Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 3942 articles
Browse latest View live

Yuk, Liburan Sambil Belajar Konservasi Alam di Pesisir Bantul

$
0
0
Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Perpaduan energi dari matahari dan angin untuk keperluan listrik warung kuliner dan lampu jalan di Bantul. Foto: Tommy Apriando

Angin berhembus semilir. Deburan ombak bak bersahut-sahutan dengan suara-suara burung di hutan cemara. Papan imbauan menjaga kebersihan, jalur evakuasi dan papan edukasi zonasi pantai terpampang di hutan maupun pesisir pantai. Warung-warung kuliner tertata rapih sekitar 200 meter dari bibir pantai. Inilah suasana di Pantai Goa Cemara, Gadingsari, Saden, Bantul, Yogyakarta.

Ini berawal pada 2009, kala kelompok Tani Dusun Patihan, Gadingsari, Bantul, berinisiatif membuat wisata beda dengan yang lain. Cemara udang (Casuarinaequessetifolia) membuat lokasi ini berbeda dengan pantai lain.

“Di sini tidak hanya berlibur, juga belajar mengenal alam dan konservasi penyu. Ini bagian tidak terpisahkan,” kata Edi Mahmud Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bantul.

Di pendopo pantai, berbagai kalangan dari instansi pemerintah, pecinta alam, jurnalis dan perhotelan datang. Mereka dikenalkan tentang potensi ekowisata di Pesisir Bantul, yang digagas DKP Bantul bekerjasama dengan Lembaga Ekonomi Pengelolaan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPM3) dan Komunitas Relawan Banyu (KRB). Adapun KRB konsern upaya konservasi baik penyu maupun mangrove di Bantul.

Edi mengatakan, banyak potensi pesisir Bantul antara lain pantai, mangrove, laguna, penyu, gumuk pasir, hutan cemara udang, kuliner sampai energi hybrid

Kabupaten ini secara geografis berhadapan langsung dengan Samudera Hindia hingga memiliki potensi alam mengagumkan. Panjang garis pantai Bantul, ±17 km memanjang dari Kecamatan Kretek sampai Srandakan.  Dari ekowisata diharapkan memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat dan mendukung konservasi alam.

“Kami meminta semua pihak berperan serta menjaga dan melestarikan sumberdaya alam pesisir dan mendukung ekowisata ini.”

Suhono , Ketua LEPM3 Bantul mengatakan, saat ini pesisir Bantul punya daerah wisata potensial berlibur. Ada beberapa tempat bisa jadi obyek wisata baru berkonsep ekowisata. Jadi, warga bisa berlibur tetapi dikenalkan dengan lingkungan dan pendidikan konservasi. Mereka ikut melepasliarkan tukik, menanam mangrove, mengenal energi matahari dan angin. Juga ikut menjaga kebersihan pantai.

Kolam penampungan tukik sebelum dilepasliarkan di habitat. Foto: Tommy Apriando

Kolam penampungan tukik sebelum dilepasliarkan di habitat. Foto: Tommy Apriando

 

***

Jam menunjukkan pukul 10.30. Sinar matahari menembus sela-sela pepohonan cemara. Udara terasa sejuk. Puluhan peserta berkumpul mengikuti instruksi pemandu lapangan. Kami berjalan sekitar 250 meter dari Pendopo Goa Cemara, menuju konservasi penyu dan tukik Patihan di sebelah barat pantai.

Sebuah bangunan melingkar berdiameter sekitar lima meter berisi aquarium kaca kosong. Ada poster berisi informasi berbagai jenis penyu. Bangunan bagian lain ada bak penampungan berisi empat tukik lekang berumur dua minggu. Sekitar satu meter dari penampungan dua timbunan berisi 98 telur penyu proses penetasan.

Yhanu Surya Asmoro lebih setahun bergabung di KRB.  Ia komunitas mayoritas anak muda yang peduli konservasi penyu maupun mangrove. Dia bercerita tentang gerakan peduli konservasi penyu.

”Penyu sangat terancam, baik karena faktor alam, maupun manusia. Jogja salah satu lokasi penjualan telur penyu ilegal terbesar di Jawa.”

Konservasi penyu di Bantul sejak 2010, baru dikenalkan ke publik 2012 ketika musim bertelur pada Mei-September.  Ada empat lokasi konservasi penyu di Bantul, Pantai Mancingan Parangtritis, Pantai Samas, Gua Cemara dan Pandansimo.

Pada 2010-2014, tukik bisa diselamatkan sampai 5.489. Setiap penyu bertelur, berkisar 60-70% berhasil menetas.

Kami diajak berkeliling menggunakan kereta wisata ke Pembangkit Listrik Tenaga Hybrid (PLTH) Bayu di Pantai Baru. Iwan Fahmi, teknisi PLTH Bayu menyambut. Dia bercerita, PLTH Bayu adalah gabungan pembangkit listrik tenaga surya (matahari) dan bayu (angin). Daerah ini juga menerapkan sistem terintegrasi bagi pertanian, perikanan, dan kawasan wisata alam serta penggunaan bahan bakar ramah lingkungan, seperti  biogas, dari sisa kotoran sapi.

“PLTH di Desa wisata Ngentak, Poncosari, ini model percontohan sistem inovasi daerah Indonesia.”

Secara geografis, katanya, pesisir pantai selatan Yogyakarta lahan terbuka luas, matahari bersinar sepanjang hari dan kecepatan angin rata-rata intensitas 4m/second. PLTH Bayu didirikan di lahan seluas 18 hektar. Energi listrik dari turbin angin dan panel surya untuk keperluan penerangan jalan, listrik warung-warung kuliner di pinggir pantai, pompa air, dan pembuatan 1.000 kilogram balok es. Es-es ini untuk pengawetan ikan, mengisi ulang aki nelayan, memompa air sumur renteng untuk petani pesisir pantai.

Untuk sektor perikanan dan pertanian lahan pasir juga dikembangkan dengan sistem aquaponik. Yaitu, kolam ikan air tawar mengandalkan metode penyaringan tumbuhan untuk membersihkan air. Air dari bawah tanah menggunakan energi listrik hybrid, sebagian untuk air bersih di wisata pantai.

Melon, salah satu hasil pertanian  lahan pesisir Bantul. Foto: Tommy Apriando

Melon, salah satu hasil pertanian lahan pesisir Bantul. Foto: Tommy Apriando

Sistem terintegrasi ini mampu meningkatkan perekonomian warga di Pantai Baru. Mulai energi listrik, biogas untuk memasak, es balok murah serta eduwisata.

Untuk biogas kotoran sapi, menjadi pengganti LPG. Ia dipakai pemilik warung kuliner untuk memasak, merebus air dan lain-lain. Lokasi terletak di kandang kelompok ternak sapi Pandan Mulyo. Ada 110 kandang sapi sebagai bahan dasar pembuatan biogas.

“Hasil pembuatan gas menghasilkan limbah cair dan padat untuk pupuk organik petani pesisir,” kata Iwan.

Dari PTH Bayu, kami menuju Laguna di Samas. Dari Laguna, berperahu, kami menuju konservasi mangrove di Baros, Tirtohargo, Kretek. Sekitar 10 menit perjalanan terlihat hutan mangrove sekitar 26 hektar.

Dwi Rahmanto memandu kami, mengenalkan sejarah hutan dan berbagai tanaman mangrove serta berbagai satwa. Dia bercerita, hutan mangrove ini sejak 2003. Ia diinisiasi Kelompok Pemuda Pemudi Baros (KP2B) dengan dukungan LSM Relung Yogyakarta.

Hutan ini untuk menjaga konservasi pesisir Pantai Baros yang setiap saat terancam abrasi pantai dan banjir dari Sungai Opak. Di sebelah utara hutan mangrove terdapat persawahan warga, hingga berperan penting menjaga kelestarian lingkungan.

Di hutan ini, bisa ditemui beberapa mangrove seperti Rhizophora, Bvicennia, Brugueira, dan Nypha. Sedang fauna lain, 49 jenis burung, ikan, dan serangga. Ada juga satwa khas mangrove yakni gelodok, uca, scylla dan berbagai mollusca.

Lokasi wisata edukasi di Pantai Baru Bantul. Pengunjung akan dikenalkan pemanfaatan energi dari kotoran sapi. Foto: Tommy Apriando

Lokasi wisata edukasi di Pantai Baru Bantul. Pengunjung akan dikenalkan pemanfaatan energi dari kotoran sapi. Foto: Tommy Apriando

 

***

Kami kembali ke tepian Laguna. Menaiki perahu ke Pesisir Pantai Depok. Sekitar lima menit perjalanan, perahu merapat. Mobil kereta wisata sudah menunggu. Kami dibawa ke Pantai Pelangi untuk melepasliarkan tukik.

Matahari terasa menyengat kulit. Masing-masing peserta membawa satu tukik berwadahkan tempurung kelapa berisikan air. Mereka berjalan menuju bibir pantai. Berbaris memanjang di belakang garis, menghadap pantai. Perlahan mengikuti instruksi pemandu. Mulai dari memegang badan tukik hingga membiarkan mereka berjalan sendiri hingga terbawa ombak. Satu persatu tukik berenang ke laut.

Suhono, dari LEPM3 mengatakan, perkenalan berbagai obyek wisata di Bantul, dikemas dalam ecoeduwisata merupakan upaya mendorong ekonomi masyarakat sambil membawa pesan pendidikan dan konservasi alam. Ke depan, paket ecoeduwisata berkeliling desa bersepeda, atau kereta wisata dipandu pemuda atau masyarakat setempat. Peserta wisata bisa menyaksikan kehidupan sehari-hari warga pesisir, mendapatkan pengetahuan aktivitas perekonomian mikro pedesaan, melepasliarkan tukik, mengenal konservasi penyu, memahami dasar nilai-nilai konservasi lingkungan, serta melihat perkembangan teknologi energi terbarukan dan pertanian modern.

“Eduecowisata akan mengajak masyarakat tetap berlibur, namun ikut mengenal dan menjaga lingkungan serta tahu energi ramah lingkungan,” kata Suhono.

Pelepasliaran tukik di Pantai Pelangi, Bantul, oleh puluhan peserta. Foto: Tommy Apriando

Pelepasliaran tukik di Pantai Pelangi, Bantul, oleh puluhan peserta. Foto: Tommy Apriando

Papan larangan untuk berburu satwa di  hutan mangrove Baros. Foto: Tommy Apriando

Papan larangan untuk berburu satwa di hutan mangrove Baros. Foto: Tommy Apriando


Yuk, Liburan Sambil Belajar Konservasi Alam di Pesisir Bantul was first posted on September 20, 2015 at 3:18 am.

Mengajak Cinta Bahari dan Perikanan Berkelanjutan di Festival Laut

$
0
0
Salah sat spot di Pojok Laut pada Festival Laut di Kridaloka, Senayan. Foto: Sapariah Saturi

Salah sat spot di Pojok Laut pada Festival Laut di Kridaloka, Senayan. Foto: Sapariah Saturi

Tangan Chef Adrian,  begitu cekatan meramu beragam bumbu dan bahan-bahan menjadi hidangan menggoda selera. Dia unjuk kebolehan meracik menu seafood ini di Taman Kridaloka, Gelora Bung Karno Jakarta, Sabtu (19/9/15). Para pengunjung tampak antusias menyaksikan.

“Hari ini saya akan memasak sup sirip ikan hiu!” kata Andrian. Wah! Ternyata, yang dimaksud sirip hiu itu terbuat dari daging ayam. Dia tak memakai sirip hiu karena hiu predator utama laut yang langka.

“Sirip hiu tak ada rasanya. Hanya menang tekstur. Saya mengolah daging ayam agar tekstur menyerupai sirip hiu. Mencampur daging ayam dengan kalsium, pewarna alami dan bumbu-bumbu lain. Jadi ini sop hiu bohongan.”  Selain sop “sirip hiu,” Adrian juga memasak cumi.

Juru kampanye laut Greenpeace Indonesia, Arifsyah M. Nasution mengatakan, inovasi ini bisa jadi solusi. Restoran penyedia menu sirip hiu bisa mencontoh Adrian.

“Kami berupaya mendekati beberapa restoran agar tidak menjual menu sirip hiu lagi. Pendekatan ini terus dilakukan. Kami berharap ada kesadaran masyarakat, juga produsen untuk menyediakan menu perikanan berkelanjutan,” katanya.

Aksi memasak Adrian, salah satu dari sekian acara yang digelar Greenpeace Indonesia bertajuk “Festival Laut”.

Ada pertunjukan musik dari sederet band indie, seperti White Shoes and The Couples Company, Stars &Rabbit, Abdul &The Coffee Theory serta Brianna Simorangkir.

Kampanye selamatkan mangrova di stan Yayasan Mangrove Indonesia Salina (Satu Laut Indonesia),  pada Festival Laut di Senayan, Sabtu (19/9/15). Foto: Sapariah Saturi

Kampanye selamatkan mangrova di stan Yayasan Mangrove Indonesia Salina (Satu Laut Indonesia), pada Festival Laut di Senayan, Sabtu (19/9/15). Foto: Sapariah Saturi

Pendongeng kondang Kak Seto juga hadir. Dia membawakan dongeng pentingnya menjaga laut kepada anak-anak. Dia juga mengajak orangtua mulai mengenalkan potensi laut kepada anak-anak sejak dini.

Orangtua yang membawa anak bisa berkunjung ke stan permainan di salah satu ujung taman, mengajak anak-anak bermain bersama. Pesan-pesan tentang pentingnya menjaga laut diselipkan yang dikemas dengan menyenangkan tanpa terkesan menggurui.

“Festival ini untuk membawa isu-isu kelautan ke tengah masyarakat urban. Mencoba meningkatkan kesadaran bahwa laut bagian penting kehidupan,” kata penanggung jawab acara, Afif Saputra.

Afif mengatakan, Jakarta dengan populasi lebih 10 juta jiwa berpotensi menjadi salah satu basis konsumen makanan laut terbesar di Indonesia. Karena itu, penting edukasi agar bisa memilih sumber pangan laut berhati-hati dan mengedepankan keberlanjutan.

Di Indonesia, nelayan menerapkan perikanan berkelanjutan, misal di Sulawesi Utara, Papua Barat dan NTT. Nelayan memakai konsep huhate, atau pole and line, terdiri dari bambu sebagai joran atau tongkat dilengkapi rangkaian tali pancing dan kali.

ForBALI, Forum Bali Tolak Reklamasi di Teluk Benoa, Bali, juga tak ketinggalan meramaikan Festival Laut. Mereka menjual pernak pernik perlawanan, seperti kaos. Foto: Sapariah Saturi

ForBALI, Forum Bali Tolak Reklamasi di Teluk Benoa, Bali, juga tak ketinggalan meramaikan Festival Laut. Mereka menjual pernak pernik perlawanan, seperti kaos. Foto: Sapariah Saturi

Berbeda dengan perikanan sistem rumpon atau fish agregating devices (FADs), obyek terapung menarik berbagai jenis ikan. Cara ini menyebabkan penangkapan merusak dan mengangkut segala jenis bahkan yang kecil sekalipun. Akibatnya, stok ikan laut terganggu.

Di festival itu juga berdiri berbagai stand komunitas. Ada Bali Tolak Reklamasi (ForBali),  Savesharks, Sea Soldiers,  Yayasan Mangrove Indonesia Salina (Satu Laut Indonesia), Diet Kantong Plastik (IDKP), Miss Scuba Indonesia Kemangteer dan Save Bangka Island, 4C LSPR serta Hilo Green. Total 37 komunitas peduli lingkungan, fokus isu laut sekitar 15 komunitas.

Arifsyah mengatakan, Indonesia dua pertiga lautan dengan kondisi kini terancam beragam kegiatan pengelolaan tak berkelanjutan. “Sekitar 70% terumbu karang rusak. Mangrove 40% hilang. Ini menandakan ada yang salah.”

Ada upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan konservasi laut sampai 20 juta hektar 2020. Kini, terealisasi 16,4 juta hektar dari 31- juta hektar laut Indonesia. Namun, ada kegiatan kontradiktif dilakukan pemerintah seperti reklamasi pantai dan PLTU.

Panggung di Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Panggung di Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Puteri Indonesia Lingkungan 2015, Chintya Fabiola mengatakan, Indonesia mempunyai potensi laut sangat besar. “Acara ini penting menyadartahukan masyarakat agar menjaga apa yang ada. Kebersihan (laut), juga ikan.”

Menurut dia, yang diambil dari alam harus kembali ke alam. Dunia terus berputar. “Sungai harus dijaga jangan sampai tercemar. Air sungai bermuara ke laut. Saya berharap dari hal kecil dulu, misal jangan buang sampah sembarangan.”

Pernak pernik soal laut di Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Pernak pernik soal laut di Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung antri memasuki area Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung antri memasuki area Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Dari Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

Dari Festival Laut. Foto: Sapariah Saturi

DI Festival Laut juga ada pameran foto soal laut. Foto: Sapariah Saturi

DI Festival Laut juga ada pameran foto soal laut. Foto: Sapariah Saturi

 


Mengajak Cinta Bahari dan Perikanan Berkelanjutan di Festival Laut was first posted on September 20, 2015 at 8:44 am.

Soal INDC, AMAN Ragukan Keseriusan Pemerintah Libatkan Masyarakat Adat

$
0
0
Hutan adat Moi Kelim di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, sangat terjaga. Warga mempunyai kearifan membagi-bagi hutan mereka, ada untuk pemukiman, berkebun, sampai hutan larangan. Foto: Sapariah Saturi

Hutan adat Moi Kelim di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, sangat terjaga. Warga mempunyai kearifan membagi-bagi hutan mereka, ada untuk pemukiman, berkebun, sampai hutan larangan. Foto: Sapariah Saturi

Dalam paparan Intended Nationality Determined Contribution INDC atau niatan kontribusi resmi negara), awal September 2015, Dewan Pengarah Perubahan Iklim, Utusan Khusus Presiden, bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, berkali-kali menyebut masyarakat adat sebagai bagian penting dalam penanganan perubahan iklim Indonesia. Bahkan, kala bertemu Presiden Joko Widodo, kepada tim Presiden menekankan soal pelibatan masyarakat adat ini.

Namun, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), kecewa kala melihat dokumen INDC, pemerintah tak mengakui masyarakat adat sebagai indigenous peoples, tetapi disebut local community. Penyebutan ini, dinilai jelas-jelas menunjukkan ketidakseriuan pemerintah melibatkan masyarakat adat dalam penanganan perubahan iklim. AMAN juga merasa aneh, Indonesia mengingkari masyarakat adat sebagai indigenous peoples, padahal bukti-bukti dan dokumen menunjukkan pemerintah menggunakan istilah itu.  

