Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3881 articles
Browse latest View live

Gajah Dibunuh, Gading Dijual Rp2,5 Juta, Polisi Tetapkan 11 Tersangka

$
0
0
Kepolisian Resort (Polres) Aceh Barat menangkap 11 orang yang diduga pelaku pembunuhan gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di hutan berjarak […]
Gajah Dibunuh, Gading Dijual Rp2,5 Juta, Polisi Tetapkan 11 Tersangka was first posted on April 16, 2014 at 6:56 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Pensiunan TNI AL Piara Kasuari, Mau Disita, Satwa Raib dari Kandang

$
0
0
Patroli tumbuhan dan satwa liar (TSL) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) bersama Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki (PPST) serta Yayasan […]
Pensiunan TNI AL Piara Kasuari, Mau Disita, Satwa Raib dari Kandang was first posted on April 17, 2014 at 8:41 am.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Belajar dari Kampung Organik di Desa Salassae

$
0
0
Siang itu, awal April 2014, cuaca panas terik. Setelah melewati jalanan rusak dan berdebu, saya tiba di Desa Salassae, Kecamatan […]
Belajar dari Kampung Organik di Desa Salassae was first posted on April 17, 2014 at 5:18 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Baru Siap Lahan 500 Hektar, Relokasi Pengungsi Sinabung Berlarut-larut

$
0
0
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Selasa (8/4/14), menurunkan status Gunungapi Sinabung, di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, dari awal […]
Baru Siap Lahan 500 Hektar, Relokasi Pengungsi Sinabung Berlarut-larut was first posted on April 18, 2014 at 11:38 am.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Bangun Kawasan Industri dan Wisma Negara, Nelayan Makassar Diusir, Kampung Dihancurkan

$
0
0
Rencana Pemerintah Sulawesi Selatan (Sulsel) membangun Center Point Indonesia (CPI) di kawasan Delta Tanjung Makassar, menyisakan sejumlah masalah. Salah satu, […]
Bangun Kawasan Industri dan Wisma Negara, Nelayan Makassar Diusir, Kampung Dihancurkan was first posted on April 18, 2014 at 6:13 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Hukum Lingkungan di Indonesia versus Brazil, Ini Bedanya…

$
0
0
“UU Lingkungan Hidup tidak akan selamat kalau rule of law tidak ada.” Begitu dingkapkan Antonio Herman Benyamin, ahli hukum lingkungan […]
Hukum Lingkungan di Indonesia versus Brazil, Ini Bedanya… was first posted on April 20, 2014 at 10:19 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Tewas Terjerat Pukat, Buaya Muara di Paloh Dimakamkan Layaknya Manusia

$
0
0
Buaya muara dimakamkan layaknya manusia. Begitulah yang terjadi di Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar), Jumat (18/4/14). Kala itu, […]
Tewas Terjerat Pukat, Buaya Muara di Paloh Dimakamkan Layaknya Manusia was first posted on April 20, 2014 at 11:15 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Hutan Register 40 Masih Dikuasai Torganda, Kejati Sumut Belagak Bingung

$
0
0
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) mengklaim, sudah mengeksekusi lahan seluas 47 ribu hektar di Kabupaten Padang Lawas, yang dikelola […]
Hutan Register 40 Masih Dikuasai Torganda, Kejati Sumut Belagak Bingung was first posted on April 21, 2014 at 3:38 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Kala Hutan dan Gambut di Sumsel Terancam Pembentukan Kabupaten Baru

$
0
0
Kabupaten baru di Sumatera Selatan (Sumsel) tengah diusulkan. Namanya Kabupaten Pantai Timur. Ia pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). […]
Kala Hutan dan Gambut di Sumsel Terancam Pembentukan Kabupaten Baru was first posted on April 21, 2014 at 5:57 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Aksi di Hari Bumi, dari Bola Dunia Raksasa sampai Teatrikal Tolak Tambang di Kali Gulung

$
0
0
Berbagai gawe digelar memperingati Hari Bumi pada 22 April 2014 sebagai bentuk kepedulian sekaligus  keresahan terhadap eksploitasi bumi dan isinya. […]
Aksi di Hari Bumi, dari Bola Dunia Raksasa sampai Teatrikal Tolak Tambang di Kali Gulung was first posted on April 22, 2014 at 10:39 pm.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Menteri Iklim Norwegia Pantau REDD+ di Kalteng

$
0
0
Tine Sundtoft, Menteri Iklim dan Lingkungan Hidup Norwegia akan memantau langsung pelaksanaan REDD+ di provinsi percontohan, di Kalimantan Tengah (Kalteng), […]
Menteri Iklim Norwegia Pantau REDD+ di Kalteng was first posted on April 23, 2014 at 12:00 am.
©2013 "Mongabay.co.id". Use of this feed is for personal non-commercial use only. If you are not reading this article in your feed reader, then the site is guilty of copyright infringement. Please contact me at rab@mongabay.com

Sebagian Hutan Sibayak Gundul, Pemerintah Dinilai Tak Serius Jaga Hutan

$
0
0
Berpakaian kebaya, 13 mahasiswi dari Mapala UMSU memperingati Hari Bumi dan Hari Kartini dengan melihat kondisi Gunung Sibayak. Foto:  Ayat S Karokaro

Berpakaian kebaya, 13 mahasiswi dari Mapala UMSU memperingati Hari Bumi dan Hari Kartini dengan melihat kondisi Gunung Sibayak. Foto: Ayat S Karokaro

Dalam gelaran Hari Bumi yang digagas Walhi Sumsel meminta pemerintah menghentikan kebijakan yang membunuh masa depan.

Hutan tampak hancur di sana-sini. Gundul. Sampah plastik pun berserakan di kawasan hutan lindung ini. Itulah kondisi Gunung Sibayak, Sumatera Utara (Sumut). Pemandangan ini ditemui kala 13 perempuan muda berkebaya yang tergabung dalam Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (Mapala UMSU), mendaki gunung dengan ketinggian 2.094 meter dari permukaan laut ini pada 22 April 2014. Aksi mereka ini memperingati Hari Kartini sekaligus Hari Bumi.

Kerusakan terbesar akibat ulah manusia menebang hutan dan menjual kayu di kawasan hutan lindung yang masuk dalam Taman Hutan Raya ini.

Mereka sedih menyaksikan hutan gundul, dan penebangan liar terus berjalan. “Daun hijaupun sudah terus berkurang dan tergerus perambah hutan. Hutan gundul ditebangi, hutan Sibayak sudah jorok akibat pembuangan sampah sembarang oleh pendaki musiman. Ini harus segera disikapi serius, ” kata Sinta Ayu, yang biasa disapa Muacil kepada Mongabay.

Dia menyatakan, harus ada sikap serius pemerintah menjaga hutan, dalam hal ini Kementerian Kehutanan. “Pencuri sebatang kayu dihukum berat. Perambah dan perusak hutan diberi hukuman ringan. Ini tak adil, kami mengecam itu.”

Dia berharap, penegak hukum memberikan tindakan tegas. Bagi pelaku penebangan liar harus diberi hukuman maksimal. “Kita harus bersama-sama berteriak menolak perusakan hutan. Bukan sebaliknya, mendukung, naik gunung melihat hutan dibabat harus dilawan, bukan malah membuang sampah plastik sesuka hati.”

Zulbariah, Ketua Gema Mahasiswa Pecinta Alam, Institut Teknologi Medan (GMPA ITM), mengungkapkan hal sama.

Hingga akhir 2013, sudah ratusan hektar hutan di Sumut hancur. Sejak 1988, organisasinya bersama Mapala Se-Indonesia, mengumpulkan data, mencari fakta, menganalisa dan mengajukan ke nasional, dengan harapan menyelamatkan bumi Indonesia. “Pengajuan kami tidak digubris.”

Mereka survei dari Tapanuli Selatan sampai Sibolangit. Lengkap, data, dokumentasi, dirangkum ke dalam sebuah berita acara. “Kami sampaikan temuan itu pada para pemegang kebijakan. Hasilnya nihil. Pantas, bangsa ini makin lama makin kehilangan hutan. Ini hanya akibat cara tanggap tentang masalah. Ini perkara persepsi, perkara beda cinta, beda prioritas, ” katanya.

Mahasiswa ini memperingati Hari Kartini dan Hari Bumi di Puncak Sibayak. Foto: AYat S Karokaro

Mahasiswa ini memperingati Hari Kartini dan Hari Bumi di Puncak Sibayak. Foto: AYat S Karokaro

Senada disampaikan Fik Sagala, aktivis lingkungan dari Angkatan Komunikasi Olah Nalar Alam Kehidupan (Akonak) Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan (STIKP) Medan.

