilih tak reklamasi.”

Sumber: Dinas Pertambangan

Sumber: Dinas Pertambangan


Pesona Emas Hitam Ancam Bumi Khatulistiwa was first posted on April 30, 2014 at 9:00 pm.

AS Kucurkan US$25 Juta buat Perlindungan Pari Manta

$
0
0

Pari manta bermain-main di perairan Bali. Wisuda

Populasi pari manta terus menurun. Pemerintah Indonesiapun sudah melarang penangkapan satwa laut ini. Guna mendukung upaya perlindungan manta ini, pemerintah Amerika mengucurkan dana US$25 juta terangkum dalam tiga elemen program kelautan.

Robert Blake, Duta Besar Amerika mengatakan, program itu untuk membangun perikanan berkelanjutan, menyiapkan masyarakat pesisir pantai menghadapi bencana alam dan perubahan iklim, serta menciptakan sistem nasional melindungi laut .

“Manta spesies indah dan anggun. Indonesia beruntung mempunyai spesies itu. Orang-orang dari seluruh dunia datang menyelam di laut Raja Ampat, Komodo dan Lombok  dengan harapan bisa melihat manta langsung,” katanya di @america, Kamis (24/4/14).

Potensi besar manta sebagai  obyek wisata ini semestinya bisa mendorong upaya perlindungan. Terlebih, estimasi keuntungan dari ecotourism mengandalkan manta mencapai US$15 juta per tahun. Jumlah ini, jauh lebih besar dibandingkan nilai ekonomi menjual manta mati.

Pada Januari lalu, KKP mengeluarkan keputusan menteri Nomor 04 tahun 2014 tentang status perlindungan pari manta karang (manta alfredi) dan manta oceanic (manta birostris). Penetapan status ini sesuai rekomendasi LIPI. Ia melewati serangkaian tahapan diatur dalam Permen KP nomor 35 tahun 2013 tentang tata cara penetapan status perlindungan jenis ikan.

Di tingkat lokal, Pemerintah Raja Ampat terlebih dahulu membuat aturan melindungi manta. Bupati Manggarai Barat membuat aturan sama.

“Saya memuji langkah pemerintah Indonesia melindungi manta. Meski ada perlindungan tapi kita masih bisa melihat manta dijual bebas di pasar ikan. Penegakan hukum penting,” kata Blake.

Manta merupakan spesies dengan reproduksi sangat rendah. Pari dengan panjang 7-10 meter itu baru bereproduksi ketika usian menginjak 10 tahun. Dalam tiga tahun hanya sekali bereproduksi. Itupun satu sampai dua anakan.

Sudirman Saad, Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP) mengatakan, populasi manta terus menurun karena permintaan Tiongkok. Di sana insang pari untuk obat tradisional.

“Awalnya nelayan tidak sengaja menangkap manta. Karena permintaan tinggi itu dijadikan utama. Penangkapan makin tinggi, populasi menurun.” Satu manta di tangan nelayan seharga Rp1 juta.

Padahal, keuntungan masyarakat dari ecotourism mengandalkan manta sebagai penarik sangat tinggi. Dia mencontohkan, di Raja Ampat. Wisatawan mancanegara ingin menyelam melihat manta harus mengantri selama enam bulan.

Wilayah perairan Indonesia yang memiliki manta seperti Nusa Peninda (Bali), Gili Trawangan, Pulau Komodo, Pulau Rote Lembata, Derawan, Bunaken, Selat Lembeh, Raja Ampat dan Teluk Cendrawasih.

Masyarakat, didorong mengembangkan sektor pariwisata daripada mengandalkan tangkapan manta. Penyelesaian permasalahan ini, katanya, tidak bisa parsial. Penegakan hukum harus dibarengi pemberdayaan masyarakat.

Agus Dermawan, Direktur Konservasi KKP mengatakan, perlindungan manta tak hanya menjadi isu nasional tetapi internasional. Pemerintah berupaya menyelematkan spesies ini dari kepunahan.

Agus mengatakan, keberadaan manta di laut menjadi tolak ukur kesuburan daerah. Ia mencerminkan rantai makanan di laut masih bagus dan seimbang.

Spesies lain yang terancam adalah hiu. Namun, pemerintah belum menetapkan hiu sebagai spesies dilindungi. Saat ini ada 118 spesies hiu di Indonesia, belum satupun dilindungi.

“Nelayan kecil masih banyak tergantung dari hiu. Ini PR besar buat kita. Kami terus berdialog dengan LIPI menentukan spesies hiu  mana yang dilindungi,” kata Agus.

Dari 118 spesies, ada empat terancam punah.  Tiga hiu koboy dan hiu martil. “Kemungkinan besar ada dua spesies hiu masuk perlindungan terbatas. Kami masih terus meneliti bersama LIPI dan pakar lain.”

Tiene Gunawan, koordinator program kelautan Conservation International Indonesia memuji langkah Raja Ampat dan Manggarai Barat dalam melindungi manta. “Hasil penelitian kami menunjukkan setelah ada perda, penangkapan berkurang. Kami juga melihat banyak manta betina hamil. Ini keberhasilan. Semoga daerah lain bisa mengikuti dan membuat perda serupa.”


AS Kucurkan US$25 Juta buat Perlindungan Pari Manta was first posted on April 30, 2014 at 10:05 pm.

Pejabat Simalungun Diduga Terlibat Rambah Hutan, 12 Tersangka Bebas 5 Menit

$
0
0

 

Puluhan mahasiswa dan pemuda Simalungun aksi protes atas pembebasan 12 perambah hutan di kabupaten mereka. Foto: Ayat S Karokaro

Puluhan mahasiswa dan pemuda Simalungun aksi protes atas pembebasan 12 perambah hutan di kabupaten mereka. Foto: Ayat S Karokaro

Polisi menangkap 12 perambah hutan lindung di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut). Mereka mengajukan prapedalilan karena menilai penangkapan polisi tak prosedural, dan menang. Hakim memutuskan agar ke-12 orang itu dibebaskan, Kamis (24/4/14).

Polisi membebaskan mereka, tetapi hanya lima menit dan menahan kembali guna proses hukum lebih lanjut. Dalam penyelidikan perambahan hutan lindung ini, polisi menduga ada keterlibatan pejabat Simalungun.

Majelis hakim PN Simalungun, diketuai Ben Ronald Situmorang, mengatakan, alasan mengabulkan praperadilan 12 perambah hutan  ini karena kepolisian menangkap tidak sesuai KUHP.

Salah satu syarat penahanan, katanya, kepolisian harus menyerahkan tembusan surat penangkapan,  disampaikan langsung pada keluarga tersangka. “Itu tidak dilakukan, malah surat pemberitahuan melalui kantor pos.”

Untuk menahanpun, harus ada dua alat bukti cukup dan yang dihadirkan di pengadilan, tidak kuat. “Atas dasar itulah kami memvonis bebas dan memperintahkan 12 tesangka dikeluarkan dari Polres Simalungun, ” kata Situmorang.

Polres Simalungun, mentaati putusan dengan membebaskan para tersangka. Namun,  hanya lima menit, setelah itu ditangkap lagi. AKBP Andi Syahriful, Kapolres Simalungun, mengatakan, jika surat penahanan diberikan langsung,  pelaku tentu kabur. “Lokasi rumah jauh. Alat bukti kuat buat penahanan. Karena sudah diputuskan, kita laksanakan,” katanya.

Menurut Andi, tersangka ditahan kembali saat masih di kantor kepolisian karena praperadilan tidak berarti menghentikan penyidikan.  Alasan penangkapan kembali, katanya, mempertimbangkan tersangka khawatir menghilangkan barang bukti, melarikan diri, dan melakukan kejahatan yang sama.

Dia mengatakan, dari penyidikan, ditemukan ratusan hektar hutan lindung di Simalungun, dibabat habis diduga oleh 12 tersangka. Hutan itu kini rusak parah dan menjadi perkebunan sawit.

Polisi juga memeriksa lebih dari 25 orang saksi, termasuk saksi ahli akan dimintai keterangan.  ”Ada Profesor Kehutanan IPB dalam waktu kita minta menjadi saksi ahli.”

Keterlibatan Pejabat Simalungun

Dalam kasus ini, polisi tengah menyelidiki temuan transaksi uang diduga hasil penjualan atau pembelian kayu dari perambahan hutan di Simalungun. Transaksi itu, menggunakan rekening bank, diduga atas nama IYN yang menerima transfer dari seorang diduga pejabat di Simalungun, berinisial JWS.

JWS, disebut-sebut bagian jaringan diduga terlibat penebangan, perambahan, dan perusakan hutan disana. “Uang itu, dugaan awal hasil penjualan kayu dari hutan lindung.” “Kita masih terus mendalami. Pemeriksaan di bank ditemukan transaksi mencurigakan.”

Dalam penyidikan ini, polisi juga menyita empat alat berat. Alat-alat ini diduga untuk menebang dan merusak hutan di Simalungun. Barang bukti ini kini dibawa ke Polda Sumut.

Sementara itu, mendengar vonis praperadilan, Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun (HIMAPSI) aksi unjukrasa di Kejaksaan Tinggi Sumut). Rizal VH Sinaga, Juru Bicara HIMAPSI, mengatakan, pembebasan hakim syarat kepentingan, dan ada indikasi suap.

Dia mengatakan, meski belum masuk materi pokok, semestinya hakim melihat bagaimana hutan desa rusak parah. Sepanjang mata memandang, hutan kini beralih menjadi perkebunan sawit.

Marcos Simare-mare, Kepala Seksi Intel Kejati Sumut, mengatakan, akan fokus penyidikan dugaan perambahan hutan di Simalungun. Ada beberapa kasus kejahatan kehutanan yang kini mereka sidik.

Khusus, kasus perambahan hutan dengan 12 orang tersangka, mereka akan memantau penyidik di Kejari Simalungun. Namun kasus belum dilimpahkan ke Kejari Simalungun.

 


Pejabat Simalungun Diduga Terlibat Rambah Hutan, 12 Tersangka Bebas 5 Menit was first posted on May 2, 2014 at 4:00 pm.

Pembentukan Kabupaten Pantai Timur Harus Miliki Kajian Lingkungan Hidup

$
0
0

Aparat bersenjata hadir saat warga Desa Margatani, Kecamatan Air Sugihan, Ogan Komering Ilir. Jangan sampai terjadi, pemekaran bukan malah mensejahteraan rakyat, bahkan berpotensi meningkatkan konflik. Foto: Taufik Wijaya

Usulan pembentukan Kabupaten Pantai Timur–pemekaran dari Ogan Komering Ilir (OKI)–, tampaknya mendapat dukungan dari Pemerintah Sumatera Selatan (Sumsel). Namun, kalangan aktivis lingkungan hidup, mendesak pembentukan kabupaten baru ini harus memiliki kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

“Kajian itu menyangkut daya dukung, daya tampung lingkungan, potensi lahan, perairan, dinamika penduduk, serta mitigasi bencana,” kata Ahmad Muhaimin, peneliti Walhi Sumsel, Selasa (29/4/14).

Hasil KLHS, akan menentukan wilayah perkantoran, pemukiman, perkebunan, serta potensi ekonomi lain, yang tidak mengancam hutan, rawa dan gambut di sana. “Sebab sebelum ada pemekaran, wilayah itu banyak mengalami kerusakan, seperti lahan gambut belum pulih akibat kebakaran besar 1990-an akhir lalu.”

Selain itu, koridor satwa sampai saat ini belum ditetapkan. Padahal,  wilayah pantai timur banyak gajah dan harimau Sumatera. “Bahkan sejumlah ikan langka di Sumsel, seperti belida.”

Tak hanya itu. Sebagian kabupaten itu merupakan lahan gambut berada di daerah aliran sungai (DAS) Musi dan sepanjang Pantai Timur. “Lahan gambut wilayah terbesar di Pantai Timur. Kalau terjadi pembangunan sebagai akibat pengembangan kabupaten, bukan tidak mungkin gambut akan habis,” kata Muhaimin.

Padahal, katanya, ratusan ribu hektar gambut itu penunjang resapan air di Pantai Timur. “Jika gambut habis, kekeringan, kebakaran, serta banjir mengancam setiap saat.”  Jadi, sebelum disetujui harus ada model ekoregion gambut. “Semacam koridor ekoregion.”

Tak Menjamin Kesejahteraan

Tidak semua masyarakat di Pantai Timur setuju pembentukan kabupaten baru. Warga dari 19 desa di Kecamatan Pangkalan Lampan menolak. “Pemekaran tidak menjamin kami sejahtera. Jangan-jangan justru kian miskin, sebab akan banyak pertanian habis karena pembangunan,” kata Edi Saputra, ketua Serikat Petani Perigi. “Akan banyak lagi konflik agraria.”

Ungkapan sama dari Anwar Sadat, mantan direktur Walhi Sumsel. “Jika tidak segera diselesaikan, konflik yang ada tidak selesai, akan muncul konflik baru.” Selama ini, begitu banyak konflik lahan di Pantai Timur.

Senada dengan Jon, anggota DPD Pangkalan Lampan. “Kami tidak setuju. Kami tidak melihat itu kepentingan hajat orang banyak.”

Penolakan masyarakat sudah disampaikan dua pekan lalu ke Bupati OKI. Sikap penolakan ini juga disampaikan masyarakat Air Sugihan dan Sungai Menang.

Sebelumnya,  Ardani, staf Ahli Gubernur Bidang Hukum dan Politik Sumsel, kepada wartawan (25/4/14), mengatakan, seluruh persyaratan baik administrasi, fisik kewilayahan, maupun teknis pemnbentukan daerah otonom baru sudah terpenuhi.

“Semua sudah ok. Tinggal hasil observasi lapangan ini perlu ditandatangani pihak-pihak terkait,” katanya seusai rapat pembahasan hasil observasi lapangandi Palembang.

Ilyan Panji Alam, anggota DPRD OKI mengatakan, tinggal rekomendasi dan surat pengantar Bupati OKI. “Dari hasil rapat kami tunggu, minggu bupati harus tandatangan, karena sekda sudah. Gubernur Sumsel menyatakan pemekaran harga mati. Kita sangat yakin pemekaran terwujud.”

Peta Pantai Timur. Dokumen Presidium Pemakaran Pantai Timur

Peta Pantai Timur. Dokumen Presidium Pemakaran Pantai Timur


Pembentukan Kabupaten Pantai Timur Harus Miliki Kajian Lingkungan Hidup was first posted on May 3, 2014 at 10:55 am.

Ayo…Semua Bisa Andil, Banyak Cara Hadapi Perubahan Iklim

$
0
0
Salah satu booth menampilkan cara mudah dan murah membuat robot dari bahan-bahan sisa pakai. Foto: Sapariah Saturi

Salah satu booth menampilkan cara mudah dan murah membuat robot dari bahan-bahan sisa pakai. Foto: Sapariah Saturi

Anak-anak tampak sibuk menggambar. Ada pemandangan alam, pantai nan indah, hingga hutan di tepian laut biru. Ada juga yang asik membuat robot dari limbah.  Beberapa siswa SD Tarakanita 3 penuh semangat bercerita tentang produk organik dari sekolah lingkungan mereka. Inilah beragam kegiatan pada 4th Indonesia Climate Change Education Forum and Expo, di Assembly Hall JCC, Minggu (4/5/14).

Masing-masing booth baik dari kementerian, lembaga, pemerintah daerah, BUMN maupun swasta menampilkan upaya-upaya dalam menghadapi perubahan iklim. Anak-anak belajar mencintai lingkungan mereka lewat menggambar. Ada yang memanfaatkan sampah menjadi beragam produk, dari tas, dompet, sampai robot. Tak ketinggalan tanaman organik dan banyak lagi.

Di bagian lain, puluhan siswa SMP tampak serius mengikuti diskusi mengenai perubahan iklim. Pagi itu, Lidwina Marcella, dari Koordinator Sosial Media Mongabay-Indonesia, berbicara di hadapan mereka mengenai berbagai permasalahan lingkungan di negeri ini.

Lidwina Marcella, dari Mongabay-Indonesia, dalam diskusi tentang perubahan iklim di Pameran dan Forum Indonesia Climate Change di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Lidwina Marcella, dari Mongabay-Indonesia, dalam diskusi tentang perubahan iklim di Pameran dan Forum Indonesia Climate Change di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Tampak para siswa dan guru mengikuti diskusi Perubahan Iklim. Foto: Sapariah Saturi

Tampak para siswa dan guru mengikuti diskusi Perubahan Iklim. Foto: Sapariah Saturi

Dia mengajak, anak-anak ini menyadari masalah lingkungan, dari lingkungan sekitar seperti sampah, sampai kerusakan hutan yang menyebabkan deforestasi tinggi dan berdampak para perubahan iklim.

Lidwina menyemangati anak-anak ini, sebagai generasi muda harus menjadi produsen perubahan dalam menjaga lingkungan, bukan hanya agen. “Kalau hanya agen perubahan itu berarti perantara. Ia cuma penyambung. Anak muda harus jadi produsen, si pembuat perubahan,” katanya.

“Mau jadi agen saja?”

“Tidak….” jawab mereka serempak.

“Kalian harus jadi produsen perubahan.”

Acara diskusi ini diakhiri dengan joget 3R (reduce, reuse dan recycle) dan berfoto-foto selfie.

Booth Terbaik

Dalam pameran yang diusung Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pada 1-4 Mei ini,  stand PLN Group meraih predikat sebagai booth terbaik kategori BUMN dan swasta.

PLN menampilkan program unggulan terkait upaya PLN menghadapi perubahan iklim dunia dan pencemaran lingkungan, seperti bank sampah, dan carbon calculator. Ada juga barter listrik antara PLN dengan rumah yang memiliki panel surya, compressed natural gas (CNG) dan lain-lain.

Bank sampah PLN bahkan sudah menjadi percontohan negara Asean dan Asia Pasifik dengan nasabah lebih 29.000 tersebar pada 500 titik di Indonesia.

Adapun booth terbaik kategori kementerian dan lembaga,  Juara I : Kementerian Pekerjaan Umum, Juara II Kementerian Lingkungan Hidup,  dan Juara III Kementerian Kesehatan. Untuk kategori BUMN dan swasta, Juara I PLN, Juara II Pertamina dan Juara III SKK Migas.

Greeners menampilkan tiga metode pembuangan sampah. Foto: Sapariah Saturi

Greeners menampilkan tiga metode pembuangan sampah. Foto: Sapariah Saturi

Paula Ruliyati Pujilestari, Kepala Sekolah SD Tarakanita 3, memperlihatkan  salah satu tumbuhan  yang dijadikan nutrisi organik oleh siswa kelas VI. Foto: Sapariah Saturi

Paula Ruliyati Pujilestari, Kepala Sekolah SD Tarakanita 3, memperlihatkan salah satu tumbuhan yang dijadikan nutrisi organik oleh siswa kelas VI. Foto: Sapariah Saturi

Tas dari koran bekas seharga Rp250 ribu yang dibuat mitra PLN. Foto: Sapariah Saturi

Tas dari koran bekas seharga Rp250 ribu yang dibuat mitra PLN. Foto: Sapariah Saturi

Hasil karya anak-anak mengekspresikan alam mereka. Foto: Sapariah Saturi

Hasil karya anak-anak mengekspresikan alam mereka. Foto: Sapariah Saturi

Para siswa tengah sibuk menggamnar. Foto: Sapariah Saturi

Para siswa tengah sibuk menggambar. Foto: Sapariah Saturi

BNPB, salah satu badan yang berada di depan dalam penanggulangan bencana, antara lain dampak perubahan iklim. Foto: Sapariah Saturi

BNPB, salah satu badan yang berada di depan dalam penanggulangan bencana di Indonesia, antara lain dampak perubahan iklim. Foto: Sapariah Saturi

 


Ayo…Semua Bisa Andil, Banyak Cara Hadapi Perubahan Iklim was first posted on May 5, 2014 at 4:09 pm.

SBY Berharap Presiden Baru Lanjutkan Moratorium Hutan dan Lahan

$
0
0

Jika moratorium selesai sebelum tata kelola hutan belum baik dan terukur, tak pelak, hutan-hutan yang kini masih terlindungi akan menjadi petak-petak kebun sawit atau tambang maupun alih fungsi lain. Foto: Lili Rambe

Sejak 2011, Indonesia menerapkan kebijakan moratorium perizinan hutan dan lahan gambut. Sayangnya, kebijakan ini hanya ‘hidup’ selama dua tahun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah memperpanjang, hingga 2015. Diapun berharap, pemimpin Indonesia yang baru bisa melanjutkan kebijakan ini.

“Saya menandatangani moratorium izin baru guna melindungi sekitar 63 juta hektar hutan dan gambut. Luas area ini lebih dari gabungan luas Malaysia dan Filipina. Saya berharap pengganti saya bisa melanjutkan kebijakan ini,” katanya saat berbicara dalam Forest Asia Summit 2014  di Jakarta, Senin (5/5/14).

