Quantcast
Channel: Mongabay.co.id
Viewing all 4054 articles
Browse latest View live

Suarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa, dari Seni Musik hingga Mural

$
0
0
Para senimau visual menyuarakan rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Para seniman visual menyuarakan rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: WD

Ratusan anak metal, penggemar rockabilly, dan punker berkumpul pada Sabtu (6/9/14) di Lingkar Art, ruang kreatif, Denpasar. Mereka berdendang, moshing, dan berdonasi untuk gerakan Bali Tolak Reklamasi di Teluk Benoa. Inilah aksi bertajuk Musik Bergetar. Dana hasil bantingan Rp.5000 terkumpul lebih Rp10 juta.

Ada sedikitnya 15 band tampil. Ada Ciminal Asshole, The Bullhead, NatterJack, The Dissland, Mom Called Killer, Goldvoice, dan lain-lain.

Puluhan dari mereka menambah donasi membeli kaos “Bali Tolak Reklamasi” Rp100.000.  Ada lagi, bonusn newsletter edukasi penuh penjelasan ilmiah Teluk Benoa.

“Tanah kita diinjak-injak, janji tinggal janji dan omong kosong,” kata Oddie Girindra, rapper band Golvoice juga mengisi di lagu anthem propaganda “Bali Tolak Reklamasi.”

Nyoman Angga, personil Nosstress, band akustik ini tak kalah seru. “Saya bukan pengusung musik distorsi tapi bicara reklamasi, saya yakin otak saya dan otak kalian terdistorsi.” Dia kerab mencipta lagu jenaka tetapi sarkas.

“Teman saya bilang percuma melawan karena begitu besar kuasa lawan. Gerakan ini sama sekali tak percuma. Seandainya tak ada mungkini kini Teluk Benoa sudah diurug.”

Jayak, personil Criminal Asshole, band punk Bali, salah satu penggerak Musik Bergetar. “Saya pernah semobil dengan anak Manado. Dia cerita warga senang karena dikasi fasilitas bagus di lahan reklamasi. Pas hujan deras, Manado banjir besar karena teluk yang direklamasi tak bisa menampung limpasan air.”

Dia berpikir, mencegah hal sama di Bali dengan music. Jayak dan beberapa teman termasuk aktivis ForBALI mengajak rekan musisi. Bahkan, ada yang tak bisa tampil karena keterbatasan waktu.

Barisan artis di aksi Forbali-Lapangan Renon, Denpasar, menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Barisan artis pada aksi Forbali di Lapangan Renon, Denpasar, menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Ini bukan konser musik kampanye sekaligus penggalian dana pertama. Sebelumnya, sudah beberapa serial musik ForBALI melibatkan beragam genre termasuk band-band  dengan lagu berbahasa Bali seperti Johny Agung and Double T, Bintang. Juga ada barisan band folk dan grunge seperti Dialog Dini Hari dan Navicula.

Seni visual

Seniman visual juga menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Sekitar 130 baliho dibuat kelompok muda dan banjar di sudut desa dan kota.

Hampir semua mencetak visual dramatic namun estetik, tangan ombak menangkap eskavator yang mengurug laut. Desain asli dibuat Alit Ambara, pengelola web progresif, Indoprogress.com.

Di Yunani, street art Bali asal Nusa Penida, membuat mural raksasa di tembok Unversitas Polytechniupoli Athena. Mural ini berpesan jelas. Terlihat ombak tinggi berbentuk tangan menangkis mesin pengeruk.

“Suatu hari, lewat sosial media saya sempat dikontak kawan, bahwa di Bali lagi ramai rencana reklamasi di Tanjung Benoa,” katanya.

Dia membaca informasi media dan diskusi di forum-forum sosmed.  “Saya menolak proyek-proyek megah pariwisata mengatasnamakan pelestarian budaya Bali, ternyata sama sekali tidak melestarikan alam Bali,” kata WD, alias Wild Drawing, nickname artis jalanan ini.

Pelukis lain, I Wayan Damai, juga melelang lukisan berjudul “Pasar” untuk dana kampanye. Dalam karya realis di atas kanvas ini terlihat dua orang, laki dan perempuan berkursi roda berbelanja di pasar. Ada gambar toilet dengan undakan tak bisa dilalui kursi roda. Keduanya termenung di depan toilet.

Ada juga dua lukisan Yayasan Anak Tangguh. Lukisan floral ini dibuat anak-anak sanggar belajar alternatif di Desa Guwang, Sukawati. Ada juga t-shirt, foto, instalasi dari Komunitas Pojok.

Dewa Keta, pegiat Komunitas Pojok melelang lukisan berjudul Bulung. Bulung (rumput laut) merupakan sumber penghasilan masyarakat pesisir Bali, Nusa Penida, dan sekitar. “Akan makin banyak petani bulung mati kalau Bali tak memedulikan pesisir.”

Aksi The Bullhead di gawe Musik Bergerak untuk menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

Aksi The Bullhead di gawe Musik Bergerak untuk menyuarakan penolakan reklamasi Teluk Benoa. Foto: Luh De Suriyani

 


Suarakan Tolak Reklamasi Teluk Benoa, dari Seni Musik hingga Mural was first posted on September 11, 2014 at 12:11 pm.

Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup

$
0
0
Mulut Gua Sulaiman di karst Maros. Foto: Rko Rusdianto

Mulut Gua Sulaiman di karst Maros. Foto: Eko Rusdianto

Menjulang. Berbentuk tebing-tebing curam, menonjol layaknya tower-tower (mogote) tampak di sepanjang Kabupaten Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan.  Itulah batuan kapur (karst). Bak permainan, tak beraturan, namun indah dipandang mata.

Karst di dua daerah ini mejadi terluas kedua di dunia setelah China bagian Selatan. Menara-menara karst Maros-Pangkep oleh  beberapa ahli dikatakan sebagai The Spectacular Tower Karst.

Selain bentang alam, ekosistem karst sangat unik, mulai flora fauna, kehidupan bawah tanah, hingga lorong-lorong batuan alias gua. Di karst Maros-Pangkep, tak kurang ada 400 gua. Ada vertikal, dan horizontal. Panjang bervariasi, dari puluhan hingga ribuan meter.

Pada Selasa (9/9/14), saya bersama Kamajaya Saghir, peneliti di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, memasuki gua Sulaiman. Terletak di pinggir Jalan utama Maros-Camba. Mulut gua terlihat kecil, dengan dua percabangan. Kami memilih percabangan arah kiri. Sepatu boots, lampu kepala (head lamp), dan senter siap menemani.

Di mulut gua, Kamajaya memperlihatkan sebuah stalaktit yang membekukan beberapa hewan laut, seperti kerang dan molusca. Inilah salah satu fungsi ornamen gua dan batuan karst.

Kala menyelip di antara batuan, sebuah ornamen gordyn menyambut, berbentuk gorden, warga kecoklatan, berlekuk-lekuk menjuntai. Antara untaian terlihat jangkrik. “Coklat, karena rembesan air membawa material tanah,” kata Kamajaya.

Semua ornamen gua dihasilkan melalui media air. Berbentuk unik bahkan terkesan misterius. Mulai fish stone (bentuk tulang ikan), gordam (lahan sawah terasaring), hingga mata tombak. Untuk menghasilkan bentukan itu, perlu waktu sangat lama, bisa puluhan, bahkan ratusan tahun. “Bayangkan, jika seseorang memasuki gua dan memotong stalaktit atau ornamen gua lain hanya buat hiasan.”

Stalaktit mati di mulut gua Sulaiman. Foto: Eko Rusdianto

Stalaktit mati di mulut gua Sulaiman. Foto: Eko Rusdianto

Panjang gua Sulaiman mencapai 500 meter, di ujung ada sungai bawah tanah. Ke sana, harus menuruni lereng lumpur dan terjal sekitar 10 meter. Perlu kewaspadaan dan peralatan memadai. Makin menyusuri gua, makin beragam ornamen ditemui. Ada jalur dilalui berjalan tegak dan berbungkuk, dasar gua dari tanah berlumpur, tebing berkelok karena bentukan air. Ataupun stalaktit menjuntai dari plafon gua seperti lampu hias. Begitu indah.

Pada satu titik, kami berhenti memperhatikan tetesan air dari stalaktit dan bakal stalakmit yang menonjol dari dasar gua. “Ini musim kemarau. Kita tak tahu, apakah air yang menetes ini dari musim hujan lalu, atau sebelumnya, bahkan puluhan tahun lalu?”

Sedangkan, proses pembentukan ornamen gua, Goelog dan Peneliti Karst Universitas Hasanuddin Makassar, Imran Umar menyebut sebagai proses karstifikasi. Menurut dia, punggung-punggung karst yang membuka celah atau retakan akan membawa air hujan dan menyimpan dalam batuan. Lalu larut bersama kalsit atau unsur semen (CaCO3) dan merembes perlahan menuju dinding ataupun plafon gua.

Setiap perjalanan membentuk ornamen gua, memiliki proses kimia dari unsur air (H2O), udara (O2), dan karbon (CO2) yang larut bersama kalsit (CaCO3).  Proses ini, pada dasarnya sama dengan pembentukan karang di bawah laut. “Maka karang ataupun stalaktit dan ornamen gua lain sangat rentan perubahan iklim,” kata Imran.

Masa Depan

Tahun 2013, beberapa peneliti mendatangi gua di TN Bantimurung-Bulusaraung. Mereka telaten memunguti beberapa patahan stalaktit dan stalakmit. Perlahan mengebor bagian tengah dan memasukkan lem khusus. Kamajaya menjadi pendamping lapangan penelitian itu. “Mereka menempelkan kembali.”

Ornamen gua berbentuk gorden. Foto: Eko Rusdianto

Ornamen gua berbentuk gorden. Foto: Eko Rusdianto

Saya bertemu beberapa penjelajah gua, baik mahasiswa dan kelompok pencinta alam. Rata-rata mereka berpendapat ornamen adalah bagian rentan dalam gua, tak boleh disentuh apalagi dipatahkan. Sebagian besar,  tak ada yang mengetahui fungsinya.

Stalaktit adalah ornamen gua yang menjuntai berbentuk gigi taring runcing. Pasangannya, stalakmit menonojol dari bawah melalui tetesan air stalaktit. Ketika dua ornamen menyatu,  akan membentuk tiang (pilar). “Ornamen inilah yang dijadikan peneliti memprediksi perubahan iklim purba,” kata Imran.

Stalaktit, katanya, sama seperti potongan batang pohon, memiliki garis semburat untuk mengetahui periode dalam menentukan usia. “Ingat iklim itu siklus. Gempa Jogja siklus 30 tahunan. Semua didapatkan dari kajian geologi.”

Dalam kajian Arkeologi, gua di Maros-Pangkep dihuni manusia sejak 4000 tahun lalu. Melalui teori migrasi Out of Taiwan, dari China menuju Taiwan, kemudian dari Taiwan menuju Filipina, lalu turun ke Kalimantan dan Sulawesi. Dari Sulawesi menuju kepulauan Polonesia.

Migrasi ini karena terjadi perubahan iklim di Eropa dan Amerika. Air laut menjadi es dan permukaan air turun hingga 120 meter. Namun, laut di sekitar Sulawesi tak mengalami pendangkalan karena memiliki garis palung, sebagai daerah terisolir.

Mengapa mereka meninggalkan Sulawesi? Apakah terjadi perubahaan iklim? “Kita belum bisa menyimpulkan itu. Namun kita bisa memprediksi, apakah siklus iklim ekstrim pernah terjadi di Sulawesi khusus Maros, dengan meneliti stalaktit yang masih hidup dan segar. Sebab stalaktit sudah mati tak memberikan informasi apa-apa,” kata Imran.

Untuk itu, ujar dia, menjaga dan menata kawasan karst bukan hanya kepentingan pariwisata, melainkan laboratorium hidup untuk memprediksi masa depan.

Stalakmit yang menonjol dari bawah, dan menempel pada sebuah pilar. Foto: Eko Rusdianto

Stalakmit yang menonjol dari bawah, dan menempel pada sebuah pilar. Foto: Eko Rusdianto


Merawat Karst, Menyelamatkan Laboratorium Hidup was first posted on September 11, 2014 at 4:33 pm.

“Jika tak ada hutan, Tongkonan akan punah”

$
0
0
Hutan adat d iKe’te Kessu, Kampung Bonoran, Kelurahan Panta’nakan Lolo, Kecamatan Kesu, Toraja Utara. Hutan ini banyak ditumbuhi bambu, yang menjadi bahan penting dalam proses-proses ritual adat. Foto: Eko Rusdianto

Hutan adat di  Ke’te Kessu, Kampung Bonoran, Kelurahan Panta’nakan Lolo, Kecamatan Kesu, Toraja Utara. Hutan ini banyak ditumbuhi bambu, yang menjadi bahan penting dalam proses-proses ritual adat. Foto: Eko Rusdianto

Layuk Sarungallo (68) duduk menyandarkan punggung pada kursi plastik.  Dia menyeruput kopi. “Jika Tongkonan tak memiliki lili (wilayah) untuk hutan, rante (lapangan upacara), tempat pemakaman, dan sawah, maka bagaimana menentukan nasib keluarga kelak,” katanya.

Tongkonan adalah rumah adat  masyarakat di Toraja, dibangun atas kesepakatan bersama rumpun keluarga. Bentuk atap menyerupai tanduk kerbau, ada pula yang mengatakan mirip perahu. Setiap Tongkonan memiliki lumbung (alang) untuk menyimpan padi dan hasil bumi lain.

Alang memiliki enam tiang berjejer dua, terbuat dari pohon banga–mirip palem namun ukuran lebih besar, berkulit keras namun isi seperti serabut. Alang ini sebagai tempat menerima tamu.

Tongkonan dan alang merupakan bagian dari identitas masyarakat Toraja. Ia berfungsi suatu lembaga atau institusi yang bisa mempererat hubungan kekerabatan. Di Tongkonan-lah segala macam perjumpaan dan musyawarah keluarga dilaksanakan. Sekaligus menjadi tempat ritual, baik syukuran hingga kedukaan.

Layuk Sarungallo adalah tokoh adat di wilayah Ke’te Kessu, Kampung Bonoran, Kelurahan Panta’nakan Lolo, Kecamatan Kesu, Toraja Utara. Di area itu, terdapat enam tongkonan keluarga, berjejer rapi. Di jalan masuk Tongkonan ada sebuah loket penarikan retribusi untuk pengunjung. Disanalah Layuk setiap hari beraktivitas sekaligus sebagai kantor.

Ketika saya menjumpai pada Sabtu pagi 30 Agustus 2014, dia sedang bersantai. Meja bersisihan dengan jendela menjadikan pandangan begitu lapang, melihat loket penjagaan dan memperhatikan setiap tamu yang melintas.

Setiap Tongkonan di wilayah Ke’te Kessu menggunakan atap bambu. Kokoh dan anggun. Atap bambu disusun dan berpasangan hingga sirkulasi udara terjaga baik. Udara melalui celah-celah atap tersimpan. Saat malam mengeluarkan udara hangat. Kala siang terasa dingin.