Menurut Fik, dari pendataan, akibat eksplorasi hutan yang menggila, kerusakan begitu parah, satwa hilang dan penyelundupan kayu dari hutan lindung terus terjadi tanpa berhasil ditangkap atau memang sengaja dibiarkan.

“Bagaimana kita lihat masyarakat adat berjuang sendiri, mempertahankan tanah adat dan hutan adat agar tidak dirusak. Salah satu masyarakat Pandumaan-Sipituhutan di Humbang Hasundutan, di Simalungun, di Mandailing Natal, di Tapanuli Selatan. Ada yang sampai meninggal dunia, ditangkap dan di kriminalisasi.”

“Lantas, apakah legislatif bersikap? Tidak. Itu tidak mereka lakukan, bahkan diduga terlibat, termasuk pemerintah, salah satu contoh mantan Gubernur Riau Rusli Zainal.”

Di Palembang, anak muda dari sejumlah kampus dan organisasi penggiat lingkungan hidup memperingati Hari Bumi digelar Walhi Sumsel bertema “Hentikan Kebijakan Pembangunan yang Membunuh Masa Depan Bumi.” Ada teaterikal, pembacaan puisi dan orasi.

“Kita harus bersatu buat mengingatkan pemerintah dalam menjalankan pembangunan. Hampir semua kebijakan pembangunan mengancam lingkungan hidup, membunuh masa depan Bumi,” kata Nurul dari FKIP Universitas Sriwijaya.

Dede Chaniago, aktivis lingkungan, membacakan puisi “Truk-Truk Jatuh dari Langit.” Sebuah puisi mengenai eksplorasi batubara di Sumsel. Lalu Darto Marelo membacakan puisi spontan, mengungkapkan protes terhadap pemerintah yang tidak peduli persoalan lingkungan hidup.

Dalam pernyataan tertulis Walhi Sumsel mengatakan, akibat kebijakan pemerintah Sumsel yang tidak peduli lingkungan hidup, luas daerah ini 8,7 juta hektar lebih banyak diberikan kepada perusahaan dibandingkan rakyat. Sebagian besar perusahaan asing. Misal, HTI 1,3 juta hektar, pertambangan 2,7 juta hektar.

Rakyat Sumsel sekitar 7,6 juta hanya mendapatkan lahan 0,3 hektar dari 2,3 juta hektar yang belum berkepemilikan. Padahal standar rakyat sejahtera minimal mendapatkan 4 hektar.

Lalu, kebijakan itu menimbulkan pencemaran sungai dan ruang terbuka hijau (RTH) hilang, serta bencana longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan gambut, serta kesehatan masyarakat.

Hari Bumi di Palembang, yang meminta pemerintah tak membuat kebijakan yang membunuh masa depan. Foto: Taufik Wijaya

Hari Bumi di Palembang, yang meminta pemerintah tak membuat kebijakan yang membunuh masa depan. Foto: Taufik Wijaya


Sebagian Hutan Sibayak Gundul, Pemerintah Dinilai Tak Serius Jaga Hutan was first posted on April 23, 2014 at 11:59 pm.

Geothermal Chevron Dinilai Tak Transparan, Warga Lereng Ciremai Ngadu ke Komnas HAM

$
0
0
Seratusan warga dari lereng Gunung Ceremai yang mengadu ke Komnas HAM karena desa meraka akan masuk dalam wilayah kerja eksplorasi geothermal Chevron. Padahal, sampai hari ini mereka tak mendapatkan informasi ataupun sosialisasi mengenai itu. Proyek terkesan diam-diam. Foto: Indra Nugraha

Seratusan warga dari lereng Gunung Ceremai yang mengadu ke Komnas HAM karena desa mereka akan masuk dalam wilayah  eksplorasi geothermal Chevron. Padahal, sampai hari ini mereka tak mendapatkan informasi ataupun sosialisasi mengenai itu. Proyek terkesan diam-diam. Foto: Indra Nugraha

Seratusan warga lereng Gunung Ciremai tergabung dalam Gerakan Massa Pejuang untuk Rakyat (Gempur)  mendatangi Komnas HAM di Jakarta, Senin  (21/4/14). Kedatangan mereka untuk mengadukan keberatan atas rencana eksplorasi geothermal oleh Chevron di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Jawa Barat. Mereka khawatir eksplorasi panas bumi ini akan mengancam kampung mereka.

“Proses diam-diam. Termasuk dalam  penentuan wilayah pertambangan. Tanpa melibatkan masyarakat. Mestinya sosialisasi dilakukan di wilayah yang terkena dampak. Sampai sekarang masyarakat tak diberi tahu. Kami justu mendapatkan bocoran  data-data mengenai ini dari pihak lain,” kata Okki Satrio, koordinator Gempur.

Eksplorasi geothermal di Jabar mulai mengemuka ketika Ahmad Heryawan berbicara dalam seminar energi panas bumi di Bali 3 April 2006. Saat itu, lelaki yang akrab disapa Aher mengatakan rencana mengeksplorasi geothermal di beberapa daerah di Jabar.

“ Otoritas desa selalu mengatakan itu isu. Tapi kami punya dokumen sampai notulensi penentuan wilayah pertambangan. Ini data bukan isu yang dibikin-bikin. Berita acara, notulensi akan kami berikan kepada Komnas HAM  agar bisa ditindaklanjuti.”

Selama ini, Pemerintah Jabar terkesan menutup-nutupi. Banyak warga Kuningan belum mengetahui rencana eksplorasi geothermal di sana. Awalnya, kata Okki, geothermal tidak boleh ada di kawasan konservasi. Namun UU Panas Bumi sedang direvisi. Nanti bisa masuk ke taman nasional. Mereka tidak mengatakan geothermal sebagai aktivitas pertambangan. “Kalau revisi ini berhasil, kami menuding Chevron berada di balik semua ini. Kami juga menuding dikeluarkannya kami dari kawasan hutan itu ada Chevron di belakangnya.”

Eksplorasi geothermal di Jabar pernah dilakukan di Kamojang. Perbatasan antara Kabupaten Bandung dan Garut. Okki mengatakan kondisi berbeda dengan Kuningan.“Di Kamojang letak jauh dari pemukiman warga. Di Kuningan berada di dalam perkampungan. Desa kami terancam.”

Pada 20 Oktober 2010, Pemerintah Jabar rapat bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dinas ESDM Jabar dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC) membahas batasan wilayah kerja pertambangan (WKP). Hasil rapat itu menyepakati luasan WKP 23.646,27 hektar di Kabupaten Kuningan dan 642,48 hektar di Kabupaten Majalengka. “Seluruh WKP di luar konservasi BTNGC. Artinya luas WKP berada di lahan masyarakat.”

Kabupaten Kuningan merupakan daerah dengan sumber energi geothermal melimpah. Setidaknya, ada tiga titik panas bumi di Kabupaten Kuningan. Yakni di Sangkanhurip dengan potensi 80 MWE, Ciniru 70 MWE dan Pajambon 150 MWE.

Pada 19 Oktober 2010,  Jabar mengeluarkan surat edaran pemberitahuan sosialisasi eksplorasi geothermal. Namun warga mengaku hingga kini sosialisasi tak pernah dilakukan. “Sampai saat ini tidak ada sosialisasi komprehensif. Kalau pun ada hanya di empat desa. Mayoritas masyarakat Kuningan tidak mengetahui. Karena itu kami sepakat menolak eksplorasi geothermal,” kata Okki.

Warga lereng Gunung Ceremai aksi protes dan mengadu ke Komnas HAM atas rencana geothermal Chevron yang terkesan sembunyi-sembunyi dari warga. Foto: Indra Nugraha

Warga lereng Gunung Ceremai aksi protes dan mengadu ke Komnas HAM atas rencana geothermal Chevron yang terkesan sembunyi-sembunyi dari warga. Foto: Indra Nugraha

Dia mengatakan, dari 162 desa terkena dampak, hanya empat desa dilakukan sosialisasi. Itu pun hadir hanya perwakilan. Chevron tak sosialisasi tetapi Dinas Sumber Daya Air dan Pertambangan Kuningan dan Jabar.

Aher mengeluarkan SK Nomor 540/kep.1269-Dis-ESDM/2011 tentang panitia lelang wilayah kerja pertambangan panas bumi Gunung Ciremai. Saat lelang, hanya diikuti dua perusahaan asing. Yaitu PT Hitai dari Turki dan Chevron, Amerika. Chevron menang dengan penawaran tertinggi  US$ 9,7 cent per KWH.

Ahmari, warga Desa Sukamukti, Kecamatan Jalaksana mengatakan, awalnya Gunung Ciremai itu dikelola rakyat. Ketika menjadi taman nasional rakyat dibatasi. Sekarang, dengan geothermal ini rakyat akan makin dibatasi.