Dalam kertas posisi AMAN, menyebutkan beberapa bukti dan dokumen pengakuan masyarakat adat sebagai indigenous peoples. Antara lain, pertama, Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, memperingati The International Day of the World’s Indigenous Peoples (Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia) 9 Agustus 2006. Pada peringatan di Taman Mini Indonesia Indah itu, SBY mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia, dan berkomitmen memajukan hak-hak mereka.

Kedua, Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Norwegia dan Pemerintah Indonesia tentang “cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation.” LoI yang ditandatangani di Oslo, 26 Mei 2010,  oleh Menteri Luar Negri Indonesia, R.M. Marty M. Natalegawa dan Menteri Lingkungan dan Pembangunan Internasional Norwegia, Erik Solheim, itu tegas mengakui indigenous peoples di Indonesia.

Ketiga,  Indonesia salah satu negara yang melaksanakan Forest Investment Program (FIP), merupakan mekanisme pendanaan di bawah Climate Investment Funds (CIF) yang membantu negara-negara berkembang menjalankan REDD+. Dalam berbagai dokumen resmi FIP yang disampaikan Pemerintah Indonesia, konsisten menggunakan istilah indigenous peoples.

Hutan adat Pekasa, di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa, NTB, yang berada di ketinggian tampak lebat dan berawan kala sore hari. Warga adat, hanya membuka lahan di tempat khusus pemukiman dan pertanian. Sedang hutan tak mereka ganggu gugat karena memang sebagai penyangga hidup mereka. Foto: Sapariah Saturi

Hutan adat Pekasa, di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa, NTB, yang berada di ketinggian tampak lebat dan berawan kala sore hari. Warga adat, hanya membuka lahan di tempat khusus pemukiman dan pertanian. Sedang hutan larangan tak mereka ganggu gugat karena memang sebagai penyangga hidup mereka. Foto: Sapariah Saturi

Indonesiapun, menerima dana US$17 juta. Bagi AMAN, pengingkaran ini bisa dimaknai pemerintah hanya memanfaatkan penggunaan istilah indigenous peoples demi mendapatkan dukungan finansial.

Indonesia, juga salah satu negara anggota PBB yang mendukung adopsi Sidang Umum PBB soal The UN Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat pada 13 September 2007. Sikap pemerintah dalam dokumen INDC jelas bertentangan dengan deklarasi ini.

Pengingkaran ini juga dinilai bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 yang menggunakan the UN Declaration on The Rights of Indigenous Peoples. Juga berbagai Instrumen HAM termasuk Konvensi ILO 169 tentang Indigenous and Tribal Peoples sebagai rujukan dan bukti putusan MK35 ini.

“Terus, gimana itu janji Jokowi ketika kami ketemu? Katanya  masyarakat adatlah pelaku utama untuk mitigasi dan adaptasi. Gak nyambung,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, awal pekan ini.

Tak hanya soal pemakaian istilah, pelibatan masyarakat adat dalam INDC itu juga tak jelas. Satu bukti,  tak ada pembahasan peta masyarakat adat padahal sudah diserahkan 6, 8 juta hektar dari total indikatif wilayah sekitar 54,7 juta hektar.

“INDC ini kan niatan negara ke depan. Mulai dulu peta wilayah adat yang  6,8 juta hektar. Kan berproses 10 sampai 20 tahun ke depan menuju peta indikatif. Kami justru pertanyakan peta adat tak masuk dalam INDC.”

“Kalau mau menyelamatkan 54,7 juta hektar yang sekarang ini hutan di wilayah adat, minimal disebutkan dalam INDC.  Ini tidak.”

Sikap pemerintah ini, dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah melibatkan masyarakat adat. “Kalau sudah data faktual di lapangan aja sudah tak dimasukkan dalam INDC, apalagi yang indikatif? Pertanyaan saya, terus niatan pemerintah untuk tingkat internasional apa?  Niatnya yang mana?Yang  didorong kan restorasi ekosistem. Korporasi lagi dong.”

Isu indigenous peoples, kata Abdon,  di level internasional sedang menguat. Semestinya, ini bisa menjadi peluang bagi Indonesia, tampil mengusung indigenous peoples di negeri ini, sebagai pelaku penanganan perubahan iklim.

Sebenarnya lagi, katanya, dengan indigenous peoples ini bisa jadi alat penggalangan internasional oleh pemerintah Indonesia. “Artinya,  hutan-hutan yang 54,7 juta hektar itu sebenarnya gak susah cari duitnya. Jangan masyarakat lokal. Kalau masyarakat lokal, pakai instrumen apa nanti?  Kalau pakai local community buat masyarakat adat, memang gak niat.” Kalau penyebutan masyarakat adat tak jelas, katanya, bisa dibilang pembangkangan terhadap Presiden Jokowi.

Rukka Sambolinggi, Deputi II Bidang Advokasi AMAN mengatakan, masyarakat adat selama ini tak ada perlindungan, konflik-konflik lahan dan sumber daya alam tinggi. Jika pemerintah tak menyebutkan jelas keterlibatan masyarakat adat dalam INDC, dia khawatir konflik dan masalah demi masalah akan mendera mereka. “Konflik akan meningkat kalau tak dikunci pemerintah (salah satu lewat INDC). Sedang Jokowi, katakan berjanji lindungi masyarakat adat yang alami konflik.”

Wimar Witoelar, salah satu anggota Dewan Pengarah Perubahan Iklim mengatakan, merujuk proses resmi keterlibatan publik dalam INDC, bisa melalui formulir umpan balik (feedback) yang tersedia dalam website Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. AMAN, katanya, bisa juga melakukan advokasi kepada tim maupun Menteri LHK, Siti Nurbaya. Namun, Wimar, juga akan menyampaikan langsung kertas posisi ini kepada tim.

Menurut dia, draf INDC ini, selama 24 jam terus dipantau dan diperbaiki. “Update sambil berjalan. Tak akan ada rapat khusus, karena sudah dipercayakan kerpada tim inti Dewan Pengarah.”

Nur Masripatin, Dirjen Perubahan Iklim KLHK mengajak, menyelesaikan masalah dengan AMAN ini lewat dialog  bersama.

Mengenai rencana awal Pemerintah Indonesia, akan men-submit INDC pada minggu kedua atau ketiga September 2015, tampaknya tertunda. “(Submit) tak sampai 30 September, yang pasti 20 September, ini belum,” ucap Nur.

Dokumen INDC ini akan diserahkan ke Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai langkah Indonesia ikut serta dalam upaya global mengatasi perubahan iklim di Conference of the Parties (COP) 21 yang akan digelar di Paris, pada 30 November sampai 11 Desember 2015.

Dokumen ini, disusun dengan kerja keras bersama Kementerian LHK, dengan Dewan Pengarah Perubahan Iklim, utusan khusus Presiden, Bappenas dan berbagai kementerian dan lembaga. Dari hasil pemikiran itu, keluar ketahanan nasional terhadap perubahan iklim dalam hal utama yakni, pangan, energi dan penyelamatan sumber daya air.

Presiden Joko Widodo, berbincang dengan Abdon Nababan (Sekjen AMAN) dan Wimar Witoelar (Pendiri Yayasan Perspektif Baru) kala audensi AMAN dengan Presiden di Istana Negara, Kamis (25/6/15). Dalam pertemuan ini, Presiden menegaskan soal  keterlibatan masyarakat adat sebagai pelaku utama dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sumber foto dari Yayasan Perspektif Baru


Soal INDC, AMAN Ragukan Keseriusan Pemerintah Libatkan Masyarakat Adat was first posted on September 20, 2015 at 6:04 pm.

Titik Panas Riau Tinggi Lagi, Udara Kalteng Masih Buruk

$
0
0
Tim pemadam kebakaran Kota Sampit berjibaku melawan kabut asap untuk memadamkan api di kebun warga. Api datang dengan tiba-tiba karena lahan gambut di sekitar sudah terbakar.Foto: Jenito

Tim pemadam kebakaran Kota Sampit berjibaku melawan kabut asap untuk memadamkan api di kebun warga. Api datang dengan tiba-tiba karena lahan gambut di sekitar sudah terbakar.Foto: Jenito

Kebakaran di Riau, kembali membara setelah sempat redam. Titik api terjadi peningkatan. Meskipun begitu jarak panjang di Pekanbaru,  membaik dan kualitas udara level sedang. Sementara kualitas udara  di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, masih berbahaya.

Data  BPNB menyebutkan, titik api (hotspot) di Sumatera naik setelah selama lima hari terakhir mengalami penurunan. Pantauan Terra Aqua Senin (21/9/15) pukul 05.00, mendeteksi di Sumatera 399 titik: Jambi (39), Bangka Belitung (19), Kepulauan Riau (1), dan Lampung (20). Lalu, Riau (189), Sumbar (2), Sumsel (124), dan Sumut (5). Di Kalimantan terpantau 208 titik: Kalbar (11), Kalsel (6), Kalteng (154), Kaltim (33), dan Kaltara (4).

Pada Minggu (20/9/15), pantauan satelit Terra & Aqua, di Sumatera 255 titik: Jambi (21), Babel (19), Lampung (20), Riau (118), Sumsel (72), Sumut (3). Kalimantan 36 titik: Kalbar (11), Kalsel (2), dan Kalteng (23).

“Hotspot di Riau meningkat karena kebakaran hutan dan lahan marak di Pelalawan, Kampar dan Indragiri Hulu,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (21/9/15).

Dia mencontohkan, Taman Nasional Tesso Nelo terbakar. Ada dua penyebab, api awal sudah padam lalu menyala lagi dan ada pembakaran baru.

Meskipun begitu jarak pandang normal di Riau, termasuk berbagai daerah kecuali Jambi dan Kalteng. Jarak pandang Senin  pukul 06.00 di Pekanbaru 6.000 meter, Padang 4.000, Jambi 400, Palembang 2.000, Pontianak 2.000, Ketapang 1.200, Sampit 100, Palangkaraya 200, Muara Teweh 1.00, Sanggu-Buntok 100, dan Banjarmasin 500 meter.

Untuk kualitas udara Minggu (20/9/15), Palangkaraya berbahaya (572), Pontianak sedang (70), Banjarbaru sedang (102), Medan sedang (87), Pekanbaru sedang (75), dan Palembang tidak sehat (206).

“Pada Senin, kualitas udara di Pekanbaru 136 sedang, Palembang 162, tidak sehat, Pontianak 88 sedang, Banjarbaru 136 sedang. Ini mengindikasikan secara umum kondisi mulai membaik,” katanya.

Asap pekat menyelimuti Kalteng. Foto: Jenito

Asap pekat menyelimuti Kalteng. Foto: Jenito

Pemadaman terus berjalan. Pada Minggu 20/9/15),  di Riau, water bombing dengan heli sikorsky arah Rengat 54 kali., arah pelalawan 49 kali. Kekuatan satgas darat ada 1.059 personel.

Pemda Riau, hanya mampu mendanai operasional tujuh pos kesehatan dengan masing-masing lima tenaga medis selama 17 hari dan dua shift.  “Selebihnya diharapkan bantuan dana BNPB,” katanya.

Pemadaman di Kalbar, water bombing 1.655 penyiraman, Jambi 33 penyiraman, Sumsel 23 sorti, Kalteng 47 penyiraman dan Kalsel 52 penyiraman. 

Posko Kesehatan Riau

Pada 14 September,  Plt Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman, menyatakan Riau tanggap darurat pencemaran udara karena asap pembakaran lahan. Sebelumnya masih mempertahankan siaga darurat . Desakan ubah status jadi tanggap darurat bermunculan dari kalangan masyarakat melalui media sosial maupun demo.  Setelah kondisi darurat, Pemerintah Riau mendirikan beberapa posko kesehatan dan lokasi evakuasi.

Ada tujuh titik posko. Di Rimbo Panjang, dan depan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk Panam. Di Rumbai, Halaman Kantor Pemadam Kebakaran. Di Jalan Jenderal Sudirman, ada tiga posko, depan Purna MTQ, depan Ramayana dan kantor BPBD. Di Jalan Diponegoro, Kantor Lembaga Adat Melayu jadi posko.

Posko ini menjadi tempat masyarakat mendapatkan pengobatan gratis dan pemeriksaan kesehatan. Dari tujuh posko, enam berbentuk tenda besar dari BNPB. Hanya satu dalam ruang tertutup, posko di LAM Riau.

Posko Rimbo Panjang dilengkapi fasilitas tempat tidur dan obat-obatan seperti vitamin, obat batuk, pilek dan antibiotik. Tabung oksigen juga tersedia. Tenaga medis, dua dokter dan dua perawat. Pemberian masker gratis juga dilakukan petugas posko.

“Hari ini baru tujuh orang datang memeriksakan kesehatan,” kata Neli, petugas Puskesmas Tambang. Ketujuh warga mengeluh gangguan pernafasan, batuk dan pilek. “Ada lansia, lebih banyak usia produktif.”

Beralih ke posko Panam. Tak ada warga memeriksakan kesehatan. Ada satu tempat tidur dalam tenda tertutup. Bagian luar ada meja. Hanya tampak dua kotak masker bedah dan dua botol oksigen. “Obat-obatan lain akan disuplai nanti ,” ujar Ruqqayah, petugas posko.

Hingga siang hari, 14 orang ke posko. Tiga anak-anak dan dua lansia. “Ada umur dua, delapan dan 10 tahun. Kalau dewasa ada 45 dan 50 tahun.” Warga mengeluh batuk, pilek dan gangguan pernafasan. Posko ini ada satu dokter, dua perawat dan bekerja sama dengan Satpol PP serta Rumah Sakit Jiwa Tampan.

Di Posko Rumbai,  baru 11 orang datang. “Nanti ramai sore. Kalau siang belum banyak,” kata petugas.  Posko yang banyak dikunjungi warga,  di depan Purna MTQ.  Hari itu, lebih 50 warga memeriksakan kesehatan. Ada anak-anak dan lansia mengeluhkan gangguan pernafasan. “Ada lima anak-anak dirujuk ke puskesmas karena tidak bisa diatasi disini, keluhan lebih berat,” ujar petugas posko.

Posko ini dilengkapi fasilitas lebih banyak dibanding dua posko sebelumnya. Ada tiga tempat tidur, mobil ambulans, serta obat-obatan. Jumlah tenaga medis juga banyak. Ada dua dokter, posko ini dilengkapi 10-15 perawat.

Posko kesehatan MTQ. Foto: Nurul Fitria

Posko kesehatan MTQ. Foto: Nurul Fitria

Beranjak ke posko di depan Ramayana, kondisi jauh berbeda. Posko lebih terbuka. Di dalam posko siap satu ambulans. Tampak dua tempat tidur.

Truk BNPB parkir dekat pintu masuk posko. “Obat-obatnya disini lengkap, tapi obat tetes mata habis dan oksigen botol juga tak ada,” ujar petugas. Dia mengeluhkan posko terlalu terbuka di tengah asap pekat .

Berada di bahu jalan raya Jendral Sudirman, posko ini ramai dikunjungi. Lebih 30 orang datang. Banyak juga meminta masker.

Sedang posko di depan Kantor BPBD, tak ada apa-apa. Hanya terpal di lantai dan meja merapat ke dinding posko. “Posko ada, tapi hari ini tidak ada orang. Semua pindah ke posko MTQ,” kata satpam.

Satu-satunya posko dalam ruang tertutup adalah di LAM Riau. Dilengkapi air conditioner, begitu membuka pintu masuk, udara dingin menyerbu. Ada lima tempat tidur berjejer dalam ruangan.

Warga datang lebih dari 25 orang, namun tidak ada yang dirawat intensif. “Keluhan batuk, sesak nafas, sakit tenggorokan dan iritasi mata,” kata Witri petugas.

Ada dua dokter dan tiga perawat dibantu tim bantuan medis Fakultas Kedokteran Universitas Riau. “Kita minta tolong buat disosialisasikan kepada warga soal posko-posko ini.”

Data Dinas Kesehatan Riau, 7 September, ada 12.262 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Jumlah tertinggi di Pekanbaru dan Dumai, 2160 dan 2038 kasus. Ada juga pneumonia 324 kasus, asma 315, iritasi mata 879 dan iritasi kulit 1. 256.

Kini, kabut asap di Riau, mulai berkurang. Jarak pandang mulai membaik tetapi titik api kembali naik. Jarak pandang Pekanbaru pukul 17.00 satu km dan ISPU 50-150 kategori sedang.

Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru pekan lalu pekat dengan kabut asap. Foto: Nurul Fitria

Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru pekan lalu pekat dengan kabut asap. Foto: Nurul Fitria

Posko Kesehatan depan Ramayana. Dua anak sedang mengeluh batuk-batuk. Foto: Nurul Fitria

Posko Kesehatan depan Ramayana. Dua anak sedang mengeluh batuk-batuk. Foto: Nurul Fitria

 


Titik Panas Riau Tinggi Lagi, Udara Kalteng Masih Buruk was first posted on September 21, 2015 at 10:49 pm.

Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Dokumen INDC Belum Jawab Persoalan Perubahan Iklim

$
0
0

Kepulauan Aru, yang masih memiliki tutupan hutan cukup bagus menjadi incaran investor. Banyak lagi pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terancam dampak kebijakan pemerintah. Foto: FWI-AMAN

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global menilai dokumen Intended Nationally Determined Contributions (INDC) belum menjawab persoalan perubahan iklim. Dokumen dinilai lemah, kurang jelas dan tidak partisipatif.

“Ini perlu diktitisi. Dokumen INDC jadi bagian komitmen. Kami menyarankan dokumen ini bisa memasukkan unsur-unsur spesifik, terukur, relevan dan berbasis waktu. Untuk mencapai target penurunan emisi yang bisa diverifikasi ke depan,” kata juru bicara Koalisi, Sisilia Nurmala Dewi di Jakarta, Kamis (17/9/15).

Aktivis Perkumpulan HuMa itu mengatakan, INDC seharusnya mencakup kegiatan kredibel yang akan dijalankan pemerintah mulai kini hingga 2020 berbasis pembangunan bertanggung jawab, jangka panjang dan nol deforestasi.

“Kami bertanya-tanya, beberapa kali konsultasi tapi tak dibuka ruang masyarakat sipil agar beri masukan. Draf sekarang baru 30 Agustus dibuka.”

Dokumen INDC, katanya, harus diperbaiki mengingat posisi negara ini penting danunik. Satu sisi harus melakukan langkah signifikan dalam mitigasi perubahan iklim. Sisi lain rentan. Dengan penduduk 250 juta harus mengembangkan ekonomi, dan dituntut menyelamatkan lingkungan.

“Dokumen sekarang  ini tak serius. Emisi bukan hal main-main. Apakah intensi pengurangan emisi dijawab dengan jelas? Bagaimana masyarakat rentan terlindungi hak-haknya? Jangan sampat ada pengingkaran terhadap masyarakat adat. Energi, limbah, biofuel, dan kondisi penegakan hukum tak disebut jelas bagaimana tahapan dalam dokumen itu.”

