Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4162 articles
Browse latest View live

Inilah Para Petinggi Baru Kementerian LHK, Apa Pesan Menteri Siti?

$
0
0
Berturut-turut, (dari kanan), Bambang Hendroyono (Sekjen KLHK), San Afri Awang (Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan), Tachir Fathoni (Dirjen Konservasi SDA dan Ekosistem). Lalu, Hilman Nugroho, Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, baru menerima piagam dari Menteri LHK, Siti Nurbaya saat pelantikan di Manggala Wanabhakti, Jumat (29/5/15). Foto: Sapariah Saturi

Berturut-turut, (dari kanan), Bambang Hendroyono (Sekjen KLHK), San Afri Awang (Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan), Tachrir Fathoni (Dirjen Konservasi SDA dan Ekosistem). Lalu, Hilman Nugroho, Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, baru menerima piagam dari Menteri LHK, Siti Nurbaya saat pelantikan di Manggala Wanabhakti, Jumat (29/5/15). Foto: Sapariah Saturi

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pada Jumat sore (29/5/15) melantik 13 pejabat eselon satu seperti yang tertuang dalam Keputusan Presiden No 77/M/2015, soal pemberhentian dan pengangkatan dari dan jabatan dalam pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebagian besar para pejabat iniwajah-wajah lama dari dua kementerian gabungan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hadir dalam pelantikan itu beberapa Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan kabinet lalu seperti Sarwono Kusumaatmadja, MS Kaban, Rahmat Witoelar dan Erna Witoelar. Ada juga Ketua MPR sekaligus Menteri Kehutanan lalu, Zulkifli Hasan serta anggota DPR Komisi IV dan VII.

Siti Nurbaya mengatakan, dengan pelantikan ini, mereka resmi berada dalam satu wadah yaitu KLHK. Dengan struktur baru ini, KLHK terdiri dari 18 eselon I, 86 eselon II, 316 eselon III dan 769 seselon IV.

“Saya rasa enam bulan terakhir masa transisi cukup berat. Terima kasih dukungan senior, pimpinan dan anggota Komisi VII dan IV, kami lalui masa sulit dengan baik,” katanya kala pelantikan di Jakarta.

Dia meminta, dengan format baru ini, jajaran KLHK makin kokoh, kompak dan makin profesional serta disiplin dalam menjalankan tugas-tugas.

Setelah pelantikan ini, dia meminta jajaran petinggi langsung merealisasikan rencana-rencana kerja. “Kita punya cara-cara dan sistem kerja yang harus berkait dengan daerah. Ini tak mudah tapi bukan menakutkan,” ucap Siti.

Hal paling penting lagi,  katanya, saat ini sudah dilakukan modifikasi-modifikasi kerja bersama jajaran masyarakat, masyarakat sipil, dan media. “Apa yang diinginkan publik, ketika ada persoalan maka harus diselesaikan. Bukan pencitraan.”

Kini, katanya, birokrasi KLHK dibimbing oleh tuntutan dan harapan publik. “Saya terima kasih teman-teman di eselon  bisa lakukan itu dengan baik. Saya berharap, nanti eselon-eselon baru harus seperti itu,” katanya.

Dia meminta komitmen bersama para pejabat buat pengabdian dan kerja keras sejalan dengan tingginya harapan dan dinamika masyarakat. “Saya minta komit. Saya gak mau handphone mati,  termasuk weekend tak boleh hape mati. Itu yang paling penting. Komitmen kerja yang interaktif, tak boleh bete kalau dapat sms dari rakyat. Kadang bete juga, tetapi tak boleh bete.”

Dia kembali menekankan, agar para pejabat eselon bekerja dengan lintas komponen dan lakukan policy exercise kepada dua jajaran eselon di bawahnya.  “Jadi kita berangkat bareng-bareng, tak boleh ada ketinggalan satu unsurpun di kementerian ini. Saya kira fungsi birokrasi yaitu administrasi, policy advise, artikulasi kepentingan dan menjaga stabilitas pemerintahan harus betul-betul dibuktikan. Akan kita laksanakan bersama-sama.”

Para pejabat eselon, katanya, dituntut memiliki keterampilan dalam artikulasi kebijakan.  “Banyak masalah kita hadapi, dari tenurial, konflik, penegakan hukum dan lain-lain. Saya kira kita tak punya pilihan lain kecuali betul-betul menjaga sensitivitas kita terhadap apa yang dibutuhkan publik terutama yang kita dengar dari media. Banyak instrumen dari pembangunan berkelanjutan yang dipersoalkan, misal, destruksi udara dan atmosfir juga pengelolaan air, limbah dan lain-lain.”

Wilayah kelola rakyat

Siti mengatakan, KLHK juga mempunyai tantangan besar dalam mewujudkan perhutanan sosial yang menjadi tumpuan harapan masyarakat. Laporan yang masuk ke KLHK atau lewat posko pengaduan dalam tiga bulan sekitar 224 isu, 70-80% soal konflik dan alokasi lahan buat masyarakat. Untuk itu, Siti menekankan khusus kepada Hadi Daryanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan “Khusus kepada Pak Hadi Daryanto, titip betul, ini benar-benar hal yang cukup berat dan membutuhkan hasil kongkrit di lapangan hingga kita terhindar dari hanya pencitraan,” katanya.

Sebagian pejabat eselon I KLHK yang baru dilantik. Foto: Sapariah Saturi

Sebagian pejabat eselon I KLHK yang baru dilantik. Foto: Sapariah Saturi

Dia juga berpesan pada San Afri Awang, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. “Kita punya tantangan besar di kebijakan alokasi lahan menyangkut infrastruktur, ekonomi dan lain-lain. “Saya kira banyak hal yang harus kita jelaskan kepada para environmentalis, mengapa kita membutuhkan alokasi lahan seperti itu.”

Menteri juga menyebut soal dirjen baru, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim yang muatan kerja merangkum beberapa kelembagaan sebelumnya, yakni BP REDD+ dan DNPI. “Ini menegaskan secara efektif seluruh agenda perubahan iklim akan dikelola oleh Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim.”

Menurut dia, direktorat ini akan mencakup soal adaptasi, mitigasi, investarisasi gas rumah kaca, monitoring dan pelaporan, serta verifikasi. Lalu, mobilisasi sumber daya sektoral dan regional, serta pengendalian kebakaran hutan.

Bersamaan dengan itu, guna menjaga independensi dan obyektivitas kelembagaan dalam kerja sama RI-Norwegia atau kerja sama teknik lain, kata Siti, kementerian ini menghadirkan Dewan Pengarah Perubahan Iklim tingkat nasional. “Yang akan dipimpin Sarwono Kusumaatmadja, dengan anggota NGOs, birokrasi senior, kerja sama teknik luar negeri,” ujar dia.

Siti berharap, dengan dirjen baru ini, agenda perubahan iklim Indonesia makin kuat bukan hanya dalam komitmen juga praktik.

Kata mereka

Bustar Maitar dari Greenpeace menanggapi pelantikan petinggi baru KLHK ini. Menurut dia, Menteri Siti berkomitmen melakukan hal-hal yang sudah menjadi komitmen pemerintahan lama.  Seperti soal perubahan iklim, katanya, menteri secara spesifik menyampaikan terkait Norwegia dan kerja sama lain-lain.

Meskipun begitu, Bustar menyimpan kekhawatiran menyangkut koordinasi lintas kementerian. Menurut dia, jangan sampai kerja-kerja lintas kementerian yang dilakukan BP REDD+ dan DNPI sebelum ini menjadi terisolasi di dalam ruang lingkup lingkungan dan kehutanan. “Jadi, kita berharap bisa lintas kementerian. Artinya, kalau kita bicara perubahan iklim tak hanya Kementerian  LHK. Juga ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) harus ter-cover, dan kementerian-kementerian lain. Itu yang kita harap bisa terwujud di jajaran baru ini.”

Mengenai figur-figur pejabat yang duduk, katanya, sebagian besar orang-orang lama. Mereka, katanya mempunyai pengalaman panjang dengan isu yang ditangani. “Jadi berharap, ada implementasi dari rencana sebelumnya.”

Namun Bustar mengingatkan, dengan pejabat ‘muka-muka lama ini’ jangan bekerja dengan gaya lama. “Harus diubah.  Harus lebih terbuka, tak sektoral.”

Dengan penggabungan ini, katanya, orientasi juga harus berubah. Sesuai nomenklatur, lingkungan hidup dan kehutanan hendaknya lingkungan berada di depan. “Yang tadinya orientasi produksi, eksploitasi hutan kini semangatnya bagaimana mengelola berkelanjutan. Bukan lagi semangat eksploitasi, ekstraksi. Itu yang saya pikir harus diubah dengan pengabungan kementerian dan orang-orang baru ini,” ujar dia.

Noer Fauzi Rachman, Direktur Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia juga ikut menyoroti. Menurut Doktor Ilmu Lingkungan, Kebijakan dan Manajemen dari University of California, di Berkeley ini,  ada beberapa hal ditekankan menteri seperti pada Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan dan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.

Kedua direktorat itu, katanya,  diminta menyelesaikan konflik dengan pendekatan akses rakyat dengan perluasan pengelolaan hutan. “Saya rasa, memang selama ini hal itu paling lemah. Kita alami masa di mana rakyat bukan malah diperkuat dalam pengelolaan hutan justru dilemahkan dan dikurangi.”

Untuk itu, katanya, ujian saat ini bagaimana pemerintah baru menghadirkan negara dengan cara berbeda. Menteri, kata Oji, begitu biasa disapa,  sudah memberikan penanda-penanda baru soal peningkatan akses rakyat ini. Namun, dia belum yakin karena para pejabat yang duduk orang-orang lama.

“Dirjen ini kan sebenarnya pejabat sebelumnya.  San Afri Awang dan Hadi Daryanto, orang lama. Kalau boleh dibilang,  ini bukan penanda baru. Orangnya bukan penanda baru.”

Bagaimana agar kementerian bisa bekerja efektif? Menurut Oji, dalam mengambil keputusan menteri harus melibatkan berbagai pihak untuk membantu. “Kalau sifat (keputusan) masih sentralistik dan mengambil keputusan elitis tak membuka partisipasi rakyat, maka penanda-penanda baru itu tak akan menjadi wujud atau kenyataan.”

Dia sadar, perlu kerja berat mewujudkan ini. “Kita juga terpanggil untuk mengurusnya. Kalau diurus baik, mungkin akan jadi baik, kalau tidak, akan kembali ke cara lama.”

Jajaran Pejabat Eselon I Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan1.Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2.San Afri Awang, Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan
3.Tachrir Fathoni, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
4.Hilman Nugroho, Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung
5.Ida Bagus Putera, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari
6.M.R. Karliansyah, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan
7.Tuti Hendrawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya
8.Nur Masripatin, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim
9.Hadi Daryanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
10.Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan
11.Iman Hendargo Abu Ismoyo, Irjen KLHK
12.Bambang Soepijanto, Kepala Badan Pengembangan SDM
13.Henry Bastaman, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHKSumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
MS Kaban, Menteri Kehutanan KIB Jilid I (paling kanan), berbincang dengan Sarwono Kusumaadmadja, Menteri Lingkungan Hidup kabinet reformasi, dan bersebelahan dengan Ketua MPR, Zulkifli Hasan, kala hadir dalam pelantikan pejabat eselon I KLHK. Foto: Sapariah Saturi

MS Kaban, Menteri Kehutanan KIB Jilid I (paling kanan), berbincang dengan Sarwono Kusumaadmadja, Menteri Lingkungan Hidup kabinet reformasi, dan bersebelahan dengan Ketua MPR, Zulkifli Hasan, kala hadir dalam pelantikan pejabat eselon I KLHK. Foto: Sapariah Saturi


Inilah Para Petinggi Baru Kementerian LHK, Apa Pesan Menteri Siti? was first posted on May 29, 2015 at 5:23 pm.

Cerita dari Hutan Ulin Mungku Baru

$
0
0
Redie C memperlihatkan pohon ulin dengan diameter cukup besar di hutan adat mereka. Foto: Indra Nugraha

Redie C memperlihatkan pohon ulin dengan diameter cukup besar di hutan adat mereka. Foto: Indra Nugraha

Matahari sudah hampir tenggelam. Udara sejuk sehabis hujan. Saya berjalan menyeberangi dermaga, menaiki kelotok. Beberapa penumpang lain ke tujuan sama, Kelurahan Mungku Baru, Kecamatan Rakumpit, Palangkaraya.

Meskipun secara administratif, Kelurahan Mungku Baru masuk Palangkaraya tetapi infrastruktur di Hulu DAS Rungan ini, jauh dari kata kota. PLN belum mengalirkan listrik ke siini. Sebagian warga menggunakan solar panel menerangi rumah mereka kala malam. Sebagian lagi terpaksa menggunakan genset.

“Sehari kami harus membeli bensin dua liter untuk listrik. Satu liter Rp10.000. Itupun hanya bisa sampai pukul 9.00 malam,” kata Anton, warga Mungku Baru, satu kelotok bersama saya.

Penduduk kelurahan ini sangat membutuhkan perhatian pemerintah agar segera membangun listrik. Begitupun sarana telekomunikasi, sulit mendapatkan signal.

Kelurahan ini dihuni 200 keluarga. Sebagian besar sebagai petani. Mereka menanam karet. Sesekali masuk hutan mencari madu dan obat tradisional. Kehidupan mereka benar-benar sangat bergantung hutan.

“Kami biasa tanam padi tadah hujan. Setahun sekali. Tanam Oktober, panen Maret. Padi disini asli organik. Kami tak pakai pupuk kimia.”

Kelotok melaju membelah Sungai Rungan. Sepanjang perjalanan terlihat pohon-pohon rindang. Begitu menyejukkan mata. Ini kontras dengan suasana Palangkaraya, yang panas.

Namun keindahan pemandangan itu terganggu dengan banyak tambang emas yang mencemari Sungai Rungan. Sebagian besar mereka menggunakan merkuri.

Saya tiba di Kelurahan Mungku Baru, sekitar pukul 17.00. Armadiyanto, warga sekaligus pengelola hutan ulin menyambut hangat.

Pohon ulin banyak tumbuh di hutan adat ini. Foto: Indra Nugraha

Kedatangan saya ke sini untuk mengunjungi hutan ulin. Kayu yang bernama latin Eusideroxylon zwageri itu kini sudah langka. Menariknya, pohon kayu keras itu banyak dijumpai di hutan adat ini.

“Hutan ulin tersisa cuma ada di sini, secara administratif masuk Kabupaten Gunung Mas. Tetapi lebih dekat ke sini,” kata Armadiyanto.

Keesokan hari, Redie Cornelis dan Setiawan, sudah berada di rumah Armadiyanto. Mereka berdua kerabat Edo, nama panggilan Armadiyanto, yang juga pengurus hutan ulin. Mereka hendak mengantarkan saya berkeliling hutan keramat ini.

Kabut turun perlahan memecah suasana pagi. Beberapa ekor burung beterbangan mengiringi perjalanan. Kami bergegas ke dermaga menaiki cess (sampan kecil dari kayu). Redie dan Setiawan mendayung. Cess melaju perlahan membelah sungai yang tenang. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk lain juga menggunakan cess. Mereka menuju ladang. Menyadap karet, atau sekadar memberikan perawatan berkala pada tanaman mereka.

Tak lama, kami tiba di seberang Sungai Rungan. Redie dan Setiawan, segera mengambil sepeda motor yang terparkir depan rumah warga. Mesin dinyalakan. Sepeda motor melesat meninggalkan jalanan berpasir putih. Sepanjang perjalanan tampak ladang karet garapan warga.

Satu jam kemudian, kami tiba di pos pemeriksaan milik PT Taiyoung Engreen. Sebagian wilayah hutan adat ulin Mungku Baru memang masuk konsesi HPH ini. “Perusahaan tak pernah mengganggu hutan ulin kami. Jadi masih terjaga baik,” kata Redie.

Kami bergegas menembus hutan nan lebat. Tumbuhan bervariasi. Tak hanya ulin. Ada meranti, tengkawang, resak, benuas, pelepek, karuing dan lain-lain.

Sungai, jalur paling mudah menuju hutan ulin. Foto: Indra Nugraha

Sungai, jalur paling mudah menuju hutan ulin. Foto: Indra Nugraha

Suasana hutan berbeda dari kebanyakan. Pohon-pohon berdiameter besar masih kokoh berdiri. Aman dari aksi perambahan ilegal.Tak ada jalan setapak. Sebab, warga jarang masuk hutan ulin. Saat-saat tertentu saja mereka beraktivitas disana. Suara burung, serangga dan hewan lain saling bersahutan menyambut kedatangan kami.

“Warga jarang kesini. Maka hutan masih bagus. Terjaga dengan baik. Karena hutan ini sangat keramat bagi kami,” kata Setiawan.

Setelah berjalan hampir setengah jam, Redie dan Setiawan menunjukkan pohon ulin diameter lebih dari 20 sentimeter. Ulin ini terlilit pohon beringin. Suatu waktu ulin pasti akan mati tergantilkan beringin yang kokoh.

Tak lama berjalan, beberapa pohon ulin juga ditemukan. Ia tersebar di berbagai penjuru. Hasil survei pengelola hutan memperlihatkan, ada sekitar 50 ulin besar dan 192 pohon berdiameter 20 cm.

Setiawan mengatakan, di dalam hutan masih banyak satwa liar, seperti beruang hitam, kancil, babi hutan, orangutan, owa-owa, bekantan, bangkui, trenggiling, landak, dan lain-lain.

“Biawak, buaya, apalagi di Sungai Rakumpit, burung-burung juga banyak. Dulu disini banyak ikan, sekarang sudah jarang.”

Di hutan, selain ulin dan kayu lain, ada juga tumbuh-tumbuhan obat tradisional, seperti iro (sejenis pakis untuk obat liver),  tusuk kesong (kayu akar tunggal tanpa dahan untuk obat ashma), dan kelanis (akar untuk bahan baku bedak). Lalu, pasak bumi, tabat Barito sejenis ginseng (untuk pegal linu), kulit belawan (diare), kantung semar (ashma), sarang semut (penyakit gondok), akar seluang belum (pegal linu tambah nafsu makan, daya tahan tubuh).  Akar ulin dipercaya warga untuk menambah daya tahan tubuh.

“Obat-obatan tak kita jual ke luar. Kita manfaatkan untuk kebutuhan sendiri. Ke depan rencana untuk industri rumahan,” kata Redie.

Warga juga biasa mencari kulit gemur untuk bahan obat nyamuk. Kulit dijemur, setelah kering dijual Rp8.000 per kilogram. Warga juga mencari kelanis, bahan membuat bedak, Rp4.000 per kilogram. Namun mereka jarang mencari itu di dalam hutan ulin. Biasa mereka mendapatkan di area lain.

Aktivitas perusahaan HPH. Hutan ulin juga berada di konsesi HPH ini. Foto: Indra Nugraha

Aktivitas perusahaan HPH. Hutan ulin juga berada di konsesi HPH ini. Foto: Indra Nugraha

Hester Talajan, Mantir Adat menceritakan sejarah hutan ulin. Dulu, katanya,  kakek nenek kami berladang bersama anak cucu. “Hutan ulin itu dari dulu tidak diganggu. Kakek nenek kami meminta jangan dimusnahkan.”

Dulu, katanya,  pernah ada perambahan. Banyak ulin ditebang orang yang tidak bertanggungjawab. Kini warga sudah satu pandangan, bersama-sama menjaga hutan ulin yang tersisa.

“Kakek tak setuju. Tak mau ulin musnah. Ingin dikembangbiakkan. Sampai sekarang ini kami mau meneruskan perjuangan nenek moyang.”

Hester mengatakan, dulu hutan ulin pernah dicuri Temanggung Buleng, saudara kakeknya. Karena tak mau dicuri lagi, sang kakek bersumpah,” Siapa yang berani ganggu akan dimangsa roh pebubggu disana.”  Karena itulah hingga kini warga tak berani mengganggu kawasan hutan ulin. ”Pernah kejadian yang mencuri kena sumpah, dapat musibah. Termasuk keturunannya juga.”

Ada hukum adat berlaku di hutan mereka. Siapapun tak boleh masuk sembarangan tanpa izin. ”Harus sepengetahuan kami. Kalau hanya melihat tak apa. Kalau merusak, tak akan diizinkan. Begitu juga perusahaan. Mereka sudah sadar kalau merusak bisa kena sanksi adat. Perusahaan justru kerjasama dengan masyarakat untuk jaga hutan ulin.”

Jika melanggar, siapapun akan kena sanksi adat berupa kati. Satu kati setara Rp100.000. Besaran kati tergantung besar atau kecil pelanggaran. Para tokoh adat dan pengelola hutan ulin akan berdiskusi menentukan besaran kati jika terjadi pelanggaran.

“Kalau hutan tak dijaga, nanti saat musim kemarau, bisa hancur. Kami tak mau sampai kebakaran hutan,” katanya.

Guna menjaga hutan ini, masyarakat Mungku Baru membentuk kelembagaan pengelola hutan ulin 27 September 2014. Ia melalui serangkaian diskusi dengan seluruh masyarakat dan kelurahan, diketahui Camat Rakumpit. Namun hingga kini belum ada SK resmi dari pemerintah.

Dengan lembaga pengelola hutan ulin, diharapkan bisa mengaktifkan kembali tim serbu api yang dulu pernah dibentuk dan sempat tidak  berfungsi.

“Jarang patroli karena keterbatasan biaya. Masyarakat selama ini masih mengandalkan dana swadaya.” Kala SK kepengurusan lembaga pengelola hutan ulin disahkan, dia berharap pemda lebih memperhatikan hutan ulin dengan memberikan dana berkala,” kata Edo.

Pengelola hutan ulin juga bertugas memonitor rutin keadaan hutan. Saat ini, memang belum terlalu sering karena masih menunggu SK pemda. Ke depan,  patroli rutin akan sering.

Dia berharap,  dalam pengelolaan hutan ulin, bisa terjalin kerjasama erat antara masyarakat dengan pemerintah, KLHK maupun Kementerian Pariwisata.

Di daerah ini, pemetaan wilayah adat sudah dilakukan, yang difasilitasi Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Kalteng.

Kawasan hutan di Kelurahan Mungku Baru seluas 18 .000 hektar. hutan adat ulin 500 hektar. Ditambah wilayah Kaleka (peninggalan nenek moyang ditandai tiang-tiang rumah betang dan pohon besar) seluas empat hektar, sumber air bersih satu hektar, Danau Kahui dua hektar, Danau Luja delapan hektar dan Danau Kante delapan hektar.

“Kaleka hingga kini masih dipelihara warga sebagai cagar budaya. Danau biasa buat warga mencari ikan juga untuk wisata.”

DI sepanjang sungai banyak tambang-tambang emas rakyat. Foto: Indra Nugraha

DI sepanjang sungai banyak tambang-tambang emas rakyat. Foto: Indra Nugraha

Ancaman

“Harapan kita tinggi. Kita ingin jaga hutan dan dibudidaya. Bisa kerjasama dengan berbagai pihak. Maksud kami itu memang ini belum ada kekuatan hukum selaku pengelola. Tapi kan kita sudah di ambang pintu,” kata Aries Antoni, Lurah Mungku Baru.

Rencana ke depan kelurahan akan membuat program budidaya pohon ulin. Budidaya bisa menjadi alternatif melestarikan pohon ini.

“Selama ini kami gencar menolak investasi sawit. Kami mau hutan lestari. Kalau sawit masuk, hutan bisa habis.”

Ia berkomitmen untuk tetap menjaga kelestarian hutan adat ulin. Karena hutan itu lah yang tersisa saat ini. Tak boleh lagi ada pengrusakan.

Ancaman lain hutan ulin, adalah ada LSM yang mengklaim pemilik sah hutan adat ulin.

“Itu tak benar. Mereka mengklaim tanpa ada koordinasi dengan masyarakat. Kami sempat adu mulut dengan mereka. Di dalamnya justru bukan orang Mangku Baru. Mereka mengklaim hanya untuk kepentingan mereka.”

Aries mengatakan, masuknya hutan ulin ke konsesi Taiyoung juga ancaman. “Takutnya karena hutan ulin masuk wilayah mereka, kalau kayu sudah habis, bisa saja merambah ke hutan ulin. Maka saya berharap pemerintah segera mengeluarkan SK. Kami ingin disahkan sebagai hutan adat.”

 

Jalan konsesi HPH yang membelah hutan. Foto: Indra Nugraha

Jalan konsesi HPH yang membelah hutan. Foto: Indra Nugraha


Cerita dari Hutan Ulin Mungku Baru was first posted on May 29, 2015 at 6:47 pm.

Anak Orangutan Ini Selamat dari Jerat Perdagangan Satwa

$
0
0
Anak orangutan yang berhasil diselamatkan dari niat warga yang ingin menjualnya. Foto: Ayat S Karokaro

Anak orangutan yang berhasil diselamatkan dari niat warga yang ingin menjualnya. Foto: Ayat S Karokaro

Tim Human Orangutan Conflict Response Unit–Orangutan Information Center (HOCRU-OIC), menggagalkan upaya perdagangan anak orangutan Sumatera, yang akan dibawa keluar hutan Aceh Tamiang, Aceh.

Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari OIC, Rabu (27/5/15), mengatakan, ia bermula dari informasi Sunarno, warga Tamiang Hulu, pada 17 Mei. Dia menyebutkan, warga menangkap orangutan yang muncul di kebun mereka.

Tim menuju kelokasi. Krisna, staf HOCRU-OIC langsung mencari tahu keberadaan orangutan itu. Mereka mendapat kabar orangutan itu melarikan diri. Namun tim tak begitu saja percaya.

Bersama Azharuddin, staf Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Aceh Tamiang, mereka mengungkap keberadaan orangutan disembunyikan warga bernama Bagiok.

Ketika akan disita, Bagiok menolak dan berkelit. Tim menuju Resort KSDA Aceh Timur, membuat surat perintah penyitaan.

Dari Resort Aceh Timur, Azharuddin dan Suparman mendampingi tim. Bersama kepala desa, polmas, babinsa dan staf BKSDA, tim kembali ke rumah Bagiok meminta penyerahan orangutan.

Setelah mendengar penjelasan status satwa ini dilindungi UU dan ada ancaman pidana dan denda bagi yang menjual atau memelihara, Bagiok ciut. Dia bersedia menyerahkan orangutan itu.

Dari pemeriksaan awal BKSDA, diketahui orangutan akan dibawa ke Medan, untuk dijual. Bagiok mengaku, akan menjual Rp2.500.000.

Anak orangutan jantan ini berusia sekitar tiga atau empat tahun. Ia tampak trauma. Pemeriksaan fisik, ditemukan indikasi gangguan pencernaan dan cacingan. Guna evakuasi dan rehabilitasi, orangutan dititipkan di Karantina Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP), Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.

 

Mulai sidang

Sementara itu, di Medan, kasus perdagangan orangutan, Vast HN, sudah memasuki persidangan. Sidang perdana pada Senin (18/5/15) di PN Medan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Emmy Frasiska Manurung, mendakwa Vast, diduga otak pelaku perdagangan orangutan melanggar UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan ancaman lima tahun penjara.

Emmy  menyatakan,  terdakwa tertangkap tangan mencoba transaksi anak orangutan di Desa Rumah Deras, Sibiru-Biru, Deli Serdang, Sumut.

Dia menyatakan, JPU akan menghadirkan saksi ahli, tim BBKSDA Sumut yang menangkap tangan terdakwa Vast.  Fitri Norch, saksi ahli JPU mengatakan, orangutan merupakan satwa dilindungi UU. Angka perburuan orangutan tinggi, maka masuk Apendiks 1 Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).

Penyebaran orangutan di Indonesia, katanya, sangat terbatas, hanya di Kalimantan dan Sumatera seperti di Taman Nasional Gunung Leuser Langkat dan hutan Aceh. Pengembangbiakan jugan lamban.