“Ada isu kami mau direlokasi ke Kalimantan. Padahal di wilayah  Kuningan, kami sudah makmur. Sudah tidak usah dibagi hasil lagi dengan asing.”

“Ini mengorbankan tenaga kerja atau orang penggarap lahan di desa masing-masing. Sekarang ada dalih bagi hasil antara Chevron dengan Kuningan untuk kesejahteraan masyarakat. Sebenarnya dengan hasil sayur kesejahteraan masyarakat sudah mencukupi,”kata Ahmari.

Selama ini, masyarakat Gunung Ciremai penyuplai sayur untuk Cirebon.  Masyarakat bergantung pada hasil tani dan kebun. Seharusnya, pemerintah bisa memperhatikan hal ini.

“Diganti berapa pun kami tidak mau. Jelas yang namanya eksplorasi akan merusak. Tak mau nasi jadi bubur. Saya akan mempertahankan wilayah saya. Semua warga sepakat menolak. Kami tidak ingin dininabobokan. Kami mohon Komnas HAM menulusuri kontrak itu.”

Sebelumnya 3 April 2014, alim ulama se-Cirebon menggelar pertemuan di Pondok Pesantren Buntet.  Pertemuan itu mengeluarkan fatwa eksplorasi geothermal di Gunung Ciremai adalah haram. Sebab, lebih banyak dampak buruk dan mengganggu ekologi serta kehidupan masyarakat.

“Masyarakat khawatir ada eksplorasi  geothermal ini akan mengakibatkan debit air dan kualitas air menurun. Kami juga khawatir gempa tektonik. Relokasi sangat memberatkan warga. Kami sepakat menolak,” kata Zakiyal Fuad, warga Desa Cigugur Kuningan.

Kekhawatiran dia muncul melihat pengalaman daerah lain. Seperti di Desa Kertasari, Kabupaten Bandung. Begitu pula di Pegunungan Dieng, Jawa Tengah.  Danau di pegunungan itu mengalami kekeringan akibat eksplorasi geothermal.“Ini mengakibatkan kerusakan ekologi di lahan produktif masyarakat. Mereka selalu berkampanye geothermal itu terbarukan. Ramah lingkungan. Padahal tidak. Karena teknologi yang dipakai Chevron itu menggoyang dan membelah batuan. Hingga rentan gempa. Kami punya tim ahli geothermal.”

Nur Kholis, Komisioner Komnas HAM, mengatakan, akan mempelajari lebih mendalam data-data warga. “Beberapa hari lalu saya mampir ke Kuningan. Ada diskusi terkait ini. Saya akan memperdalam dulu data yang ada.”

Komnas HAM, katanya,  akan memanggil  Gubernur Jabar dan Bupati Kuningan guna dimintai klarifikasi. Chevron juga akan dipanggil.

Kesimpulan sementara Komnas HAM,  kata Kholis, masyarakat 162 desa menolak Chevron. Tidak transparansi, masyarakat tak dilibatkan. Ada kekhawatiran direlokasi. “Harusnya dalam setiap proyek, mutlak sosialisasi. Ini menyangkut hak asasi informasi juga hak kehidupan lebih baik. Komnas HAM akan turun lapangan melihat langsung.”


Geothermal Chevron Dinilai Tak Transparan, Warga Lereng Ciremai Ngadu ke Komnas HAM was first posted on April 24, 2014 at 5:29 pm.

Aneh! Bertahan di Tanah Adat Vonis 3 Tahun, Pejabat Aceh Rambah TN Lauser Dihukum Percobaan

$
0
0

Rumah warga adat yang dibakar dalam operasi gabungan TNBBS di Bengkulu. Foto: AMAN Bengkulu

Miris dengan keadilan hukum di negeri ini. Di Bengkulu, empat warga Adat Semende Agung, yang sudah tinggal turun menurun di lahan adat yang kebetulan masuk taman nasional, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp1,5 miliar. Sedang di Aceh, para pejabat daerah itu terbukti menjarah Taman Nasional Gunung Lauser, hanya diberi hukuman percobaan. Aneh!

Pada Kamis (24/4/14),  Hakim Pengadilan Negeri Bintuhan memutus empat warga adat Semende Dusun Lamo Banding Agung Kabupaten Kaur, Bengkulu, bersalah dan vonis tiga tahun penjara serta denda Rp1,5 miliar atau kurungan satu bulan.

Merekapun mengajukan banding atas vonis majelis hakim di PN Klas II Bintuhan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim, Syamsudin ini. Keempat warga adat ini, Midi, Rahmad, Suraji dan, Heri Tindieyan menjalani persidangan  setelah ditangkap dalam operasi gabungan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Polres Kaur pada 23 Desember 2013.

Putusan hakim sama dengan tuntutan JPU yang dicakan Senin, 22 April 2014. Ahmad Affandi, JPU membeberkan hal-hal yang memberatkan empat warga adat Semende Banding Agung ini. Pertama, warga didakwa melakukan perbuatan meresahkan masyarakat nasional dan internasional karena menimbulkan efek domino luar biasa terhadap pemanasan global akibat luasan hutan yang menghasilkan oksigen berkurang.

Kedua,  warga telah merusak ekosistem satwa dan tumbuhan endemik langka di kawasan hutan konservasi hingga menyebabkan populasi satwa dan tumbuhan langka punah. Ketiga, warga didakwa tidak mendukung program pemerintah melestarikan alam.

Keempat, terdakwa merasa tanah yang didiami sah karena lokasi tanah wilayah adat Semende Lembak yang tidak dapat dibuktikan secara tertulis serta belum diakui pemerintah.

Kelima, terdakwa tak mau meninggalkan lahan kebun yang didiami walaupun diberikan kompensasi pemerintah.

Berdasarkan hal-hal yang memberatkan itu , JPU mendakwa keempat warga adat melakukan pidana perusakan hutan berupa kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan. Ini seperti tertuang dalam UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan tuntutan penjara tiga tahun dan denda Rp1,5 miliar.

Dalam nota pembelaan tim kuasa hukum warga, disampaikan Tommy Indyan pada Rabu (23/4/14) menanggapi beberapa hal. Pertama, JPU terlalu mengada-ngada mengatakan perbuatan terdakwa berakibat bagi pemanasan global. Padahal, JPU berdasarkan fakta persidangan tidak bisa membuktikan ada perusakan hutan yang mengakibatkan luasan berkurang.

Kedua, JPU mengabaikan fakta-fakta persidangan. Ketiga, terdakwa bagian masyarakat adat Dusun Banding Agung. Mereka sepantasnya memepertahankan hak atas tanah. “Perkara ini jangan hanya dilihat persoalan kebun kopi, tetapi lebih dari itu. Mempertahankan warisan turun temurun tanah leluhur masyarakat adat dari kesewenang-wenangan pemerintah merampas hak masyarakat.”

Fitriansyah, kordinator tim penasehat hukum AMAN Bengkulu dalam rilis kepada media menyatakan, akan terus memperjuangkan hak-hak hukum masyarakat adat Banding Agung. “Terhadap putusan ini, kami tim penasehat hukum akan banding,” katanya.

Angga Septia, staf advokasi pengurus wilayah AMAN Bengkulu mengatakan, fakta persidangan, keempat warga  itu memiliki sejarah asal-usul dan pewaris tata kelola lahan turun temurun.

“Kasus ini menjadi persoalan serius atas kepentingan negara pada warga negara yang sah diakui UU Pokok Agraria tentang eksistensi masyarakat adat. Kasus ini membuktikan ada kesemrawutan penetapan kawasan TNBBS karena mengenyampingkan masyarakat.”

Kesemrawutan tata kelola hutan ini, katanya, menyebabkan masyarakat adat menjadi korban. Masyarakat adat Semende Agung kini trauma mendalam akibat operasi gabungan itu. “Pembakaran dan pengusiran dari wilayah adat sangat merendahkan martabat mereka! Putusan ini berdampak pada hilangnya hak konstitusional warga adat Semende banding Agung.”

Sumber: AMAN Bengkulu

 

HutanTNGL yang mulai dirambah untuk kebun masyarakat di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini

HutanTNGL yang mulai dirambah untuk kebun masyarakat di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini

Pejabat Rambah Hutan Vonis Percobaan

Di Aceh,  putusan hakim kondisi sebaliknya. Pejabat Aceh yang jelas-jelas merambah TN Lauser, hanya mendapat hukuman percobaan enam bulan.

Majelis Hakim PN Kutacane menjatuhkan vonis enam bulan penjara dan denda Rp3 juta  dengan masa percobaan satu tahun kepada tiga orang pejabat Pemerintah  Kabupaten Aceh Tenggara yang  terbukti merambah hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) untuk jadi kebun pribadi. Ketiganya, Khairil Anwar, Kepala Dinas Binamarga; Rajadun  Desky, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah serta Rahmad Hidayat anggota DPRK dari Fraksi PKS.