Dia berharap, INDC menjadi panduan penanganan perubahan iklim serius karena banyak mata tertuju pada Indonesia sebagai negara yang dianggap cukup maju dalam langkah perubahan iklim. “Kita harus tunjukkan, Indonesia nggak melangkah mundur.”

Pius Ginting dari Walhi mengatakan, dalam dokumen pemerintah itu ada poin tentang energi, namun sangat menyesatkan.

“Dalam 2030, emisi karbon Indonesia tak akan berkurang. Disebutkan porsi energi terbarukan 23%. Tapi tak gambarkan kondisi utuh. Sebab dalam memenuhi energi, Indonesia masih tergantung batubara.”

Kondisi ini akan membuat emisi karbon Indonesia makin meningkat, terlebih dengan pembangkit listrik 35.000 MW mayoritas batubara.

Pius menyarankan, pemerintah  menyebutkan tahun puncak penggunaan batubara dalam INDC, misal, Indonesia akan mencapai puncak penggunaan batubara tahun 2020 atau lebih awal.

“Itu lebih bijak dibandingkan menyebutkan akan menggunakan energi terbarukan 23%. Tetapi bukan prioritas bagaimana berperilaku terhadap energi fosil khusus batubara,” katanya.

Batubara. Meskipun sudah sadar kalau batubara sumber energi kotor dan penuh polutan, pemerintah masih saja berencana membangun 35.000 MW pembangkit, dengan sekitar 60% dari energi batubara. Foto: Hendar

Christian Purba,  Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia mengatakan, dalam INDC disebutkan, Indonesia negara kepulauan, hingga adaptasi perubahan iklim berbasis darat dan laut sebagai strategi menjamin ketahanan pangan, air dan energi. Kenyataan, dari 7 juta hektar daratan pulau-pulau terkecil hanya tersisa 48% memiliki tutupan hutan. “Pulau-pulau kecil salah satu isu penting INDC.”

Kerentanan pulau-pulau kecil, katanya, memang tergantung ekosistem dan alam. Namun, banyak kebijakan pemerintah mengancam pulau-pulau kecil, seperti memberikan kekuasaan investasi baik buat HTI, HPH, tambang dan lain-lain.

Dia mengatakan, misi Presiden Joko Widodo mendorong poros maritim, tentu paling krusial pulau-pulau kecil. “Saya kira perlu pembenahan lebih serius. Bagaimana menyusun strategi adaptasi, mitigasi, juga bagaimana pendistribusian lahan kelola masyarakat. RPJMN sudah jelas. Dalam INDC ada diselewengkan, tidak sinergis.”

Dari AMAN Hangky Satrio mengatakan, dalam INDC masyarakat adat disebut adat communities. Bukan indegenous peoples.

“Keluarnya MK 35 menyatakan indigeneous peoples sebagai identitas masyarakat adat. Dalam INDC disebut adat communities. Itu sesuatu yang berbeda.”

Dia menyoroti, pendekatan berbasis hak dalam dokumen INDC. Setidaknya,  ada 24,6 juta hektar wilayah adat berhutan dan dijaga. Sebanyak 30 juta hektar lagi sebenarnya bisa direhabilitasi. “Apabila hak kelola diberikan kepada masyarakat adat, sebenarnya selesai.”

Yuyun Indradi dari Greenpeace ikut berkomentar. Dokumen INDC, katanya, tidak menjawab komitmen penurunan emisi maupun permasalahan kebakaran hutan dan lahan.

“Mestinya dari awal diidentifikasi, alihfungsi lahan, deforestasi, menyumbangkan emisi terbesar di Indonesia, sekarang masih terjadi hal-hal sama.”

Yuyun merasa aneh jika INDC tidak mengakomodir hal-hal serius yang mesti ditangani pemerintah segera, terutama sektor kehutanan dan alihfungsi lahan.

“Dokumen INDC harusnya memuat langkah mereview izin perusahaan yang beroperasi di ekosistem gambut Sumatera dan Kalimantan. Apa langkah-langkah dan seharusnya tercermin dalam INDC.”

Begitu juga soal penetapan angka penurunan emisi karbon, dari 26% sampai terbaru 29%,  referensi tak jelas. “Agak aneh. Proses tidak terbuka. Kita tuntut partisipasi dan keterbukaan.”

Diana Giltom dari Debtwatch Indonesia bicara soal akuntabilitas, efektivitas, efisiensi dan akses masyarakat dalam dokumen INDC.

“Dokumen ini tidak banyak berbicara soal pendanaan. Hanya dua paragraf pada halaman lima dan tujuh.”

Disitu dijelaskan, sejak 2007-2014, untuk adaptasi dan mitigasi Indonesia menghabiskan dana US$17,48 miliar. Untuk 2015-2019, anggaran nasional US$55,01 miliar.

“Dokumen INDC tidak bilang penggunaan dana sebelumnya dan apa evaluasi. Kami melihat penting mengevaluasi dan punya basis data soal penggunaan seperti apa sebelumnya.”

 

 

 


Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Dokumen INDC Belum Jawab Persoalan Perubahan Iklim was first posted on September 21, 2015 at 11:41 pm.

Komunitas Adat Muara Tae Peroleh Penghargaan Lingkungan Internasional

$
0
0

Lahan dan hutan Masyarakat Muara Tae sudah dikepung perkebunaan dan pertambangan sejak 1971. Foto: Erma Woelandari

Komunitas Adat Muara Tae, salah satu anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kutai Barat, Kalimantan Timur, Indonesia, mendapatkan penghargaan lingkungan internasional, Equator Prize, yang diumumkan di New York, Senin malam (21/9/15).

Perjuangan komunitas ini mempertahankan lingkungan hidup mereka dari ‘rampasan’ korporasi seperti HPH, sawit dan tambang sejak puluhan tahun silam. Korporasi datang merampas wilayah adat, hutan, sungai mereka. Perampasan hutan adat komunitas ini masuk salah satu kasus yang ditangani dalam Inkuiri Nasional Komnas HAM.

“Mereka berjuang di berbagai arena, saat ini tanah mereka makin berkurang,” kata Rukka Sambolinggi, Deputi II Bidang Advokasi AMAN.

Modus perusahaan masuk, katanya,  dengan berbagai cara, dari mengadu domba warga, janji palsu bahkan memobilisasi komunitas tetangga (Muara Ponak) untuk mengakui kepemilikan tanah di Muara Tae—lalu menyerahkan ke perusahaan. “Pemerintah daerah tak berpihak. Bahkan setelah inkuiri nasional, ketua adat yang melawan sawit malah dipecat oleh Presidium Dewan Adat Kutai Barat.”

Menurut Abdon Nababan, Sekjen AMAN, Komunitas Muara Tae ini kumpulan pejuang yang tak kenal menyerah mempertahankan hutan adat mereka. Perusahaan, katanya, silih berganti berusaha menaklukkan mereka dengan sokongan pemerintah pusat dan daerah. “Teranyar, bupati memberhentikan kepala desa dilanjutkan pemecatan kepala adat oleh Presidium Dewan Adat, agar mereka menyerahkan wilayah dan hutan kepada perusahaan sawit,” katanya kala dihubungi Mongabay.

Meskipun tekanan begitu kuat, komunitas ini terus bertahan bahkan bekerja kerja merestorasi lahan yang dirusak perusahaan dengan menanam kembali pohon-pohon asli.

“Penghargaan ini sangat layak untuk Kampung Muara Tae. Buat keberanian dan keteguhan mereka melawan persekongkolan pemerintah kabupaten, perusahaan sawit, tambang dan elit lokal Dayak yang bekerja untuk kepentingan perusahaan.”

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM senang dan mengucapkan selamat kepada Komunitas Muara Tae telah menerima penghargaan ini.  “Mereka memang berjuang luar biasa dan berbagai cara untuk mendapatkan kembali wilayah adat, termasuk hutan dan kebun mereka.”

Penggundulan hutan di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur untuk perkebunan kelapa sawit. Foto: Telapak

Meskipun begitu, katanya, masalah penguasaan dan pengelolaan wilayah mereka belum selesai. Inkuiri Nasional Komnas HAM telah merekomendasikan beberapa hal namun belum berjalan. Pertama, Pemerintah Kutai Barat, memoratorium perizinan dan meninjau kembali batas wilayah serta evaluasi izin lokasi maupun usaha yang sudah diterbitkan. Kedua, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN agar menunda penerbitan HGU untuk PT PT Borneo Surya Jaya Mining (BSMJ) dan PT Munte Wanig Jaya Perkasa (MWJP). Juga plus rekomendasi umum kepada Polri.

Sandra berharap, penghargaan Equator Prize ini bisa ditindaklanjuti oleh Presiden dengan memberikan kepastian perlindungan kepada masyarakat adat. “Ini perlu aksi cepat dan final melibatkan berbagai kementerian dan lembaga terkait.”

Christian Purba, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, mengatakan, masyarakat adat Muara Tae merupakan pejuang mandiri dalam melawan perampasan lahan oleh perusahaan yang didukung pemda. “Perjuangan mereka sangat panjang dimulai akhir 90-an ketika mereka melawan PT London Sumatera.”  Lalu, pada 2010, dia ketemu lagi ketika masyarakat Muara Tae berhadapan dengan  MWJP dan BSJM.

Awalnya, organisasi lingkungan, Telapak, mulai mendukung perjuangan masyarakat Muara Tae, dengan mengajak AMAN, FWI maupun Environmental Investigation Agency (EIA) bersama-sama membantu perjuangan  Muara Tae.

“Penghargaan ini bentuk penghormatan atas dedikasi masyarakat  yang tidak pernah lelah mempertahankan wilayah maupun hutan adat mereka dari kehancuran karena eksploitasi dan ekspansi perusahaan-perusahaan,” ujar Bob, panggilan akrabnya.

Menurut dia, sudah seharusnya penghargaan ini bisa mengubah pandangan pemda berbalik mendukung perjuangan masyarakat Muara Tae. Pemda, katanya,  harus menghentikan semua upaya atau kegiatan eksploitasi yang menghancurkan wilayah komunitas ini.

“Perjuangan Muara Tae sudah diakui internasional, masa’ di tingkat lokal dan nasional pemerintah Indonesia tidak mendukung perjuangan rakyat. Apalagi Indonesia sudah komit dengan agenda-agenda perubahan iklim.”

Muara Tae, merupakan sebuah kampung Suku Dayak Benuaq berada di Kecamatan Jempang, Kutai Barat, Kaltim, sejak bertahun-tahun tidak pernah tenang dirundung berbagai persoalan konflik lahan.

Dikutip dari Mongabay, sebelumnya, sejak 1971,  ketika perusahaan HPH PT Sumber Mas,  membuka areal konsesi hutan di sana yang diteruskan dengan penanaman HTI.

Sejak 1995, perkebunan PT London Sumatra masuk berujung konflik dan penangkapan warga oleh polisi pada 1999.  Selain konflik lahan dengan perusahaan sawit, bagian bentang di Kecamatan Jempang juga berubah menjadi konsesi tambang batubara sejak keberadaan PT Gunung Bayan Pratama Coal pada 1993.

Pada 2011, dua perusahaan sawit yaitu MWJP dan BSJM membuka lahan di lima kampung di Kecamatan Siluq Ngurai yaitu Kenyanyan, Rikong, Kiaq, Tendik dan Muara Ponak.

Namun blok hutan adat Utaq Melinau seluas 638 hektar terletak di perbatasan antara dua kampung yaitu Muara Ponak dan Muara Tae,  masih bersengketa.

Bagi masyarakat Muara Tae, wilayah ini masih bagian yang telah digarap turun temurun, mereka beranggapan lahan ini telah dilepaskan sepihak oleh Masyarakat Muara Ponak kepada perusahaan perkebunan.  Hingga kini, kedua komunitas bersikukuh bahwa blok hutan ini bagian wilayah adat mereka.

Adapun blok hutan itu berada di sepanjang jalan yang dibuat perusahaan kayu PT Roda Mas pada 1978. Pada 2012, Bupati Kutai Barat mengeluarkan SK Bupati no. 146.3 yang menetapkan batas wilayah antara Kampung Muara Ponak, Kecamatan Siluq Ngurai dengan Kampung Muara Tae Kecamatan Jempang.  Dalam SK ini, Bupati menyebutkan, warga Muara Ponak adalah pemilik sah dari wilayah itu.

Tidak puas dengan keputusan bupati, warga Muara Tae membawa persoalan ke pengadilan.  Kalah di tingkat pengadilan pertama, Muara Tae membawa persoalan ke kasasi.

Dalam wilayah bersengketa ini, BSMJ, pada 17 April 2013 mendapatkan surat dari Panel Pengaduan RSPO  (Roundtable on Sustainble Palm Oil) untuk menghentikan segala aktivitas di wilayah adat yang bersengketa, selama konflik lahan belum selesai.

Petrus Asuy, tokoh adat Muara Tae yang gigih bersama masyarakat mempertahankan hutan adat mereka. Foto: Yustinus S. Hardjanto

Sejak surat itu, BSMJ menghentikan pembukaan lahan, meskipun masih beraktivitas dengan menanami areal yang  telah dibuka.  Forum RSPO merupakan forum internasional para pemangku kepentingan sawit, induk perusahaan BSMJ, yaitu First Resources, Ltd bergabung.

Hingga kini, masyarakat Muara Tae, terus berupaya mempertahankan sisa hutan di wilayah sengketa.  Mereka membangun pondok-pondok jaga di dalam hutan, pemetaan kawasan adat, menginventasir kekayaan hayati dan pembibitan pohon lokal.

Dua lagi dari Indonesia

Selain Komunitas Adat Muara Tae, ada dua kelompok lagi yang mendapatkan penghargaan ini dari Indonesia. Yakni, Kelompok Peduli Lingkungan Belitung dan Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi, komunitas lintas negara, Indonesia-Malaysia.

Equator Prize diberikan kepada mereka yang berada di garis depan dalam upaya global melindungi hutan, satwa liar, lanskap pertanian, sumber daya alam dan hak atas tanah.

Mereka ini, kelompok masyarakat yang berhasil menangani tantangan iklim, lingkungan dan kemiskinan  baik dari pembalakan liar,  konflik lintas batas untuk mega proyek, seperti bendungan di sudut-sudut terpencil dunia.

Pemenang akan mendapatkan penghormatan pada upacara penghargaan tingkat tinggi Senin (7/12/15) di Paris, Perancis bersamaan dengan Konferensi Perubahan Iklim PBB.

Para pemenang ini diambil dari 1.461 nominasi dari 126 negara. Sebanyak kelompok atau komunitas dari 19 negara, termasuk Indonesia, mendapatkan penghargaan ini. Yakni dari Afghanistan, Belize, Bolivia, Brazil, Kamboja, Tingkok, Kolombia, Kongo, Ethiopia/Kenya (lintas  batas), Guyana, Honduras, Iran, Madagascar, Malaysia/Indonesia (lintas batas), Papua New Guinea, Tanzania dan Uganda.

Warga Muara Tae mengawasi operasi bulldozer perusahaan. Sumber: Indiegogo team


Komunitas Adat Muara Tae Peroleh Penghargaan Lingkungan Internasional was first posted on September 22, 2015 at 3:00 am.

Satu HPH Dicabut, Tiga Izin Kebun Sawit Dibekukan

$
0
0

Presiden Jokowi, saat meninjau langsung lahan gambut yang terbakar milik PT. Tempirai Palm Resources di Desa Pulau Geronggang, Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Foto: Humas Pemkab OKI

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjatuhkan sanksi administrasi  kepada empat perusahaan di Sumatera Selatan dan Riau, dengan mencabut satu izin perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) dan pembekuan tiga izin perkebunan sawit.

Perusahaan-perusahaan itu, PT Hutani Sola Lestari, HPH grup Raja Garuda Mas (RGM), sekitar 49.000 hektar yang memperoleh izin pada 1999 di Riau.

Menurut data APHI, yang jadi  data base dalam website Cifor, HSL disebut grup GRM (Royal Golden Eagle/RGE). Namun RGE membantah ada keterkaitan mereka dengan HSL. “PT RGE Indonesia beserta perusahaan-perusahaan yang bernaung di bawah PT RGE Indonesia tidak memiliki saham di PT Hutani Sola Lestari,” kata Ignatius Purnomo,  Head of Corporate Communications RGE Indonesia, saat dikonfirmasi Mongabay.

Lalu tiga perusahaan sawit yakni, PT Langgam Inti Hibrindo (Riau), PT Tempirai Palm Resources dan PT Waringin Agro Jaya di Sumsel. PT Tempirai ini, merupakan lahan terbakar yang didatangi Presiden Joko Widodo, belum lama ini. 

Luasan kebun sawit yang terbakar belum disebutkan dengan alasan baru pengukuran lapangan.  Namun, dari keterangan sebelum itu, pembekuan izin pada perusahaan yang terkena sanksi moderat dengan lahan terbakar 100-500 hektar.

Penjelasan Siti Nurbaya, Menteri LHK, baru-baru ini, mengatakan, perusahaan dengan sanksi moderat, kena pembekuan izin selama enam bulan sampai pembuktian indikasi pelanggaran, merehabilitasi lahan terbakar dan diambil alih pemerintah. Juga harus meminta maaf kepada publik terbuka.

Sanksi berat, berupa pencabutan izin lingkungan. Ditambah harus merehabilitasi lahan terbakar sebelum diambil alih pemerintah. Juga harus meminta maaf kepada publik terbuka. Ditambah proses pidana dan perdata.

Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono dalam jumpa pers  Selasa (22/9/15) mengatakan,  terhitung 22 September, seluruh operasional tiga perusahaan sawit  itu dihentikan di lapangan.

Sanksi ini, katanya, menggunakan pendekatan areal terbakar. Tim telah menganalisis informasi di lapangan hingga keluar putusan ini. “Areal ini jadi bagian yang sumbang asap dan berikan dampak kesehatan dan telah membuat penderitaan masyarakat luas.”

Dengan pembekuan izin ini, ucap Bambang, bisa berdampak pada sanksi lebih berat yaitu, pencabutan izin. “Ini  menghentikan kegaitan operasi usaha sampai selesai proses pidana. Jadi, secara paralel perusahaan-perusahaan tadi juga dilakukan proses hukum dilakukan oleh kepolisian. (Sebagian) tingkatan sudah tersangka. Proses ini akan jalan terus. KLHK ambil sikap, pembekuan izin sampai selesai proses pidana dan operasi di lapangan berhenti.”

Setelah sanksi ini, katanya, areal yang terbakar harus dikembalikan kepada negara paling lambat 60 hari atau dua bulan. “Nanti untuk luasan akan dihitung lagi. Areal yang terbakar jadi salah satu bukti proses hukum berikutnya.”