Hasilnya, SBY mengklaim, tingkat deforestasi Indonesia turun drastis, dari 1,2 juta hektar antara 2003 dan 2006, menjadi 450-600 ribu hektar per tahun, dalam masa moratorium 2011 hingga 2013.

Dia menyebutkan, dalam empat tahun ini,  pemerintah telah menanam lebih dari empat miliar pohon. Tak hanya itu. SBY menambahkan, salah satu kisah sukses mengadopsi kebijakan pro lingkungan juga bisa dilihat pada Desa Lonca di Sulawesi Tengah.

Penduduk desa itu, katanya, turun temurun melakukan tebang dan bakar untuk membuka lahan. Inilah metode yang mereka ketahui sejak lama.

“Kini praktik ini berhenti setelah warga dikenalkan program mengelola kawasan hutan. Kini warga menyadari bahaya teknik menebang dan membakar. Selain melepas karbon, itu juga menghancurkan habitat serta mengancam ekosistem.”

Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+ mendukung perpanjangan moratorium ini. Menurut dia, moratorium penting sampai tata kelola hutan diperbaiki. Setidaknya,  ditargetkan akhir 2015, hasil tata kelola hutan bisa terukur. “Jadi, berharap Presiden baru melanjutkan moratorium agar tata kelola hutan terukur berdasarkan capaian.”

Kata Heru, jika pemimpin baru tak melanjutkan kebijakan ini akan mengancam upaya-upaya perbaikan tata kelola hutan yang sudah dilakukan.

Tanggapan senada dari Bustar Maitar, kepala Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace International. Dia mengatakan, warisan Presiden SBY berisiko lenyap kecuali memperkuat legislasi melindungi semua gambut dan hutan.

Greenpeace meminta, Presiden mengamandemen regulasi gambut, meskipun bermaksud baik, namun gagal membangun pendekatan koheren melindungi dan mengelola gambut.

“Kebakaran gambut tak akan terjadi di hutan Sumatera, jika gambut kaya karbon tidak dibuka dan dikeringkan untuk industri perkebunan skala besar. Melindungi gambut dan hutan Sumatera itu pertahanan pertama bagi kawasan krisis kebakaran hutan.”

Yuyun Indradi, pengkampanye hutan Greenpeace mengungkapkan, sebelum lengser, seharusnya SBY membuat kebijakan sementara itu menjadi permanen dengan melindungi hutan dan gambut tersisa menjadi wilayah lindung. “Daripada berharap Presiden berikutnya. SBY justru bisa memberi contoh from commitment into best practices baik dalam tata kelola hutan, perlindungan hutan dan penegakan hukum.”

Petrus Gunarso, Director Sustainability APRIL setuju perpanjangan moratorium lahan dan gambut oleh pemimpin baru Indonesia. “Harusnya malah lebih dari itu. Moratorium dan dijaga agar tak terbakar. Kalau terbakar kan rugi ke kita juga,” ujar dia.

Dalam Forest Asia Summit 2014 yang berlangsung dua hari, 5-6 Mei ini berisi berbagai sesi diskusi. Pada hari kedua ini, salah satu pembicara H.E. Minister Manuel Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru.


SBY Berharap Presiden Baru Lanjutkan Moratorium Hutan dan Lahan was first posted on May 5, 2014 at 7:04 pm.

Melawan Perusahaan Sawit, Perjuangan Warga Seruat Berbuah Manis

$
0
0
Kala warga mengambil kendali alat berat perusahaan yang masih beroperasi meskipun sudah ada putusan MA. Foto: Aseanty Pahlevi

Kala warga mengambil kendali alat berat perusahaan pada 2012. Foto: dokumen Serikat Tani  Kubu Raya

Kabar baik bagi perjuangan masyarakat dalam mempertahankan lahan melawan perusahaan dan pemberi izin datang dari Kalimantan Barat.  Warga Seruat menggugat  PT Sintang Raya dan BPN di PTUN Pontianak, dan menang. Perusahaan maju banding dan kasasi. Dua upaya ini keok. Putusan MA menyatakan HGU Sintang Raya, batal demi hukum dan keadilan. 

Malam beranjak larut ketika Abdul Majid, warga Desa Seruat II, memacu sepeda motor. Dia terus melaju di sepanjang jalan utama Desa Sungai Rengas hingga tapal batas, Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya, Jumat, awal Mei 2014.

Perlahan-lahan, dia memarkir kendaraan di halaman kedai kopi, tak jauh dari anakan Sungai Kapuas. Orang Pontianak menyebut anakan sungai dengan parit. Ia berfungsi sebagai tanda alam memisah dua wilayah bertetangga.

Wajah Majid berbinar. Duduk santai di sebuah kursi, dia mengulik kembali dokumen yang tersimpan dalam tas hitamnya. “Kami menang Pak, kami menang,” katanya. Dia menunjukkan salinan amar keputusan PTUN Pontianak.

Kabar dari Majid ini mengenai konflik warga lima desa di Kubu Raya dengan PT Sintang Raya, perkebunan sawit Grup Miwon. Desa-desa yang masuk konsesi perusahaan itu Sungai Selamat, Mengkalang, Seruat II, Dabong, Ambawang, dan Seruat III. Kelima desa ini terletak di dua kecamatan di Kubu Raya: Kubu dan Teluk Pakedai.

Mahkamah Agung dalam amar keputusan, menolak kasasi Sintang Raya, dan memperkuat amar keputusan PTUN Pontianak dan PTTUN Jakarta. Sebelumnya, PTUN Pontianak memutuskan membatalkan hak guna usaha Sintang Raya. “Inilah puncak perjuangan kami warga kampung, setelah enam tahun berusaha melawan dengan swadaya. Besok saya kembali ke kampung membawa kabar ini,” kata Majid.

Di Seruat II, Muhammad Yunus, sang kepala desa santai bersama keluarga di rumahnya Dusun Karya Makmur. Dia sudah mendengar kabar sengketa lahan dengan Sintang Raya sejak 2008, sudah berakhir. MA, menolak gugatan Sintang Raya.

Namun, perusahaan masih beraktivitas hingga Jumat (2/5/14). “Sampai saat ini saya masih menunggu salinan amar keputusan MA. Setelah itu baru menyusun langkah lanjutan, termasuk menemui Bupati Kubu Raya. Dalam waktu dekat saya coba berkoordinasi dengan warga,” kata Yunus.

Anak-anak Desa Seruat II sedang bermain di halaman rumah mereka. Dengan putusan MA ini setidaknya memberikan kepastian bagi warga, agar mereka tak hidup dalam was-was dan tenang bercocok tanam. Foto: Andi Fachrizal

Anak-anak Desa Seruat II sedang bermain di halaman rumah mereka. Dengan putusan MA ini setidaknya memberikan kepastian bagi warga, agar mereka tak hidup dalam was-was dan tenang bercocok tanam. Foto: Andi Fachrizal

Desa dengan penduduk sekitar 2.030 jiwa atau 512 keluarga ini tersebar di empat dusun, masing-masing Dusun Karya Makmur, Karya Maju, Karya Bersama, dan Fajar Karya. Tiga dusun, yakni Karya Makmur, Karya Bersama, dan Karya Maju, adalah wilayah sengketa dengan Sintang Raya.

Selama enam tahun sejak kehadiran Sintang Raya di Kecamatan Kubu dan Teluk Pakedai, warga Desa Seruat II tak bisa menggarap lahan. Padahal, lahan itu harapan menopang perekonomian keluarga. Mayoritas pencarian warga desa bercocok tanam, berkebun, dan nelayan.

Majid, juga Ketua Serikat Tani Kubu Raya menceritakan, sejak 2008, warga Seruat II sudah membuka lahan adat di sekitar desa. Pembukaan lahan atas seizin kepala parit atau kepala adat. Oleh warga, lahan ini sebagai sarana berkebun maupun lahan pertanian.

Setahun kemudian, Sintang Raya masuk dan mulai beraktivitas di Kubu Raya. Lahan digarap sesuai HGU Badan Pertanahan Negara (BPN) Kubu Raya dengan Nomor 4 tahun 2009 mencapai 11.129,9 hektar. Termasuk lahan kelola warga Seruat II mencapai 900 hektar. Sertifikat HGU dengan surat ukur Nomor 183 tahun 2009 ini dikeluarkan atas nama Sintang Raya selama 35 tahun.

Ketegangan antara dua kubu kian meruncing. Sejak awal, warga tidak menerima kehadiran perusahaan sawit ini.

Warga berkeras tidak ingin menyerahkan lahan garapan. “Lahan sudah kita tanami pisang, nanas, kelapa, dan lain-lain. Ada juga sawah.”

Perusahaan di atas angin. Kepemilikan lahan warga di Desa Seruat II sangat lemah lantaran tidak memiliki surat apapun, kecuali pengakuan adat. Perusahaan beroperasi. Eskavator bergerak membersihkan.

Warga berkumpul mencegah aktivitas perusahaan. Di bawah payung Serikat Tani Kubu Raya, mereka melawan.

Proses perusakan jembatan akses penghubung antara PT Sintang Raya dengan lahan milik warga Seruat II pada 28 Mei 2012. Foto: dokumen Serikat Tani Kubu Raya

Proses perusakan jembatan akses penghubung antara PT Sintang Raya dengan lahan milik warga Seruat II pada 28 Mei 2012. Foto: dokumen Serikat Tani Kubu Raya

Pada 2012, warga mulai diintimidasi. Saat itu, terjadi kebakaran lahan di Sintang Raya. Warga dituduh biang kebakaran. Seorang warga, Iskandar, ditangkap kepolisian. Namun kepala Desa Seruat II, kala itu Zakariah Alwi menjamin warga tak terlibat. Iskandar lolos.

Teror datang, warga bergeming. Mereka bahkan berhasil menghentikan eksavator perusahaan dan merusak jembatan akses utama antara perusahaan dengan lahan warga. “Kami tidak pernah berhenti berjuang melawan perusahaan itu. Meski dengan dana dari kocek masing-masing,” kata Majid.

Tak hanya melawan di lapangan. Warga menghimpun dana seusai panen untuk memperluas basis perjuangan. Mereka aksi di DPRD Kubu Raya, BPN, DPRD Kalbar, Polda Kalbar, Komnas HAM Kalbar, dan Ombudsman. “Kepala Desa Seruat II mengirim surat tembusan ke Presiden.”

Majid menyadari, kepemilikan lahan adat tanpa sertifikat, sangat lemah di mata hukum. Warga Seruat II mencoba berkomunikasi dengan desa tetangga, Ola’-Ola’ Kubu. Di sana, sejumlah warga yang lahan ikut terampas perusahaan memiliki sertifikat tanah.

Warga bermufakat menggalang kekuatan, menggugat secara hukum. Roliansyah, Arief Tridjoto, IB Made Sunantara, dan Nurliansyah menjadi pengacara terpilih sebagai kuasa hukum mendampingi gugatan mereka di PTUN Pontianak. Sintang Raya menjadi tergugat dua interpensi, tergugat lain, BPN Kubu Raya.

Alhasil, amar putusan PTUN Pontianak pada 9 Agustus 2012 mengabulkan gugatan penggugat dan keputusan pengadilan itu menyatakan membatalkan sertifikat HGU Sintang Raya. Perusahaan banding. Perkara berlanjut hingga PTTUN Jakarta.

Banding, gugatan Sintang Raya, ditolak. Kasus ini bergulir ke kasasi. MA pada 14 Februari 2014, memperkuat putusan PTUN Pontianak dan PTTUN Jakarta. HGU Sintang Raya dinyatakan batal demi hukum dan keadilan.

Kini, warga mengolah lahan tanpa was-was. Samsudin, warga Mengkalang, mengatakan, akan menanami lahan dengan jagung dan nanas. Warga lain, Duri, menyatakan, warga desa tak memerlukan publikasi ramai. “Penting bisa mengolah lahan.”

“Ini benar-benar kado istimewa,” kata Deman Huri Gustira, direktur Lembaga Pengkajian Studi Arus Informasi Regional (LPS AIR) Kalbar. Lembaga ini aktif mendampingi masyarakat Kecamatan Kubu.

Aksi warga mengambil alih alat berat perusahaan dan merusak jembatan pembatas pada 2012. Foto: dokumen Serikat tani Kubu Raya

Aksi warga mengambil alih alat berat perusahaan dan merusak jembatan pembatas pada 2012. Foto: dokumen Serikat Tani Kubu Raya


Melawan Perusahaan Sawit, Perjuangan Warga Seruat Berbuah Manis was first posted on May 6, 2014 at 6:54 pm.

Kala Penguasa-Pengusaha Abaikan Putusan MA Soal Pencabutan Izin Tambang di Bangka

$
0
0
Kolaborasi yang erat antara pengusaha, penguasa dan aparat kepolisian menyebabkan, izin tambang di Pulau Bangka, Sulut, langgeng meskipun ada putusan MA. Foto: Sapariah Saturi

Kolaborasi yang erat antara pengusaha, penguasa dan aparat kepolisian menyebabkan, izin tambang di Pulau Bangka, Sulut, langgeng meskipun ada putusan MA. Foto: Sapariah Saturi

Pengusaha, bupati dan oknum polisi, ‘mesra,’ seiya sekata.  Mereka akur menjaga izin tambang Pulau Bangka di Minahasa Utara, Sulawesi Utara (Sulut), tetap langgeng. Dalih demi kesejahteraan warga. Izin digugat, muncul izin ‘baru’.  Bahkan, sang polisi tega menyiksa warga penolak demi keberlangsungan bisnis ini. Warga merintih dan meratap, melihat pemimpin dan aparat negara hanya jadi kaki tangan pengusaha.

Begitu aksi teatrikal oleh Koalisi Penyelamat Pulau Bangka di depan Gedung OUB, Jakarta, Selasa (6/5/14). Di gedung itu, PT Allindo Indonesia, yang menaungi PT Mikrgo Metal Perdana (MMP), berkantor.

Spanduk-spanduk pun dibentang. “Kami ingin damai tanpa tambang.” “Menolak PT Mikgro Metal Perdana di Pulau Bangka, Minahasa Utara.” “Selamatkan Pulau-pulau Kecil. Tolak tambang di Pulau Bangka Minahasa Utara.”

Sebelum itu, perwakilan koalisi sempat bertemu Ayusta, General Affair MMP. Kala itu, sang bos, Mr Yang tak berada di kantor.  Ayusta mengklaim, perusahaan beroperasi menggunakan izin ‘baru’ yang dikeluarkan bupati.

Dalam pertemuan itu, Ariefsyah, dari Greenpeace mengatakan, koalisi mendesak MMP menghentikan aktivitas apapun, termasuk bongkar muat alat berat di Pulau Bangka. Dia mengatakan, warga mempunyai landasan hukum kuat meminta penghentian tambang karena sudah ada putusan Mahkamah Agung yang menyatakan kekalahan MMP dan Bupati Minut. Izin harus dicabut alias tak ada tambang di Pulau Bangka.

Nongolnya izin ‘baru’ kala izin lama dalam gugatan—berakhir kemenangan warga—menunjukkan ketidakjelasan hukum di negeri ini.  Untuk itu, kata Arief, perusahaan, harus peka kondisi di lapangan, di mana banyak warga menolak tambang. “Warga punya pegangan hukum, perusahaan juga menyatakan begitu, jadi kami minta MMP segera menghentikan aktivitas sampai ada kepastian hukum.”

Ayusta berjanji menyampaikan permintaan koalisi ke pimpinan perusahaan.

Koalisi membentangkan spanduk penolakan tambang di Bangka, di dalam kantor MMP. Kala keluar gedung membawa spanduk, petugas keamanan gedung merasa kecolongan. Mereka langsung menghalau aktivis pembawa spanduk dan meminta segera keluar.  Aksi dilanjutkan di depan gedung UOB.

“Tambang ini ancaman bagi lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat yang tinggal di sana. MMP harus keluar dari Bangka,” begitu orasi Edo Rachman, dari Walhi Nasional.

Koalisi ini antara lain, terdiri dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Walhi, Greenpeace, YLBHI,  Jatam dan Change.org.

Koalisi membentangkan spanduk penolakan tambang di Pulau Bangka, di depan kantor PT Allindo Indonesia, yang menaungi PT MMP. Foto: Sapariah Saturi

Koalisi membentangkan spanduk penolakan tambang di Pulau Bangka, di depan kantor PT Allindo Indonesia, yang menaungi PT MMP. Foto: Sapariah Saturi

Di Manado, Sulut, pada Rabu (29/4/14), perwakilan warga didampingi LBH-Manado, Walhi, LMND dan KMPA Tunas Hijau mendatangi Mapolda Sulut guna menindaklanjuti pertemuan dengan Wakapolri, Badrodin Haiti di Jakarta. Sayangnya, , jawaban tegas Jimmy Sinaga, Kapolda Sulut, tak diperoleh. Dalam pertemuan itu, mereka menilai Kapolda lebih memihak perusahaan tambang daripada mematuhi putusan MA.

Maria Taramen, ketua Tunas Hijau Sulut, mengatakan, sejak semula melihat kesan tak simpatik dari Kapolda Sulut ini. Perwakilan yang datangpun, dari 10 orang, hanya empat diizinkan berdialog.

“Setelah itu, bukan memperkenalkan jajaran, dia (Jimmy Sinaga) justru membuka dengan sosialisasi tambang,” kata Maria, Kamis (30/4/14)

Menurut Maria, Kapolda masih menerima tambang. Sektor tambang dinilai sumber pendapatan asli daerah (PAD), membuka lapangan pekerjaan hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Keyakinan ini, menyebabkan Polda Sulut terus mengawal aktivitas pertambangan di Bangka. Mereka membacakan sejumlah surat keputusan dan berbagai data, serta meminta aparat bertindak.  Sayangnya, polisi memihak investor. Polisi menilai MMP legal.

Kondisi di ruang pertemuan sempat memanas dipicu sejumlah klaim diucapkan Allan Mingkid, Kadis Pertambangan Minut. “Setelah Kapolda merasa ada yang salah dia lebih banyak diam dan menyerahkan ke Kadis Pertambangan menanggapi penyampaian kami.”

Kadis Pertambangan mengklaim, putusan MA tidak berlaku, karena IUP eksplorasi MMP No 162/2012  yang digugurkan adalah SK Bupati kadaluarsa. Mingkid tak mau tahu dan mencoba mencari pembenaran.

Maria mengatakan, SK Bupati Minut  terbaru No 183, merupakan perpanjangan dari surat lama.  Hingga, putusan MA itu berdampak hukum sama kepada izin-izin yang ada setelah itu.

“Bupati salah kalo beralasan SK yang digunakan sekarang baru. Itu bukan baru, tapi ubahan dari SK perpanjangan. SK awal KP 171, diperpanjang dengan SK IUP No. 162, digugat warga dan menang di MA. Diperpanjang lagi menjadi SK IUP no. 151, diperpanjang lagi menjadi SK 152. Ini SK yang digugat Walhi dan kalah sampai di MA. Diperpanjang lagi dan diubah menjadi SK 183 perubahan.”

Dia menjelaskan, kekalahan gugatan Walhi bukan karena materi gugatan, tetapi legal standing organisasi Walhi. “Jadi, bukan materi gugatan yang ditolak.”

Aksi teatrikal yang mempertunjukkan aparat kepolisian tega meneror dan menyakiti warga demi kelanggengan dan kenyamanan operasi tambang PT MMP. Foto: Sapariah Saturi

Aksi teatrikal yang mempertunjukkan aparat kepolisian tega meneror dan menyakiti warga demi kelanggengan dan kenyamanan operasi tambang PT MMP. Foto: Sapariah Saturi

Atraksi tIga sekawan yang saling menguatkan. Foto: Sapariah Saturi

Atraksi tiga sekawan yang saling menguatkan. Foto: Sapariah Saturi

Spanduk yang dibawa Koalisi Penyelamat Pulau Bangka di depan gedung UOB Jakarta, Selasa (6/5/14). Foto: Sapariah Saturi

Spanduk yang dibawa Koalisi Penyelamat Pulau Bangka di depan gedung UOB Jakarta, Selasa (6/5/14). Foto: Sapariah Saturi


Kala Penguasa-Pengusaha Abaikan Putusan MA Soal Pencabutan Izin Tambang di Bangka was first posted on May 7, 2014 at 4:34 am.

Gubernur Sumsel Didesak Benahi Tambang dalam Tiga Bulan

$
0
0

Tambang batubara di Sumsel. KPK menemukan ratusan izin tambang Sumsel, bermasalah. Foto: Taufik Wijaya

Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan sekitar 201 perusahaan tambang di Sumatera Selatan terlibat beragam persoalan dari tak memiliki NPWP sampai izin di kawasan konservasi. Walhi Sumsel, meminta,  KPK menetapkan batas waktu tiga bulan kepada Gubernur Sumsel, untuk menyelesaikan carut marut ratusan perusahaan itu.

“Jika selama tiga bulan tidak ada perbaikan, kami berharap KPK menindak lebih lanjut dengan memproses hukum,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, di Palembang, Jumat (2/5/14).