Gunawan Alza, Kepala Bidang Pengelolaan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) wilayah II Kutacane, Jumat (24/4/2014) mengatakan,  vonis hakim sungguh mengecewakan.

Selama persidangan, bukti perambahan hutan TNGL jelas dengan menghadirkan saksi-saksi para pekerja dan saksi ahli dari Badan Penunjuk Kawasan Hutan  (BPKH) yang menunjukkan bukti kebun dibuka dalam kawasan TNGL.

Khairil Anwar, Rajadun Desky dan Rahmad Hidayat tersangkut kasus perambahan karena membuka hutan TNGL untuk kebun pribadi sejak lima tahun lalu. Mereka menanam sawit dan coklat.

Para pejabat Kabupaten Aceh Tenggara ini rata-rata menguasai tujuh hektar lahan masing-masing di daerah Lawe Maruntu dan Lawe Malun.  Kasus perambahan hutan konservasi  ini ditindaklanjuti BBTNGL dengan melaporkan ke Polres Aceh Tenggara.

Menurut Gunawan, ketiga pejabat Aceh Tenggara itu disidang sejak Januari 2014 dan divonis 16 April 2014. Persidangan itu dipimpin Hakim Ketua Khairuman Pandu Kesuma Harahap dan anggota Yudi Razodinata dan Rizki Ramadhan dengan JPU Eddy Samrah Limbong.

Dalam amar putusan majelis hakim mengatakan, para terdakwa terbukti merambah hutan TNGL hingga melanggar Pasal 50 UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.  Ketiganya divonis masing-masing enam bulan penjara dan denda Rp3 juta dengan masa percobaan satu tahun.

“Vonis yang djatuhkan hakim sesuai tuntutan yang dibuat oleh JPU hingga tidak banding.”

Selama proses persidangan para terdakwa  tidak ditahan bahkan tetap aman menduduki posisi sebagai pejabat nomor satu di lembaganya. “Kami kecewa dengan putusan itu. Ini harusnya memberikan efek jera. Mereka pejabat daerah harus mendapat hukuman berat karena mereka paham hukum dan aturan. Jangan hanya masyarakat kecil yang kena hukuman berat,” kata Gunawan.

Di Kabupaten Aceh Tenggara,  setidaknya 10 ribu hektar hutan TNGL rusak karena dirambah dan dicuri kayu oleh oknum pejabat dan masyarakat sejak tahun 1990-an. BBTNGL berharap proses hukum yang menyeret pejabat penting Aceh Tenggara ini dapat membuat pelaku lain mulai sadar dan menghentikan perambahan TNGL.

Sayangnya, jaksa dan hakim tidak melihat kasus kejahatan kehutanan ini sebagai sesuatu hal serius. Padahal,  ini kasus pertama sejak tiga tahun terakhir yang bisa menyeret pejabat setempat hingga ke pengadilan.

BBTNGL  telah menyita kebun ilegal yang dibuka para terpidana  untuk direhabilitasi. “Setidaknya ketika kasus ini bergulir dan operasi dijalankan untuk menertibkan lahan-lahan yang dirambah, masyarakat mulai sadar dan tidak terlalu berani merambah.”

Kekecewaan juga datang dari Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus). Panut Hadisiswoyo, Ketua Fokus menyesalkan vonis hukuman percobaan bagi para terdakwa ini.  Padahal mereka jelas-jelas terbukti bersalah merambah hutan di TN Lauser.

Dengan vonis percobaan ini, katanya,  berarti ketiga terdakwa tak perlu ditahan alias bebas kecuali ada peritah lain dalam putusan hakim. “Sungguh ironis proses hukum tindak pidana kehutanan di Indonesia terkesan basa-basi. Vonis ini membuktikan penegak hukum tak berkomitmen menerapkan UU yang mengatur perlindungan hutan dan kawasan konservasi.”

Menurut Panut, luas TNGL di Kabupaten Aceh Tenggara sekitar 380 ribu hektar dengan areal terbuka seluas 11.000 hektar. “Ini menunjukkan terjadi degradasi TNGL di Kabupaten Aceh Tenggara akibat aktivitas ilegal. Kawasan ini zona inti Kawasan Ekosistem Leuser dan habitat berbagai keragaman hayati penting seperti orangutan Sumatera, badak, gajah, harimau dan lain-lain,” ujar dia. “BBTNGL, selayaknya banding atas vonis percobaan ini.”

 

Salah satu kawasan TNGL yang dirambah untuk kebun di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini

Salah satu kawasan TNGL yang dirambah untuk kebun di Aceh Tenggara. Foto: Chik Rini


Aneh! Bertahan di Tanah Adat Vonis 3 Tahun, Pejabat Aceh Rambah TN Lauser Dihukum Percobaan was first posted on April 24, 2014 at 7:07 pm.

Eceng Gondok Danau Tempe, dari Biogas hingga Kerajinan Tangan

$
0
0
Warga belajar memanfaatkan eceng gondok menjadi produk kerajinan tangan pada pelatihan IPPM  awal 2014. Sumber foto:  Syafruddin

Warga belajar memanfaatkan eceng gondok menjadi produk kerajinan tangan pada pelatihan IPPM awal 2014. Sumber foto: Syafruddin

Di setiap musim hujan keberadaan eceng gondok menjadi masalah tersendiri bagi warga di sekitar Danau Tempe, di Kelurahan Laelo, Kecamatan Tempe dan Desa Pajalele, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pemerintah pun terkendala anggaran dalam membersihkan keberadaan tanaman air ini.

Namun, itu dulu. Dengan keterampilan sederhana, tanaman ini ternyata bisa diolah menjadi produk bernilai ekonomis, yaitu sebagai bahan pembuatan biogas, pupuk organik dan berbagai produk kerajinan tangan. Keberadaan eceng gondok malah dianggap berkah bagi warga.

Alhamdulillah, sekarang sudah ada solusi penanganan eceng gondok ini. Selama ini menjadi masalah besar. Bingung mau diapakan,” kata Sudirman, warga Desa Pajalele, kepada Mongabay, Sabtu (19/4/14).

Inovasi pemanfaatan eceng gondok di sekitar Danau Tempe tak terlepas dari program diinisasi Institusi Penelitian dan Pengembangan Masyarakat  (IPPM) Sulsel, didukung Global Environment Facility – Small Grant Project (GEF SGP) Indonesia.

Sejak awal 2014, IPPM sudah melatih dan studi banding ke daerah yang memiliki industri kreatif dari eceng gondok.

Syamsuddin Kasau, fasilitator program ini menjelaskan, ide pemanfaatan eceng gondok ini dari keprihatinan makin meluas sebaran eceng gondok di danau itu. Hingga menyebabkan produksi tangkapan nelayan berkurang.

“Dampak nyata pada tingkat kesejahteraan warga menurun akibat tangkapan ikan sedikit. Ini persoalan klasik dan menjadi keresahan warga,” kata Syamsuddin.

Hidayat Palaloi, penanggungjawab program ini mengatakan, melalui program ini diharapkan menjadi solusi inovatif dan kreatif menangani eceng gondok sekaligus pengentasan kemiskinan di daerah itu.

Meski demikian, keberadaan program ini dinilai Hidayat tidak serta merta menuntaskan persoalan. Harapannya, bisa menjadi salah satu solusi bernilai ekologi ekonomi, apalagi ketika bisa dikelola meluas dan menjadi industri tersendiri bagi daerah itu.

“Tak kalah penting mengubah pola pikir masyarakat terhadap tumbuhan eceng gondok ini.”

Pelatihan pengelolaan eceng gondok untuk bahan pembuatan pupuk dan biogas  awal 2014. Sumber foto: Syafruddin

Pelatihan pengelolaan eceng gondok untuk bahan pembuatan pupuk dan biogas awal 2014. Sumber foto: Syafruddin

Danau Tempe, salah satu danau terbesar di Sulawesi terbentuk dari proses geologis seumur daratan Sulsel. Ia berlokasi terintegrasi dalam tiga danau yakni Danau Sidenreng, Danau Taparang Lapompaka, dan Danau Labulang.

Danau seluas 13.000 hektar saat kondisi normal ini berada di tiga kabupaten di Sulsel, yaitu Wajo, Soppeng dan Sidenreng Rappang (Sidrap). Bagian danau terluas terletak di Kabupaten Wajo (70 persen), mencakup empat kecamatan masing-masing Tempe, Sabbangparu, Tanasitolo dan Belawa.

Di Kabupaten Soppeng mencakup Kecamatan Marioriawa dan Donri Donri, sedangkan di Sidrap di Kecamatan Pancalautan.