Menurut dia, ketika lahan-lahan berada di bawah  hak guna usaha (HGU)–menjadi tanggung jawab Kementerian Agraria dan Tata Ruang–, juga paralel akan mengikuti keputusan Menteri LHK. “Karena proses pengembalian areal tak lepas dari peran BPN.  Areal ini nanti dilakukan restorasi yang akan jadi tanggung jawab pemerintah.”

Lahan-lahan ini, kata Bambang, akan menjadi areal tata kelola baru,. “Akan dilihat, apakah memungkinkan jadi izin usaha atau kelola  berbesis masyarakat.”

Setelah pembekuan izin ini, katanya, perusahaan dalam 90 hari harus melengkapi sarana dan prasarana penanganan kebakaran lahan. “Agar areal ini tak terbakar lagi dan perusahaan tetap harus bertanggung jawab. Karena ini pembekuan izin.” Perusahaan juga harus meminta maaf kepada publik.

Sedangkan bagi HPH yang izin dicabut, kata Bambang, terhitung 21 September 2015, menghentikan semua kegiatan berbentuk apapun dan paling penting seluruh kewajiban finasial tetap harus dikembalikan. “Yang belum diselesaikan harus dibayar. Inilah sanksi pencabutan izin di HPH.”

Keseluruhan, ada 200-an perusahaan sedang diproses pengenaan sanksi administrasi di KLHK, sebagai tahap awal penegakan hukum, paralel dengan proses pidana dan perdata. Empat perusahaan ini, menjadi sesi awal dan diperkirakan paling lambat selesai proses sanksi administratif pada Desember 2015. Kepolisian sudah memproses hukum perusahaan itu, seperti PT LIH di Riau dengan tersangka sudah ditangkap dan PT Tempirai di Sumsel.

Salahkan warga

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) menolak angggapan perkebunan sawit sebagai biang kerok dari kebakaran hutan dan lahan. Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono di Jakarta, Selasa (22/10/15) menyebut, tak bijak saling menyalahkan tetapi dari paparan dia kerap menyasar pelaku pembakaran itu warga.

Katanya, kebakaran bukan disengaja. Sebab, kalau terbakar perusahaan rugi. Diapun mengklaim anggota GAPKI yang lahan terbakar hampir semua sudah dipadamkan.

LIH, di Riau, yang baru terkena sanksi pembekuan KLHK dan sedang proses hukum di kepolisian sebagai anggota GAPKI. Namun, katanya, dari laporan yang diterima, perusahaan telah memadamkan api sendiri. Lagi-lagi dikatakan kalau api bukan dari lahan perusahaan tapi kawasan sekitar. Bahkan, dia menyatakan LIH itu korban kebakaran.

Meskipun begitu, katanya, GAPKI mendukung penegakan hukum oleh pemerintah. “Jika perusahaan itu terbukti melanggar. Artinya yang sengaja membakar. Kalau secara tak sengaja terbakar, tak bisa. Karena perusahaan berusaha memadamkan api. Jangan sampai upaya penyelesaian masalah ini hanya sektoral.”

Dia juga menyoroti penyegelan kebun oleh KLHK. Menurut Joko, langkah ini berbahaya karena selama lima tahun mendatang, lahan tak ada yang mengurus dan berpotensi menimbulkan kebakaran. “Main cabut juga menimbulkan ketidakpastian hukum.”

Soal daftar hitam (black list) bagi perusahaan terbukti terbakar seperti usulan Kapolri Badrodin Haiti, malah dinilai Joko sebagai orang yang tak tahu permasalahan. “Sangat disayangkan.”

Dia mengutip data Global Forest Watch (GFW), bahwa kebakaran di lahan sawit hanya 16%, terbesar yang tak dibebani izin. “Petani yang membakar yang perlu kita pikirkan bersama. Melarang saja, juga tidak bijak. Karena fakta mereka  membakar motif karena ekonomi. Apakah misal, pemerintah mulai berpikir memberikan insentif petani yang tidak membakar. Atau ada dana BLU.”

 


Satu HPH Dicabut, Tiga Izin Kebun Sawit Dibekukan was first posted on September 22, 2015 at 10:47 pm.

World Rhino Day: Berupaya Menyelamatkan Badak dari Kepunahan

$
0
0
Badka yang terekam kamera pengintai. Foto: Taman Nasional Ujung Kulon

Badak Sumatera yang terekam kamera pengintai di Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: YLI

Kehidupan badak kian terancam. Bukan hanya habitat atau hutan yang kian tergerus, perburuan pun masih berlangsung. Pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menargetkan dalam lima tahun kedepan meningkatkan 20% populasi badak Jawa dan Sumatera, yang kini status terancam punah.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat diwawancarai Mongabay, belum lama ini mengatakan, dalam rencana jangka menengah sudah ada, selama lima tahun harus ada kenaikan 20% populasi badak Jawa dan Sumatera, yang di Indonesia. Target itu, diperlakukan sama terhadap harimau, orangutan, dan satwa terancam punah lain.

Dia menjelaskan, khusus badak Jawa, hanya tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon. Ini dataran rendah dikelilingi laut, jika terjadi bencana alam bisa mengancam kehidupan badak  itu. Untuk itu, kini diinisiasi pencarian tempat baru yang layak bagi badak Jawa.

Begitu juga badak Sumatera, kata Siti, masih ditemukan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan beberapa wilayah lain di Indonesia. Untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka, ada kemungkinan dibuat konsep pemindahan ke lokasi lain yang lebih baik dan terkontrol. “Agar proses perkawinan lebih besar jika disatukan hingga kenaikan populasi 20% bisa terwujud.”

Saat ini, katanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih mempelajari, dengan menggandeng sejumlah organisasi, dan peneliti badak.

“Ini masih dipelajari. Target kita proses pemindahan bisa menjaga keberlangsungan hidup badak baik di Ujung Kulon juga badak Sumatera.”

Tachrir Fathoni, Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (KSDAE), KLHK mengatakan,  konsep pemindahan badak itu, salah satu cara agar perkembangbiakan lebih cepat. Sebab, jika murni di alam, khawatir frekuensi pertemuan pengembangbiakan tidak bisa terkontrol.

Khusus badak Jawa, mengingat jumlah tidak sampai 100, dan sangat terancam punah, maka akan ada pemindahan ke lokasi lain.

Sedangkan Umamat Rahmad, Kepala Seksi Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Direktorat Jenderal KSDAE, juga peneliti badak Jawa, mengatakan, badak Jawa, satu dari lima jenis badak di dunia. Dulu habitat sangat luas baik di Jawa maupun Sumatera. Namun, kini tinggal ada di TNUK. Pada 2011, badak Jawa punah di Vietnam.

Populasi saat ini di TNUK , berdasarkan video trap, jumlah diperkirakan tinggal 57 individu. Kondisi habitat cukup bagus, walaupun ada gangguan inflasi areal, hingga pakan tidak tumbuh bagus.

Menurut dia, langkah penyelamatan badak Jawa, dengan menyiapkan sarana yang saat ini dibuat Japan Study  Conservation Area, di TNUK. Juga buat populasi kedua. Dengan kondisi badak Jawa di Ujung Kulon, dan badak Sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser yang terancam, diupayakan memperbanyak kantong baru “rumah baru” bagi mereka.

KLHK, katanya, sudah survei sejumlah lokasi, mulai Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Gunung Sanca, Taman Nasional Alimursala, Hutan Baduy, Akar Sari, Pulau Panaitan, Waikambas, sampai Harapan Koles di Jambi. Konsepnya peningkatan di alam dibantu penangkaran semi alami.

Begitu juga badak Sumatera, selain di TNGL juga ditemukan di Bukit Barisan Selatan, dan Way Kambas. “Badak Sumatera memiliki sebaran lebih luas, namun kondisi kantong-kantong ini terputus, hingga lebih menghawatirkan. Atas dasar itu juga jumlah diduga kurang dari 100 individu.”

Menurut Mamat, badak Jawa dan Sumatera, pernah hidup berdampingan di Sumatera. Bedanya, badak Jawa hidup di dataran rendah, dan badak Sumatera beradaptasi dan ada di dataran tinggi. Karena badak Jawa punah terlebih dahulu di Sumatera, karena hidup di dataran rendah. Ia lebih banyak dirambah manusia, hingga punah duluan.

Terbaru, badak Sumatera ditemukan di Kalimantan. Dahulu pernah dinyatakan punah, namun ditemukan jejak dan wujud di Kutai Barat, berkelamin jantan dan betina. “Agar tidak punah, akan dilakukan rapat nasional penyelamatan badak Sumatera di Kalimantan.”

Secara ekologis, katanya, badak Jawa lebih banyak jantan hingga perlu campur tangan manusia untuk menstabilkan sekrasio. Sekrasio sebenarnya di mamalia minimal 1:2. Artinya,  satu jantan dua betina. Lebih bagus lagi satu jantan empat betina.

Sedangkan Kuswandono, Kepala Bidang Teknis Balai Besar TNGL, mengatakan, di beberapa lokasi TNGL, masih ada hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas. Namun, beberapa kawasan langsung berbatasan dengan wilayah masyarakat atau masuk areal penggunaan lain hingga tantangan tersendiri.

“Artinya, jika serius ingin melindungi hutan konservasi sebagai kantong terakhir pelestarian ekosistem, termasuk badak tidak bisa dilakukan sendiri BBTNGL. Harus ada dukungan pemerintah daerah, politisi lokal, dan masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar TNGL.”

Dalam pemantauan badak, mereka memakai peta lokasi dan memasang camera trap di sejumlah titik yang dianggap area badak.  Populasi badak di TNGL,  katanya, juga berkembang biak. Ini termonitor dari camera trap yang merekam kegiatan mereka.

 

 


World Rhino Day: Berupaya Menyelamatkan Badak dari Kepunahan was first posted on September 22, 2015 at 11:32 pm.

Mereka Suarakan Jaga Lingkungan Lewat Seni dan Hasil Tani

$
0
0
Penampilan grup musik Dendang Kampungan membawa pesan agar warga kampung menjaga kekompakan dari ancaman investor hotel dan mall. Foto: Tommy Apriando

Penampilan grup musik Dendang Kampungan membawa pesan agar warga kampung menjaga kekompakan dari ancaman investor hotel dan mall. Foto: Tommy Apriando

Empat anak laki-laki menari kuda lumping. Anak-anak perempuan asik memainkan permainan tradisional di panggung masyarakat Kampung Ledok Tukangan, Kota Yogyakarta. Di sekitar panggung, ada mural menggambarkan kondisi hutan makin banyak ditebang dan ikan-ikan terus ditangkapi.

Inilah gawe Komunitas Sanggar Anak Kampung Indonesia (SAKI) Ledok Tukangan bekerja sama dengan Center for Civic Engagement and Studies menjadi penggagas Festival “Kampungku Uripku 2” Sabtu, akhir pekan lalu..

Anang, pimpinan SAKI mengatakan, ruang hidup warga Urban Yogyakarta, makin terdesak pembangunan mal dan hotel. Ia berdampak menyingkirkan masyarakat kampung dan krisis air sumur.

Komunitas SAKI, katanya, merespon persoalan dengan cara kreatif. Pemuda dari GPPOB Prawirotaman II membuat foto tentang ruang-ruang kampun, Komunias Cemara di Ledok Code membuat lampion dan SAKI membuat gerobak perpustakaan keliling dan gerobak outlet produk karya anak kampung.

“Gerobak perpustakaan keliling menjadi lumbung pengetahuan saat terjadi banjir, kelak dapat diselamatkan karena mobile,” katanya.

Gerobak ini akan keliling kampung, terutama tempat-tempat berkumpul warga, baik ibu-ibu, anak-anak, pemuda dan lain-lain. SAKI juga membuat lima signage berupa gurpon (rumah burung merpati) bertuliskan pesan-pesan seputar pemeliharaan lingkungan dan kritik keterdesakan ruang hidup Yogyakarta dengan mal dan hotel.

“Kegiatan ini diharapkan memberikan pemahaman bersama menjaga lingkungan agar tetap bersih. Juga , menjaga kampung dari pembangunan mal dan hotel.”

Pameran instalasi taman karya warga Desa Dlimas  untuk dekorasi pernikahan. Foto: Tommy Apriando

Pameran instalasi taman karya warga Desa Dlimas untuk dekorasi pernikahan. Foto: Tommy Apriando

Alam dan lahan pertanian

Sebelum itu, ruh senada, ada Festival Nglemah Nglumbung di Klaten. Tema ini, dalam dalam bahasa Jawa, dari kata lemah (tanah) dan lumbung. Dalam kata kerja, keduanya merupakan tindakan.

Rudi Yesus, pimpinan Padepokan Kyai Suluh bersama masyarakat desa bikin acara kreatif ini untuk mengangkat dan memadukan pengembangan ekonomi dengan kecintaan lingkungan dan kebudayaan melalui praktik seni tradisi.

Nglemah berarti menghargai tanah sebagai media kehidupan. Nglumbung, entitas bagaimana manusia mengolah tanah. Lumbung tidak hanya menyimpan hasil, tetapi menghubungkan antara tanah, manusia, dan kebudayaan,” kata Rudi.

Konsep festival lahir dari fakta yang kini terjadi di Dlimas, dan wilayah lain Klaten. Banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi industri, dan degradasi seni tradisi di kalangan anak muda.

“Untuk mempertahankan kekayaan seni tradisi serta lingkungan, transformasi pada generasi muda menjadi hal sangat krusial.”

Menurut Rudi, wajah Klaten tengah berubah, dari lumbung pangan untuk Jawa Tengah dan sekitar, menjadi mengancam ketahanan pangan.  Luas Klaten 65.556 hektar. Sebesar 39.758 hektar lahan pertanian dan 33.374 hektar (83,94%) sawah. Dari luas itu, 33.277 hektar (99,71%)  tani padi.

Namun, data BPS Klaten 2012 , lima tahun terakhir  terjadi alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi non pertanian. Bahkan pada 2005-2009 di Klaten, lahan pertanian berkurang 245,3607  hektar, 61,38% untuk perumahan, selebihnya industri, perusahaan dan jasa.

Produksi  padipun menurun, seperti data 2010, tercatat 302.893 ton menjadi  206.815 ton untuk padi sawah pada 2011.

“Generasi muda memilih keluar dari desa mencari pekerjaan. Lewat festival ini coba memadukan pengembangan ekonomi kreatif dengan kecintaan lingkungan dan kebudayaan.”

Dalam kegiatan ini, ada pameran foto warga menggunakan kamera ponsel. Ada berbagai keramik dari tanah liat dan kreasi dompet daur ulang plastik. Hasil-hasil pertanian organik dan berbagai tanaman menggunakan aquaponik dipajang sekitar halaman sekolah.

Karya tangan  warga Desa Dlimas berupa keramik dan kendi dari tanah liat serta daur ulang  plastik. Foto: Tommy Apriando

Karya tangan warga Desa Dlimas berupa keramik dan kendi dari tanah liat serta daur ulang plastik. Foto: Tommy Apriando


Mereka Suarakan Jaga Lingkungan Lewat Seni dan Hasil Tani was first posted on September 23, 2015 at 8:51 pm.

Kabut Asap Makin Parah, Jokowi Akhirnya Blusukan ke Kalteng

$
0
0
Kebakaran kebun sawit di Kalteng. Kabakaran hutan dan lahan yang meluas menyebabkan asap pekat dan kualitas udara sangat berbahaya. Foto: Jenito

Kebakaran kebun sawit di Kalteng. Kabakaran hutan dan lahan yang meluas menyebabkan asap pekat dan kualitas udara sangat berbahaya. Foto: Jenito

Kondisi kabut asap di Kalimantan Tengah, sangat pekat. Bahkan, kualitas udara sempat berada di level terburuk di Indonesia. Sepanjang Selasa (22/9/15), Badan Meteorologi, Klmatologi dan Geofisika (BMKG) menunjuk Palangkaraya sebagai kota konsentrasi rerata partikulat PM10 tertinggi di Indonesia, mencapai 1.575 ugram per meter persegi. Pada indeks 300 PM10 saja, kualitas udara berbahaya.  Di Kalteng, lima kali dari level bahaya!

Protes soal perhatian pemerintah pusat minim bermunculan di sosial media.  Pemerintah Indonesia dianggap tidak mempedulikan kabut asap di Kalteng. Mereka meminta Presiden Joko Widodo, datang ke Kalteng dan melihat betapa parah kebakaran hutan dan lahan di sana.

Muncul gerakan protes dengan tagar #MelawanAsap #ispupalangkaraya2000 dan #kaltengjugaindonesia. Para netizen saling berbagi foto, video dan cuitan di media sosial.

Pada Kamis (24/9/15), bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha, Jokowi akan meninjau kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.

Panitia Hari Besar Idul Adha 1436 Hijriah Masjid Raya Darussalam, Kalteng,  juga mengumumkan kedatangan Presiden sesaat sebelum sholat. Presiden, juga menyumbangkan sejumlah sapi kurban.

Sebelumnya, Jokowi ke Kalimantan Selatan dan sholat Idul Adha di Masjid Agung Al-Karomah, Martapura, Kabupaten Banjar. Setelah itu, rencana Presiden akan ke Sinabung. Namun, rencana berubah, Jokowi meninjau kebakaran di Kapuas dan Pulau Pisau, Kalteng, melalui jalur darat.

Tim Komunikasi Presiden Ari Dwipayana dalam siaran pers Kamis (24/9/15) menyebutkan, semula usai shalat Idul Adha di Banjar, Presiden dan rombongan meninjau kebakaran lahan di Kapuas dan Pulang Pisau, Kalteng, berjarak 130 km melalui jalur darat. Presiden, katanya, perlu meninjau langsung kebakaran hutan dan lahan Kalteng mengingat kedaruratan kabut asap di sana.

“Dengan meninjau langsung pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Presiden ingin memastikan semua pihak bergerak bersama.”

Kebakaran lahan

Sejumlah titik api dilaporkan warga Kalteng. Mereka melihat api berkobar dan gambut berasap di perkebunan sawit. Dumai Rahing, Ketua Adat Dayak (Mantir) Desa Mirah Kalanaman, Katingan, mengatakan, selama beberapa hari melihat api berkobar di blok perkebunan sawit PT. BUM, sebelah timur. Sebelumnya, sejumlah alat berat menumpuk sisa-sisa kayu pada tempat tertentu untuk dibakar. “Mereka tiap tahun membakar untuk menanam sawit.”

Api di lahan gambut juga terjadi di perkebunan sawit, PT AUS, Katingan. Yogo Setiawaan, warga Desa Petak Bahandang yang bersebelahan dengan perkebunan itu, melihat tiap hari. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memasukkan perkebunan ini salah satu terindikasi membakar.