Wildlife Crime Unit-WCS menyatakan,  Vast salah satu pemain besar dalam jejaring perdagangan satwa online di Medan, melalui Facebook, dan grup Blackberry Messenger (BBM). Ini berdasarkan fakta temuan mereka pertama kali dari pengakuan Dedek Setiyawan, jaringan Vast yang sudah vonis.

Dede merupakan mantan anak buah Vast ditangkap Maret 2014, saat menjual dua kucing emas, satu owa, dan satu siamang. Dari pengakuan Dedek, muncul nama Vast.

Catatan WCS, Vast, pernah memperdagangkan berbagai satwa dilindungi, antara lain kucing hutan, elang, rangkong, merak hijau, merak Sumatera, owa, siamang, anakan buaya dan lain-lain. Dia bahkan sanggup memenuhi permintaan kulit harimau, taring harimau dan orangutan, kulit dan tanduk rusa. Vast juga rutin memenuhi permintaan jenis satwa tidak dilindungi seperti berbagai jenis ular, biawak, musang, berang-berang, kura-kura dan lain-lain.

Irma Hermawati, Policy and Legal Advisor Wildlife Crime Unit-WCS, mendorong majelis hakim memberi hukuman dan denda maksimal mengingat peran penting pelaku.

 

Inilah anak orangutan Sumatera yang diamankan dari warga Aceh Tamiang yang akan menjual kepada  pembeli di Medan, Sumut. Foto:  Ayat S Karokaro

Inilah anak orangutan Sumatera yang diamankan dari warga Aceh Tamiang yang akan menjual kepada pembeli di Medan, Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

 


Anak Orangutan Ini Selamat dari Jerat Perdagangan Satwa was first posted on May 30, 2015 at 8:43 am.

Dari Pelajar, Musisi sampai Komedian, Ramai-ramai Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa

$
0
0
Band Reggae the Mangrooves, meramaikan ask Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suryani

Band Reggae the Mangrooves, meramaikan ask Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suryani

Arak-arakan ritual di jalanan oleh ribuan orang di Bali itu sudah biasa. Kalau aksi demonstrasi ribuan orang untuk persoalan lingkungan, itu yang jarang terjadi. Pada aksi Bali tolak reklamasi  itu terjadi. Dari pemuda, pelajar, musisi, sampai komedian, berkolaborasi.  

Sedikitnya 1.000 orang, didominasi anak muda termasuk pelajar jalan kaki di pusat kantor pemerintahan Bali, Kamis (28/5/15) sejak siang hingga petang. Lalu ada konser musik blues, folks, reggae, gong Baleganjur, Rangda, Barong, dan komedian tradisional di sela-sela aksi protes itu. Itulah protes rencana reklamasi di Teluk Benoa.

Selama dua jam lebih mereka aksi memutari lapangan, ke kantor DPRD Bali, lalu berhenti depan Kantor Gubernur Bali sebelum ke lokasi start. Sebagian besar sambil bernyanyi, tertawa, memotret dengan ponsel, dan meneriakkan yel-yel mengikuti komandan lapangan. Para korlap aksi juga terlihat masih muda, di bawah 30 tahun.

Seniman, orator, dan musisi dibagi-bagi dalam beberapa sesi. Panggungnya adalah mobil pickup penuh dengan sound system dan kabel-kabel donasi Dr.Sound. Di sesi pertama, korlap dan sejumlah orator tak pernah henti sepanjang jalan bergantian mengajak yel-yel. Di kantor DPRD diisi grup komedian tradisional popular saat ini yakni Rare Kual.

Dalam bahasa Bali, kwartet ini berhasil memancing tawa dengan guyonan dampak reklamasi sekaligus mengkritik DPRD Bali yang tak pernah menemui peserta aksi dengan alasan tak bersurat resmi audiensi. “Aksi demo beda dengan audiensi yang perlu surat resmi, mestinya DPRD belajar cara menerima aspirasi,” seru I Wayan “Gendo” Suardana, Koordinator ForBALI yang selalu orasi berapi-api.

Gendo, Koordinasi ForBALI, kala orasi. Foto: Luh De Suryani

Gendo, Koordinasi ForBALI, kala orasi. Foto: Luh De Suryani

Untuk kali pertama ada orator perwakilan Nusa Dua, kawasan tetangga Teluk yang sudah mapan sebagai pusat resor mewah. Ada I Wayan Sumantra dari LPM Nusa Dua yang menyebut Bali Selatan terlalu krodit dan tak perlu destinasi baru. Sekitar 30 menit membuat pikuk gedung dewan, massa lanjut ke Gubernur Bali. Di sinilah pickup berubah menjadi panggung konser beberapa penampil seperti band Nosstress, Made Maut, dan The Mangrooves. Peserta aksi berteriak histeris, menyanyi bersama, dan pogo saat musik reggae menghentak.

“Ini aksi dengan gembira dan damai sambil terus berteriak tolak reklamasi untuk anak cucu kita,” kata Gilang, pemimpin yel-yel. Dalam berbagai kesempatan diskusi, konsultasi publik atau materi kampanye ForBALI, sejumlah alasan utama penolakan adalah aspek lingkungan. Pertama karena awalnya zona konservasi, lalu berdasar riset awal modeling Conservation International Indonesia tentang bahaya reklamasi 800 hektar di kawasan itu tentang risiko rob dan merusak ekosistem. Ada juga tentang analisis penyebab abrasi di kawasan lain seperti kasus reklamasi Pulau Serangan.

Ini aksi kesekian kali. Mobilisasi mayoritas lewat ponsel memanfaatkan aplikasi komunikasi dan internet. Seruan berpartisipasi dituangkan lewat poster disebar online. Kali ini, aksi bukan pada hari libur, jadi mereka pasti harus izin dari kampus atau tempat kerja. Tokoh-tokoh mobilisator adalah musisi yang memiliki banyak fans terutama anak muda seperti Superman is Dead, Naviculla, Nosstress, dan lain-lain.

Perangkat aksi dibuat berwarna-warni. Ada yang sudah tercetak seperti poster, spanduk, dan bendera. Ada digambar sendiri di papan, kertas, termasuk membuat beberapa benda raksasa yang diarak. Kali ini, ada peserta aksi membuat seperti boneka dari anyaman bamboo mirip Presiden Joko Widodo. Tinggi setelah diarak sekitar tiga meter, menggunakan kemeja putih dan celana kain khas pria Solo itu.

Ada dua teks memperjelas pesan yang disampaikan dengan boneka Jokowi ini. “Jangan urug Teluk Benoa, saya mau cabut Perpres 51/2014. Ada juga, “Siap, mendengar aspirasi rakyat Bali.”

Dua kalimat lugas mengenai tuntutan massa. Mereka masih belum bosan mengadvokasi kebijakan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberi lampu hijau reklamasi sekitar 700 hektar di tengah laut, kawasan super strategis di Bali Selatan.

Advokasi berusia hampir tiga tahun, sejak Walhi Bali memastikan ada izin pemanfaatan dan rekomendasi dikeluarkan DPRD dan Gubernur Bali untuk PT. Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) milik taipan Tommy Winata.

Para pemuda, pelajar, ramai-ramai gabung aksi tolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto: Luh De Suryani

Para pemuda, pelajar, ramai-ramai gabung aksi tolak reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto: Luh De Suryani

Aksi massa Bali tolak reklamasi Teluk Benoa, yang membawa boneka Presiden Joko Widodo. Mereka menuntut Presiden mencabut Perpres yang dibuat era SBY, yang memberikan peluang reklamasi, dicabut. Foto: Luh De Suryani

Aksi massa Bali tolak reklamasi Teluk Benoa, yang membawa boneka Presiden Joko Widodo. Mereka menuntut Presiden mencabut Perpres yang dibuat era SBY, yang memberikan peluang reklamasi, dicabut. Foto: Luh De Suryani

 


Dari Pelajar, Musisi sampai Komedian, Ramai-ramai Aksi Tolak Reklamasi Teluk Benoa was first posted on May 30, 2015 at 8:53 pm.

Fokus Liputan: Kala Tambang Hantui Warga Sekitar Teluk Kao

$
0
0
Sungai Kobok, dengan warna air tak lagi jernih dan bersih. Sebagian warga masih menggunakan air ini untuk keperluan sehari-hari tetapi sebagian lagi takut karena kabar air sungai sudah tercemar. Foto: Themmy Doaly

Sungai Kobok, dengan warna air tak lagi jernih dan bersih. Sebagian warga masih menggunakan air ini untuk keperluan sehari-hari tetapi sebagian lagi takut karena kabar air sungai sudah tercemar. Foto: Themmy Doaly

PONDOK itu beratap spanduk. Dinding dari rumbia dan anyaman bambu. Bagian depan, ada kamar mandi dibungkus terpal warna biru. Berukuran sekitar satu kali satu meter. Dari kamar mandi itu, muncul Franklin Namotemo. Pria 55 tahun ini baru selesai mandi Dia mengusap tubuh yang masih basah.

“Sudah lebih seminggu saya di sini. Turun ke rumah hanya ibadah Minggu. Habis itu kembali lagi. Di sini enak dan aman,” katanya membuka cerita seraya menggulung sebatang tobacco shag, pada Maret 2015.

Franklin, merupakan warga Desa Balisosang juga mantan kepala desa di sana. Dia keturunan Pagu, suku di Halmahera Utara.

“Saya bekerja dari pagi sampai sore, kadang sampai malam. Tiap malam itu jaga tanaman supaya tidak diganggu hama, babi. Jadi, kita buat jerat.”

Dia menanam padi, jagung, cabai, pepaya dan ubi. Hasil kebun hanya buat konsumsi sehari-hari karena harga murah. “Tanam pisang, tapi makan sendiri. Karena harga pasar dan pembeli, yah…..” Dia berhenti sejenak menarik nafas.

Suasana di kebun nyaman tetapi dia kesulitan air bersih.  Meskipun di dekat kebun ada Sungai Kobok, tetapi dia harus membawa persediaan air bersih dari rumah atau menampung air hujan. Kebutuhan air diambil dari Sungai Kobok bandara dengan jarak lebih satu kilometer.  Dia menggunakan sepeda motor kesana. Tak lupa membawa beberapa galon air.

Kabar sungai tercemar limbah tambang PT Nusa Halmahera Minerals, membuat Franklin takut. Warna air kerap berubah. Air sungai dulu jernih, ketika musim hujan, menjadi kecokelatan karena lumpur.

Dulu, Sungai Kobok ibarat surga, ikan banyak, dan air jernih. Warga memanfaatkan untuk keperluan sehari-hari dari mandi, cuci baju dan piring atau masak dan minum. Sekarang tidak lagi. “Biar tinggal berminggu-minggu di sini, saya tidak pernah minum air sungai.”

“Lumpur begitu hebat. Mungkin karena hutan kami rusak, tanah erosi, jatuh ke sungai dan terbawa ketika musim hujan. Sungai kita juga sudah dangkal.”

Dia diam sejenak. Memadatkan tembakau yang terapit di antara telunjuk dengan jari tengah, kemudian membakar. Pipi Franklin nampak mengempis. “Busssshhhhh…” asap mengepul.

“NHM pernah datang deteksi air, tapi sampai hari tadi kita tidak tahu, apa air masih layak dikonsumsi atau tidak. Kita tidak tahu.”

Franklin punya pengalaman dengan dugaan pencemaran Sungai Kobok ini. Ketika masih Kepala Desa Balisosang,  dia pernah menyurati Bupati Halmahera Utara merespon kasus pipa bocor pada 17 Maret 2010.

Dalam surat itu, pemerintah desa menyatakan, masyarakat Desa Balisosang mengalami kesulitan air bersih. Mereka menganggap air Sungai Kobok tidak layak konsumsi.

Warga masih menggunakan air Sungai Ake Tabobo, untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci.Air sungai sudah tercemar, berubah warna. Foto: AMAN Malut

Franklin mendapat laporan mengenai peristiwa pipa pembuangan limbah pabrik NHM bocor, pada 4 April 2011.  Informasi itu didapat dari penambang rakyat di sana. Pipa bocor mengalirkan limbah ke Sungai Kobok. Kejadian ini, diperkirakan menjadi penyebab sungai kotor dan ikan-ikan mati.

“Lalu kami bentuk tim peduli lingkungan. Kami masuk hutan melacak. Itu memang benar terbuang ke sungai. Kita ikuti jejaknya sampai di muara.”

Kala itu, katanya, dia meminta bupati memperhatikan masyarakat. Pemerintah kabupaten merespon dengan bikin pengobatan gratis mencegah penyakit dan sumur bor.

Bupati pernah menanyakan kualitas air sumur bor. “Saya bilang, air itu ketika naik masih bagus, jernih. Ketika pagi naik ke bak air, siang sudah tidak bisa dipakai lagi. Busuk airnya. Mungkin pengaruh lumpur di dalam.”

Sampai saat ini, dia tak mengetahui kondisi jelas sungai itu hingga dihantui rasa takut untuk memanfaatkan air di sana.

“Selama ini deteksi air tidak pernah diberitahukan pada masyarakat. Dulu saya minta keterbukaan, supaya jangan lagi minum atau mandi di Sungai Kobok. Ya.. itu tadi, tidak ada keterbukaan. Karena itu, kami masyarakat tidak tahu, bingung. Berarti, ada tanda tanya, kapankah masyarakat mati?”

Hofni Dagi, warga Desa Balisosang, yang terkena penyakit gatal-gatal diduga karena sering terkena air Sungai Kobok.  Kini, kakek 67 tahun ini kapok melintasi sungai itu. Dia takut, gatal-gatal kambuh lagi. Di kaki bagian kiri ada bekas luka.  Penyakit itu didapat sejak 2005, waktu masih berkebun di dekat Sungai Kobok.

Hofni adalah pensiunan guru agama. Kulit sawo matang. Rambut dan kumis penuh uban. Dia bertani di kebun Kobok Darat.

Warga sekitar, membagi Kebun Kobok dalam dua bagian: Kobok Laut (pantai) dan Kobok Darat. Kobok Laut harus dicapai dengan melintasi Sungai Kobok. Kobok Darat cukup berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. “Dulu, untuk mencapai kebun, harus batobo (berenang) di Sungai Kobok. Air juga diminum kalau persediaan dari rumah habis.”

Upaya penyembuhan gatal-gatal sudah berulang kali dengan berobat ke Puskesmas Malifut dan Rumah Sakit Bergerak. Namun hingga kini penyakit itu tidak kunjung sembuh. Dia sudah mengkonsumsi sejumlah obat.  Beberapa kali, gatal-gatal sempat hilang, setelah melintasi Sungai Kobok penyakit kambuh lagi. “Kalau so batobo (sudah berenang) di sungai itu tetap pulang luka lagi.”

Namun, dia tidak tahu pasti, apa benar Sungai Kobok tercemar atau tidak. “Karena tidak ada informasi. Memang pernah ada penelitian dari BLH, tapi hasil tidak diketahui masyarakat.”

Sejumlah warga juga mengidap penyakit serupa. Pindah kebun menjadi pilihan.

Tak jauh dari rumah Honfi, ada nenek berusia 72 tahun menderita benjol-benjol. Diduga pula akibat memanfaatkan air Sungai Kobok. Sarah Robo, nama nenek itu. Dia lebih empat tahun mengidap penyakit ini.

Sarah Robo, menderita benjolan-benjolan di beberapa bagian tubuh. Kini, dia takut terkena air Sungai Kobok, yang dia yakini sebagai penyebab penyakit ini. Foto: Themmy Doaly

Sarah Robo, menderita benjolan-benjolan di beberapa bagian tubuh. Kini, dia takut terkena air Sungai Kobok, yang dia yakini sebagai penyebab penyakit ini. Foto: Themmy Doaly

Sarah sehari-hari hanya menjaga cucu. Tak pernah lagi berkebun. Dia takut, penyakit kumat jika melintasi Sungai Kobok.

Dulu, dia sering tidur di kebun dekat Sungai Kobok. Sungai itu menjadi sumber penghidupan masyarakat. Sarah sering mencari ikan, kerang, minum dan mandi di sana.

Dia ingat betul, benjolan itu pernah membuat tidak bisa panen padi. Tak bisa jalan berhari-hari. Benjol di kaki membengkak dan terasa perih, lalu pecah. Dia hanya bisa berbaring di rumah.

“Ini masih ada. Ada di sini, sama di sini,” katanya. Dia menunjukkan benjol di bagian leher dan kaki. “Kalau makan salah-salah penyakit kambuh lagi.”

Sarah pernah merasakan bisul-bisul di tubuh sembuh ketika diberi obat. Namun, empat tahun belakangan, dia sudah coba mendatangi rumah sakit dan mengkonsumsi sejumlah obat, namun penyakit belum sembuh juga.

Dokter yang ditemui menjelaskan, benjol-benjol itu hanya penyakit kulit biasa. “Pernah dikasih salep tapi ketika dioleskan, gatal-gatal justru bertambah. Saya sudah tidak pakai lagi salep itu.”

Gabriel Chando, Kepala Desa Balisosang, pernah mendengar cerita-cerita tadi. Dia memperkirakan, fenomena gatal-gatal dan benjol warga punya hubungan dengan kasus pipa bocor.

“Banyak warga berkebun di Sungai Kobok kena penyakit gatal-gatal. Padahal sebelum perusahaan datang, tidak pernah begitu. Bahkan, air sungai sudah tidak lagi dikonsumsi.”

Pemerintah daerah, sudah pernah mendapatkan laporan soal penyakit warga. Bahkan, tim Dinas Kesehatan pernah turun meninjau, tetapi hasil tidak diketahui. “Pernah ada pengobatan gratis. Sampai ditanya soal gejala-gejala. Tapi, upaya pemerintah kabupaten hanya sebatas sosialisasi, tindakan nyata tidak pernah ada.”

Gabriel mengatakan, sering mengkomunikasikan dugaan pencemaran Sungai Kobok pada masyarakat sekitar. Namun, sebagian masyarakat masih memanfaatkan air sungai untuk mandi dan cuci baju.

“Memang sudah pernah ada sosialisasi, tapi masyarakat mau bikin gimana. Mereka terpaksa memanfaatkan air itu. Masyarakat sudah siap mati itu.”

Penyakit kulit, gatal-gatal di kaki, tangan dan beberapa bagian tubuh warga yang diyakini akibat dari air di sungai yang sudah tercemar. Foto: Themmy Doaly

Penyakit kulit, gatal-gatal di kaki, tangan dan beberapa bagian tubuh warga yang diyakini akibat dari air di sungai yang sudah tercemar. Foto: Themmy Doaly

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, pada 1-8 Desember 2013, lewat penelusuran informasi, menemukan 13 warga terkena penyakit serupa.

Berdasarkan informasi warga, masih banyak korban tidak dijangkau, mulai dari anak kecil hingga dewasa.

Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut mengatakan, coba membangun asumsi dengan menghubungkan kasus pipa bocor dari 2007-2011. Sungai Kobok, dinilai berdekatan dengan lokasi pembuangan limbah NHM. Kasus pipa bocor banyak mengalir ke Sungai Kobok.

AMAN juga mengidentifikasi di kampung-kampung terdekat, seperti Dum-Dum, Tabobo, Sosol, Tahane dan Balisosang. “Rata-rata orang menduga, dari pola makan mereka dengan mengkonsumsi ikan dan aktivitas di sungai. Memang, kami tak berani menyatakan NHM mencemari lingkungan, karena perlu fakta-fakta ilmiah lain,” katanya.

Meski demikian, tidak semua pengidap penyakit gatal-gatal dan benjol dalam laporan itu meyakini NHM sebagai pihak yang harus dipersalahkan. Beberapa orang justru tidak yakin penyakit yang diderita karena interaksi dengan air sungai ataupun mengkonsumsi ikan dari Teluk Kao.

Sari Juwita dokter dari Puskesmas Malifut, kepada AMAN Malut mejelaskan, penyakit yang ditangani hanya benjol dan gatal-gatal biasa, seperti bisul, alergi dan jamur kulit. Belum ditemukan benjol-benjol karena penyebab limbah NHM.

Dia menilai, masyarakat belum paham arti kesehatan. ”Masyarakat di Malifut ketika berobat di Puskesmas, mengatakan, seringkali pulang dari kebun itu tidak mandi. Itu yang menyebabkan mereka menderita gatal-gatal di leher, kemudian digaruk sampai merah dan alergi.”

”Jadi prinsip mereka jikalau mandi di kali ketika ditanya, mereka jawab limbah. Padahal mungkin karena lingkungan tidak besih. Sebenarnya, penyakit kulit itu prinsipnya hanya satu, menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar kita. Orang di sini rata-rata tidak tahu bagimana rawat luka.”

Setelah pemeriksaan, Sari menarik kesimpulan, masyarakat jarang membersihkan diri setelah pulang dari kebun. Namun, belum pernah ditemukan penyakit gatal-gatal di seluruh badan. Selama ini, gatal-gatal banyak pada bagian tangan dan kaki. Itupun sudah tertangani setelah diberikan pil.

Kebun Kobok, tampak dari kejauhan. Foto: Themmy Doaly

Kebun Kobok, tampak dari kejauhan. Foto: Themmy Doaly

”Kebanyakan masyarakat di sini aktivitas di kebun, mandi saja dua sampai tiga hari baru mandi ulang. Itu gatal-gatal tetap ada, itu menjadi persoalan. Yang kami tahu,  hanya diagnosa jamur atau bakteri. Tapi bagaimana cara mereka kena penyakit kami tidak tahu.”

Hasil penelusuran itu, dilaporkan AMAN Malut ke sejumlah lembaga seperti Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Komnas HAM merespon akhir 2014 dengan memasukkan masyarakat adat Pagu dalam inkuiri nasional.

AMAN Malut, sebenarnya berharap pemerintah audit lingkungan independen dan meninjau ulang kontrak karya NHM. Pertimbangannya, pertama, kontribusi NHM pada negara terbilang kecil. Kedua, banyak masyarakat diduga menjadi korban perusahaan.

“Audit lingkungan bisa berdampak sanksi kepada NHM, jika terbukti bersalah. Mereka harus memberi kompensasi kepada masyarakat yang telah kehilangan sumber ekonomi. Mereka juga harus rehabilitasi sungai yang menjadi sumber hidup masyarakat, terutama Kobok dan Tabobo.”

Sedang laporan di daerah, Badan Lingkungan Hidup menyatakan tak terjadi pencemaran lingkungan seperti sangkaan AMAN. “Berulang-ulang kali pipa bocor situasi sama. Tidak ada respon dan tidak tercemar itu, otak pemerintah seperti itu,” kata Munadi.

 

Pipa limbah bocor

CERITA kebocoran pipa NHM bukan sekali terjadi. Beberapa sungai pernah terkena aliran limbah tambang perusahaan, seperti Sungai Tabobo di pertambangan Gosowong.

Dulu, Sungai Tabobo,  adalah sumber air bersih warga. Kini, air sungai tidak dapat lagi digunakan karena terindentifikasi tercemar limbah NHM. “Sejumlah penyakit diderita warga sekitar akibat mengkomsumsi air sungai, warga sering mengalami gatal-gatal, bisul, sakit yang sebelumnya belum mereka alami.”

Sejak 22 Mei 2006, warga pernah melaporkan kondisi kesehatan anak-anak yang gatal-gatal setelah berendam di Sungai Tabobo.

Berdasarkan dokumen Walhi Maluku Utara (Malut), beberapa kali kebocoran pipa tailing NHM terjadi dalam 2010-2011, melintasi sejumlah sungai di sana. Pada 17 Maret 2010,  kebocoran pipa menyebabkan limbah tailing mengalir ke sungai. Tragedi pipa bocor terjadi selama 12 jam, sejak pukul 18.30-06.30.

Limbah NHM yang mengalir ke Sungai Kobok. Foto: AMAN Malut

Kala itu, diperkirakan, sekitar 103 m3 slurry keluar dari pipa tumpah ke paritan temporary pekerjaan instalasi pipa air buangan limbah domestik (basecamp). Kebocoran karena pipa tailing robek dengan ukuran lubang 20 mm x 50 mm terkena kuku bucket eskavator.

Pada 3 Februari 2011, warga melaporkan pipa tailing NHM terlepas pada pukul 22.00, selama 24 jam. Limbah beracun terlepas ke Sungai Sambiki sekitar 361 ton. Limbah itu mengalir ke Sungai Bora dan Kobok, yang melintasi perkebunan warga.

Pada 7 Februari 2011, warga menemukan banyak ikan dan kepiting mengambang di permukaan Sungai Sambiki. Mati.

Dalam dokumen Walhi Malut berjudul PT. Nusa Halmahera Minerals Melakukan Pelanggaran HAM di Wilayah Pertambangan juga menyebutkan, pada 2 Juni 2011, kembali pipa tailing NHM bocor dan mengeluarkan limbah mencapai 80 ton yang mengalir ke Sungai Tabobo. Akibat bocor pipa tailing, NHM melumpuhkan pertanian warga desa, banyak kebun sayuran warga terkena limbah dan mati mendadak.

Tragedi pipa bocor diduga berdampak luas. Tak hanya ketakutan petani mengggunakan air. Ikan-ikan seperti teri yang berkurang di Teluk Kao,  juga dihubung-hubungkan dengan pencemaran sungai-sungai sekitar. Sungai-sungai ini bermuara ke Teluk Kao.

Masyarakat menyatakan, sejak NHM beroperasi, ikan teri perlahan-lahan sulit didapat, bahkan sudah hilang dari Teluk Kao. Jauh sebelumnya teri sangat potensial, bahkan terbesar di Indonesia Timur. Teri jadi andalan masyarakat.

AMAN menyatakan, penurunan ini diduga akibat dampak negatif pertambangan NHM dan pertambangan warga.

Tambatan perahu di pesisir pantai terlihat sepi. Nelayan tak bisa jadi harapan. Warga pergi ke laut hanya mencari ikan untuk makan. “Kalau jumlah nelayan di sini tidak terlalu pasti. Karena nelayan sekadar sampingan. Masyarakat lebih banyak ke perkebunan dan pertanian. Hampir-hampir tidak ada lagi,” kata Muis Andhy, Sekretaris Kecamatan Malifut.

Produksi perikanan makin minim. Tak ada sebab pasti penyebab penurunan tangkapan ikan ini. Warga hanya bisa membanding-bandingkan keadaan dulu dengan sekarang.

“Pada 1995-1996, sudah mulai berkurang. Ya, sekitar begitulah. Sekarang ada teri, tapi sedikit sekali.”

Teluk Kao terletak di Pulau Halmahera,  bagian utara yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik. Bagian barat dan utara teluk ini banyak ditumbuhi mangrove dan pantai berpasir. Teluk ini berada di lima wilayah kecamatan, yaitu Malifut, Kao, Kao Utara, Kao Barat dan Kao Teluk.

Buletin Ngafi Halmahera, terbitan Walhi Malut, Juni 2008 mencatat,  penurunan produksi teri. Buletin itu mengutip data Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Pusat Studi Lingkungan Universitas Khairun Ternate. Disebutkan, pada 2006, produksi teri dan cumi tinggal 0,2 ton per unit bagan, dibandingkan produksi 1997 sebesar 3,5-4,5 ton per unit bagan.

Meskipun mereka tinggal di pesisir pantai, tetapi menjadi nelayan bukan lagi pilihan. Kini, ikan-ikan di Teluk Kao, tak seperti dulu, sudah banyak berkurang. Foto: Themmy Doaly

Meskipun mereka tinggal di pesisir pantai, tetapi menjadi nelayan bukan lagi pilihan. Kini, ikan-ikan di Teluk Kao, tak seperti dulu, sudah banyak berkurang.  Mencari ikan kebanyakan untuk konsumsi sendiri. Foto: Themmy Doaly

Belum lagi, data DKP Halut 2008 menunjukkan produktivitas perikanan turun drastis. Pada 2005, produksi perikanan 158,5 ton atau 2,58% lebih rendah bila dari 1985 sebesar 2.345 ton atau 27% di Teluk Kao.

Memang, sejak Silvanus Maxwel Simange, mahasiswa pasca sarjana IPB, merampungkan tesis tahun 2010, isu pencemaran Teluk Kao menjadi bahan perbincangan masyarakat.