Danau Tempe memiliki kekhasan tersendiri dengan spesies ikan air tawar jarang ditemui di tempat lain, disebabkan posisi terletak di atas lempengan benua Australia dan Asia. Di danau ini pula setiap tahun menjadi rute migrasi burung-burung dari Australia. Danau ini juga dikenal sebagai salah satu danau tektonik di Indonesia.

Meski mencakup tiga kabupaten, namun daerah paling merasakan dampak eceng gondok hanyalah di Kecamatan Tempe Tanasitolo, Wajo.

Menurut Syamsuddin, setiap musim hujan atau saat air danau pasang, gundukan tanaman air yang bernama latin Eichhornia crassipes ini kerap hanyut menerjang pemukiman masyarakat. Bahkan beberapa kali masyarakat harus menyaksikan rumah mereka rusak dan roboh terhantam gundukan tanaman ini.

“Kondisi yang telah menjadi ritual tahunan ini akan terus terjadi bila tak ada upaya antisipasi, mengingat tumbuhan eceng gondok saat ini sudah menutupi hampir seluruh permukaan air danau tempe.”

Banyak masalah mendera Danau Tempe, dari eceng gondong, pendangkalan sampai pencemaran. Sumber foto: Syafruddin

Banyak masalah mendera Danau Tempe, dari eceng gondong, pendangkalan sampai pencemaran. Sumber foto: Syafruddin

Bakhtiar, Lurah Laelo, mengakui, warga sangat antusias dengan program ini. Selama ini, eceng gondok menjadi momok bagi mereka. “Ini berkah bagi kami. Semoga betul-betul bisa mengangkat kesejahteraan warga.”

Mengenai pemasaran produk, kata Hidayat, sudah menjajaki pasar dan kerjasama dengan sejumlah pihak.“Kita upayakan kolaborasi dengan beberapa pihak, baik pemerintah maupun pelaku usaha, termasuk memfasilitasi akses pemasaran online melalui website maupun melalui media lain. Malah kita merencanakan menyelenggarakan pameran hasil produk.”

Khusus pupuk cair dan kompos, IPPM akan menfasilitasi mulai uji laboratorium tentang kualitas, perizinan, pengemasan sampai pembuatan label produk. Hingga produk yang dihasilkan dapat dipasarkan.

Mustam Arif, Direktur Jurnal Celebes mengatakan, pertumbuhan eceng gondok cukup besar memang menjadi masalah utama Danau Tempe saat ini, selain dua masalah lain seperti sedimentasi dan pencemaran. “Area tutupan eceng gondok mencapai 40 persen.”

Pada musim kering kondisi bisa lebih parah lagi dengan tutupan bisa 90 persen. “Tumbuhan air ini akar mencapai dasar danau dan menjadi perangkap sedimen kemudian mengendapkan di dasar danau.”

Kondisi  ini, dimanfaatkan para nelayan yang memasang sarana pemeliharaan ikan yang disebut bungka toddo dari eceng gondok dan kangkung. Ternyata, menyisakan masalah tersendiri, yaitu menyulitkan jalur perahu nelayan. “Ini kadang menjadi sumber konflik antar nelayan pemilik bungka toddo ini,”  kata Mustam.

Danau ini dulu dikenal sebagai mangkuk ikan di Indonesia. Hingga akhir 1960-an, danau ini masih dikenal sebagai sentra produksi perikanan air tawar di Indonesia dengan rata-rata 50 ribu ton per tahun.

“Awal 2000-an produksi merosot hingga 17 ribu ton dan terus menurun hingga kini.”

Masalah lain, mengancam danau ini adalah sedimentasi parah. Merujuk pada Data Bappeda Kabupaten Wajo, total sedimentasi Danau Tempe mencapai 1.069.099 juta meter kubik dan terus bertambah. Sedang yang dikeluarkan melalui Sungai Cenranae 550.490 juta meter kubik.

“Jika setiap tahun sedimen mengendap terjadi pendangkalan danau setinggi 0,37 cm.”

Mustam juga mengutip data penelitian Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1993, yang memperkirakan pendangkalan danau ini bisa 15- 20 cm per tahun. “Dengan kondisi ini 100-200 tahun ke depan danau ini akan menjadi daratan.”

Luasan lahan tutupan air danau juga akan sangat tergantung pada musim. Jika pada kondisi biasa, dengan curah hujan normal luasan sekitar 13.000– 20.000 hektar. Musim hujan mencapai 48.000 hektar, membanjiri kawasan pemukiman, persawahan dan jalanan. Di musim kering luas menyusut hanya tersisa 1.000 hektar.

“Musim kering, warga bahkan bisa menjadikan sebagian area danau ini pertanian dan pemukiman. Ini menunjukkan makin parah sedimentasi danau ini,” kata Mustam.

Ancaman lain yang cukup besar adalah pencemaran dari aktivitas pertanian, berupa penggunaan pestisida dan pupuk kimia, industri kayu dan perabot, industri percetakan.

“Sumbernya dari bahan buangan dari industri berupa baik padat, organik, olahan makanan dan zat kimia.”

Penurunan kualitas lingkungan perairan danau ini akibat pencemaran dinilai mempengaruhi daya dukung organisme. Ini menimbulkan ancaman serius bagi keberadaan satwa dan biota air danau ini. Sejumlah satwa endemik di danau ini antara lain burung belibis (cawiwi). Ikan endemik,  bunga, beladak dan sidat.

Sebagian kawasan Danau Tempe dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan pertanian. Sumber foto: Syafruddin

Sebagian kawasan Danau Tempe dijadikan sebagai kawasan pemukiman dan pertanian. Sumber foto: Syafruddin

Peta lahan kritis daerah tangkapan air Danau Tempe Sumber: BPDAS, 2010

Peta lahan kritis daerah tangkapan air Danau Tempe Sumber: BPDAS, 2010

 

 


Eceng Gondok Danau Tempe, dari Biogas hingga Kerajinan Tangan was first posted on April 25, 2014 at 10:54 pm.

Gara-gara Tukar Lahan Perusahaan, Kehidupan 826 Keluarga di Ringinrejo Terancam

$
0
0
Warga Desa Ringinrejo yang hadir di persidangan, berkumpul usai putusan. Foto: Indra Nugraha

Warga Desa Ringinrejo yang hadir di persidangan, berkumpul usai putusan. Foto: Indra Nugraha

Selasa siang (22/4/14), wajah Talminto, tampak lesu sesaat setelah hakim PTUN Jakart,a mengetuk palu sidang. Keputusan sidang membuat mereka bersedih. Hakim PTUN menyatakan, gugatan Talminto dan tujuh petani penggarap, di Desa Ringinrejo, Kecamatan Wates, Kabupaten Blitar itu, tak bisa diterima.

“Kami sudah semaksimal mungkin. Hasilnya seperti ini. Kami akan banding,” katanya.

Pada 9 Oktober 2013, delapan warga Ringinrejo resmi mengajukan gugatan terhadap Holcim dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Gugatan warga  didasari SK Menhut  nomor 367 tahun 2013. Surat ini berisi tentang penunjukan kawasan hutan produksi dari lahan kompensasi seluas 724,23 hektar–untuk pinjam pakai kawasan hutan  milik anak perusahaan PT Holcim, yakni PT. Semen Dwima Agung (SDA).

Sudah 17 tahun, 826 keluaga menggarap lahan itu.  Warga berharap, Surat Menhut bisa dibatalkan. Sejak awal menggarap, tidak pernah ada teguran dari pihak manapun. Bahkan, aparat desa ikut menggarap di lahan itu hingga dianggap lahan terlantar.

“Awalnya, lahan itu bekas perkebunan Gondangtapen. Kami sangat tergantung dari hasil tani. Sampai muncul SK penunjukan kawasan hutan di tanah garapan kami. Setelah ada SK itu ada rencana pengukuran, meski belum ada penutupan.  Ini membuat kami takut kehilangan lahan garapan,” ujar Talminto.

Dalam putusan majelis hakim mengatakan, gugatan tak dapat diterima karena para penggugat tidak memiliki kepentingan langsung atas terbitnya SK Menhut itu. Majelis hakim menyatakan, para penggugat tak memiliki kedudukan hukum. Tak ada bukti alas hak penguasaan warga atas kawasan hutan itu.

Dua HGU SWA sudah berakhir 2001 dan 2009. Hingga otomatis  lahan kompensasi ini telah beralih kekuasaan kepada negara.

SWA menyerahkan lahan kepada Perhutani sebagai kompensasi izin pinjam pakai kawasan hutan yang dimiliki perusahaan itu di Tuban, pada 2013. Sedang warga Ringinrejo telah mengelola dan menggantungkan hidup dari hasil cocok tanam jagung, ketela dan semangka di lahan kompensasi anak perusahaan Holcim itu.