Dari 201 itu, 31 perusahaan batubara belum memiliki nomor pokok wajib pajak. Sekitar 170 perusahaan batubara belum clean dan clear. Semua perusahaan tersebar di Kabupaten Musirawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, Muaraenim dan Lahat.

Hadi mengatakan, data pemerintah daerah dan pusat  tidak sama. Walhi mencatat, sekitar 300 IUP, 50-an telah beraktivitas.

“Kami desak Gubernur bersama para bupati menagih utang pajak 31 perusahaan dan mencabut izin perusahaan tak clean and clear, seperti izin dalam kawasan konservasi, mencapai 9.300 hektar,” katanya.

Rustandi Adriansyah, ketua AMAN Sumsel juga menanggapi. “Kita senang ditemuan KPK. Kami berharap sanksi diberikan, sebab pertambangan ini memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat.”

Anwar Sadat, ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS), mengapresiasi KPK. Namun, dia berharap,  KPK meningkatkan tindakan, seperti proses hukum. “Orang baru sadar persoalan lingkungan hidup kalau sudah mengalami bencana atau masuk penjara.”

Sadat mengharapkan, KPK mampu membongkar jaringan kolusi bisnis pertambangan di Indonesia. Misal, kolusi pelaku bisnis dengan pejabat pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Sebelumnya, Dian Patria, ketua Tim Kajian SDA Litbang KPK Senin (28/4/14), mengatakan, ada tiga kepala daerah memberi izin di kawasan konservasi. Mereka itu Bupati Musi Banyuasin Fahri Azhari, Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti, dan Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian.

“Setelah kita tinjau, banyak kepala daerah setaraf bupati atau walikota mengeluarkan izin namun tak memiliki data produksi dari perusahan-perusahaan itu.”

Dian mengatakan, sudah menyurati Kementerian Kehutanan dan segera menyurati ketiga bupati mengenai penerbitan IUP dalam kawasan hutan konservasi.

Mengenai kerugian negara dari hasil SDA di Sumsel, selama tiga tahun terakhir, tidak dibayar US$15 juta dan Rp9 miliar. Angka ini belum termasuk pajak dan IUP trader. Baru dari PNBP.

Apakah itu tindak korupsi? “Saya belum dapat mengatakan ini korupsi atau tidak, tapi ada pelanggaran pidana umum. Di balik pembiaran ini akan kita cari bukti-bukti.  Ini kewajiban penegak hukum yang lain. Tidak bisa serta-merta ini penyalahgunaan kewenangan atau bukan, karena dapat jadi ini kewenangan sektor, bisa UU Kehutanan atau yang lain.”

Gubernur Sumsel Alex Noerdin saat bertemu dengan perwakilan KPK bersama bupati dan walikota, mengatakan berkomitmen kuat memberantas korupsi pertambangan.

Bahkan, saat dipanggil KPK bersama 11 gubernur lain, Alex menyebutkan dari 285 IUP di Sumsel, 140 belum memiliki NPWP, sekitar 206 IUP belum membayar pajak. Lalu, 115 IUP belum clean and clear dan belum menjalankan jaminan reklamasi pascatambang.

Giat Kampanye Hijau

Pahri Azhari,  merupakan Bupati Musi Banyuasin yang giat mengkampanyekan gerakan hijau. Sama seperti Ishak Mekki, saat menjabat Bupati Ogan Komering Ilir (OKI), Pahri menerima sertifikat penghargaan ENO Green Cities Network (Jaringan Kota Hijau Dunia). Ini sebagai upaya melestarikan lingkungan Musi Banyuasin.

 


Gubernur Sumsel Didesak Benahi Tambang dalam Tiga Bulan was first posted on May 7, 2014 at 11:43 am.

Menakar Kebijakan Jokowi soal Air Bersih Jakarta

$
0
0
Sungai Ciliwung yang memisahkan Jakarta dalam penguasaan dua perusahaan swasta. Foto: Setkab.go.id

Sungai Ciliwung yang memisahkan Jakarta dalam penguasaan dua perusahaan swasta. Foto: Setkab.go.id

Mayoritas masyarakat miskin Jakarta, sulit mendapatkan air bersih terlebih setelah PAM Jaya diprivatisasi. Tak itu saja, harga air di Jakarta pun, lebih tinggi dari beberapa negara di Asean, seperti Singapura, Malaysia maupun Filipina! 

BUDI KARYA Samadi sudah makan asam garam dunia real estate. Mulanya, dia karyawan PT Pembangunan Jaya (PJ), saat membuat perumahan Bintaro. Samadi lantas pindah ke PP Ancol –terkenal dengan tempat bermain anak-anak Dunia Fantasi—bahkan selama tiga periode jadi presiden direktur.

Dia hendak pensiun ketika Wakil Gubernur Jakarta Basuki Purnama mengajak masuk PT Jakarta Properindo (Jakpro), perusahaan daerah real estate. “Saya diajak Ahok,” katanya. Samadi pun jadi presiden direktur Jakpro. Kini Samadi jadi orang yang diharapkan Gubernur Joko “Jokowi” Widodo membantu persoalan air bersih di Jakarta.

“Jakpro 100 persen dimiliki DKI.  Jadi tidak hanya berbicara profit. Jakpro ingin masuk ke Palyja bukan karena uang. Kami ingin memberi manfaat ke masyarakat,” katanya dalam sebuah diskusi panel di Jakarta.

Palyja singkatan PT PAM Lyonaisse Jaya, perusahaan Prancis, yang mengelola separuh air bersih Jakarta, tepatnya sebelah barat Sungai Ciliwung. Sebelah timur Ciliwung dikuasai PT Aetra Air Jakarta, perusahaan yang membeli saham pendahulu, PT Thames PAM Jaya dari London.

Diskusi panel ini menarik karena ada tiga pihak, bahkan empat, yang ingin mencari jalan keluar soal kotor air bersih di Jakarta. Menariknya, ketiga kubu punya kedekatan dengan Gubernur Jokowi, kandidat Presiden PDI Perjuangan, yang kini jadi pusat perhatian media bersama lawannya: Prabowo Subianto dari Gerindra dan Aburizal Bakrie dari Golkar. Penyelenggara diskusi pertengahan April ini adalah Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air.

Kubu pertama adalah birokrasi, termasuk Budi Samawi, maupun presiden direktur PAM Jaya, Sriwidayanto  Kaderi, ingin Jakpro dan PJ membeli saham Palyja, masing-masing 49 dan 51 persen. Mereka berpendapat tiga perusahaan, dengan tiga manajemen dan tiga direksi, bikin rumit air bersih Jakarta: PAM Jaya, Palyja dan Aetra. Samawi mengatakan, nanti Jakpro dan PAM Jaya jadi “saudara sekandung.”

Kaderi mengatakan, privatisasi dimulai 1998. Kala it, krisis Indonesia, masih alami krisis ekonomi dan kepemimpinan. “Tahun 2001 renegoisasi tapi tak memadai.”

Isi perjanjian semua meleset. “Tahun 2008 kita lakukan renegosisasi lagi, ada perubahan signifikan.  Terutama dalam penentuan harga. Dalam perjalanan tidak maksimal. Target layanan tidak terpenuhi,” kata Kaderi. Dia setuju bila Jokowi membeli saham Palyja.

Aetra? Perusahaan ini sedang tak dijual.

Kantor pusat Aetra di Jakarta. Sumber: Aetra

Kantor pusat Aetra di Jakarta. Sumber: Aetra

Samadi menjelaskan, Jakpro kini menunggu due dilligence Palyja oleh Price Waterhouse. Harga, dia taksir Rp1 triliun. Lebih murah dari PAM Jaya beli kembali saham Palyja. Jatuhnya, bisa Rp3,6-Rp3,7 triliun karena ada keterikatan kontrak 1997. Pendekatan, business-to-business hingga lebih murah.

Kubu kedua, adalah pensiunan hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, juga politikus PDI Perjuangan … “Saya cuma anggota partai,” katanya.

Uniknya, Siahaan didukung Jasper Goss, warga negara Australia, seorang doktor dari Public Service International, serikat buruh para pegawai negeri di Paris, yang kritis terhadap privatisasi air di seluruh dunia. Goss termasuk kritikus Suez, konglomerat Prancis pemilik saham PAM Lyonaiise Jaya. Siahaan dan Goss berpendapat Palyja dan Aetra bukan saja belum berhasil memenuhi kontrak. Bahkan, kontrak layak dicabut.

Siahaan mengatakan, privatisasi air minum merupakan pelanggaran konstitusi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tersurat mengatakan, air ranah warga Indonesia. Kontrak PAM Jaya dengan kedua perusahaan swasta ini, diteken 1997, dilaksanakan 1998. Ini pelanggaran UUD 1945. PAM Jaya tak mempunyai kapasitas membuat kontrak pengelolaan  sumber daya alam. Dia menganggap kontrak tidak sah.

“Kontrak itu salah kaprah. Ini sama dengan melepas kedaulatan negara. Orang Orde Baru mengatakan pasal 33 itu kuno, harus ditinggalkan. Karena sekarang liberalisasi ekonomi dimana-mana. Padahal, penguasaan negara, dalam pasal 33, memiliki kedaulatan rakyat dalam bidang politik, ekonomi dan lain-lain,” ujar Siahaan.

“Soal kontrak bisa dibuat dalam keadaan terpaksa. Kita harus mempertanyakan kembali keabsahan kontrak. Hak atas air kalau diserahkan kepada swasta tidak betul. Saya heran. Swasta itu profit oriented. Padahal air adalah social goods.”

Kubu ketiga diwakili direktur LBH Jakarta Febio Yonesta, pengacara publik, mewakili 12 warga Jakarta menggugat pemerintah Indonesia, maupun Jakarta, soal privatisasi PAM Jaya pada 1997-1998. Gugatannya disebut citizen lawsuit. Mereka minta pengadilan Jakarta Pusat batalkan kontrak dan mengembalikan pengelolaan Palyja dan Aetra kepada PAM Jaya.

Febio Yonesta, biasa dipanggil Mayong, mengatakan Jokowi  agar tak membeli saham Palyja selama gugatan berlangsung. Jokowi harus tunggu ada putusan hukum tetap. “Jokowi harus membentuk tim independen, terdiri dari masyarakat, Pemda, akademisi, untuk evaluasi dan audit komprehensif transparan dan akuntabel terhadap implementasi serta dampak swastanisasi pengelolaan air di Jakarta.”

Menanggapi rencana Samadi, yang hendak beli Palyja, pembelian saham Palyja oleh Jokowi, LBH dan Koalisi sudah melayangkan surat somasi tertanggal 3 Oktober 2013.  Surat somasi itu dilayangkan karena saat ini DKI dan Palyja masih menghadapi gugatan warga negara mengenai Perjanjian Kerjasama Swastanisasi Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

“Kami mengingatkan agar tidak ada pengalihan aset atau kepemilikan oleh para tergugat maupun tergugat dalam hal ini termasuk Pemprov Jakarta, PAM Jaya dan Palyja, karena akan merugikan melalui tuntutan provisi,” kata Febi.

Bagaimana Jokowi mengambil keputusan?

Disinilah diskusi menarik. Moderator Andreas Harsono, seorang wartawan yang sering menulis PAM Jaya, mendudukkan Goss dan Siahaan di sebelah kiri. Samadi dan Kaderi di sebelah kanan. “Dunia nyata,” kata Harsono. “Tidak hitam putih, tidak mudah menaruh duduk begini. Tapi penting untuk tahu bagaimana semua pihak melihat persoalan air dan jalan keluarnya.”

Ada pihak keempat yang tak datang: Palyja dan Aetra.

Sumber: Palyja

Sumber: Palyja

 

 

PERSOALAN privatisasi PAM Jaya dimulai Juni 1995 ketika Presiden Soeharto, yang kesal dengan mutu buruk air Jakarta, memutuskan privatisasi. Soeharto menunjuk Salim Group dan putranya, Sigit Hardjojudanto, untuk jadi partner Suez (Paris) dan Thames Water (London). PAM Jaya, dengan pengarahan Menteri Pekerjaan Radinal Moochtar dan Gubernur Jakarta Surjadi Soedirdja, terpaksa negosiasi dengan kedua perusahaan internasional itu.

Seorang penggugat citizen law suit memakai istilah “injak kaki” ala Soeharto. Dua tahun berjaln dan pada Juni 1997, Suez dan Thames Water resmi teken kontrak 25 tahun dengan PAM Jaya untuk mengelola air di Jakarta. Serah terima dilakukan pada Februari 1998.

Cara kerjanya, PAM Jaya “membeli air” dari Palyja dan Thames Water dengan harga “imbalan air” (water charge). Konsumen membayar, dalam tujuh kategori, apa yang disebut “tarif air” (water tariff). Warga yang tergolong miskin membayar paling murah. Warga yang kaya tentu membayar lebih mahal. Bayaran konsumen dimasukkan dalam account bank yang dikuasai oleh ketiga perusahaan (escrow account).

Persoalannya, timbalan air naik sesuai inflasi dan lain-lain. Tarif air naik dengan persetujuan DPRD Jakarta. Terjadi perkembangan tak seimbang. Bila ada selisih harga, kontrak mewajibkan pemerintah Jakarta dan Indonesia, menutup kerugian Palyja dan Aetra. Bila PAM Jaya hendak memutus kontrak, ada pasal dimana PAM Jaya, tentu saja, juga pemerintah, membayar ganti rugi.

Artinya, PAM Jaya makin hari makin berutang kepada Palyja dan Aetra.

Imbasnya, harga air minum makin hari makin mahal. Banyak warga miskin tak mampu membeli air bersih. Menurut Samadi, sekarang baru 45 persen warga Jakarta dilayani air bersih. Sisanya, 55 persen, mengandalkan sumur atau air pikulan.

Pada November 2012, sekelompok warga dan organisasi masyarakat sipil menggugat Presiden, Wakil Presiden, Menteri Keuangan, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur Jakarta, DPRD Jakarta, PAM Jaya maupun Palyja dan Aetra. Mereka minta kontrak dibatalkan. Febio Nesta mengatakan sampai sekarang sidang citizen law suit masih berjalan di PN Jakarta Pusat tiap minggu. Jasper Goss termasuk saksi ahli didatangkan dari Paris untuk bersaksi.

Peta pembagian wilayah kerja melayani air 'bersih' antara Palyja dan Aetra di Jakarta.

Peta pembagian wilayah kerja melayani air ‘bersih’ antara Palyja dan Aetra di Jakarta.

Tarif Air Jakarta Lebih Tinggi dari Singapura

Nesta memaparkan data bahwa tarif rata-rata air di Jakarta Rp7.800/m3 . Ini tarif air tertinggi dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Ia bahkan termasuk tertinggi dibandingkan Singapura, Hongkong, Manila, Beijing dan Macau. Data Kementerian Pekerjaan Umum pada Februari 2006 menunjukkan, tarif air Jakarta setara dengan US$ 0.7. Sedang Singapura  US$0.35. Filipina US$ 0.35, Malaysia US$ 0.22, dan dan Thailand US$ 0.29. Artinya, secara perbandingan, tarif air di Jakarta lebih mahal.

Siahaan, ingin pengadilan memenangkan citizen lawsuit. “Namun pengadilan negeri membuat keputusan sangat sulit. Ini bukan kompetensi biasa dari hakim-hakim umum. Bayang-bayang masa lalu masih berat.”

Dia bilang, keputusan pengadilan Indonesia, entah dari pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung, tentu punya dampak politik. Ia bisa menciptakan kesan Indonesia tak bersahabat dengan investasi asing.

Tak tertutup kemungkinan, sesuai kontrak, Palyja dan Aetra bisa melancarkan gugatan di Singapura.

Siahaan bilang, pemerintah tak perlu khawatir. “Di Singapura, hakim-hakim juga hakim normal. Mereka bisa melihat kontrak dibuat tidak dalam keadaan normal.”

Jokowi baru sebulan duduk di kursi gubernur ketika gugatan dilayangkan.

Pada awal 2013, muncul proposal dari Manila Waters, perusahaan air di Filipina, guna membeli saham 51 persen Palyja. PAM Jaya menolak rencana ini. Jokowi menganggap ini terobosan guna membereskan kerugian finansial PAM Jaya.

Samadi mengatakan, sebenarnya tujuan penggugat dengan Jakpro dan PAM Jaya sama yaitu hak atas air. “Jakpro dan PAM Jaya harus evaluasi untuk memberikan kesempatan masyarakat miskin dapat akses air bersih. Kita tinggal menyamakan persepsi.”

Diskusi berjalan hampir lima jam. Ada sekitar 60 orang hadir dalam ruang pertemuan. Beberapa anggota serikat buruh PAM Jaya kerap menyerang Samadi maupun Kaderi.

Samadi menekankan, Jokowi “tak punya interest pribadi” dalam persoalan PAM Jaya. Dia bilang, Jokowi tak mau mengambil alih Palyja maupun Aetra karena “komplikasi politik” terlalu besar.

Nesta tak berharap Jokowi setuju pembelian saham Palyja. “Seharusnya Jokowi dapat mengambil alih Palyja dan Aetra demi kepentingan umum tanpa harus mengeluarkan uang rakyat dalam jumlah besar.”

“Kami menduga Jokowi diberikan informasi dan masukan yang keliru oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan pribadi dalam upaya pembelian saham Palyja.”

 


Menakar Kebijakan Jokowi soal Air Bersih Jakarta was first posted on May 8, 2014 at 1:23 pm.

Wow! 4 Anak Harimau Sumatera Lahir di Medan Zoo

$
0
0
Anak-anak Harimau Sumatera itupun lahir, dan mereka akan meneruskan hidup di jeruji besi kebun binatang Medan. Foto:  Ayat S Karokaro

Anak-anak Harimau Sumatera itupun lahir, dan mereka akan meneruskan hidup di jeruji besi kebun binatang Medan. Foto: Ayat S Karokaro

Manis, induk harimau Sumatera betina (Panthera tigris sumaterae), di Medan Zoo, Sumatera Utara, melahirkan empat anak dengan selamat pada Rabu (7/5/14).

Sang induk yang berusia 15 tahun ini melahirkan tanpa hambatan berarti meski berada di kandang kurang memadai.  Manis  terus menjilati, dan membersihkan tubuh anak-anaknya sambil rebahan di lantai.

Guna menjaga kesehatan empat anak harimau ini, managemen Medan Zoo, menempatkan mereka di lokasi nyaman.

Meski demikian, sampai saat ini belum diketahui jenis kelamin keempat bayi harimau Sumatera yang baru lahir ini. Medan Zoo tak mau mengambil risiko memeriksa jenis kelamin mereka. Mereka khawatir, sang induk maupun anak-anak itu stres hingga tak mau menyusui.

Sucifrawan, dokter hewan Medan Zoo, memperkirakan, dua minggu setelah kelahiran, barulah jenis kelamin keempat bayi harimau ini diketahui.

Menurut dia, saat ini keempat bayi itu, masih tinggal sekandang dengan induk. “Ini sangat penting agar hubungan emosional tetap ada, dan induk dapat terus menjaga dan memantau kondisi kesehatan anak-anaknya.”

Manis sudah melahirkan beberapa kali. Dalam usia ini, ia sudah memiliki  delapan anak.”Kondisi sampai Rabu petang stabil. Kita terus pantau dan awasi, ” kata Suci.

Dulmi Eldin, Plt Walikota Medan, mendapat kabar kelahiran empat harimau langsung menuju Medan Zoo. “Ini prestasi besar. Jarang sekali harimau Sumatera melahirkan empat ekor bayi sekaligus.”

Dia  ingin melihat langsung proses kelahiran satwa langka ini. Eldin berjalan sangat berhati-hati di sekitar kandang. Dia  khawatir kehadiran manusia, dapat mengejutkan sang induk yang tertidur, dan empat anak yang asyik menyusui.

“Ini mengejutkan saya. Kelahiran keempat harimau ini, akan menambah populasi yang kini nyaris punah,” kata Eldin.

Eldin berencana, memberi nama keempat bayi  itu setelah usia tepat sebulan. “Agar bisa lebih tenang dan telah beradaptasi dengan lingkungan baru. Jika acara penabalan terburu-buru, khawatir stres dan tidak mau menyusui.”

“Saya berterima kasih kepada para petugas di Medan Zoo. Selama ini mereka menjaga dan merawat dengan baik, termasuk satwa-satwa lain. Saya berharap kinerja ini terus ditingkatkan, agar seluruh satwa tumbuh baik.”

Plt Walikota Medan, Dzulmi Eldin menyaksikan langsung kelahiran harimau Sumatera di Medan Zoo. Foto:  Ayat S Karokaro

Plt Walikota Medan, Dzulmi Eldin menyaksikan langsung kelahiran harimau Sumatera di Medan Zoo. Foto: Ayat S Karokaro

Tambah Satwa

Eldin akan menyurati  Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumut, untuk meminta gajah jantan di Cikampek, guna menambah koleksi satwa Medan Zoo.

Ketika disinggung soal pengelolaan dan managemen Medan Zoo yang buruk, Eldin, menyadari masih banyak kelemahan dan masalah saat ini. Pemerintah Medan, katanya, berencana melakukan perbaikan hingga penghuni Medan Zoo lebih diperhatikan.“Kita segera menata Medan Zoo. Melalui PD Pembangunan bisa kerjasama dengan para stakeholder untuk penataan ulang.”