Hasil penelitian menyebutkan, kadar sianida pada bagian daging kakap merah berkisar 5,0–6,6 ppm, belanak 4,2–7,2 ppm, dan udang putih 6,2-9,7 ppm. Sesuai standar WHO, nilai ambang aman kandungan sianida pada tubuh ikan konsumsi berkisar 1,52 ppm–4,5 ppm.

“Dengan demikian, daging ikan kakap merah, belanak, biji nangka, dan udang yang tertangkap dari kedua lokasi penangkapan tidak layak konsumsi,” tulis Silvanus dalam tesis berjudul Analisis Kandungan Merkuri dan Sianida pada Beberapa Jenis Ikan Hasil Tangkapan Nelayan di Teluk Kao, Halmahera Utara.

“Pada bagian hati ikan kakap merah, belanak dan biji nangka ditemukan sianida dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada bagian daging.”

Sementara, kadar merkuri yang ditemukan pada bagian daging kakap merah berkisar 0,06–0,19 ppm, belanak 0.05–0.25 ppm, dan biji nangka 0,03-0,04 ppm.

Pendapat lain diungkapkan Jefry Bemba, pengajar Ilmu Kelautan Universitas Khairun. Berdasarkan pengamatan dia, perairan di sana relatif baik. Masih ada beberapa jenis ikan, seperti teri, cumi dan lain-lain.

“Jika perairan keruh ikan tidak bisa tinggal. Karena, kondisi temperatur dan salinitas masih menggenangi bagian dalam, ikan akan turun ke bawah mencari tempat aman. Ada kemungkinan, menurut dugaan kami, hasil tangkapan turun karena alat tangkap hanya di permukaan, padahal ikan ada di bawah.” Jefry baru penelitian di Teluk Kao.

Dari penelitian itu, Jefry melihat stratifikasi masa air di Teluk Kao berada pada suhu temperatur hampir sama.

Namun, durasi penelitian Jefry terbilang singkat hingga dia merasa perlu masukan dari peneliti lain. Minim data membuat informasi bersifat kondisional. Karena itu, dia tak menampik ketika ditanya hasil penelitian Silvanus. Dugaan ikan-ikan di Teluk Kao terpapar limbah, mungkin terjadi.

“Ya memang seperti. Kan, ada organisme ketika mengkonsumsi tidak hilang, tapi dia akumulasi dalam tubuh, karena dia memiliki kemampuan itu. Cuma, kan, mesti ada orang yang spesifik di situ yang bisa menjustis.”

 

Protes masyarakat adat

RATUSAN masyarakat adat Pagu berkumpul di jalan masuk kantor NHM akhir November 2012. Ada menari cakalele. Ada yang memainkan gong dan tifa. Mereka tak sedang menghibur pekerja tambang tetapi protes pada perusahaan.

Mereka kaget, wilayah mereka ternyata masuk konsesi perusahaan. Padahal, lokasi itu ada kebun 50 hektar dan kuburan leluhur masyarakat adat Pagu.

Jalan utama perusahaan diblokade. Masyarakat adat mendirikan tenda-tenda. Alat transportasi perusahaan pun tak bisa lewat. Hari itu libur, padahal tak tanggal merah. Sekitar 200 karyawan perusahaan tak bisa masuk kerja. Mereka memilih pulang ke rumah.

Masyarakat adat kesal, sudah 14 tahun NHM mengeruk emas di tanah adat Pagu tetapi mereka tidak pernah merasakan hasil. Mereka hanya jadi penonton. Tak ada yang bisa dinikmati selain limbah perusahaan.

Perairan Teluk Kao, dulu jadi salah satu tumpuan hidup warga nelayan. Kini, tidak lagi...Foto: Themmy Doaly

Perairan Teluk Kao, dulu jadi salah satu tumpuan hidup warga nelayan. Kini, tidak lagi…Foto: Themmy Doaly

Manajemen perusahaan dituntut turun ke lokasi dan membicarakan persoalan ini. Massa aksi berharap, NHM mau merevitalisasi hutan adat dan mengakui hak-hak masyarakat Pagu.

Sebelum ada Indonesia, masyarakat adat Pagu sudah mendiami wilayah itu. Namun, pemerintah justru memberikan izin operasi pada NHM tanpa melibatkan mereka sebagai pemilik wilayah.

Dari pintu masuk perusahaan, aksi berpindah ke Pelabuhan NHM. Perempuan adat memeriksa tiap mobil yang melintas. Tujuannya, memulangkan karyawan NHM dalam mobil. Aksi itu, tentu, menghambat suplai bahan bakar minyak dan logistik ke perusahaan.

Masyarakat Pagu tidak sendirian. Aparat kepolisian bersenjata lengkap menjaga perusahaan. Mereka menyarankan masyarakat pulang ke rumah karena aksi itu menghambat operasi perusahaan.  Saran itu ditolak. Masyarakat adat Pagu berjanji terus menduduki lokasi hingga tuntutan terpenuhi.

Polisi berjaga habis kesabaran. Sehari-semalam masyarakat adat mengacaukan kerja perusahaan tambang. Mereka dibubarkan. Aparat menyerang. Masyarakat kocar-kacir. Ada lari ke hutan. Ada juga dipukuli pakai balok kayu.

Polisi menangkap 32 orang. Laki-laki dan perempuan. Mereka dibawa ke Tobelo dan menjalani pemeriksaan semalaman. Mereka dianggap bertanggung jawab atas aksi menghalangi pertambangan.

“AMAN Malut menggelar kampanye besar-besaran. Kapolres dan Bupati didesak melepas 32 orang tadi. Desakan itu berhasil. Hein Namotemo, Bupati Halmahera Utara, datang dan menjaminkan diri. Tak lama masyarakat adat dilepas,” kata Munadi.

Jauh sebelum itu, pada 1997, empat Sangaji (ketua adat) Pagu, Boeng, Towiliko, Modole dan sejumlah tokoh adat lain diundang ke Manado. Keberangkatan mereka difasilitasi NHM.

Di Manado, tokoh-tokoh adat itu diminta menandatangani persetujuan supaya perusahaan boleh menambang. Mereka menolak dan meminta pulang agar bisa musyawarah dengan masyarakat di kampung masing-masing.

NHM tidak habis akal. Tokoh-tokoh adat tadi dibujuk dengan minuman keras dan beberapa kesenangan lain. Dalam keadaan mabuk, mereka disodorkan cek kosong. “Perusahaan mengatakan kuitansi itu untuk pembayaran kamar hotel. Tak pakai tanya-tanya, mereka langsung tanda-tangani itu,” cerita Munadi.

“Setelah pertemuan Manado selesai, masyarakat menyoroti ulang. Tanda-tangan itu dijadikan bukti sudah ada restu bagi NHM untuk beroperasi pertambangan di wilayah adat mereka. Tokoh-tokoh adat yang ke Manado kaget, tapi tidak bisa berbuat banyak.”

NHM beroperasi. Tahun 1999, emas pertama produksi di Gosowong, salah satu tanah adat masyarakat Pagu. Lokasi ini dari kata Gusuong, dalam bahasa Pagu berarti berhala atau tanah leluhur.

Pada 2003, masyarakat adat Pagu menggelar aksi pendudukan karena tanah adat Toguraci menjadi wilayah perusahaan. Toguraci, dalam bahasa Pagu berarti gunung emas. ‘Tuan tanah’ kembali merasa tidak diakui. Perusahaan mengkapling tanah adat tanpa sepengetahuan mereka. Belum lagi, wilayah ini adalah hutan lindung.

Organisasi dari luar daerah dan luar negeri, menyikapi dengan membentuk Koalisi Tolak Tambang di Hutan Lindung. Mereka antara lain, Jatam, Walhi dan Australian Mining Policy Institut. Koalisi ini membahas berbagai isu, seperti perampasan tanah adat, pencemaran lingkungan hingga intimidasi aparat kepolisian pada warga. Ini upaya menekan perusahaan mengubah cara.

Mereka mengajukan gugatan dan meminta Mahkamah Konstitusi (MK)  menguji Perppu 1/2004 yang menjadi dasar Keppres yang mengizinkan 13 perusahaan–termasuk NHM–untuk penambangan terbuka di hutan lindung.

Pemohon berpendapat, Perppu dan Keppres tadi melanggar semangat UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebagian tuntutan dikabulkan. Enam dari 13 perusahaan harus menghentikan kegiatan.

Sayangnya, NHM tidak masuk enam perusahaan itu. Sampai sekarang, NHM tetap melanjutkan operasi di Maluku Utara.

Plang Lahan Adat Pagu di depan Pos Gosowong. Foto: Themmy Doaly

Plang Lahan Adat Pagu di depan Pos Gosowong. Foto: Themmy Doaly

 

Sengkarut dana CSR

GABRIEL Chando, bosan dengan suasana rapat pada Selasa, 26 Januari 2015. Bersama 21 kepala desa lain, dia diundang menghadiri rapat evaluasi program Corporate Social Responsibility (CSR) NHM tahun 2014. Namun, pemaparan tim CSR dinilai tidak sesuai agenda pertemuan. Peserta hanya mendengar basa-basi soal sosialisasi produksi perusahaan.

Kejemuan tiba-tiba pecah. Seorang kepala desa melempar pertanyaan terkait transparansi dana  satu persen CSR NHM. Pertanyaan tadi tidak mendapat jawaban. Mayoritas peserta rapat kesal. Protes menyebar dengan cepat di ruangan. Suasana menjadi ribut.

Tim CSR tidak bisa berbuat banyak. Tak ada jawaban dari mulut mereka. Rapat dibubarkan.

Peserta kecewa dan pulang membawa emosi. Mereka merasa perlu mengetahui pengelolaan dana  satu persen NHM yang merupakan hak masyarakat lingkar tambang.

“Kami mempertanyakan berapa sebenarnya dana satu persen untuk desa. Cuma, tim CSR mengaku tidak mengetahui dana satu persen itu,” kata Gabriel di rumahnya.

Satu-dua hari setelah rapat itu, peserta rapat terdiri dari kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa dari seluruh Kecamatan Malifut menggalang massa. Di kecamatan ini ada 22 desa. Warga dari 22 desa memblokade jalan. Mereka didukung warga Kecamatan Kao dan Kao Utara. Karyawan NHM dicegat dan dilarang bekerja. Operasi perusahaan terhenti.

Jumat (30/1/15), aksi makin meluas. Warga dari Kecamatan Kao Teluk, Kao, Kao Utara dan Kao Barat, menggabungkan diri. Protes dana satu persen melibatkan warga dari lima kecamatan sekitar tambang NHM. Mobil dan karyawan perusahaan tambang kembali dicegat.

“Di kantor camat sudah tiga kali demonstrasi. setelah itu, menetap di beringin, di dekat pelabuhan NHM, selama seminggu. Siang-malam, siang-malam. Bahkan terakhir saya dengar, anggota kepolisian sudah ditarik dari perusahaan. Kosong di dalam,” kata Gabriel.

Aksi menuntut transparansi dana satu persen berlanjut hingga awal Maret. Nyaris sepanjang Februari, media lokal dipenuhi pemberitaan protes warga. Tudingan kian meruncing. Tak lagi soal transparansi. Kini, sejumlah pihak, mulai Manajer CSR NHM hingga elit pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Utara, dituding terlibat penggelapan dana satu persen itu.

Bahkan, anggota DPRD provinsi dan kabupaten sempat ikut turun ke jalan mendukung warga. Syahril Tahrir, Sekretaris Komisi III DPRD Malut, dikutip dari Malutpost.co.id, mengatakan, ada perbedaan data CSR mencolok dari laporan NHM ke Ditjen Minerba. Sesuai laporan NHM, penyaluran dana CSR ke lima kecamatan setiap tahun Rp100 miliar.

Namun kondisi di lapangan, satu kecamatan hanya mendapat Rp3 miliar, total Rp15 miliar untuk lima kecamatan. Ini berarti masih tersisa hak-hak masyarakat lima kecamatan Rp85 miliar yang belum diberikan.

Pada tingkat pemerintah desa, tidak diketahui pasti informasi besaran dana satu yang mesti disalurkan. Sejak NHM di sana, kata Gabriel, masyarakat tak mengetahui mekanisme pengelolaan dan pencairan dana satu persen itu.

Kala perusahaan tambang menyatakan, telah menyalurkan dana demikian besar kepada desa, dan pihak desa menyatakan dana tak transparan, sedang warga desa tetap berjuang sendiri untuk melanjutkan hidup dengan kondisi yang mereka hadapi kini. Foto: Themmy Doaly

Kala perusahaan tambang menyatakan, telah menyalurkan dana demikian besar kepada desa, dan pihak desa menyatakan dana tak transparan, sedang warga desa tetap berjuang sendiri untuk melanjutkan hidup dengan kondisi yang mereka hadapi kini. Foto: Themmy Doaly

Dia mendesak, jika dana sudah ada dari beberapa tahun kemarin, siapapun yang menikmati harus diproses hukum. Dia menyarankan, dana 2015 langsung diberikan ke desa-desa di lima kecamatan.

“Selama ini masyarakat tidak tahu, orang-orang tertentu atau kelompok tertentu yang tahu itu, yang bongkar itu, baru masyarakat tahu ternyata kita punya bagian satu persen. Tidak tahu kelompok-kelompok mana yang menggelapkan hanya saling curiga begitu.”

Selain dana satu persen itu, ada juga dana Community Development (Comdev). Pencairan dana Comdev tiap tahun antara Rp100-Rp160 juta lebih. Pernah Rp200 juta lebih pada 2007-2010. Produksi NHM turun, budget ke desa juga menyusut.

Untuk mengakses dana ini, masing-masing desa wajib memiliki rekening.  Menurut Gabriel, rekening itu tidak berada di tangan pemerintah desa. Sejak proses pembuatan, buku tabungan berada di tangan CSR. Tugas tim desa hanya mengajukan proposal yang berisi dana buat beasiswa, dukun terlatih, kader posyandu, honor tim desa serta dana pemberdayaan.

Sayangnya, pemerintah desa sering dibuat galau dengan pencairan dana Comdev ini. Sistem yang dibangun memberatkan pemerintah desa. Dia mencontohkan, program tahun ini, baru terealisasi tahun depan. Tahun 2014, realisasi dana baru honor tim, kader posyandu, beasiswa dan dukun terlatih.

“Dana pemberdayaan baru terealisasi 2015. Itu yang repot. Kalau pemberdayaan direalisasi tahun kemarin, kan kita sudah buat.”

Belum lagi soal rekening desa. “Yang kitorang tahu itu di tangan tim desa. Kan, di desa ada tim Comdev, tapi buku rekening desa ada di tangan CSR. Di saat penyaluran dana desa dari bank, harus disertai rekomendasi CSR. Jadi, begitu tarik uang, buku rekening itu ditarik ulang oleh tim CSR. Jadi, torang itu hampir lupa, tidak tahu saldo dari tahun ke tahun.”

Muis Andhy, Sekretaris Kecamatan Malifut, sering mendengar keluhan masyarakat mengenai kinerja CSR NHM. Menurut dia, kisruh dana satu persen terjadi karena masyarakat merasa kewajiban CSR NHM belum terpenuhi dan menjadi tanda tanya.

Selama ini, kontribusi perusahaan pada masyarakat terbilang kecil. Contoh, soal penyaluran dana Comdev. Perusahaan cukup adil menjalankan tanggung-jawabnya namun terkesan tidak merata.

“Dari lima kecamatan, ada masyarakat tidak terpuasi dengan pembagian dana CSR. Mekanisme, menurut aturan mereka, ditentukan kuota dalam satu kecamatan itu berapa, misal, Kecamatan Malifut Rp3 miliar dibagi 22 desa. Memang adil, tapi tidak merata. Kami hanya bisa menerima apa yang diberikan perusahaan kepada masyarakat kami yang jumlah 22 desa.”

Tim CSR sering berkoordinasi dengan kecamatan. Namun, komunikasi hanya sebatas program yang akan masuk ke desa. Momentum itu sering pula untuk menyampaikan aspirasi warga desa. Namun, terkadang tidak banyak terealisasi.

”Jadi, kalau ada bilang tim CSR tertutup, bisa saja kita setuju. Entah tertutup benaran atau prosedur dan manajemen memang begitu. Sejauh ini, keterbukaan hanya sebatas menyampaikan budget tiap kecamatan sekian. Dalam program yang jalan itu, kita tidak tahu berapa banyak yang tidak tercairkan dan lain-lain,” kata Muis.

 

 

AFRIDA Erna Ngato, gusar. Sudah lima hari ini dia tak tidur di rumahnya di Desa Sosol, Kecamatan Malifut. Dia memilih tidur di rumah saudara yang masih sekampung, hanya pulang siang hari untuk mandi dan ganti baju.

Belakangan ini, Ida, begitu dia biasa disapa, merasa terintimidasi dan difitnah sejumlah pihak karena menolak bergabung dan malah menghalangi aksi demonstrasi menuntut transparansi dana satu persen awal Maret 2015.

“Jika dana yang disalurkan tidak sesuai silakan menyampaikan ke pihak berwajib,” katanya.

WIlayah adat Pagu dan konsesi tambang

Peta wilayah adat Pagu. Sumber: AMAN Malut

Demonstrasi menuntut transparansi dana satu persen dinilai membingungkan dan tidak memiliki tujuan akhir. Sedang dia fokus memperkuat pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Orang-orang yang tidak terima coba membalas perlakuan Ida. Kabar miring berhembus. Dia dituduh bersekongkol, bahkan menerima bantuan NHM. Tak terima, sejumlah nama dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.

“Macam-macam dibilanglah. Saya ini punya kapasitas apa?  Itu (NHM) aset negara, dan ketika aset negara terancam negara turun tangan. Kalau negara turun tangan, ya, polisi, tentara.”

Afrida Erna Ngato adalah Sangaji (Ketua) Lembaga Adat Pagu, yang terpilih lewat musyawarah para tetua adat dari 15 desa, pada 16 Januari 2012.  Dia sangaji perempuan pertama dalam sejarah kelembagaan adat Pagu.

Sejak 2010, ketika belum menjadi sangaji, Ida sudah punya niat memulihkan hak-hak masyarakat adat Pagu. Caranya, dengan merestrukturisasi lembaga adat, pendokumentasian sejarah dan budaya hingga pemetaan wilayah adat. Proses penggalian sejarah dilakukan selama dua tahun.

Awalnya, banyak mencerca dan meragukan pengetahuannya soal adat. Namun, dia menjawab keraguan tadi. Sebanyak 15 desa berhasil dijangkau dan bahasa Pagu menjadi muatan lokal (mulok). Tentu bukan perkara gampang melakukan itu. Uang, waktu dan tenaga dikorbankan.

Mo turun ke Pagu, kan, nda ada duit. Mau pigi, kan, harus ada uang jalan, uang minya (bensin). Itu saya yang tanggung. Duit saya hari ini sudah habis, untuk makan besok saya harus jual pisang goreng.”

Tak berhenti sampai di situ. Kala berdiskusi dengan satu dua tetua adat di masing-masing kampung, muncul ide untuk bikin pertemuan besar. Pada 15 kampung dikumpul jadi satu. “Nah, waktu 15 kampung dikumpul itu, bagaimana duitnya?” Afrida balik bertanya. Diam sejenak, dia lanjut cerita. “Di mana tuan rumah, misalnya kampung paling selatan pu rumah dia harus tanggung jawab kita makan. Kalau saya ada duit saya tambah lagi.”

Tahun berganti tahun, Sangaji Pagu mulai merasakan hasil kerja kerasnya. Perusahaan tambang mulai memperhitungkan keberadaan masyarakat adat Pagu. Sangaji tak cuma sesumbar.

Pada 25 September 2014, lembaga adat Pagu dan NHM membuat nota kesepahaman (memorandum of understanding) pelestarian bahasa dan budaya. Konsekuensi dari kesepakatan ini, perusahaan tambang harus mengucurkan dana Rp2 miliar dalam empat tahun. Tiap semester, lembaga adat mendapat Rp250 juta.

Lewat kerjasama itu, Sangaji Pagu berupaya memperkuat identitas adat Pagu, supaya orang bangga lagi dengan budaya. Mudah-mudahan, Ida berharap, dengan pulihnya kebudayaan ini, orang sadar dan bangga, dan idealisme timbul. “Jadi perjuangan ini juga bukan hanya keluar tapi juga penyadaran ke dalam.”

Tahap awal MoU sudah berjalan. Lembaga adat sudah buat kantor yang dinamakan nangawola – rumah kita bersama. Jika kantor sudah jadi, lembaga adat akan mulai  mengorganisir diri, membagi divisi-divisi semacam lembaga tradisional, perempuan adat, pemuda adat, divisi pengembangan sumber daya manusia.

Tak cukup MoU pelestarian bahasa dan budaya. Rencananya, Ida kembali membuat MoU seperti pengembangan ekonomi berbasis masyarakat adat. Kabarnya NHM sudah memberi lampu hijau. “Tinggal tunggu kantor jadi dulu karena kalau tidak, tidak akan terogranisir dengan baik, toh?”

“Setelah kantor jadi, masing-masing divisi akan di MoU lagi. Bidang pengambangan dan sumber daya manusia apa, berapa orang Pagu akan disekolahkan, bangun sekolah adat Pagu, bangun lain-lain dan lain-lain. Apa budaya orang sini yang bernilai ekonomi, kita MoU kan.”

Manajemen NHM, katanya,  bersedia reklamasi hutan dan penangkaran burung endemik, seperti burung paruh bengkok, nuri, dan bidadari. “Itu, biro lingkungan NHM sudah berjanji MoU dengan kita.”

Di wilayah seluas 10 hektar, dia juga mau membuat MoU membangun rumah adat, paviliun kepala suku, paviliun tua-tua adat, kemudian 15 cottage (guest house), MoU untuk infrastruktur dan properti kebudayaan.

Bagi dia, perjuangan terberat justru berhadapan dengan masyarakat bawah (etnis Makian). Sebab, dengan klaim tanah berpotensi menimbulkan isu SARA. Persoalan ruang adat merupakan pemicu konflik komunal di Malut, tahun 1999-2000.

Dia menolak tudingan penyebab kerusuhan adalah permasalahan agama. “Itu pemicu, bukan lagi salah satunya. Bukan soal agama. Bukan.”

Orang Makian, katanya,  ingin menguasai wilayah ini, tetapi orang Pagu tidak mau.  “Mereka demo-demo terus, berujung kerusuhan. Dari situlah mulai gesekan-gesekan, konflik pecah tahun 1999. Tidak berhenti sampai di situ, sampai sekarang terus begini karena orang Pagu mempertahankan wilayah.”

Pengakuan hak-hak masyarakat adat Pagu memang juga ditujukan kepada penduduk etnis Makian, namun dengan pendekatan agak berbeda. Jika lembaga adat Pagu nampak kooperatif dengan NHM, mereka justru pendudukan kembali (reclaim) tanah adat yang dikelola etnis Makian.

Awal 2013, masyarakat adat Pagu merebut kembali tanah di Kebun Kobok yang pernah diduduki etnis Makian. Berdasarkan kesepakatan dengan lembaga adat, tanah itu harus direbut kembali dan menjadi wilayah kelola masyarakat adat Pagu.

saling klaim lahan. Selain bermasalah dengan perusahaan tambang, antar warga juga saling klaim lahan. Warga Adat Pagu, merasa lahan adat mereka diambil pemerintah untuk transmigrasi lokal. Hingga kini, masalah belum selesai. Foto: Themmy Doaly

Saling klaim lahan. Selain bermasalah dengan perusahaan tambang, antar warga juga saling klaim lahan. Warga Adat Pagu, merasa lahan adat mereka diambil pemerintah untuk transmigrasi lokal. Hingga kini, masalah belum selesai. Foto: Themmy Doaly

Di lain pihak, orang Makian menyatakan, Kebun Kobok adalah tanah mereka. Perdebatan terjadi. Masyarakat adat Pagu tidak terima. Jauh sebelum kedatangan orang Makian, leluhur mereka telah mendiami tanah itu.

Pada 2014-2015,  sengketa tanah mulai ramai lagi. Masyarakat adat Pagu melapor ke pemerintah daerah. Staf ahli, Dinas Kehutanan dan sejumlah dinas turun. Hingga kini, sengketa tanah belum ada penyelesaian.

“Kebun saya itu, bisa dibilang saya rampas balik. Mereka klaim itu tanah mereka. Kami hargai tanaman mereka sudah membuahkan hasil, tapi tidak boleh mereka bilang punya mereka itu pemberian pemerintah. Jadi yang susah adalah urusan dengan translok (transmigran lokal) ini,” ucap Afrida.

“Saya menghargai mereka. Kalau kalian mau berkebun melalui kami dulu, karena jangan sampai situs-situs atau tempat terlarang kalian masuki. Mereka tidak mau dengar. Sekarang kebalik, malah orang Pagu yang dilarang. Tidak boleh berkebun di situ. Itu tanah Makian pemberian pemerintah. Kan, lucu.”

Belum lama ini sempat terjadi debat soal kepemilikian kampung tua. Masyarakat Makian merasa, daerah itu masuk potensi wisata mereka. Di daerah itu ada situs wisata bawah laut peninggalan perang dunia II.

“Nah, ini wilayah adat Pagu. Mana ada Suku Makian zaman perang dunia II di sini.”

Permasalahan ini, kata Afrida, karena negara mengeluarkan kebijakan tidak tepat. Orang Pagu, baik di pesisir maupun Pagu pedalaman dituduh sebagai suku terasing. Sementara, kehadiran orang Makian dinilai tidak menghargai masyarakat adat Pagu sebagai pemilik wilayah.

Secara historis, etnis Makian merupakan pendatang dari Pulau Makian. Pada 1975, pemerintah daerah memindahkan mereka ke daerah Malifut dan Jailolo karena ada letusan gunung berapi.

Etnis Makian dikenal memiliki etos kerja tinggi. Mereka berhasil memanfaatkan ruang-ruang produksi yang diberikan pemerintah daerah. Sayangnya, wilayah etnis Makian itu merupakan tanah adat Pagu.

Sejak itu, ada suatu wilayah diberi nama Kecamatan Makian Daratan. Padahal, oleh masyarakat lokal, wilayah itu adalah tanah adat mereka. “Mereka pikir ini tanah negara.”

Isu etnis, sebenarnya pernah menjadi awal cerita suram di sini. Agustus 1999, pecah kerusuhan antara etnis Kao dengan Makian. Peristiwa itu terjadi tak lama setelah pemerintah daerah mengeluarkan PP No 42 tahun 1999, yang mengubah status Kecamatan Makian-Malifut menjadi wilayah administratif Kecamatan Malifut.

PP ini dinilai menghidupkan kembali memori sengketa wilayah, sekaligus menjadi akar konflik yang meluas ke seluruh Maluku Utara.

Berdasarkan laporan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Mediasi (KPP HAM), pada Desember 2000, konflik di Malut bermula pada 19 Agustus 1999 karena perkelahian antara warga Desa Tahane dan Matsa (Suku Makian) melawan warga Desa Sosol dan Wangeotak (Suku Kao).

“Konflik di Maluku Utara, hingga 12 Maret 2000, mengakibatkan 2.069 orang meninggal dunia. Jumlah ini tidak termasuk korban kecelakaan kapal pengungsi yang menuju Manado sejumlah 425 orang, serta kecelakaan kapal di Loloda 24 orang,” tertulis dalam laporan KPP HAM.

Selain korban jiwa, ratusan ribu penduduk harus meninggalkan kampung halaman. Mereka memilih mengungsi ke Ternate, Sulawesi Utara dan Kecamatan Tobelo. “Sekitar 15.000 penduduk Makian mengungsi ke Ternate dan Tidore. Sekitar 35.000 penduduk Kristen dari Ternate, Tidore, Morotai dan bagian barat provinsi itu mengungsi ke Sulawesi Utara. Sekitar 45.000 pengungsi Kristen lain mengungsi ke Tobelo,” tulis Christopher Duncan, antropolog University of Missouri, dalam Tamu Tak Diundang: Hubungan antara Pengungsi Maluku dan Penduduk Lokal di Sulawesi Utara.