Warga Ringinrejo kini was-was lahan garaban selama 17 tahun ini tak bisa digunakan lagi dampak tukar lahan perusahaan. Foto: Indra Nugraha

Warga Ringinrejo kini was-was lahan garaban selama 17 tahun ini tak bisa digunakan lagi dampak tukar lahan perusahaan. Foto: Indra Nugraha

“Warga akan tetap menduduki lahan itu. Meskipun keputusan hari ini sangat mengecewakan. Kami tak ada pilihan. Satu-satunya penyambung hidup kami bertani dari tanah itu.”

Hari itu Talminto datang bersama sekitar 50 rekan sesama petani. Mereka langsung dari Blitar. Perjalanan menggunakan bus ditempuh sehari semalam. Perjuangan mereka datang ke Ibukota harus berakhir tangan kosong.

“Padahal kita yakin menang. Saya lihat dari fakta di lapangan, administrasi, keterangan saksi ahli, Cuma saya juga tidak tahu karena lawan punya punya jabatan dan modal besar. Kita khawatir,  Holcim itu bermain dengan hakim.”

“Kalau tidak menggarap lahan, warga tak bisa makan. Kami sangat tergantung tani. SK Menhut itu membuat kehidupan kami tidak tenang. Karena dibayang-bayangi ketakutan,” kata Katiman, warga Ringinrejo.

Selama persidangan, warga didampingi advokat yang tergabung dalam Public Interest Lawyer Network (Pil-Net).

Andi Muttaqien, salah seorang pengacara warga mengatakan, majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi faktual keberadaan masyarakat yang mengelola selama 17 tahun di lahan bekas perkebunan Gondangtapen itu.

Pertimbangan hukum majelis sangat berbeda dengan perkara lain yang pernah ditangani PTUN Jakarta. Sebanyak 13 warga Tumbrep, Kabupaten Batang ditetapkan sebagai pihak tergugat II intervensi. Meski tak mempunyai alas hak sah atas tanah seluas 89,9 hektar. Warga memenangkan gugatan itu. Kasus serupa.

“Keputusan ini kejam sekali. Ini belum masuk pokok perkara, gugatan tidak bisa diterima. Beda dengan ditolak. Kalau ditolak sudah masuk ke pokok perkara. Hal-hal formal dianggap cacat hukum. Majelis hakim tidak mempertimbangkan keadaan di lapangan sama sekali.”

Andi mengatakan, putusan ini bukti kegagalan pengadilan membaca konstruksi relasi antara petani penggarap lahan yang seharusnya  mendapat perlindungan hukum (rechtsbescherming) dari Kemenhut, selaku penguasa. Termasuk hak untuk men-challenge jika ada tindakan penguasa yang dinilai merugikan rakyat.

“Kalau gugatan ini tidak bisa diterima, warga yang selama ini menggarap lahan bisa dipidana dengan UU P3H.  Karena mereka menggarap di lahan hutan. Meskipun status masih penunjukan. Dalam UU P3H tidak diperbolehkan, meskipun status penunjukan.  Berbeda definisi hutan sesuai putusan MK 45.” “PIL-Net sebagai kuasa hukum warga Ringinrejo akan banding.”

Afrodian, biro hukum Kemenhut mempersilakan warga banding atas keberatan ini.

 

 


Gara-gara Tukar Lahan Perusahaan, Kehidupan 826 Keluarga di Ringinrejo Terancam was first posted on April 27, 2014 at 5:27 pm.

Video: Kebun Binatang Medan versus Singapore Zoo

$
0
0

Pongky, yang kini menjadi penghuni Medan Zoo, kondisi makin mengkhawatirkan. kandang sempit, makanan pun tak layak. Foto: Forum Orangutan Aceh

Perburuan dan pembantaian orangutan menyebabkan satwa ini makin cepat menuju kepunahan. ProFauna Indonesia mencatat, tahun 2009 orangutan Sumatera tinggal 6.000 ekor. Hutan sebagai rumah mereka dihancurkan lalu berubah jadi kebun, salah satu sawit. Belum lagi penebangan hutan ilegal. Berbagai masalah ini menyebabkan konflik manusia dan orangutan makin tinggi.

Sejumlah pihak menyebutkan kebun binatang di Indonesia sebagai tempat bunuhan satwa. Tak perlu cari pembanding jauh-jauh. Mari dibandingkan pengelolaan  kebun binatang di Indonesia, Medan Zoo dan Singapore Zoo. Sungguh berbeda.

Miris menyaksikan nasib primata-primata yang ada di Medan Zoo. Kandang sempit  dan tak layak. Di Singapore Zoo, walau bukan di alam bebas, tetapi tempat mereka dibuat sedekat mungkin dengan suasana alam bebas. Lokasi luas dan pepohonan tinggi dan besar bak di hutan dan alam liar.


Video: Kebun Binatang Medan versus Singapore Zoo was first posted on April 27, 2014 at 6:55 pm.

Kala Tambang Bangka Dikawal Polisi, Warga dan Kaka Slank Ngadu ke Wakapolri

$
0
0
Jalan tambang yang dibangun PT MMP dan mendapat pengawalan polisi. Foto: Save Bangka Island

Jalan tambang yang dibangun PT MMP dan mendapat pengawalan polisi. Foto: Save Bangka Island

Pada Senin, 28 April 2014 ini, kapal pembawa alat berat perusahaan tambang datang lagi ke Pulau Bangka. 

Anjing menggonggong kafilah berlalu. Pepatah ini tampaknya cocok disematkan kepada Bupati Minahasa Utara dan perusahaan tambang, PT Mikrgo Metal Perdana (MMP). Mengapa tidak, putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan izin eksplorasi tambang dicabut tetapi tak digubris. Bahkan, alat berat terus masuk ke Pulau Bangka, teranyar, Senin 28/4/14).

Aneh binti ajaib memang, kala perusahaan tambang lain ‘memoratorium operasi’, kecuali pembangunan pabrik smelter, MMP malah tengah sibuk membuat jalan tambang di pulau kecil itu. 

Pada Jumat (25/4/14), perwakilan warga Pulau Bangka, koalisi masyarakat sipil dan Kaka Slank mengadukan masalah tambang Bangka, terutama ‘keberpihakan’ polisi ke Wakapolri di Jakarta.

“Masyarakat sudah taat hukum, masyarakat sudah patuh hukum. Mengapa pejabat tak patuh hukum,” kata Edward Banghamu, warga Desa Libas Pulau Bangka.

Edward mengeluhkan ulah Bupati Minahasa Utara, Sompie Singal kepada Wakapolri, Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Gugatan warga sudah menang di MA pada 24 September 2014, agar bupati mencabut surat izin eksplorasi kepada MMP. Namun, putusan MA ini bak angin lalu. Sampai hari ini Bupati Minahasa Utara tak mencabut izin itu.

“Pulau Bangka itu macam Taman Eden, yang cantik, indah, tempat adam dan hawa. Mengapa harus dirusak tambang.” Mata pria paruh baya ini berkaca-kaca. Suara bergetar.

Dia tampak begitu terluka dengan ulah pemimpin daerah yang tega mengeluarkan izin tambang di pulau yang hanya memiliki luas tak sampai 4.000 hektar itu. Izin tambang lebih dari 2.000 hektar, bisa dipastikan jika beroperasi, pulau akan hancur.

Edward datang dari Sulut bersama warga lain, Merty Mais Katulung, dan pendamping warga, Didi Kaleangan. Ada Kaka Slank, selaku pembuat petisi tolak tambang Bangka di Change.org dan lembaga koalisi organisasi masyarakat sipil, yakni Edo Rachman dari Walhi, Ariefsyah Greenpeace, Ki Bagus Hadi Kusuma Jatam dan Arief Aziz, Change.org. Edward dan Marty, dua warga yang mengajukan gugatan ke PTUN dan menang di MA.

“Perusahaan tetap memasukkan alat berat ke pulau, bahkan dikawal Brimob,” kata Merty, warga Desa Kahuku. Kini, Brimob mengawal pembuatan jalan tambang, bahkan tidur di camp perusahaan.