Asap pekat terus menyelimuti Kalteng, dan kualitas udara mencapai level terburuk, dengan indeks mencapai 1.500 PM10. Foto: Jenito

Asap pekat terus menyelimuti Kalteng, dan kualitas udara mencapai level terburuk, dengan indeks mencapai 1.500 PM10. Foto: Jenito

Herlina, guru SD dan SMP Satu Atap, Desa Sei Ahas, Kapuas, mengeluhkan kabut asap makin pekat. Berhari-hari sekolah terpaksa diliburkan. Dia menyebut, kabut asap dari gambut eks demonstrasi REDD+ dikelola Kalimantan Forest and Climate Partnership). Ini kerjasama REDD+ Indonesia dan Australia) di Kecamatan Mantangai.

Jangan sekadar berkunjung 

Arie Rompas, Direktur Eksekutif  Walhi Kalteng, mengatakan, Jokowi harus hadir besama rakyat di Kalteng, bukan hanya berkunjung. “Jokowi harus hadir dan ada kebijakan nyata menghentikan penderitaan masyarakat oleh kabut asap,” katanya dalam rilis kepada media, Kamis (24/9/15).

Menurut dia, kabut adap ini bermuara dari kegagalan pemerintah mengelola sumberdaya alam khusus lahan gambut di Kalteng.

Kebakaran hutan dan kabut asap, katanya, sudah terjadi selama 18 tahun sejak 1997 yang menghanguskan sekitar 8,9 juta hutan di Indonesia, terbesar di Kalteng. Namun,  sudah lima kali pergantian Presiden, masalah asap tidak pernah tuntas. “Justru pemerintah lebih banyak mengabaikan masalah utama dengan terus mengeluarkan izin di lahan gambut hingga memperparah dan medorong bencana ini terus berulang.”

Kondisi ini, katanya, memperlihatkan pemerintah terlibat sistematis dengan mengabaikan hak–hak masyarakat hidup layak dalam lingkungan sehat. Dia menilai, sejak awal,  pemerintahan Jokowi tidak memandang penting warga Kalteng. Pemerintah, katanya,  lebih fokus penanganan kebakaran di Sumatera, seperti Riau, Jambi dan Sumsel, guna ) merespon protes Singapura dan Malaysia.

Padahal, kata Arie,  masyarakat Kalteng hampir dua bulan hidup sulit menghirup udara tidak sehat dengan partikulat sampai 1.500. “Angka ini lima kali lipat dalam batas normal.”

Dia mengatakan, peningkatan penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) mencapai 961 per minggu. Namun, dalam status kejadian luar biasa ISPA belum juga menarik perhatian pemerintah.

Pemerintah, katanya,  seharusnya memikirkan skenario evakuasi penduduk rentan dan menyedikan fasilitas kesehatan. “Bukan hanya mengunjungi, tidak dibarengi kebijakan komprehensif, itu tindakan sia-sia.”

Dia menilai, penegakan hokum sangat penting terutama kepada perusahaan terbukti melanggar agar segera cabut izin dan seluruh aset disita negara. Selain pidana, perusahaan juga harus dituntut membayar kerugian dan pemulihan ekologis dampak kebakaran hutan dan lahan.

Catatan Walhi, ada 196 perusahaan terdapat titik api di Kalteng sepanjang 2015. Seharusnya, itu menjadi modal utama pemerintah segera menjerat perusahaan yang sengaja bahkan menfaatkan situasi untuk membakar bersembunyi dalam status bencana.

“Sayangnya hanya tujuh perusahaan disegel KLHK dan tiga perusahaan diusut kepolisian. Ini minimlis, tidak akan memberikan efek jera.”

Tak kalah penting, katanya, pemerintah harus menyusun roadmap jangkah mengah dan panjang untuk pemulihan dan rehabilitasi lahan gambut. “Ini untuk memastikan fungsi gambut kembali basah hingga tidak mudah terbakar, sembari review perizinan dan penegakan hukum serta penanganan situasi darurat dengan memastikan keselamatan warga.”

Presiden tegaskan lagi tak usah ragu cabut izin

Di Kalsel, pada Rabu (23/9/15),  Jokowi melakukan pemantauan lahan dan hutan terbakar. Salah satu di Desa Gantung Damar, Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru. “Saya instruksikan semua bergerak, baik TNI, Polri, pemerintah daerah juga masyarakat. Kita bersama sama kerja keras, kerja sekuat tenaga padamkan api dan hilangkan asap,” seperti dikutip dari akun Facebook, resmi Presiden Jokowi.

Dia mengayakan, untuk pemadaman kebakaran lahan di Kalsel, pemerintah mengerahkan satu pesawat CN 295 dan tiga pesawat Casa 212 yang menyebarkan 200 ton lebih garam untuk mendatangkan hujan buatan.

Selain penegakan hukum bagi para pembakar, Jokowi juga memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tak segan mencabut izin konsesi bagi perusahan yang sengaja membakar lahan. “Saya menegaskan hal ini tidak boleh terjadi di tahun tahun yang akan datang.”

Untuk pencegahan kebakaran lahan gambut, katanya,  pemerintah akan mewajibkan seluruh pemilik konsesi membuat kanal, embung dan menyosialisasikan bahaya membakar lahan kepada masyarakat.

 


Kabut Asap Makin Parah, Jokowi Akhirnya Blusukan ke Kalteng was first posted on September 24, 2015 at 7:03 am.

Petani Menagih Janji: Mana Reforma Agraria? Mana Distribusi 9 Juta Hektar Lahan?

$
0
0
Para petani aksi memperingati HAN seraya menagih kembali janji-janji pemerintah, seperti reforma agraria sampai penyelesaian konflik. Foto: Sapariah Saturi

Para petani aksi memperingati HAN seraya menagih kembali janji-janji pemerintah, seperti reforma agraria sampai penyelesaian konflik. Foto: Sapariah Saturi

“Lawan Liberalisasi Agraria!” “Bentuk Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria.” “Laksanakan Reforma Agraria Sejati…” Begitulah antara lain, spanduk dan poster tuntutan yang dibawa para petani kala aksi memperingati Hari Tani Nasional (HTN) di depan istana Negara Jakarta, Senin (21/9/15). HTN jatuh pada 24 September 2015, bersamaan dengan Hari Raya Idul Adha, hingga aksi dimajukan.

Sekitar seribuan massa petani dari berbagai daerah dari Jawa Barat sampai Jawa Tengah ini, menagih janji Presiden Joko Widodo yang akan menjalankan reforma agraria. Presiden juga berkomitmen mendistribusikan 9 juta hektar lahan. Namun, para petani dan organisasi masyarakat sipil pendukung menilai, baru janji semata alias belum ada realisasi.

“Saya ke sini mau menuntut ini,” kata Dada, petani hutan dari Indramayu. Sejak lama dia menggarap lahan PT Perhutani seluas dua hektar. Dia menanami padi dan sayur mayur serta buah-buahan.

Meskipun kini tak diusir-usir seperti dulu, tetapi mereka tetap khawatir karena tak ada kepastian lahan. Pria paruh baya ini bela-belain datang dari Indramayu, bersama sang istri, ikut aksi dan berpanas-panasan di Jakarta, demi menuntut distribusi lahan ini.

Para petani menagih janji Jokowi. Foto: Sapariah Saturi

Para petani menagih janji Jokowi. Foto: Sapariah Saturi

“Jangan berhenti menuntut redistribusi lahan,” teriak Iwan Nurdin, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria dari atas mobil bak terbuka, berorasi.

Dia mengatakan, pendistribusian tanah-tanah yang digarap serikat-serikat tani, seperti  Serikat Tani Indonesia, Serikat Tani Indramayu, dan lain-lain, itulah yang seharusnya pertama kali diselesaikan.

“Pemerintah harus jalankan reforma agraria, selesaikan konflik dana prioritaskan lahan buat warga, bukan pengusaha,” ucap Iwan.

Pemerintahan Jokowi, berkomitmen banyak hal kepada rakyat termasuk petani, antara lain menjalankan reforma agraria dengan berupaya memperbesar hak kelola rakyat yang selama ini terjepit. Komitmen ini dijabarkan dalam rencana-rencana aksi di kementerian dan lembaga, seperti distribusi  9 juta hektar lahan—4,5 juta hektar ditangani Kementerian Agraria dan Tata Ruang, 4,5 juta hektar dari kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ada juga alokasi hutan buat rakyat, yang ditargetkan dalam lima tahun ke depan sebesar 12,7 juta hektar. KLHK, juga ‘menyegarkan’ lagi perhutanan sosial, antara lain berbentuk hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, kemitraan sampai hutan adat. Pemerintah juga berjanji membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria yang begitu banyak. Berbagai aturan mulai dibuat, ada yang masih proses seperti pembentukan satgas masyarakat adat. Namun, para petani menilai janji itu baru janji.

“Presiden harus kembalikan tanah 9 juta hektar kepada rakyat. Hentikan liberalisasi modal ke petani. Hentikan kriminalisasi dan selesaikan konflik-konflik agraria,” kata Surti Handayani dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Kala aksi itu, beberapa perwakilan menemui Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki. Mereka menyampaikan berbagai tuntutan.

Dewi Kartika, Wakil Sekjen KPA mengatakan, dalam pertemuan itu perwakilan aksi menyampaikan soal reforma agraria terkait disktribusi lahan, belum ada kejelasan obyek, sampai desakan pembentukan lembaga khusus penyelesaian konflik agraria.

Saat itu, kata Dewi, Teten menanggapi segera melakukan pertemuan dengan kementerian dan lembaga, seperti KLHK, Kementerian ATR, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri. “Ini untuk membahas bagaimana distribusi tepat sasaran dan selesaikan ketimpangan.”

Mengenai lembaga penyelesaian konflik, katanya, Teten menyampaikan memang tengah ada inisiasi unit khusus di bawah Presiden yang akan menyelesaikan konflik sosial di seluruh sektor, baik pertanahan, kehutanan, tambang dan lain-lain.

“Mari kita nanti dan kawal bersama,” kata Dewi.

Aksi Hari Tani di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Aksi Hari Tani di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Kondisi petani memang makin miris dari tahun ke tahun. Kemiskinan terjadi di pedesaan karena tak ada akses dan pengawasan atas lahan sebagai alat produksi utama mereka. Data BPS 2013, menyebutkan, sekitar 65% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan rata-rata tanah kurang 0,5 hektar.

Belum lagi, banyak lahan-lahan pertanian produktif beralih fungsi atau terancam berubah fungsi ke berbagai sektor industri seperti pemukiman, perhotelan, perkebunan sampai pertambangan.

Data BPS juga menyebutkan, kurun 10 tahun (2003-2013), Indonesia kehilangan sekitar 5,7 juta rumah tangga petani. “Proses deagrarianisasi dan kehilangan jumlah rumah tangga petani masif ini menyebabkan Indonesia tak mampu berdaulat pangan dan tergantung impor,” kata Iwan.

Tuntutan petani Riau

Aksi serupa juga dilakukan di berbagai daerah, seperti di Riau. Beberapa organisasi masyarakat sipil bergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Reforma Agraria (ARRRA)  aksi dan menuntut daulat tani, buruh tani dan rakyat kecil terhadap sumber daya agraria di Gedung DPRD Riau, Senin (21/9/15).

Taufik Rahman, Koordinator Aksi mengatakan, pembangunan mengandalkan investasi ekstraktif menunjukkan kegagalan. “Petani dan rakyat dijanjikan mendapatkan kesejahteraan dari laju investasi, malah jadi korban praktik buruk korporasi. Bencana ekologis, konflik dan kemiskinan yang diperoleh rakyat. Korporasi dimiliki segelintir orang terus mengumpulkan pundi kekayaan dari alam Riau,” katanya dalam keterangan kepada media.

Kedaulatan pangan, katanya, tak akan pernah tercapai apabila petani penghasil pangan terus diintimidasi kekuatan modal. “Tanah dirampas, kekerasan dan kriminalisasi kepada petani.”

Boneng dari Serikat Petani Indonesia, mengatakan, kalau negara tak memberikan perlindungan kepada petani dan sumber daya agraria, cita-cita kedaulatan pangan nasional hanya mimpi.

Menurut dia, lebih 60% daratan Riau dikuasai korporasi. Dari 8,9 juta hektar daratan Riau, 6 juta hektar terbebani izin korporasi. Lahan-lahan itu, katanya, hanya untuk tiga sektor, akasia menunjang industri pulp and paper, perkebunan sawit dan pertambangan.

Kebijakan yang lebih memihak korporasi ini, katanya, menciptakan ketimpangan penguasaan lahan di Riau. “Bagaimana mungkin kedaulatan pangan terwujud, bila negara terus memberikan hak penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam pada korporasi,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.

Dia mengatakan, janji Presiden Joko Widodo, distribusi 9 juta hektar lahan dan ada Pansus Lahan di DPRD Riau, seharusnya menjadi jalan mengkaji ulang izin-izin bermasalah. “Cabut saja izin perusahaan pembakar lahan, areal konsesi berlebih, terlibat korupsi kehutanan.”

Misngadi dari Serikat Petani Indonesia menambahkan, dari pencabutan izin ini, tanah-tanah bisa didistribusikan kepada rakyat.

Aksi petani di Riau: Foto: Aliansi Rakyat untuk Reforma Agraria

Aksi petani di Riau: Foto: Aliansi Rakyat untuk Reforma Agraria

Petatas (ubi jalar) terbesar dengan diameter lebih satu meter dari Distrik Waan, Merauke. Pangan lokal inipun terancam hilang jika pemerintah tak sadar betapa kaya sumber pangan dalam negeri yang bisa dikembangkan. Pemerintah kerap latah memaksakan ‘produk impor’ di wilayah kaya sumber lokal dan menyingkirkan petani malah merangkul investor. Foto: Agapitus Batbual

Desakan pembentukan lembaga penyelesaian konflik. Foto: Sapariah Saturi

Desakan pembentukan lembaga penyelesaian konflik. Foto: Sapariah Saturi


Petani Menagih Janji: Mana Reforma Agraria? Mana Distribusi 9 Juta Hektar Lahan? was first posted on September 24, 2015 at 7:23 pm.

Beginilah Upaya Pemulihan Hutan Leuser di Halaban

$
0
0
Dodi Sumardi, Kasubag Perencanaan dan Kerjasama BBTNGL  menyatakan, kawasan  terambah mencapai 7.000 - 9.000 hektar. Upaya pemulihan kawasan dilakukan bersama warga. Foto:  Ayat S Karokaro

Dodi Sumardi, Kasubag Perencanaan dan Kerjasama BBTNGL menyatakan, kawasan terambah mencapai 7.000 – 9.000 hektar. Upaya pemulihan kawasan dilakukan bersama warga. Foto: Ayat S Karokaro

Tampak warga berduyun-duyun memasuki hutan Halaban di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Langkat. Parang, cangkul dan beragam alat pertanian mereka bawa. Ada berkendara motor. Ada bersepeda ontel.

Mau apa mereka? Ternyata,  warga-warga ini membantu petugas patroli lapangan BBTNGL merestorasi hutan yang hancur terambah menjadi perkebunan sawit. Tiba disana, mereka membersihkan lokasi pembibitan. Ada yang menanam. Sebagian tampak mencari bibit masuk hutan lebih dalam.

Dodi Sumardi, Kepala Sub Bagian Perencanaan dan Kerjasama BTNGL, mengatakan, luas terambah dan rusak 7.000-9.000 hektar, tetapi kawasan terganggu illegal logging bisa 30.000 hektar. Restorasi ini seluas 300 hektar yang diharapkan berdampak bagi perlindungan kawasan yang belum terganggu.

Denan melibatkan masyarakat sekitar hutan, katanya, sedikit banyak upaya perusakan bisa ditekan. Karena masyarakat turut mengawasi hutan dari tangan-tangan kotor.

“Keamanan sangat terjamin, petugas dan masyarakat terus berada di kawasan restorasi menjaga dan memelihara tanaman. Otomatis kawasan di belakang atau sekitar ikut terjaga. Ini lebih efektif dari patroli petugas BBTNGL.”

Sebelum 2002, Halaban,  dikuasai PT Rapala dan PT Putri Hijau. Kedua perusahaan ini merambah hutan jadi perkebunan sawit. Setelah 2002, melalui peradilan, diputuskan Halaban masuk TNGL, dan kembali ke BBTNGL.

Menurut dia, mengembalikan kawasan menjadi hutan bukan pekerjaan mudah. Tidak bisa dilakukan sendiri BBTNGL. Berbagai elemen diajak terlibat, mulai organisasi masyarakat sipil, organisasi kemahasiswaan, pemerintah daerah, hingga masyarakat sekitar kawasan.

Di kawasan restorasi ini, setidaknya ada 50 warga lokal dididik, dan diajak menanam, menjaga, sekaligus mengawasi.

Saat ini, kawasan kembali hijau di Halaban,  seluas 140 hektar, dan terus diperbanyak dengan melibatkan berbagai pihak.

“Restorasi ini, kita melibatkan Orangutan Information Center, dan puluhan masyarakat melalui pola kerjasama. BBTNGL membuka luas siapa saja yang ingin membantu restorasi,” ucap Dodi.

Tak hanya di Halaban,  restorasi lain ada di Cinta Raja. Setidaknya, 27 hektar hutan sempat hancur karena perambahan, berhasil pulih hingga 500 hektar yang terambah, secara alami tumbuh menjadi hutan. “Ini jadi salah satu pola cukup berhasil dikembangkan di BBTNGL.”

Di Halaban, katanya, lebih 50 jenis tanaman dibibitkan menggunakan tumbuhan di kawasan itu. Bibit diambil dari hutan lalu, dipelihara dalam polibeg, lalu ditanam kembali pada daerah-daerah kosong.

“Ini lebih efektif ketimbang harus membeli bibit luar yang jenis dan kualitas tidak tahu, apakah baik atau tidak, cocok atau tidak di Halaban.”

Pada September ini, katanya, ribuan bibit dalam polibeg dipindahkan dan penanaman serentak, di areal-areal yang ditentukan.

Sedikitnya, ada 1.500 batang kemenyan. Kemenyan adalah tanaman asli di hutan Halaban. Selain kemenyan, ada empat bibit lain, yakni meranti, pakam, madam, dan sempuyung.


Beginilah Upaya Pemulihan Hutan Leuser di Halaban was first posted on September 25, 2015 at 8:28 pm.