Rafiandi Nasution, direktur pengembangan PD Pembangunan, mengatakan, sebelum Manis melahirkan, koleksi harimau Sumatera di Medan Zoo tujuh ekor. Harimau Benggala ada dua.

Kelahiran empat anak harimau ini hasil perkawinan Manis dengan Anhar, jantan berusia 15 tahun. Kini, koleksi harimau Sumatera menjadi 11 ekor.

“Kemungkinan populasi harimau di Medan Zoo bertambah lagi. Dalam waktu sebulan lagi, induk harimau Benggala, akan melahirkan pertama kali. Kita berharap dan berdoa proses kelahiran berjalan baik seperti Manis. ”

Menyedihkan

Pengelolaan Medan Zoo, beberapa bulan terakhir mendapat sorotan dari berbagai kalangan, baik  aktivis dan komunitas mahasiswa pecinta alam di Sumut. Salah satu, dari Orangutan Information Center (OIC) dan Walhi Sumut, yang menuntut orangutan Sumatera hasil sitaan segera dilepasliarkan. Selama ini, tidak dirawat maksimal di Medan Zoo.

Bahkan, pada Senin (21/4/14), puluhan mahasiswa dan kelompok pecinta satwa menamakan Koalisi Pemerhati Satwa Medan,  berunjukrasa di Kejaksaan Negeri Medan, menuntut Kejaksaan mengusut dugaan korupsi penyelewengan dana pengelolaan Medan Zoo.

Jamalun Brutu, juru bicara Koalisi, menyatakan, hasil pengumpulan data mereka, ada dugaan korupsi APBD Medan Rp2,1 miliar, khusus pengelolaan Medan Zoo.

Dugaan korupsi itu dilakukan pihak tertentu sejak kebun binatang ini dipindahkan dari Jalan Katamso ke Jalan Pintu Air IV.

Direktur Utama PD Pembangunan Medan, Hermen Ginting, bersama bendahara pengeluaran, Rusman Effendi pada 14 April 2014, ditahan. “Pengelolaan Medan Zoo makin berantakan. Banyak satwa tidak terurus, dan makanan buat mereka tidak layak.”

Korupsi dana pengelolaan Medan Zoo makin meningkat, setelah Kejaksaan Medan, menetapkan direktur pperasi PD Pembangunan Medan, Ichwan Hisein Siregar masuk daftar pencarian orang (DPO).

Benget Naibaho, tim Koalisi, menyatakan, kesehatan satwa sangat memprihatinkan dan tidak terurus. Setidaknya, dari 180 spesies terancam kelaparan dan karena tidak terurus di Medan Zoo. Dokter hewan pun hanya satu orang.

Kondisi menghawatirkan tampak pada dua orangutan Sumatera, yang hidup di kandang sempit berukuran 2×3 meter dan tidak terurus. Makanan sangat tidak layak, yakni pisang hampir busuk.

“Bulu-bulu sudah rontok dan sangat jorok. Medan Zoo benar-benar sangat memprihatinkan. Ketika kami tanya ke petugas, dana buat makan dan perawatan tidak ada. Jadi satwa-satwa ini seperti hidup susah mati tak mau. Kasihan sekali akibat ulah manusia. Dana buat binatang saja dikorupsi. Kejam sekali.”

 


Wow! 4 Anak Harimau Sumatera Lahir di Medan Zoo was first posted on May 8, 2014 at 11:43 pm.

Terdamparnya Mamalia Laut Perlu Perhatian Serius

$
0
0
 Periode 1987 – 2013 telah ditemukan 203  mamalia terdampar, yang sepertiga  tidak teridentifikasi jenis. Jumlah ini pun diperkirakan jauh lebih rendah dari angka yang sebenarnya. Sumber: Whale Strandings Indonesia

Periode 1987 – 2013 telah ditemukan 203 mamalia terdampar, yang sepertiga tidak teridentifikasi jenis. Jumlah ini pun diperkirakan jauh lebih rendah dari angka yang sebenarnya. Sumber: Whale Strandings Indonesia

Selasa (6/5/14), lumba-lumba sekitar 1,5 meter terdampar di Pantai Keperan Desa Tanjung Pecinan, Kecamatan Mangaran, Situbondo. Lumba-lumba ini masuk ke tambak udang warga.

Sebelumnya, pertengahan Februari 2014, sperm whale (physeter macrocephalus) jantan dengan panjang 20 meter, berat lebih 20 ton, ditemukan mati di Pantai Desa Tambala, Kecamatan Tombariri, Minahasa, Sulawesi Utara.

Dua kasus mamalia laut terdampar ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak kejadian. Keadaan ini harus menjadi perhatian serius. Demikian dikatakan Putu Liza Kusuma Mustika, koordinator Whale Strandings Indonesia, kepada Mongabay, Rabu (7/4/14).

Menurut dia, periode 1987–2013 ditemukan 203 kejadian mamalia laut terdampar, sepertiga tak teridentifikasi. Jumlah ini diperkirakan jauh lebih rendah dari angka sebenarnya.

“Dengan panjang pantai Indonesia lebih 80.000 km, statistik kejadian terdampar jauh di bawah sesungguhnya,” katanya di Makassar.

Hingga kini, ada 79 jenis mamalia laut diidentifikasi di seluruh dunia. Indonesia memiliki sekitar 35 spesies cetacean (paus dan lumba-lumba) dan satu sirenian (dugong), tergolong cukup tinggi dari populasi Samudera Hindia dan Pasifik yang dinamis.

Sejumlah faktor penyebab mamalia laut terdampar ini, kata Putu, secara tak langsung pencemaran laut. Ia dapat menurunkan imunitas dan satwa terkena tumor, kanker, dan lain-lain. Lalu terdampar. “Ada juga penyebab akibat ulah manusia, juga karena alami seperti mengejar ikan dan terperangkap di air dangkal.”

Pelatihan dan simulasi penanganan mamalia laut terdampat di Makassar pada 28 – 29 April 2014, melibatkan berbagai stakehoder yang terkait. Sumber: Whale Strandings Indonesia

Pelatihan dan simulasi penanganan mamalia laut terdampat di Makassar pada 28 – 29 April 2014, melibatkan berbagai stakehoder yang terkait. Sumber: Whale Strandings Indonesia

Seringkali penyebab tidak diketahui. Keadaan ini dianggap masalah karena beberapa penyebab kejadian terdampar bisa jadi ancaman serius bagi mamalia laut itu.

Menurut dia, potensi ancaman mamalia laut di Indonesia, antara lain eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi, sonar, tangkapan samping termasuk jaring hantu, sampah laut seperti marine debris, termasuk potongan jaring ikan, pemboman ikan. Lalu, tabrakan kapal, tangkapan langsung, dan kontaminasi perairan dari pembangunan sungai dan pesisir yang tidak lestari.

Kebanyakan spesies terdampar yang tercatat adalah sperm whales, menyusul short-finned pilot whales (Globicephala marcorinchyus). Ironisnya, hampir setengah kejadian terdampar ini tidak teridentifikasi. “Ini mengindikasikan perlu lebih banyak pelatihan-pelatihan penanganan mamalia laut terdampar dengan prosedur yang benar,” katanya.

Kondisi inilah yang mendorong pelatihan mamalia laut di Makasar, dan sejumlah tempat lain di Indonesia. Khusus di Makassar. Kegiatan pada 28–29 April 2014 ini diikuti 30 peserta dari Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), Polairud, BKSDA, Dinas Peternakan, Basarnas, Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, Mangrove Action Project) dan beberapa stakeholder lain.

Menurut Putu, pelatihan ini bertujuan memberikan informasi dan keterampilan bagi peserta tentang penanganan kejadian terdampar lumba-lumba, paus dan duyung.

Pada November 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan membentuk komite nasional untuk menulis pedoman umum kejadian terdampar, sekaligus mendirikan jejaring kejadian terdampar nasional (JKTN). Keputusan ini,  dipicu 48 paus pemandu sirip pendek terdampar di Nusa Tenggara Timur pada Oktober 2012. JKTN resmi berdiri Maret 2013.

Untuk mengetahui perkembangan mamalia laut terdampar di Indonesia, yang berhasil diidentifikasi dapat dilihat di website dan facebook Whale Strandings Indonesia.

 

Penyebaran kasus mamalia laut terdampar di Indonesia (Sumber: Presentasi Putu Liza Kusuma Mustika, Whale Strandings Indonesia

Penyebaran kasus mamalia laut terdampar di Indonesia (Sumber: Presentasi Putu Liza Kusuma Mustika, Whale Strandings Indonesia


Terdamparnya Mamalia Laut Perlu Perhatian Serius was first posted on May 9, 2014 at 2:12 am.

Buntut Konflik Lahan Sawit, Brimob Tangkap Lima Warga Ketapang

$
0
0

Kebun sawit skala besar oleh perusahaan, bukan memberi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar tetapi kesengsaraan. Lahan mereka terampas, kala melawan, berhadapan dengan aparat kepolisian, seperti yang terjadi di Ketapang. Foto: Rhett Butler

Brimob datang bersenjata lengkap dan sempat melepaskan tembakan saat menangkap lima warga. Bahkan, dari PT Swadaya Mukti Perkasa, datang bersama Brimob kala penangkapan dan ikut memukul warga. Setelah di Polda Kalbar, tiga warga dilepas, dua jadi tersangka.

Buntut mempertahankan lahan yang berkonflik dengan perusahaan sawit, PT Swadaya Mukti Perkasa (SMP), lima warga Desa Batu Daya,  Kecamatan Simpang Dua, Ketapang,  ditangkap Brimob Polda Kalbar yang datang bersenjata lengkap, pada Senin (5/5/14).

Mereka dituduh mengeroyok anggota polisi. Tiga orang, Antonius Sintu, Bethlyawan dan Puram Jorben Marini, dibebaskan pada 6 Mei 2014. Sedang, Anyun dan Yohanes Singkul, ditetapkan sebagai tersangka.

Kronologis penangkapan begitu dramatis. Yohanes Marco, anak Anyun, menjadi saksi mata penangkapan itu. “Pukul 06.00, puluhan anggota Brimob datang dengan delapan mobil,” katanya. Ada tujuh Strada dan satu Dalmas, serta satu sepeda motor.

Aparat waktu bersamaan bertemu dengan Antonius Sintu(35) dan Liber. Keduanya ditodong aparat bersenjata hingga ketakutan. Liber melawan dan berhasil melarikan diri ke hutan. Sintu ditangkap.

Sekitar pukul 06.30, diam-diam, mobil aparat bersama perusahaan mendatangi tiga rumah warga, yakni Anyun(51), Yohanes Singkul(30),  dan Bethlyawan(32).

Aparat masuk paksa ke rumah Singkul dengan mendobrak pintu kamar. Mereka melepaskan tembakan setelah menghadang dan mengancam serta menodongkan senjata laras panjang kepada puluhan anak usia sekolah dasar dan beberapa ibu-ibu.

“Bapak Singkul ditangkap tanpa sempat menggunakan pakaian, padahal beliau sedang demam,” kata Marco.

Brimob menangkap paksa empat warga Desa Batu Daya. Turut hadir dari perusahaan, Hidayat Nasution  bahkan memukul Singkul disaksikan anaknya, Lusiana Matea dan istri, Dandang, serta warga sekitar. Puram selaku Linmas Desa Batu Daya berusaha mengamankan situasi juga  ditangkap dan dipukul popor laras panjang aparat.

Setelah menangkap lima warga, lalu membawa ke Polda Kalimantan Barat (Kalbar). Pasca penangkapan, warga meminta Muspika Simpang Dua memberikan pengamanan tambahan dari TNI dan Polisi Pamong Praja. Warga sudah tidak mempercayai lagi kepolisian.

Pada Selasa, (6/5/14), elemen masyarakat sipil bersama pendamping hukum, mahasiswa Simpang Dua, Ketapang, mendiskusikan kasus ini. Mereka mengunjungi warga di Mapolda Kalbar.

Setelah kunjungan, tiga dari lima warga dibebaskan. Dua jadi tersangka. Agustinus Alibata, wakil Ketemenggungan Dayak Simpang, mengatakan, penyergapan lima warga desa bak penangkapan teroris. “Pagi hari tanpa menunjukkan surat perintah penahanan kepada keluarga,” katanya.

Alibata mengatakan, baik Polsek maupun Camat tidak mengetahui penangkapan ini. “Yang pasti, polisi bersenjata lengkap, bahkan sempat melepaskan tembakan. Kami mengantongi selongsong peluru.”

Dia menduga, penangkapan buntut unjuk rasa warga kepada SMP, yang menuntut perusahaan melepaskan lahan plasma seluas 1088,33 hektar. “Permasalahan ini sudah 17 tahun lalu. Tidak juga diselesaikan perusahaan.”

Masyarakat aksi dengan menghalangi perusahaan panen di lahan plasma itu. “Aksi ini mendapat perlawanan perusahaan. Panen berikutnya, perusahaan dikawal Brimob Polda Kalbar,”  kata Alibata.

Pada aksi itu, sempat bentrok warga dan kepolisian. “Ini kejahatan korporasi terhadap masyarakat adat. Perusahaan merampas lahan dan menindas warga menggunakan kepolisian.”

Kini warga didampingi penasehat hukum dari kantor Gerakan Hukum Rakyat Kalbar terdiri dari: Sulistiono Martinus Yestri Pobas, Dunasta Yonas, Agatha Anida, Wahyudi, Tandiono Bawor, Matheus Denggol, dan Ivan Ageung.

Hendrikus Adam, Walhi Kalbar mengecam penangkapan warga  ini. “Polisi harusnya berfungsi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Bukan alat perusahaan.”

Walhi mempertanyakan aksi Brimob ini. “Kriminalisasi melukai rasa keadilan dan kemanusiaan.” Kejadian ini, katanya, juga mengkonfirmasi kehadiran korporasi bukan mendatangkan kebaikan bagi warga, tetapi sebaliknya.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar, Kombes Rudi Hartono, menyatakan, penangkapan lima warga desa atas laporan pengeroyokan dan penganiayaan anggota polisi.

Laporan itu, tertanggal 28 September 2013. Korban pengeroyokan anggota Brimob dan menyebabkan luka-luka. “Pelakukan melempar hingga Brimob terluka di kepala.”

 


Buntut Konflik Lahan Sawit, Brimob Tangkap Lima Warga Ketapang was first posted on May 9, 2014 at 2:25 pm.

FOKUS LIPUTAN: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal

$
0
0
 Kawasan hutan yang kini rata dengan tanah tempat galian nikel Bintang Mineral. Sebelum itu, di kawasan ini menurut warga banyak pohon sagu dan juga tempat masyarakat mencari damar. Foto: Christopel Paino

Kawasan hutan yang kini rata dengan tanah tempat galian nikel Bintang Delapan Mineral. Sebelum itu, di kawasan ini menurut warga banyak pohon sagu dan juga tempat masyarakat mencari damar. Foto: Christopel Paino

Siang itu, akhir Maret 2014. Masus berteduh di bawah pohon rindang. Tangan kanan memegang sebilah parang. Seraya berjongkok, dia terus mengiris-ngiris kayu kecil, dibentuk bulatan untuk menambal lubang-lubang di perahu.

Pria berusia 60 tahun ini asli Bungku, salah satu suku di Morowali, Sulawesi Tengah. Dia ditemani anak laki-lakinya yang masih kelas lima sekolah dasar. Sang anak asyik bermain sepak bola di pantai, sambil sesekali menggali pasir.

Tak jauh di hadapan mereka, berdiri kantor perusahaan tambang nikel. Namanya PT Bintang Delapan Mineral.

Ia berjarak tak sampai satu kilometer dari tempat Masus berteduh, di Pantai Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Desa ini salah satu desa pesisir sekitar tambang Bintang Delapan.

Dulu, saban pagi atau sore, Masus pergi melaut. Kini,  jadwal melaut tak menentu. Ikan makin susah. Jarak tangkap pun makin jauh.

“Dulu kalau tidak melaut, bisa mencari damar, sagu, atau rotan di hutan. Sekarang, sudah melaut susah, pergi ke hutan pun tak bisa,” kata Masus.

Dahulu, hutan mangrove tumbuh di pulau itu. Dikenal dengan Pulau Polo. Terumbu karang indah. Ikan banyak bermain. “Di sana, kami biasa mencari ikan. Satu jam memancing, hasil bisa beli beras. Hidup kami tenang,” kata Masus. Tangannya menunjuk pulau yang ditimbun oleh Bintang Delapan menjadi perkantoran.

Karya Rosdi Bahtiar Martadi

Karya Rosdi Bahtiar Martadi

Kini semua sirna. Perusahaan tambang datang, pabrik berdiri. Pantai ditimbun. Mangrove ditebang. Pulaupun dibeli. Yang ada, kini, kapal mulai hilir-mudik di hadapan mereka.

Semua berganti. Masyarakat tak lagi melaut. Kalaupun melaut, hasil jauh dari harapan. “Laut yang ditimbun itu tempat kami mencari ikan dengan pukat. Ibu-ibu biasa mencari biya (kerang). Sejak nenek-moyang kami mencari makan di sini. Kini laut jadi keruh kecoklatan karena lalu-lintas kapal yang memuat ore nikel.”

Ore adalah nikel mentah yang masih bercampur dengan tanah. Kata Masus, setiap hari ada sekitar lima kapal besar datang berlabuh tak jauh dari desa mereka. Kapal-kapal kecil hilir-mudik mengangkut ore nikel,dari pelabuhan milik Bintang Delapan di Desa Fatufia, menuju kapal besar. Kapal itu tidak merapat. Berjarak sekira satu kilometer. Lalu kapal besar yang sudah berisi ore nikel itu menghilang dari pandangan mereka. Tujuan kapal itu ke Tiongkok.

“Siang malam kapal itu sibuk kesana-kemari. Aktivitas tidak berhenti. Desa kami jadi ribut. Kami tidak bisa istirahat. Sekarang saja, kami dengar Bintang Delapan akan menimbun lagi laut sekitar 200 meter dari garis pantai untuk pembangunan jetty, pelabuhan mereka,” kata Masus.

 Pemandangan kantor Bintang Delapan  dari pesisir Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Tampak kawasan pesisir yang sudah ditimbun perusahaan  untuk pembangunan fasilitas perusahaan. Foto: Christopel Paino

Pemandangan kantor Bintang Delapan dari pesisir Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Tampak kawasan pesisir yang sudah ditimbun perusahaan untuk pembangunan fasilitas perusahaan. Foto: Christopel Paino

Pemandangan kantor Bintang Delapan  di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi,  berhadapan dengan  pulau yang  akan dibeli perusahaan. Foto: Christopel Paino

Pemandangan kantor Bintang Delapan di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, berhadapan dengan pulau yang akan dibeli perusahaan. Foto: Christopel Paino

Masyarakat bukan tanpa perlawanan. Protes mereka layangkan kepada perusahaan. Suatu ketika, pada Desember 2013, masyarakat melihat aktivitas orang-orang Bintang Delapan, sedang mengebor di laut, tak jauh dari bibir Pantai Fatufia. Saat ditanya warga, perusahaan beralasan hanya memeriksa struktur dan kedalaman laut.

Pengeboran makin sering, warga mulai curiga. Mereka berkumpul. Satu persatu perahu yang terparkir didorong ke laut. Ada yang memagang balok. Ada bergolok. Tujuannya menakut-nakuti pekerja perusahaan. Sesampai di lokasi pengeboran, para pekerja tampak ketakutan berhadapan dengan masyarakat.

“Pergi kalian dari laut kami!!”

“Tinggalkan laut kami!!”

Warga berteriak mengusir pekerja perusahaan. Para pekerja kabur.

Kecurigaan warga belum hilang. Mereka melihat ada pasir hitam diambil para pekerja itu. Padahal, mereka bilang untuk mengetahui kedalaman laut. “Ternyata orang-orang perusahaan itu mengambil pasir hitam atau krom di laut ini,” kata Masus.

Krom atau kromit merupakan satu-satunya mineral yang menjadi sumber logam kromium. Komposisi kimia kromit sangat bervariasi karena terdapat unsur-unsur lain yang mempengaruhi. Kromit dibagi menjadi tiga jenis; kromit kaya akan krom, kaya alumunium, dan kaya besi.

Warga lega berhasil mengusir orang-orang perusahaan yang mengambil krom. Namun itu tak berlangsung lama. Terdengar kabar perusahaan negosiasi di kantor camat, menghadirkan kepala desa dan aparatur lain. Warga tak dilibatkan. Hasilnya, perusahaan diizinkan beraktivitas di laut Fatufia.

Mendengar itu, emosi warga tersulut. Mereka mengoranisir diri. Perlawanan dilakukan. Mengusir orang-orang perusahaan bersampan membawa golok dan balok. Sekali lagi, warga berhasil.

“Kami meski tak sekolah, tapi sudah tahu dengan cara-cara perusahaan yang menipu,” ujar Masus.