Kerjasama dengan NHM, bagi Afrida , bukan berarti orang Pagu tidak berjuang. Dia merasa dilematis. “Ingin berusaha habis-habisan, tetapi belum tentu solid dengan kondisi masyarakat yang memperihatinkan. Orang tidak lagi pentingkan budaya.”

Menurut dia, mau-tidak mau, suka-tidak suka, harus berkompromi dengan perusahaan tambang. “Hari ini kalau tambang ditutup (usir) apakah masyarakat adat siap? Kalau kita mau tutup tambang, kita berhadapan dengan penguasa dan senjata. Siapa yang mau dijadikan tumbal?”

 

 

Pos keamanan sebelum memasuki wilayah perusahaan. Foto: Themmy Doaly

Pos keamanan sebelum memasuki wilayah perusahaan. Foto: Themmy Doaly

KALA menuju areal perusahaan tambang ini,  terdapat pos keamanan Gosowong, kepolisian daerah Maluku Utara. Beberapa polisi nampak berjaga. Ada sedang nonton televisi. Ada yang ngobrol dengan rekan sekerja. Kala itu, saya ingin memasuki areal perusahaan dan mesti singgah memberi laporan.

Debu-debu berterbangan. Ini pemandangan wajar di sini. Truk dan pick up perusahaan terlihat lalu lalang. Dalam beberapa menit, ada sekitar lima sampai tujuh truk datang dan pergi.

Setelah mendapat izin petugas piket pos, saya harus menempuh jarak sekitar 150 meter mencapai pos penjagaan berikutnya. Di pos ini, sejumlah satpam perusahaan bertugas. Beberapa pekerja tambang terlihat duduk santai, istirahat sejenak.

Seorang satpam muncul. “Mohon maaf. Kalau ingin menemui manajemen, harus bikin janji setidaknya dua hari sebelumnya.” Saya tak bertemu dengan manajemen NHM.

Saya beranjak ke pelabuhan. Pengamanan serupa berlaku juga di pelabuhan perusahaan di Tanjung Barnabas, beberapa kilometer dari pos penjagaan Gosowong. Di depan gerbang, tertampal pemberitahuan, salah satu dilarang mengambil gambar.

NHM juga memiliki bandara. Berjarak sekitar satu km dari kebun Kobok. Pagar di depan bandara terbuka. Padahal, ada papan bertuliskan Keep Closed the Gate. Pos penjagaan sedang tidak ada orang. Beberapa kali saya sempat menyaksikan helikopter melintas di langit Malifut. Beberapa warga menyebut helikopter tadi milik NHM.

Lewat surat elektronik, kami mengkonfirmasi kepada NHM seputar tambang dan dampak yang dirasakan warga di Malut.

“Dalam mengoperasikan tambang emas Gosowong, NHM menaati segala hukum dan peraturan Pemerintah Indonesia termasuk berhubungan dengan pengelolaan lingkungan dan program monitoring atau pengawasan termasuk pengelolaan limbah,” kata Herastuti Haryogyo, Manajer Komunikasi NHM.

Perusahaan ini mengklaim memonitoring area tambang dan lingkungan sekitar, dan berkala melaporkan hasil monitoring kepada pemerintah.

Begitu juga keluhan masyarakat Balisosang soal pencemaran sungai dan penyakit. “Kami melihat masalah kesehatan sangat serius dan warga masyarakat yang mempunyai keluhan dianjurkan menghubungi perwakilan community relations kami,” ujar dia.

Soal alokasi anggaran dana tanggung jawab sosial sebesar satu persen, katanya, perusahaan telah komunikasi langsung dengan perwakilan-perwakilan masyarakat dan pemerintah daerah. Mereka telah memberikan informasi detil mengenai alokasi anggaran CSR beserta pelaksanaan kepada seluruh pemangku kepentingan.

“Niat NHM terus melanjutkan dukungan kepada masyarakat dan menjalankan program-program CSR ke depan dengan konsultasi bersama-sama masyarakat dan para pemangku kepentingan lain.”

Pelabuhan NHM. Foto: Themmy Doaly

Pelabuhan NHM. Foto: Themmy Doaly

Di Malut, terdapat 335 izin usaha pertambangan (IUP). Ada, tiga perusahaan tambang menandatangani kontrak karya. Mereka adalah PT Aneka Tambang, PT Weda Bay dan PT Nusa Halmahera Minerals. Lebih dari 2 juta hektar wilayah adat di Malut menjadi pertambangan.

Perusahaan ini menandatangani kontrak karya dengan pemerintah Indonesia 28 April 1997. Operasi NHM seluas 29.622 hektar, meliputi lima kecamatan, yakni Kao Utara, Kao, Kao Barat, Malifut dan Kao Teluk.

NHM adalah usaha patungan antara Newcrest 75% dan Antam 25%. Dua perusahaan itu, sepakat membentuk NHM pada 1997. Kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan NHM ditandatangani disusul penyelesaian studi keteknikan, studi kelayakan dan studi dampak lingkungan.

Luas wilayah waktu kontrak karya baru 1.672.967 hektar. Setelah tiga kali penciutan, menjadi 29.622 hektar.

Pada Juli 1999,  NHM mulai produksi emas pertama kali di Gowosong. Sejak awal, diperkirakan lebih 4 juta ounce dan 3 juta ounce perak telah diproduksi perusahaan.

Operasi NHM di Gosowong meliputi penambangan bawah tanah Kencana dan Toguraci terletak berdekatan dengan pabrik pemrosesan biji emas.

Dalam situs resmi perusahaan, juga menyebutkan, pengelolaan lingkungan menjadi komponen penting dalam menjalankan usaha.

Sejumlah catatan menceritakan bantahan NHM terkait tuduhan-tuduhan kepada mereka. Kabar pencemaran  Sungai Kobok akibat kebocoran pipa perusahaan, misal. Pada 25 Maret 2010,  perusahaan menandatangani berita acara inspeksi lingkungan pertambangan pada kasus kebocoran pipa tailing.  Dalam berita acara itu, disebutkan, terjadi kebocoran pipa tailing di simpang tiga Drop Point 3, pada 17 Maret 2010 pukul 19.30.

Kebocoran pipa menyebabkan limbah tailing mengalir ke sungai. Tragedi pipa bocor terjadi selama 12 jam, sejak pukul 18.30 hingga 06.30. Diperkirakan, sebanyak ± 103 m3 slurry keluar dari pipa tumpah ke paritan temporary pekerjaan instalasi pipa air buangan limbah domestik (basecamp). Kebocoran karena pipa tailing robek terkena kuku bucket eskavator.

Dalam berita acara, dinyatakan, perusahaan telah analisis kualitas air terhadap empat titik pantau yang diperkirakan tercemar tumpahan tailing. Hasilnya, analisa kualitas air dengan parameter sianida bebas, pada 24 Maret 2010, di bawah baku mutu air sungai.

Hingga 24 Maret 2010, pemeriksaan lapangan dilakukan di sejumlah titik. Misal, lokasi kebocoran pipa, paritan temporary instalasi pipa air buangan sepanjang sekitar 800 meter, creek Gosowong sepanjang aliran tumpahan tailing. Lalu, sedimen trap yang dibuat untuk menangkap sedimen tailing, serta pengambilan sampel air dan sedimen.

Hasil pemeriksaan itu ditindaklanjuti dengan mengganti pipa tailing bocor, dan pembersihan tumpahan tailing di sepanjang paritan temporary instalasi pipa air buangan.

NHM mem-PHK satu senior filter dari Departemen Maintenance dan supervisior dari subkontraktor PT Manado Teknik Mandiri, yang mengerjakan penggalian paritan temporary instalasi pipa air buangan. NHM juga memberi surat peringatan tertulis pertama dan terakhir kepada Site Manager Manado Teknik Mandiri.

Begitulah, NHM menyatakan, telah bekerja ‘peduli’ lingkungan dan masyarakat. Namun di kampung-kampung, kegusaran warga masih berlangsung. Mereka sulit mendapatkan air bersih karena sungai-sungai tak lagi seperti dulu. Beragam penyakit kulit masih diderita warga. Mereka masih ribut soal dana CSR yang tak transparan. Masyarakat masih dihantui dengan kehadiran tambang di sekitar mereka…

Pintu masuk bandara perusahaan. NHM memiliki berbagai fasilitas di sini, selain kantor, pelabuhan sampai bandara. Foto: Themmy Doaly

Pintu masuk bandara perusahaan. NHM memiliki berbagai fasilitas di sini, selain kantor, pelabuhan sampai bandara. Foto: Themmy Doaly


Fokus Liputan: Kala Tambang Hantui Warga Sekitar Teluk Kao was first posted on May 31, 2015 at 3:49 am.

Desa Aik Berik, Hidup Warga dari Merawat Hutan

$
0
0
Pala bisa jadi salah satu tanaman andalan di HKm Aik Berik. Tanaman ini buah sampai biji bernilai ekonomi tinggi. dan daya serap akar akar juga bagus. Foto: Sapariah Saturi

Pala bisa jadi salah satu tanaman andalan di HKm Aik Berik. Tanaman ini buah sampai biji bernilai ekonomi tinggi. dan daya serap akar akar juga bagus. Foto: Sapariah Saturi

Kala memasuki pekarangan rumah itu, alpukat hijau sebesar sekepalan, bahkan dua kepalan tangan orang dewasa, bergelantungan di dahan. Tak jauh dari sana pohon-pohon manggis dengan buah masih hijau muda. Rambutan juga baru berbunga. Ada pula pisang dan nangka. Tak jauh dari situ ada pembibitan pala dan lobe-lobe.  Saya tercengang kala melihat pohon tinggi menjulang dengan cabang-cabang dipenuhi buah bergerombol. Alamak. Durian!

Inilah pemandangan kala saya datang ke Desa Air Berik, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Selama perjalanan, saya lihat jarang ada pekarangan rumah atau kebun kosong. Tak heran, jika kecamatan ini ditetapkan Pemerintah Lombok Tengah, sebagai daerah sentra buah.

Beragam pohon buah dan tanaman keras lain seperti raja mas, sengon,  sampai jati tak hanya ada di pekarangan rumah, juga di hutan yang mereka kelola. Desa Air Berik ini masuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), di Kecamatan Batukliang yang mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan pada 2007. Izin resmi ini keluar buah perjuangan panjang mendapatkan hak kelola rakyat sejak 1995.

Ketua Pengelola Hutan Kemasyarakatan Kecamatan Batukliang. Foto: Sapariah Saturi

Marwi, Ketua Pengelola Hutan Kemasyarakatan Kecamatan Batukliang. Foto: Sapariah Saturi

Keinginan hak kelola warga ini berangkat dari kegelisahan Marwi, kala itu Sekretaris Desa Aik Berik. Marwi khawatir melihat kerusakan hutan yang masuk Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) itu makin parah dan kondisi warga desa di sekitar hutan banyak miskin. Konflik berkepanjangan terjadi antara warga sekitar hutan dan taman nasional. “Warga tak bisa masuk ke hutan karena taman nasional tetapi bukan hutan terjaga, malah rusak,” kata pria yang kini Ketua Pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKm). Marwi juga Ketua Forum Masyarakat Kawasan Rinjani (FMKR) di Kabupaten Lombok Tengah ini.

Marwi, sejak lahir sudah hidup berdampingan dengan hutan. Kala melihat hutan rusak, dia resah. Kala itu, dia berpikir bagaimana hutan yang sudah gundul itu rimbun lagi dan warga mendapatkan manfaat dari sana. Pada 1995, diapun menemui  Dinas Kehutanan.

“Hutan ini dulu perawan, sekarang habis. Saya buatkan perawan lagi? Mau gak?” Begitu Marwi menantang orang dinas. Dia menawarkan konsep warga mendapatkan hak kelola dan boleh masuk hutan serta memastikan wilayah berhutan lagi. “Hutan itu sudah gundul, reboisasi berulang kali tapi tak ada hasil. Jadi saya tawarkan itu. Saya komunikasikan,” katanya.

Dinas Kehutanan menanyakan keinginan warga ini ke Kementerian Kehutanan di Jakarta. Bersyukur, ada sinyal positif. Namun izin kelola belum diperoleh, mereka harus memenuhi berbagai persyaratan. Meskipun begitu, warga harus berbuat dan membuktikan bahwa mereka mampu ‘menghutankan’ kawasan.

HKm Desa Aik Berik. Foto: Sapariah Saturi

HKm Desa Aik Berik. Foto: Sapariah Saturi

Marwi, kala itu Kepala Desa Aik Berik, bersama warga mulai gerakan menanam. Itu diawali dari lingkungan sekitar mereka, mulai pekarangan, sampai tepian-tepian jalan desa pinggiran hutan itu. Beragam pohon buah ditanam. Ada durian, manggis, pala, lobe-lobe, alpukat dan lain-lain. “Sampai sekarang warga masih bisa rasakan hasil tanaman itu,” katanya.

Pada 1999-2000, masuk pra kondisi, hutan tak boleh disentuh sama sekali. Warga mempersiapkan syarat-syarat, seperti membentuk kelompok, lalu pendataan masyarakat, tata batas, sampai tata ruang. Baru pada 2000, keluar izin kelola hutan sementara seluas 1.042 hektar mencakup Desa Air Berik, Desa Setiling, Desa Lanta dan Desa Karasidomun. Namun, kata Marwi, izin sementara keluar, masalah baru muncul. Ribut-ribut antar warga, antar desa dengan pemerintah, warga dengan lembaga yang dipinjam untuk mengusulkan hutan kelola. Tata batas juga menimbulkan masalah kala TNGR menuding warga sudah masuk wilayah hutan lindung itu.

Singkat cerita, setelah pembenahan ulang dan penyelesaian konflik, pada 2007, izin resmi HKm keluar. Dari empat desa itu, kata Marwi, ada 105 kelompok HKm yang menjadi empat gabungan kelompok tani (Gapoktan).

Khusus Desa Air Berik, yang memiliki luas 4.187 hektar, mendapatkan HKm 840 hektar. Dari luas total wilayah desa terdiri dari sawah 418 hektar, dan lahan kering 3.765 hektar. Lahan-lahan itu untuk kebun rakyat 236 hektar, pekarangan 42 hektar, lain-lain delapan hektar dan hutan negara 3.483 hektar. HKm 840 hektar itu ada merupakan bagian dari hutan negara ini.

aik10-IMG_2170

Puli (berwarna merah), yang ternyata bernilai sangat tinggi di pasar ekspor. Namun di Lombok, masih banyak belum dimanfaatkan.Foto: Sapariah Saturi

Gerakan menanam dihidupkan kembali. Bagi Marwi, terpenting tahap awal ini hutan tertutup dulu. Jadi, warga pun menanam beragam tanaman dari sengon, jati,  pala, manggis, durian, raja mas, mahoni sampai pisang.

Menurut Marwi, masih banyak yang bisa diperbaiki dalam pengelolaan hutan agar lebih memberikan manfaat bagi warga dan alam. Kini, mereka mulai memikirkan tanaman bernilai ekonomi dan berkonservasi tinggi. “Kalau tanam sengon, mahoni kan ada usia dan ditebang. Jadi, lebih baik tanaman-tanaman seperti manggis, menghasilkan buah dan usia lama. Juga raja mas, pohon ditebang tetapi terus tumbuh lagi. Itu bagus buat konservasi.”

Walhi NTB juga berpikiran sama. Bagaimana hutan yang dikelola warga ini bisa bermanfaat ekonomi dan bernilai konservasi tinggi. Kini, Walhi mengembangkan tanaman pala lokal Lombok. Tanaman ini dulu banyak di hutan tetapi kini jarang. Kini, pala lebih banyak ditemukan di pekarangan-pekarangan rumah warga.

Pemilihan pala, setelah Walhi melihat beberapa tahun terakhir warga mengembangkan beragam olahan pangan dari buah ini. Ada yang menjadi sirup, manisan, dodol dan banyak lagi.

“Kalau ini jadi media konservasi bagus sekali. Tanaman ini dari daun sampai buah bernilai ekonomi jadi pohon tak akan ditebang warga. Serapan air juga tinggi. Ini bisa berumur ratusan tahun. Kalau  tanam sengon dan mahoni, tunggu besar tebang,” kata Murdani, Direktur Eksekutif Walhi NTB.

Durian, banyak tumbuh di pekarangan maupun hutan warga. Foto: Sapariah Saturi

Durian, banyak tumbuh di pekarangan maupun hutan warga. Foto: Sapariah Saturi

Pohon lain yang akan dikembangkan, lobe-lobe. Tanaman dengan buah meyerupai anggur ini juga berumur panjang dan bernilai konservasi tinggi. “Bersama pala, warga juga mulai membuat olahan buah ini. Ada buat dodol, manisan.”

Senada dikatakan Sudiarti, Koordinator Pemberdayaan Perempuan Walhi NTB. Dia mengatakan, segala sesuatu pada pohon pala berguna. Mulai akar menyerap air, kulit ari kayu bisa jadi jamu. “Kalau anak kecil, biji masih muda bisa lumuri ke badan agar hangat,” katanya.

Belum lagi, puli (cangkang buah) ternyata banyak diekspor dan berharga mahal. Namun di Lombok, belum banyak dimanfaatkan hingga puli dibuang begitu saja. “Ini bisa dibuat minyak. Per kg kalau diekspor lebih Rp1 juta.” Sedang daging buah dibikin dodol, atau manisan bahkan sirup. Serta daun bisa jadi teh dan biji dijual sebagai bumbu atau diolah menjadi minyak.

Lobe-lobe, tanaman hutan yang bernilai ekonomi dan bagus buat konservasi. Foto: Sapariah Saturi

Lobe-lobe, tanaman hutan yang bernilai ekonomi dan bagus buat konservasi. Foto: Sapariah Saturi

Kini, produk olahan pala menjadi salah satu andalan kelompok perempuan di Lombok Tengah. “Sayangnya, pala tak banyak hingga belum bisa bikin banyak. Produksi yang ada baru dipasarkan sekitar Lombok.”

Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lombok Tengah, pada 2013, di Kecamatan Batukliang, dan Kecamatan Batu Kliang Utara,  merupakan sentra agroindustri pala. Ada sekitar 15 kelompok perempuan dengan produksi sekitar 8.000-an kg per tahun. Menurut Sudiarti, pasar olahan pala ini masih luas terlebih sudah ada kerja sama dengan Kementerian Pertanian.

Meskipun begitu, mengembangkan pala bukan hal mudah, salah satu kendala pada pembibitan. “Bibit dua bulan baru muncul daun. Tantangan besar, lama tumbuh dan potensi busuk tinggi. Ini pembibitan pertama. Mulai kita coba. Harapan, coba dorong agar bibit pala ini bisa dipindahkanke hutan,” kata Murdani.

Kini, permintaan bibit pala juga tinggi. Bibit setengah meter Rp50.000-Rp60.000. “Itu pohon lebih mahal dari durian. Bisa jadi bisnis baru.”

Marwi senang dengan upaya Walhi ini. “Pala punya prospek bagus, peluang pasar bagus dan konservasi bagus. Lebih baik kita berbuat. Ini yang saya harapkan.”

Alpukat, banyak ditemui di pekarangan warga di Kecamatan Batukliang, termasuk Aik Berik. Foto: Sapariah Saturi

Alpukat, banyak ditemui di pekarangan warga di Kecamatan Batukliang, termasuk Aik Berik. Foto: Sapariah Saturi

Pasokan air

Bukan hanya sentra buah-buahan, Desa Aik Berik juga salah satu pemasok air bersih di Lombok Tengah, bahkan Lombok. Di HKm Air Berik ada dua air terjun dengan air jernih dan pemandangan indah, Benang Kelambu dan Benang Stokel, yang menjadi sumber air. Kedua air terjun ini juga menjadi obyek wisata cukup banyak dkunjungi warga.

Dari izin HKm 842 hektar di Aik Berik, yang dimanfaatkan warga sekitar 600 hektar. Sisanya, untuk kawasan lindung dan lereng. Khusus kawasan air terjun dialokasikan sekitar 16 hektar.

Sebagai daerah pemasok air, tuntutan menjaga hutan juga tinggi agar ketersediaan air terjaga. Namun, tak berlebihan kalau warga desa yang berada di hulu ini merasa mereka dibebani berbagai tuntutan tetapi tak ada imbal balik. Lalu, mulai diperjuangkan oleh Marwi bersama warga dengan bantuan organisasi pendamping, soal Peraturan Daerah Jasa Lingkungan. Lewat perjalanan panjang, akhirnya Pemerintah Lombok Tengah memiliki Perda Jasa Lingkungan. Marwi duduk sebagai salah satu Direktur Jasa Lingkungan yang dibentuk Pemerintah Lombok Tengah. “Kami sedang upayakan perda serupa dibuat di seluruh Lombok.”

Menurut dia, dengan ada perda ini ada hubungan antara hulu dan hilir hingga tak ada warga merasa dieksploitasi yang bisa berpotensi menimbulkan konflik. “Jangan sampai warga hulu merasa cuma diminta memelihara saja. Dengan perda ini bisa terjalin hubungan baik antara pemakai dan penyedia  air.”

Kini, Pemerintah Lombok Tengah,  menyiapkan pembentukan Lembaga Pengelola Jasa Lingkungan. “Kami sempat berdebat soal siapa yang duduk di sana. Kami tak mau kalau pemerintah saja karena ada resistensi. Akhirnya, keanggotaan dari berbagai unsur,” kata Marwi. Ada dari warga, pemerintah, politisi sampai akademisi. Lembaga ini yang akan menangani berbagai urusan, termasuk sumbangan dari masyarakat. Dengan begitu, katanya, diharapkan, lembaga ini berjalan lancar.

Kini, hutan yang dulu gundul sudah penuh pepohonan. Warga juga bisa hidup dari hutan, dari mengambil buah-buahan, kopi, maupun bahan baku gula aren dan gula semut sampai manfaat ada wisata air terjun. Namun, itu tak membuat Marwi puas. Dia masih ingin membuat sentra-sentra tanaman dan pohon buah bernilai konservasi tinggi dengan tetap mempertahankan beragam pepohonan alias tak monokultur. Marwi bercita-cita menjadikan Desa Aik Berik, sebagai kawasan wisata berwawasan lingkungan (ekoturisme).

Air Terjun Benang Kelambu yang berada di HKm Desa Aik Berik. Ia menjadi salah satu sumber air bersih di Lombok Tengah. Foto: Sapariah Saturi

Air Terjun Benang Kelambu yang berada di HKm Desa Aik Berik. Ia menjadi salah satu sumber air bersih di Lombok Tengah. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung Air Terjun Benang Kelambu, yang ramai kala hari libur atau akhir pekan. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung Air Terjun Benang Kelambu, yang ramai kala hari libur atau akhir pekan. Foto: Sapariah Saturi

Hutan HKm yang dialokasikan khusus tak boleh diganggu  buat air terjun sekitar 16 hektar. Foto: Sapariah Saturi

Hutan HKm yang dialokasikan khusus tak boleh diganggu buat air terjun sekitar 16 hektar. Foto: Sapariah Saturi

Kopi dan gula semut juga produksi dari HKm Aik Berik. Foto: Sapariah Saturi

Kopi dan gula semut juga produksi dari HKm Aik Berik. Foto: Sapariah Saturi

Pala dijadikan berapa produk olahan, salah satu dodol ini. Foto: Sapariah Saturi

Pala dijadikan berapa produk olahan, salah satu dodol ini. Foto: Sapariah Saturi

 


Desa Aik Berik, Hidup Warga dari Merawat Hutan was first posted on May 31, 2015 at 7:09 pm.

Pemerintah Merauke Setengah Hati Akui Masyarakat Adat. Benarkah?

$
0
0
Tampak anak-anak Kampung Selil,  Distrik Uliln bermain bulutangkis di HGU Bio Inti Agrindo. Foto: Petrus Kindem/WWF

Tampak anak-anak Kampung Selil, Distrik Uliln bermain bulutangkis di HGU Bio Inti Agrindo. Foto: Petrus Kindem/WWF

Masyarakat adat tampak belum mendapatkan pengakuan penuh dari Pemerintah Kabupaten Merauke. Salah satu terlihat dari Rencana Tata Ruang Wilayah Merauke, belum memasukkan wilayah-wilayah adat. Masyarakat adat Malind Anim mendiami 20 Distrik 160 Kampung dan delapan kelurahan dengan luas kabupaten 45.071 kilometer persegi tetapi tak ada dalam RTRW. Baru, tempat-tempat adat sakral yang masuk RTRW.

Max Tokede, Dosen Universitas Negeri Papua di Merauke mengatakan, hutan adat di Papua harus dipertahankan. Terlebih, pemerintah menganggap semua hutan termasuk di wilayah adat punya negara. Dengan begitu, pemerintah bisa memberikan izin-izin kepada pihak lain buat mengelola atau menebang hutan adat itu.

“Ini artinya masyarakat adat belum terakomodir. Pemerintah harusnya melibatkan masyarakat adat harus dalam menentukan RTRW.”

Bagi orang Marind, batas-batas daerah sudah ada sejak zaman leluhur. Mereka menandai dengan beragam cara, seperti dengan kali atau sungai, wambad atau bedeng-bedeng, pohon besar dan lain-lain.

WWF Merauke sejak 2007,  telah memetakan tempat sejarah leluhur orang Marind yang dianggap sakral, seperti perjalanan dalam bahasa Malind dema kay dan persinggahan leluhur (demadap mir). Tempat mitologi (dema say), kuburan leluhur (amayen sai), tempat ritual (pungga Sai). Ataukah makna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari seperti Dusun Sagu (Dah Nanggaz), sumber air (awamdka), hutan berburu (aweawe say) dan tempat pelestarian adat (pungga).

Sesuai Perda RTRW No 14 Tahun 2011, peta ini dibuat bersama masyarakat adat. Perda Tata Ruang ini unik karena mengadopsi tempat-tempat  masyarakat Adat Marind.

Paschalina Rahawarin, Southern Papua Leader Manager WWF Region Papua Kantor Merauke menyebutkan,  dengan tempat penting masyarakat adat masuk RTRW supaya dilindungi hukum positif.

Namun, di lapangan pemusnahan tempat-tempat penting adat masih terjadi. Dia mencontohkan, penebangan hutan PT Selaras Inti Semesta milik Medco Papua Lestari di Kampung Senegi yang menghabiskan hutan sagu dan sumber air kering.

WWF memantau dan melaporkan ke Dinas Kehutanan. Perusahaan mendapat teguran. Mereka bertekad menanam kembali di dusun ini. “Implematasi sampai dimana, kita belum tahu. Sebenarnya, sudah masuk ke perda, masyarakat termasuk instansi terkait harus mengawasi.”

Albertus Onoka Gebze, Wakil Ketua Lembaga Adat Malind Anim mengatakan, hutan dan tempat leluhur orang Marind sudah ada sejak dulu. Jadi, siapapun tak boleh mengeluarkan izin tanpa persetujuan masyarakat adat. “Kalau seorang pejabat berani memberikan izin otomatis didenda. Pejabat itu harus dihukum. Kalau orang asli menjual pasti orang mengenal marga, tanah siapa. Jadi dua hal ini melekat,” katanya.

 


Pemerintah Merauke Setengah Hati Akui Masyarakat Adat. Benarkah? was first posted on May 31, 2015 at 7:55 pm.

Masyarakat Adat Sekitar Danau Toba Tuntut TPL Kembalikan Hutan Adat

$
0
0
Masyarakat adat sekiyar Danau Toba, menuntut PT TPL mengembalikan hutan adat mereka yang terampas. Foto: Ayat S Karokaro

Masyarakat adat sekiyar Danau Toba, menuntut PT TPL mengembalikan hutan adat mereka yang terampas. Foto: Ayat S Karokaro

Ratusan masyarakat adat di sepanjang Danau Toba, Sumatera Utara, yang tergabung dalam Jalin D’Toba,  Jumat (29/5/15), berunjukrasa di depan PT Toba Pulp Lestari (TPL), Medan.  Aksi massa kala rapat umum pemegang saham (RUPS) ini menuntut pengembalian hutan adat. Mereka juga meminta perusahaan ditutup, karena merusak hutan adat maupun hutan negara.