Kabut Asap Menyiksa dan Berbahaya, Warga Riau Lapor Komnas HAM

$
0
0
Kabut asap pekat di Jalan Air Hitam, Panam, Pekanbaru, baru-baru ini. Foto: Nurul Fitria

Kabut asap pekat di Jalan Air Hitam, Panam, Pekanbaru, baru-baru ini. Foto: Nurul Fitria

Jumat pekan lalu, beberapa warga Riau mendatangi Komnas HAM. Mereka ingin mengadu kabut asap yang menyebabkan warga kesulitan beraktivitas dan mengalami gangguan kesehatan. Kebakaran hutan dan lahan ini berdampak panjang, dari sekolah diliburkan, banyak orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Mereka menilai, kejadian ini telah merenggut HAM warga, terutama hak lingkungan sehat.

“Kami dari Gerakan Rakyat Riau Melawan Asap ke Komnas HAM karena telah terjadi pelanggaran hak hidup bebas dari pencemaran asap. Kami di Riau, selama sebulan tiap hari bernapas dengan udara beracun,” kata Helda Khasmy, aktivis Serikat Perempuan Indonesia (Seruni).

Data Dinas Kesehatan,  ada 43.386 warga Riau terpapar ISPA, bahkan menimbulkan korban jiwa.  Sudah sebulan anak-anak tak sekolah. Kegiatan ekonomi lumpuh. Namun, tak ada proses evakuasi dari pemerintah bagi kelompok rentan. Baik anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta manula. Evakuasi hanya inisiatif warga. “Itupun hanya segelintir. Bagi warga mampu, mereka mengevakuasi keluarga ke Bukit tinggi atau Padang. Masih banyak warga tetap bertahan di tengah kepungan asap.”

Data satelit NASA, sejak Januari-September 2015, titik api di Riau paling banyak Juli 2.085. Titik api di HTI PT Arara Abadi (336), PT RAPP (297), PT Bukit Batu Hutani (107), PT Inhil Hutani Pratama (103), PT Rimba Rokan Lestari (146) dan PT Sumatera Riang Lestari (208). Di perkebunan seperti PT Alam Lestari (43), non HGU (1.730), PT Langgam Inti Hibrindo (23), PT Pusaka Mega Bumi dan Nusantara (10).  

“Kami menuntut pemerintah menindak tegas dan penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan,” katanya. 

Helda mengatakan, kebakaran terulang tiap tahun karena pola penguasaan tanah tak berpihak pada masyarakat lokal. Lahan banyak didistribusikan pada perkebunan besar dan HTI. Imbasnya, kanalisasi membuat lahan gambut kering dan rentan terbakar.

“Ini karena monopoli lahan gambut Riau. Kami meminta pemerintah menghentikan monopoli penguasaan lahan, audit izin-izin pemanfaatan lahan.”

Dalam kesempatan sama anggota Komisi E DPRD Riau, Ade Hartati mengatakan, pemerintah memadamkan api tetapi tak menjawab persoalan mengapa kejadian terus berulang tiap tahun.

“Hutan Riau harus ditata kembali. Kalau tidak, kami tak akan pernah bebas dari asap. Apakah ini yang akan kami wariskan ke anak cucu? Tata kelola hutan harus jadi landasan. Riau sampai saat ini belum punya RTRW.”

Ade mengalami pengalaman buruk karena asap kebakaran hutan dan lahan. Saat melahirkan, bayinya harus dirawat intensif karena sakit pernapasan.

ISPU menunjukkan level berbahaya di Pekanbaru, pada 16 September pukul 14 45. Foto: Nurul Fitria

ISPU menunjukkan level berbahaya di Pekanbaru, pada 16 September pukul 14 45. Foto: Nurul Fitria

Kebakaran asap, katanya,  bukan lagi menjadi bencana daerah, tetapi nasional. Proses penyelesaianpun,  harus terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat agar kejadian tak terulang.

Menanggapi itu, Wakil Ketua Internal Komnas HAM Siti Noor Laila mengatakan, kebakaran yang menimbulkan asap itu ada hak-hak masyarakat terganggu, yakni, hak lingkungan sehat dan kesehatan.

Komnas HAM akan mempelajari dokumen-dokumen dan segera menerjunkan tim ke Riau dan daerah lain yang terserang asap. Setelah itu, Komnas HAM akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. “Evakuasi warga tanpa difasilitasi pemerintah. Mestinya pemerintah segera evakuasi, terutama bagi kelompok rentan.”

Pemerintah, katanya,  juga harus menyediakan fasilitas pendidikan di ruang tertutup agar pendidikan dan ruang bermain anak tidak terganggu.”Diharapkan dengan kasus ini pemerintah menata ulang dan ada penegakan hukum sungguh-sungguh dan jujur,” katanya.

Roichatul Aswidah, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM mengatakan, terjadi pelanggaran serius pemerintah karena ada pembiaran.

“Pemerintah melanggar. Pemkab dan pemprov memiliki kewenangan tapi tidak dilakukan. Ada hal mendasar tak dilakukan pemerintah.”

Pemerintah, katanya,  tidak menjalankan kewajiban untuk berupaya maksimal mengatasi masalah ini padahal asap terjadi bertahun-tahun.

Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga ikut berkomentar. Menurut dia, selain pemerintah, perusahaan yang membakar hutan harus ikut bertanggung jawab menanggung biaya kesehatan masyarakat dan kerugian lain.

Masa’ bencana langganan tiap tahun? Tiap tahun sudah ada pemantauan. BMKG ada ramalan. Harusnya bisa persiapan atau alternatif. Sudah tau ada kemarau dan lahan gambut mudah terbakar, kenapa boleh kanalisasi?”

Seharusnya, kata Sandra, pemerintah bisa mengelola titik-titik rawan dengan baik sebelum kemarau. Dia merujuk UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang jelas mengatur peran pemerintah di setiap tingkatan.

 

 

 

 


Kabut Asap Menyiksa dan Berbahaya, Warga Riau Lapor Komnas HAM was first posted on September 25, 2015 at 9:10 pm.

Di Kalteng, Presiden Tegaskan (Lagi) Pentingnya Gambut Tetap Basah

$
0
0
Salah satu kebun sawit perusahaan yang terbakar di Kalteng. Foto: Jenito

Salah satu kebun sawit perusahaan yang terbakar di Kalteng. Foto: Jenito

Kala peninjauan langsung kebakaran hutan dan lahan di Pulau Pisau, Kalimantan Tengah—yang dicapai lewat jalan darat dari Kalimantan Selatan–, Presiden Joko Widodo, kembali menegaskan soal menjaga gambut tetap basah lewat pembuatan sekat kanal. Gambut tetap basah ini guna mencegah kebakaran hutan dan lahan, seperti yang kini terjadi.  Solusi serupa ditegaskan berulang kali kala dia meninjau lokasi kebakaran, sejak di Sungai Tohor, Pulau Meranti, Riau, November 2014

Pembuatan sekat kanal, katanya,  akan mengatasi ribuan hektar kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di Kalteng.

Di Kalteng, Presiden datang ke Desa Jabiren, Pulang Pisau. Dia didampingi Menko Polhukam Luhut B. Pandjaitan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo. Juga Kapolri Jendral Badrodin Haiti, Kepala BNPB Wilem Rampangilei.

Siti Nurbaya, Menteri LHK mengatakan, kala rapat di tengah kepungan kabut asap itu, Presiden menegaskan mencegah kebakaran terulang satu-satunya cara dengan menjaga ekosistem gambut. Untuk lahan yang sedang terbakar dan terus meluas, Presiden meminta secepatnya diambil langkah. Kini, kebakaran hutan dan lahan di Kalteng diperkirakan mencapai 24.664 hektar.

“Presiden menegaskan untuk secepat-cepatnya memadamkan api dengan pembasahan (gambut). Prinsipnya, rewetting ini  merupakan bagian dari langkah tata kelola ekosistem gambut,” katanya, dalam keterangan tertulis.

Presiden juga memerintahkan Menteri Siti untuk mewajibkan perusahaan membuat embung-embung di dalam konsesi mereka. Tujuannya, kala terjadi kebakaran, perusahaan bisa cepat memadamkan api karena air tersedia.

Noorhadi Karben, warga Desa Mantangi Hulu di Kapuas, tak terlalu yakin dengan solusi tawaran Jokowi. Desa itu bagian eks proyek era Presiden Soeharto yang membuka hutan besar-besaran di lahan gambut. 

Karben menilai, pembuatan sekat kanal tidak berdampak besar bagi pengurangan kebakaran hutan dan lahan gambut. Meskipun sekat kanal, air tetap mengering hingga mempercepat kebakaran kebun sawit di area kanal.

Stephanus Alexander, akademisi dari Universitas Palangkaraya mengatakan, sekat kanal hanya upaya mempertahankan air permukaan tersedia di lahan gambut. Bila kemarau lebih intensif, seperti saat ini, air permukaan cepat menghilang ke dalam tanah. “Lahan gambut menjadi cepat kering dan api mudah terjadi.” 

Cegah kebakaran pakai akuifer?

Alexander menawarkan pemanfaatan akuifer untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut di Kalteng.

Akuifer adalah formasi geologi di dalam tanah yang mengandung air. Formasi ini signifikan mampu mengalirkan air dalam kondisi alaminya. Saat kemarau, air di formasi tak pernah mengalami penurunan volume.

“Air inilah yang bisa kita manfaatkan memadamkan api,” kata Anjelina Vuspitasari, mahasiswi yang membuat penelitian soal ini.

Syamsul Hadi, Ketua Komisi C DPRD Kalteng mengungkapkan rencana pembuatan sumur-sumur bor di sekitar lahan gambut yang berpotensi terbakar sebagai rekomendasi kepada Pemerintah Kalteng. Rencana ini diungkapkan saat rapat dengar pendapat bersama Gerakan Anti Asap Kalimantan Tengah dan BPBD (8/9/15). “Penelitian akademisi kami jadikan rujukan.”


Di Kalteng, Presiden Tegaskan (Lagi) Pentingnya Gambut Tetap Basah was first posted on September 25, 2015 at 10:21 pm.

Nambang Emas Pakai Ijuk Hasilkan Lebih Banyak dan Bebas Merkuri, Seperti Apa?

$
0
0
Proses konsentrasi gravitasi  menambang emas pakai ijuk. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Proses konsentrasi gravitasi menambang emas pakai ijuk. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) berkomitmen menghapus penggunaan merkuri oleh penambang emas skala kecil (PESK) pada 2018.

Sejauh ini, sudah ada rencana aksi nasional PESK, harmonisasi kebijakan dengan sektor terkait, pengembangan teknologi alternatif bebas merkuri, serta pelatihan kepada penambang.

Satu lagi, pemerintah juga bekerjasama dengan Yayasan Tambuhak Sinta (YTS), Kalimantan Tengah, menerapkan teknologi menambang emas tanpa merkuri. Cara ini dinamakan metode manado. Ia sudah diterapkan di Pototano, pelabuhan sunyi di Sumbawa Barat, bagian timur Indonesia.

Mayoritas masyarakat mencari nafkah dari laut. Namun perhatian mereka mulai beralih ke daratan, pada emas yang terkandung di perbukitan. Penambang berbondong-bondong datang ke Sumbawa mencari emas.

YTS memperkenalkan metode manado. Para penambang bisa menghasilkan lebih banyak emas tanpa menggunakan air raksa.  “Mereka harus lihat proses terlebih dahulu. Hanya dengan bekerja bersama mereka, kami bisa meyakinkan metode manado bisa menghasilkan emas lebih daripada menggunakan raksa,” kata Sumali Agrawal, Direktur Eksekutif YTS.

Sebuah video berdurasi 17 menit menjelaskan bagaimana mendapatkan manfaat ekonomi bagi penambang emas skala kecil dengan mengeliminasi penggunaan air raksa. Video ini mendokumentasikan inovasi pemanfaatan ijuk hitam dari pohon gula aren sebagai metode menangkap dan mengkonsentrat emas.

Emas yang dihasilkan dari metode manado. Hasil tambang bisa lebih banyak dari menggunakan mercuri. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Emas yang dihasilkan dari metode manado. Hasil tambang bisa lebih banyak dari menggunakan mercuri. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Ijuk, kata Sumali, salah satu alternatif pengganti merkuri dalam menambang emas. “Barang lokal, murah, dan penambang bisa mendapatkan ekstraksi lebih tinggi.”

Pengolahan emas tanpa merkuri menggunakan peralatan yang sama seperti penambang biasa. Tidak ada tambahan biaya. “Bedanya, tidak boleh masukkan merkuri ke tromol dan mengganti dengan ijuk. Beberapa kali percobaan, hasilnya penambang bisa mendapatkan hasil dua sampai empat kali lebih banyak dari biasa.” Dengan metode ini, batuan yang didapat penambang bisa dihaluskan tanpa menggunakan raksa.

Caranya, setelah diambil dari pohon, ijuk dipotong-potong. Lidi-lidi yang lepas, dibuang. Ujung tidak bisa dipakai. Yang dipakai bagian tengah saja dan pemotongan harus rapi.

Ijuk dipasang di kasbok yang dirangkai pada gelondong (alat penghancur batuan). Cara pasang ijuk dari bawah ke atas, seperti susun genteng. Setelah disusun rapi, ijuk ditahan oleh kayu. Selain berfungsi menahan ijuk, kayu juga menahan konsentrat yang meluncur dari air. Air tidak langsung ke bawah, tetapi tertahan di kayu, dari atas air kental, makin ke bawah makin encer. Ada lima kayu sebagai penyaring. Air encer sudah tak mengandung emas ditampung dalam bak pembuangan.

Proses ini dinamakan konsentrasi gravitasi. Ketika keluar dari gelondong, air langsung menuju kasbok. Ijuk menangkap emas dengan mudah dan cepat. Emas yang paling haluspun tidak terbuang. “Dari 10 karung batuan, kita bisa dapatkan satu karung konsentrat dan tidak ada emas terbuang. Waktu yang dibutuhkan dengan cara ini kurang lebih sama jika menggunakan mercuri,” kata Sumali.

Setelah selesai, ijuk digulung dan dicuci. Digoyang-goyang sampai turun semua pasir di dalamnya. Lembar ijuk masih bisa dipakai berkali-kali. Sumali menjamin akan lebih banyak emas yang dihasilkan. Kasbok juga dicuci untuk menampung seluruh konsentrat. Konsentrat diproses di kolam pendulangan.

Berikutnya, proses separasi gravitasi, yakni mendulang emas. Beberapa peralatan bisa digunakan, paling sederhana dulang. Peralatan lain bisa meja goyang maupun sentrifugal. Bila pakai dulang, harus pelan-pelan agar emas tidak terikut lumpur.

Dari mendulang,  dihasilkan emas kecil dan halus, biasa disebut emas debu, yang tidak bisa tertangkap bila menggunakan mercuri. “Itulah mengapa pakai ijuk hasil bisa dua kali lipat.”

Selesai mendulang, emas dipindahkan ke pembungkus plastik. Proses terakhir peleburan. Emas dibakar menggunakan borax agar tidak terlalu lengket. Selain peleburan, emas bisa diperoleh dengan melarutkan dalam cairan asam (sianida).

Sayangnya,  sianida bersifat mematikan dan harus ditangani dengan hati-hati, meskipun bisa terurai menjadi karbon, hidrogen dan oksigen dalam jangka waktu tertentu.

Pendulang emas di SUmbawa Barat yang sudah menggunakan metode manado. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Pendulang emas di SUmbawa Barat yang sudah menggunakan metode manado. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Kini YTS, sedang membangun pusat ujicoba penggunaan ijuk sebagai ganti merkuri di Desa Kebon Sari, Pacitan. Ini wilayah penambangan rakyat. Hasilnya, akan dipublikasikan pada Desember 2015.

“Bukan mudah memperkenalkan teknologi kepada penambang. Pasti ada transisi. Bila tak mungkin langsung bebas merkuri, setidaknya tidak tambah merkuri dalam konsentrat. Kita harus cari solusi bersama mengatasi maraknya penggunaan merkuri,” ucap Sumali.

Inilah bahaya mercuri

Merkuri merupakan logam berat berwarna perak, berbentuk cair dalam suhu ruangan, mudah menguap dan tidak mudah terurai. Paparan air raksa berdampak sangat serius bagi tubuh manusia, dari keracunan hingga gangguan kesehatan permanen alias tidak dapat disembuhkan.

Mercuri dapat menyebabkan gangguan tidur, nyeri dada, iritasi, kulit terbakar, gusi bengkak dan berdarah, serta air liur berlebihan. Pada paparan lebih tinggi dapat memunculkan gejala mati rasa dan kesemutan, tremor dan gangguan koordinasi anggota gerak, penglihatan dan pendengaran berkurang, pikun, dan perubahan kepribadian.

Raksa juga dapat mengakibatkan cacat mental dan kesulitan belajar, kelumpuhan otak, kejang-kejang, lumpuh kayu, tremor (gemetar), dan kurang koordinasi tubuh, juga kerusakan penglihatan dan pendengaran pada bayi yang belum lahir jika sang ibu terpapar. Selain itu, air mercuri bisa terkandung dalam air susu ibu, yang mengakibatkan bayi baru lahir makin terpapar.

Orang-orang dan masyarakat yang langsung terpapar mercuri melalui pekerjaan mereka dan industri lokal paling berisiko. Janin, dan anak-anak kecil sangat sensitif paparan mercuri karena sistem syaraf mereka masih rawan. Karena itu, ibu-ibu baru melahirkan, ibu-ibu hamil dan calon ibu hamil harus waspada bahaya air raksa.

“YTS konsen mencegah penggunaan mercuri di Indonesia,” kata Sumali. Mereka sedang mendistribusikan peralatan daur ulang mercuri di beberapa daerah di Kalteng. “Untuk mengurangi pencemaran raksa dari penambangan emas skala kecil.”

Program raksa YTS sudah mengurangi pencemaran mercuri di desa-desa di enam kabupaten, di Kota Palangkaraya. “Kami mulai sejak 2006 di Katingan. Lebih lima tahun, peralatan kami berhasil mencegah 15.000 kilogram emisi mercuri ke lingkungan. Dengan menyediakan teknologi sederhana, murah, dan cocok bagi mereka yang terlibat.”

Proses separasi grafitasi menggunakan meja goyang. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Proses separasi grafitasi menggunakan meja goyang. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Proses sgrafitasi menggunakan dulang. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Proses sgrafitasi menggunakan dulang. Foto: Yayasan Tambuhak Sinta

Pusat ujicoba pengolahan emas tanpa air raksa. Foto: pusat ujicoba pengolahan emas tanpa air raksa

Pusat ujicoba pengolahan emas tanpa air raksa. Foto: pusat ujicoba pengolahan emas tanpa air raksa

 


Nambang Emas Pakai Ijuk Hasilkan Lebih Banyak dan Bebas Merkuri, Seperti Apa? was first posted on September 27, 2015 at 6:12 am.