Rumah-rumah adat yang menggunakan atas dan beberapa bagian dari bambu. Bambu menjadi bahan penting bagi masyarakat adat di sini. Foto: Eko Rusdianto

Rumah-rumah adat yang menggunakan atap dan beberapa bagian dari bambu. Bambu menjadi bahan penting bagi masyarakat adat di sini. Foto: Eko Rusdianto

Sedang di beberapa tempat, penggunaan atap seng ataupun asbes makin banyak. Namun tidak bagi masyarakat di sini. “Kami dalam rumpun keluarga menggunakan bambu, karena kearifan lebih terjaga,” katanya. “Kalau saya bertahan pakai bambu maka generasi selanjutnya berusaha menanam. Tidak serta merta membeli bahan jadi.”

Untuk satu bangunan Tongkonan ukuran 4×10 meter, atap bambu mencapai 1.000 batang. Lalu dipotong-potong sesuai kebutuhan menjadi 6.000 keping. Untuk keperluan upacara penguburan, sedikitnya 8.000 batang.

Layuk mencoba merinci penggunaan bambu sesuai jenis. Tahun 2012, ketika upacara penguburan ibunya, perlu sekitar 600 batang bambu pattung (betung). Parrin (jenis bambu lebih kecil dari betung) 3.000 batang dan tallang-jenis bambu lebih kecil dari parrin biasa untuk pembuatan lemang dan atap rumah–mencapai 4.000 batang.

Darimana bahan baku bambu sebanyak itu? Layuk tersenyum dan menunjuk sekeliling Tongkonan. Bukit kapur menjulang, hutan hijau menyediakan rumpun-rumpun bambu, kayu dan kebutuhan lain keluarga dengan luas mencapai 50 hektar. “Dari sanalah. Inilah kenapa mempertahankan atap dan penggunaan bambu dalam berbagai ritual kami pertahankan,” katanya.

Hutan-hutan adat Tongkonan dipelihara baik. Jauh sebelum pemerintah menggalakkan sistem tebang pilih dalam kawasan hutan, masyarakat Toraja sudah melaksanakan. Memilih bambu ataupun kayu untuk merenovasi rumah harus dengan hati-hati. Tak seorangpun dibiarkan leluasa memasuki kawasan hutan, apalagi menebang tanaman tanpa seizin ketua adat. “Kalau menebang, sekalipun dia keluarga, tanpa izin, dianggap pencurian,” kata Tato Dena.

Tato Dena adalah seorang To Minani (pendeta yang beragama leluhur Aluk Todolo). Tato dipilih turun temurun dan menjadi pemimpin ritual. Menurut dia, kombongna (hutan adat) yang dimiliki Tongkonan adalah kehidupan. “Jika tak ada hutan, Tongkonan akan punah,” katanya. “Nanti tidak ada tempat rumpun keluarga bertemu, kecuali jika Toraja sudah menjadi kota besar, yang itu orang-orangnya sudah masing-masing egois.”

Kees Buijs, antropolog Belanda dalam buku Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit, menjelaskan, peran penting hutan untuk masyarakat Toraja di masa lalu. Menurut dia, hutan lebat menjadi simbol dan tempat bermukim arwah-arwah dari dewa yang bertugas menjaga kesuburuan dan kehidupan bumi. Pemimpin ritual adalah toburake (imam perempuan) yang digantikan toburake tambolang (seorang wadam/waria). Jadi hutan adalah simbol identik dengan perempuan.

 Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat di Toraja. Foto: Eko Rusdianto

Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat di Toraja. Foto: Eko Rusdianto

Setiap tahun, menurut perkiraan Layuk, hutan adat yang hilang karena penduduk bertambah, perluasan kebun dan sawah, sekitar dua persen. Sulit dihindari, manusia makin banyak dan lahan tak pernah bertambah.

Toraja seperti romansa alam dan manusia, tak dapat dipisahkan. Hutan-hutan terjaga akan menjaga pasokan air melalui celah-celah gunung batu, lalu dialirkan ke sawah, dan rumah-rumah penduduk untuk kebutuhan sehari-hari. Ditambah menjaga kontur tanah dengan kemiringan hingga 45 derajat, agar tetap stabil.

Pertengahan 1990-an dan 2010, sebagian warga mendadak heran. Dataran tinggi Toraja dilanda banjir, tebing-tebing tanah di tepi jalan longsor. Kota Rantepao pun terendam hingga kedalaman 30 sentimeter. “Saya kira itu dampak dari hutan hilang,” kata Marla dari Tongkonan Buntu Pune.

Buntu Pune dan Ke’te Kessu adalah warisan benda cagar budaya yang ditetapkan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan. Di Buntu Pune terdapat dua Tongkonan dan enam alang. Tongkonan itu peninggalan Pong Maramba-pahlawan Toraja yang disegani.

Kompleks Tongkonan Buntu Pune dikelilingi hutan rindang dan sejuk. Di salah satu sudut terdapat bukit batu kokoh dipenuhi beberapa tanaman, dari bambu, kayu uru, banga, nira, nangka, dan masih banyak yang lain.

Marla dan keluarga penerus dari Pong Maramba membangun rumah tinggal di belakang Tongkonan utama. Dia menarik selang air melalui celah batu untuk kebutuhan sehari-hari dan menampung di bak. Air sangat dingin dan segar. “Karena hutan itu persediaan air kami, saya berusaha setiap pekan, dalam waktu senggang menanam tanaman apapun,” katanya.

Bagaimana dengan kehadiran masyarakat yang membangun rumah di sekitar hutan? Layuk punya solusi. Sebelum bangunan rumah berdiri, dia merinci rumpun bambu atau pohon yang hilang. Kemudian pemilik bangunan baru mengganti tanaman dalam jumlah yang sama. Ditanam di halaman depan rumah, di belakang, ataupun di samping. “Jadi setidaknya lahan berkurang, tapi tanaman tak berkurang.”

Tak hanya itu, Layuk pun mengenalkan kecintaan pada pohon dan hutan terhadap anak-anak sejak dini. Setiap minggu, setelah anak-anak pulang beribadah, dia menyiapkan beberapa bibit tanaman, dan memasuki hutan untuk menanam bersama. “Maka hutan menjadi milik bersama, bukan milik orang per orang, apa lagi ketua adat,” ujar dia.

Selain bambu untuk atap dan pelaksanaan ritual, banga menjadi sangat penting. Banga untuk tiang lumbung. Tak boleh menggunakan kayu lain. Pohon ini memiliki kulit keras dan tak berpori. Ini untuk mencegah tikus dan binatang lain merayap memasuki lumbung sebagai tempat persediaan dan penyimpanan makanan.

Bambu di hutan adat. Untuk mengambil bambu ini mereka memiliki tata cara sendiri. Bagi yang mengambil bambu tanpa izin meskipun keluarga sendiri dianggap sebagai pencurian. Foto: Eko Rusdianto

Bambu di hutan adat. Untuk mengambil bambu ini mereka memiliki tata cara sendiri. Bagi yang mengambil bambu tanpa izin meskipun keluarga sendiri dianggap sebagai pencurian. Foto: Eko Rusdianto

Lahan warga adat sudah terbagi-bagi, ada buat pemukiman, hutan yang tak boleh dimasuki sembarangan dan lokasi bertani. Foto: Eko Rusdianto

Lahan warga adat sudah terbagi-bagi, ada buat pemukiman, hutan yang tak boleh dimasuki sembarangan dan lokasi bertani. Foto: Eko Rusdianto

Bambu dari hutan adat, yang diambil buat berbagai keperluan. Namun hutan terus terjaga karena mereka sudah mengatur tata cara pemanfaatan di dalam hutan adat. Foto: Eko Rusdianto

Bambu dari hutan adat, yang diambil buat berbagai keperluan. Namun hutan terus terjaga karena mereka sudah mengatur tata cara pemanfaatan di dalam hutan adat. Foto: Eko Rusdianto

Undakan-undakan lahan pertanian warga dengan rumah adat di bagian atas dan di kelilingi hutan. Foto: Eko Rusdianto

Undakan-undakan lahan pertanian warga dengan rumah adat di bagian atas dan di kelilingi hutan. Foto: Eko Rusdianto


“Jika tak ada hutan, Tongkonan akan punah” was first posted on September 12, 2014 at 1:18 pm.

Kala Penolakan HPH Berbuah Penangkapan Warga Long Isun

$
0
0
Pohon-pohon hutan yang tumbang dan tanah menjadi lapang. Hutan adat sudah mulai bersih oleh operasi perusahaan. Foto:

Pohon-pohon hutan yang tumbang dan tanah menjadi lapang. Hutan adat sudah mulai bersih oleh operasi perusahaan. Foto:Tekla Tirah Liah

Sudah jatuh tertimpa tangga. Pepatah ini tampaknya cocok dengan nasib warga Kampung Long Isun. Sudahlah lahan adat terampas, warga ditahan pula.

Masyarakat adat Long Isun di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, ini sejak lama menolak kehadiran perusahaan HPH, PT Kemakmuran Berkah Timber (KBT), anak usaha Roda Mas Group. Batas wilayah perusahaan dengan Desa Long Isun, belum ada kesepakatan hingga kini.

Meskipun belum ada kesepakatan batas, mulai 2014, perusahaan nekad beroperasi di wilayah adat itu. Kala warga berupaya memperjelas batas dengan memeriksa lokasi, perusahaan mulai menggunakan ‘kekuatan’ dengan melaporkan mereka ke polisi. Beberapa tokoh adat termasuk warga diperiksa, satu orang, Theodorus Tekwan Ajat menjadi tersangka. Kini dia mendekam di Polres Kutai Barat sejak akhir Agustus 2014.

Menyikapi kriminalisasi warga ini, Koalisi Kemanusiaan untuk Pemulihan Kedaulatan Masyarakat Adat, mengirimkan somasi ke perusahaan dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) pada 8 September 2014. Mereka memberi batas waktu, jika dalam sebulan Kemenhut tak merespon, koalisi akan melanjutkan ke jalur hukum.

Surat somasi tertanda Fathur Roziqin Fen, selaku koordinator koalisi mendesak Kemenhut mencabut Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2014 tentang inventarisasi hutan menyeluruh berkala dan rencana kerja pada izin pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam. Somasi itu juga meminta Menteri Kehutanan mencabut izin HPH KBT.

Kepada perusahaan, koalisi mendesak KBT harus menghentikan aktivitas di tanah adat Long Isun selama penyelesaian konflik. Perusahaan harus menghormati dan mengakui adat-istiadat serta hak masyarakat adat Kampung Long Isun. KBT juga harus meminta maaf terbuka baik melalui surat dan media massa, cetak maupun elektronik kepada masyarakat Kampung Long Isun serta diminta mencabut aduan di Polres Kutai Barat.

Surat itu juga berisikan kronologi pemanggilan warga. Pada Kamis, 28 Agustus 2014, P. DJuan Hajang, petinggi Kampung Long Isun dijemput sejumlah aparat dari Polres Kutai Barat. Mereka tengah rapat resmi petinggi kampung se-Kabupaten Mahakam Ulu diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Hajang diperiksa sebagai saksi.

Ternyata belum selesai. Jumat, 29 Agustus 2014, Lusang Aran, kepala Adat dan Theodorus Tekwan Ajat, pemuda Long Isun didatangi Brimob Polres Kutai Barat. Lusang diperiksa sebagai saksi, sedangkan Theodorus menjadi tersangka dan ditahan. “Mereka  yang selama ini aktif menolak kehadiran perusahaan yang telah mencaplok hutan adat masyarakat Long Isun. Padahal, hingga kini tapal batas hutan adat di Kampung Long Isun belum ada kesepakatan,” kata Tekla Tirah Liah dari Nurani Perempuan, yang ikut mendampingi warga.

Hutan adat Long Isun yang terancam habis. Foto: Tekla Tirah Liah

Hutan adat Long Isun yang terancam habis. Foto: Tekla Tirah Liah

Pada 2010,  PT. Roda Mas Timber Kalimantan (PT RMTK), dan KBT membuat tapal batas pada 14 kampung di Kecamatan Long Pahangai, dan Kecamatan Long Bagun. Beberapa kampung masuk areal kedua perusahaan, masing-masing KBT 82.810 hektar dan RMTK 69.660 hektar. Dari hasil pemetaan, Kampung Long Isun dan Naha Aruq belum sepakat mengenai tapal batas.

Pada April 2013, warga Long Isun melakukan pemetaan partisipatif. Setelah survei lapangan berdasarkan sejarah dan pemetaan partisipatif luas kampung 80,049 hektar. Sengketa batas kampung antara Long Isun, dan Naha Aruq masih berlangsung. Klaim batas wilayah berbeda hingga belum ada kesepakatan.

“Situasi makin konflik karena wilayah itu diserahkan Kampung Naha Aruq kepada KBT yang membuka rencana kerja tahunan pada 2014. Mereka mulai menebang dan mengambil kayu,” kata Tekla, dalam kronologi yang dikirimkan ke Mongabay, bulan lalu.

Sejak 2011 sampai 2014, lembaga adat Kampung Long Isun mulai mengirim surat protes kepada perusahaan. Salah satu, pada 10 Februari 2014, Lembaga Adat Kampung Long Isun mengirim surat penolakan kepada KBT. Surat penolakan dewan adat, perangkat kampung dan tokoh-tokoh masyarakat dengan alasan antara lain, hutan, tanah akan gundul dan merusak alam, dan bahaya banjir. Lalu mereka khawatir perusahaan masuk bakal merusak lahan pertanian dan perkebunan masyarakat serta hak tanah dan wilayah.

Pertemuan-pertemuan juga digagas guna mencari kesepakatan batas dua kampung itu. Tetap saja, belum ada titik temu. Parahnya, mulai 2014, perusahaan sudah menebang di areal yang bersengketa itu. “Kesepakatan belum ada, masyarakat adat Long Isun berinisiatif memeriksa ke lapangan (blok tebangan),” kata Fathur, juga dari Walhi Kaltim ini.

Pada 20 Mei 2014, warga menemukan perusahaan tengah menebang pohon di hutan. Mereka menyita satu chainsaw, dan dua kunci alat berat untuk menghentikan aktivitas perusahaan. Lembaga adat mengirim surat protes kepada perusahaan dan bersurat kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten Mahakam Ulu meminta pendampingan penyelesaian masalah.

Sayangnya, kata Fathur, upaya warga Long Isun memperjelas tapal batas justru ditanggapi oleh perusahaan dengan melaporkan mereka ke Polres Kutai Barat. Polisi melakukan pemanggilan terhadap tokoh adat dan warga.

“Kriminalisasi ini bentuk pengingkaran terhadap perlindungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan serta penghormatan prinsip hak-hak ekonomi, sosial, dan dudaya. Hak dasar manusia harus dilindungi dan dipenuhi.”