“Sayangnya, perusahaan punya banyak cara memuluskan rencana. Kepala desa dihubungi, izin pun kembali keluar. “Kami tetap melawan.” Lalu warga mencari kepala desa, dan hampir dipukuli. “Sekarang, alhamdulillah, mereka tak lagi beraktivitas mengambil kromit.”

Keberhasilan mengusir orang perusahaan yang mengambil pasir hitam itu tidak terulang ketika warga protes terhadap penimbunan pantai. Warga tak bisa berbuat apa-apa. Bintang Delapan berhasil menimbun pantai. Kini, kian mendekati pulau. Warga dihadapkan dengan polisi dan tentara. Moncong senjata setiap saat siap menodong.

“Polisi dan tentara banyak berkeliaran. Saya dengar, Bintang Delapan itu milik delapan orang jenderal. Kami tidak tahu pasti, cuma semua warga sudah tahu kalau perusahaan ini milik para jenderal.”

Pesisir pantai Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi dan kapal tongkang. Desa ini  memiliki bahan mineral lain, yaitu krom. Warga pada penghujung tahun 2013 pernah mengusir karyawan Bintang Delapan yang diduga mengambil pasir hitam krom di desa mereka. Foto: Christopel Paino

Pesisir pantai Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi dan kapal tongkang. Desa ini memiliki bahan mineral lain, yaitu krom. Warga pada penghujung tahun 2013 pernah mengusir karyawan Bintang Delapan yang diduga mengambil pasir hitam krom di desa mereka. Foto: Christopel Paino

Jalan tambang Bintang Delapan, berujung di Desa Fatufia, sebagai kantor lapangan dan pelabuhan. Foto: Sapariah Saturi

Jalan tambang Bintang Delapan, berujung di Desa Fatufia, sebagai kantor lapangan dan pelabuhan. Foto: Sapariah Saturi

 

 

DUA puluh empat Juli 2010, merupakan hari penuh mimpi buruk bagi desa-desa seperti Baho Makmur dan Peukerea dan Fatufia. Sawah-sawah, kebun, ternak sapi maupun kambing, sampai rumah, terendam. Banjir mencapai 1,5 meter menggenangi desa-desa di Kecamatan Bohodopi Selatan, Morowali ini. Sawah gagal panen, mesin pompa air manual dari program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) yang baru dipasangpun rusak.

Warga kesal. Sebab, sejak dulu daerah mereka tak pernah mengalami banjir. Baru kali ini setelah tambang Bintang Mineral beroperasi.

Perusahaan masuk dan membuat jalan tambang yang dikenal dengan Jalan Houling. Penyempitan Sungai Bahongkolangu terjadi. Jalan ini berjarak sekitar 30 meter dari pedesaan.

Beberapa hari setelah banjir bandang, datang utusan Bintang Mineral mendata rumah dan mencatat kerugian banjir. Warga menunggu seraya berharap bantuan. Namun, yang datang hanyalah berbungkus-bungkus supermi. Warga kecewa.

Para korban banjir aksi di kantor lapangan perusahaan tambang ini pada 4 Agustus 2010. Protes tak diindahkan, emosi warga memuncak, berujung pada pembakaran timbangan nikel perusahaan. Kala itu, Bintang Mineral mengklaim rugi sekitar Rp7 miliar.

Polisipun sigab bertindak. Empat warga yang dianggap provokator ditangkap. Mereka disangka dengan pasal perusakan secara bersama-sama. Namun, aparat negara ini seakan lupa kerugian warga dampak banjir yang muncul setelah ada perusahaan. Kasus warga ini sama sekali tak diselidiki.

Pohon-pohon jambu mente di Desa Baho Makmur ini kini tak bisa lagi berbuah. Foto: Sapariah Saturi

Pohon-pohon jambu mente di Desa Baho Makmur ini kini tak bisa lagi berbuah. Foto: Sapariah Saturi

Dulu, lahan ini pagi menguning...kini sungai mengering, irigasi tak mengalir, padipun tak bisa tumbuh lagi. Hanya ilalang kering yang mengisi persawahan itu saat ini. Foto: Sapariah Saturi

Dulu, lahan ini pagi menguning…kini sungai mengering, irigasi tak mengalir, padipun tak bisa tumbuh lagi. Hanya ilalang kering yang mengisi persawahan itu saat ini. Foto: Sapariah Saturi

Pada Selasa 12 Juli 2011, banjir bandang kembali menerjang. Air Sungai Bahongkolangu, meluap akibat jembatan houling jebol. Rumah-rumah warga di Desa Bahodopi, Keurea, Fatufia, Trans Makarti dan Baho Makmur, terendam.

“Ya itulah, bisa dilihat sekarang. Sawah-sawah tinggal isi ilalang. Padi tak bisa lagi tumbuh,” kata Waryoto, warga Baho Makmur.

Penderitaan warga berlangsung hingga kini. Kala hujan, banjir. Musim kemarau, kekeringan. Mereka juga kesulitan air bersih. Kondisi tambah miris kala sepanjang tahun, padi tak lagi bisa tumbuh, tanaman kebun seperti jambu mente, mangga tak lagi bisa berbuah. Semua seakan menjadi mandul.

Dulu, kata Waryoto, per hektar sawah menghasilkan empat ton padi. Setahun, dua kali panen, dengan luas sawah di desa itu sekitar 200 hektar. “Cukuplah buat hidup kami sehari-hari. Ada lebih dijual. Saat ini, kalaupun ditanami, padi kering. Mati.”

Sebelum ada tambang, air irigasi mengalir ke sawah. Kini, tak bisa lagi. Kali mengering. Tanggul perusahaan lebih tinggi dari sungai hingga air tak mengalir ke lahan warga.

Tak hanya sawah. Tanaman yang tumbuh pun tak lagi berbuah, seperti jambu mente, dan mangga. “Misal mangga berbunga, ya tak jadi buah. Berbunga lalu gugur.”

Tanah-tanah pun banyak menjadi padang ilalang. Hanya tampak sapi-sapi dilepas bebas memakan rerumputan.

Bagaimana kini warga hidup? “Ada beralih menjadi tukang bangunan. Mencari damar ke hutan. Ada beberapa masih jadi buruh di Bintang Delapan,” ucap Waryoto.

Mencari damarpun bukan semudah dulu. Sebagian lahan sudah menjadi tambang dan Jalan Houling. “Dulu, waktu bujuk agar warga jual lahan buat Jalan Houling, perusahaan bilang, kalau ada jalan warga mudah cari damar. Jalan jadi, kami malah tambah susah.”

Penderitaan warga tak selesai sampai di sana. Kala kemarau polusi udara menerpa desa. Di Desa Baho Makmur, Jalan Houling 30 sampai 50 meter di belakang desa, kala kemarau debu-debu memenuhi lingkungan warga sampai masuk ke rumah. Warga berdiam di dalam rumah sekalipun, pakaian dan badan akan dipenuhi debu.

“Kalau kemarau, piring dan gelas yang mau dipakai harus dilap lagi karena penuh debu,” kata Suminah, perempuan berusia 60 an tahun, tetangga Waryoto.

Anak-anak tengah bermain di jalan Desa Baho Makmur. Sepanjang mata memandang lahan sawah tinggal ditumbuhi rumput dan ilalang yang sebagian mengering. Kala kemaran debu memenuhi desa ini. Bagaimana masa depan anak-anak ini? Foto: Sapariah Saturi

Anak-anak tengah bermain di jalan Desa Baho Makmur. Sepanjang mata memandang lahan sawah tinggal ditumbuhi rumput dan ilalang yang sebagian mengering. Kala kemaran debu memenuhi desa ini. Bagaimana masa depan anak-anak ini? Foto: Sapariah Saturi

Alat pompa air ini baru dipasang beberapa hari kala banjir melanda pada 2010 hingga menyebabkan sarana ini rusak. Hingga kini tak berfungsi. Warga kesulitan air bersih. Foto: Sapariah Saturi

Alat pompa air ini baru dipasang beberapa hari kala banjir melanda pada 2010 hingga menyebabkan sarana ini rusak. Hingga kini tak berfungsi. Warga kesulitan air bersih. Foto: Sapariah Saturi

Wargapun banyak terkena penyakit pernapasan. “Banyak yang sesak nafas, batuk, kena debu,”ujar dia.

Ini terbukti dari data penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Dinas Kesehatan Kabupaten Morowali. Tahun 2013, penyakit ISPA tertinggi di Kecamatan Bahodopi dan kecamatan yang ada pertambangan. Ada 922 kasus ISPA, kulit alergi 444 kasus, hipertensi 304 kasus, anemia 196 kasus, dan diare 135 kasus.

Wahida, ibu rumah tangga lain di Desa Baho Makmur mengatakan, saat ini beras makin susah karena sawah tak lagi berfungsi. “Suami kami tidak lagi bekerja. Kalau kerja ditambang, sudah tidak kuat lagi. Usia sudah tua,” katanya.

Tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat dekat tambang pun tak ada. “Dapat susah. Baiknya tak ada,” kata Maryoto.

Tahun 2012, pernah turun dana sosial dari perusahaan Rp5 miliar kepada sembilan desa, termasuk Baho Makmur. Masing-masing desa mendapat Rp615 juta. Sebagian dana buat menimbun jalan.

“Rp300 juta dibagi ke warga. Desa ini saja ada sekitar 315 keluarga. Sisa dana yang lain, tak transparan. Penderitaan kami tak bisa dibayar dengan uang sebesar itu. Itu 2012. Sekarang tak ada bantuan apa-apa lagi.”

Di desa itu juga banyak dijumpai kos-kosan berbentuk rumah petak. Banyak pendatang pekerja tambang kos di sini.

Baho dalam bahasa Bungku berarti air. Desa ini dinamakan Baho Makmur karena banyak mata air. Belakang desa berbatasan dengan hutan. Sayangnya, kini desa ini malah gersang. Air sulit.

Karya Rosdi Bahtiar Martadi

Karya Rosdi Bahtiar Martadi

Pencemaran air juga terjadi di Desa Bahodopi. Air dari PAM, berubah menjadi warna kuning. Warga khawatir limbah pabrik mencemari sungai dan laut. Tak bisa dibayangkan ikan yang dikonsumsi warga sehari-hari sudah tercemar limbah tambang.

“Manfaat tambang buat masyarakat sepertinya tidak ada. Malah susah, air tercemar. Mungkin hanya jalan bagus atau listrik yang menyala malam hari. Kalau CSR hanya bisa dirasakan aparat desa. Masyarakat tidak dapat apa-apa. Kecuali kalau memang bekerja di Bintang Mineral. Itupun kalau tidak dipecat,” kata Hasmudin, warga Desa Bahodopi.

Sore itu, Hasmudin ditemani Johanis. Keduanya asli Bungku, dan seumuran, 43 tahun.  Mereka sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu. Tampak Hasmudin dan Johanis sibuk membuat kosen daun jendela dan pintu rumah. Tempat mereka bekerja tepat di bawah pohon pinggir pantai yang sudah dicor.

“Semalam hujan. Pagi, laut langsung jadi berwarna cokelat. Kalau dulu, meski hujan satu minggu, laut tetap bersih. Sekarang, rintik-rintik saja laut jadi keruh. Kalau memancing, ikan tak mau makan lagi,” kata Johanis.

Johanis dan Hasmudin beberapa kali ikut pertemuan di balai desa maupun di kantor camat terkait penyampaian dana tanggung jawab sosial atau dari Bintang Delapan. Dari situ mereka tahu, setiap tahun dana tanggung jawab perusahaan ini Rp5 miliar, lalu dibagi merata kepada sembilan desa sekitar tambang.

Desa-desa itu adalah Desa Lele, Onepute Jaya, Damapala, Makarti Jaya, Lalampa, Dohodopi, Keurea, Fatufia, Labota dan Simbatu.

“Sebenarnya ada Rp7,5 miliar dana CSR. Sudah dipotong sama biaya pembangunan jalan dan listrik. Jadi bersih sisa Rp5 miliar untuk sembilan desa. Yaaa…itu tadi, masyarakat tidak dapat apa-apa.”

Anak-anak kecil banyak mandi telanjang bulat di laut sambil bermain perahu. Suasana sejuk. Kala sore, matahari senja menghiasi kampung ini.

Jalan tambang biasa dikenal dengan Jalan Houling, yang berada di dataran atas. Di bagian bawah pedesaan. Tak pelak, kala kemarau, rumah-rumah warga penuh debu. Foto: Sapariah Saturi

Jalan tambang biasa dikenal dengan Jalan Houling, yang berada di dataran atas. Di bagian bawah pedesaan. Tak pelak, kala kemarau, rumah-rumah warga penuh debu. Foto: Sapariah Saturi

Warga Desa Baho Makmur, menerima dampak banjir kala hujan dan debu serta kekeringan kala kemarau. Foto: Sapariah Saturi

Warga Desa Baho Makmur, menerima dampak banjir kala hujan dan debu serta kekeringan kala kemarau. Foto: Sapariah Saturi

 

 

KALA memasuki kawasan hutan yang dibuka Bintang Delapan, ada beberapa pos jaga. Tak ada petugas. Portal yang biasa menghalangi kendaraan masuk dibiarkan terbuka. Satu dua mobil hilux melintas ke hutan. Tak jauh dari situ, beberapa alat berat dan mobil damp truk terparkir. Seorang perempuan paruh baya terlihat duduk sendirian di rumah papan yang memanjang. Di bagian bawah, hanya terdengar suara deras sungai besar berwarna kecokelatan. Kata warga, itu Sungai Bahodopi.

Ketika masuk hutan, jalan mulai menanjak. Di belakang, hamparan permukiman penduduk pesisir Bahodopi terlihat jelas. Di seberang, pemandangan kawasan hutan berbukit masih lebat. Namun banyak pohon ditebang, yang terlihat hanyalah tanah merah membentuk seperti jalan tikus.

Saat melewati Jalan Houling, dengan lebar sekitar lima sampai tujuh meter, jalan tak hanya menanjak, juga bersimpang.

“Anda Masuk Wilayah Kontrak Karya PT Inco.”  Begitu bunyi sebuah plang berwarna kuning.

Di wilayah tambang yang digarap Bintang Delapan, terdapat plang PT Vale. Sebelum ada Bintang Delapan, kawasan ini sudah menjadi area kontrak karya Vale. Tumpang tindih terjadi setelah Bupati Morowali mengeluarkan puluhan IUP di wilayah Vale. Foto: Christopel Paino

Di wilayah tambang yang digarap Bintang Delapan, terdapat plang PT Vale. Sebelum ada Bintang Delapan, kawasan ini sudah menjadi area kontrak karya Vale. Tumpang tindih terjadi setelah Bupati Morowali mengeluarkan puluhan IUP di wilayah Vale. Foto: Christopel Paino

Dulu ini berhutan sebelum digali dan diambil nikel oleh Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

Dulu ini berhutan sebelum digali dan diambil nikel oleh Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

PT Inco, kini berganti nama menjadi PT Vale Indonesia. Wilayah Bintang Delapan, memang tumpang tindih dengan Vale.

Tak hanya Bintang Delapan yang menggerumuti area kontrak karya Vale, total ada 43 izin pertambangan dikeluarkan sang bupati, Anwar Hafid. Beberapa perusahaan lain sudah pra konstruksi antara lain, Sulawesi Resources, dan PAN China.

Bintang Delapan juga mendapat izin tambang dari bupati di wilayah Rio Tinto. Buntutnya, Mei 2008, Bupati Morowali digugat ke PTUN karena membagi areal kontrak karya raksasa tambang asal Australia ini kepada 14 penambang, salah satu Bintang Delapan. Rio Tinto keok. Bintang Delapan berhasil menguasai lahan.

Makin ke atas, kiri-kanan pohon banyak tumbang. Lubang-lubang menganga dengan gundukan tanah-tanah merah menumpuk bak bukit. Inilah tempat Bintang Delapan mengeruk nikel.

Hutan berubah menjadi padang luas. Tak ada lagi pepohonan. Gersang. Tak ada kicau burung, atau suara macaca tongkeana, salah satu jenis monyet endemik di Sulteng. Semua dibabat. Rata dengan tanah.

“Kawasan yang dibabat oleh Bintang Delapan itu banyak masuk kawasan hutan,” kata Rifai Hadi, manajer riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.

Hamparan mata memandang, lepas luas...kawasan hutan ini telah menjadi lapangan setelah nikel-nikel diangkut Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

Hamparan mata memandang, lepas luas…kawasan hutan ini telah menjadi lapangan setelah nikel-nikel diangkut Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

Kompleks militer. Di sini dibangun Koramil,  tak begitu jauh dari kantor Bintang Delapan di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Foto: Christopel Paino

Kompleks militer. Di sini dibangun Koramil, tak begitu jauh dari kantor Bintang Delapan di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Foto: Christopel Paino

Sebuah truk melintas. Biasa truk bak terbuka memuat ore. Kali ini berbeda. Kendaraan menyerupai truk militer dengan kap bagian belakang tertutup kain mota tebal kecoklatan. Tak ada penumpang. Tak berapa lama mobil hilux silver double kabin melintas.

Dari atas terlihat, gedung-gedung beratapkan seng berwarna biru dan merah. Karyawan perusahaan hilir-mudik. Kantor lapangan Bintang Delapan ini, terletak di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi.

Pagar setinggi dua meter, memanjang sekitar dua kilometer membatasi pemukiman dengan perusahaan tambang itu. Ia berada di pinggir pantai.

Jalan umum Bahodopi, sekaligus jalan perusahaan. Mobil truk, hilux, atau ford ranger memuat material hilir mudik, dari hutan ke perusahaan. Begitu sebaliknya. Para sekuriti berjaga-jaga.

Sekitar 500-an meter dari kantor itu, berdiri Komando Rayon Militer (Koramil). Para tentara berjaga-jaga. Ada yang bermain catur. Kantor ini dibangun, setelah ada Bintang Delapan.

Kala matahari terik, debu-debu beterbangan. Seberang kantor Bintang Mineral, kawasan hutan. Berbukit. Di sana juga ada gedung milik perusahaan.

“Gedung di atas sangat mewah. Mirip hotel berbintang. Ada kolam renang. Kalau ada tamu penting perusahaan atau bos-bos datang, biasa menginap di atas,” kata Yunan Bilondatu.

Yunan adalah sopir damp truk Bintang Delapan. Dia asli Gorontalo. Sejak 2010 bekerja di perusahaan ini.

Siang itu, Yunan sedang istirahat. Dia biasa mengangkut ore nikel dari blok-blok Bintang Mineral di kawasan hutan. Sejak aturan larangan ekspor mineral mentah, tak ada produksi. Tugas mereka, memuat material untuk menimbun pantai. Yunan masuk kerja malam hari.

Jalan menuju blok pertambangan di kawasan hutan dan kantorBintang Delapan memotong jalan  umum di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Untuk melewati jalan raya ini  harus berhati-hati karena lalu-lalang mobil truk perusahaan. Foto: Christopel Paino

Jalan menuju blok pertambangan di kawasan hutan dan kantorBintang Delapan memotong jalan umum di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi. Untuk melewati jalan raya ini harus berhati-hati karena lalu-lalang mobil truk perusahaan. Foto: Christopel Paino

Perkantoran Bintang Delapan. Kini pembangunan fasilitas perusahaan, seperti pabrik smelter, masih berlanjut. Proses peniimbunan pantai tengah berlangsung. Foto: Christopel Paino

Perkantoran Bintang Delapan. Kini pembangunan fasilitas perusahaan, seperti pabrik smelter, masih berlanjut. Proses peniimbunan pantai tengah berlangsung. Foto: Christopel Paino

 

 

BINTANG Delapan, berkantor pusat di Jakarta. Dalam surat izin, perusahaan beralamat di Jalan Boulevard Barat Raya Blok LC 6, nomor 53, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading.

Ia berada di kawasan elit di Jakarta Utara. Di pusat bisnis, di tengah kompleks pertokoan. Logo Bintang Delapan bertengger di bagian teratas gedung. Di atas pintu masuk kantor, label Bintang Delapan Grup, juga terpampang. Di tempat ini juga alamat Sulawesi Mining Investment.

Bintang Delapan, mengantongi izin usaha pertambangan tahun 2010, dengan luas wilayah konsesi 21.695 hektar. Ia mencakup sembilan desa di Morowali, yakni Bahomoahi, Bahomotefe, Lalampu, Lele, Dampala, Siumbatu, Bahodopi, Keurea, dan Fatufia. Operasi produksi Bintang Delapan resmi 2009, diperkirakan berakhir 2025.

Kantor pusat Bintang Delapan Grup di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Foto: Sapariah Saturi

Kantor pusat Bintang Delapan Grup di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Foto: Sapariah Saturi

KantorBintang Delapan di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi berada di tepian pantai. Foto: Christopel Paino

KantorBintang Delapan di Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi berada di tepian pantai.Jauh lebih mewah dan besar dari kantor pusat di Jakarta. Foto: Christopel Paino

Di dua kabupaten, Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara),  Bintang Delapan menguasai sekitar 20 kuasa pertambangan. “Mereka membuat pecahan izin agar terhindar dari birokrasi perizinan pertambangan dengan menaruh macam-macam nama dan badan usaha berbeda, total luas  47.000 hektar,” kata Andika.