Sistem Irigasi Ini Bisa Hemat Air dan Tingkatkan Produktivitas

$
0
0
Tanaman perlu pasokan air cukup untuk tumbuh subur. Dengan metode olla yang diteliti mahasiswa UGM ini, irigasi lebih hemat air dan produktivitas meningkat. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman perlu pasokan air cukup untuk tumbuh subur. Dengan metode olla yang diteliti mahasiswa UGM ini, irigasi lebih hemat air dan produktivitas meningkat. Foto: Sapariah Saturi

Kebutuhan air untuk irigasi pertanian cukup tinggi padahal pasokan air terbatas bahkan tak jarang kekurangan atau krisis air. Jadi, perlu ada upaya mencari cara menekan konsumsi air agar lebih efisien  hingga irigasi kala minim air atau kekeringan, tanaman tetap bisa tumbuh subur.

Nah, mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Kurnia Subekti,  mencoba menjawab masalah ini. Dia mengembangkan metode irigasi menggunakan olla (kendi). Pengembangan ini berdasar teori Daka (1991) yang menemukan penggunaan olla sebagai media irigasi bisa menghemat hingga 70% dibanding penyiraman dengan ember dan sprinkler.

“Sistem irigasi ini memanfaatkan sifat poros dinding tanah liat untuk mengalirkan air perlahan-lahan, hingga persentase air hilang melalui perkolasi dan evaporasi sangat sedikit bila dibandingkan irigasi konvensional,” katanya, baru-baru ini.

Ollas Fertigation System merupakan penggabungan irigasi bersamaan pemberian pupuk. Sistem ini mempertimbangkan karakteristik fisik olla dan integrasi dengan irigasi otomatis. Tujuannya, agar air dan nutrisi selalu tersedia dalam jumlah, saat dan kualitas tepat untuk tanaman.

Dari penelitian ini, dia  berharap bisa mengetahui efektivitas dan penghematan sistem fertigasi olla dalam melepas air dan memasok nutrisi kepada tanaman. Dari sebaran lengas tanah dan nutrisi di daerah perakaran tanaman serta pertumbuhan tanaman sangat baik. Indikatornya dia melihat tinggi tanaman dan jumlah daun.

“Saya berharap penelitian ini dapat untuk merancang sistem irigasi olla lebih efisien dan hemat penggunaan air serta pupuk. Karena irigasi olla ini menghemat air dan peningkatan produktivitas pertanian tanaman pangan terutama holtikultura di daerah ketersediaan air kurang atau sangat kurang.”

Dalam penelitian Kurnia, pola persebaran air dan nutrisi melalui Olla dilakukan di laboratorium menggunakan plot berukuran 60 x 100 x 100 cm. Pengambilan data sekitar 1,5 bulan. Olla berbentuk setengah bagian ditempel pada plot kaca lalu pola pembasahan dapat diukur menggunakan penggaris. Juga digunakan sensor lengas tanah berjumlah 10 buah untuk mengetahui pergerakan air melalui pori-pori tanah. Metode ini dipakai agar pembacaan lengas tanah lebih akurat.

“Hasil penelitian menunjukkan, pola pembasahan tanah pada olla berbentuk bulat lebih kecil daripada yang lain. Olla bulat lebih efisien karena memiliki luas permukaan paling besar hingga konduktivitas olla kecil. Makin kecil konduktivitas olla, volume air keluar makin kecil. Tanah bertekstur pasir didominasi pori makro hingga kemampuan meloloskan air cukup besar. Ini menyebabkan kehilangan air besar.”

Sedang hasil pengamatan irigasi olla terhadap pertumbuhan tomat selama dua bulan menunjukkan respon berbeda pada tiap perlakuan. Jarak tanam lima cm dari olla mengalami pertumbuhan bagus dan mulai berbunga usia tujuh minggu. Namun, jarak tanam 10 cm dari kendi menunjukkan hasil paling tinggi karena ada ruang akar untuk berkembang dan tidak terjadi perebutan makanan.

Untuk itu, katanya, potensi penggunaan metode ini sangat besar di Indonesia, mengingat banyak wilayah mengalami kekeringan. Penggunaan air pada irigasi olla sangat hemat dan efisien dibandingkan irigasi konvensional.

“Sistem olla mampu memasok air dan  nutrisi secara bersamaan dan langsung ke perakaran tanaman secara perlahan sesuai kebutuhan.”

Dia mengatakan, olla paling efektif  yang berbentuk bulat. Sebab, bentuk bulat memiliki luas permukaan paling besar hingga pasokan air untuk tanaman tepat dalam waktu, lokasi, dan jumlah.

Inilah sistem olla itu. Foto: Humas UGM

Inilah sistem olla itu. Foto: Humas UGM


Sistem Irigasi Ini Bisa Hemat Air dan Tingkatkan Produktivitas was first posted on September 27, 2015 at 6:37 pm.

Cerita Petani Hutan Lestari dari Boyolali

$
0
0
Penomoran bontos kayu sebagai bentuk inventarisasi atau lacak balak asal kayu. Kejelasan asal kayu salah satu tujuannya untuk menekan pembalakan liar. Foto: Tommy Apriando

Penomoran bontos kayu sebagai bentuk inventarisasi atau lacak balak asal kayu. Kejelasan asal kayu salah satu tujuannya untuk menekan pembalakan liar. Foto: Tommy Apriando

Waktu menujukkan pukul 11.30. Panas terik mentari menembus celah-celah pepohonan. Suara burung kutilang bersahut-sahutan, bercampur dengan suara serangga.

Deretan pepohonan hijau, melengkapi susana asri, di akhir September itu.  Ada sengon, jabon, maupun jati,  tumbuh diantara tanaman pertanian warga di Desa Sidomulyo dan Ngargosari, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tinggi berkisar 10-15 meter, diameter 10-25 meter. Di bawah pepohonan, ada jagung, singkong, pepaya sampai cabai.

“Pepohanan dan lahan pertanian masyarakat itu hutan rakyat. Sudah ada sertifikasinya,” kata Supardi. Dia baru pulang dari ladang.

Supandi adalah anggota Unit Manajemen Hutan Rakyat (UMHR) Tunas Sari Mulyo di Kecamatan Ampel, Boyolali.

Pertengahan Oktober 2011, katanya,  masyarakat desa itu mendapatkan sosialisasi Dinas Kehutanan Boyolali dan  Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) Yogyakarta tentang pengelolaan hutan rakyat lestari. Mulai pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) hingga sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).

Sosialiasi dikemas dalam pertunjukan wayang kulit. Seorang dalang membuat cerita pertunjukan wayang dengan membawa pesan-pesan pengelolaan hutan dan SVLK. Dari sosialisasi ini, petani hutan rakyat paham dan berkomitmen bersama mengelola hutan rakyat lestari.

Hutan rakyat UMHR Tunas Sari Mulyo (TSM) seluas 475,846 hektar. “Pada 2012,  kami dapat sertifikasi PHBML dan SVLK.”

UMHR TSM memiliki anggota 2.163 keluarga petani hutan rakyat di dua desa yakni Desa Ngargosari dan Sidomulyo. Luas hutan rakyat Desa Ngargosari 313,846 hektar, dengan potensi sengon 6.358 meter kubik, mahoni 103m3, dan jati 406 m3.

Jagung, salah satu hasil pertanian jagung dari lokasi hutan rakyat di Boyolali. Foto: Tommy Apriando

Jagung, salah satu hasil pertanian jagung dari lokasi hutan rakyat di Boyolali. Foto: Tommy Apriando

Untuk Desa Sidomulyo, luas hutan rakyat 162 hektar, dengan potensi sengon 2.142 m3, mahoni 3.9275 m3, dan jati 62.419 m3.

Menurut Supardi, UMHR TSM pelan tetapi pasti berkembang pesat setelah mendapatkan sertifikasi. Berbagai upaya dilakukan pengurus untuk mengelola anggota dan hutan, dengan berpatokan hutan tetap lestari dan kesejahteraan anggota meningkat.

Berbagai upaya dilakukan, seperti, kerjasama dengan UD Abioso. Abioso memberikan bibit sengon sebagai jaminan bahan baku industri, dan harga jual kayu lebih tinggi dibandingkan yang tak bersertifikat.

“Hutan tetap lestari. Harga jual kayu lebih tinggi dan kesejahteraan anggota perlahan membaik. Itu yang kami dapatkan dari sertifikasi PHBML dan SVLK. Petani hutan rakyat lain harus mengikuti.”

 

***

Sebatang tunggul sengon berdiameter sekitar 25 centimeter. Sang pemilik, Sarono , menebangnya April lalu. Tulisan merah masih tampak di kayu tebangan itu. “IA SGN, ANU 15 0070, 1.36.”  Ini kode penomoran penanda kayu atau lacak balak oleh pengurus Asosiasi Pemilik Hutan Rakyat Ngudi Utomo, Desa Sukorejo, Kecamatan Musuk, Boyolali, Jateng.

Lokasi pemotongan kayu gelondongan menjadi kayu berbagai macam ukuran di pabrik UD Abioso, Boyolali. Foto: Tommy Apriando

Lokasi pemotongan kayu gelondongan menjadi kayu berbagai macam ukuran di pabrik UD Abioso, Boyolali. Foto: Tommy Apriando

“Lacak balak atau penomoran pada batang bontos kayu wajib bagi kayu bulat dari hutan rakyat anggota APHR Ngudi Utomo.” kata Sarono, Ketua APHR Ngudi Utomo, Jumat, (25/9/15).

Penomoran batang ini berurutan bagi semua jenis kayu. Ia memuat informasi identitas, nomer anggota, nomer induk bidang dan nomer pohon.

Penomeran bontos kayu wajib agar pelacakan identitas asal kayu bisa terdokumentasikan dan mudah dideteksi. Petani Ngudi Utomo mengikuti jejak UMHR Tunas Sari Mulyo,  yang terlebih dahulu memperoleh sertifikasi PHBML dan SVLK.

Pertengahan Agustus 2015, Ngudi Utomo resmi mendapatkan SVLK. Juni 2015,  mendapatkan sertifikat PHBML dari audit lapangan PT. Mutu Agung Lestari (MAL) dengan skema Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). Dalam audit, mereka dinyatakan tidak ditemukan ketidaksesuaian dalam proses verifikasi legalitas kayu (VLK).

Awalnya,  wilayah APHR Ngudi Utomo terbatas di Desa Sukorejo. Sosialisasi terus-menerus membuahkan hasil, Desa Pagerjurang di Kecamatan Musuk, bergabung. Dari anggota awal 103, kini 759 dengan luasan hutan 370 hektar.

Adapun potensi-potensi hutan di Desa Sukorejo dan Pagerjurang yakni kayu sengon, jati, jabon, dan mahoni. Hasil hutan non kayu, seperti peternakan sapi perah, ayam, dan kambing. Untuk pertanian, ada padi, singkong jagung,  sampai buah-buahan seperti rambutan, alpukat, dan durian.

“Hutan kedua desa ini daerah resapan air untuk menyangga daerah-daerah sekitar. Jika hutan rakyat gundul, bencana besar melanda daerah-daerah sekitar baik banjir, longsor, maupun krisis air,” kata Sarono.

Menurut dia, upaya menjaga kelestarian hutan dan mensejahterakan anggota, Ngudi Utomo juga bekerja sama dengan industri kayu, UD Abioso. Keduanya ada di Boyolali.

“Abioso berkewajiban memberikan bibit kepada APHR Ngudi Utomo dan memberikan insentif tambahan karena sudah ber-SVLK.”

UD Abioso, sendiri, merupakan usaha pengolah kayu (wood working industry) dan playwood. Ia mengantongi izin usaha industri primer hasil hutan kayu (IUIPHHK) dan Keputusan Gubernur Jateng. Abioso juga memiliki SVLK sejak 9 Agustus 2012.

Pemilik usaha sekaligus Direktur Abioso, Mintarjo, mengatakan, sebagai bagian konsekuensi rantai pasar, industri pengolah kayu sengon sangat bergantung kepada petani hutan rakyat. Jadi, petani jangan khawatir sengon tidak laku. “Pasti laku, kalau tidak laku bilang ke saya, nanti saya beli.”

Namun, soal jual beli ini, sekarang masih perlu penyesuaian setelah bahan baku dikelola kelompok. Dulu, transaksi antara Abioso dengan pedagang kayu menjadi ke kelompok petani hutan ataupun koperasi kelompok tani.

“Bagi kami justru lebih menguntungkan bertransaksi dengan kelompok karena lebih terorganisir baik petani maupun potensi kayu,” kata Mintarjo.

Mintarjo berani memastikan kayu kelompok tani hutan rakyat bersertifikat  mempunyai harga tawar lebih tinggi. Abioso selalu siap memberikan pelatihan untuk mengukur potensi, mengetahui standar harga jelas.

 

***

Ruko di Pasar Desa Sukorejo, sebagian besar tampak masih tutup. “Depo Kayu APHR Ngudi Utomo.” Begitu tulisan terpasang di depan salah satu ruko. Namun, tak tampak potongan kayu di sana.

“Belum ada penebangan, belum ada kayu masuk ke depo,” kata Sarono.

Depo kayu ini untuk membangun tempat penampungan terdaftar (TPT) kayu.  Upaya ini, katanya, salah satu rencana bisnis pengurus APHR demi kesejahteraan anggota. Nanti, TPT akan menampung kayu anggota maupun tidak. Harapannya, harga jual kayu lebih tinggi dan peluang pemanfaatkan kayu petani dan masyarakat desa lebih besar.

 Hutan Rakyat APHH Ngudi Utomo di pinggiran jalan desa. Foto: Tommy Apriando

Hutan Rakyat APHH Ngudi Utomo di pinggiran jalan desa. Foto: Tommy Apriando

“Salah satu esensi penting berkelompok dan bersertifikasi kayu adalah peningkatan kesejahteraan anggota,” kata Rosikhul Ilmi, Fasilitator Hutan Rakyat dari Lembaga Arupa Yogyakarta.

Sertifikasi, katanya, sebagai instrumen jalur khusus perdagangan dalam mensyaratkan kemitraan dengan industri kayu sebagai patner bisnis.

Keberhasilan Abioso mendapatkan sertifikat legalitas kayu bersinergi dengan kelompok Tunas Sari Mulyo dan Ngudi Utomo. Dengan kerjasama ini, diharapkan, mereka saling menguntungkan.

Model kerjasama mereka contoh ideal. Mengingat kedua belah pihak sama-sama peduli legalitas kayu dan kelestarian hutan rakyat.

“Kedunya menjadi lokasi pembelajaran dalam implementasi SVLK baik industri maupun hutan rakyat terbukti berhasil mendapatkan sertifikat legalitas kayu,” kata Ilmi.

Untuk pengurusan SVLK, katanya,  sebenarnya tidaklah sulit. Asalkan sedari awal perusahaan berkomitmen, dan usaha memenuhi segala ketentuan pemerintah, sertifikasi tidak sulit. Saat ini, SVLK Ngudi Utomo sudah ada. Namun masih proses bangun TPT berbentuk Depo. Perizinan difasilitasi dinas, tanah dibiayai Abioso dan kelompok tani berbagi tenaga.

“TPT menerapkan sistem penelusuran kayu, menjamin keterlacakan kayu dari asal dan keabsahan penjualan atau pemindahtanganan kayu bulat maupun kayu olahan.”

Di Boyolali, proses SVLK berjalan cukup lancar. Sugiyarto Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutaan, Boyolali mengatakan, implementasi SVLK di Boyolali sudah berjalan, terutama industri kecil dan kelompok petani hutan rakyat.

“Mereka punya daya tawar, jika dulu belum bersertifikat kayu dibeli Rp500.000, setelah bersetifikat bisa Rp800.000.”

Saat ini, kebutuhan kayu ekspor terutama ke Eropa perlu SVLK. Jadi, ini bisa menjadi motivasi pelaku usaha agar segera ber-SVLK.

Peta lokasi hutan rakyat APHR Ngudi Utomo. Foto: Lembaga Arupa

Peta lokasi hutan rakyat APHR Ngudi Utomo. Foto: Lembaga Arupa

Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando

Produk kayu di UD Abioso, adapun kayu yang didapat dari hutan rakyat yang sudah bersertifikasi SVLK. Foto: Tommy Apriando


Cerita Petani Hutan Lestari dari Boyolali was first posted on September 28, 2015 at 10:11 pm.

Petani Tolak Tambang di Lumajang Dibunuh, Komnas HAM Bentuk Tim Investigasi

$
0
0
Sumber: Jatam

Sumber: Jatam

Pada Sabtu (26/9/15), petani pejuang penolak tambang pasir, di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, Salim Kancil, tewas mengenaskan sedang warga lain, Tosan, mengalami luka serius. Kini Tosan dirawat intensif di RS Mawardi, Malang.

Dari keterangan Walhi Jawa Timur, menyebutkan, saat warga desa hendak menghadang kegiatan tambang pasir, diduga oknum kepala desa mengerahkan preman sekitar 30 orang untuk mengintimidasi warga. Seorang petani, Salim, dibawa dan dikeroyok dengan kedua tangan terikat. Mayatnya ditemukan di tepi alan dekat perkebunan warga.  Korban lain, Tosan. Dia dijemput dari rumah dan dianiaya. Dia sempat melawan tetapi dihajar beramai-ramai. Bersyukur, berhasil diselamatkan warga dan dilarikan ke rumah sakit.

Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional di Komnas HAM Jakarta, Senin, (28/9/15) mengatakan, konflik pertambangan di Lumajang sudah lama terjadi. Laporan warga menolak tambang kepada Walhi hampir dua tahun lalu. Mereka menolak karena khawatir pertambangan mengancam produksi pertanian.

Pertambangam sudah berjalan sejak 2014. Mulanya, warga mendapat undangan Kades Selok Awar-awar untuk sosialisasi wisata Watu Pecak. Yang terjadi,  malah penambangan marak disana.

“Maret lalu masyarakat datang ke Walhi menyampaikan penolakan mereka terhadap kegiatan pertambangan ilegal.”

Aksi penolakan tambang dilakukan. Pada 9 September 2015, warga aksi damai tolak tambang. Keesokan hari, pengancaman terbuka terjadi. Pada 11 September, perwakilan masyarakat melaporkan intimidasi dan pengancaman kepada Polres Lumajang. Pada 9 September, Polres Lumajang merilis penanganan kasus, termasuk tim penyidik.

Pada 21 September,  warga lapor pertambangan ilegal. “Pada 25 September , mereka konfirmasi aksi lagi. Pada 26 September terjadi pembunuhan,” katanya.

Sebenarnya, kata Munhur,  pengaduan tertulis soal penolakan tambang sudah disampaikan kepada polisi, DPRD, kementerian bahkan Presiden. Bahkan, saat audiensi dengan DPRD, berjanji membentuk tim tetapi tak ada realisasi hingga sekarang.