Mongabay, sejak bulan lalu meminta konfirmasi kepada perusahaan mengenai konflik dengan warga Kampung Long Isun ini melalui surat elektronik. Namun, hingga berita ini terbit tak mendapatkan tanggapan.

Kronologi Kampung Long Isun Vs PT Kemakmuran Berkah Timber

 Ritual adat napoq. Napoq bagi masyarakat Long Isun merupak komunikasi dengan para leluhur yang berada di dalam alam nirwana. Foto: Tekla Tirah Liah

Ritual adat napoq. Napoq bagi masyarakat Long Isun merupak komunikasi dengan para leluhur yang berada di dalam alam nirwana. Foto: Tekla Tirah Liah

Bagian hutan adat Long Isun yang kini rata. Pohon-pohon telah ditebangi padahal batas wilayah masih bersengketa. Foto: Tekla Tirah Liah

Bagian hutan adat Long Isun yang kini rata. Pohon-pohon telah ditebangi padahal batas wilayah masih bersengketa. Foto: Tekla Tirah Liah

 


Kala Penolakan HPH Berbuah Penangkapan Warga Long Isun was first posted on September 12, 2014 at 10:13 pm.

Soal PLTU Batang, Preman Intimidasi Warga dan Aktivis Greenpeace

$
0
0
Perwakilan warga Batang dan para aktivis di Jepang, kala aksi tolak PLTU Batang. Foto: YLBHI

Perwakilan warga Batang dan para aktivis di Jepang, kala aksi tolak PLTU Batang. Foto: YLBHI

Aksi penolakan warga Batang ke negara sakura mendapat respon positif dari parlemen Jepang. Parlemen mendesak pemerintah Jepang menghentikan investasi yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM ini.

Intimidasi dan teror di desa-desa yang bakal terkena megaproyek PLTU Batang, Jawa Tengah, kembali marak. Diduga ini buntut financial closing proyek yang jatuh pada 6 Oktober 2014, tetapi masih terganjal pembebasan lahan. Warga pun melaporkan intimidasi dan ancaman ini ke Komnas HAM pada Jumat (12/9/14).

Teror, dan ancaman dialami warga dan aktivis Greenpeace yang berkunjung ke Batang, yakni Untung, warga Karanggeneng dan Didit Haryo, koordinator akar rumput Greenpeace.

Untung, menceritakan, pada Rabu (10/9/14), rombongan Greenpeace datang. Dia mengantar mereka dari Ponowareng ke Karanggeneng, sekitar pukul 14.00. “Waktu bersama Greenpeace di jalan, sampai di Ponowareng, saya dicegat sama tiga orang.”

Mereka menarik baju Untung sambil mengancam. “Lu ngapain bawa Greenpeace ke kampung kami. Mau mati lu?” Kalo sampe gue ketemu lo lagi, mati lo! Untung tak berkutik. “Badannya gede-gede.

Rombongan preman ini membawa dua mobil dan beberapa motor. Ada sekitar empat orang. Beruntung ada warga lewat dan menyatakan kalau Untung warga asli Ponowareng, lalu dilepas.

Setelah kejadian ini Untung tambah khawatir. “Kasian orangtua, karena masih dalam ancaman mereka,” kata pemuda berusia 25 tahun ini. Dia sehari-hari membantu orang tua menanam padi.

Didit juga menceritakan, intimidasi yang dialami. Kala itu, Greenpeace berniat mengujungi, warga yang dikriminalisasi di penjara di Batang, salah satu Cahyadi. Namun, mereka kesiangan karena jam besuk sampai pukul 12.00. Lalu, mereka berinisiatif mengunjungi istri warga yang suami ditahan. “Ingin kasih support agar mereka tetap semangat,” katanya.

Ditemani Untung dia berkunjung ke rumah Cahyadi. Tak sampai 30 menit di rumah itu mereka pamitan. Namun, sudah dicegat di depan pintu rumah Cahyadi oleh dua orang. Mobil Greenpeace dihadang mobil mereka. “Ada beberapa preman di atas mortor yang nunggu. Ketika keluar mereka ajak ketemuan.”

Didit melihat kondisi tak kondusif. Dia bilang ke para pria itu kalau ingin berbicara di Semarang atau Jakarta.

“Kami masuk ke mobil. Lalu keluar kampung, diikuti sama mereka, tak lama masih di Desa Karanggeneng, mobil dipalangi motor. Preman mulai turun. Driver buka jendela malah dipukul. Ngelak. Gak kena. Mereka yang di mobil turun dan seakan melerai, langsung masuk mobil Greenpeace.”

Mereka mengajak bertemu ke restoran. Akhirnya, bertemu di restoran Arwana II. Awalnya, dua orang, lalu mulai datang preman-preman yang lain.

Mereka mempertanyakan alasan Greenpeace menolak PLTU. Menurut mereka, seharusnya Greenpeace berbicara mengenai kesejahteraan warga. “Harusnya, Greenpeace bantu naikkan tanah warga,” begitu Didit menirukan ungkapan salah satu dari mereka.

Sikap mereka aneh-aneh. “Dua orang ada yang ngaku awalnya dari rumah transisi Ganjar (Gubernur Jateng), lalu berubah ke rumah transisi Jokowi. Sejak kapan Ganjar punya rumah transisi. Ngaku kenal orang Komnas HAM.”

Didit menduga, motivasi mereka bagaimana warga-warga di sana mau menjual lahan, dengan harapan bisa mendapatkan uang tambahan lebih banyak. Dari pembicaraan itu terungkap, seakan ada janji jika pembebasan lahan selesai alias semua lahan menjual lahan, tanah akan dihitung dengan harga terbaru.“Jadi warga yang dijual lahan lama, mau minta harga tinggi. Warga diiming-imingi kalo semua jual lahan, harga semua jadi harga terbaru, sekarang Rp400.000 per meter. Awal Rp30.000 per meter.”

Hampir dua jam berbicara dengan mereka lalu para aktivis Greenpeace boleh pergi dengan ancaman.  “Jangan sekali-sekali lagi kalian masuk kampung. Kalo kalian masuk kampung hukum jalan yang akan berlaku.” Mereka diikuti terus sampai Alas Roban.

Didit menilai, ada upaya menciptakan konflik horizontal, adu domba antar warga. “Sepanjang obrolan itu, selalu munculkan nama-nama warga, yang sekarang menjadi pemimpin perlawanan, seolah-olah mereka itu cari keuntungan. Adu domba warga.”

Intimidasi juga dialami Sarmujo, pemilik kebun melati seluas 1,350 hektar di Desa Karanggeneng. Dia salah satu petani yang tak mau menjual tanah.

Setiap hari pria empat anak ini panen bunga sekitar 60 kg. “Per kg Rp30.000, buat ongkos metik Rp5.000 buat 20 orang. Setelah itu bersih buat saya,” katanya.

Pada Oktober, November, Januari dan Februari harga melati lebih mahal. Karena pada bulan-bulan itu, dia sudah punya pasar tetap ke Singapura. “Kalau bulan biasa per kg Rp30.000. Nah, yang ke Singapura itu harga berkisar Rp100.000 sampai Rp200.000 per kg.”

Sarmujo nyaman dan hidup cukup dari berkebun melati. Dari kebun inilah dia hidup sehari-hari sampai menyekolahkan anak-anak.

Namun, kegembiraan hidup Sarmujo terusik kala rencana pembangunan PLTU Batang, masuk ke kampung mereka.

Sejak 2012, dia mulai didatangi polisi maupun tentara. Para aparat ini ikut membujuk Sarmujo agar menjual lahan.

“Saya bilang, tanah itu ditinggalkan dari nenek moyang. Ini buat kerjaan sehari-hari, buat makan dan sekolahkan anak. Saya tak mau menjual.” Mereka terus datang, kadang seminggu dua kali. Kadang datang berdua, berempat, atau berenam.

Sampai-sampai, dia tak lagi menggunakan telepon seluler karena kerap diintimidasi agar menjual tanah.

Pengaturan Kawasan Pantai Ujungnegoro dan Roban. Dokumen: Badan Lingkungan Hidup Jawa Tengah

Namun, ketenangan Sarmujo tak bertahan lama, pekan lalu intimidasi kembali datang. Beberapa orang mulai hilir mudik meminta agar dia mau menjual tanah. “Polisi dan tentara datang kini sudah setop sejak Ganjar Pranowo naik (Gubernur Jawa Tengah). Saya sudah tenang, sekarang datang lagi, khawatir lagi. Bedanya, kalau dulu polisi dan tentara, sekarang warga.”

Mereka mendesak, Sarmujo mau menjual tanah terlebih saat ini harga tinggi. “Pak, tanah harus dijual. Dulu Rp100.000, sekarang Rp400.000 per meter. Saya bilang, dulu tak dijual. Sekarangpun tidak.”

Mereka lalu pergi. “Nanti datang lagi, ganti orang lagi. Kadang datang satu atau dua orang,” katanya.

Wahyu Nandang Herawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, perkembangan terakhir, intimidasi dan teror masih terus berlanjut.

Pada Jumat (12/9/14), YLBHI, dan perwakilan warga melaporkan lagi kasus intimidasi yang dialami warga dan aktivis Greenpeace.

“Karena intimidasi dilakukan militer dan preman. Seperti Untung diancam akan dibunuh karena mengawal kawan-kawan Greenpeace,” katanya.

Desak tolak PLTU Batang hingga ke Jepang

Taryun dan Roidi, dua warga Batang, pada 7-10 September 2014, ke Jepang untuk menyuarakan penolakan PTLU Batang. Bersama Greenpece, YLBHI dan organisasi lingkungan di Jepang, mereka menemui perlemen Jepang, pemerintah Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan perusahaan. Sayangnya, perusahaan, tak mau menemui.

Mizuho Fukushima, anggota parlemen Jepang, mantan Menteri Negara Urusan Konsumen dan Keamanan Pangan, Sosial, dan Kesetaraan Gender,  mendukung gerakan dua warga Batang di Jepang yang menyampaikan penolakan dan menuntut pembatalan mega proyek PLTU US$4 miliar oleh konsorsium Jepang.

Arif Fiyanto, juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia,  mengatakan, dalam pertemuan itu Mizuho mendesak perwakilan dari Kementerian Keuangan dan JBIC menemui perwakilan warga Batang.

Mizuho menegaskan, kepada JBIC dan Kementerian Keuangan, Jepang harus mengacu prinsip-prinsip hak azazi manusia [HAM] dan lingkungan dalam investasi. Dia meminta investasi dihentikan karena tak ada investasi batubara bersih lingkungan dan demi menjaga hubungan baik kedua negara.

Hirofumi Oishi, Director Press and External Affairs Division JBIC, dan Kazunori Ogawa, Deputy Director Power and Water Finance Department JBIC, akan mempertimbangan suara masyarakat, Pemerintah Indonesia, dan perusahaan, sebelum memutuskan meneruskan atau membatalkan PLTU itu.

Sebelumnya,  Naoto Sakaguchi, Direktur Jenderal Departemen Internasional Partai Restorasi, juga terkejut mengetahui yang terjadi di Batang. Dia berjanji,  memanggil JBIC, dan Menteri Luar Negeri. “Ini tak hanya merugikan rakyat Indonesia, tetapi akan merusak citra Jepang di mata internasional,” kata Arif, mengutip ucapan Sakaguchi.

Organisasi lingkungan di Jepang, seperti Friends of the Earth (FoE), Greenpeace Jepang, dan banyak lagi, mendukung aksi mereka. FoE akan melanjutkan desakan kepada pemerintah dan parlemen untuk membatalkan pembangunan PLTU Batang.

Roidi, warga Batang,  yang aksi ke Jepang mengatakan, kampanye di Jepang,  sangat penting karena investasi PLTU Batang,  disokong investor dan pemerintah Jepang serta didanai JBIC. “Ke Jepang salah satu perjuangan untuk suarakan aspirasi penolakan PLTU Batang.”

Di sana, investor tak mau menemui. “Namun kami lewat DPR Jepang diketemukan dengan JBIC dan perwakilan menteri keuangan. Kami minta JBIC jangan turunkan dana untuk PLTU Batang.”

Jika PLTU Batang terealisasi, katanya, akan menyengsarakan petani, nelayan dan warga sekitar. “Kami sudah survei ke Cilacap, Jepara, bahwa PLTU batubara sangat merugikan warga. Debu batubara sangat ganggu kesehatan warga sekitar.”

Belum lagi, kata Roidi,  lahan-lahan pertanian produktif dan laut yang kaya ikan terancam dengan PLTU. “Jadi sebelum petani dan nelayan terganggu, dari awal kami tolak. Agar warga sekitar batang tak alami nasib sama seperti di PLTU lain yang sudah dibangun.”

Senada dengan Taryun. “Jangan sampai ada investasi yang merusak pertanian.”

 

Peta Struktur Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah. Nelayan khawatir kehadiran PLTU Batang akan merusak kawasan konservasi laut dan mengancam sumber perikanan mereka. Dokumen: LBH Semarang

Taryun dan Roidi, dua warga Batang kala aksi di depan kantor JBIC di Jepang. Foto: YLBHI

Taryun dan Roidi, dua warga Batang kala aksi di depan kantor JBIC di Jepang. Foto: YLBHI

 

 


Soal PLTU Batang, Preman Intimidasi Warga dan Aktivis Greenpeace was first posted on September 14, 2014 at 3:00 am.

Inkuiri Nasional Sumatera: 12 Komunitas Adat Ungkap Kebijakan Pemerintah Rampas Wilayah Kelola Masyarakat

$
0
0
Proses inkuiri nasional di Medan, Sumatera Utara mendengarkan kesaksian dari 12 komunitas atas yang berkonflik dengan pemerintah maupun perusahaan di kawasan hutan. Foto: Ayat S Karokaro

Proses inkuiri nasional di Medan, Sumatera Utara mendengarkan kesaksian dari 12 komunitas atas yang berkonflik dengan pemerintah maupun perusahaan di kawasan hutan. Foto: Ayat S Karokaro

Inkuiri nasional Komnas HAM di Kantor Hukum dan HAM Sumatera Utara, Medan selama tiga hari, menghadirkan sekitar 12 tokoh masyarakat adat dari wilayah Sumatera.

Kesaksian mereka didengarkan oleh perwakilan pemerintah baik kabupaten dan kota maupun provinsi, aparat penegak hukum seperti kepolisian, pakar, sampai akademisi serta dari kalangan NGO.  Pemerintah daerah juga dimintai keterangan terkait konflik lahan masyarakat adat di lima provinsi ini. Dari kesaksian 12 komunitas adat ini terlihat dampak kebijakan pemerintah yang menghilangkan wilayah kelola masyarakat.

Kala para tokoh adat bersaksi, bak sidang peradilan umum, komisioner Komnas HAM, fokus mengorek informasi yang mereka perlukan.