Sejak tambang masuk, katanya, persaudaraan antar wargapun berpecah. Ada sebagian kecil warga pulau menjual lahan mereka ke perusahaan. “Tambang merusak semua…”

Kaka Slank, angkat bicara. Menurut dia, Bupati Minahasa Utara, bebal karena jelas-jelas warga menang di MA, berarti izin harus dicabut. “Tetapi tak dilakukan. Apa namanya kalo bukan bebal”

Warga Pulau Bangka dan pendamping usai pertemuan berpose bersama Wakapolri, Badrodin Haiti. Foto: Sapariah Saturi

Warga Pulau Bangka Marty Mais Katulung, Edward Banghamu, dan pendamping, Didi Kaleangan, usai pertemuan bersama Wakapolri, Badrodin Haiti. Foto: Sapariah Saturi

Dari kanan Yazid Panani, Direktur Tindak Pindana Tertentu Bareskrim Polri; Kaka Slank, Ariefsyah dari Greenpeace dan Edo Rachman Walhi Nasional, dalam pertemuan dengan Wakapolri di Jakarta, Jumat (25/4/14). Foto: Sapariah Saturi

Dari kanan Yazid Panani, Direktur Tindak Pindana Tertentu Bareskrim Polri; Kaka Slank, Ariefsyah dari Greenpeace dan Edo Rachman Walhi Nasional, dalam pertemuan dengan Wakapolri di Jakarta, Jumat (25/4/14). Foto: Sapariah Saturi

Ariefsyah dari Greenpeace meminta, proaktif Mabes Polri karena ada indikaksi oknum-oknum aparat yang melakukan kriminalisasi dan mendukung perusahaan. “Jadi untuk melihat apa ada pelanggaran kala polisi masih mengawal perusahaan padahal warga sudah menang MA.”

Dalam pertemuan itu juga diserahkan petisi tolak tambang Bangka di Change.org, sudah 19.000-an tanda tangan pendukung.

Wakapolri hadir bersama empat jajarannya. Satu-satu mereka memberikan pandangan. Seperti usulan Ronny F Sompie, Kadivhumas Mabes Polri. Menurut dia, Polda Sulut bisa meminta perusahaan menarik alat berat agar kepolisian tak perlu mengawal di sana.

Menurut Badrodin, masalah muncul di beberapa daerah, termasuk Pulau Bangka karena kepala daerah tak taat hukum. Warga sudah menang di MA tetapi tak dieksekusi Bupati. “Polisi susah eksekusi, itu kelemahan hukum,” katanya.

Dia menyarankan, warga bersama pendamping maupun NGO melakukan komunikasi ke bupati agar segera membatalkan izin sesuai putusan MA.

Di tengah diskusi, Badrodin menelpon Jimmy Sinaga, Kapolda Sulut. “Ini ada warga datang ke Mabes keberatan jika polisi tinggal di camp perusahaan. Upayakan polisi jaga di luar. Agar fair. Adil.”

“Kalau bisa komunikasikan dengan bupati agar dibicarakan. Agar tak ada konflik berkepanjangan.”

“……Kalau sudah dibatalkan MA kan ga bisa berlaku. IUP eksplorasi dicabut MA. Kalau dibatalkan MA kan buat jalan juga ga boleh.” Begitu antara lain petikan ucapan Wakapolri via telepon dengan Kapolda Sulut.

Badrodin memastikan, kepolisian akan memindak jika  perusahaan memulai aktivitas pertambangan.   Tak hanya soal perizinan yang sudah ada keputusan MA, juga ada aturan pemerintah, bahwa per 1 Januari 2014, tak boleh ada ekspor mineral mentah. Perusahaan tambang boleh beroperasi jika sudah membangun pabrik smelter.

Diapun meminta Bareskrim turun ke Sulut melihat kondisi di lapangan. Namun, dia meminta masyarakat menahan diri.

Yazid Panani, Direktur Tindak Pindana Tertentu Bareskrim Polri menyarankan,  warga duduk dulu dengan bupati membahas pencabutan izin ini. “Kami akan koordinasi dengan Polda.”

Alat Berat Masuk Lagi

Pada Senin (28/4/14), satu kapal Sumber Bahagia Jaya, memasuki perairan Pulau Bangka, membawa alat berat, berupa truk-truk dan eskavator perusahaan tambang. Informasi dari Save Bangka Island, kapal sempat tertahan diperiksa TNI AL. Kini sudah mulai mendekat  dan diperkirakan sore merapat ke pantai kala air laut pasang.

Kapal pembawa alat berat perusahaan tambang yang siap mendarat di Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Kapal pembawa alat berat perusahaan tambang yang siap berlabuh di Pulau Bangka. Foto: Save Bangka Island

Warga Bangka dan koalisi masyarakat sipil kala rapat dengan Wakapolri mengenai perkembangan terbar kasus tambang di Pulau Bangka, Sulut. Foto: Sapariah Saturi

Warga Bangka dan koalisi masyarakat sipil kala rapat dengan Wakapolri mengenai perkembangan terbar kasus tambang di Pulau Bangka, Sulut. Foto: Sapariah Saturi


Kala Tambang Bangka Dikawal Polisi, Warga dan Kaka Slank Ngadu ke Wakapolri was first posted on April 28, 2014 at 9:25 am.

Rudi Putra, Penyelamat Leuser yang Berangus Kebun Sawit Ilegal

$
0
0
Rudi Putra, kala proses penghentian perkebunan sawit ilegal di KEL. Foto: dokumen Goldman Prize

Rudi Putra, kala proses penghentian perkebunan sawit ilegal di KEL. Foto: dokumen Goldman Prize

Rudi Putra, tahun lalu mendapatkan  Future For Nature Award” dari Belanda. Pada 2014, menerima The Goldman Environmental Prize di California.

Tahun lalu, Mama Aleta, pegiat lingkungan negeri ini mendapatkan penghargaan internasional The Goldman Environmental Prize, atas perjuangan melawan tambang di Nusa Tenggara Timur (NTT). April tahun 2014, penghargaan serupa diterima pegiat lingkungan dari Aceh,  Rudi Hadiansyah Putra, atas perjuangan menyelamatkan kawasan ekosistem Lauser (KEL). Pada Februari tahun lalu, dia juga mendapatkan Future For Nature Award” dari Belanda.

Pria kelahiran Seruway, 1977 ini, satu dari enam warga negara di dunia yang meraih penghargaan tertinggi bidang lingkungan hidup  dan menerima uang tunai $175.000 atau sekitar Rp2 miliar per orang. Mereka menerima anugerah pada Senin (28/4/14) di San Francisco Opera House, California, Amerika Serikat.

The Goldman Environmental Prize didirikan tokoh masyarakat dan dermawan Richard dan Rhoda Goldman dari San Francisco pada 1989. Para pemenang dipilih oleh dewan juri internasional berdasarkan nominasi rahasia yang diserahkan melalui jaringan kerja organisasi-organisasi dan orang-orang dalam bidang lingkungan hidup.

Rudi, melalui perjuangan keras bersama tim, berhasil menghentikan laju perkebunan sawit ilegal yang menyebabkan deforestasi masif di KEL, di Kabupaten Aceh Tenggara, sambil melindungi badak Sumatera yang terancam punah.

Rudi menunjukkan minat kuat pada alam dan kehidupan satwa. Dia mempelajari biologi pelestarian, dan jatuh cinta pada badak Sumatera. Satwa ini, anggota paling kecil dan paling terancam punah dari keluarga badak.

Dia lulusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh dan Magister Konservasi Biodiversitas Tropika di IPB. Selama 14 tahun berupaya melindungi satwa di KEL. Ini kawasan konservasi harapan terakhir dunia bagi upaya penyelamatan beberapa satwa langka.

Rudi, saat berdiskusi bersama masyarakat sekitar. Foto: dokumen Goldman Prize

Rudi, saat berdiskusi bersama masyarakat sekitar. Foto: dokumen Goldman Prize

Dia rutin patroli rutin mencegah perburuan satwa liar. Juga aktif merestorasi kawasan hutan yang berubah fungsi menjadi perkebunan sawit agar menjadi hutan kembali.

Terlebih, sekitar empat juga orang bergantung hidup dari KEL ini. Mereka mengandalkan hutan sebagai lahan pertanian dan sumber air.

Hutan memberikan perlindungan sangat besar dari ancaman banjir yang kian sering terjadi dalam tahun-tahun terakhir ini. Dia menyadari,  kini tidak saja melindungi badak dan habitat, juga orang-orang yang tinggal di kawasan itu.

Rudi menyadari, melawan perburuan liar penting. Namun, harus lebih dulu melawan perusakan habitat akibat perkebunan sawit liar.

Dimulai 2009, dia bersama Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) berjuang ‘menyisir’ perkebunan sawit yang beroperasi ilegal di KEL. “Ada 24 perkebunan ditutup luas 10.000 hektar,” katanya, pada Maret 2013.

Setelah mendapat dukungan dari masyarakat setempat, Rudi langsung mendekati kepolisian agar menutup sejumlah perkebunan sawit liar di sekitar KEL. Dia juga berbicara dengan ratusan ribu warga yang kehilangan rumah dan keluarga, akibat banjir Aceh 2006. Mereka berjuang untuk mendapatkan air bersih.