Sambil berorasi, masyarakat adat membakar kemenyan dan tari-tarian Batak. Tari-tarian itu menceritakan betapa mereka sangat sedih, karena hutan adat yang dijaga hancur karena izin pemerintah kepada TPL.

Pendeta Haposan Sinambela, tokoh adat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan (Humbahas), menyatakan, kerusakan kawasan hutan Register 41 cukup parah. Ribuan hektar hutan gundul dan hancur, menjadi eukaliptus. Kayu hutan juga berkurang. Hutan Kemenyan yang dulu menjadi andalan desa mereka mulai hilang.

“Hancur hutan akibat ulah perusahaan sudah tidak lagi dapat ditolerir. Kami minta penegak hukum memproses perusahaan ini. Mereka merusak hutan. Kami mendesak pemerintah mengkaji ulang izin, jika tidak, tidak sampai lima tahun lagi, hutan di sepanjang Danau Toba akan habis, ” katanya.

Dulu air anak sungai di kawasan hutan adat masuk dalam Register 41 ini jernih dan luas. Sekarang, mengecil dan tampak kotor. Foto: Ayat S Karokaro

Sinambela sempat  menjadi tersangka dan status hukum tidak jelas hingga kini. Dia dianggap provokator saat protes penolakan operasi TPL di Hutan Kemenyan.

Setelah kemenyan hilang, katanya, perekonomian masyarakat  Desa Pandumaan-Sipituhuta terus menurun.

Hasron Sitorus, tokoh adat Lumban Sitorus, perwakilan masyarakat adat Tapanuli, Desa Lumban Sitorus tempat pabrik TPL, menyatakan, setidaknya ada 50 hektar hutan adat dirampas perusahaan.

Berbagai cara dilakukan perusahaan demi mendapatkan lahan adat Lumban Sitorus, mulai iming-iming dan manipulasi adat, serta intimidasi bahkan kriminalisasi.

“Terimakasih kepada Anda,  Sukamto Tanoto yang merampas tanah masyarakat Tapanuli, khusus Lumban Sitorus dan menindas kami selama 30 tahun.”

Perusahaan, katanya,  berdalih mendapatkan izin dari masyarakat adat Lumban Sitorus mengelola lahan. Faktanya, saat rapat dengan DPRD Toba Samosir, terungkap, BPN Toba Samosir menunjukkan SK Gubernur Sumut Nomor 359 yang menyebutkan, tidak ada masyarakat adat Lumba Sitorus menyerahkan lahan kepada perusahaan. “Itu fakta dikuatkan saat rapat dengar pendapat dengan DPRD Sumut.” Bahkan, disebutkan, perusahaan merusak hutan dan hutan adat di Danau Toba.

“Hanya ada satu kata, kembalikan lahan adat kami. Hentikan merusak hutan di Danau Toba. Kepada para pemegang saham dan investor, selamat menikmati kekayaan dari perusahaan ini, yang telah menindas.”  Tak ada satupun perwakilan perusahaan menerima mereka. Unjukrasa diakhiri pelemparan eceng gondok ke depan gedung TPL.

Protes masyarakat adat yang tinggal di kawasan  Danau Toba, Jumat pagi menuntut TPL ditutup di depan TPL di Gedung Uniland Medan. Foto:  Ayat S Karokaro

Protes masyarakat adat yang tinggal di kawasan Danau Toba, Jumat pagi menuntut TPL ditutup di depan TPL di Gedung Uniland Medan. Foto: Ayat S Karokaro


Masyarakat Adat Sekitar Danau Toba Tuntut TPL Kembalikan Hutan Adat was first posted on June 1, 2015 at 3:21 pm.

Keren! Desa Deaga Punya Aturan Lindungi Hutan Mangrove

$
0
0
Hutan mangrove di Desa Deaga yang terjaga. Foto: Themmy Doaly

Hutan mangrove di Desa Deaga yang terjaga. Foto: Themmy Doaly

Masyarakat Desa Deaga, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), berupaya melindungi ekosistem mangrove. Awal Mei 2015, mereka mengeluarkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pembuatan perdes selama lima bulan ini, melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda.

Pembuatan perdes itu beranjak dari penilaian masyarakat soal fungsi mangrove. Mereka menyadari, ekosistem mangrove dapat melindungi wilayah pesisir dan laut, sebagai penyedia sumberdaya perikanan laut dan wilayah penyangga.

“Perusakan hutan mangrove mengakibatkan potensi sumberdaya pesisir dan laut yang menjamin kehidupan masyarakat berkelanjutan makin terancam,” kata Ruslani Mokoginta, Sangadi (kepala desa) Deaga.

Pembuatan perdes itu, katanya, memiliki beberapa tujuan, pertama, mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang adil, menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat desa Deaga, terpenuhi.

Kedua, mewujudkan kelestarian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup dan sumberdaya alam desa. Ketiga, menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia maupun kelangsungan kehidupan makhluk hidup, serta kelestarian ekosistem mangrove.

“Perdes ini bertujuan melindungi, dan mendidik masyarakat bisa mengerti fungsi mangrove. Sebab, potensi perikanan bersumber dari perlindungan mangrove. Misal, kepiting dan kerang mangrove. Itu, kan, bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” katanya.

Dalam perdes ini, pemerintah desa menetapkan wilayah perlindungan mangrove (WPM) di empat titik, meliputi sebelah barat, utara dan timur dan selatan Desa Deaga. Luas diperkirakan 150 hektar.

Menurut Ruslani, penetapan WPM untuk melindungi daerah pesisir pantai dari berbagai kegiatan perusakan yang mengancam kelestarian pesisir pantai  dan keselamatan pemukiman masyarakat. WPM juga dilindungi daerah tabungan ikan dan pelindung pantai serta keragaman hayati terumbu karang.

“WPM akan jadi bagian rencana tata ruang desa. Penetapan berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan, sambil mempertimbangkan karakteristik ekosistem mangrove serta aspek-aspek flora dan fauna,  sosial budaya, dan kelembagaan masyarakat.”

Lebatnya hutan mangrove Desa Deaga. Foto: Themmy Doaly

Lebatnya hutan mangrove Desa Deaga. Foto: Themmy Doaly

Masyarakat, katanya, secara terbatas diberi izin memanfaatkan mangrove guna memenuhi kebutuhan, seperti, pembibitan untuk rehabilitasi mangrove, pemanfaatan kayu secara terbatas untuk keperluan rumah tangga, serta memanfaatkan buah mangrove sebagai makanan olahan.

Pengambilan atau penebangan mangrove hidup atau utuh dinyatakan sebagai tindakan perusakan. Tak diizinkan pula, alih fungsi lahan untuk tambak atau percetakan sawah baru.

“Pemanfaatan mangroves untuk kayu bakar hanya bisa pada yang sudah mati, kering, batang yang patah atau roboh.”

Sesuai tercatat dalam perdes, mangrove mati bisa dimanfaatkan masyarakat.  Masyarakat, memanfaatkan daun nipa untuk atap dan dinding bagian belakang rumah. Mereka juga meggunakan air nipa untuk membuat gula mangrove.

Dalam pembuatan perdes ini, pemerintah desa didukung Perkumpulan Kelola dan Mangrove For the Future (MFF). Selain itu, dalam satu tahun, sudah rehabilitasi mangrove di desa ini, salah satu penanaman Rhizopora 4.000 bibit di bagian utara hutan mangrove Desa Deaga. Di sini, mangrove mati alami karena banjir dan kencing kelelawar.

“Area yang ditanami sekitar satu hektar. Pemilihan jenis ini sesuai indikator biologis lokasi itu,” kata Yakob Botutihe, staf lapangan Perkumpulan Kelola. 

Perlu pemukiman

Hutan mangrove di Desa Deaga termasuk dalam Hutan lindung Kombot. Luasan hutan mencapai 800 hektar, melingkupi tiga kecamatan yaitu, Pinolosian, Pinolosian Tengah dan Pinolosian Timur.

Meski termasuk hutan lindung, warga Deaga perlu pemukiman karena wilayah mereka tidak mencukupi. Maxi Limbat, Kepala Dinas Kehutanan Bolsel, menyatakan, berusaha mengkomunikasikan keinginan ini kepada kementerian. “Kesempatan perubahan RTRW itu lima tahun, jadi kemungkinan tiga tahun kedepan sudah bisa kami ajukan.”

“Ada kemungkinan. Tergantung kebutuhan. Kalau memang vital, sudah tidak ada pilihan lain. Namun kementerian meminimalisir alih fungsi lahan.”

Kondisi hutan mangrove di Bolsel, relatif baik. Sebagian besar masyarakat peduli dengan mangrove berkat kerja sama antara pemerintah, LSM dan masyarakat.

“Hutan mangrove tidak cuma di Deaga, ada lebih 1.000 hektar di Bolsel. Apalagi, mangrove di Bolsel relatif baik dibanding daerah-daerah lain,” katanya. “Kita harus pertahankan agar kerusakan bisa ditekan. Pemerintah kabupaten akan buat perda mangrove agar perlindungan bukan cuma di desa tetapi di Bolsel.”

Ruslani Mokoginta, Sangadi (kepala desa) Deaga (berdiri) pada Lokakarya Perdes Mangrove. Foto: Themmy Doaly

Ruslani Mokoginta, Sangadi (kepala desa) Deaga (berdiri) pada Lokakarya Perdes Mangrove. Foto: Themmy Doaly

Peta Desa Deaga. Sumber: perkumpulan Kelola

Peta Desa Deaga. Sumber: perkumpulan Kelola

Lokasi hutan yang rusak karena banjir dan sedang direhabilitasi. Foto: Themmy Doaly

Lokasi hutan yang rusak karena banjir dan sedang direhabilitasi. Foto: Themmy Doaly


Keren! Desa Deaga Punya Aturan Lindungi Hutan Mangrove was first posted on June 2, 2015 at 4:31 am.

Wow! Mahasiswa Pecinta Alam Olah Limbah Plastik Jadi Bahan Bakar

$
0
0
Cairan yang menetes dari pipa. Ini adalah  hasil pengolahan  plastik  melalui proses pembakaran. Ia menghasilkan cairan yang bisa jadi bahan bakar ramah lingkungan. Foto:  Ayat S  Karokaro

Cairan yang menetes dari pipa. Ini adalah hasil pengolahan plastik melalui proses pembakaran. Ia menghasilkan cairan yang bisa jadi bahan bakar ramah lingkungan. Foto: Ayat S Karokaro

Kala sebagian orang masih tak memiliki kesadaran dan membuang sampah sembarangan,  kelompok mahasiswa pecinta alam di  Sumatera Utara ini, berpikir keras bagaimana sampah-sampah itu bermanfaat dan tak menjadi ‘penyakit’ bagi bumi. Mereka mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar! Wow…

Kekhawatiran mahasiswa ini berawal dari kenyataan,  limbah plastik di Sumut, makin meningkat setiap tahun. Data Badan Penelitian dan Pengembangan Sumut, 1.369,9 ton per hari atau 5.479,6 M3 sampah dibuang, tanpa ada batasan.  Dengan rincian 48,2% sampah organik, dan 51,8% anorgnaik. Jika dihitung, sampah mencapai 1-1,5 Kg per rumah tangga per hari.

Sekelompok mahasiswa dari UMA Medan, melakukan penelitian pada 2003. Hasilnya, plastik bisa menjadi bahan bakar. Cara ini cukup mengesankan, karena proses sangat mudah dan praktis. Mereka hanya memerlukan wadah tabung seperti ember besi ukuran sedang kedap udara, dan pipa 1×1,5 meter, serta kaleng ukuran sedang. Dengan alat sederhana ini, Mapala UMA Medan ini, berbuat.

Bagaimanakah caranya? Menurut Hasrul Karim, Divisi Pendidikan dan Latihan Mapala UMA, tong kedap udara dan hanya memiliki satu saluran penguapan, serta ada satu saluran lagi buat memasukkan plastik ditutup. Plastik di tong kedap udara dibakar.  Api harus stabil agar kualitas bagus.

Untuk mendapatkan 0,7 kg atau tujuh ons bahan bakar plastik ini, katanya, perlu satu kg limbah. Jadi, makin banyak limbah diolah, makin banyak BBM didapat.

Menurut dia, jika metode ini dipakai masyarakat untuk menekan limbah, untuk skala kecil sudah dapat diatasi. Begitu juga bagi perusahaan yang menggunakan plastik. Dia optimistis,  pencemaran lingkungan akibat limbah anorganik bisa ditekan.

“Ini tinggal masalah kemauan. Apakah perusahaan mau? Apakah pemerintah serius menjalankan peraturan soal lingkungan, dan membuat aturan terkait temuan ini atau tidak? Ada juga pertanyaan, apakah masyarakat juga mau menjalankan?” katanya seraya mengatakan, membuat alat ini tak lebih Rp100.000.

Dia mengatakan, kampanye menggunakan spanduk dan ajakan selama ini, tidak berpengaruh dan tak menggugah hati masyarakat, perusahaan, serta pemerintah. Jadi, dengan temuan ini, diharapkan semua pihak mau mencontoh, dan membuat di rumah-masing-masing.

Bahan sederhana mulai dari tong kedap udara dan pipa besi  ini menjadi wadah utama proses pengolahan limbah plastik jadi bahan bakar. Foto:  Ayat S Karokaro

Bahan sederhana mulai dari tong kedap udara dan pipa besi ini menjadi wadah utama proses pengolahan limbah plastik jadi bahan bakar. Foto: Ayat S Karokaro

“Ayo sama-sama kita buat alat sederhana ini, demi menjaga alam tetap sehat. Kami siap membantu cuma-cuma, jika ada yang mau buat. Yang penting kemauan harus ada.”

Menurut Hasrul, bahan bakar ini menyerupai minyak tanah dan mereka gunakan jika pergi mendaki gunung, atau ke tempat-tempat dengan lokasi jauh dari rumah penduduk.

Saat mendaki gunung dan kampanye pelestarian lingkungan, katanya, sepanjang perjalanan mereka mengumpulkan atau mengutip plastik yang dibuang sembarangan di jalan, bahkan di hutan. Ketika istirahat, limbah yang mereka kumpulkan sepanjang perjalanan, diolah. Setelah menghasilkan bahan bakar, digunakan menjadi penerangan menggunakan bamboo atau wadah yang tidak mudah tumpah. Bahan bakar ini, katanya,  juga untuk memasak makanan dan air.

“Jadi bisa buat obor dia. Kalau buat penerangan sangat cocok pakai ini. Kita gak perlu lagi sampai menguras perut bumi buat dapat minyak, karena jika dihitung-hitung, plastik ini sudah bisa diolah menggantikan bahan bakar, ” katanya.

Dzulmi Eldin, Walikota Medan, senang dengan temuan ini. “Selama ini belum ada pengolahan limbah plastik menjadi bahan bakar seperti adik-adik mahasiswa, melainkan diolah menjadi kerajinan tangan. Saya sangat mengapresiasi ini.”

Selama ini, katanya, sampah di Medan, dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Tuntungan.  Sebagian sampah anorganic diolah menjadi kerajinan tangan dan lain-lain.

Dia akan memanggil jajarannya untuk mengembangkan temuan mahasiswa pecinta alam UMA ini. “Saya akan membahas ini dengan serius. Ini membuat saya terkejut karena gak menyangka adik-adik mahasiswa mampu membuat suatu terobosan mengatasi masalah plastik. Ini harus di sosialisasikan. Saya ucapkan terimakasih pada adik-adik mahasiswa.”

Bahan bakar hasil pengolahan plastik ini  ditempatkan di Beaker Glass. Foto: Ayat S Karokaro

Bahan bakar hasil pengolahan plastik ini ditempatkan di Beaker Glass. Foto: Ayat S Karokaro

Kayu ini untuk memadatkan limbah yang dimasukkan ke tong kedap udara untuk proses mengambil cairan. Foto: Ayat S Karokaro

Kayu ini untuk memadatkan limbah yang dimasukkan ke tong kedap udara untuk proses mengambil cairan. Foto: Ayat S Karokaro

Inilah  alat sederhana berupa tong kedap udara  dan pipa  besi sebagai alat proses pengolahan limbah pelastik menjadi  bahan bakar. Foto: Ayat S Karokaro

Inilah alat sederhana berupa tong kedap udara dan pipa besi sebagai alat proses pengolahan limbah pelastik menjadi bahan bakar. Foto: Ayat S Karokaro


Wow! Mahasiswa Pecinta Alam Olah Limbah Plastik Jadi Bahan Bakar was first posted on June 2, 2015 at 6:47 pm.

APRIL Bikin (Lagi) Komitmen Hutan Berkelanjutan, Seperti Apa?

$
0
0

 

Kayu alam ditumpuk di wilayah konsesi PT RAPP di Ukui Pelalawan, Riau. Foto EoF

Produsen raksasa pulp dan paper, APRIL, Rabu (3/6/15) menyatakan komitmen sesi kedua, untuk menghilangkan deforestasi dalam rantai pasokan mereka dan menghargai hak-hak masyarakat. Komitmen serupa juga dilakukan induk perusahaan, Royal Golden Eagle (RGE) hingga berlaku bagi perusahaan pulp dan kertas dalam grup ini. Berbagai kalangan merespon positif langkah APRIL dan RGE, meskipun semua masih menanti implementasi di lapangan.

Pada Januari 2014, APRIL mengumumkan kebijakan manajemen hutan berkelanjutan dengan komitmen menyetop mengambil serat kayu dari hutan alam dalam 2020. Setelah itu, APRIL dan para pemasok masih banyak dilaporkan menebang di hutan alam dan berkonflik dengan masyarakat lokal. Kini, mereka membuat komitmen lagi.

Lewat kebijakan hutan berkelanjutan (sustainable forest management policy (SFMP) 2.0 ini, APRIL menyatakan, antara lain, sejak 15 Mei 2015 menghentikan penebangan pohon di hutan alam. Kayu alam yang dipanen sebelum 15 Mei 2015 digunakan dalam pabrik  sampai sebelum akhir Desember 2015. Mereka juga berkomitmen konservasi 1:1 pada hutan tanaman, dan tak akan pengembangan baru di lahan gambut atau hutan gambut.

Lalu, APRIL tak akan membangun pabrik bubur kertas atau unit produksi bubur kertas baru hingga mencapai kemandirian pemenuhan bahan baku dari HTI. Mulai 3 Juni 2015, mereka juga tak akan mengakuisi lahan baru atau meminta surat izin kementerian lain atau menerima kayu dari pihak ketiga di mana penjual diketahui membuka lahan dari high conservation value (HCV) dan high carbon stock (HCS) atau lahan gambut.

Praveen Singhavi, Presiden APRIL Group mengatakan, SFMP 2.0 ini merupakan kelanjutkan komitmen serupa yang dibuat pada Januari 2014. Komitmen ini, katanya, untuk menekan deforestasi dari rantai pemasok, sampai menambah pengukuran tak hanya HCV juga HCS.

“Hari ini, kami memperkuat komitmen berkelanjutan kami. Memastikan apapun pengembangan ke depan hanya di bukan lahan hutan,” katanya dalam launcing komitmen SFMP di Jakarta, Rabu (3/6/15).

Dengan komitmen ini, APRIL melakukan konservasi dengan pendekatan bentang alam. Perusahaan, katanya, akan meyediakan lahan konservasi seluas 480 ribu hektar dari hutan tanaman mereka. Sekitar 70% sudah selesai dikonservasi. Selain itu, perusahaan juga akan memperkuat pengelolaan lahan gambut dengan membangun satuan kerja ahli gambut. Mereka, kata Singhavi, akan mengamati dan melaporkan pelaksanaan di lapangan.

“Kami juga mengembangkan program mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menerapkan Free Prior, Informed Concent, kala membuka usaha. Kami akan aktif mendukung masyarakat lokal,” ujar dia.

Mereka, katanya, juga akan memperkuat kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, seperti WWF, Greenpeace, RAN, Forest People Programme (FPP), Greenomics dan lain-lain. “Kami akan mengambil masukan-masukan dari organisasi masyarakat sipil dan ahli mereka buat perbaikan kebijakan. Ini proses akan transparan penuh.”

Toni Wenas MD, APRIL Group Indonesia Operations, mengatakan, komitmen yang diumumkan ini, katanya,  pada dasarnya masa depan sektor kehutanan. “Bagaimana menyeimbangkan konservasi dan tanaman dan operasi bagi kepentingan masyarakat, negara dan perusahaan.”

Dia mengakui, dengan komitmen ini berkonsekuensi pada produksi perusahaan akan menurun, tetapi mereka melihat kepentingan masa depan. “Ya, dengan komitmen ini, ada moratorium lahan, otomatis turun. Tetapi itu tak masalah,” katanya. Dengan alasan strategi bisnis, Toni enggan menyebutkan perkiraan penurunan produksi dampak komitmen ini. Namun, katanya, penurunan bersifat sementara sampai kebun-kebun tanaman yang masih kecil siap produksi.

Toni mengatakan, korporasi harus mendengar keinginan pembeli agar produk lebih baik, premium dan kelola berkelanjutan. “Kami ekspor ke 75 negara dan akan berkembang ke 85 negara. Kami optimis pembeli yakin dengan yang kami lakukan.”

Dalam komitmen APRIL menyebutkan, kala lahan sedang penilaian HCV, HCS, perusahaan akan memoratorium lahan tetapi tidak pada konsesi-konsesi yang berkonflik dengan masyarakat. Meskipun, kata Toni, mereka menyadari, penyelesaian di lahan yang sudah berkonflik bukan masalah mudah. “Kami akan terus bahas bersama, melihatkan berbagai pihak di tingkat lokal untuk mencari bagaimana penyelesaiannya.”

Truk-truk yang diduga mengangkut kayu alam untuk PT RAPP di sektor Ukui, Tesso Nilo, Riau. Foto : Eyes on the Forest

Ida Bagus Putera, Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hadir kala itu mengatakan, keberlanjutan pasokan bahan baku efesien sangat menentukan keberlangsungan industri. Namun, katanya, hutan tak hanya bahan baku, ia berfungsi ganda, baik ekonomi, sosial, lingkungan bahkan politis.  “Jadi prinsip paling dasar dalam pengelolaan hutan harus memelihara keseimbangan. Industri pulp yang ingin bangun harus bertanggung jawab lingkungan dan sosial,” katanya.

Kedua prinsip ini, ucap Ida Bagus, tegas disebutkan dalam strategi pembangunan lima tahun ke depan. “Bahwa, aktivitas pembangunan tak boleh ganggu keseimbangan ekosistem dan ganggu lingkungan. Strategi pembangunan, tegaskan produktivitas jangan ciptakan ketimpangan makin lebar.”

Jadi, katanya,  salah satu implementasi menuju ke sana, dengan upaya-upaya ‘hijau.’ “Industri green apabila sumber green, proses green, energi green dan penanganan limbah green. Bahan baku green yang dari hutan tanaman, hutan yang memang ditanam bukan dari hutan alam.”

Menurut dia, pemerintah menyambut baik komitmen APRIL menjadi perusahaan yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial. Namun, dia menegaskan, komitmen ini harus berjalan di lapangan agar tak  hanya menjadi kegiatan lipstik yang tak bermakna.

Joe Lawson, Ketua Stakeholders Advisory Group (SAC) mengatakan, komitmen ini merupakan kemajuan penting. Namun, yang menjadi tantangan ke depan, memastikan kebijakan ini benar-benar serius dan berjalan di lapangan. WWF dan Greenpeace, masuk dalam tim SAC ini.

Aditya Bayunanda, Koordinator Jaringan Hutan WWF Indonesia, menyatakan serupa. Dia menyambut baik langkah baru APRIL tetapi mengingatkan, implementasi akan penuh tantangan. WWF, katanya, akan terus memonitor komitmen ini.

“Bagian paling sulit implementasi. Orang bisa bikin komitmen,  itu cuma kata-kata, tetapi terpenting bagaimana menjalankan itu di lapangan.”

Dalam keterangan tertulis WWF,  Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, penguatan SFMP APRIL merupakan tanggapan atas tuntutan menghentikan deforestasi yang disuarakan kelompok masyarakat sipil sejak lama.  “WWF berharap APRIL dapat mengimplementasikan komitmen ini menyeluruh mengingat potensi dampak positif bagi lingkungan hidup dan sosial,” katanya.

Sebagai bagian SAC, WWF akan bekerjasama dengan anggota lain yang terdiri dari para pakar dan kelompok masyarakat sipil, mendukung dan memberi masukan kepada APRIL untuk memenuhi komitmen dan menjalani transisi menjadi produsen lebih bertanggung jawab.

WWF juga mendorong APRIL menambah perwakilan kelompok masyarakat sipil di dalam keanggotaan SAC dan melakukan kajian independen terhadap kemajuan  implementasi SFMP 2.0. WWF meminta APRIL agar selalu memberikan respon dan tindak lanjut atas semua rekomendasi dan masukan SAC serta pemangku kepentingan kunci lain secara jelas dan transparan.

Meskipun begitu, WWF masih menanggapi hati-hati implementasi penuh dan ketat dari komitmen APRIL ini. “WWF akan terus memantau  kemajuan implementasi SFMP 2.0 bersama pemangku kepentingan lain seperti dengan koalisi LSM, Eyes on the Forest,” kata Efransjah.

Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace di Indonesia, juga hadir kala itu mengapresiasi langkah APRIL.  Terlebih, katanya, komitmen itu tak hanya APRIL juga induk perusahaan, RGE.

RGE mengumumkan kebijakan serupa akan dijalankan oleh semua perusahaan pulp and paper dalam grup mereka. “Kami senang melihat komitmen APRIL, tetapi kami akan mengawasi dari dekat bahwa ini akan berjalan di lapangan,” kata Bustar.

Dia mengingatkan, pentingnya memperhatikan isu-isu sosial di Indonesia. “Mengakui masyarakat adat atau lokal itu sangat penting. Organisasi kami menyambut baik. Kami menanti implementasi di lapangan.”

Rainforest Action Network (RAN) juga menanggapi komitmen ini. Lafcadio Cortesi, Asia Director RAN, mengatakan, komitmen kebijakan jelas dan kuat didukung oleh transparansi, terikat waktu pelaksanaan peta jalan, tindakan tegas dan pemantauan independen serta verifikasi lapangan.  “Baru itu akan menandai kontribusi signifikan terhadap konservasi hutan hujan dan menghormati hak-hak masyarakat lokal di Indonesia,” katanya.

Untuk itu, RAN mendesak pelanggan dan investor dalam menilai hubungan bisnis mereka dengan APRIL berdasarkan hasil  dan diverifikasi independen di lapangan. “Kebijakan di atas kertas harus diterjemahkan pada tindakan nyata dan peningkatan hasil bagi masyarakat dan hutan di lapangan.”

Hal penting lagi, kata Cortesi, untuk mendapatkan kemajuan APRIL harus mengatasi masalah-masalah konflik lahan, deforestasi yang menyebabkan habitat spesies langka kritis dan konversi lahan gambut.

“Kami akan mengawasi APRIL untuk melihat apakah perusahaan bisa mengubah budaya dan menunjukkan transparansi termasuk pemantauan independen dan verifikasi kinerja pada isu-isu kunci,” katanya dalam keterangan tertulis.

Hutan gambut yang terbakar di konsesi PT PT Sumatra Riang Lestari di Riau. PT SRL adalah pemasok APRIL. Temuan Mei 2014, setelah komitmen Januari 2014. © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Tunggu dulu 

Sedangkan Jikalahari mengingatkan publik dan konsumen APRIL di seluruh dunia, bahwa SMFP 2.0 merupakan  revisi yang masih jauh dari penyelamatan hutan gambut yang telah dirusak RAPP dan para pemasok. “Ini  tidak  menunjukkan keinginan kuat menyelesaikan konflik berbasis tuntutan masyarakat. Kami meragukan APRIL berhenti menebang hutan alam gambut terutama di Pulau Padang,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari dalam keterangan tertulis.