Haposan Sinambela, dan Opung Putra, dua masyarakat adat dari  Desa Pandumaan dan Sipatuhuta di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, pertama didengarkan keterangannya. Dua desa ini masih berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari, karena izin konsesi dari pemerintah masuk wilayah adat mereka.

Sinambela, juga pendeta memberikan penjelasan dan memaparkan berurutan, bagaimana konflik terjadi, dan bagaimana masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, bertahan menjaga hutan adat agar tidak dirusak TPL..

“Masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta sudah ada sebelum republik ini berdiri. Kami menjaga hutan tetap subur, dan mengelola dengan tidak merusak, yang berdampak pada hutan hancur, satwa marti. “Termasuk hutan haminjon, rusak, selama turun temurun dikelola buat menambah ekonomi masyarakat.”

Sedang Opung Putra, bercerita bagaimana peristiwa kekerasan dan teror terjadi di desa mereka, karena menolak hutan kemenyan hancur dan berganti pohon ekaliptus milik TPL. Tak pelak pohon penyimpan air berkurang hingga kekeringan.

“Terjadi pelanggaran HAM ketika kami menolak hutan kemenyan dihancurkan TPL. Brimob datang menggunakan senjata api, letusan, penangkapan, penyekapan terhadap perempuan dan anak terjadi, ” kata Putra, sambil menghusap airmata yang menetes di pipinya yang mulai berkerut.

Wina Khairina, direktur Hutan Rakyat Institue (HaRI), mengatakan, hari pertama inkuiri nasional mendengarkan keterangan masyarakat adat Pandumaan- Sipituhuta di Sumut dan Desa Margo Semende Nasal di Bengkulu.

Kesimpulannya, ditemukan kebijakan negara berdampak tanah kelola masyarakat adat hilang di dua wilayah Sumatera ini.

Dari inkuiri ini, diduga terjadi pelanggaran atas hak akses budaya, untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam, hak atas pemulihan (redress) yang adil untuk sumber penghidupan dan pembangunan dirampas. Lalu, hak tanah, wilayah, dan sumber daya yang secara tradisional mereka miliki, kuasai, atau digunakan atau warisi. Juga terjadi pelanggaran hak mendapatkan akses kepada keputusan cepat melalui cara-cara adil dalam menyelesaikan konflik dan perselisihan dengan negara atau dengan pihak lain. “Juga perampasan tanah kelola masyarakat adat melalui kebijakan negara,” katanya.

Hutan yang dulu banyak pohon kemenyan kini menjadi ‘kebun’ ekaliptus. Foto: Ayat S Karokaro

Sedangkan kasus Masyarakat Adat Margo Semende Nasal, juga dihadirkan dalam inkuiri  ini. Akar masalah, konflik pertanahan antara masyarakat adat ini, dengan Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 

Konflik dalam bentuk perebutan lahan karena terbit sejumlah peraturan dari 1982 sampai 2007, terkait penetapan TNBBS, secara sepihak tanpa benar-benar melibatkan mayarakat, dan memperhatikan realitas sosial masyarakat disana.

Dari keterangan masyarakat adat juga terungkap pemberian label ‘perambah hutan’ oleh BTNBBS, Kepolisian Resort Kaur, dan Pemerintah Kabupaten Kaur, menyebabkan tindakan kekerasan mulai intimidasi atau ancaman, pembakaran rumah dan lahan pertanian, penangkapan secara paksa. Bahkan vonis penjara.

Masyarakat Margo Semende Nasal, katanya, terancam kehilangan tanah adat, pemukiman, dan kehilangan lahan pertanian. “Potensi kehilangan adat istiadat juga sangat besar.”

Dari inkuiri ini diduga terjadi pelanggaran hak mendapatkan perlindungan reputasi, karena dituduh perambah hutan, hak persamaan di depan hukum, hak sebagai subyek hukum, hak atas keamanan dan integritas pribadi. Juga hak mendapatkan perlindungan reputasi, hak menikmati kondisi hidup memadai, terutama yang berhubungan dengan perumahan. Lalu, hak rasa aman dan hak perlindungan oleh negara dari kekerasan.

Bungaran Antonius Simanjuntak, Pakar Antropologi Sosial dan Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed), menyikapi putusan MK 35, yang menyatakan hutan adat bukan hutan negara.

Bungaran mengatakan, putusan MK ini harus terealisasi di lapangan hingga menyelesaikan konflik-konflik yang ada.

Fakta perampasan hak-hak masyarakat adat telah berlangsung sejak lama, tanpa ada penyelesaian adil  karena kebijakan negara pro pemodal. Korupsi di jajaran lembaga negara pun menggila, seperti di Kementerian Kehutanan.

“Putusan MK ini, makin menguatkan fakta buruk ada pengelolaan salah dalam mengatur hutan negara. Hutan adat selama ini diklaim milik negara. Reformasi birokrasi dan penuntasan korupsi di tubuh instansi pemerintahan perlu segera,” kata Bungaran.

Sedangkan Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM, menambahkan, perlu ada mekanisme yang baik menindaklanjuti keputusan MK  ini. Dalam momentum kepemimpinan nasional yang baru, tim nasional inkuiri dipimpin Komnas HAM, akan mengusulkan kepada para pengambil kebijakan, terutama Presiden untuk harmonisasi atas berbagai peraturan perundang-undangan. Juga mengkaji dan revisi UU agraria, karena tidak mungkin ada penyelesaian adil tanpa pembenahan hukum.

Rumah warga adat yang dibakar dalam operasi gabungan TNBBS di Bengkulu. Foto: AMAN Bengkulu


Inkuiri Nasional Sumatera: 12 Komunitas Adat Ungkap Kebijakan Pemerintah Rampas Wilayah Kelola Masyarakat was first posted on September 15, 2014 at 1:41 pm.

Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida

$
0
0
Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Petani sedang memilih rumput laut. Foto: Anton Muhajir

Pesisir Bali,  boleh tersohor karena aktivitas turis seperti berjemur atau diving, namun para petani rumput laut juga punya hak atas pemanfaatan pesisir.

Bali satu dari sembilan provinsi penghasil rumput laut di Indonesia. Rumput laut dibudidayakan di tiga pulau di tenggara Bali, yakni Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Semua ada di Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung.

Selain sumber pendapatan warga, lahan-lahan dan kegiatan petani rumput laut mempercantik ketiga pulau itu. Aktivitas memasang bibit, mengayuh perahu, dan memanen merupakan pemandangan istimewa. Mereka kerap menjadi foto ikonik di majalah jalan-jalan dengan latar sunset atau sunrise.

Ironisnya, petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Sejak Juli, hingga kini, hasil panen turun lebih 50% karena cuaca buruk. Angin kencang dan ombak keras merusak lahan budidaya.

“Hasil panen menurun drastis sampai 60%, cuaca buruk sejak Juli,” kata I Ketut Jagra, petani kelompok Mertha Segara, Desa Semaya, Nusa Penida. Desa ini salah satu pusat budidaya rumput laut di Klungkung.

Biasa sekali panen, antara 25-35 hari, pria ini menghasilkan 400 kg rumput laut kering atau siap jual ke pengepul. Kini hampir tiga bulan, tiap panen hanya 150-200 kg.

Jagra mengatakan, rumput laut rontok terbawa arus karena gelombang tinggi akhir-akhir ini. “Katanya cuaca buruk sampai bulan sebelas.”

Desa-desa pusat produksi rumput laut di Nusa Penida antara lain Desa Suana, Batununggul, Kutampi Kaler, Ped, dan Toyapakeh. Desa lain yang termasuk Nusa Penida tapi di Pulau Nusa Lembongan adalah Desa Jungut Batu dan Lembongan.

I Nyoman Murta, kepala Desa Lembongan, mengatakan,  di desanya sudah berdiri sekitar 50 fasilitas akomodasi besar dan kecil, penghasilan utama warga adalah rumput laut. “Lebih 90% sumber penghasilan rumput laut. Sisanya, jadi pegawai hotel dan lain-lain.” Jika dijumlahkan,  dengan Desa Jungut Batu, katanya, akomodasi sekitar 150 unit, dari hotel, penginapan, vila, dan lain-lain.

Menurut dia, petani mengeluhkan limbah dari akomodasi wisata yang dibuang langsung ke laut lepas. “Baru saja 21 Agustus lalu kami merapatkan dengan Bupati Klungkung untuk membina hotel agar tak buang limbah sembarangan.”

Limbah merusak kualitas rumput laut bahkan mematikan. Ada limbah cair domestik dan limbah padat seperti sampah. Murta menyebutkan, pernah ada beberapa kasus petani harus pindah karena tergusur hotel.

Dari desa-desa ini, Nusa Penida menghasilkan dua jenis rumput laut untuk konsumsi dunia yaitu catony dan spinosum. Dengan rata-rata luas lahan petani 10-15 are, berdasarkan data Coral Triangle Centre (CTC), total hasil panen rumput laut di Nusa Penida sekitar 40-50 ton per sekali panen.

Menurut Wayan Sukadana, ketua Yayasan Nusa Penida, masalah terbesar dihadapi petani cuaca ekstrim dan penanganan pascapanen serta perlindungan alih fungsi lahan untuk pariwisata. Untuk itu, katanya, ada tiga hal perlu dilakukan pemerintah dalam mendukung petani rumput laut di Nusa Penida. Pertama membantu penanganan pascapanen. Selama ini, petani rumput laut tidak pernah mendapat pelatihan penanganan pascapanen. Petanipun masih menjemur secara tradisional. Mereka juga tak bisa membuat para-para untuk menjemur karena tidak punya cukup modal.

Petani rumput laut Nusa Penida, ruang kelola makin terhimpit di tengah perkembangan fasilitas pariwisata di sana. Foto: Anton Muhajir

Petani rumput laut Nusa Penida, ruang kelola makin terhimpit di tengah perkembangan fasilitas pariwisata di sana. Foto: Anton Muhajir

Kedua, pemerintah sebaiknya membangun pabrik pengolahan rumput laut di Nusa Penida. “Jika ada pabrik pengolahan, petani tak perlu menjual ke Surabaya lewat tengkulak. Saya yakin harga akan lebih tinggi.”

Ketiga, perlu komitmen pemerintah agar petani di Nusa Penida tidak tergusur pariwisata. Pariwisata menjadi satu ancaman petani rumput laut di sana dan sudah terjadi di Nusa Lembongan. Dampak pembangunan hotel, vila, atau fasilitas pariwisata lain, petani rumput laut di Nusa Lembongan tergusur.

“Selain karena lahan dipakai membangun fasilitas pariwisata, rumput laut bisa tercemar limbah pariwisata hingga rusak. Jangan sampai hal serupa terjadi di Nusa Penida,” ujar Sukadana.

Jika berkunjung dan memasuki desa-desa penghasil rumput laut di kepulauan ini, bisa melihat kendala lain yakni lahan menjemur terbatas. Jalanan desa sempit kerap menjadi area penjemuran selain di tepi pantai. Kendaraan makin bertambah karena banyak wisatawan ke kawasan ini hingga perlu pelebaran jalan dan penataan dini.

Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut tahun 2013 sebanyak 145.597 ton, atau naik satu persen dibandingkan 2012, sebesar 144.000 ton.

Harga rumput laut kering berbeda tergantung jenis. Rumput laut spinosum—dikenal warga setempat dengan bulung–biasa Rp5.000 per kg kering dua hari. Untuk catony atau bulung gondrong bisa sampai Rp15.000 per kg.

Kawasan konservasi perairan

Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo meresmikan kawasan Nusa Penida menjadi kawasan konservasi perairan (KKP) pada 9 Juni 2014. Perairan  ini memiliki keragaman hayati tinggi, hampir 150 hektar terumbu karang dengan 296 jenis karang.  Kawasan ini termasuk global triangle center dengan 576 jenis ikan, lima baru. Area ini menjadi cleaning station ikan mola-mola atau sunfish.

Penetapan KKP ini melalui proses panjang hingga keluar Keputusan Bupati Klungkung mengenai pengesahan dokumen rencana pengelolaan jangka panjang 20 tahun dan zonasi KKP Nusa Penida. Meliputi kawasan lebih 20 ribu hektar. Zona inti hampir 500 hektar, perikanan berkelanjutan hampir 17.000 hektar, dan budidaya rumput laut 464 hektar. Ada zona pariwisata bahari 1.200 hektar, dan lain-lain.

Zona perikanan berkelanjutan secara teknis, misal, untuk penangkapan ikan dengan alat dan cara ramah lingkungan, pariwisata, penelitian dan pendidikan. Pada zona bahari khusus ditetapkan pukul 9.00-16.00. Mulai 416.00-09.00 jadi zona perikanan tradisional.

Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta meminta, kementerian juga memperhatikan infrastruktur dan masalah lain sebagai tindak lanjut penetapan KKP. Dia menargetkan, pertumbuhan kunjungan wisatawan rata-rata 200.000 orang per tahun.

Nusa Penida merupakan pulau terpisah dari Bali daratan. Perjalanan ke Nusa Penida bisa lewat beberapa jalur seperti dermaga Sanur di Denpasar, Kusamba di Klungkung, atau pelabuhan Padang Bai di Karangasem. Terpisah oleh Selat Badung di sisi tenggara Bali, pulau seluas 20.284 hektar, terluas dibanding Lembongan dan Ceningan ini seperti tenggelam di antara gemerlap pariwisata Bali selatan.

Petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Foto: Anton Muhajir

Petani makin terdesak karena lahan budidaya dan mengeringkan makin sedikit dan perubahan iklim. Foto: Anton Muhajir


Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida was first posted on September 17, 2014 at 3:59 pm.

Pertanian Terancam, Warga Desak Presiden Baru Batalkan PLTU Batang

$
0
0
Aksi warga Batang di Jakarta, mendesak Menteri Koordinator Perekonomian membatalkan proyek pembangunan PLTU batubara di Batang. Mereka juga meminta hal serupa kepada Presiden terpilih, Joko Widodo. Foto: Greenpeace

Aksi warga Batang di Jakarta, mendesak Menteri Koordinator Perekonomian membatalkan proyek pembangunan PLTU batubara di Batang. Mereka juga meminta hal serupa kepada Presiden terpilih, Joko Widodo. Foto: Greenpeace

Pilih Pangan, Bukan Batubara, Tolak PLTU Batang.” Begitu bunyi spanduk yang dibawa warga Batang dalam aksi, Rabu (17/9/14) di depan Kementerian Koordinator Perekonomian di Jakarta. Mereka meminta Chaerul Tanjung, selaku Plt Menteri Koordinator Perekonomian agar menghentikan pembangunan PLTU batubara di Batang, Jawa Tengah.

Setelah itu, ratusan orang ini menuju ke Rumah Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perwakilan warga Batang mengingatkan Jokowi kala masa kampanye pernah berjanji menghentikan pembangunan PLTU batubara ini, bila warga keberatan.