Para pemilik perkebunan sawit pun didekati Rudi. Dia mengingatkan, tindakan mereka bertentangan dengan UU. Rudi berhasil meyakinkan mereka setelah menunjukkan batas-batas area pelestarian. Akhirnya, sejumlah pemilik menutup perkebunan dan mengembalikan tanah kepada pemerintah.

Rudi, intens berkomunikasi dengan warga dan mengajak bersama-sama menjaga Lauser. Foto: dokumen Goldman Prize

Rudi, intens berkomunikasi dengan warga dan mengajak bersama-sama menjaga Leuser. Foto: dokumen Goldman Prize

Setelah berhasil membersihkan kebun-kebun sawit ilegal, koridor satwa liar pun tercipta lagi. Gajah, harimau, dan orangutan menemukan kembali habitat mereka. Untuk kali pertama, pemandangan ini terjadi dalam 12 tahun terakhir. Populasi badak Sumatera di KEL pun perlahan naik dalam satu dasawarsa terakhir.

Dia sempat down kala BPKEL, dibubarkan Gubernur pada 2012. Pada 2007, BPKEL dibentuk Gubernur Irwandi Yusuf. Pada 2008 mulai mengidentifikasi masalah di Tamiang. Mereka memonitoring dengan satelit, melihat kondisi kehancuran hutan di hilir dan hulu.

“Ada hutan tapi rusak karena hampir seluruh wilayah dulu HPH. Ini parah sekali. Seluruh wilayah logging, 90 persen hutan rusak,” katanya.

Lalu, BPKEL memonitoring lewat udara. Terdapat wilayah cantik di tengah hutan, tetapi ada kebun sawit tengah hutan. Monitoring udara terlihat buka hutan dengan alat berat. Ada juga pembukaan jalan ilegal. Ada buka lahan banyak sekali padahal itu habitat satwa. BPKEL bekerja sama dengan polisi, masyarakat dan LSM.

Kini, badan tempatnya bernaung diamputasi, namun tak menyurutkan langkah Rudi untuk tetap berjuang.

Rudi terlibat dalam perjuangan melawan ancaman baru terhadap hutan tropis. Sebuah rancangan tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang akan membuka akses hutan tropis di KEL.

“KEL harapan konservasi bagi badak, harimau, gajah dan orangutan.  Kalau tak usaha setop rencana Pemerintah dan DPR Aceh ini, mungkin satwa-satwa ini hanya bertahan dalam lima tahun ini,” ucap Rudi, kala itu.

Pada 2013, dia juga menggagas petisi meminta dukungan masyarakat nasional dan internasional agar menentang rencana Pemerintah Aceh itu. Petisi ini berhasil mengumpulkan 1,4 juta tanda tangan. Langkah ini diakui dan menjadi bahan pembicaraan internasional di antara para pejabat Pemerintah Norwegia, Uni Eropa, Indonesia dan Aceh.

Hari-harinya diisi buat menjaga KEL. Foto: dokumen Goldman Prize

Hari-harinya diisi buat menjaga KEL. Foto: dokumen Goldman Prize

Foto: dokumen Goldman Prize

Foto: dokumen Goldman Prize

 


Rudi Putra, Penyelamat Leuser yang Berangus Kebun Sawit Ilegal was first posted on April 28, 2014 at 3:27 pm.

Walhi-AMAN Minta BPK Audit Pertambangan Batubara di Sumsel

$
0
0
Penambangan batubara di dekat lokasi Taman Wisata Alam Bukit Serelo Kabupaten Lahat. Foto: Taufik Wijaya.

Penambangan batubara di dekat lokasi Taman Wisata Alam Bukit Serelo Kabupaten Lahat. Foto: Taufik Wijaya.

Walhi dan AMAN Sumatera Selatan (Sumsel) mendesak BPK mengaudit lingkungan terhadap 300-an perusahaan tambang batubara di daerah itu. Sebab, perusahaan-perusuhaan itu telah merusak hutan, produsen karbon dan metana bagi iklim global, serta memiskinkan rakyat.

“Keberadaan mereka benar-benar merusak lingkungan hidup dan menyengsarakan rakyat. BPK harus audit lingkungan terhadap ratusan pertambangan batubara itu,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Rabu (23/4/14).

Dia yakin, akan banyak penyimpangan jika dilakukan audit. Mulai persoalan perizinan, pajak, maupun analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Masyarakat Sumsel, katanya, telah merasakan dampak buruk dari pertambangan batubara, mulai kerusakan jalan raya, pencemaran udara dan air, serta kecelakaan lalu lintas melibatkan truk-truk pengangkut batubara.

Kerugian jangka panjang, sekitar 1 juta hektar lahan di Sumsel terbuka akibat aktivitas 50-an perusahaan batubara. Luas konsensi pertambangan sekitar 2,7 juta hektar untuk 300 perusahaan. Lahan, tak dapat lagi berfungsi menjadi hutan atau hanya bisa ditanami tumbuhan tertentu. Satwa-satwa pun mulai langka.

“Dampak lebih jauh, banjir, kekeringan, dan kekebalan tubuh masyarakat Sumsel menurun. Saat ini, banyak anak-anak menderita penyakit mematikan bukan karena virus, seperti kanker, tumor, dan lain-lain,” kata Hadi.

Walhi Sumsel juga meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pertambangan batubara. Izin yang ada dipegang pengusaha lokal, nasional, dan internasional. Salah satu MNC Group.

Senada diungkapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sumsel. Pertambangan batubara ini telah memiskinkan ratusan ribu masyarakat adat di sana. “Lahan atau hutan sumber penghidupan masyarakat hilang,” kata Rustandi Adriansyah, ketua BPH AMAN Sumsel.

Dia mencontohkan, di Muaraenim dan Lahat. Sebelumnya, masyarakat adat hidup dari bertani dan berkebun, kini menjadi buruh perusahaan, buruh tani, atau urban ke Palembang dan kota besar lain. “Banyak jadi TKI dan buruh di Tangerang dan Bekasi.”

Walhi dan AMAN Sumsel meminta,  BPK audit perusahaan batubara yang sudah menghentikan aktivitas. “Operasi mereka meninggalkan kerusakan, danau-danau beracun ditinggalkan begitu saja,” kata Hadi.

Truk pengangkut batubara sering mengalami kecelakaan di jalanan di Sumsel. Foto: Taufik Wijaya

Truk pengangkut batubara sering mengalami kecelakaan di jalanan di Sumsel. Foto: Taufik Wijaya

Beberapa waktu lalu, sekitar 30 perusahaan batubara tergabung dalam Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menghentikan aktivitas di Sumsel. Mereka mengaku merugi lantaran pemerintah Sumsel tak menyediakan jalan atau sarana transportasi pengangkutan batubara. Ini menyusul Peraturan Daerah Sumsel No 5 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam keputusan itu, gubernur melarang truk pengangkut batubara melintas di jalan umum dan mengalihkan ke jalan milik PT Servo. Sedang Jalan Servo dinilai tidak layak dilalui.

“Terlepas mereka rugi atau untung, yang jelas aktivitas mereka sudah merusak lingkungan hidup. Mereka harus bertanggungjawab. BPK harus mengaudit perusahaan ini,” kata Hadi.

Rustandi menambahkan, mereka tak boleh lepas tangan begitu saja dengan menyatakan rugi. Bukan hanya kerusakan lingkungan, mereka harus bertanggungjawab atas kemiskinan masyarakat adat. “Ini negara hukum, siapapun layak diberi sanksi hukum jika merugikan negara dan masyarakat.”

Ancaman 12 PLTU

Tak hanya itu, Walhi Sumsel meminta rencana pembangunan 12 PLTU di Kabupaten Muaraenim, Kabupaten Lahat, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Musirawas, dihentikan. Alasan memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sudah tak masuk diakal. “Kami curiga pembangunan 12 PLTU menggunakan batubara ini bukan untuk kepentingan masyarakat, tapi industri,” kata Hadi.

Jika 12 PLTU terwujud, akan terjadi eksplorasi batubara besar-besaran di hulu Sumsel. PLTU ini akan menjadi produsen karbon dan metana sangat besar. “Sumsel jelas akan menjadi salah satu aktor utama perubahan iklim dunia. Ini sangat tidak kita kehendaki.”

Penambangan batubara di dekat lokasi Taman Wisata Alam Bukit Serelo Kabupaten Lahat. Foto: Taufik Wijaya

Penambangan batubara di dekat lokasi Taman Wisata Alam Bukit Serelo Kabupaten Lahat. Foto: Taufik Wijaya

 


Walhi-AMAN Minta BPK Audit Pertambangan Batubara di Sumsel was first posted on April 29, 2014 at 2:26 pm.
Viewing all 3881 articles
Browse latest View live