Pengalaman dari penerapan SFMP 1.0 tahun lalu, katanya, masih banyak pelanggaran oleh APRIL dan para pemasok. Jadi, meskipun berhenti menebang hutan alam dan hutan gambut per 15 Mei 2015, temuan Jikalakari sebelum itu, APRIL telah menebang hutan alam dan membangun kanal baru di Pulau Padang, Kepulauan Meranti, Riau.

“Hutan gambut dirusak massif  jelang 15 Mei 2015. Artinya, APRIL kembali menegaskan  ketidaksiapan untuk berkomitmen.”

Jikalahari menilai,  dengan menunjuk peat expert working group untuk pengelolaan gambut, memperlihatkan kelambanan APRIL dalam melindungi gambut dan ketidakpercayaan terhadap regulasi di Indonesia. “Ini kontra produktif dengan komitmen APRIL terhadap pemenuhan aspek legal. Beranikah APRIL merestorasi gambut yang telah dirusak untuk penanaman akasia?” kata Woro.

Tak hanya itu. Jikalahari menilai, SMFP 2.0, tidak mengacu pada Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN-PSDA) KPK.  Dalam GN-PSDA itu,  dunia usaha harus menyediakan dan melaporkan informasi dan data terkait kegiatan usaha serta pemenuhan kewajiban. SMFP 2 ini, katanya,  belum memasukkan transparansi informasi terkait hasil studi HCV, Amdal dan jumlah pemasok atau anak perusahaan APRIL di Indonesia.

Jika memang menghargai hak masyarakat lokal, katanya,  APRIL didesak segera menyelesaikan konflik dampak operasional mereka di Pulau Padang, dan wilayah lain di Riau. Juga segera mengalokasikan 20% konsesi mereka untuk masyarakat.

“Jikalahari akan terus menmatau implementasi kebijakan ini untuk memastikan hutan tersisa terselamatkan dan masyarakat tidak lagi menjadi korban praktik pengelolaan hutan buruk oleh industri.”

Sementara Greenomics Indonesia menyatakan, sebelum ini, dalam pengembangan hutan tanaman APRIL menggunakan pendekatan mozaik, tetapi kini pakai pendekatan lanskap. Greenomics khawatir, itu menjadi jalan melegitimasi pembukaan daerah HCV didirikan secara hukum.  “Greenomics tegas menentang kebijakan keberlanjutan baru APRIL kecuali tak memasok bubur kertas dari area HCV legal secara hukum di konsesi maupun pemasok mereka,” kata Vanda Mutia Dewi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, dalam rilis kepada media.

Dia mengatakan, dalam kebijakan baru, APRIL dan pemasok tetap secara hukum akan mengubah rencana operasi mereka, termasuk merevisi daerah HCV. Dengan begitu, katanya, beberapa daerah HCV pada konsesi mereka bisa legal buat pulp.

Untuk itu,  Greenomics akan memantau pelaksanaan kebijakan APRIL ini. “Jika mereka jelas secara hukum menetapkan kawasan HCV sebanyak satu hektar, kami akan lihat. Greenomics juga akan memantau sejauh mana APRIL dan pemasok merevisi rencana operasi mereka.”

Hutan gambut yang terbakar di konsesi PT PT Sumatra Riang Lestari di Riau. Foto diambil Mei 2014. APRIL sejak Januari 2014 berkomitmen tak akan menebang di hutan bernilai konservasi tinggi. Kini, 3 Juni 2015, kembali APRIL mengumumkan komitmen hutan berkelanjutan. Berbagai pihak menanti implementasi di lapangan. © Ulet Ifansasti / Greenpeace


APRIL Bikin (Lagi) Komitmen Hutan Berkelanjutan, Seperti Apa? was first posted on June 4, 2015 at 12:04 am.

Kala Limbah Kaca jadi Karya Seni Istimewa

$
0
0
Hasil karya seni dari limbah kaca. Foto" Tommy Apriando

Hasil karya seni dari limbah kaca. Foto” Tommy Apriando

Ivan Bestari Mina Pradipta, nama lengkap pria berkulit sawo matang ini. Dia tampak fokus pada kedua tangan yang menyatukan batangan kaca pada semburan gas api. Dia sedang merangkai karya seni berbentuk daun dari batangan limbah kaca. Puluhan orang menyaksikan demo ini sehabis membuka pameran tunggal seni visual mengolah limbah kaca bertema “Pseudomorph Recycled Glass Flameworking” di Tirana House Artspace, Suryodiningratan, Yogyakarta, Senin (1/6/15).

Ivan, begitu sapaan akrabnya, mulai mendalami seni kaca daur ulang (recycled glass) sejak 2011 dengan belajar kepada perajin kaca tiup di Yogyakarta. Dia lalu mengembangkan lagi dari berbagai referensi  di internet maupun perajin kaca lain.

Pada 2011, dia mendirikan komunitas Otakatik Creative Workshop, ruang untuk berbagai eksplorasi desain dan ekspresi seni, juga eksperimentasi metode pangolahan material lokal maupun limbah. “Banyak limbah kaca di sekitar kita bisa jadi karya seni dan bernilai guna,” katanya.

Untuk menghasilkan berbagai karya dia menggunakan 100% limbah kaca. Berbagai limbah dari produk kaca bisa ditemui seperti kaca patri, cermin, botol, dan lain-lain. Semua bisa menjadi kerajinan tangan unik dan perhiasan yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Indahnya karya seni dari kaca. Foto: Tommy Apriando

Indahnya karya seni dari kaca. Foto: Tommy Apriando

Menurut dia, ada dua pembagian teknik kaca. Teknik hot working (pengolahan kaca menggunakan api) dan cold working (pembuatan kaca tanpa menggunakan api), contoh kaca patri.

“Saya menggunakan flame working. Kaca dibentuk langsung menggunakan api dengan suhu 800-1.200 derajat untuk melunakkan.”

Kaca, katanya, meski dapat dibentuk menjadi kerajinan kaca mewah terutama untuk interior rumah, tetapi memiliki beberapa kelemahan. “Pembawaan dasar sifat kaca rentan perubahan suhu. Ini menjadi kendala pengerjaan kaca. Jika ada perubahan suhu drastis dari panas menjadi dingin, kaca akan langsung pecah.”

Dengan gitu, pengerjaan kerajinan kaca memerlukan waktu berbeda tergantung ukuran. Dalam pengerjaan ini, Ivan membutuhkan waktu antara lima menit hingga 20 jam.

Dalam pameran kali ini, dia membuat aksesoris dan art work salah satu berbetuk serangga.

Belum dikenal luas

Kerabat Ivan, Yohanes Sigit, sesama pengelola otak-atik kreatif biasa memberi workshop tentang glass art mengatakan,  kerajinan kaca belum dikenal luas di Indonesia. Padahal, di beberapa negara, seperti Amerika, glass art menjadi kerajinan tangan memiliki nilai jual tinge.

Ivan Bestari Mina Pradipta, perajin limbah kaca. Foto: Tommy Apriando

Ivan Bestari Mina Pradipta, perajin limbah kaca. Foto: Tommy Apriando

“Masyarakat menganggap limbah kaca tidak dapat diolah. Sebab itulah kami mempopulerkan limbah kaca dan mengembangkan produksi kerajinan ini,” katanya.

Dalam tulisan Nunuk Ambarwati berjudul “Berkaca lewat Kaca” disampaikan, sejarah seni kaca di Indonesia sangat jarang. Dia menduga, mungkin karena Indonesia lebih banyak mengolah batu (candi) dan tanah liat.

Seniman kaca lebih banyak sebagai media melukis (dua dimensi). Perkembangan di Indonesia masih banyak berkisar pada seni lukis kaca dengan motif cerita wayang, masjid, gereja, kaligrafi dan cerita legenda.

Seniman lukis kaca senior saat ini bisa dihitung jari seperti Rastika di Cirebon, Maryono di Muntilan, Waget di Magelang dan Sulasno di Yogyakarta. Rina Kurniyati dikenal sebagai seniman lukis kaca perempuan yang mengembangkan seni lukis kaca lebih kontemporer.

Ada juga asesoris, manik-manik kaca seperti yang ditekuni perajin kaca asal Jombang. Para perajin kaca Jombang ini sudah menjadi sentra industri tersendiri, tepatnya di Desa Plumbon, Kecamatan Gudo.

“Karya Ivan sangat menarik karena terbuat 100% dari limbah kaca. Masih jarang masyarakat mengoptimalkan pemanfaatkan limbah kaca ini,” kata Nunuk.

Karya indah dari limbah kaca. Foto: Tommy Apriando

Karya indah dari limbah kaca. Foto: Tommy Apriando


Kala Limbah Kaca jadi Karya Seni Istimewa was first posted on June 4, 2015 at 1:17 am.

Soal Satgas Masyarakat Adat, Abdon: Jangan Cuma Janji Melulu

$
0
0

Warga Suku Anak Dalam, Jambi, yang menginap di Komnas HAM, di Jakarta, pada Desember 2013. Mereka menuntut BPN mencabut HGU PT Asiatic Persada, yang telah menguasai lahan mereka. Akhir tahun 2014, mereka aksi serupa di Komnas HAM menuntut hak-hak mereka yang terampas perusahaan. Foto: Sapariah Saturi

Pemerintahan baru, sudah berkomitmen membentuk satuan tugas (satgas) masyarakat adat. Namun, hampir sembilan bulan era Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, belum juga ada kejelasan kapan satgas bakal terbentuk. Sementara di lapangan, konflik-konflik lahan dan sumber daya alam yang menyebabkan kriminalisasi dan perampasan wilayah-wilayah adat terus terjadi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan, agar pemerintah jangan hanya berjanji terus. Komnas HAM juga menyatakan, urgensi pembentukan satgas ini.

“Jangan cuma janji melulu. Udah gak laku janji-janji. Kita sebenarnya berkomitmen menbantu. Ini menawarkan satgas karena kita tahu ada orang-orang yang bisa masuk disitu dan mau mengerjakan. Memang ingin membantu supaya Nawacita jalan,” kata Abdon Nababan, Sekjen AMAN usai diskusi soal Satgas Masyarakat Adat di Jakarta, Kamis (4/6/15).

Sejak awal tahun, katanya,  pembahasan satgas ini sudah dilakukan. “Awalnya, katanya Maret atau April, supaya tak ada ruang terlalu besar dengan anggaran. Karena kalau terbentuk cepat-cepat gak ada duit. Sekarang Maret-April sudah lewat, masih belum juga,” ujar dia.

Dia menagatakan, usulan draf satgas ini ada tiga, dari AMAN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta BP REDD+ (sebelum bubar).  Draf ini, kata  Abdon, secara subtansi tak jauh beda, hanya  dua usulan selain AMAN lebih birokratis.

Draf usulan AMAN, katanya, Presiden langsung supaya bisa memerintahkan ke kementerian-kementerian. “Jangan keluar  masuk menteri lagi. Kan metode itu sudah gagal di era SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) lalu. Bikin satgas tapi seluruh kementerian ada di situ, ketua Presiden. Gagal.”

Orang-orang yang duduk di satgas itupun, kata Abdon, hendaknya, dari luar birokrasi yang selama ini sudah bekerja minimal memikirkan masalah  ini cukup lama.  “Jadi, kala masuk ke kantor Presiden dia mengerti kebijakan apa. Tak harus baca buku dulu. AMAN tak mau lagi pejabat-pejabat yang tak penting. Jadi memang satgas orang kerja. Non PNS, tetapi akademisi atau praktisi,” ujar dia.

Dari tiga draf itu, katanya, dilakukan sinkronisasi terlebih dahulu. Namun, sampai saat ini Abdon belum tahu isi draf terakhir.  Andi Widjayanto, Menteri Sekretaris Kabinet, kata Abdon, meminta AMAN bertemu Jokowi terlebih dahulu.

“Kapan? Ya atur jadwalnya. Kita sudah mau ketemu. Kita sudah kirimkan penjelasan-penjelasan ke Presiden. Sudah beberapa bulan lalu. Kan mereka yang atur. Bukan AMAN?  Kita tanpa ketemu Presiden keppres keluar, sudah bagus. Tetapi kalau ketemu Presiden, dulu, atur sudah.”

AMAN mendesak,  kejelasan satgas ini karena sudah sangat urgen. Di lapangan,  hingga kini, kriminalisasi masyarakat adat terus terjadi kala mereka berupaya mempertahankan wilayah atau hutan adat.  “Ini bukan hanya kasus. Ini soal masa depan republik. Kita mau mengatakan, ini skala masalah gak ecek-ecek.”

AMAN dan beberapa organisasi masyarakat sipil, katanya, belum lama ini bertemu dengan jajaran sekretaris kabinet. “Mereka bilang sedang disiapkan dan segera dipertemukan dengan Presiden. Kalau bisa Presiden mau mengumumkan 9 Agustus, pada Hari Masyarakat Adat. Tapi  itu kan katanya….,” ucap Abdon.

Sandra Moniaga, Komisioner Komnas HAM, pada kesempatan itu memaparkan berbagai kasus konflik dan kriminalisasi yang menimpa masyarakat adat. Dia menceritakan, soal temuan-temuan dalam proses Inkuiri Nasional Komnas HAM, terhadap 40 kasus pelanggaran HAM yang menimpa masyakarat adat di kawasan hutan di berbagai pulau.

Hasil Inkuiri Nasional, yang memperlihatkan terjadi berbagai pelanggaran HAM dari hak sipil, sosial, sampai hak ekonomi dan budaya.

Komnas HAM, katanya, merekomendasikan beberapa hal, yakni, pembaruan peraturan perundang-undangan, pembaruan kebijakan, remedi dan kelembagaan.

Dengan hasil inkuiri ini, makin terlihat betapa urgen pembentukan Satgas Masyarakat Adat ini. Dalam, rincian rekomendasi Komnas HAM, poin kelembagaan,  menyebutkan Presiden perlu segera membentuk lembaga independen yang diberikan mandat khusus buat menangani berbagai soal terkait masyarakat adat. Kerja satgas, kata Sandra, hanya sementara, sekitar satu atau dua tahu. Ia sebagai mandat membangun pondasi kerja.

“Satgas ini diberi mandat khusus Presiden buat siapkan kebiijakan yang mengurus pemenuhan hak masyarakat adat, mempercepat RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dan lain-lain,” katanya.

Kriminalisasi, katanya,  tak akan terjadi jika masyarakat adat diakui, dihormati dan dipenuhi. Jadi, katanya, kriminalisasi  harus dihentikan. “Satgas penting karena tupoksi pengurusan masyarakat adat tersebar. Dari Kementerian Sosial, KLHK, Kemendgri, dan laina-lain. Ada sekitar 14 kementerian, belum lagi pihak lain seperti TNI, Polri.”

Menurut dia, apa yang terjadi dan menimpa masyarakat adat saat ini sebenarnya masih warisan rezim otoriter. “Kalau ini dibiarkan berarti membiarkan pola kerja otoriter tetap berlangsung.” Padahal, katanya, apa yang ditawarkan Nawacita, AMAN dan Komnas HAM, merupakan pendekatan hak (right base).

Wimar Witoelar, Pendiri Yayasan Perspektif Baru, mengatakan, satgas ini titik masuk pertama untuk melakukan upaya pengakuan hak-hak masyarakat adat. “Mari ajak Presiden, desak agar satgas dibentuk sesuai konsep.”

 


Soal Satgas Masyarakat Adat, Abdon: Jangan Cuma Janji Melulu was first posted on June 4, 2015 at 10:19 pm.

Teriakan Warga Batang Meminta Presiden Selamatkan Lahan Tani dan Laut Mereka

$
0
0
Aksi teatrikal warga Batang,  meminta Presiden agar menyelamatkan lahan pertanian dan laut mereka. Foto: Indra Nugraha

Aksi teatrikal warga Batang, meminta Presiden agar menyelamatkan lahan pertanian dan laut mereka. Foto: Indra Nugraha

Tiga perempuan muda mengenakan kain samping dan caping. Menari. Berputar mengelilingi ratusan caping dan cangkul yang tergeletak. Sesekali senyum tersungging, menggambarkan keceriaan warga saat bertani di sawah. 

Tak berapa lama, empat lelaki bertubuh hitam lekam datang. Suasana menjadi kacau. Keempat lelaki itu menjelma bak setan. Menabur serbuk arang yang melambangkan batubara. Tiga perempuan ketakutan. Empat lelaki itu menjelma menjadi proyek PLTU yang akan membumihanguskan lahan pertanian warga. 

Itulah aksi teaterikal warga Batang, Jawa Tengah, di depan Istana Presiden Jakarta, Rabu (3/6/15). Puluhan warga ini datang ke Ibukota, menyampaikan aspirasi mereka. Ini aksi ke-29. Namun hingga kini, aspirasi mereka tak jua dipenuhi. Pembangunan PLTU jalan terus.

Sebelum itu, beberapa orang silih bergantian beorasi.

“Tolak PLTU!” Teriak seorang peserta.

“Tolaaakkk!!! Hidup warga Batang!” Pekik warga lain bersamaan.

Mereka baru tiba di Jakarta setelah menempuh perjalanan dari Batang. Mereka menginap di Masjid Istiqlal. Tak jauh dari Istana Presiden, Joko Widodo. Mereka kelelahan, tetapi rasa itu kalah oleh semangat menggelora demi menyelamatkan sawah dan laut mereka.

“Betapa pedihnya warga kami yang dianiaya dan diintimidasi. Sampai sekarang TNI masih menduduki tanah yang semestinya punya warga.  Tanah ditanggul hingga air tak bisa masuk ke sawah kami,” kata Karomat, warga yang ikut aksi.

Saat pilpres, warga di lima desa terdampak PLTU adalah pengusung Joko Widodo. Mereka dari Desa Karanggeneng, Ujungnegoro, Wonokerso, Ponowareng dan Roban. Saat kampanye, mereka terkesan dengan Nawacita yang digadang-gadang sang Presiden. Sebab dia memuat soal kedaulatan pangan dan energi. Tak heran, jika mereka datang menagih janji Nawacita. Pembangunan PLTU dianggap berlawanan dengan semangat Nawacita.

“Lahan pertanian warga kami produktif. Laut juga punya fungsi konservasi yang harus dilindungi oleh UU. Selamatkanlah lahan produktif dan lautan kami. UU bukan hanya untuk pejabat yang besar. Kami juga butuh perlindungan. Kami minta pertolongan.”

Hukum di Indonesia, katanya, menempatkan semua manusia pada posisi sama. Warga Batang juga minta dilindungi. “Kami tasyakuran ketika Bapak Jokowi jadi Presiden . Kami adalah warga yang dukung Pak Jokowi jadi Presiden,” katanya.

Aksi ini mengandaikan, PTLU berjalan maka petani-petani akan mati, sumber kehidupan mereka akan hilang. Foto: Indra Nugraha

Aksi ini mengandaikan, PTLU berjalan maka petani-petani akan mati, sumber kehidupan mereka akan hilang. Foto: Indra Nugraha

Hampir empat tahun mereka berjuang mempertahankan lahan dan menolak pembangunan PLTU. Mereka sudah audiensi dengan Kementerian Perekonomian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komnas HAM, hingga langsung ke Jepang untuk menemui pihak J-Power dan Itochu sebagai pemenang tender. Mereka juga menemui Japan Bank for International Cooperation), pendana proyek Rp30 triliun ini.

Muripah, warga Batang lain mengatakan, petani tak bisa lagi menanam padi. “Masyarakat Batang dan sekitar resah dan tersisih. Lahan tani rusak dan laut yang awalnya banyak hasilkan ikan, sekarang tak lagi.”

Dia mengatakan, lahan pertanian di Batang subur. Irigasi sudah baik. Di lahan 226 hektar proyek PLTU, warga menanam melati. Proyek ini juga akan merusak wilayah konservasi laut Ujungnegoro-Roban, kawasan kaya terumbu karang dan wilayah tangkap ikan paling banyak di Pantai Utara Jawa.

“Tolong dong pak. Bela kami warga kecil. Kami hanya mengandalkan penghidupan dari sawah dan laut. Mengapa dikorbankan?”

Senada dengan Roidi. Menurut dia, tak semua warga Batang datang ke Jakarta karena sebagian besar keterbatasan ekonomi. “Dengan PLTU, mengapa warga dipaksa jual tanah? Tanah diurug dan ditanggul.  Tanah warga ambil.”

Roidi mengatakan, ada tim terpadu di sana, antara lain diisi TNI dan Polri. Keadaan ini membuat warga ketakutan karena ada intimidasi.

“Warga yang sebagian besar janda ditakut-takuti kalau tak dijual,  tanah akan diurug dan uang diambil di pengadilan. Bahkan saya sampai dipenjara tujuh bulan. Saya tak melakukan apa-apa. Hari ini lahan milik saya dikelilibgi tanggul yang tinggi dua meter. Sawah saya tak bisa ditanami. Saya mohon Presiden mendengarkan.”

Dia mengatakan, warga Batang menginginkan wilayah tetap lahan pertanian. Ini untuk mendukung visi misi Presiden dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Hingga kini, di lokasi aparat TNI dan polri berjaga mengawal proses pembebasan lahan. Warga menginginkan mereka ditarik dari lokasi karena membuat tak nyaman. Warga merasa makin terintimidasi.

“PLTU Batang ini salah satu contoh proyek yang dapat mengancam kedaulatan pangan, budaya pertanian Indonesia dan mempercepat laju perubahan iklim global,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto.

Proyek ini, katanya, juga mengancam mata pencaharian puluhan ribu masyarakat petani dan nelayan perikanan tangkap. “Untuk menyediakan listrik bagi masyarakat Indonesia, seharusnya pemerintah tidak membahayakan masyarakat. Solusinya, energi terbarukan bersih dan berkelanjutan.”

Arif mengatakan, kedaulatan energi di Indonesia tak mungkin dicapai jika pemerintah mengandalkan bahan bakar fosil seperti batubara. Pemerintah,  sudah seharusnya mengarusutamakan energi berkelanjutan.

“Pembangunan PLTU bertentangan dengan visi Presiden Jokowi dalam Nawacita, yaitu kedaulatan pangan dan energi. Sudah saatnya Presiden memimpin revolusi energi dengan memilih sumber energi terbarukan jauh lebih aman, hijau dan terbarukan. Bukan batubara yang berkontribusi terbesar perubahan iklim dan penyebab polusi udara mematikan di dunia.”

Aksi ini menggambarkan kehidupan petani Batang yang tenang, dengan hasil tanaman subur, berubah menyeramkan dengan kehadiran sosok hitam batubara, lewat PLTU Batang. Foto: Indra Nugraha

Aksi ini menggambarkan kehidupan petani Batang yang tenang, dengan hasil tanaman subur, berubah menyeramkan dengan kehadiran sosok hitam batubara, lewat PLTU Batang. Foto: Indra Nugraha

Warga mendesak, pemerintah menghentikan proyek yang mengancam kehidupan warga petani dan nelayan Batang. Foto: Indra Nugraha

Warga mendesak, pemerintah menghentikan proyek yang mengancam kehidupan warga petani dan nelayan Batang. Foto: Indra Nugraha


Teriakan Warga Batang Meminta Presiden Selamatkan Lahan Tani dan Laut Mereka was first posted on June 4, 2015 at 11:12 pm.

Beban Berat Alam Kala Pembangunan Masih Rakus Lahan

$
0
0

Tampak anak-anak Kampung Selil,  Distrik Ulil, Merauke, bermain di areal HGU PT Bio Inti Agrindo. Lahan mereka telah di kelilingi dan menjadi kebun sawit. Foto: Petrus Kindem/WWFTampak anak-anak Kampung Selil, Distrik Ulil, Merauke, bermain di areal HGU PT Bio Inti Agrindo. Lahan mereka telah di kelilingi dan menjadi kebun sawit. Foto: Petrus Kindem/WWF

Pemerintah saat ini, masih saja mengandalkan pembukaan lahan skala besar, dengan berbagai alasan. Kali ini, salah satu argumen sebagai lumbung pangan dengan pelaku, tak jauh beda, para pemilik modal. Alam negeri masih akan menerima beban berat yang berujung ancaman bagi manusia…

Hutan itu lebat. Air sungai jernih. Sagupun tumbuh subur sebagai pangan pokok warga di sana. Itu dulu. Kala perusahaan datang, hutan ditebangi, air-air tercemar. Ikan mati, satwa buruan sulit. Sagupun tak sebanyak dulu. Kehidupan warga berubah. Mereka tak bisa lagi hidup bergantung hutan.  Kondisi ini menimpa warga Kampung Zanegi, Distrik Hanimah, Kabupaten Merauke, sejak beberapa tahun lalu.

Pada 2007-2013, perusahaan masuk, membuka hutan dan mengganti dengan tanaman akasia di Kampung Zanegi. Ini bagian program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang membuka lahan hutan skala besar, lebih sejuta hektar. Ia  memporakporandakan alam Merauke.

Di Merauke, ada izin sekitar 80-an perusahaan skala besar, baik nasional maupun internasional . Tak kurang,  18 perusahaan aktif beroperasi menguasai jutaan hektar lahan  untuk pengembangan dari sawit, tebu sampai hutan tanaman, salah satu di Kampung Zanegi.

Vitalis Gepse, warga Kampung Zanegi, menceritakan, PT. Selaras Inti Semesta (SIS), anak usaha Medco Group, masuk ke kampung mereka. “Pada 2008, sosialisasi, 2009, masuk. Terus beraktivitas 2010-2011,” katanya di Jakarta, belum lama ini.

Sebelum itu, warga hidup bergantung alam. Mereka mencari ikan di sungai, daging buruan di hutan dan pangan dari hutan sagu.“Hasil alam gampang kita dapat, ikan, makanan pokok kami sagu, masih melimpah.”

Seiring hutan ditebang, perubahanpun terjadi. Mulai 2012, warga kampung laki-laki muda dan orangtua bekerja di perusahaan. Tak ada pilihan.

“Itu yang tinggal di kampung orangtua sampai ibu-ibu. Khusus laki-laki, dari bapak-bapak sampai anak muda tamatan SMP dan SMA di perusahaan. Kami tak bisa ambil hasil alam lagi,” ujar dia.

Dampak alam rusak makin terasa pada 2012-2013. Kala itu, anak-anak mulai kurang gizi, air bersih sulit karena sungai tercemar. Anak Vitalis, salah satu yang menderita kekurangan gizi. “Kami sudah sulit. Dulu dapat daging, ikan gampang. Ikan-ikan mati. Daging buruan susah karena hutan hilang. Sagu sudah tak hidup lagi. Walau ada tepung tapi kebanyakan tepung sudah kurang,” katanya.

Sebelum hutan hilang, per hari biasa warga bisa menghasilkan satu atau dua karung sagu. “Setelah itu sudah setengah karung.”

Pada 2013, satu per satu karyawan keluar dari perusahaan karena pendapatan tak mencukupi keperluan hidup. Mereka kembali ke kampung.  Perusahaan mulai bekerja sendiri menanam akasia. Wargapun sebagian berupaya bercocok tanam di lahan yang tersisa. Sebagian, mencari ikan, sagu dan berburu.

Bersamaan dengan itu, hubungan masyarakat dan perusahaan makin renggang. Perusahaan tak bisa kerja sama dengan pimpinan kampung dan pemilik hak ulayat.

“Ketua-ketua marga buat kesepakatan dengan tokoh adat lalu ajukan ke pimpinan perusahaan membawa suara masyarakat mau hentikan perusahaan agar tak beraktivitas lagi. Kami minta perusahaan tutup.”

Akhirnya, perusahaan hengkang. Karyawan di luar Zanegi, kembali ke daerah masing-masing. Sebagian lahan sudah tanam, sebagian belum. Saat ini, akasia mulai tinggi, diameter delapan sampai sembilan sentimeter. Ikan-ikan tampak mulai ada di sungai. Warga senang, berharap kehidupan sebelum perusahaan datang, kembali. “Sejak tahun lalu kala musim banjir, ikan sudah muncul.”