Pada 2010, Bintang Delapan menggandeng perusahaan Tiongkok, Tsingshan, anak perusahaan PT Dingxin Group, dengan nilai investasi US$1 miliar atau sekitar Rp 8,9 triliun dalam bentuk joint venture. Komposisi kepemilikan, Bintang Delapan 45 persen dan Dingxin Group 55 persen. Mereka muncul dengan bendera PT Sulawesi Mining Investment.

Kerjasama ini diikuti rencana pembangunan pabrik nikel, konstruksi dimulai 2010-2011. Target produksi pabrik ini 30.000 ton nikel per tahun. Total pengeluaran investasi Bintang Delapan sudah sekitar US$20 juta untuk membangun jalan, pelabuhan, dan macam-macam infrastruktur.

Kepemilikan saham Bintang Delapan Grup, sendiri, antara lain dipegang beberapa jenderal. Tak heran, masyarakat Morowali mengenal perusahaan ini dengan sebutan tambang para jenderal.

Ada Letnan Jenderal (purnawirawan) Sintong Panjaitan, duduk sebagai presiden komisaris Bintang Delapan Grup. Sulawesi bukan kawasan asing bagi jenderal ini. Pada Agustus 1964 hingga Februari 1965, saat itu berpangkat Letda, Panjaitan ditugaskan menumpas DI/TII pimpinan Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Hampir 50 tahun setelah itu, dia kembali terlibat di Sultra, tetapi dalam peran yang jauh berbeda. Di Sultra, tepatnya Konawe, Panjaitan, kini sebagai pemilik saham dari ribuan hektar wilayah tambang Bintang Delapan.

Dalam buku Para Komando ditulis Hendro Subroto, menceritakan, setelah pensiun, Panjaitan memberdayakan masyarakat lewat usaha pertanian organik di Green House Simarhompa, Tarutung. Pada ketinggian 1.300 meter dari permukaan laut ini, bersama Luhut Panjaitan, mereka membibitkan sayur dan buah-buahan. Kontras dengan bisnis ekstraktif yang dilakoni di Sulawesi, saat ini.

Karya Rosdi Bahtiar Martadi

Karya Rosdi Bahtiar Martadi

Ada juga Mayor Jenderal (purnawirawan) Hendardji Supandji, selaku presiden komisaris Bintang Delapan Investama, anak usaha Bintang Delapan Grup. Dia ini adik Hendarman Supandji, kepala Badan Pertanahan Nasional, dan kakak dari Gubernur Lemhanas, Budi Susilo Soepandji.

Pada, pemilihan Gubernur Jakarta, 2012, Hendardji mencalonkan diri sebagai gubernur berpasangan dengan Ahmad Riza Patria. Impian kandas, hanya memperoleh suara kurang dari dua persen. Pemilihan dimenangkan pasangan Jokowi-Ahok.

Pada 18 Maret 2014, Panjaitan bersama petinggi Sulawesi Mining Investment datang ke Kementerian Perindustrian, bertemu sang menteri, MS Hidayat. Ada Hung Wei Feng, presiden komisaris Sulawesi Mining Invesment. Juga Halim Mina, presiden direktur perusahaan joint venture ini beserta wakil, Alexander Barus.

Mereka melaporkan perkembangan pembangunan pabrik smelter di Morowali. “Saat ini pembangunan fisik smelter sekitar 40%-45%,” kata Barus, kepada wartawan usai pertemuan.

Bersamaan pabrik smelter juga dibangun fasilitas pendukung seperti pembangkit listrik tenaga diesel 2×65 mega watt, oxygen pant, crusher plat, batching plant, water tratment plat, kanal air, dan pelabuhan kargo berkapasitas 60 ton. Mereka menargetkan, pembangkit listrik siap Juni 2015 bersamaan dengan operasi pabrik smelter.

Belum cukup. Kawinan dua perusahaan ini berencana membangun kawasan industri seluas 1.200 hektar. Mereka mengusung bendara baru berlabel PT Indonesia Morowali Industrial Park.

Di kawasan ini, akan melayani perusahaan-perusahaan hilir pengolahan nikel dan stainless steel. Perusahaan-perusahaan tambang yang selama ini mati suri, tampaknya bakal bangkit kembali dan memasok ore ke sini. Menurut Barus, mereka telah mendapatkan izin prinsip Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Ketika hendak mengkonfirmasi beragam permasalahan di lapangan terkait operasi Bintang Delapan di Morowali, tak mendapat tanggapan. Dari pesan singkat dan telepon ke Barus, sampai kirim email, telepon ke perusahaan maupun mendatangi kantor mereka.

Pertemuan jajaran Sulawesi Mining Investment dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Tampak Sintong Panjaitan (safari hitam) selaku presiden komisaris Bintang Delapan Grup. Foto: situs resmi Kementerian Perindustrian

Pertemuan jajaran Sulawesi Mining Investment dengan Menteri Perindustrian MS Hidayat. Tampak Sintong Panjaitan (berbaju gelap dan berkacamata) selaku presiden komisaris Bintang Delapan Grup. Foto: situs resmi Kementerian Perindustrian

Sintong Panjaitan, presiden komisaris Bintang Delapan Grup, bersalaman dengan MS HIdayat, Menteri Perindustrian usai pertemuan membahas perkembangan pembangunan pabrik smelter perusahaan ini di Morowali, pada 18 Maret 2014. Foto: dari situs resmi Kementerian Perindustrian

Sintong Panjaitan, presiden komisaris Bintang Delapan Grup, bersalaman dengan MS HIdayat, Menteri Perindustrian usai pertemuan membahas perkembangan pembangunan pabrik smelter perusahaan ini di Morowali, pada 18 Maret 2014. Foto: dari situs resmi Kementerian Perindustrian

 

 

KEHENINGAN malam di Posko Pemogokan, di Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, berubah mencekam. Pada Kamis 13 Maret sekitar pukul 19.30, tiba-tiba sekitar delapan laki-laki turun dari mobil Avanza menerobos ke salah satu rumah warga.

“Siapa yang berani di sini?

“Saya orang Bohodopi. Mana Masdar?”

Posko Pemogokan itu memang menggunakan rumah kos Masdar, buruh Bintang Delapan.

Kala itu,  berbagai perwakilan organisasi sedang kumpul, antara lain Jatam Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka, Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, dan PRD tergabung dalam gerakan buruh Morowali menggugat.

Sontak para aktivis yang tengah rapat ini lari kocar kacir. Mereka membabi buta. Pukul sana sini. “Kami bersembunyi masuk ke rumah kos para buruh,” kata Kadi dari Yayasan Tanah Merdeka.

Penyerangan ini, buntut dari mogok buruh Sulawesi Mining pada 13 Maret 2014. Aksi mogok sebagai protes dari pemecatan 252 pekerja tanpa pesangon. Pembangunan pabrik smelter pun berhenti total.

Kala aksi, perusahaan mendatangkan ratusan aparat polisi dan tentara guna menghentikan mogok buruh. Buruh bergeming. Aksi berlanjut.  “Malam hari,  waktu kita rapat konsolidasi para preman bayaran perusahaan datang menyerang.”

Saat penyerangan, Wahab, buruh sopir terkena pukulan balok. Pinggang membiru dan kemerah-merahan.

Aksi mogok buruh Bintang Delapan. Foto: Masdar

Aksi mogok buruh Bintang Delapan. Foto: Masdar

Aktivitas kerja lumpuh kala buruh Bintang Delapan mogok. Aksi ini berujung penyerangan ke posko pemogokan buruh di Desa Fatufia. Foto: Masdar

Aktivitas kerja lumpuh kala buruh Bintang Delapan mogok. Aksi ini berujung penyerangan ke posko pemogokan buruh di Desa Fatufia. Foto: Masdar

Teror belum berakhir. Pada 15 Maret, para buruh, dilaporkan ke polisi. “Cuma gara-gara mereka bilang tailaso masuk saat aksi 13 Maret. Mereka dianggap mengancam,” kata Kadi. Meski begitu mogok berlanjut hingga Minggu (16/3/14). Pada 26 Maret, seorang buruh, Kasmar, ditangkap, yang lain buron.

Tuntutan para pekerja, perusahaan mengangkat buruh kontrak dan buruh harian lepas menjadi tenaga kerja tetap. Lalu meminta kejelasan status buruh Sulawesi Mining asal Tiongkok berjumlah 400 orang lebih. Pekerja asal Tiongkok ternyata lebih banyak dari pekerja Indonesia,  yang berkisar 200 orang.

Namun data Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Morowali dan Disnakertrans Sulteng, buruh asing yang terdaftar  di Sulawesi Mining hanya 42 orang. Dari dokumen yang kami peroleh tercatat ratusan pekerja dari Tiongkok itu datang pada Februari dan Maret 2014.

Tahun lalu, ada 32 pekerja ilegal asal Tiongkok didatangkan perusahaan ini ditangkap Bea Cukai Kendari,  Sultra karena tak memiliki berkas ketenagakerjaan asing jelas.

Perusahaan pun memberikan upah murah bagi buruh harian maupun pekerja kontrak. Buruh harian mendapat upah per hari Rp39.000 dan pekerja kontrak Rp1, 250 juta per bulan.

Belum lagi soal keselamatan kerja. “Ya, ada beberapa kecelakaan kerja di perusahaan sampai meninggal. Namun tidak terdengar keluar. Perusahaan memberikan santunan,” kata Yunan, sopir damp truk Bintang Delapan.

Masdar, warga Bahodopi, juga pekerja yang masih bersengketa dengan Bintang Delapan, mengatakan hal sama.  “Selama saya tahu, sudah ada beberapa pekerja tewas kecelakaan kerja,” katanya.

Kini Masdar, menggugat perusahaan. Dia merasa dipecat tanpa pesangon. Sedang perusahaan, mengklaim Masdar mengundurkan diri. “Ini cuma trik perusahaan agar tetap bersih tak PHK dan tak perlu bayar pesangon.”

Kasus ini, katanya, berawal dari peraturan larangan ekspor mineral mentah sejak 12 Januari 2014. Masdar, selaku operator alat bor dipindah ke bagian elektrik. Secara tertulis, dia menyatakan tak bersedia ditempatkan di bagian itu karena tak memiliki keahlian. “Perusahaan berkeras, dengan penolakan itu berarti saya mengundurkan diri. Saya tak mau mundur. Kalau perusahaan tak pakai saya lagi, silakan pecat.”

Sidang bergulir. Pengadilan Hubungan Industrial di Morowali, menganjurkan Masdar kembali bekerja dalam jangka waktu enam bulan. “Saya sepakat, saya bersedia kembali kerja, tapi Bintang Delapan bilang tak sepakat mau lanjut ke PHI di Palu. Ayo, saya ladeni. Mereka mau enak, mau pecat tanpa bayar pesangon.”

Ratusan “Masdar” pun menyusul di-PHK dengan alasan mangkir lima hari kerja dan mogok kerja. Hingga kini, aksi buruh terus berlangsung.

Aksi mogok protes PHK ratusan buruh Bintang Delapan, yang berujung penyerangan. Hingga kini, buruh terus berlanjut. Foto: Masdar

Aksi mogok protes PHK ratusan buruh Bintang Delapan, yang berujung penyerangan. Hingga kini, buruh terus berlanjut. Foto: Masdar

 

 

MENJELANG senja bohlam-bohlam mulai menerangi Desa Keurea, Kecamatan Bahodopi. Bukan berarti aliran listrik lancar, malah naik turun. Redup, terang. Redup. Terang lagi. Begitu terus menerus. “Memang seperti inilah kondisi listrik di sini,” kata Jasuli Kitta, warga Desa Keurea.        

Jasuli adalah tokoh masyarakat di desa ini. Dia juga tokoh pendidikan di Bahodopi, menjabat sebagai kepala Sekolah Menengah Kejuruan Alkhairat. Alkhairat adalah organisasi Islam terbesar di Sulawesi Tengah, berpusat di Kota Palu. Alkhairat bahkan menyebar ke beberapa pulau di Indonesia dengan membentuk pengurus cabang, seperti di Kalimantan, dan Pulau Jawa. Aliran ini mengusung Islam tradisional, hingga menjadi bagian dari Nahdatul Ulama, yang berpusat di Jawa.

Jasuli juga tercatat sebagai dosen Kampus Muhamadiyah, jarak jauh di Bahodopi. Banyak mencibir kegiatan kampus karena dianggap tak berkualitas. Namun, katanya, alumni mereka banyak terpakai. Satu bukti, mahasiswa bisa terangkat sebagai pegawai negeri sipil di Bahodopi.

“Listrik di sini dipasok dari Bintang Delapan. Ini bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan,” kata Jasuli.

Tanggung jawab sosial perusahaan diberikan untuk desa-desa sekitar tambang Bintang Delapan.

Menurut Jatam Sulteng, desa-desa sekitar tambang itu adalah Desa Unepute Jaya, Lele, Lalampu, Bahodopi, Siumbatu, Keurea, Makarti Jaya, Fatufia, Labota, Dampala, Bahomakmur, Trans Makarti, dan Peukerea.

Sebelum tambang masuk ke Kabupaten Morowali, desa-desa ini memang belum tersentuh listrik negara. Pun jalan-jalan banyak tak teraspal. Setelah tambang masuk, harapan perbaikan fasilitas ikut masuk ke desa. Jalan mulai bagus, listrik menyala walau masih setengah hati.

“Listrik menyala hanya malam. Kalau pukul 6.00 pagi sampai sore, padam. Magrib menyala lagi. Begitu setiap hari. Banyak bilang listrik gratis, itu salah. Kami tetap bayar listrik,” kata Jasuli.

Untuk urusan sekolah yang memakai listrik seperti mencetak lembar soal siswa, jika tak ada mesin genset, Jasuli bergegas ke ibukota Morowali, di Bungku. Sekitar satu jam lebih kalau naik kendaraan bermotor.

 

 

Salah satu café di Kecamatan Bahodopi. Cafe-cafe ini tumbuh bak jamur di kecamatan setelah tambang muncul, salah satu Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

Salah satu café di Kecamatan Bahodopi. Cafe-cafe ini tumbuh bak jamur di kecamatan setelah tambang muncul, salah satu Bintang Delapan. Foto: Christopel Paino

Penginapan-penginapan pun tumbuh bak jamur di musim hujan di Kecamatan Bahodopi, sejak tambang bangkit. Foto: Christopel Paino

Penginapan-penginapan pun tumbuh bak jamur di musim hujan di Kecamatan Bahodopi, sejak tambang bangkit. Foto: Christopel Paino

SEIRING industri pertambangan tumbuh subur di Morowali, kehidupan masyarakat ikut berubah. Sepanjang jalan raya dari Bungku Timur, sampai Bahodopi, kiri-kanan banyak berdiri penginapan-penginapan. Kos-kosan. Bahkan café-café, billiard, sampai bar ikut menjamur. Tarif pun relatif murah. Berkisar Rp50.000 hingga Rp175 ribuan. Ada yang bisa disewa bulanan.

Salah satu mesjid di Desa Fatufia dibangun Bintang Delapan, tak jauh dari sana berdiri café. Di malam hari pengunjung ramai. Koramil yang dibangun di pinggir jalan tak jauh dari tempat ini. Kekacauan antar pengunjung café sering terjadi.

Harga barang-barang kebutuhan ikut berubah, dari murah menjadi mahal. “Ini daerah dolar. Sekarang saja sepi karena banyak tambang setop operasi,” kata Gunawan, sopir mobil travel.

Dari hasil tambang, rumah-rumah warga banyak berubah. Mobil-mobil pribadi terparkir di halaman rumah. Orang kaya baru bermunculan. “Waktu saya kali pertama ke sini heran. (Toyota) Fortuner untuk mobil sewa,” kata Gunawan. Dia sendiri tinggal di Poso.

Rezeki nomplok juga datang dari jual beli lahan di kawasan hutan lewat modus surat keterangan pemilik tanah (SKPT). Seperti terjadi di Desa Labota, Kecamatan Bahodopi. Belum lama ini, masyarakat kedatangan perusahaan, yang mengaku akan membebaskan tanah. Padahal, lahan itu kawasan hutan berbukit, tak jauh dari belakang Desa Labota.

“Perusahaan itu mengaku bernama PT Garuda, tapi saya lupa nama lengkap perusahaan itu. Mereka sosialisasi di belakang desa kami akan dibangun perumahan. Mereka meminta lahan 1.000 hektar. Orang-orang dari Garuda itu saya kenal baik. Mereka bekerja untuk Bintang Delapan,” kata Hamzah, warga Labota.

Yang menarik, kata Hamzah, mereka tak tahu tanah mana yang akan dibebaskan untuk pembangunan perumahan itu. Mereka tak merasa memiliki. Warga seperti mendapat durian jatuh. Mereka diberikan jatah satu keluarga dapat dua hektar tanah dengan dibuatkan SKPT.

Perusahaan menetapkan satu hektar tanah dihargai Rp1.250 per meter. Saat sosialisasi, warga minta Rp3.500 per meter. Setelah berdebat lama, disepakati harga awal.

“Dalam SKPT tanah, batas-batas tanah sama semua. Contoh, tanah sebelah selatan saya berbatasan dengan tanah sebelah utara warga lain. Pokoknya, batas itu hanya selatan, utara, barat atau timur.”

Hamzah mendapatkan Rp45 juta pada pencairan pertama Desember 2014 dan pencairan kedua Januari 2014. Tak hanya tanah, satu rumah tangga yang memiliki anak usia SMP dan SMA ikut mendapat jatah per kepala.

Hamzah juga memiliki anak-anak di SMP dan SMA. Maka total memperoleh Rp90 juta. Uang itu buat bangun rumah baru, dan beli sepeda motor matic.

Salah satu rumah warga yang sedang dibangun. Kehadiran tambang membuat warga di Kecamatan Bahodopi dan sekitar bak  menjadi orang kaya baru. Banyak warga bisa membuat rumah baru danmembeli kendaraan karena mendapat uang dari hasil penjualan tanah yang dibikin  Surat Keterangan Pemilik Tanah. Bupati mengeluarkan kebijakan kepala desa bisa  keluarkan SKPT. Aksi ini diduga modus mempermudah perusahaan tamabang mendapatkan lahan. Foto: Christopel Paino

Salah satu rumah warga yang sedang dibangun. Kehadiran tambang membuat warga di Kecamatan Bahodopi dan sekitar bak menjadi orang kaya baru. Banyak warga bisa membuat rumah baru danmembeli kendaraan karena mendapat uang dari hasil penjualan tanah yang dibikin Surat Keterangan Pemilik Tanah. Bupati mengeluarkan kebijakan kepala desa bisa keluarkan SKPT. Aksi ini diduga modus mempermudah perusahaan tamabang mendapatkan lahan. Foto: Christopel Paino

Pada pencairan pertama Desember 2013, ada 170 keluarga dan tanah dibebaskan 400 hektar. Pencairan tahap kedua di rumah kepala desa, Januari 2014. Kala itu, jumlah keluarga naik jadi 270 keluarga, tanah yang dibebaskan 540 hektar.

Mereka antri mengambil uang dari pukul 8.00 pagi hingga 11.00 siang.

Warga banyak kaya mendadak. Kepala desa, memiliki dua truk dan satu mobil APV. Ada yang membangun kos-kosan dan penginapan. Mantan kades mendapatkan 10 SKPT, dibayar satu surat Rp35 juta oleh perusahaan.

Hamzah tak percaya, lahan 1.000 hektar yang dibebaskan Garuda akan dibangun perumahan Bintang Delapan. Kondisi berbukit-bukit, tak cocok dibangun gedung.

Dalam satu lembar lembar kertas berisi kesepakatan pertemuan pada 20 Juli 2013, tercantum di Desa Labota yang harus dibayarkan perusahaan ada 200 lembar SKPT. Dengan harga satu SKPT Rp45 juta. Jika dijumlahkan Rp45 juta dikali 200 lembar, total uang Rp9 miliar.

Pada lembar itu dijelaskan rincian pembayaran. Tak hanya buat warga Desa Labota. Tertulis juga untuk luar masyarakat Labota, yaitu kecamatan Rp90 juta.  Danramil, kapolsek, dan kapolres dapat jatah Rp135 juta. Dinas Kehutanan, Pertanahan, dan Kejaksaan dapat Rp90 juta. Staf bupati Rp45 juta dan aparat desa, BPD, dan kepala dusun Rp90 juta.

Ada satu item tulisan menjelaskan, tamu kepala desa dapat Rp40 juta. Tak ada penjelasan siapa tamu ini. Dari total dana Rp9 miliar itu, tersisa Rp500 juta. Uang sisa itu untuk pembangunan mesjid.

SKPT ini produk Pemerintah Morowali, pada kepemimpinan Anwar Hafid. Kecamatan dan kepala desa memiliki kewenangan mengeluarkan surat ini. Trik ini,  modus agar penguasaan lahan-lahan di kawasan hutan oleh perusahaan menjadi lebih mudah.