“Warga mendesak Presiden terpilih menunjukkan komitmen terhadap masalah kedaulatan pangan. Sebab PLTU batubara ini akan dibangun di atas ratusan hektar lahan persawahan produktif beririgasi teknis yang dapat panen tiga kali setahun,” kata Arif Fiyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dalam rilis  kepada media, Rabu (17/9/14).

Dia mengatakan, memaksakan PLTU batubara Batang sama dengan menutup mata terhadap konversi sawah produktif di Jawa. Satu sisi, Indonesia masih mengimpor beras. Jika PLTU Batang dibangun, pasokan beras kabupaten ini berpotensi menyusut sekitar 619,88 ton dari total 17.975 ton.

Tak hanya merugikan lahan persawahan produktif, PLTU Batang juga berpotensi mencemari kawasan pesisir.  “Batang kaya ikan. Ini salah satu perairan di pantai utara Jawa yang menjadi tumpuan utama para nelayan.”

Wahyu Nandang Herawan, pengacara publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan, Chairul Tanjung harus bersikap bijak dan aspiratif terkait keberlanjutan PLTU Batang. “Para pemilik lahan tak mau menjual tanah. Sepatutnya Chairul Tanjung bersikap tegas tidak membangun PLTU Batang. Jika dibiarkan terus, akan berpotensi konflik tidak berkesudahan. Akan banyak pelanggaran HAM terhadap warga.”

Dia juga mendesak, Jokowi harus mendengarkan dan memutuskan sesuai kehendak rakyat. Warga Batang, katanya, tegas menolak PLTU. “Saatnya Jokowi membuktikan janji mendengar aspirasi rakyat dan mendorong kedaulatan pangan.”

Menjelang masa financial closing, yang direncanakan 6 Oktober ini, Batang lebih ‘memanas.’ Preman-preman kembali bergerilya berupaya membujuk dan menekan warga menjual lahan. Bahkan, kala aktivis Greenpeace berkunjung ke Batang, mendapatkan ancaman dari para preman itu.

Sejak awal, warga Batang, menolak pembangunan PLTU dengan kapasitas 2×1.000 MW ini. Berbagai aksi mereka lakukan dari Batang, Jakarta bahkan hingga ke Jepang. Warga Desa Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban terus berjuang.

Seorang ibu membawa poster salah satu warga yang dipenjara gara-gara menolak PLTU Batang, kala aksi di Jakarta. Foto: Greenpeace

Seorang ibu membawa poster salah satu warga yang dipenjara gara-gara menolak PLTU Batang, kala aksi di Jakarta. Foto: Greenpeace

Warga Batang penolak PLTU Batang ke Jakarta. Mereka meminta Presiden terpilih, berpihak ke petani dan nelayan yang terancam jika proyek ini terealisasi. Foto: Greenpeace

Warga Batang penolak PLTU Batang ke Jakarta. Mereka meminta Presiden terpilih, berpihak ke petani dan nelayan yang terancam jika proyek ini terealisasi. Foto: Greenpeace

 


Pertanian Terancam, Warga Desak Presiden Baru Batalkan PLTU Batang was first posted on September 18, 2014 at 1:26 am.

Aneh, Izin Kadaluarsa, Kok Amdal Tambang Zircon Diterima

$
0
0

Lokasi tambang zircon di Dusun Tanjung Keramat, Desa Nanga Tempunak, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalbar. Warga protes karena perusahaan tak ada sosialisasi. Di Kalimantan Tengah, Amdal tambang serupa  diterima padahal izin tambang sudah mati. Proses-proses administrasi izin seperti ini berpotensi menimbulkan masalah di lapangan. Foto: Yuzrizal

Perizinan tambang zircon PT. Giri Indahandalan (GI) sudah kadaluarsa. SK Walikota Palangkaraya No 93 Tahun 2010, terbit 1 Februari, berlaku tiga tahun. Namun, Walikota Palangkaraya H.M. Riban Satia, justru menerbitkan kesepakatan kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) Nomor 69 tertanggal 17 Januari 2014. Kesepakatan keluar saat izin sudah tak berlaku.

“Saya melihat dokumen ini ngeri-ngeri sedap. Kalau berbicara soal kelayakan lingkungan, gak bisa dilepaskan dari kelayakan administrasi. Jadi bullshit berbicara lingkungan tapi dokumen bodong,” kata Kussaritano, direktur eksekutif Mitra Lingkungan Hidup Kalteng, dalam rapat Komisi Amdal di aula Bappeda Palangkaraya, Selasa (9/9/14).

GI memperoleh izin Walikota Palangkaraya untuk pertambangan zircon seluas 3.014 hektar di Kelurahan Pager, Kecamatanan Rakumpit, Palangkaraya.

Itan begitu dia biasa disapa mengatakan, dalam konteks kelayakan lingkungan harus disertakan data-data pendukung konkrit, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dia menilai, dokumen Amdal yang ada tak memperbaiki beberapa saran masukan saat rapat terdahulu.  Sebelumnya, ada rapat teknis pada Maret. Amdal juga diumumkan melalui Palangka Post, pada 26-28 Februari 2013–saat itu perizinan telah kadaluarasa. Sedang sosialisasi 4 April 2013.

“Sekarang ada lagi rapat tetapi hal yang harus diperbaiki tidak diperhatikan. Melihat SK perizinan, dasar hukum jelas. Ketika berbicara soal Amdal, ada empat aspek. Uji administrasi, relevansi, kedalaman dan konsistensi dokumen. Perizinan itu bagian dari uji administrasi.”

Komisi Amdal Palangkaraya,  katanya, mempunyai tanggungjawab moral yang harus dijaga.  Jangan sampai, buntut izin ini memaksa walikota diperiksa KPK karena menyalahi aturan.

“Harus kita garisbawahi. Karena SK berlaku tiga tahun. Artinya, ia sudah tidak berlaku sejak 2013. Kalau saya lihat, bagaimana konteks ketika muncul kesepakatan kerangka acuan diterbitkan walikota 17 Januari 2014 dikaitkan kontrak penyusunan dokumen Amdal? Ini menarik.”

Menurut dia, tiga nama konsultan penyusun dokumen Amdal pertambangan zircon ini jadi taruhan. Padahal, mereka mempunyai lisensi dan sertifikasi. “Bagaimana bisa menerima kontrak penyusunan dokumen Amdal padahal izin sudah tidak berlaku?”

Tercantum nama konsultan tertera dalam dokumen Amdal itu antara lain, Junaidi, Najamuddin, dan Yansen Noky.  Sertifikat lisensi Yansen Noky, kadaluarsa. “Jadi bukan hanya pemda yang kena, tapi teman-teman konsultan juga kena,” kata Itan.

Seharusnya, konsultan tak boleh menerima kontrak penyusunan dokumen Amdal karena izin sudah tak berlaku. “Tidak boleh ada data fiktif. Jangan sampai ada kesan sengaja melakukan kesalahan. Bagaimanapun, konsekuensi nanti ketika audit, pertama kali diperiksa keluar SK,” katanya.

Dalam dokumen Amdal sekarang, konsultan sudah memprediksi besaran produksi tambang dan umur ditetapkan 11 tahun. Itan beranggapan, ketika konsultan mendapatkan angka pasti datang ke lokasi.

“Dalam ilmu kehutanan,  itu namanya tahapan eksplorasi. Pertanyaan saya, apakah ketika masuk ke kawasan hutan hingga memunculkan angka-angka itu ada izin pinjam pakai tahap eksplorasi?”

Menurut dia, ketika berbicara soal izin pinjam pakai, ada dua tahap, yakni kala eksplorasi, dan izin operasi produksi.

Dia menilai, materi dokumen Amdal tidak jelas. Di dalam dokumen tertulis akan ada penciutan lahan menjadi 1.094 hektar tetapi tidak dicantumkan lokasi, aspek legalitas dan titik koordinat.

Angka-angka dalam perencanaan pertambangan menandakan perusahaan bersama konsultan telah eksplorasi. Padahal, perusahaan belum memiliki IPPKH eksplorasi.

“Kalau mau jelas, harus ada SK. Kalau tidak mengantongi SK, berarti abal-abal. Bisa jadi luasan berubah. BLH Kota akan kesulitan ketika pemantauan. Dasar hukum tidak ada. Saya berbicara konsistensi terhadap peraturan.”

Itan merekomendasikan penundahan pengesahan dokumen Amdal karena aspek kelengkapan administrasi tak terpenuhi.

Dalam SK Walikota Palangkaraya No 93 tahun 2010 tentang pemberian izin usaha pertambangan eksplorasi GI tercantum, jangka waktu berlaku IUP tiga tahun. Dengan perincian satu tahun penyelidikan umum, setahun eksplorasi, dan studi kelayakan setahun.

Dalam SK itu tertulis IUP eksplorasi bisa diberhentikan sementara, dicabut atau dibatalkan bila pemegang izin tidak memenuhi kewajiban dan larangan yang ditentukan. Jika tidak bisa memenuhi target tiga tahun, berarti izin tidak berlaku. IUP otomatis batal. Anehnya, 17 Januari,  walikota malah menerbitkan SK No 69 tahun 2014 tentang kesepakatan kerangka acuan analisis dampak lingkungan pertambangan itu.

Prosedurnya, perusahaan memproses dahulu perizinan pertambangan dengan meningkatkan status dari IUP ekplorasi menjadi IUP operasi. Dengan begitu bisa memproses perizinan lingkungan hidup seperti SK kelayaan lingkungan dan izin lingkungan. IUP eksplorasi zircon paling lama tiga tahun dan tidak bisa diperpanjang, melainkan ditingkatkan status menjadi IUP operasi produksi atau izin dicabut apabila tidak prospek.

“Seharusnya, pemerintah Palangkaraya tidak melanjutkan pembahasan Amdal sepanjang legalitas IUP belum jelas. Yang terjadi SK-KA analisis dampak lingkungan (Andal) terbit, padahal izin mati. Pembahasan Amdal dipaksakan, sedang izin belum diproses,” ucap Itan.

Kesempatan sama, Rawang, ketua BLH Palangkaraya mengatakan, hal berbeda. Dia beranggapan, pembahasan Andal sudah sesuai rekomendasi walikota. Juga sesuai rekomendasi rapat komisi Amdal terakhir.

“Saya menyadari, seharusnya izin eksplorasi itu satu grup dengan keputusan rekomendasi Amdal dan kelayakan lingkungan. Mungkin, yang menjadi pertimbangan Pak Wali (walikota) izin sudah berjalan, sudah ada, dan Amdal sangat panjang.  Hingga selama tiga tahun belum selesai, sampai izin mati.”

Rawang mengatakan, ada jaminan dari walikota memperpanjang izin ketika pembahasan Amdal selesai.  “Pak wali mengatakan, ketika Amdal selesai, hari ini juga izin perpanjangan ditandatangani. Ini yang menjadi dilema bagi komisi Amdal. Saya akui ini kurang pas,” katanya.

Pernyataan ini ditimpal Itan. Berarti ini berlaku surut ya pak?” Peserta rapat komisi, tertawa. Mereka seakan sadar bahwa ini menyalahi aturan.

“Saya mohon, ini kebijakan kita.  Ini bisa berlaku. Bagaimana teknis nanti, itu ditangani biro hukum. Kesepakatan  kerangka acuan sudah jatuh. Perpanjangan izin dalam proses. Kita sama-sama memaklumi. Ini kebijakan dari Pak Walikota,” kata Rawang.

Direktur GI Saptaryo Kunindar,  mengatakan,  walikota memberikan jaminan, menerbitkan perpanjangan IUP, bersamaan kelayakan lingkungan dan izin lingkungan.

“Memang ini menjadi blunder bagi kami. Kondisi seperti ini. Kami berupaya supaya memenuhi aturan. Mundur sudah tidak bisa. Perpanjangan izin sedang berjalan.”

Itan tidak sepakat dengan itu. Menurut dia, aneh bin ajaib, ketika tanpa dasar hukum, dokumen Amdal masih bisa dibahas. “Perizinan kan kadaluarsa.”

Rapat ditutup dengan kesepakatan menerima dokumen Andal dengan catatan memperbaiki kelengkapan dokumen paling lambat 30 hari setelah rapat itu.


Aneh, Izin Kadaluarsa, Kok Amdal Tambang Zircon Diterima was first posted on September 20, 2014 at 5:51 am.

Nagari Sei Buluh: Kami Bergantung Hidup dari Hutan

$
0
0

Jengkol, salah satu tanaman andalan warga di Hutan Nagari Sei Buluh. Foto: Sapariah SaturiJengkol, salah satu tanaman andalan warga di Hutan Nagari Sei Buluh. Foto: Sapariah Saturi

Satu kawasan kebun warga berisi aneka ragam pepohonan. Ada pohon jengkol, petai, durian, nangka, karet, pinang, asam kandis dan lain-lain. Berbaur. Bersama pepohonan lain, beragam tanaman ini memenuhi hutan Nagari Sei Buluh, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, Sumatera Barat.

“Dari sinilah kami hidup sehari-hari. Kami menanam pohon-pohon ini karena berumur lama. Sampai anak cucu kami masih bisa menikmati. Ia juga menjadi hutan yang bermanfaat bagi kami,” kata Syafrizal Tanjung, Wali Korong Kuliek, akhir Agustus 2014. Pria 39 tahun ini sudah empat tahun menjadi wali korong.

Saya berkesempatan melihat-lihat kebun di hutan nagari bersama wali korong. Tak mudah akses ke sana, hanya bisa menggunakan sepeda motor sebagian, lalu berjalan kaki. Jalan setapak, cukup terjal, berliku dan naik turun. Kala musim hujan, jalan licin dan becek. “Ini warga gotong royong buat jalan setapak dan jembatan. Kami harapkan pemerintah bisa memperhatikan kesulitan akses jalan ini. Tak usah jalan lebar, cukup pengerasan hingga musim panas maupun hujan kami bisa mudah ke kebun.”

Di sana, sebagian tanaman sudah mulai berbuah. Pohon petai menjulang tinggi dan berbunga. Jengkolpun berbuah lebat.  Karet sudah mulai sadap. Di bawah pohon, Wali menanami cabai, jahe, kunyit dan tanaman lain. “Kami di sini gini, lahan di bawah pohon juga ditanami. Jadi, tak kosong, tanaman keras sampai bumbu-bumbu juga ada. Lumayan kan?”

Pohon durian yang sudah berusia puluhan tahun dan masih produktif. Foto: Sapariah Saturi

Pohon durian yang sudah berusia puluhan tahun dan masih produktif. Foto: Sapariah Saturi

Sebagian lahan baru mulai tanam. Tampak, pohon durian, karet, jengkol, petai sampai karet baru berumur sekitar setahun. Daun berwarna hijau muda sungguh menyegarkan mata.

Di kebun Syafrizal, tanaman mulai panen jengkol 30 pohon, 15 durian, dan petai 14 pohon. Dia mulai menanam lagi 50 pohon durian, 75 jengkol, dan ratusan karet.

Di bagian lain tampak tanaman karet, durian sampai jengkol yang sudah berumur puluhan tahun. “Ini dulu, nenek-nenek kami yang tanam. Kami masih bisa menikmati sampai sekarang.”