Ada skenario besar?

Muhnur mensinyalir kuat, ada skenario besar di balik kasus ini, yakni melancarkan usaha pertambangan di sana. Di wilayah Perum Perhutani—dekat desa–, ada perusahaan tambang pasir,  PT Indo Modern Mining Sejahtera (PT IMMS).

“Kasus pertambangan ilegal itu pernah disidik Kejaksaan. Tapi tak belum ada perkembangan sampai sekarang.”

Muhnur berharap kasus ini bisa diusut tuntas. Konflik tak hanya soal pembunuhan, tetapi ada masalah laten yaitu pertambangan ilegal. Dia mendesak, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, audit perizinan. Sebab,  kawasan tambang itu berada di wilayah kerja Perhutani.

“Apakah benar perusahaan menambang di lahan itu sudah mengantongi izin pelepasan kawasan? Atau izin lingkungan sebagai mana diamanatkan UU 32 tahun 2009. Kalau ada izin, segera cabut  karena sudah banyak penolakan di masyarakat,” katanya.

Senada dengan Ki Bagus Kusuma, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Dia mengatakan, masalah ini bukan hanya konflik pro dan kontra tambang. Namun, dia melihat ada skenario besar. Perusahaan besar bermain di balik ini.

“Kita tahu, perusahaan itu sudah diusut Kejati. Maret lalu Direktur Utama PT IMMS sebagai tersangka. Dari tim pembuat Amdal juga ditetapkan tersangka karena terlibat gratifikasi. Mantan bupati terkait izin ini.”

Dia melihat kasus ini sama dengan perusahaan-perusahaan tambang lain. Ketika susah masuk ke wilayah eksploitasi, pertambangan-pertambangan liar didorong perusahaan untuk kelancaran eksploitasi ke depan.

“Artinya, perusahaan mengklaim mereka akan lebih memberikan PAD ke daerah, akan mereklamasi. Tambang-tambang liar jadi bagian dari cuci tangan perusahan besar.”

Munhur juga meminta Komnas HAM turun ke lapangan bersama masyarakat sipil, sebelum konflik ini didramatisir menjadi isu pro dan kontra tambang yang sebenarnya bikinan perusahaan dan aparat yang terlibat.

Walhi, katanya, sudah meminta Lembaga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk melindungi warga. LPSK menyanggupi. Hanya beberapa syarat administrasi harus diselesaikan.

“Akan kami penuhi minggu ini. Situasi korban dan warga terancam. Mereka ketakutan luar biasa. Masyarakat sangat susah dikoordinasi. Meski ada dampingan dan investigasi dari KontraS, Walhi, Jatam dan masyarakat sipil lain di lokasi.Ada 12 warga jadi incaran intimidasi,” katanya.

Ken Yusriansyah dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pembunuhan itu bertepatan dengan perayaan Hari Tani Nasional. “Ini kado paling buruk diterima kaum tani.”

Dia mengatakan, laporan dari lapangan, ternyata pembunuhan di depan umum. “Ini kejahatan sangat luar biasa. Maka kita melaporkan ke Komnas HAM agar turun ke lapangan. Kami mendapatkan laporan, upaya intimidasi, kriminalisasi itu terus dilakukan pihak-pihak yang melindungi aktivitas pertambangan.”

Senada dikatakan anggota Divisi Ekonomi dan Sosial  KontraS Ananto. Katanya, ada beberapa kejanggalan seperti kegamangan polisi. Sebelum pembunuhan, katanya, sebenarnya sudah banyak laporan kepada kepolisian.  Namun, tindakan polisi tak jelas. Kapolres malah menyatakan, tambang berguna bagi masyarakat padahal menimbulkan konflik.

“Sebenarnya polisi dan pejabat terkait sudah mengetahui. Mereka diduga terlibat dalam kasus ini dalam bentuk pengabaian.”

Investigasi Komnas HAM

Menanggapi ini, Wakil Ketua Komnas HAM,  Siti Noor Laila mengatakan, akan merespon cepat kasus ini karena sudah masuk kategori kasus urgen, menyangkut keselamatan manusia. Komnas HAM akan investigasi kasus ini.

“Komnas HAM akan pendalaman kasus. Soal ilegal mining perusahaan, juga menggunakan beberapa oknum masyarakat dimodali untuk pertambangan ilegal. Kemudian soal hak lingkungan sehat dan hak kesehatan dan kesejahteraan. Di dalam mengandung konflik agraria. Juga soal hak rasa aman yang penting bagi warga sekitar,” katanya.

Komnas HAM akan memastikan aparat penegak hukum terutama kepolisian, menjalankan proses penegakan hukum terbuka dan adil.

Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dalam pesan singkat, menyatakan, laporan yang dia terima menyebutkan, sudah ada 18 orang ditetapkan menjadi tersangka dan tak ada karyawan Perhutani yang terlibat dalam peristiwa itu.

Dari catatan Perhutani, lokasi kejadian berada di luar kawasan hutan, 200 meter dari pal batas sebelah utara, ke selatan bibir pantai. Untuk memastikan, Perhutani dan Kepolisian akan mengecek lapangan.

Laporan itu juga menyebutkan, galian pasir yang menjadi persoalan bukan pasir besi tetapi pasir biasa yang berbatasan dengan petak 17E RPH Bogo, BKPH Pasirian. Sedangkan, pasir besi di dalam kawasan hutan RPH Bogo, petak 22, 23 dan 24.

 


Petani Tolak Tambang di Lumajang Dibunuh, Komnas HAM Bentuk Tim Investigasi was first posted on September 28, 2015 at 11:23 pm.

Awas! Hutan Gunung Sumbing-Sindoro Rawan Kebakaran

$
0
0
Asap kebakaram tampak mengepul dari kejauhan di Gunung Sumbing. Foto: Nuswantoro

Asap kebakaran tampak mengepul dari kejauhan di Gunung Sumbing. Foto: Nuswantoro

Asap putih masih membumbung dari hutan Dusun Grenjeng, Desa Candiyasan, Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Rabu pagi, (23/9/15). Asap dari semak terbakar dekat hutan pinus.

Meski udara terasa dingin, sinar matahari menyengat. Di puncak Gunung Sindoro, asap putih lain menyembul dari kawah. Sindoro dari kejauhan tampak gersang. Punggung gunung dominan kecoklatan. Hanya sebagian kecil terlihat hijau (berhutan). Selebihnya, tegalan tembakau sebagian besar dipanen, meninggalkan tonggak tanaman dan tanah berdebu.

Sehari sebelumnya terjadi kebakaran hebat di hutan Desa Sigedang, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Kebakaran meluas hingga Dusun Anggrunggondok, Desa Reco, Kecamatan Kertek.

Asisten Perhutani Bagian Kesatuan Pemangku Hutan (BKPH) Wonosobo, Cahyono, menyatakan, kebakaran seluas 231,5 hektar. Di Resor Pemangku Hutan (RPH) Sigedang, kebakaran menghanguskan 164,5 hektar vegetasi rimba campur. Di RPH Anggrunggondok 67 hektar vegetasi rimba alam. Belakangan kebakaran dilaporkan terjadi di Desa Cilengkong, Kecamatan Garung.

Pada Sabtu, (5/9/15), juga terjadi kebakaran hebat di Gunung Sumbing, petak 2A Dusun Marongan, Desa Sukomakmur, Kajoran, Magelang. Titik api menyebar sampai ke Desa Mangli, Kecamatan Kaliangkrik, juga Desa Dampit, Kecamatan Windusari. Hingga hari keempat kebakaran, dilaporkan menghanguskan 200 hektar hutan.

Kebakaran di Wonosobo, lebih luas dan besar dibanding Magelang. Sebelumnya itu, api yang membakar Hutan Sindoro jelas terlihat dari kota. Spot merah jingga kontras dengan hitam malam. Angin membawa sebagian asap kebakaran turun ke Wonosobo.

“Kalau di Temanggung dua minggu terakhir ini aman,” kata Asisten Perhutani Bagian Kesatuan Pemangku Hutan, Temanggung, Yudi Noviar, Senin (21/9/15).

Dia menjelaskan, meski frekuensi dan luas kebakaran lebih sedikit dibanding Magelang dan Wonosobo, namun dampak di Temanggung tak boleh dianggap remeh.

“Total sejak kemarau atau Juni 2015 di PKPH Temanggung, baik Sindoro maupun Sumbing 133 hektar musnah terbakar. Vegetasi terbakar berupa savana, berisi alang-alang.”

Data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah menunjukkan hutan menurut fungsi di KPH Kedu Utara pendataan 2013, hutan produksi 23.740,86 hektar, hutan lindung 12.602,53 hektar. Hutan produksi berisi tanaman komersial. Hutan lindung menjadi menyangga kehidupan lingkungan sekitar, misal, mengendalikan erosi, menahan intrusi air laut, menjaga daerah tangkapan air dan memelihara kesuburan tanah.

Meskipun kebakaran Gunung Sumbing dn Sindoro, tampak  bernilai kecil dari tegakan pohon karena yang terbakar ilalang,  tetapi tidak bagi ekosistem.

Jalur pendakian Gunung SIndoro. Penyebab kebakaran, kadang api-api yang dibawa atau dibuat para pendaki, meluas dan terjadi kebakaran. Foto: Nuswantoro

Jalur pendakian Gunung SIndoro. Penyebab kebakaran, kadang api-api yang dibawa atau dibuat para pendaki, meluas dan terjadi kebakaran. Foto: Nuswantoro

Yudi mengatakan, untuk RPH Kwadungan, hutan paling luas di Temanggung berdasar laporan satwa terus berkurang.

“Agustus lalu masih ada laporan keberadaan mereka, jumlah menurun. Penampakan elang Jawa tinggal dua, babi hutan tiga, kera 30, dan kijang satu.”

Jadi, tak terbayangkan kalau satwa-satwa liar musnah dari hutan Sumbing Sindoro,  salah satu sedikit hutan Jawa yang tersisa.

Berulang

Saat kemarau, hampir selalu hutan di pegunungan tiga kabupaten, yaitu Wonosobo, Magelang, Temanggung ini terbakar.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah beberapa kali menerima laporan kebakaran. Pada Minggu, (2/8/15), kebakaran menghanguskan lahan di petak 7C dan 7B Perhutani, di Gunung Pakuwojo, meliputi Desa Sembungan, Tieng, Jojogan, di Kecamatan Kejajar.

Pada Rabu, (26/8/15),, kebakaran terjadi di Dusun Jurang Jero, Desa Ngargosoko, Kecamatan Dukun, Magelang. Juga beberapa kejadian lagi.

Penyebab kebakaran hutan, katanya,  didominasi karena faktor manusia, seperti pendaki lalai meninggalkan bara api unggun masih menyala, warga membakar sampah, atau balon udara. Balon udara adalah istilah warga untuk lampion terbuat dari kertas atau plastik warna warni dan diterbangkan dengan api.

Untuk mengantisipasi ini, sejak Juni Perhutani membuat surat ke desa-desa dan pecinta alam, sementara aktivitas pendakian di Sumbing dan Sindoro, dihentikan.

“Bisa saja pendakian sudah ditutup, tapi pintu pendakian banyak. Ada pos resmi misaln, pendakian Sindoro di Kledung. Pendaki naik dari tempat lain,” kata Yudi.

Pemadaman

Menurut dia, belum ada cara efektif secara cepat mengendalikan kebakaran hutan di Gunung Sumbing Sindoro. Berbeda dengan gempa atau banjir, sistem peringatan dini bencana kebakaran masih mengandalkan laporan masyarakat dan petugas patroli.

“Begitu ada laporan asap dari titik api, teman-teman langsung bergerak. Teknis pemadaman pakai sistem gopyok.”

Sistem gopyok berarti memakai dahan dibasahi air lalu dihantamkan ke sumber api. Masih sederhana. Terkait model kebakaran dan kesulitan pemadaman. Kebakaran di gunung berbeda dengan di lahan hutan Kalimantan dan Sumatera. Di sana lahan gambut lebih sulit. Kebakaran di gunung bagian atas kadang sulit dijangkau.

“Untuk naik membutuhkan waktu dan air susah dialirkan. Mungkin sudah waktunya memakai sistem pemadaman udara. Memakai helikopter atau pesawat,” katanya.

Selama ini, pemadaman melibatkan masyarakat, SAR, pecinta alam, TNI Polri, dan BPBD. Juga saat kemarau, desa-desa dibentuk Satgas Galkar atau Satuan Tugas Pengendalian Kebakaran Hutan.

Menyadari personil terbatas, Perhutani mengantisipasi dengan membuat surat edaran larangan pendakian di musim kemarau. Atau imbauan kepada masyarakat di perbatasan kalau membakar di lahan sendiri harus memastikan api dan bara telah mati. Juga mengimbau masyarakat tidak menerbangkan balon udara memakai api yang sebenarnya tradisi warga di sini.

“Pas bulan puasa dan Lebaran penyebab kebakaran kebanyakan balon udara. Itu sebabnya festival balon udara 2 Agustus lalu di Wonosobo tidak diizinkan karena berbahaya.”

 


Awas! Hutan Gunung Sumbing-Sindoro Rawan Kebakaran was first posted on September 29, 2015 at 9:26 pm.

Kisah Gajah Sumatera, yang Lahir dan yang Dibunuh

$
0
0
Agustina, sang induk terlihat menjaga bayinya sangat  ketat. Bayi jantan ini lebih besar dari dua anak gajah yang lahir sebelumnya. Foto:  Ayat S Karokaro

Agustina, sang induk terlihat menjaga bayi sangat ketat. Bayi jantan ini lebih besar dari dua anak gajah yang lahir sebelumnya. Foto: Ayat S Karokaro

Dalam tahun ini, soal kelahiran gajah Sumatera di CRU Tangkahan, Langkat, emmbawa kabar baik. Namun, tak kalah banyak kisah duka, perburuan atau pembunuhan untuk diambil gading sampai kematian gajah karena diracun di perkebunan. Teranyar, pembunuhan Yongki, gajah jinak di dalam posko pemantauan Taman Nasional Bukit Barisan, Lampung. 

Di kawasan ekowisata Tangkahan dalam tiga bulan, sudah tiga anak gajah Sumatera lahir. Senin malam (22/9/15), di lokasi yang dikelola Conservation Response Unit (CRU) Tangkahan, binaan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) ini Agustina, gajah betina berusia 43 tahun, melahirkan bayi jantan gagah. 

Sapto Aji, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, BBTNGL, kepada Mongabay, mengatakan, bayi Agustina, lahir sekitar pukul 23.00 dalam kondisi sehat dengan tinggi 80 cm dan berat 95 kg.

Kelahiran ini, katanya, menunjukkan keseriusan BBTNGL bersama mitra, merawat gajah jinak dengan baik, sebagai bagian pelestarian secara eksitu. Sebelumnya, awal bulan lalu, Olive melahirkan bayi betina. Pada Juni 2015, juga lahir gajah betina, dari sang induk Yuni.

Sapto mengatakan, CRU Tangkahan untuk lokasi pembelajaran ekosistem dan konservasi, melibatkan masyarakat sekitar TNGL, meskipun berada di luar kawasan.

Rudikita Sembiring, Ketua Harian Lembaga Pariwisata Tangkahan, mengatakan, pengembangbiakan gajah di CRU Tangkahan, memperlihatkan keseriusan masyarakat sekitar Leuser, memperbanyak habitat satwa terancam punah ini. Artinya, ada kesadaran masyarakat mendukung upaya kenaikan populasi satwa dilindungi.

Namun, katanya,  upaya ini tidak akan optimal, jika penegakan hukum bagi para pemburu tidak mendapatkan hukuman setimpal. Sebab, rata-rata, pelaku pemburu gading gajah hukuman kurang dua tahun penjara dengan denda kecil.

Sekitar  20 menit setelah kelahiran, sang bayi jantan gajah  ini mulai mencoba berdiri. Foto:  Ayat S Karokaro

Sekitar 20 menit setelah kelahiran, sang bayi jantan gajah ini mulai mencoba berdiri. Foto: Ayat S Karokaro

Rudikita mengatakan, hampir semua gajah mati di Sumatera, baik itu TNGL, Taman Nasional Teso Nilo, sampai Taman Nasional Way Kambas, Lampung,  karena perburuan gading gajah. Selebihnya, mati keracunan karena tumbuhan, sengaja diracun oleh pekerja maupun pemilik kebun.

Di TNGL, gajah mati diburu lebih 12 dalam dua tahun terakhir. Sedangkan mati keracunan ada delapan. “Selain itu di Teso NiloJambi, dan Sumatera Selatan, ada lebih 19 gajah mati baik diburu maupun diracun. Kasus serupa, kalau diburu diambil gading, kalau diracun, karena gajah masuk ke perkebunan sawit.”

Kematian gajah jinak terbaru malah terjadi posko Taman Nasional Bukit  Barisan, Lampung, Jumat (18/9/15). Yongki, gajah jinak berusia 35 tahun dibunuh. Jumat subuh, Posko Pemantauan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Wilayah Pemerihan, Lampung Barat, kemalingan. Pagi hari, Yongki ditemukan rebah bersimbah darah dengan gading hilang. Di posko itu,  tinggal gajah lain. Ada Renggo, Karnangin, dua anakan Sampot dan Tomi serta Arni, sang betina.

Tim dokter dari Taman Nasional Way Kambas datang mengecek.  Yongki mati Jumat pukul 7.30 dengan posisi rebah miring ke kiri. Dua gading hilang. “Tak ada bekas berontak dan tak ada bekas tembakan, mulut tak berbusa dan tak bau, tapi lidah sangat biru,” kata Istanto, Direktur Penegakan Hukum Lingkungan, KLHK, baru-baru ini.

Dia mengatakan, bekas potongan gading sangat rapi hingga diduga pembunuh profesional serta memahami keadaan sekitar. Diduga, pembunuh meracun atau memberi sejenis obat bius kala akan mengambil gading. “Semua sampel  yang diperlukan diambil untuk proses lebih lanjut.”

Pemburu dan pembunuh gajah akan terus beraksi. Kalaupun tertangkap, selama ini hukuman bagi mereka minim. “Tidak ada efek jera. Ketika pelaku bebas, akan kembali menjalankan memburu dan membunuh gajah,” kata Rudikita.

Mari menanti keseriusan pemerintah mengubah UU dan kemauan penegak hukum menjerat pelaku dengan hukuman setimpal.

Gajah jantan dewasa ditemukan mati mengenaskan di Aceh Barat dengan kondisi gading hilang dan belalai terpotong dari kepala. Foto: Iwan


Kisah Gajah Sumatera, yang Lahir dan yang Dibunuh was first posted on September 29, 2015 at 10:38 pm.
Viewing all 3942 articles
Browse latest View live