Namun, kekhawatiran kembali menghantui warga Kampung Zanegi, kala kehadiran Presiden Joko Widodo, pada 10 Mei 2015, merencanakan Merauke menjadi “lumbung pangan nasional dan dunia.” Kala itu, Jokowi menghadiri panen raya padi 300 hektar di Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua. Itu sawah yang dikelola PT. Parama Pangan Papua, milik Arifin Panigoro.

Kala itu, Presiden menyatakan, secara geografis Merauke strategis berada di dataran rendah. Lahan Merauke lebih 4,6 juta hektar berpotensi jadi sawah. Jadi tahap awal pengembangan lahan pangan, sekuas 1,2 juta hektar.

“Masyarakat bingung. Di mana lagi mau jadi tanam padi itu? Sudah buka di Wapeko. Apakah mau buka di Kampung Zanegi? Kami berpikir, di sini sudah diukur Medco. Ini banyak tempat sakral. Jadi sawah sekian ribu hektar itu mau taruh di mana?” kata Vitalis.

Jika program sawah itu masuk ke Kampung Zanegi, mereka menduga, Medco akan mengubah izin dari hutan tanaman yang tersisa menjadi izin tanaman pangan.

Proyek pemerintah yang ingin menjadikan Merauke, lumbung padi nasional dan internasional. Pemerintah diminta mengkaji rencana proryek skala besar ini, jangan sampai merusak bentang alam dan mematikan pangan lokal, seperti sagu. Foto: Sapariah Saturi

Proyek pemerintah yang ingin menjadikan Merauke, lumbung padi nasional dan internasional. Pemerintah diminta mengkaji rencana proryek skala besar ini, jangan sampai merusak bentang alam dan mematikan pangan lokal, seperti sagu. Foto: Sapariah Saturi

Ya, keredupan proyek MIFEE, yang membuka lahan dan hutan jutaan hektar untuk perusahaan skala besar hingga menyebabkan masyarakat lokal (ulayat) tersingkir, tampaknya bakal bangkit kembali dengan baju agak berbeda. Lewat “konsep baru” yang katanya, pengelolaan lahan melibatkan masyarakat pemilik ulayat dengan sistem bagi hasil 30:70, 30% untuk pemilik lahan dan 70% perusahaan.

Pemerintah tampaknya belum ‘move on’ dengan masih memakai pola-pola lama dalam mengelola kawasan, pembangunan oleh perusahaan skala besar, masih jadi andalan. Merauke hanya salah satu contoh.

“Pemerintah sampai saat ini masih saja upaya tumbuhkan ekonomi lewat ekstraksi sumber daya alam skala besar, baik kebun, usaha kehutanan dan tambang,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional,  kala diskusi menyambut Hari Lingkungan Hidup Dunia di Jakarta, Jumat (5/6/15).

Walhi, katanya, terus mendesak bagaimana model-model pembangunan berubah. “Saat ini masih jauh dari harapan. SBY dengan proyek 1,2 juta hektar buat MIFEE. Ternyata pemerintah sekarang mau teruskan. Ini persolan serius.”

Pemerintah, katanya, seolah-olah amnesia dengan proyek-proyek besar ‘atas nama lumbung pangan’, misal, kegagalan proyek lahan gambut Kalimantan Tengah. “Sampai hari ini, pemerintah sibuk bagaimana pemulihan kawasan PLG Kalteng era Soeharto. Belum kegagalan-kegagalan lain.”

Walhi, ucap Abetnego,  tak sepakat dengan proyek-proyek seperti ini dan mendesak kaji ulang rencana pertanian pangan berbasis skala besar. “Ini akan ubah bentang alam. Di Merauke, dataran rendah  yang berfungsi penting bagi ekologi Papua.”

Dia merasa aneh dengan kerja-kerja pemerintah yang ribut membuka lahan baru dengan alasan menciptakan lumbung pangan dengan tak memberikan perlindungan kepada lahan pangan yang sudah ada. Belum lagi, istilah pangan yang seharusnya bukan hanya beras. Jangan sampai dengan alasan ‘lumbung pangan padi’ pangan lokal, seperti sagu malah musnah.

“Apa yang dilakukan pemerintah agar alih fungsi lahan pertanian bisa dikendalikan, lahan pertanian bisa dipertahankan? Indonesia, suka rusak yang ada dan bangun yang lain,” katanya.

Abetnego mencontohkan, yang saat ini terjadi di Pulau Jawa. Banyak lahan-lahan pertanian produktif warga dengan infrastruktur baik malah beralih fungsi menjadi perumahan, tambang sampai kebun.  “Rusak lahan pertanian di Jawa yang udah bagus infrastruktur, lalu cari lahan baru dan buka lahan lagi.”

Untuk itu, Walhi mendesak Menteri Pertanian menghentikan rencana ini. Terlebih, hingga kini, Kementerian Pertanian, belum ada evaluasi terhadap program lalu. “Selalu dicari jalan pintas. Pangan lokal malah dirusak.”

Contoh lain di Riau, sagu warga rusak oleh pembukaan kanal-kanal perusahaan. Begitu juga wilayah pesisir malah dialokasikan buat pertambangan, mulai pasir besi sampai nikel. “Pemerintah suka lompat-lompat dan suka hasil statistik. Pemerintah saat ini, salah-salah bisa sama dengan orde baru.”

Belum lagi, kegencaran pemerintah mengkampanyekan transmigrasi, dengan alokasi lahan membuka hutan baru.

Transmigrasi ini kebanyakan akan memindahkan warga di Jawa. Dia coba kilas balik kondisi di Jawa, yang banyak warga tak memiliki lahan. Mengapa? “Lahan-lahan di Jawa dikuasai perusahaan skala besar dan konflik tak selesai. Jawaban (pemerintah), malah mau orang transmigrasi. Pertanyaannya,  bagaimana proses sosial dan lingkungan?”

Di Jawa, katanya,  wilayah kelola warga sempit karena diberikan pada industri untuk, perkebunan, perumahan maupun usaha pertambangan, seperti Kulon Progo, lahan pertanian pesisir mau jadi lapangan udara, di Batu, warga sukses dengan holtikultura tetapi sumber mata air malah dibangun resort. “Problem Jawa itu banyak sekali. Harusnya ini jadi pekerjaan rumah pemerintah agar masyarakat  Jawa punya ruang hidup lebih baik.”

Untuk itu, dia mendesak pemerintah meninjau ulang program transmigrasi ini.  Sebab, isu-isu sensitif muncul, seperti di Kalbar, Kalteng dan Papua, yang mulai mengangkat isu RAS. “Pemerintah bisa menciptakan konflik horizontal.”

Belum lagi bicara soal energi yang masih mengandalkan fosil. Pemerintah, kata Abetnego, akan membangun pembangkit listrik 35.000 mega watt, sekitar 60% masih sumber batubara tanpa penjelasan skenario menuju energi terbarukan.

Masalah muncul kala pembangunan PLTU. Tak kalah parah masalah di kawasan pertambangan batubara. Masyarakat sekitar tambang, katanya,  miskin dan minim listrik. “Tak ada penjelasan pemerintah bagaimana mereka dipastikan dapat listrik. Pembangkit ini cuma untuk penuhi industrialiasi.” (bersambung)

Lahan persawahan warga Batang yang menolak PLTU mulai diuruk paksa. Foto: Greenpeace


Beban Berat Alam Kala Pembangunan Masih Rakus Lahan was first posted on June 5, 2015 at 3:27 pm.

Perusahaan Babat Hutan Gambut, Duka bagi Warga Pungkat

$
0
0
Puluhan warga Pungkat mendatangi areal PT SAL yang hutan alam ditebang, gambut dikeruk di Sungai Rawa, pada Mei 2015. Foto: Made Ali

Puluhan warga Pungkat mendatangi areal PT SAL yang hutan alam ditebang, gambut dikeruk di Sungai Rawa, pada Mei 2015. Foto: Made Ali

Kami menyusuri kanal buatan warga Pungkat, Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Ia digali menggunakan linggis pada 1970-an. Berukuran dua meter, kedalaman dua meter. Perahu kecil bergerak. Sesekali mati saat baling-baling tersangkut sesuatu. Kiri kanan tampak rumah kayu. Ada perahu sedang dibuat, hamparan pohon kelapa, pinang dan sebagian sawit.

Perjalanan lanjut menyusuri Sungai Rawa. Kiri kanan tegakan pohon alam tampak rapat. Pinggiran kanal penuhi bakung. Monyet-monyet berteriak. Melompat dari pohon satu ke pohon lain.

Setelah sejam lebih menikmati pemandangan hutan alam nan rawa gambut masih terjaga, tiba-tiba pemandangan berubah. Sebuah kanal baru dikeruk menggunakan alat berat. Alat-alat ini ada pinggiran kanal. Wilayah ini masuk konsesi PT Setia Agro Lestari (SAL).

Dalam surat perjanjian antara SAL dengan CV Andalan Makmur Sejati menyebutkan, pembuatan parit ukuran panjang tiga meter, lebar atas dua meter dan kedalaman dua meter.  Lalu, dalam parit galian tak boleh ada sisa-sisa tanggul kayu. Semua tunggul kayu di parit harus dipotong menggunakan chain saw dan dibongkar dengan eksavator. Pembuatan parit menggunakan eksavator. Dalam perjanjian ini tak menyebutkan, tanah galian itu adalah gambut.

Sekitar 100-an hektar lebih hutan alam gambut ditebang menggunakan eksavator. Sekitar lima pohon tersisa. Ada tiga alat berat parkir.

“Sejak parit dibuka perusahaan, Sungai Rawa air menjadi keruh. Air ini sumber mata air Desa Pungkat kalau musim kemarau. Sungai juga menjadi sumber mata air desa sekitar Pungkat,” kata Asmar Bin Abdurrahman, tokoh masyarakat Pungkat.

Untuk minum warga bergantung pada air hujan. Mandi dan mencuci pakaian mereka menggunakan air Sungai Gaung, yang berwarna kecoklatan.

“Ada mata air di Sungai Rawa namun dirusak SAL. Masyarakat tinggal air mata. Kami geram SAL tiba-tiba masuk ke Pungkat,” katanya, di sela diskusi bersama puluhan warga.

Sejak awal, kehadiran SAL ditolak warga Desa Pungkat, hingga berujung pembakaran alat berat perusahaan pada Juni 2014.

Alat berat terparkir saat rombongan wartawan mendatangi hutan  yang sudah ditebang. Foto: Made Ali

Alat berat terparkir saat rombongan wartawan mendatangi hutan yang sudah ditebang. Foto: Made Ali

Kehadiran perusahaan

Hamdailis, warga Pungkat, menceritakan, pengalaman mengerikan kala polisi ke kampung mereka.  “Saya ditendang Brimob malam hari waktu Brimob mendatangi desa kami mencari pelaku pembakaran. Saya dituduh membakar alat berat SAL. Saya tak menjawab,” kata pria yang baru bebas bersyarat ini.

Di PN Bengkalis, dia bersama 20 warga Pungkat lain dihukum enam bulan penjara, di Pengadilan Tinggi dihukum sembilan bulan.

”Cabut izin SAL agar kami sejahtera,” kata Masniar, warga lain.

Saya mendapatkan dokumen perizinan SAL, laporan kronologis warga Desa Pungkat, dan tuntutan JPU hingga BAP Keterangan Saksi.

Dari sana disebutkan, 30 Mei 2012, Sulaidy Direktur SAL mengajukan permohonan izin lokasi untuk perkebunan sawit seluas 20.000 hektar meliputi Desa Simpang Gaung, Belantaraya, Pungkat, Teluk Kabung, Lahang Hulu di Kecamatan Gaung kepada Kepala Badan Perizinan, Penanaman Modal dan Promosi Daerah (BP2MPD) Kabupaten Inhil.

Pada 2012, SAL sosialisasi di rumah Imran Awang Kepala Desa Pungkat dihadiri lima ketua RT dan perusahaan. Lalu, 23 Juli 2012 Imran menerbitkan surat tentang rekomendasi pembangunan lahan sawit SAL. Camat Gaung memberikan rekomendasi 30 Juli 2012. Kepala Dinas Kehutanan memberi pertimbangan tekhnis 31 Mei 2012. B2MPD mengurangi luasa SAL dari 20.000 hektar menjadi 17.059 hektar.

Yuspik Kepala B2MPD atas nama Bupati Inhil, pada 1 Agustus 2012,  menerbitkan pemberian izin lokasi perusahaan untuk perkebunan sawit di Kecamatan Gaung. SAL juga wajib mengajukan pelepasan kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan.

SAL mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan pada November 2012, tentang laporan identifikasi lahan areal SAL. Balasan Direktur Jenderal Planologi 17 Desember 2012, bahwa hasil telaahan SAL masuk PIPIB revisi III pada lahan gambut dengan fungsi HPK dan APL. Anehnya, hasil identifikasi tim Balai Besar dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian menyebut areal SAL merupakan tanah mineral berdasarkan klasifikasi menurut soil taxnomy. Faktanya, lahan itu gambut dalam!

SAL kembali sosialisasi dengan warga Pungkat pada 23 Mei 2013. Ratusan warga menolak. Namun, 13 November 2013,  BP2MPD Inhil menerbitkan izin usaha perkebunan perusahaan ini.

Imran Awang mengatakan, penduduk Pungkat 3.000-an tersebar di empat dusun dengan mayoritas mata pencarian sebagai pertukangan kapal. Kepala desa pun punya usaha galangan perkapalan. Ia ada persis di samping rumah.

Perusahaan pertemuan di Kantor Desa Pungkat dihadiri Camat Gaung, Danramil Gaung, Kapolsek Gaung, kepala desa dan warga, pada 14 April 2014. “Masyarakat tetap menolak SAL.”

Areal konsesi PT SAL

Areal konsesi PT SAL

Sepanjang April 2014, ratusan warga Pungkat mengadu ke bupati, DPRD dan Dandramil. Hasilnya, ketiga lembaga ini memenuhi tuntutan warga agar SAL menghentikan kegiatan sementara waktu.

Thomas Bin Ridwan Taufik,  Humas SAL Regional Inhil mengaku menerima surat Saripek,  Kepala Badan Perizinan Penanaman Modal dan Promosi Inhil pada 22 Mei 2014. Isinya,  mengimbau perusahaan menghentikan sementara kegiatan di Pungkat. “SAL belum aktivitas di Pungkat,” kata Thomas,  saat menjadi saksi untuk Efendi.

SAL, katanya, baru melakukan usaha di Desa Lahang Hulu dan Desa Belantaraya. “Artinya imbauan itu hanya untuk Desa Pungkat, tidak untuk desa lain dalam izin lokasi perusahaan.”

Namun, Asmar dan Zaki mengklaim bahwa Parit 9 dan 10—yang sudah ditebangi dan lokasi pembakaran alat berat perusahaan–masuk Desa Pungkat, bukan Desa Belantaraya.

Menurut Imran, parit 9 dan 10 masuk Desa Belantaraya berdasarkan SK Pengesahan 23 desa persiapan dalam Kabupaten Inhil yang diterbitkan Gubernur Riau 1998. “Tetapi tapal batas hingga kini belum ditetapkan.”

Susi Hartati staf Kepala Desa Pungkat, mengatakan, Parit Karnai (Parit 9 dan 10) masuk Pungkat. Memang, hingga kini batas antara Desa Belantaraya dan Pungkat belum ada penetapan tapal batas pemerintah.

Pada 6 Juni 2014, ratusan warga melihat SAL membabat hutan Desa Pungkat dan memasang patok merah pada perkebunan masyarakat. “Itulah membuat warga marah,” kata Zaki dan Asmar.

Bolak-balik warga Pungkat melarang SAL menebang hutan desa tetapi tak dihiraukan SAL. Pada 17 Juni 2014, sekitar 400 warga Pungkat menggunakan perahu kecil menyusuri sungai rawa mendatangi Parit 9 dan Parit 10,  lantas membakar sembilan eksavator, dua pondokan kayu dan satu mesin genset.

“Serangan” polisi

Enambelas Agustus 2014. Di parit tampak bekas tapak ban beko atau alat berat. Sekitar tiga hektar hutan ditebang SAL. Di Parit 10, ada empat alat berat bekas terbakar teronggok. Dua pondokan rumah hangus, rata dengan tanah, dan satu mesin las.

Sungai Gaung, menjadi urat nadi  ekonomi warga Pungkat. Foto:  Walhi  Riau

Sungai Gaung, menjadi urat nadi ekonomi warga Pungkat. Foto: Walhi Riau

Beberapa perempuan menceritakan, masa kelam kala penangkapan sanak keluarga mereka. “Kata polisi suami saya hanya dimintai keterangan, sampai saat ini belum balik ke rumah,” kata Kasmawati, honorer SD di Desa Pungkat.

Dia mengatakan, tiap malam sang anak bernama Fira, enam tahun, menanyakan bapaknya. “Setiap mau makan, tidur, dia tanya bapak. Saya tak mau anak saya tahu bapaknya di penjara. Karena Fira merasa orang yang dibawa polisi adalah penjahat. Saya tidak mau Fira menganggap bapaknya penjahat.” Kasmawati mengucurkan air mata.

“Kalau suami saya ditangkap. Saya juga mau ikut. Tak semangat lagi hidup tanpa suami. Biasa saya masak ada suami, lalu kami makan bersama dengan anak-anak,” kata Nursiah. Dia punya dua anak.

Mereka menjelaskan kronologi saat itu. Rabu (6/8/14), sekitar pukul 06.00, sekitar 200 polisi dari Polres Inhil memarkir speedboat di Desa Pungkat. Bersenjata laras panjang, memakai helm, pentungan dan perisai, polisi itu menapak kaki desa.

Seorang polisi menerima telepon warga. Polisi bergegas menuju lapangan bola. Ratusan warga berkumpul di sana. Di tengah lapangan itu, satu persatu warga ditangkap setelah salah seorang polisi membacakan daftar nama-nama dari ponsel.

Bila nama-nama dalam daftar tak ditemukan, polisi langsung mendatangi rumah. Menggeledah, masuk paksa, merusak rumah bahkan menodongkan senjata ke muka warga.

Ermawati mengatakan,  waktu polisi mencari suaminya, mereka sedang di kebun. Anaknya mengirim pesan singkat berisi polisi mencari bapak, naik ke rumah sampai dalam kamar tidur. Polisi bawa senjata. “Anak saya yang kecil Nurfadila (6,5 tahun) lihat polisi bawa senjata naik ke rumah. Dia ketakutan. Dia takut polisi, katanya tak pernah lihat polisi sebanyak itu.”

Rubiah,  melihat suami ditangkap dari jauh. Dia mendekat dan memegang kaki sang suami yang sudah dipegang polisi. Rubiah menangis lantas pingsan. “Kalo suami saya ditangkap, siapa beri kami makan? Kami tak punya apa-apa,” kata perempuan 35 tahun. Mereka punya tiga anak perempuan.

Humaisarah, bersama suami Bustari, menceritakan, polisi masuk ke rumah mereka. Waktu itu mereka mengungsi karena ketakutan. “Polisi paksa masuk. Dobrak pintu kamar kami. Bekas rusak pintu sudah diperbaiki suruhan kades, katanya disuruh polisi.”

“Tak ada polisi minta maaf pada kami. Barang hilang alat pertukangan bor, ketam, kikir, parang di dalam kamar. Hanya parang dikembalikan.”

Asmar mengatakan, ada 30 warga Desa Pungkat yang ikut saat pembakaran belum pulang ke desa sejak peristiwa.

Menurut Mayasusanti, warga Pungkat, polisi mengetuk pintu rumah saat dia dan anak tidur. “Pas saya buka pintu, tiga polisi langsung menodongkan senjata ke muka dan kaki saya.” Polisi langsung masuk rumah memakai sepatu, masuk ke kamar dan dapur. “Kalau sampai besok pagi tak ada kabar dari suami ibu, terpaksa ibu saya bawa sebagai ganti. Susu anak ibu saya belikan.”

Polisi menginap di Desa Pungkat. Mereka  terus memburu tersangka yang kabur. Polisi keluar dari Desa Pungkat Sabtu (9/8/14).

Suasana kampung sepi dan mencekam. Warga ketakutan melihat polisi hilir mudik di depan rumah sambil membawa senjata.

HUtan gambut yang dibuka PT SAL. Foto: Made Ali

Hutan gambut yang dibuka PT SAL. Foto: Made Ali

Warga trauma. Aksi polisi merusak, menggeledah rumah  hingga menodongkan senjata menyebabkan dua warga mengalami gangguan jiwa. NH,  perempuan, 18 tahun tak bisa mengenali kedua orangtuanya dan kerap berteriak dari dalam rumah. SH,  lelaki 27 tahun, hanya mengurung diri di kamar.

Akhirnya, polisi menetapkan 21 tersangka, yaitu Amronsyah, Zumarli, Ari Susanto, Dedi, Pauwadi, Wardan Ibrahim, Arisman Dianto, Usman, Samsuri, dan Muhammad Aini. Lalu, Hamdalis, Ahmad Zunaidi, Rasidi, Mistar, Yusrizal, Sahrun, Zol Azmi, Amril, Anasri, M Idris dan Efendi. Pada 15 Oktober 2014,  mereka didakwa membakar alat berat. Pada Desember 2014,  memvonis mereka enam bulan penjara.

Hasil analisa Walhi Riau dan Jikalahari menemukan,  saat mengambil titik GPS di tempat kejadian perkara pembakaran alat berat, menemukan penebangan hutan dan lokasi alat berat SAL di luar izin lokasi seluas 17.095 hektar.

“SAL belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan tetapi sudah menebang kayu hutan di Parit 9 dan 10,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.

Tak hanya itu. Ada beberapa temuan lain. Pertama, izin lokasi SAL pada 2012 tentang pemberian izin lokasi untuk perkebunan sawit di Kecamatan Gaung, Inhil. Ini terasa janggal. Awalnya, lokasi di Kecamatan Tempuling, lantas menjadi Kecamatan Gaung, saat warga mengadukan ke DPRD Inhil.

Kedua, areal seluas 17.095 hektar milik SAL di lahan gambut dan hutan alam. Pemberian izin ini bertentangan dengan Inpres Moratorium. Lokasi ini masuk revisi PIPIB I-VI.

Ketiga, areal SAL seluas 17.095 hektar juga tumpang tindih dengan dua perusahaan HTI, PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dan PT Bina Keluarga. Mutiara, pemasok kayu APP, grup Sinarmas.

Bagaimana tindakan pemerintah atas pembukaan lahan di gambut teranyar oleh SAL ini? Akhir Mei 2015, Sony Pratono, kala itu masih Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, pada pertengahan Mei 2015, KHLK sudah menurunkan tim SPORC KSDA Riau ke konsesi SAL, ke Pungkat.

Tim, katanya, menemukan pembukaan lahan buat sawit di gambut. Sebagian sudah ditanami sebagian belum. “Operasi legal karena ada izin Pemerintah Indragiri Hilir. Status lahan hutan produksi konservsi. Masalahnya, mereka beroperasi di gambut. Sekarang  sudah dihentikan dan proses lebih lanjut,” kata Sony.

Sisa kayu alam yang ditebang terlihat habis dibakar di Sungai Rawa dalam areal PT SAL. Foto: Made Ali

Sisa kayu alam yang ditebang terlihat habis dibakar di Sungai Rawa dalam areal PT SAL. Foto: Made Ali


Perusahaan Babat Hutan Gambut, Duka bagi Warga Pungkat was first posted on June 6, 2015 at 3:38 pm.

Panen Nusantara: Inilah Produksi Warga yang Peduli Alam

$
0
0
Stan dari Jambi yang menngetengahkan beragam produk hasil hutan yang dibuat komunitas-komunitas adat, seperti sebelik sampah (berupa kalung maupun gelang dari tanaman hutan), sampai beragam anyaman. Foto: Sapariah Saturi

Stan dari Jambi yang menngetengahkan beragam produk hasil hutan yang dibuat komunitas-komunitas adat, seperti sebelik sampah (berupa kalung maupun gelang dari tanaman hutan), sampai beragam anyaman. Foto: Sapariah Saturi

 Kalung dari buah-buah hutan berselang-seling dengan manik tampak bergelantungan. Bagian depan patung-patung kayu Biak. Ada piring lidi, tepung sagu, mie rumput laut, stik rumput laut sampai minyak kelapa murni. Ini sebagai produk di stan Yayasan Anak Dusun Papua (Yadupa), pada Panen Raya Nusantara (Parara), Lapangan Banteng, Jakarta.

Yubelinda Rumbini, dari Yadupa, tampak sibuk melayani pengunjung. “Ya, ini buah-buah hutan yang sudah kering. Ada yang dirangkai bersama manik-manik. Ada juga ditambah hiasan kerang,” katanya.

Produk yang disuguhkan, katanya, semua hasil alam, baik dari hutan maupun laut. “Kalau patung ini dari Kampung Opiare, Distrik Oridek, Biak. Ini dari kayu, tetapi kayu-kayu besi yang sudah tumbang. Jadi tak ada tebang pohon,” kata Yubelinda.

Patung Biak ini dibuat menggunakan kayu-kayu yang sudah roboh (tumbang). Foto: Sapariah Saturi

Patung Biak ini dibuat menggunakan kayu-kayu yang sudah roboh (tumbang). Foto: Sapariah Saturi

Pada pameran 6-7 Juni 2015 ini, Yadupa, mengetengahkan hasil hutan dan laut dari dua daerah, Biak dan Yapen, Papua.

Di Stan Kabupaten Yapen, ada perajin rumput laut yang tergabung dalam Kelompok Rawing Mairori. Mereka terdiri dari para perempuan perajin yang membuat beragam makanan dari rumput laut. Ada mie rumput laut, stik, dodol, cendol dan lain-lain. Produk utama mereka, mei dan stik rumput laut. “Kami yang fasilitasi masyarakat dan hadirkan kerajinan-kerajinan mereka.”

Parara ini diikuti puluhan stan dari berbagai daerah dan berbagai organisasi. Produk pun sangat beragam, dari kain, tenun, makanan, minuman, tanaman, bibit, bumbu, sampai permainan tradisional.

Di stan Jatam dan Komunitas Ciliwung, menghadirkan terminal benih. Beragam bibit dan tanaman lokal, dari seledri, sorgum, koro, mint, dan lain-lain. Semua tanaman dan bibit organik.

Rainbow cake ini debut dari wanna-warna alami, berasal dari buah atau tumbuh-tumbuhan. Bahan pembuatan pun menggunakan tepung singkong. Foto: Sapariah Saturi

Rainbow cake ini dibuat dari warna-warna alami, berasal dari buah atau tumbuh-tumbuhan. Bahan pembuatan pun menggunakan tepung singkong. Foto: Sapariah Saturi

Gerai Nusantara AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) pun ikut meramaikan gawe ini. Beragam produk dari komunitas-komunitas adat ada di sana. Dari kain, tenun, kalung sampai kue khas Kajang. Ada juga tenun Baduy, madu hutan dan lain-lain.  Tenun dan kain ini menggunakan pewarna dari alam.

Walhi tak ketinggalan. Di stan ini menyajikan beragam pangan sagu dari Riau. Ada mie sagu, cendol sagu sampai sagu basah ada di sana. Sagu-sagu ini hasil dari kebun-kebun warga.

Stan WWF Indonesia juga ada beragam produk hasil hutan, seperti madu, patung Asmat, gula aren sampai minyak kayu putih.

DI stan WWF menyuguhkan antara lain, patung-patung Asmat dari Papua, tak akar pohon hutan dan lain-lain. Foto: Sapariah Saturi

DI stan WWF menyuguhkan antara lain, patung-patung Asmat dari Papua, tas akar pohon hutan dan lain-lain. Foto: Sapariah Saturi

Di Teras Mitra, juga beragam produk. Dari bibit tumbuh-tumbuhan, teh herbal, gula aren, sampai minyak kelapa murni dari Pesantren Ekologi Ath-Thaariq, Garut. Ada juga madu alam, wedang jahe bubuk, manisan kolang-kaling, sampai garam dengan beragam rasa. Semua organik. Tenun Timor, tas sampai sepatu  juga ada.