Menurut dia,  panen petai dan durian baru saja usai dan mulai berbunga lagi. Kini, warga bersiap panen jengkol. Biasa mereka menjual jengkol masih dengan kulit per karung berisi 28 kg.  “Kalau harga lagi tinggi per karung bisa Rp1,4 juta. Sekarang, lagi banyak panen, hanya Rp400 ribuan per karung. Mungkin ada sekitar 30 karung di kebun,” ujar dia.   Pada panen lalu, petai Rp15.000 per 10 tangkai. Kadang lebih mahal. Sedang asam kandis tak pakai musim, selalu ada. Buah kering per kg Rp5.000.

Di dataran rendah, warga juga bercocok tanam, dari padi, jagung, sampai kacang-kacangan. Hamparan sawah tampak di sekitar perumahan warga. “Semua yang kami tanam ini alami, tak ada yang pakai pupuk kimia,” ucap Syafrizal.

Asam kandis sedang dijemur. Kala sudah kering siap dijual ke pasar, per kg Rp5.000. Foto: Sapariah Saturi

Asam kandis sedang dijemur. Kala sudah kering siap dijual ke pasar, per kg Rp5.000. Foto: Sapariah Saturi

Menurut dia, tanaman tak hanya sejenis itu agar warga memiliki pendapatan terus menerus. Tanaman seperti durian, jengkol sampai petani itu buah musiman.  “Kalau habis panen durian. Kami tak putus. Menyusul panen petai, lalu jengkol. Yang bisa tiap hari diambil karet dan asam kandis atau pinang.  Kalau semua tanaman sama kami sekali saja panen. Sudah itu mau kerja apa?” ujar dia. 

Dalam membuka hutan pun, mereka mempunyai kearifan tersendiri. Warga menebang pohon tak sembarangan. Pohon ditebang dengan menyisakan sekitar satu meter dan masih hidup. Alasannya, kala pohon baru ditanam dan masih kecil, tanah ada penahan dengan pohon lama yang hidup walau sudah ditebang. “Nanti, kalau tanaman warga sudah besar, baru pohon itu ditebang.” Bukan itu saja, mereka tak asal tebang. Pohon-pohon besar yang berfungsi sebagai penyangga di kebun tetap berdiri kokoh.

Kala ingin menanam dan membersihkan lahanpun, tak dengan membakar. Tebangan pohon dan rumput dibiarkan mengering dulu sebelum ditanami. “Ini kan nanti jadi pupuk. Jadi kami biarkan saja dulu sampai kering, baru tanam.”

Lahan perkebunan dan pertanian warga itu, ada di hutan candangan, hutan kelola dan hutan kesepakatan. Hutan cadangan, yakni kawasan budidaya pertanian dan perkebunan tetapi buat cadangan generasi berikut. Lalu, hutan kesepakatan merupakan kawasan agroforest berdasarkan kesepakatan masyarakat. Sedang hutan kelola merupakan kawasan untuk kehidupan sehari-hari warga, seperti parak dan sawah.

Pohon petai menjulang dan tengah berbunga. Foto: Sapariah Saturi

Pohon petai menjulang dan tengah berbunga. Foto: Sapariah Saturi

Ada satu lagi, hutan larangan. Hutan di kawasan ini tak boleh diganggu oleh penebangan sama sekali. Korong Kuliek dan Korong Salisikan, berada di hulu sungai hingga memiliki hutan larangan. “Dari hulu sungai di hutan inilah pasokan air PDAM berasal,” katanya.

Air di hulu sungai jernih dan mengalir deras memehuni kebutuhan air bersih warga nagari, irigasi dan zonasi sungai. Air bersih dan jernih memungkinan ikan-ikan berkembang.  Di Sungai Salisikan, sepanjang 15 km, mereka menerapkan zona tangkap ikan guna menjaga keberlangsungan ikan-ikan di sana. Ada zona larang  tangkap sepanjang tiga km, zona penyangga dan zona bebas. Syafrizal berencana menerapkan hal serupa di Sungai Kuliek.

Dia mengatakan, menjaga hutan menjadi kewajiban. Hutan, katanya, merupakan sumber kehidupan mereka. “Kalau hutan tak dijaga, dari mana mau mata pencarian? Air bersih? Bencana banjir dan longsor pun mengancam. Yang rugi kami juga. Bagi kami, hutan lestari, masyarakat sejahtera.”

Kehadiran hutan nagari ini tak lepas dari peran Wali Korong Kuliek ini. Menurut dia, keinginan ada hutan nagari berawal kala dia menonton TVRI. Tayangan beberapa kasus konflik lahan di Sumatera dan Kalimantan, membuat dia khawatir akan wilayah kelola warga. “Kami kelola tanah ulayat, tapi menurut pemerintah itu hutan lindung. Bisa jadi macam di tivi itu menimpa kami,” katanya.

Sungai nan deras, jernih dan bersih sebagai sumber     air minum, irigasi. Baahkan, PDAM di daerah ini bergantung air dari daerah ini. Foto: Sapariah Saturi

Sungai nan deras, jernih dan bersih sebagai sumber air minum, irigasi. Baahkan, PDAM di daerah ini bergantung air dari daerah ini. Foto: Sapariah Saturi

Diskusi dan rapat-rapatpun dilakukan dan berlanjut pengusulan hutan nagari, yang difasilitasi Warsi, di lokasi hulu-hulu sungai Korong Salisikan dan Kuliek seluas 2.500 hektar. Keputusan hutan nagari seluas 1.336 hektar, dari Kemenhut keluar pada 2 Desember 2013.

Di kawasan ini, selain tanaman yang sudah dikelola warga, banyak potensi lain bisa dimanfaatkan, seperti rotan, manau, madu hutan, pandan, bambu, jamur, sarang walet sampai obyek wisata. Ada beberapa lokasi berpotensi menjadi tempat pemandian, air terjun di Lubuk Sarasah, sampai arung jeram seperti di Kuliek dan Salisikan.

Mereka berencana menjadikan itu obyek wisata alam. Air deras berbatu-batu besar dengan kiri kanan pepohonan rimbun menjadi pemandangan indah dan menarik. “Sudah mulai kalau hari libur, orang dari kota datang ke sini untuk mandi bersama keluarga.” Syafrizal menunjuk ke Sungai Salisikan, beberapa orang bermandi riang di tengah air deras di sela-sela bebatuan.

Keragaman hayati pun masih banyak di hutan ini. Ada harimau Sumatera, kukang, kijang, landak, monyet, rusa, babi hutan sampai berbagai macam spesies burung dan mamalia kecil. Untuk jenis kayu, ada mahoni, madang, surian, paniang-paniang dan lain-lain.

Salisikan dan Kuliek, dua dari delapan korong di Nagari Sei Buluh. Selain itu, ada Korong Kampung Apar, Tanjung Basung, Banda Cino, Kabun, Talang Jala dan Pasa Usang.

Nagari Sei Buluh,  sepertiga kawasan berada di Bukit Barisan dengan topografi berbukit dengan ketinggian 12-800 meter dari permukaan laut. Penduduk nagari ini sekitar 14.672 jiwa atau 3.542 keluarga dengan luas wilayah 19.250 hektar. Warga di sini terdiri dari beberapa suku, antara lain, Suku Panyalai, Tanjuang, Koto, Jambak dan Guci. 

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ (berbaju biru bertopi) tengah berbincang dengan Saharudiin, Wali Nagari Sei Buluh, 26 Agustus 2014. Foto: Sapariah Saturi

Heru Prasetyo, kepala BP REDD+ (berbaju biru bertopi) tengah berbincang dengan Saharuddin, Wali Nagari Sei Buluh, 26 Agustus 2014. Foto: Sapariah Saturi

Saharuddin, Wali Nagari Sei Buluh mengatakan, warga menjaga hutan agar tak terjarah. Terlebih, Korong Salisikan dan Kuliek, berada di dataran tinggi. Kalau, hutan gundul maka bencana alam terjadi. Warga pun melakukan pengawasan dan patroli hutan mandiri serta bergiliran.

Meskipun begitu, menjaga hutan bukan perkara mudah. Ada saja tangan-tangan jahil menebang pohon terutama di hutan larangan. “Masih ada penebang liar. Beberapa waktu lalu warga memergoki tiga orang penebang liar. Mereka melarikan diri, tapi gergaji mesin berhasil disita.”

Tak pelak, beberapa bagian hutan yang harus terjaga sempat terbabat. Hal ini pula yang menambah dorongan mereka mendapatkan hutan nagari. “Sekaligus mengelola, kami juga bisa mengawasi hutan lebih ketat lagi,” kata Saharuddin.

Warga nagari sudah mengalami beberapa kali banjir dan longsor dampak hutan terjarah, kali terakhir 2013. “Jembatan, jalan, rumah-rumah sampai lahan pertanian habis terendam. Tanggul di Salisikan juga jebol.”

Hal ini dibenarkan M Hasan K, Wali Korong Salisikan. Dia memperlihatkan bekas tanggul jebol yang hingga kini belum diperbaiki oleh pemerintah. Batu-batu tampak berserakan tak beraturan di tepian Sungai Salisikan.

“Tanggul cuma batu ditumpuk-tumpuk. Hujan deras, jebol. Habis rumah, dan sawah warga. Itu karena hutan di sana ada yang nebang,” katanya sambil menunjukkan hutan di dataran tinggi di seberang sungai.  Dia berharap, pemerintah segera membangun kembali waduk dengan lebih permanen. 

Sisa-sisa tanggul yang jebol kala diterjang hujan deras dan banjir bandang. Hingga kini, tanggul ini belum diperbaiki pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Sisa-sisa tanggul yang jebol kala diterjang hujan deras dan banjir bandang. Hingga kini, tanggul ini belum diperbaiki pemerintah. Foto: Sapariah Saturi

Heru Prasetyo, kepala Badan Pengelola REDD+ pada akhir Agustus 2014, juga mengunjungi hutan nagari ini.  Dia berdialog dengan wali nagari, wali Korong, niniek mamak dan tokoh-tokoh adat dan warga di sana. Di sini, dia melihat satu hal sangat indah. Kebiasaan masyarakat merawat hutan sebagai kearifan lokal, katanya,  sudah terjadi dari zaman dulu.

“Sekarang ada ilmu baru seharusnya bisa dimanfaatkan buat kearifan lokal tadi, menjadi kearifan lokal plus. Jangan dibalik dan mengatakan, menggunakan ilmu baru dengan menambah sedikit kearifan lokal. Kearifan lokal itu akar.”

Bagaimana caranya? Pemerintah daerah maupun pusat, kata Heru, membikin peraturan pemutakhiran keefektifan kearifan lokal dalam mengelola alam. Inilah yang sudah berjalan di Nagari Sei Buluh.

Hutan larangan yang tak boleh diganggu gugat, sebagai rumah air dan menjaga daerah dari mara bahaya. Foto: Sapariah Saturi

Hutan larangan yang tak boleh diganggu gugat, sebagai rumah air dan menjaga daerah dari mara bahaya. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman petai, karet, durian sampai jengkol yang masih berumur muda, sekitar satu tahunan. Foto: Sapariah Saturi

Tanaman petai, karet, durian sampai jengkol yang masih berumur muda, sekitar satu tahunan. Foto: Sapariah Saturi

Syafrizal, Wali Korong Kuliek (paling depan), kala melihat kebun di hutan nagari. Foto: Sapariah Saturi

Syafrizal, Wali Korong Kuliek (paling depan), kala melihat kebun di hutan nagari. Foto: Sapariah Saturi

Jengkol siap panen, dengan buat padat dan besar-besar. Foto: Sapariah Saturi

Jengkol siap panen, dengan buah padat dan besar-besar. Foto: Sapariah Saturi

Kala menebang pohon, warga menyisakan setinggi satu meter. Tujuannya, agar pohon tetap menjadi penyangga tanah sebelum tanamana baru besar. Foto: Sapariah Saturi

Kala menebang pohon, warga menyisakan setinggi satu meter. Tujuannya, agar pohon tetap menjadi penyangga tanah sebelum tanaman baru besar. Foto: Sapariah Saturi

Salah satua potensi air terjun yang bisa menjadi aset wisata alam di Nagari Sei Buluh. Foto: Benny

Salah satu potensi air terjun yang bisa menjadi aset wisata alam di Nagari Sei Buluh. Foto: Benny

Pada dataran rendah, warga memanfaatkan lahan buat bertani, seperti menanam padi. Foto: Sapariah Saturi

Pada dataran rendah, warga memanfaatkan lahan buat bertani, seperti menanam padi. Foto: Sapariah Saturi

 

 

 


Nagari Sei Buluh: Kami Bergantung Hidup dari Hutan was first posted on September 28, 2014 at 6:25 pm.

Soal Reklamasi Teluk Benoa, Berikut Pesan ForBaIi untuk Jokowi

$
0
0

Aksi ForBali menuntut penolakan reklamasi Teluk Benoa dan mendesak Jokowi, Presiden terpilih membatalkan perpres yang memberi peluang proyek itu. Foto: Anton MuhajirAksi ForBali menuntut penolakan reklamasi Teluk Benoa dan mendesak Jokowi, Presiden terpilih membatalkan perpres yang memberi peluang proyek itu. Foto: Anton Muhajir

I Kadek Bobby Susila, pemuda Banjar Suwung Kauh, Denpasar Selatan bekerja hotel di Seminyak, Kuta Utara, Badung. Anggota Sekaa Teruna Yowana Dharma Bhakti ini ikut menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.

Sabtu (27/9/14), Bobby bergabung dengan sekitar 1.500 peserta aksi Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali). Dia berorasi ketika massa berhenti di kantor Gubernur Bali di Renon, Denpasar. Aksi ini bertepatan dengan kehadiran Presiden terpilih, Joko Widodo ke Bali untuk pertemuan dengan Aktivis 1998. Mereka mendesak Jokowi membatalkan perpres yang membuka peluang reklamasi.

“Kami belajar dari reklamasi Serangan 1990-an. Akibat reklamasi, rumah kami kena luapan air laut. Padahal dulu tidak pernah sama sekali,” kata Bobby.

Suwung Kauh di sisi selatan Denpasar. Daerah ini sisi utara Teluk Benoa– menurut rencana direklamasi untuk fasilitas pariwisata mewah dan terpadu oleh PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Fasilitas baru ini serupa di Dubai atau Singapura.

“Apa yang akan terjadi kalau Teluk Benoa direklamasi, kemana air mengalir? Apakah mungkin ke Kantor Gubernur? Ataukah ke rumah Bapak SBY? Reklamasi merugikan Bali. Kita harus menolaknya,” katanya. Dia berbaju putih bertuliskan Bali Tolak Reklamasi.

Peserta aski ada pula mahasiswa, masyarakat adat, musisi, aktivis, dan ribuan orang lain. Sejak pukul 9.00, mereka berkumpul di parkir timur Lapangan Renon juga civic centre atau pusat kantor pemerintahan Bali ini. Massa turun ke jalan menuntut pembatalan Perpres No.51 Tahun 2014.