Andika, aktivis lingkungan Sulteng mengatakan, dalam dua hingga tiga tahun,  pemberian SKPT mencolok di sebagian besar desa-desa yang terkena ekspansi tambang. “Kecamatan paling aktif menerbitkan SKPT itu Bahodopi dan Bungku Selatan.”

 

 

TIGA November 1999. Ini hari bersejarah bagi Morowali. Pada tanggal itu, daerah ini resmi berpisah dari Kabupaten Poso dan membentuk wilayah administrasi sendiri dengan nama Kabupaten Morowali, ibukota di Bungku.

Dalam peta Sulawesi yang berbentuk huruf  K, kabupaten ini tepat berada pada ketiak Sulawesi. Berhadapan dengan Teluk Tolo dan Laut Banda, Maluku. Sebelah selatan Morowali, dekat dengan Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Luas wilayah Morowali 14. 489,62 kilometer persegi. Masih dianggap terlalu luas, pada 2013, kabupaten ini kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali Utara.

Sejak 1999 hingga kini, Moro­wali dijabat empat orang bupati. Periode pertama, bupati pejabat sementara Tato Masituju. Lalu bupati Andi Muhammad Abubakar, tersangkut kasus hukum dan digantikan wakilnya, Datlin Tamalagi. Pada pilkada 2008, Anwar Hafid terpilih sebagai bupati. Pilkada lagi, Anwar Hafid terpilih kali kedua, hingga kini.

Peta Kawasan Hutan Kabupaten Morowali

Morowali berarti gemuruh. Konon, nama itu dari orang-orang Wana, suku di Sulteng. Mungkin karena letak di pesisir pantai dan berombak. Dalam sebuah dokumen berjudul “Risalah dari Pontudua,”menjelaskan, masyarakat turunan tokoh Mokole Epe maupun Mokole Ndevolili-Ganda, disebut sebagai leluhur masyarakat asli Bungku, khusus di Bahodopi.

Mereka hidup pada abad 16, yakni tahun 1597 Masehi, ketika raja Bungku pertama dijabat Sangia Kinambuka. Zaman itu seangkatan dengan Sultan Babullah di Ternate, Maluku Utara (1570-1585).

Sejak itu, mereka menjadi penghuni kawasan perbukitan yang meliputi Epe, Pontudua, Mata E’e, Sampala, dan Lere’Ea. Mereka bersepakat mendiami tanah-tanah leluhur beserta tanaman-tanamannya, yakni damar (agathis sp) dan sagu.

Dokumen itu disusun oleh rumpun keluarga Mokole Ndevolili-Ganda di Bahodopi-Bungku, sebagai perlawanan atas perampasan hutan leluhur yang ditanami damar dan pohon sagu, oleh Bintang Delapan.

Dalam dokumen menyebutkan, masyarakat adat memiliki keterikatan kuat pada tanah-tanah leluhur dan sumber daya alam di wilayah itu. Blok V yang dibuka Bintang Delapan, merupakan titik-titik persebaran tanaman damar dan sagu. Kedua tanaman ini memiliki peranan besar dalam menunjang ekonomi mereka sejak masa lampau hingga kini.

Sampai kini, sagu merupakan bahan makanan pokok masyarakat di Bungku. Damar juga menjadi alat penerang bagi suku-suku yang mendiami kawasan itu.

Bintang Delapan masuk membawa perubahan bagi kawasan hutan tempat damar dan sagu. Bentang alam berubah, karena terjadi pembongkaran lapisan tanah penutup pada permukaan bumi untuk mencari nikel. Mata rantai tumbuhan yang dimanfaatkan turun menurun inipun nyaris terputus.

Setelah izin massif diberikan, tambang-tambang nikel marak beroperasi. Bahkan, di tepi jalan raya dan dekat pemukiman, izin bisa keluar. Foto: Sapariah Saturi

Setelah izin massif diberikan, tambang-tambang nikel marak beroperasi. Bahkan, di tepi jalan raya dan dekat pemukiman, izin bisa keluar. Foto: Sapariah Saturi

Hutan-hutan di pebukitan botak di Kabupaten Morowali, seperti di Kecamatan Bungku Timur, dan Bahodopi, bukan pemandangan asing lagi. Foto: Sapariah Saturi

Hutan-hutan di pebukitan botak di Kabupaten Morowali, seperti di Kecamatan Bungku Timur, dan Bahodopi, bukan pemandangan asing lagi. Foto: Sapariah Saturi

Pertambangan di Morowali, memiliki sejarah panjang. Menurut Andika, fase pertama dimulai sejak abad 17 atau tahun 1600-an. Ketika itu, pemanfaatan bahan-bahan galian mineral sebagai alat-alat perang prajurit kerajaan Mori dan kerajaan Luwu, seperti pedang dan tombak. Pemanfaatan itu secara sederhana dan terbatas.

Fase kedua, dimulai sejak rezim orde lama Soekarno tumbang dan digantikan orde baru, Soeharto. Ketika itu, tahun 1968. Melalui UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, setelah Freeport di Papua, masuklah Rio Tinto dan Inco ke bumi “Tefe Asa Maroso,” julukan Morowali. Kedua perusahaan itu mendapatkan kontrak karya.

“Namun Rio Tin­to kurang masif di lapangan dan masih berkutat dalam pusaran kampanye dan persiapan awal pra kon­struksi. Hanya Inco yang terus memberikan sinyal ak­tivitas pertambangan di Bahodopi, Morowali,” kata Andika.

Fase ketiga, babak baru dalam sejarah pertambangan di Kabupaten Morowali. Pengusaha-pengusaha besar asal Tiongkok ikut terlibat. Ketika itu, tahun 2008, daerah diberikan keleluasan menerbitkan kuasa pertambangan (KP). Setahun kemudian, terbit regulasi baru pertambangan,  yakni UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Isinya, mem­berikan otoritas penuh pada bupati mengeluarkan perizinan tambang.

Hamparan tanah luas ini dulu pepohonan sebelum digali Bintang Delapan, salah satu sagu yang menjadi sumber hidup warga. Namun, kini tinggal cerita....Foto: Christopel Paino

Hamparan tanah luas ini dulu pepohonan sebelum digali Bintang Delapan, salah satu sagu yang menjadi sumber hidup warga. Namun, kini tinggal cerita….Foto: Christopel Paino

GRAFIS B

Tak menyia-nyiakan kesempatan, dari 2009 sampai 2013 ini sudah ada 183 izin tambang di Morowali. Ia terakumulasi hanya pada dua periode kepemimpinan Bupati Morowali. Periode Datlin Tamalagi, tersubur dalam mengeluarkan izin per­tambangan, sekitar 120 izin dari kurang lebih 70 perusahaan. Mereka memecah diri dalam berbagai nama berbeda. Masa Anwar Hafid bertambah sekitar 60-an hingga menjadi 183 IUP di Morowali.

Sosok Anwar yang sempat ramai dibicarakan dan menjadi topik hangat di media setelah dikaitkan dengan Angel Lelga, mantan istri siri Rhoma Irama, yang maju menjadi calon legislatif dari PPP. Di dalam data KPU, Angel mencantumkan status menikah dengan Anwar Hafid dan memiliki satu anak.

Angel diangkat Anwar sebagai duta pariwisata Morowali. Artis ini di Jakarta, kerap tampil menampilkan tas-tas berharga selangit seperti Hermes. “Ini investasi.” Begitu dia beralasan.

Dari sekian banyak izin pertambangan itu, sampai 2011,  hanya sekitar 15 pe­rusahaan mulai mengeruk di wilayah izin. “Sisanya, hanya alat jualan para broker tambang,” kata Andika.

Perusahaan yang mendapat kem­udahan konsesi di era Datlin Tamalagi, berpotensi menciptakan kerugian negara, salah satu Bintang Delapan. Tahun 2010, hitungan sederhana produksi nikel Bintang Delapan mencapai 600 ribu ton. Berdasar­kan kapasitas per kapal berjumlah 50 ribu ton dan dikali 12 kali proses pengapalan, Bintang Delapan sudah menelan lahan seluas kurang lebih 20 hektar untuk 12 kali pengapalan.

“Proses itu tidak mendapat pengawalan dan pengawasan ketat dari pe­merintah.”

Sungai dari kawasan hutan yang ditambang mengalir ke laut dan berganti warna orange. Foto: Sapariah Saturi

Sungai dari kawasan hutan yang ditambang mengalir ke laut dan berganti warna orange. Foto: Sapariah Saturi

Salah satu izin tambang nikel di Kecamatan Bahodopi, tetapt di tepi jalan raya. Air galian tambang pun meluber membasahi jalanan. Tak jauh dari jalan, lubang-lubang tambang menganga. Tanpa pembatas. Kini, ditinggalkan begitu saja tanpa reklamasi.  Foto: Sapariah Saturi

Salah satu izin tambang nikel di Kecamatan Bahodopi, tetapt di tepi jalan raya. Air galian tambang pun meluber membasahi jalanan. Tak jauh dari jalan, lubang-lubang tambang menganga. Tanpa pembatas. Kini, ditinggalkan begitu saja tanpa reklamasi. Foto: Sapariah Saturi

 

  

KETIKA menelusuri Kecamatan Bungku Timur dan Bahodopi, lubang-lubang galian tambang, hutan-hutan gundul, sungai-sungai sampai ke laut berwarna orange. Tumpukan ore juga bak gunung-gunung kecil di tepian pantai, di dekat jetty atau pelabuhan masing-masing perusahaan. Ada yang terbuka. Ada ditutupi terpal. Kala hujan, ore-ore itu makin membuat kondisi air di sekitar tercemar.

Alat-alat berat di beberapa perusahaan masih berjejer di parkiran. Ada yang sudah bersih. Tak ada alat berat lagi. Tak ada aktivitas apa-apa. Perusahaan kabur bergitu saja. Brimob maupun sekuriti masih terlihat bagi perusahaan yang belum menarik alat berat.

Sejak Peraturan Presiden mengenai larangan mengekspor mineral mentah per 12 Januari 2014, alat-alat berat yang sehari-hari menggali tanah, memuat ke truk dan diangkut kapal, tak lagi terlihat. Beberapa rumah warga yang biasa dikontrak menjadi kantor perusahaan juga tampak sepi.

Hanya Bintang Delapan masih ada aktivitas pembangunan pabrik smelter. Itupun tak ada produksi, tetapi menimbun pesisir pantai.

Menurut Rifai dari Jatam Sulteng, setelah pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor pertambangan, perusahaan-perusahaan kecil di Morowali ini ikut morotarium. Durasi izin-izin mereka itu bervariasi. Ada berakhir 2015, ada 2029. Lubang-lubang menganga ditinggalkan begitu saja. Parahnya, tak ada upaya reklamasi baik pemerintah maupun perusahaan.

“Alasan mereka, izin belum berakhir. Karena dana reklamasi itu keluar setelah berakhir izin. Akibatnya perusahaan meninggalkan lubang dan hutan rusak. Jadi tak ada kejelasan mengenai reklamasi pasca tambang,” kata Rifai.

Asep Haerudin, kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan Morowali, mengatakan, Dinas Kehutanan hanya sebatas memonitoring rutin kegiatan tambang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Sulteng.

Menurut dia, satu hal mencolok setelah ada tambang, pencurian kayu menjadi tak terkontrol. “Ada tambang, sekarang jalan mulai dibuka dan makin banyak pencurian kayu. Masyarakat bebas masuk ke kawasan hutan.”

Sampai saat ini, Asep merasa tak ada koordinasi sesama dinas. “Kami tak punya data IUP itu. Harusnya dalam mengeluarkan IUP harus terpadu dengan melibatkan dinas lain. Atau minimal ada surat tembusan. Sekarang tidak ada informasi kami dapat. Yang pegang semua hanyalah Dinas ESDM.”

Kendala mereka di lapangan, kebijakan kawasan hutan tak berada di kabupaten. Rekomendasi dari Dinas Kehutanan provinsi. “Kabupaten hanya pengawasan.”

Tumpukan ore di tepian laut di jetty perusahaan, bukan pula menjadi pemandangan biasa terutama di sepanjang Kecamatan Bungku dan Bahodopi, Morowali. Foto: Sapariah Saturi

Tumpukan ore di tepian laut di jetty perusahaan, bukan pula menjadi pemandangan biasa terutama di sepanjang Kecamatan Bungku dan Bahodopi, Morowali. Foto: Sapariah Saturi

Dampak penggalian nikel di hutan dan tumpukan ore di jetty menyebabkan air sungai hingga mengalir ke laut berubah warga. Air tak lagi jernih tapi berwarna orange. Foto: Sapariah Saturi

Dampak penggalian nikel di hutan dan tumpukan ore di jetty menyebabkan air sungai hingga mengalir ke laut berubah warga. Air tak lagi jernih tapi berwarna orange. Foto: Sapariah Saturi

Aneh lagi, katanya, mereka disuruh monitoring sedang dana hanya sampai di provinsi. Peran mereka juga lemah karena wilayah hanya areal penggunaan lain. “Tapi disuruh awasi kawasan hutan lain.”

Untuk Bintang Delapan, katanya, berada di kawasan hutan produksi terbatas. Namun, lagi-lagi, kata Asep, batas kawasan hutan belum jelas karena sulit menentukan.

“Karena kita pun kadang-kadang sudah melintasi kawasan hutan, tapi tidak ada batas di lapangan. Nah, saat giliran mau dibikin batas tidak boleh, karena kewenangan ada pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan.”

Asep punya cerita kala masuk dan mengawasi kawasan hutan. Ketika itu, sekitar 2008-2009, dia bersama rekan kerja di Dinas Kehutanan akan kontrol kawasan hutan. Saat memasuki wilayah kerja Bintang Delapan, Asep ditahan satpam perusahaan. Alasannya, mereka harus melapor dulu ke manajer perusahaan. Padahal itu, wilayah kehutanan.

Setelah kejadian itu, hubungan mereka dengan Bintang Delapan menjadi baik. Setiap Pemerintah Morowali turun lapangan dibantu oleh perusahaan ini.

“Sebenarnya, kalau mau cerita, Dinas Kehutanan yang paling dirugikan karena aktivitas pertambangan. Kawasan banyak hilang.”

Ketika ditanya hutan mangrove sekitar 20 hektar ditimbun Bintang Delapan dalam pembangunan pelabuhan dan tempat pemurnian nikel, kata Asep, semua wilayah alokasi penggunaan lain. “Artinya, dimungkinkan kegiatan lain.”

“Yang jadi pertanyaan, apakah analisis dampak lingkungan sudah ada atau tidak?’ kata Asep.

Sardin, kepala seksi Amdal Badan Lingkungan Hidup Morowali, mengaku tak tahu menahu mengenai amdal pembabatan hutan mangrove buat menjadi pelabuhan. Dia baru menjabat empat bulan.

Pria ini berusia di atas 50-an tahun. Di ruangan kantor itu tak tampak satupun komputer atau labtop maupun mesin ketik. Ruangan bersih, seperti tak ada aktivitas. Sardin, sebelum ini pernah menjadi kepala kelurahan, dan staf di kantor kecamatan.

“Saya ini jarang turun lapangan. Staf saya yang tahu semua, tapi dia tidak masuk hari ini. Setahu saya, semua proses perizinan perusahaan sudah lengkap.”

Namun, soal amdal Bintang Delapan menimbun mangrove, dia tidak tahu persis. “Coba tanya sama kepala dinas saya, dia pasti tahu. Soalnya sejak awal Morowali berdiri jadi kabupaten, sampai sekarang masih menjabat sebagai kepala kantor.”

Djafar Hamid adalah kepala Kantor Lingkungan Hidup Morowali. Hari itu, menurut seorang staf, dia sedang sakit dan tak masuk kantor. Bersyukur tak berapa lama, sang kepala kantor itu muncul.

Jawaban dari Djafar, Bintang Delapan sudah moncer mengurus semua izin. “Dokumen amdal semua sudah sesuai prosedur. Hutan mangrove yang ditimbun Bintang Delapan juga ada kompensasi. Yaitu ditanami kembali mangrove di tempat lain. Yang menanam LSM lingkungan yang didanai perusahaan. Luas sesuai luas yang ditimbun untuk pembangunan pelabuhan perusahaan,” kata Djafar.

Dari sisi izin lingkungan, Bintang Delapan lengkap semua. Begitupun perusahaan-perusahaan lain yang sudah produksi. Namun dia mengakui mungkin ada cacat pada pengelolaan lingkungan karena tak mengikuti dokumen. Salah satu poin dalam dokumen yang tak dijalankan perusahaan terlihat dari banyak lubang-lubang galian tambang ditinggalkan begitu saja.

Aliran sngai dari dalam hutan yang digali, air berubah warna. Apakah ini yang dibilang pejabat lingkungan hidup Morowali, sebagai semua sudah memenuhi aturan? Foto: Sapariah Saturi

Aliran sngai dari dalam hutan yang digali, air berubah warna. Apakah ini yang dibilang pejabat lingkungan hidup Morowali, sebagai semua sudah memenuhi aturan? Foto: Sapariah Saturi

Jalan-jalan tambang menuju hutan yang terbabat di Kabupaten Morowali. Kini, ditinggalkan begitu saja. Foto: Sapariah Saturi

Jalan-jalan tambang menuju hutan yang terbabat di Kabupaten Morowali. Kini, ditinggalkan begitu saja. Foto: Sapariah Saturi

Namun, Djafar seakan memaklumi perusahaan. “Proses reklamasi butuh waktu lama. Dana itu ada yang namanya jaminan reklamasi perusahaan. Namun pelaporan bukan pada Kantor Lingkungan Hidup.”

Perusahaan yang meninggalkan galian itupun, katanya, tidak tutup, hanya berhenti sementara. “Sambil menunggu mungkin ada kebijakan baru.”

Bagi Andika, pernyataan Djafar ini menunjukkan pengeta­huan dan pengawasan jajaran pemerintah Morowali, lemah dalam menjaga lingkungan. Penanaman kembali hu­tan mangrove yang diserahkan pada pihak ketiga oleh Bintang Delapan, ternyata tidak jelas. Proyek itu diper­cayakan pada salah satu “lembaga peduli lingkungan” di Morowali, milik kontraktor lokal bernama Santi.

“Penanaman kembali itu menghasilkan ciri khas proyek yang mewakili kebiasaan buruk kontraktor. Lembaga yang mengaku pecinta lingkungan ini memanipulasi penanaman bakau dengan hanya menanam tangkai bakau di sepanjang Pantai Fatufia.”

Pekerjaan serba manipulasi. Petani yang dipekerjakan sebagian honor­ belum dibayar. Pengusaha muda itu melarikan diri. Dia meninggalkan setumpuk masalah bagi seorang petani setempat yang menjadi orang keper­cayaan.

Para petani sempat mengeluh pada Bintang Delapan, tetapi perusahaan tak mau bertanggung jawab. Alasannya, proyek itu sudah diserahkan kepada pihak ketiga. Anggaran pun sudah diberikan.

Hiruk pikuk persoalan tambang ternyata tak ditangkap cepat oleh DPRD Morowali. Bahkan, para wakil rakyat ini bilang kurang informasi seputar carut marut tambang di kabupaten ini.

Aminudin Awaludin, Wakil Ketua DPRD Morowali, mengatakan, kantor wakil rakyat itu sangat kekurangan informasi. Ketika rapat dengar pendapat, kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, selalu tak bisa hadir dengan alasan tugas ke Jakarta. Sedang yang mewakili hanya kepala bidang, namun tidak bisa menjawab pertanyaan anggota dewan.

“Kami tidak memiliki validasi data yang rinci soal pertambangan di Morowali. Padahal kondisi lapangan tidak sesuai. Sebenarnya sudah dibentuk pansus pertambangan, namun hasil akan diketahui setelah pemilu.”

Aminudin dari Partai Bulan Bintang. Kala di ruang kerja itu, dia tidak sendirian. Salah seorang rekannya, pria berambut cepak, dengan kaos oblong bersimbolkan militer.

“Sebenarnya DRPD Morowali sudah membentuk Perda Pertambangan yang mengatur semua,” kata Aminudin.

Namun Perda Pertambangan yang disebut Aminudin ternyata belum ada. Ni Wayan Endang, staf pegawai di Biro Hukum Kabupaten Morowali mengatakan, belum ada, masih tahap penggodokan. “Masih bentuk rancangan saja.”

Dulu ini adalah sawah warga. Kini, irigasi tak jalan, sungai mengering. jalan air tak lancar lagi setelah jalan tambang beserta jembatan dibagun.  Padipun tak bisa ditanam lagi, hanya rumput dan ilalang yang menenuhi lahan bekas pesawahan di Desa baho Makmur, itu. Foto: Sapariah Saturi

Dulu ini adalah sawah warga. Kini, irigasi tak jalan, sungai mengering. jalan air tak lancar lagi setelah jalan tambang beserta jembatan dibagun. Padipun tak bisa ditanam lagi, hanya rumput dan ilalang yang menenuhi lahan bekas pesawahan di Desa baho Makmur, itu. Foto: Sapariah Saturi

LAPANGAN Marsaoleh di Bungku, penuh oleh manusia pada Rabu sore, 26 Maret 2014. Anak-anak, ibu-ibu, dewasa tua maupun muda, tumpah ruah. Mereka mengenakan kaos seragam berwarna biru.