Tak kalah menarik stan dolanan nusantara. Ia menampilkan beragam mainan tradisional dari berbagai daerah. Ada congklak, gasing, gundu, karet dan banyak lagi. Paling banyak terlihat beragam gasing dari masing-masing daerah.

Satu bagian lagi yang menjadi pusat perhatian. Ialah dapur umum. Di dapur umum ini beragam makanan dan minuman nusantara bisa dibeli. Ada cendol sagu dan cincau. Mie ayam, mie sagu, dan beragam jenis nasi-nasian serta kue-kue.

Kegiatan yang diusung puluhan organisasi ini tak hanya pameran. Juga menyuguhkan beragam workshop, diskusi, panggung musik sampai lomba lari. Ayooo, buruan datang…

Walhi memapilkan beragam makanan, seperti mie sagu dari Riau, cendok sagu. Foto: Sapariah Saturi

Walhi memapilkan beragam makanan, seperti mie sagu dari Riau, cendol sagu. Foto: Sapariah Saturi

Selebriti  Ajak Beli Produk Ramah Lingkungan

Sementara itu WWF Indonesia juga menggagas #BeliYangBaik. Gerakan agar pembeli memilih produk ramah lingkungan. Sepenggal lagu “Mulailah dari diri sendiri” karya musisi ternama, Nugie dibawakan grup akapela, Jamaica Cafe, di Taman Sriwedari, Hotel Sultan Jakarta, Jumat (5/6/15).

Mulailah dari diri sendiri

Hemat listrik ,mendaur ulang sampah

Hemat BBM, hemat air,
Hindari plastik, dan guna ulang kertas
Mengkonsumsi makanan organik, tanam pohon dan berkebun..hey..hey hey…

Kampanye #BeliYangBaik mengajak masyarakat bijak dalam mengkonsumsi harian mereka. Memilih produk yang benar-benar ramah lingkungan. Kampanye ini mendorong pelaku bisnis memproduksi lebih bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup.

Bibit-bibit tanaman yang dihasilkan dari proses penanaman organik. Foto: Sapariah Saturi

Bibit-bibit tanaman yang dihasilkan dari proses penanaman organik. Foto: Sapariah Saturi

“Membeli yang baik bagi gue akhirnya menjadi salah satu trend yang mau diangkat untuk mengompori orang berperilaku ramah lingkungan. Sekarang orang diajak bersepeda, gak mau. Disuruh tas belanja dan botol minum sendiri juga tak mau. Masih mikir-mikir terus,” kata Nugie.

Sampai saat ini, dia jarang melihat orang bawa tas belanjaan dan botol minuman sendiri.”Okelah kalau menurut lu yang kebanyakan manusia perkotaan semua itu merepotkan, kita kasih solusi dengan membeli yang baik. Ternyata,  sudah ada dari beberapa tahun lalu barang-barang yang apabila kita beli, bisa sekaligus berkontribusi nyata untuk pelestarian alam di Indonesia dan dunia,” kata pria bernama lengkap Agustinus Gusti Nugroho ini.

Dia berharap, masyarakat Indonesia bisa meminta sekaligus mendesak semua vendor dan outlet agar menjual produk ramah lingkungan.

Gerakan #beliyangbaik seharusnya diikuti dengan hal lain, seperti diet kantong plastik dengan bawa kantong belanja atau botol minum sendiri. Dengan perpaduan ini, Nugie meyakini gerakan akan makin sinkron.

Dari Nusa Tenggara Timur di stan Kemitraan  ini menampilkan tenun-tenun dari bahan dan pewarnaan alami. Foto: Sapariah Saturi

Dari Nusa Tenggara Timur di stan Kemitraan ini menampilkan tenun-tenun dari bahan dan pewarnaan alami. Foto: Sapariah Saturi

Personil Jamaica Cafe Enriko “Iko” Simangunsong juga berkomentar. Menurut dia, saat ini banyak perusahaan mengeluarkan produk ramah lingkungan. Tinggal masyarakat terus mendorong itu.

“Tidak semua produk itu kita beli.

Kita harus mulai aware, memilih produk itu efek apa. Karena saya percaya manusia itu seperti bakteri. Kalau merugikan, feed back dari bumi akan membersihkan yang jahat. Bakteri baik akan terus dipelihara. Kita jangan jadi bakteri jahat. Supaya bumi ini akan ramah dan memberikan hasil baik juga bisa berkesinambungan,” katanya.

Iko mengatakan, perusahaan jangan takut dengan anggapan produk ramah lingkungan tidak laku di pasaran. Dia mencontohkan,  grup Jamaica Cafe sudah mengenalkan musik ramah lingkungan sejak 1991.

“Tak takut gak diundang. Buktinya sampai saat ini tetap banyak undangan manggung.”

Aktris sekaligus model Davina Veronica mengatakan, masyarakat harus mengontrol pola konsumsi. Karena lingkungan alam harus terus terjaga dari apa yang dikonsumsi.

“Aktivitas kita mempengaruhi bumi. Apa yang terjadi kalau kita tidak peduli,  itu pasti kerusakan akan makin cepat.”

Ini garam alami dari Brebes di stan Teras Mitra. Garam ini sudah diberi aroma, ada yang bercampur bawang putih, bawang merah sampai rosela. Siap menjadi garam meja. Ada juga sirup-sirup alami dalam botol-botol kecil dalam beragam rasa tanaman lokal.  Foto: Sapariah Saturi

Ini garam alami dari Brebes di stan Teras Mitra. Garam ini sudah diberi aroma, ada yang bercampur bawang putih, bawang merah sampai rosela. Siap menjadi garam meja. Ada juga sirup-sirup alami dalam botol-botol kecil dalam beragam rasa tanaman lokal. Foto: Sapariah Saturi

Retno Utaira Pantouw, Direktur Keuangan WWF Indonesia mengatakan, membeli yang baik bisa dimulai dengan tiga langkah sederhana. Pertama, cari tahu latar belakang produk sebelum membeli. Kedua, meminta penjual hadirkan produk ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ketiga, mengajak lebih banyak lagi orang ikut menerapkan gaya hidup hijau.

Arnold Sitompul, Direktur Konservasi WWF Indonesia mengatakan, ingin membangun kesadaran masyarakat sebagai konsumen untuk mempengaruhi perilaku produsen.

Beragam kerajinan di Gerai Nusantara AMAN. Foto: Sapariah Saturi

Beragam kerajinan di Gerai Nusantara AMAN. Foto: Sapariah Saturi

Beragam tanaman organik ada di Terminal Benih. Foto: Sapariah Saturi

Beragam tanaman organik ada di Terminal Benih. Foto: Sapariah Saturi

Kelompok perajin perempuan dari Yapen, Papua, yang memproduksi mie rumput laut. Foto: Sapariah Saturi

Kelompok perajin perempuan dari Yapen, Papua, yang memproduksi mie rumput laut. Foto: Sapariah Saturi

Beragam produk dari aren. Ada bandrek, gula aren dan jahe merah, ada gula semut sampai gula aren di stan dari banten. Foto: Sapariah Saturi

Beragam produk dari aren. Ada bandrek, gula aren dan jahe merah dan madu, ada gula semut sampai gula aren di stan dari  Banten. Foto: Sapariah Saturi

Kaung dari Biak, Papua, yang dibuat dari biji-biji tanaman hutan diselingi manik-manik. Foto: Sapariah Saturi

Kaung dari Biak, Papua, yang dibuat dari biji-biji tanaman hutan diselingi manik-manik. Foto: Sapariah Saturi

Gasing dari berbagai daerah merupakan salah satu tampilan di stan Dolanan Kampung Nusantara. Ada banyak permainan-permainan tradisional di sana. Foto: Sapariah Saturi

Gasing dari berbagai daerah merupakan salah satu tampilan di stan Dolanan Kampung Nusantara. Ada banyak permainan-permainan tradisional di sana. Foto: Sapariah Saturi

TIm khusus, buat memastikan kawasan tetap bersih. Foto: Sapariah Saturi

Tim khusus, buat memastikan kawasan tetap bersih. Foto: Sapariah Saturi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Panen Nusantara: Inilah Produksi Warga yang Peduli Alam was first posted on June 7, 2015 at 12:00 am.

Presiden: Harus Tegas Awasi dan Tegakkan Hukum buat Kejahatan Lingkungan

$
0
0
Menteri LHK, Siti Nurbaya, menyerahkan Indek Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Presiden Joko Widodo. Foto: Humas KLHK

Menteri LHK, Siti Nurbaya, menyerahkan Indek Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada Presiden Joko Widodo. Foto: Humas KLHK

Presiden Joko Widodo memimpin puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2015 di Istana Kepresidenan Bogor pada Jumat (5/6/15). Kala itu, Jokowi mengatakan, soal tata kelola sumber daya alam memerlukan perhatian sangat khusus dan harus diikuti langkah tegas dalam pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak kejahatan lingkungan hidup.

Menurut Presiden, komitmen-komitmen yang dibuat pemerintah harus diikuti langkah-langkah nyata di lapangan, baik pengaturan tata ruang dan membenahi tata kelola sumber daya alam yang mempunyai dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup. “Terutama sektor pertambangan, kehutanan, dan kelautan,” katanya.

Siti Nurbaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, ungkapan Presiden menunjukkan pemerintah tak ada toleransi lagi terhadap kejahatan lingkungan.

Dia mengatakan, fenomena di lapangan, bahwa, hampir di setiap kejahatan lingkungan hidup, yang terlibat pasti ada aparatnya. Karena itu, pemerintah menang dihadapkan pada kerja keras luar biasa.

“Kita dihadapkan tantangan cukup dahsyat. Presiden bilang tidak boleh ada keraguan sedikitpun di jajaran KLHK. Kita akan maju terus. Kalau kita lihat memang beberapa hal sudah kita selesaikan. Kita akan terus lakukan yang terbaik.”

Menurut dia, pada bulan-bulan pertama, KLHK didera persoalan internal karena penggabungan dua kementerian. Namun Siti meyakinkan, itu tidak terjadi lagi.

Menurut Siti, jajaran KLHK harus berani mengidentifikasi jujur persoalan yang dihadapi dalam lingkungan hidup. “Ilegal logging masih ada meskipun bertemorfisis. Soal pertambangan mineral yang merusak lingkungan. Kita akan terus benahi.”

Untuk mengatasi itu, dia berjanji membuka dialog selebar-lebarnya dengan publik. Tak ada lagi istilah sensitif terhadap LSM.

“Hal baik kita petik dalam pertemuan di istana. Para penerima penghargaan kalpataru dan adiwiyata begitu lepas dan natural berinteraksi dengan bapak Presiden. Saya kira itu pertanda baik. Bahwa itulah model interaksi antara pemerintah dan rakyat. Kalau Presiden sudah seperti itu, kita harus membuka interaksi.”

Siti mengatakan, keamanan sumberdaya alam merupakan bagian upaya membangun kekuatan dan menjaga ketahanan nasional bangsa. Jadi, keberlanjutannya harus dijaga.

Pengembangan pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, katanya,  telah masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Dengan begitu, memungkinkan sinergi antarprogram pemerintah secara lebih terpadu seperti konservasi, pemanfaatan sumber daya hutan dan jasa ekosistem. Juga pengendalian pencemaran, produksi bersih, produk ramah lingkungan, sekolah berwawasan lingkungan sampai pengelolaan sampah.

“Arahan ini menuntut kolaborasi dan sinergi kementerian maupun lembaga di pusat dan daerah, dunia usaha dan masyarakat.”

Pada Jumat (5/6/15), Presiden atas nama pemerintah, menyampaikan penghargaan kepada individu, kelompok maupun perwakilan pemerintah daerah yang berprestasi di bidang lingkungan hidup. Penghargaan-penghargaan itu, yakni, Kalpataru, Adiwiyata Mandiri, serta penyusun status lingkungan hidup daerah terbaik. Khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada penghargaan spesial bagi penyerah kakatua jambul kuning.

Presiden Joko Widodo, berfoto bersama para penerima Kalpataru. Foto: Humas KLHK

Presiden Joko Widodo, berfoto bersama para penerima Kalpataru. Foto: Humas KLHK

Penghargaan lingkungan

Malam hari,  di Balai Kartini, penghargaan diberikan langsung Menteri Siti Nurbaya.  ”Ini dilaksanakan tiap tahun. Tahun ini terasa istimewa dengan pergantian kepemimpinan dan penggabungan kementerian,” kata Ilyas Asaad, Wakil Ketua Tim Dewan Penilai Kalpataru.

Adapun para peraih penghargaan itu, yakni, penghargaan Kalpataru kategori perintis lingkungan antara lain, Dian Rossana Anggraini (Bangka Belitung), N. Akelaras (Sumatera Utara) dan Laing Usat (Kalimantan Utara).  Kategori pengabdi lingkungan Januinro dari Kalimantan Tengah, Mashadi (Jawa Tengah) dan Sri Partiyah (Jawa Timur).

Kategori penyelamat lingkungan, Lembaga Adat Lekuk 50 Tumbi Lempur Jambi, LSM Tunas Hijau Jawa Timur dan Yayasan Bambu Indonesia Jawa Barat. Untuk pembina lingkungan,  Kamir Raziudin Brata (Jawa Barat) dan Sri Bebasari (Jakarta).

“Selain empat ini, ada satu spesial, yaitu penghargaan bagi 122 orang yang menyerahkan kakatua jambul kuning ke posko KLHK,” katanya.

Sedang penghargaan penyusunan SLHD 2014, yakni, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Jambi. Untuk kabupaten kepada Dharmasraya, Lumajang dan Surabaya. Pemerintah juga memberikan penghargaan Adiwiyata Mandiri bagi 95 sekolah.

Abadikan tokoh lingkungan

Dalam kesempatan sama, Siti menyampaikan, KLHK akan mengabadikan nama-tokoh tokoh lingkungan hidup di kementerian. Harapannya, bisa menumbuhkan semangat dan etos kerja di relung jiwa rimbawan KLHK.

Nama-nama itu antara lain, Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dijadikan nama Gedung Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan di Serpong.  Soedjarwo jadi nama ruang auditorium Manggala Wanabakti. Hasrul Harahap jadi nama ruang rapat utama Manggala Wanabakti.

Djamaludin Suryoadikusumo  jadi nama Gedung Museum dan Perpustakaan Manggala Wanabakti. Sarwono Kusumaatmadja jadi nama Gedung Pusat Ekoregion Jawa di Yogyakarta. Nabiel Makarim sebagai nama Gedung Pusat Ekoregion Bali Nustra di Denpasar. Rachmat Witoelar jadi nama Kantor Pusat Pengelolaan Ekoregion (PPE) Sulawesi Maluku di Makassar.

Sujono Suryo menjadi nama Plasa Manggala Wanabakti. Rubini Atmawidjaja jadi nama Taman Nasional Way Kambas di Lampung,  Armana Darsidi jadi nama Gedung Serbaguna Manggala Wanabakti dan Lukito Daryadi  di Arboretum Manggala Wanabakti.”Kita betul-betul ingin menimba etos kerja dan semangat keteladanan kepemimpinan beliau-beliau.”

Bersepeda untuk bumi

Masih dalam rangkaian Hari Lingkungan Hidup, pada Minggu (7/6/15), KLHK mengajak masyarakat bersepeda bersama dengan tema “Bersepeda untuk Bumi.” Mulai di parkiran KLHK, Manggala Wanabakti berakhir di Bundaran Hotel Indonesia, bersama masyarakat Menko Perekonomian Sofyan Djalil, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan para duta besar negara sahabat, sepedaan.

Siti Nurbaya mengatakan, bumi makin padat dengan penghuni sekitar 7,2 miliar jiwa. “Konsumsi penduduk melebihi pasokan di bumi. Kualitas lingkungan hidup di banyak negara cenderung menurun. Perlu aksi mendesak seperti perubahan pola konsumsi dan produksi menuju hemat sumberdaya, berkualitas lebih baik dan melindungi lingkungan hidup,” katanya, dalam rilis kepada media. Gerakan bersepeda ini, katanya, akan mengurangi konsumsi energi bahan bakar dan mengurangi pencemaran udara perkotaan.

Sofyan Djalil menambahkan, kesadaran masyarakat perlu dalam pemanfaatan sumberdaya secara maksimal dengan bijaksana. “Dibutuhkan pola konsumsi sesuai, misal mengambil makanan secukupnya tidak membuang makanan. Tekanan akan kebutuhan pertumbuhan makin meningkat seiring peningkatan ekonomi Indonesia namun tetap kita berkewajiban menjaga bumi dari kerusakan untuk alam lebih baik.”

“Bersepeda untuk Bumi” didukung Bike2Work dan UNDP, dan bergabung pula, Daniel Price yang sedang bersepeda dari Kutub Selatan menuju Paris dan Erlend Moster Knudsen. Dia akan berlari dari Kutub Utara menuju Paris untuk Kampanye Perubahan Iklim. Mereka diharapkan tiba di Paris saat pertemuan PBB tingkat tinggi terkait perubahan iklim (National Summit on Climate Change). “Penting peran Indonesia di forum internasional iklim global, sekaligus berpesan bahwa kita harus bekerjasama mencapai masa depan berkesinambungan,” kata Price.

Price sempat singgah ke lokasi Program Kampung Iklim (Proklim) KLHK di Dukuh Serut, Bantul, Yogyakarta yang mengembangkan program pembuatan es batu oleh para nelayan yang memanfaatkan energi. Dukuh Serut menerima penghargaan Proklim 2012.

 


Presiden: Harus Tegas Awasi dan Tegakkan Hukum buat Kejahatan Lingkungan was first posted on June 7, 2015 at 10:50 pm.

18 Bulan buat Pembalak Hutan Leuser

$
0
0
Puluhan kayu damar ini diamankan petugas dari tangan  Suriono yang tertangkap petugas BBTNGL. Foto: Ayat S Karokaro

Puluhan kayu damar ini diamankan petugas dari tangan Suriono yang tertangkap petugas BBTNGL. Foto: Ayat S Karokaro

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, menjatuhkan hukuman satu tahun enam bulan penjara dan denda Rp500 juta, terhadap Suriono, jaringan pembalakan liar di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

Majelis Hakim diketuai Saut Marulitua, menyatakan,  Suriono terbukti sah dan meyakinkan melanggar UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Suriono, usai mendengarkan putusan hakim menyatakan pikir-pikir.  “Saya pikir-pikir Pak hakim. Saya menyesal dan tidak akan mengulangi lagi.” Dia tertunduk lesu.

Noviar Andayani, Country Director WCS-IP, mengatakan, pembalak liar harus mendapatkan hukuman maksimal. Hukuman ini, katanya, diharapkan, mampu menciptakan efek jera kepada pelaku pembalak liar. “Kami mengapresiasi penangkapan dan penegakan hukum kepada Suriono.”

Sapto Aji Prabowo, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III, Stabat Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser menjelaskan, sejak Januari 2015, setidaknya ada enam penebangan kayu ilegal berhasil ditangani. Satu sudah divonis, dan lima kasus lagi masih proses penyidikan PPNS maupun sidang di PN Stabat.

Suriono, ditangkap petugas 1 Februari 2015 di Kecamatan Sawit Seberang, Langkat dengan barang bukti kayu damar olahan 48 keping dan satu minibus untuk mengangkut. Kala itu, pelaku akan mengirimkan barang ke salah satu panglong (tempat pengolahan kayu), di Tandem, Langkat.

Data WCS-IP, sekitar30.000 ha TNGL rusak, deforestasi paling parah di Langkat. TNGL terletak di Sumut dan Aceh, adalah warisan dunia merupakan habitat penting seperti gajah, orangutan, badak dan harimau.

 


18 Bulan buat Pembalak Hutan Leuser was first posted on June 8, 2015 at 3:11 pm.

Menyoal Pertambangan di Jawa, Ada Apa?

$
0
0
Aktivitas pertambangan karst di Rembang, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando

Aktivitas pertambangan karst di Rembang, Jawa Tengah. Foto: Tommy Apriando

Lubang-lubang tambang dari bebatuan karst (batu gamping) bertebaran. Tampak beberapa alat berat backhoe mengeruk bebatuan gamping. Truk-truk besar berlalu lalang membawa galian. Debu berterbangan. Asap mengepul dari cerobong asap pabrik. Begitulah aktivitas PT. Semen Gresik di Tuban, Jawa Timur.

Serupa di Rembang, Jawa Tengah. Bukit-bukit karst terkikis untuk pertambangan. Di sekitar tambang, warga tetap bertani. Terkadang mereka kaget bunyi ledakan besar dari tambang. “Setiap hari selalu ada ledakan dari pertambangan,” kata Suwater, warga Tegaldowo, Rembang.

Berbagai persoalan muncul dampak pertambangan di Pulau Jawa, baik sosial dan lingkungan. Bahkan, lebih dari itu, banyak perusahaan tidak membayar pajak. Tak pelak, kawasan ini menjadi salah satu perhatian KPK.

Bulan lalu, di Semarang, Jateng, KPK melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-SDA) berkoordinasi dan supervisi (korsup) serta monitoring dan evaluasi sektor pertambangan dan minerba di Jawa.

Johan Budi, Plt Pimpinan KPK mengatakan, pengelolaan pertambangan, mineral dan batubara sudah seharusnya memberikan nilai tambah nyata pada pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah. Hasil kajian KPK sejak 2011,  ada sejumlah permasalahan dalam implementasi UU Minerba. “Belum optimal penerimaan negara dan permasalahan penataan izin usaha pertambangan,” katanya.

Sumber: data Dirjen Planologi KLHK

Sumber: data Dirjen Planologi KLHK

Menurut dia, pengembangan sistem data informasi minerba dan renegosiasi kontrak karya juga menjadi masalah. Dalam pengelolaan pertambangan antara pemerintah pusat dan daerah tidak terkoordinasi baik.  Setiap izin masuk, katanya,  tidak ada pelaporan.

Berdasarkan data KPK,  di Jateng dari 275 izin usaha pertambangan (IUP), 132 IUP non clear and clear (NCNC), Yogyakarta dari 16 IUP terdapat 15 IUP yang NCNC, Jawa Barat 619 IUP sebanyak 290 NCNC dan Jawa Timur, 337 IUP tercatat 150 NCNC. “Piutang negara di Jateng, Yogyakarta, Jabar dan Jatim Rp14 miliar berdasarkan data Dirjen Minerba 2011-2013.”

Bambang Gatot, Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memaparkan, per Mei 2015,  sebelum korsup IUP pertambangan minerba 6.041 clean and clear (CNC) dan 4.877 NCNC dari total 10.918 IUP. Sesudah korsup dari 10.428 IUP, 6.149 CNC dan 4.279 NCNC.

“Dari 4.877 NCNC sedang proses yang diserahkan ke provinsi. Dari 1.601 izin batubara hanya 356 IUP direkomendasi dan 3.276 IUP mineral, baru 776 IUP proses direkomendasi.”

Berdasarkan data Dirjen Minerba per 15 Mei 2015, dari 1.254 IUP di Jateng, Jatim, Yogyakarta dan Jabar status CNC 676 dan NCNC 578 izin. Sedangkan rekapitulasi piutang negara pemegang IUP di Jawa per 8 Mei 2015 sebesar Rp16,6 miliar.  Dari semua IUP, sejak konsup, hanya di Jabar, perusahaan sudah memiliki jaminan reklamasi dan pasca tambang.

Aktivitas pertambangan di lokasi tambang milik PT Semen Gresik atau Semen Indonesia di Tuban, Jawa Timur. Foto Tommy Apriando

Aktivitas pertambangan di lokasi tambang milik PT Semen Gresik atau Semen Indonesia di Tuban, Jawa Timur. Foto Tommy Apriando

Menurut Bambang, tantangan Kementerian ESDM, bagaimana  koordinasi pusat dan daerah hingga provinsi membentuk pelayanan mudah dan aman dalam penerbitan IUP. Terkait peningkatan kualitas pelayanan publik, pembayaran PNBP upayakan online. Untuk eks IUP NCNC yang dicabut, katanya,  akan menjadi  wilayah pencadangan negara atau wilayah usaha pertambangan

Izin tambang di hutan lindung dan konservasi

Halik Sandera dari Walhi Yogyakarta,  mewakili Koalisi Anti Mafia Tambang kepada Mongabay mengatakan, puluhan ribu hektar hutan lindung dan konservasi di Jabar, Jateng, Yogyakarta dan Jatim terbebani izin pertambangan. Data Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan (2014) menyebutkan,  terdapat 33.645,66 hektar wilayah pertambangan masuk kawasan hutan lindung dengan izin 58 IUP. Pada empat provinsi ini ada 3.275,81 hektar pertambangan masuk hutan konservasi.

“Jabar terbesar dibebani izin pertambangan,  17.711 hektar di hutan lindung dan 3.215 hektar hutan konservasi,” katanya.

Penggunaan hutan konservasi non kehutanan jelas melanggar UU Kehutanan dan UU Konservasi Sumberdaya Hayati. Penggunaan hutan lindung hanya boleh dalam pertambangan bawah tanah,  yang hingga kini tidak ada satupun pemegang izin sanggup melaksanakan praktik ini. Jadi, pemberian izin di hutan lindung dan konservasi jelas melanggar aturan. “Perlu penegakan hukum pada pemegang izin usaha.”

Data Dirjen Minerba pada Desember 2014 memperlihatkan, 47% IUP di keempat provinsi NCNC.  Untuk IUP NCNC, Jateng 48%, Jabar (48%) dan Jatim (45%). Parah di Yogyakarta, dari 16 IUP, hanya satu yang CNC. Data ini, katanya,  menujukkan banyak pelanggaran oleh pemegang IUP dalam menjalankan usaha pertambangan.

Pemerintah, katanya, baik daerah dan pusat masih lemah dalam memberikan sanksi hukum kepada pemegang IUP nakal.

Mengenai kewajiban jaminan reklamasi dan pasca tambang dari pemegang, katanya, keempat provinsi itu tercatat dari 1.247 IUP hanya 57 IUP memenuhi kewajiban reklamasi dan 15 IUP memiliki dokumen paska tambang. Di Jatim, 98% dan Jabar 97% yang tak memenuhi kewajiban.

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

“Tidak ada data di provinsi dan minimnya IUP memenuhi kewajiban reklamasi dan pasca tambang menunjukkan komitmen pengawasan pemerintah daerah dan pusat sangat rendah.”

Halik mengatakan, mereka mencatat, potensi kerugian penerimaan negara dari sewa lahan mencapat Rp8,4 miliar. Perhitungan ini, katanya, mengacu aturan tarif dan jenis penerimaan bukan pajak diperoleh selisih signifikan antara potensi penerimaan daerah dan realisasi. Hasil perhitungan koalisi menunjukkan, sejak 2010-2013, diperkirakan kerugian penerimaan Rp6,44 miliar di Jabar, Jateng Rp1,59 miliar dan Yogyakarta Rp594,47 juta.

Untuk itu, koalisi merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan pertambangan pada kawasan konservasi dan hutan lindung serta mendesak KPK menyelidiki korupsi dalam pemberian izin ini. “Juga perlu moratorium dan mereview seluruh izin pertambangan yang diterbitkan.”

Aparat penegak hukum, kata Halik,  harus memperbanyak penyelesaian kasus kejahatan dan pelanggaran HAM sektor minerba dan memperbaiki pengelolan PNBP hingga makin banyak uang negara diselamatkan.

Koalisi juga meminta korsup KPK dan pemerintah harus mengakomodir aspek keselamatan warga dan lingkungan hidup dalam penetiban, penataan izin dan penegakan hukum. Pemerintah, katanya,  harus memperjelas status wilayah pertambangan pasca pencabutan IUP. “Hingga dipastikan mekanisme transparan dan dilakukan rehabilitasi.”

Kepulan asap pekat dari cerobong pabrik semen di Tuban, Jawa Timur. Foto: Tommy Apriando

Kepulan asap pekat dari cerobong pabrik semen di Tuban, Jawa Timur. Foto: Tommy Apriando


Menyoal Pertambangan di Jawa, Ada Apa? was first posted on June 9, 2015 at 8:40 am.
Viewing all 4162 articles
Browse latest View live