Di depan Museum Bajra Sandhi, museum perjuangan rakyat Bali melawan penjajah, massa berhenti. Lokasi ini persis di depan Bank Artha Graha milik taipan Tomy Winata, investor TWBI.

Aksi damai ini disambut antusias sejumlah siswa SD yang tengah berkunjung ke Bajra. Tanpa dikomando, mereka mendekati barisan ForBali. Para siswa SD itu turut menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi.

Lalu, massa ForBali kembali bergerak ke kantor gubernur. Kendati tutup, hanya ada aparat kepolisian berjaga, tak menyurutkan niat mereka menyatakan penolakan.

Peta perbandingan antara kedua Perpres. Sumber: ForBali

Mereka menyampaikan orasi. Agus Saskara, ketua BEM Universitas Hindu Indonesia (Unhi), mengatakan, seluruh mahasiswa Unhi menyatakan penolakan. Rencana reklamasi akan membuat Bali Selatan makin padat. Hingga sulit terwujud pemerataan pembangunan yang mensejahterakan masyarakat Bali.

Gung Jhon, koordinator Bali Tolak Reklamasi Kuta Perjuangan, mempertanyakan sikap gubernur yang menyatakan rencana reklamasi untuk pengembangan pariwisata. Padahal tanpa reklamasi, Bali sudah memiliki banyak potensi pariwisata. Mereka khawatir bila reklamasi berjalan, destinasi pariwisata yang ada akan dianaktirikan.

“Kami di Kuta dengan ikon pariwisata internasional sudah banyak masalah seperti kriminalitas, sampah, dan macet. Kenapa bisa Gubernur Bali mengeluarkan pernyataan reklamasi Teluk Benoa untuk pengembangan pariwisata. Pariwisata yang ada  tidak dibenahi.”

Humas aksi juga direktur Walhi Bali Suriadi Darmoko mengatakan, Jokowi harus mendengar dan melihat penolakan proyek ambisius itu. “Kami berharap Jokowi mendengarkan aspirasi rakyat Bali dan mencabut Perpres yang memuluskan reklamasi di Teluk Benoa.”

Tim ForBALI juga mengirimkan anggota ke pertemuan dengan Jokowi. Beberapa aktivis ForBALI juga mantan aktivis 1998 seperti Wayan Gendo Suardana dan Roberto Hutabarat ikut pertemuan.

Namun, kata Gendo, mereka belum bisa menyampaikan aspirasi langsung kepada Jokowi karena situasi tidak memungkinkan. “Kami belum bisa langsung menyampaikan. Kami yakin Jokowi mengetahui tuntutan kami.”

ForBali kesekian kali bersama warga Bali aksi menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir

ForBali kesekian kali bersama warga Bali aksi menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. Foto: Anton Muhajir


Soal Reklamasi Teluk Benoa, Berikut Pesan ForBaIi untuk Jokowi was first posted on September 28, 2014 at 7:50 pm.

Opini: Antara Kebakaran Hutan dan Penerbitan PP Gambut

$
0
0

Ratna berusaha memadamkan api yang membakar lahan gambut di Desa Selingsing, Medang Kampai, Dumai, Riau, Sabtu (1/3/14). Kebakaran lahan gambut banyak merugikan, dari lingkungan rusak, kerugian finansial warga sampai gangguan kesehatan. Itu hanya sebagian kerugian. Masihkan pemerintah memperlakukan gambut yang tersisa dengan semangat pemanfataan, bukan perlindungan? Foto : Zamzami

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang kerab menggadang-gadang komitmen penyelamatan hutan dan iklim di tingkat nasional maupun internasional seakan kehilangan sense of crisis. Di akhir masa jabatan, SBY membuat kemunduran serius di bidang lingkungan hidup, dengan mengeluarkan peraturan pemerintah mengenai gambut. Terlebih, di tengah bencana asap kebakaran gambut di beberapa provinsi seperti, Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, terjadi.  

Kebijakan ini,  tidak saja lemah dari sisi substansi dan terkesan dipaksakan terbit. Ia juga memanjakan korporasi dalam menghabisi gambut Indonesia. Sedari awal proses perumusan aturan inipun tidak melibatkan partisipasi aktif organisasi mayarakat sipil, terutama masyarakat di dalam dan sekitar ekosistem itu.

Penerbitan peraturan pemerintah tentang ekosistem gambut salah satu mandat dari Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tujuannya, menahan laju kerusakan kawasan ekosistem ekosistem gambut. Terhitung sejak Oktober 2013, beredar empat draf terkait peraturan ini. Namun, semua draf tetap tidak menekankan esensi perlindungan gambut total, dan masih membuka ruang perusakan oleh korporasi.

Presiden telah menandatangani PP bernomor 71 tahun 2014 ini tetapi sampai detik ini, masyarakat tidak bisa mendapatkan dokumen itu. Berdasarkan draf terakhir yang disepakati para menteri, kebijakan ini tidak melakukan proteksi menyeluruh ekosistem gambut yang tersisa, tidak memiliki unsur preventif melindungi warga negara dari bencana pembukaan gambut untuk perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri (HTI). (baca: bencana asap dan kekeringan).

Keberpihakan pemerintah, jelas pada nilai ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang (pengusaha). Tak sebanding dengan nilai kerugian akibat bencana asap. Bagaimana dengan puluhan ribu warga Indonesia, bahkan luar negeri yang menjadi korban kala gambut terbakar?  Ekonomi lumpuh selama bencana, aktivitas pendidikan berhenti, puluhan ribu warga bisa menderita severe acute respiratory syndrome (SARS). Yaitu penyakit pneumonia atipik yang belum ditemukan vaksin pencegah dan pengobatan, akibat asap dari kebakaran hutan dan gambut.

Greenpeace Ungkap APRIL Masih Buka Hutan Gambut di Riau.  Hutan gambut yang terbakar di konsesi PT PT Sumatra Riang Lestari di Riau. PT SRL adalah pemasok APRIL..  Apakah dengan ada PP Gambut, hal seperti ini bisa dihindari, atau sebaliknya? © Ulet Ifansasti / Greenpeace

Pengesahan PP Gambut tanpa mempertimbangkan keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa melindungi total gambut tersisa, eksosistem rentan.

Berkaca pada bencana asap sepanjang 17 tahun terakhir merupakan dampak pembukaan dan pengeringan gambut untuk pembangunan kebun sawit dan HTI.

Mengharap keuntungan, buntung didapat. Kala bencana asap datang, dampak gambut terbakar, negara rugi puluhan triliun, putaran ekonomi terhenti karena gangguan pada sektor transportasi darat, laut dan udara, sekolah-sekolah libur, ribuan warga terserang ISPA bahkan sampai menelan korban jiwa.

Pemerintah mendapat protes keras dari negara tetangga. Tidakkah ini menjadi pertimbangan bagi SBY dalam melindungi ekosistem gambut total?

Penerbitan PP Gambut bertolak belakang dengan semangat ratifikasi UU Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas– bermaksud menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan gambut. Aturan ini juga gagal menjalankan amanat konstitusi dalam menjamin hak setiap warga negara mendapatkan lingkungana hidup sehat dan bersih.

Terbitnya PP ini juga hambatan utama bagi pemerintah dalam memimpin upaya pencegahan dan peanggulangan kebakaran hutan dan gambut pada regional ASEAN. Sebab, tidak ada perlindungan total terhadap ekosistem gambut dan merehabilitiasi yang rusak.

Mengutip dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam policy memo berjudul Menuju Konsensus Defenisi Lahan Gambut Indonesia;

“Lahan gambut meyimpan lebih banyak karbon dibandingkan jenis hutan lainnya, dan degradasi lahan gambut menghasilkan emisi berkelanjutan yang lebih besar  dibandingkan emisi dari ekosistem lainnya. Ketika lahan gambut kering, karbon akan terlepas dan emisi akan berlanjut sampai simpanan karbon habis atau rehabilitasi dilakukan”

Pada dokumen itu disebutkan, dengan pendekatan business as usual (BAU) gambut akan menjadi sumber emisi terbesar nasional. Bahkan, terus memberikan kontribusi lebih dari 50% profil emisi Indonesia sampai 2030.

Mari berpikir. Pembangunan sektor kehutanan dan perkebunan di lahan gambut tak akan menghasilkan keuntungan signifikan, bila pemerintah dan kelompok bisnis mau berhitung jujur nilai kerusakan ekologi. Plus, buntut risiko bencana yang bakal muncul.

Seharusnya, SBY melakukan perlindungan total terhadap ekosistem gambut. Namun, SBY gagal. Kini, harapan kepada Presiden terpilih, Joko Widodo, bisa memberikan perlindungan bagi gambut dan lingkungan.

Draf RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut


Opini: Antara Kebakaran Hutan dan Penerbitan PP Gambut was first posted on September 29, 2014 at 2:41 pm.

Modus Perusahaan Sawit Rambah Hutan: Bikin Perjanjian dan Beli Hasil Panen Warga

$
0
0

 

Perkebunan kelapa sawit. Foto: Ridzki R. Sigit

Perkebunan kelapa sawit. Foto: Ridzki R. Sigit

Serikat Pekerja Kelapa Sawit (SPKS) menemukan fakta, banyak perusahaan perkebunan sawit, memperluas lahan dengan membeli hasil tandan buah segar (TBS) dari petani yang dengan membuka kawasan hutan. Perusahaan membuat perjanjian dengan warga untuk menanam dan memberi hasil panen.

Mansuetus Darto, koordinator nasional SPKS, mengatakan cuci tangan sejumlah perusahaan sawit di Indonesia agar bisa memperluas lahan, walau merambah hutan, dengan menggunakan masyarakat.

Sejumlah perkebunan ini, memberikan janji menggiurkan jika ada masyarakat menanam sawit di hutan lindung. Jika mau, hasil panen dibeli dengan harga menggiurkan. Ada semacam pengikat dengan membuat perjanjian dengan masyarakat. Cara ini,  cukup berhasil. Terjadi, perpindahan masyarakat dari wilayah lain ke satu daerah di kawasan hutan, lalu dibangun tempat tinggal dan menggarap hutan untuk sawit.

Kasus ini, katanya, ditemukan, seperti di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), ada dua perusahaan sudah belasan tahun menggarap lahan hutan hegara, juga di hutan lindung Mahato dan Teso Milo, Riau.

“Di dua kawasan hutan di Riau ini, salah satu contoh bagaimana grup perusahaan sawit, memanfaatkan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan,” katanya.

Tahun 2013, katanya, keluar Permentan mengatur pembatasan grup besar sawit. Strategi mereka, perusahaan ini memanfaatkan masyarakat di sekitar hutan. “Atau masyarakat yang masih memiliki lahan tersisa, didorong merambah beberapa kawasan, dibuat proses perjanjian serapi mungkin, berbunyi jika menanam kebun sawit, jika nanti berbuah, perusahaan besar akan membeli hasil panen. Itu berada di beberapa kawasan hutan.”

Menurut dia, modus ini terjadi namun pemerintah dan penegak hukum terkesan menutup mata. “Kalaupun proses hukum berjalan, perusahaan bisa buang badan, masyarakat yang termakan janji akan dipenjara. Beginilah kondisi kita di Indonesia. Ini bukan saja di Sumut.”

Darto menyatakan, tata kelola perkebunan sawit di Indonesia harus baik, pemerintah harus mengawasi. Selama ini, pusat beralasan menyusun regulasi, dan cuci tangan dengan melempar tanggungjawab ke daerah.

Kusnadi Oldani, direktur Walhi Sumut, berharap, pemerintah baru memperbaiki tata kelola sawit yang menyebabkan deforestasi luas. “Kita berharap banyak, Jokowi-JK bisa memperhatikan ini. Kami akan terus mengawal. ”

Pemerintah, katanya, harus membuka mata melihat modus perusahaan yang memanfaatkan warga ini. Pemerintah, tak boleh seenaknya menuduh, dengan menyalahkan masyarakat adat, yang tinggal di kawasan hutan. “Mereka malah menjadi penjaga hutan.”

Dia mengatakan, dampak alih fungsi kawasan hutan menjadi sawit, dan lain-lain mengancam spesies langka di Sumut. Rumah mereka rusak dan hancur.

Menurut Kusnadi, ada beberapa spesies terancam punah, antara lain, orangutan, gajah, badak Sumatera, dan harimau Sumatera. Selama ini, sering konflik manusia dengan satwa. “Ruang gerak mereka kecil karena pemberian izin konsesi besar-besaran terhadap perusahaan perkebunan. Ini ancaman.”

Sumut, katanya, belum memiliki tata ruang berbasis koridor. Walhi bersama Aliansi Tata Ruang Sumatera,  mengusulkan tentang tata ruang berbasis koridor ini.

Data Walhi Sumut, 2011-2012,  lebih 60% lahan strategis sawah beralih fungsi dari padi menjadi sawit. Sebagian menjadi perumahan. Dampaknya sangat rentan ketahanan pangan.


Modus Perusahaan Sawit Rambah Hutan: Bikin Perjanjian dan Beli Hasil Panen Warga was first posted on September 29, 2014 at 11:55 pm.

Dorong Implementasi MK 35, HuMa Siapkan 13 Model Penetapan Wilayah Adat

$
0
0
Wilayah  masyarakat adat Taa Wana, di Sulawesi Tengah dengan hutan lestari dan menjadi sumber pasokan air bagi daerah. Foto: HuMa

Wilayah masyarakat adat Taa Wana, di Sulawesi Tengah, yang akan menjadi salah satu model.  Hutan mereka lestari dan menjadi sumber pasokan air bagi daerah. Foto: HuMa

Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013, memutuskan, hutan adat bukan hutan negara. Namun, implementasi di lapangan seakan jalan di tempat. Untuk itu, Perkumpulan HuMa bersama mitra di daerah memilih 13 lokasi guna menjadi model proses penetapan wilayah adat. Pemilihan lokasi-lokasi ini lewat pengkajian dari berbagai aspek.

Andiko Sutan Mancahyo, direktur eksekutif Perkumpulan HuMA mengatakan, pemilihan ke-13 wilayah adat itu dengan beberapa kriteria. Antara lain, masyarakat adat ada, yang mengelola dengan kelembagaan dan aturan masih kuat masih ada, ada kemungkinan dukungan pemerintah setempat dan keinginan kuat masyarakat memperkuat wilayah mereka. Kriteria lain, daerah yang sebenarnya sudah memiliki peraturan daerah tetapi tak implementatif, contoh di Aceh dan Morowali.

Kondisi wilayah adat yang menjadi modelpun, kata Andiko, beragam dari yang tak terbebani izin sampai yang berkonflik. “Ada perusahaan di sana, baik aktif dan tidak. Itu bisa jadi tempat pembelajaran resolusi konflik,” katanya di Jakarta, Jumat (26/9/14).