Di pinggir lapangan terpancang baliho-baliho dengan sketsa-sketsa wajah tersenyum manis. Di arah tribun, berdiri panggung dihiasi bendera-bendera berwarna biru dan salon musik besar. Dari salon itu, bergema musik seolah menuntun manusia-manusia itu berjoget ria.

Tak berapa lama, musik terhenti. Sorak-sorai masih terdengar. Pengeras suara dipandu seorang laki-laki dan perempuan itu lalu memanggil sebuah nama untuk maju ke pentas. Dialah Anwar Hafid, Bupati Morowali. Berpakaian necis. Kemeja putih lengan pendek, celana hitam. Sepatu mengkilat. Kepala terlindung kopiah hitam.

Dia berorasi politik. Ini masa kampanye pemilu legislatif 2014 memasuki pekan ketiga, sebelum masa tenang. Anwar Hafid ketua umum Partai Demokrat di Sulteng.

Anwar melempar senyum. Banyak pendukung mengerumuni.

Keadaan ini selaras dengan Morowali. Banyak investor mengerumuni. Sumber daya alam dan mineral berlimpah. Banyak janji-janji diumbar pemerintah dan pengusaha atas kehadiran mereka: demi kesejahteraan dan kemakmuran warga. Padahal semua itu hanya buaian janji manis. Tak beda dengan janji surga para politikus kala berkampanye. Satu yang pasti, sebagian warga tengah merasakan kesulitan hidup…

Alat berat hilir mudik, dan kapal tongkang pengangkut ore nikel, jadi salah satu hal paling mencolok di Morowali, terutama di Kecamatan Bungku Selatan dan Bahodopi. Foto: Christopel Paino

Alat berat hilir mudik, dan kapal tongkang pengangkut ore nikel, jadi salah satu hal paling mencolok di Morowali, terutama di Kecamatan Bungku Selatan dan Bahodopi. Foto: Christopel Paino


FOKUS LIPUTAN: Morowali di Bawah Cengkeraman Tambang Para Jenderal was first posted on May 12, 2014 at 4:19 am.

Berharap Air Anak-anak Musi Bersih Cemaran

$
0
0

Sungai Sekanak, sudahlah menyempit, dangkal pula. Keberadaan sungai inipun terancam hilang jika tak ada upaya perbaikan. Foto: Taufik Wijaya

Palembang itu kota air. Sayangnya, kondisi anak Sungai Musi, menyedihkan. Sebagian besar air sungai-sungai itu berwarna hitam atau coklat pekat. Berbau tidak sedap, penuh lumpur dan sampah. Jangankan sebagai sumber air bersih, buat sarana transportasi pun tak bisa lagi. Masih mungkinkah berharap anak-anak Sungai Musi kembali bersih?

Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Selasa (6/5/14) mengatakan, pencemaran anak sungai itu karena limbah rumah tangga, limbah pasar, hotel, industri rumah tangga, sampai limbah rumah sakit.

Kondisi tambah parah, karena anak sungai sudah menyempit, dangkal dan panjang berkurang. Bahkan, ada anak sungai hanya tinggal 200 meter,  sebagai dampak penimbunan.

Jika dibandingkan masa kolonial Belanda, jauh beda. Masa itu, tercatat 316 anak Sungai Musi mengalir di Palembang. Air jernih hingga bisa menjadi sumber air bersih. Bahkan menjadi sarana transportasi. Hingga 1970-an, air anak Sungai Musi ini masih sebagai sumber air bersih.

Selain limbah, air anak Sungai Musi buruk didorong penimbunan rawa dan drainase tidak bagus. Rawa sebagai daerah resapan di Palembang, kian habis. Sebagai lokasi perumahan, perkantoran, dan rumah toko. Di bawah 2005, luas rawa di Palembang sekitar 200 kilometer persegi. Kini tersisa 58,34 kilometer persegi. Dari luasan rawa ini, semua bukan lagi alami. Melainkan rawa konservasi, budidaya dan reklamasi. Rawa konservasi 2.106 hektar, budidaya 2.811 hektar dan reklamasi 917 hektar.

Sedang drainase, tempat penyaluran limbah cair juga buruk. Selain sempit, dinding rusak, dan tidak sesuai kapasitas pembuangan limbah cair. Ia juga dipenuhi limbah padat seperti plastik.

Kerusakan drainase ini dibenarkan pemerintah Palembang. Pada 2011, 40 persen dari 2.000 kilometer panjang drainase di Palembang memprihatinkan. Penyebabnya, endapan lumpur maupun dinding rusak.

Air buruk mengalir ke induk, hingga kualitas air Sungai Musi sekitar 622 kilometer, terus menurun.

Namun, kata Hadi, kualitas air Sungai Musi ini bukan hanya kualitas air dari anak sungai. Berbagai aktivitas industri, pertambangan batubara, perkebunan sawit, HTI, di hulu Sungai Musi, juga pemicu.

Dari luas Sumatera Selatan 8,7 juta hektar, luasan konsensi pertambangan, 2,7 juta hektar, HTI 1,3 juta hektar, perkebunan sawit 1 juta hektar.

Heni Kurniawati, Kepala Bidang Pengendalian, Pencemaran Lingkungan (P2L) BLH Palembang, menyebutkan, ada 11 titik mengalami penurunan kualitas air. Ke-11 titik ini antara lain di Jembatan Ampera, Pulokerto, Gandus, dan Sei Selayur.

Akibatnya, air Sungai Musi sebagai sumber bahan baku untuk PDAM Tirta Musi, harus bekerja dua kali dari sebelumnya. “Untuk menghasilkan kualitas air normal,  harus pengelolaan lagi.”

Pantauan terhadap kualitas air baku di Sungai Musi oleh BLH setiap tahun pada Maret, Juni, September dan November.  Juga pemantauan sembilan anak sungai di Palembang, seperti Sungai Bendung, Lambidaro dan lain-lain.

Pada 2013, BLH memantau 14 titik di Sungai Musi serta di sembilan anak sungai. Berdasarkan uji laboratorium, PH dari contoh air dari Sungai Musi, masih normal berkisar 6-9. Namun, kualitas baku mutu agak berkurang, karena zat seperti BOD, COD, dan fosfat. “Ini akibat limbah domestik, seperti limbah cair dan diterjen.”

Sebelumnya, para penduduk di wilayah yang terjadi penurunan, seperti Gandus, ternyata banyak penderita diare saat musim penghujan atau kemarau. Setiap tahun ribuan warga Gandus diare.

Gema Asiani, kala menjabat Kepala Dinas Kesehatan Palembang pada 2011, menyatakan, wilayah pemukiman di Palembang yang rentan diare yakni Gandus dan Makrayu.

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Palembang pada awal 2013, tercatat puluhan warga terserang penyakit demam berdarah (DBD) dan puluhan ribu terserang penyakit saluran pernapasan. Jika diperhatikan para penderitanya sebagian besar di wilayah dengan kualitas air buruk.

Sungai Musi, sebagai pusat dari anak-anak sungai mengalami beragam masalah. Dari pencemaran dampak sampah, pendangkalan sampai polusi zat kimia seperti amoniak. Foto: Taufik Wijaya

Guna memperbaiki kualitas air Sungai Musi, Walhi Sumsel menyarakan beberapa langkah. Langkah ini sebaiknya serempak seperti rehabilitasi hutan, penghentian berbagai penambangan batubara. Lalu, menghentikan alih fungsi hutan, pengolahan limbah industri yang baik, penataan anak Sungai Musi, drainase, pengolahan limbah domestik yang baik. Kemudian, menjaga keberadaan rawa, gambut, penanaman pohon atau penghijauan di sekitar anak sungai dan rawa tersisa.

“Dengan beberapa langkah ini, impian kita mengembalikan kejernihan air anak Sungai Musi mungkin akan terwujud,” kata Hadi.

Perda Produsen Harus Pungut Sampah

Khusus sampah domestik, Hadi tidak setuju jika sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat. Berdasarkan UU Sampah No.18 tahun 2008, para produsen harus bertanggungjawab terhadap sampah produknya.

“Karena itu, industri banyak menghasilkan sampah seperti mi instan atau minuman kaleng dan plastik, harus memungut kembali sampah itu. Misal, perusahaan membuat petugas yang memungut kembali sampah di lingkungan.”

Mengenai pengaturan, pemerintah Palembang dapat melahirkan peraturan daerah mengenai pengelolaan sampah perusahaan.

Volume sampah Palembang terus meningkat. Saat ini volume sampah diperkirakan lebih 600 ton per hari. Pada akhir 2013, menurut Mahbuk, sekretaris Dinas Kebersihan Palembang, sampah mencapai 600 ton per hari. Warga Palembang yang berjumlah 1,6 juta, berpotensi menyumbangkan 0,5 kilogram sampah per hari.

Sri Lestari Kadaria, ketua Himpunan Masyarakat Peduli Sungai, Rawa dan Gambut (Man-Peduli), mengatakan, pemerintah harus memperhatikan pengolahan limbah di rumah sakit, hotel dan pasar. “Pemerintah harus memastikan pengolahan limbah rumah sakit, hotel dan pasar tertata baik.”

Khusus limbah padat, dari pasar dan hotel, pemerintah harus mendorong tempat pengelolaan mandiri. Terbaik jika memberikan dampak positif bagi masyarakat, seperti mengolah sampah menjadi pupuk.

Mengenai sampah, pemerintah Palembang menjawab dengan program pengolahan sampah menjadi listrik. Bekerjasama dengan PT Gikoko Kogyo, sejak Maret 2014, sebanyak 120 keluarga bermukim di TPA Sukawinatan, Palembang, menikmati aliran listrik dari sampah menjadi gas metan. Energi listrik kekuatan 120 kilo watt, bakal ditingkatkan menjadi 500 kilo watt.

Romi Herton, Walikota Palembang mengatakan, program ini selain mengatasi sampah, juga upaya penangkapan gas metan untuk mengurangi dampak pemanasan global.

Guna mengantisipasi banjir dan genangan air, hingga 2014 pemerintah Palembang membangun 26 kolam retensi. Keberadaan kolam retensi diklaim menurunkan titik genangan atau banjir, seperti pada 2013 dari 32 titik turun menjadi 12 titik.

Pemerintah Palembang juga  menormalisasi anak sungai, misal Sungai Sekanak dan Bendung, dan perbaikan drainase pada titik yang sering menjadi genangan air.

Dibantu AusAID

Pemerintah Palembang mendapat bantuan AusAID untuk membangun instalasi penglolaan air limbah) dan jaringan perpipaan air limbah, melalui proses kriteria seleksi Metropolitan Sanitation Management and Investment Program.

Tujuan bantuan ini,  menjaga kualitas dan kuantitas anak Sungai Musi yang melintasi Palembang yang tercemar, salah satu dari air limbah domestik, dan meningkatkan kesehatan lingkungan masyarakat.

Pemerintah Indonesia memperoleh hibah pemerintah Australia US$190 juta, untuk IPAL dan jaringan perpipaan US$30 juta.

 


Berharap Air Anak-anak Musi Bersih Cemaran was first posted on May 12, 2014 at 3:47 pm.

Wilayah Adat Patalassang Longsor, Puluhan Hektar Sawah Hancur

$
0
0
Longsor menghancurkan puluhan hektar sawah dan kebun di Dusun Patalassang, Desa Pao, Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Longsor menghancurkan puluhan hektar sawah dan kebun di Dusun Patalassang, Desa Pao, Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Senin (12/5/14), sekitar pukul 03.30, longsor melanda kawasan adat Patalassang di Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Peristiwa ini akibat hujan deras melanda daerah pegunungan itu dalam beberapa jam.

Puluhan hektar sawah dan kebun warga hancur terbawa air dan lumpur. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.“Ini longsor terbesar di Patalassang,” kata Muhlis Paraja, tokoh masyarakat Patalassang kepada Mongabay.

Dia mengatakan, sebelum longsor, hujan sangat deras dibanding biasa. Sesekali terdengar petir menggelegar keras. Dia mencium bau lumpur menyengat. “Bau lumpur terasa tercium dan itulah yang membangunkan warga.”

Menurut Muhlis, sebagian besar sawah dan kebun terdampak berada di bantaran Sungai Salassara. Topografi kawasan di ketinggian antara 700-1500 dpl ini curam hingga rawan longsor.

Kini, sekitar 300 warga di daerah itu diungsikan ke rumah Ketua RW.“Warga kami ungsikan, meskipun sebagian besar rumah masih utuh. Hanya satu rumah hancur bagian belakang, kebetulan paling dekat lokasi.”

Longsor juga menghancurkan dua jembatan utama, termasuk turbin Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) dan satu mobil angkutan milik desa.

“Turbin dan mobil sampai saat ini belum diketahui. Kami baru menemukan pintu mobil sudah hancur.” Kerusakan lain proyek perbaikan jalan setapak desa terganggu.

Setelah longsor, warga bahu membahu mengevakuasi warga lain terkena dampak. Aparat desa dan kecamatan mengerahkan bantuan mengantisipasi longsor susulan.

Patalassang merupakan kawasan masyarakat adat di Gowa, di pegunungan Bowong Langi. Ada 700-an warga bermukim di kawasan ini, sebagian besar hidup dengan tata cara adat.

Berada di ketinggian membuat pertanian di daerah ini dikelola bertingkat dengan pengairan selain hujan juga Sungai Salassara. Keasrian sungai ini masih terjaga.

Longsor di kawasan adat Patalassang, murni bencana karena kecuraman tanah. Hutan dan sungai mereka terjaga baik. Foto: Wahyu Chandra

Longsor di kawasan adat Patalassang, murni bencana karena kecuraman tanah. Hutan dan sungai mereka terjaga baik. Foto: Wahyu Chandra

Kepemilikan sawah di kawasan ini dikelola kolektif dan berdasarkan hak guna usaha dan digilir setiap tahun.

Muhlis menampik kemungkinan bencana karena hutan rusak. Selama ini, masyarakat aktif menjaga hutan. “Ini murni bencana bukan dampak hutan rusak. Kami masih terjaga hutan dengan baik.”

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel segera merespon longsor ini dengan mengirimkan tim ke lokasi. Sardi Rasak, Ketua AMAN Sulsel mengatakan, masyarakat adat ini dampingan AMAN.

Dalam setahun terakhir, Patalassang tengah mengembangkan pertanian organik, baik persawahan maupun perkebunan.

Hampir bersamaan, lonsgor juga terjadi di Kabupaten Sinjai, Sulsel. Tepatnya di Jalan Poros yang menghubungkan antara Kecamatan Sinjai Barat dengan Malino, Gowa. Sepanjang jalan tidak bisa dilalui kendaraan. Puluhan mobil tertahan di dua sisi jalan di lereng gunung ini.

Menurut Asmar Exwar, Direktur Walhi Sulsel, longsor di kedua daerah ini murni bencana bukan karena perambahan hutan. Struktur lahan curam dan berada di ketinggian.

“Perlu segera pendampingan khusus berbasis komunitas mengantisipasi kerentanan wilayah longsor.”

Jadi, sudah saatnya komunitas adat Patalassang mengidentifikasi titik-titik kerentanan di sana. “Ini dapat dilakukan komunitas-komunitas lain, termasuk di Sinjai Barat, khusus DAS Tangka, yang membelah Gowa dan Sinjai,” kata Asmar.

Turbin PLTMH, yang menjadi sumber listrik di daerah ini, turut hancur dan hilang tak berbekas.  Foto: Wahyu Chandra

Turbin PLTMH, yang menjadi sumber listrik di daerah ini, turut hancur dan hilang tak berbekas. Foto: Wahyu Chandra


Wilayah Adat Patalassang Longsor, Puluhan Hektar Sawah Hancur was first posted on May 12, 2014 at 11:12 pm.

Puting Beliung Rusak 50 Rumah di Deli Serdang

$
0
0
Salah satu rumah di Desa Suderejo, Deli Serdang yang mengalami kerusakan terkena puting beliung, Selasa dinihari. Foto: Ayat S Karokaro

Salah satu rumah di Desa Suderejo, Deli Serdang yang mengalami kerusakan terkena puting beliung, Selasa dinihari. Foto: Ayat S Karokaro

Puting beliung Selasa dinihari (13/5/14), menyebabkan sekitar 50 rumah rusak. Setidaknya, 11 orang mengalami luka-luka. Puluhan rumah rusak, terdapat di empat desa, yakni Desa Jaba, Sidorejo, Ujung Labuhan dan Namu Belin, Kecamatan Namurambe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut).

Muktar Anwar, warga Sidemorejo, Namurambe, mengatakan, kejadian ini kali kedua dan paling parah. Ketika angin kencang datang dengan gemuruh cukup kuat, dia tertidur pulas. Namun, ketika puting beliung menerbangkan seng rumah, dia dan keluarga tersentak dan berhamburan menyelamatkan diri.

Warga histeris. Anak-anak menangis. Perempuan berteriak minta tolong. Suara kentungan bambu tanda bahaya terdengar bersahut-sahutan di empat desa ini. “Saya langsung menggendong cucu dan istri keluar rumah. Seng rumah kami terbang dibawa angin,” kata Muktar.

Kamelia, warga desa harus dilarikan ke rumah sakit karena tertimpa puing rumah di badan dan kaki. Kaki kiri 30 jahitan koyak terkena seng dan tertimpa bangunan atas rumah.

Damanik, suaminya, juga luka memar di pundak, terkena puing rumah. Namun tidak separah Kamelia.

Putranto, mengalami luka pada punggung, badan, kepala dan kaki. Dia tertimpa reruntuhan rumah kala menyelamatkan anaknya, yang menangis menyaksikan atap rumah berjatuhan.

Hingga Selasa sore, belum ada bantuan dari Pemerintah Deli Serdang. Warga mulai membersihkan rumah yang roboh. Warga lain ikut membantu.

Tak hanya rumah, kebun warga juga rusak parah. Kebun jagung, cabai, kentang, dan sayur mayur rusak parah sekitar lima hektar.

Subandi mengatakan, angin merusak jagung dan kacang panjangnya.  “Kuat kali anginnya, rusak semua…”

 

 


Puting Beliung Rusak 50 Rumah di Deli Serdang was first posted on May 13, 2014 at 2:40 pm.

Direktur Kalista Alam Hanya Dituntut 10 Bulan, Aktivis Kecewa

$
0
0

Papan peringatan bahaya kebakaran di lahan gambut yang dikeringkan di perkebunan sawit PT Kalista Alam di Tripa. Foto: Chik Rini

Subianto Rusyid, direktur PT Kalista Alam, hanya dituntut 10 bulan dan denda Rp150 juta, subsider tiga bulan penjara atas kejahatan membuka lahan tanpa izin di Rawa Tripa, Aceh. Pada Januari 2014, dalam gugatan perdata perusahaan ini divonis membayar ganti rugi Rp366 miliar lebih karena terbukti membakar lahan.

Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Meulaboh (6/5/14), JPU Rahmat Nur Hidayat mengatakan, Subianto lalai tak mengontrol bawahan hingga terjadi pembukaan lahan tanpa izin.

Kasus pembukaan lahan ini terkait izin usaha perkebunan budidaya dikeluarkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada 2011 seluas 1.605 hektar kepada Kalista. Saat itu, Kalista membuka lahan dengan membakar dan dijerat perdata dan pidana kejahatan lingkungan. “IUP-B masih proses, tanpa menunggu perusahaan telah membuka lahan,” kata Rahmat.

Subianto dan dua manajer juga menjalani persidangan lain terkait pidana pembakaran lahan. Persidangan pembukaan lahan tanpa izin dipimpin Hakim Ketua Arman Surya Putra.

Kalangan aktivis lingkunganpun kecewa tuntutan ini. Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) menilai, tuntutan jaksa terlalu ringan dibandingkan kerusakan pasca pembukaan lahan. “Dampak ekologis diabaikan dalam penegakan hukum lingkungan. Tuntutan itu, sama sekali belum memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan lingkungan,” kata Fadila Ibra, juru bicara TKPRT.

Menurut dia, tuntutan JPU sangat ringan dibandingkan hukuman dalam UU Perkebunan, maksimal lima tahun penjara dan denda Rp2 miliar.

Tim ini meminta, Pemerintah Aceh menetapkan kawasan 1.605 hektar eks IUP-B Kalista menjadi kawasan konservasi daerah. Sebab, sejak pencabutan IUP-B dari akhir 2011 belum ada tindaklanjut dari pemerintah daerah. “Ini khawatir menjadi sumber konflik baru, masyarakat datang mengelola kawasan yang berperkara itu.”


Direktur Kalista Alam Hanya Dituntut 10 Bulan, Aktivis Kecewa was first posted on May 13, 2014 at 3:55 pm.
Viewing all 3867 articles
Browse latest View live