Namun yang pasti, pada wilayah adat itu mereka memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi dengan tetap lestari. Bahkan, dari kearifan masyarakat adat menjaga hutan ini memberikan manfaat pada masyarakat luas. Satu contoh, pasokan air bersih buat warga kota dari hutan adat yang terjaga.

Andiko mengatakan, penetapan wilayah adat (hutan adat—bagian dari wilayah adat) sangat penting. “Tapi sampai saat ini dari pemerintah ga ada jawaban pasti.” Yang diinginkan masyarakat adat itu, katanya, wilayah adat dengan otoritas mereka, di dalamnya ada hutan adat dan peruntukan lain. Mereka perlu pengakuan hak. Sementara di lapangan lahan-lahan itu banyak sudah ada izin dan fungsi-fungsi lain.

Microsoft Word - Document4

“Perizinan tanpa persetujuan mereka. Lalu, putusan MK datang. Semua jadi kebingungan.”

Untuk itu, kata Andiko, HuMa ingin menunjukkan bagaimana putusan MK secara teknis bekerja di lapangan hingga wilayah (hutan) adat diakui. Model ini, bisa menjadi contoh bagi pemerintah ke depan, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam mengimplementasikan pengakuan hak masyarakat adat seperti tertuang dalam visi misi mereka.

Widiyanto, peneliti dari Perkumpulan HuMA mengatakan, dari hasil analisis mereka mengerucut pada peran penting daerah dalam proses percepatan wilayah adat, sebagai bagian dari pengakuan hukum yang sudah ada. Dari sana, HuMA mendapatkan 13 lokasi yang akan didorong menjadi model bagaimana implementasi putusan MK 35.

Di beberapa daerah, sebenarnya sudah ada pengakuan lewat perda, misal di Aceh qanun tentang mukim, di Sumatera Barat perda tentang nagari. “Ini akan dikuatkan agar implementatif ke penetapan wilayah adat.”

Padahal, katanya, penetapan wilayah adat sebenarnya tak terlalu rumit. Tinggal, perlu komitmen Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan dan pemerintah daerah dalam menyingkronkan percepatan masyarakat hukum adat. “Kalau stakeholder tak ketemu akan susah dapatkan kata sepakat dorong perda di tingkat daerah,” ujar dia.

Untuk menindaklanjuti proses wilayah adat itulah, pada 2 Oktober 2014 ini, HuMa, akan mengadakan dialog nasional dengan melibatkan berbagai pihak. “Mempertemukan gubernur, bupati, Kemenhut, akademisi dan peneliti sampai masyarakat adat dalam satu forum di Jakarta.”

 

Wilayah aday Muluy, salah satu yang juga akan menjadi model penetapan wilayah adat. Foto: HuMa

Wilayah aday Muluy, salah satu yang juga akan menjadi model penetapan wilayah adat. Foto: HuMa

Wilayah adat Kajang. Pemerintah daerah bersama-sama organisasi masyarakat sipil menyusun peraturan daerah mengenai masyarakat adat Kajang. Mudah-mudahan aturan ini bisa menjadi jalan pengakuan dan perlindungan hak adat. Foto: Wahyu Chandra

 


Dorong Implementasi MK 35, HuMa Siapkan 13 Model Penetapan Wilayah Adat was first posted on September 30, 2014 at 1:10 am.

Para Petani Penjaga Hutan Pamulukkang

$
0
0
Membuat gula aren. Pemanfataan hasil hutan dengan tetap menjaga kelestarian menjadi tujuan utama dari HTR. Masyarakat diberi hak kelola dengan sejumlah persyaratan. Foto:Wahyu Chandra

Membuat gula aren. Pemanfataan hasil hutan dengan tetap menjaga kelestarian menjadi tujuan utama dari HTR. Masyarakat diberi hak kelola dengan sejumlah persyaratan. Foto:Wahyu Chandra

Di banyak daerah, masyarakat yang tinggal di sekitar maupun di dalam hutan dan memanfaatkan hasil hutan kerab berhadapan dengan pemerintah maupun aparat. Namun, tidak bagi warga Desa Pamulukkang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju. Mereka bisa berkebun dengan leluasa, sekaligus menjaga hutan.

Irdan, warga desa itu berkebun seluas dua hektar di hutan Pamulukkang, terletak antara Gunung Tanete Kindo, Tandi Sero dan Betteng Batu, Mamuju, Sulawesi Barat.

Dia menikmati kemewahan beraktivitas leluasa, tanpa teror atau ancaman kriminalisasi dari Dinas Kehutanan,  ataupun kepolisian. Sejak 2008, Irdan dan sejumlah petani hutan mengelola hutan lestari melalui skema hutan hutan tanaman rakyat (HTR).

Ketika saya berkunjung, pertengahan September 2014, perjalanan dari pusat desa sekitar setengah jam. Jalan setapak  hanya bisa dilalui motor roda dua, sebagian berjalan kaki.

Kala itu, Irdan tampak sibuk mengaduk adonan gula aren di tungku. Dia berusaha menjaga api tetap menyala dan terkontrol.

Dia mempersilakan saya ke gubuk kecilnya. “Teman Pak Imran ya? Dari kemarin saya sudah diberitahu akan datang. Mari,” katanya ramah. Yang dimaksud Imran, adalah tenaga pendamping HTR yang mendampingi warga dan melatih pembibitan.

Gubuk terlihat tua, mungkin berumur puluhan tahun, tetapi masih kokoh. Di sekeliling kakao hampir panen berwarna kecoklatan. Ada juga durian, jati putih, kemiri, kopi, sawo dan puluhan pohon enau menjulang tinggi.

“Begini setiap hari, memelihara kebun kakao sambil menjaga api di tungku tetap menyala sampai gula siap dicetak,” katanya.

Dari kakao dia bisa memperoleh hasil 150 kg per panen dan dijual ke pengumpul Rp33.000  per kg. Berarti dia bisa memperoleh hasil hingga Rp4,9 juta per panen.

“Kalau dulu malah bisa sampai tiga kwintal atau 300 kg. Sekarang banyak hama. Banyak buah membatu kehitaman. Sekarang cuma bisa dapat satu setengah kwintal.”

Dari kemiri dan kopi, dia memperoleh hasil, meski hanya sedikit. Hasil kopi biasa lebih banyak memenuhi kebutuhan sendiri.

Selain mengandalkan hidup dari tanaman hasil hutan seperti kakao, kemiri dan kopi ini, Irdan membuat gula aren. Per hari, dia bisa membuat 10 bungkus gula aren. Di pengumpul, gula ini Rp5.500 per bungkus. Di pasaran, gula ini per bungkus mencapai Rp12.000.

“Menjelang Lebaran harga dari saya bisa Rp10.000 per bungkus. Jadi bisa hingga Rp110.000 per hari.”

Dari enau, manfaat cukup besar. Setiap hari dia bisa memperoleh cairan gula enau 30–40 liter. Dia bersemangat menanam lebih banyak enau di hutan itu. Dari sekitar 10 pohon, tiga dalam masa produktif.

Kakao,  salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat sekitar hutan Pamulukkang menghadapi masalah hama dan penyakit. Ia berdampak pada  produktivitas kakao turun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra

Kakao, salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat sekitar hutan Pamulukkang menghadapi masalah hama dan penyakit. Ia berdampak pada produktivitas kakao turun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Foto: Wahyu Chandra

Pekerjaan menanak gula terlihat sederhana ternyata memiliki proses cukup rumit. Perlu kedisiplinan mengatur besaran api dan proses pencampuran berbagai bahan pembentuk gula agar membeku sempurna. Otomatis, waktu Irdan lebih banyak untuk pembuatan gula dibanding kegiatan lain.

Untuk menghasilkan gula berkualitas baik dia punya cara tersendiri. Menurut Irdan, mencegah cairan tidak berubah menjadi alkohol, harus diberi bahan pengawet alami berupa  campuran nangka dan kapur. Setiap dirigen ukuran 10 liter, dicampur satu gelas pengawet ini.

Menurut dia, enau sebagai sumber bahan dasar pembuatan gula hanya bisa panen terus menerus selama sebulan. Setelah itu, harus menunggu sampai empat bulan. Selama penyadapan dia tidak bisa meninggalkan terlalu lama jika tak ingin kehilangan berliter-liter cairan enau.

align=”left”>Dia mengatakan, pengelolaan hutan lewat HTR ini memberi manfaat besar bagi petani-petani hutan sekitar. Hasil berbagai pohon mereka, baik bibit bantuan pemerintah atau pembibitan sendiri, bisa mereka nikmati. Dia mencontohkan, jati putih usia lima tahun silam sudah siap tebang buat keperluan sendiri.

“Jati putih itu cepat tumbuh. Saya biasa pakai untuk membangun rumah. Itu bisa ditebang asal ditanam sendiri,” katanya.

Di kebun itu, dia memiliki sekitar 30 jati putih usia lima tahun. Sejumlah bibit jati putih siap ditanam.

Meski dukungan pemerintah melalui HTR sudah berhenti, namun, dia terus menerima manfaat. “Dulu ada sekolah lapang pembibitan. Kita diajari membibit pohon-pohon tertentu, termasuk menstek kakao. Kalau ada waktu saya membibit sendiri. Itu di bawah rumah masih banyak bibit yang mau ditanam,” katanya. Dia menunjuk puluhan bibit tanaman di polibeg di bawah gubuk panggung.

Aktivitas berkebun di dalam hutan menjadi mata pencaharian utama warga. Kebun yang mereka olah ini warisan kakek nenek sejak puluhan tahun. Meski kini hanya mengelola hutan sekitar dua hektar, lahan kelola yang dia sebenarnya puluhan hektar.

“Hampir semua petani di sini punya puluhan bahkan ratusan hektar lahan, banyak yang sudah berpindah tangan. Termasuk untuk pembuatanBbandara Kalukku,” ujar dia.

Dari berbagai hasil hutan inilah Irdan menghidupi istri dan lima orang anak. Anak tertua kini kelas III SMP. Tak seperti petani hutan lain, dia tak memperbolehkan anak membantu, kecuali di hari-hari libur.

Di Desa Pammulukang, ada sejumlah kelompok tani hutan, termasuk Sikari Manangi, dimana Irdan menjadi sekretaris. Kelompok ini beranggotakan 27 petani dengan luasan lahan kelola bervariasi dari dua hingga 200 hektar.

Hutan tempat warga hidup dan bercocok tanam seraya menjaga hutan. Sayangnya, ancaman illegal logging malah datang dari luar. Foto: Wahyu Chandra

Hutan tempat warga hidup dan bercocok tanam seraya menjaga hutan. Sayangnya, ancaman illegal logging malah datang dari luar. Foto: Wahyu Chandra

Warga mengelola hutan dengan baik tetapi bukan berarti aman. Ancaman kerusakan hutan datang dari luar. Perusahaan-perusahaan kayu, mengintai hutan. Beberapa kasus illegal logging kerap ada di kawasan ini.

“Beberapa bulan lalu ada yang ditangkap karena logging. Sudah ditangani polisi, tapi mungkin sudah dilepas,” kata Irdan.

Ancaman lain dari rencana masuk sawit, meski terhenti karena kondisi tanah di hutan tidak cocok untuk tanaman itu.“Dulu ada rencana sawit besar-besaran. Tapi ndak cocok sawit di sini.”

Hutan Pamulukkang makin tergerus dengan makin gencar pembangunan di sekitar kawasan strategis karena dekat bandara.

Dari Kehutanan, selama ini mereka banyak mendapatkan pembinaan. Tak pernah ada upaya pengusiran warga. Mereka bahkan saling membantu dalam mengelola hutan agar lestari.

“Tak ada yang pernah ditangkap. Malah banyak dibantu.”

Menurut Awaluddin dari Sulawesi Community Foundation (SCF), lembaga yang banyak memfasilitasi pendampingan program kehutanan di Sulawesi, HTR salah satu skema kemitraan antara pemerintah dan masyarakat mulai didorong sejak 2008.

HTR adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun kelompok masyarakat guna meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi.  Dengan menerapkan silvikultur dalam menjamin kelestarian sumber daya hutan.

“Dalam HTR warga diberi hak kelola dengan syarat harus menanam dulu sebelum penebangan, bukan mengambil apa sudah ada. Tanaman pun bervariasi, misal sengon, jati, dan lain-lain.”

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Sulbar 2013, di provinsi ini terdapat 32.860 hektar hutan pencadangan HTR, yang sudah mendapat izin baru 12,58% atau sekitar 4.223 hektar.

HTR ini menyasar masyarakat di dalam dan atau sekitar hutan, baik perorangan maupun kelompok masyarakat. Mereka mendapatkan izin pengelolaan hutan.

Irsan mengambil air aren/enau buat diproses menjadi gula. Foto: Wahyu Chandra

Irdan mengambil air aren/enau buat diproses menjadi gula. Foto: Wahyu Chandra


Para Petani Penjaga Hutan Pamulukkang was first posted on September 30, 2014 at 9:52 pm.

Foto: Konser Svara Bumi, Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Ada SID, Navicula sampai Iwan Fals

$
0
0

Kehadiran Iwan Fals dalam Konser Svara Bumi, guna mendukung tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta, Selasa (30/9/14). Foto: Sapariah SaturiKehadiran Iwan Fals sebagai tamu spesial dalam Konser Svara Bumi, guna mendukung tolak reklamasi Teluk Benoa di Jakarta, Selasa (30/9/14). Foto: Sapariah Saturi

“Aku mendengar suara…Jerit makhluk terluka. Luka, luka…Hidupnya…Luka. Orang memanah rembulan. Burung sirna sarangnya. Sirna, sirna…Hidup redup. Alam semesta. Luka. Banyak orang. Hilang nafkahnya. Aku bernyanyi. Menjadi saksi. Banyak orang… Dirampas haknya. Aku bernyanyi. Menjadi saksi.”

Begitu bait lagu Kesaksian dari Iwan Fals,  yang dia bawakan kala Konser Svara Bumi, Bali Tolak Reklamasi di Rolling Stone, Jakarta, Selasa (30/9/14). Lagu itu, senada dengan ancaman dampak yang akan timbul kala reklamasi Teluk Benoa, di Bali terjadi. Alam terluka, keragaman hayati rusak. Kawasan konservasi tergadai. Wargapun mengalami derita dan ancaman bencana dan kehilangan nafkah karena ruang hidup hilang berganti kuasa pengusaha.

Malam itu, Iwan Fals hadir sebagai tamu istimewa dalam konser Svara Bumi. Usai lagu-lagu dengan hentakan musik cadas dari  Seringai, penonton  sempat dibuat penasaran oleh MC Arie Dagienkz dan Soleh Salihun,  yang mengumumkan akan ada tamu istimewa. Penonton menanti.

Konser ditutip dengan penampilan Superman Is Dead, dengan lagu-lagu kritisnya. Foto: Sapariah Saturi

Konser ditutup dengan penampilan Superman Is Dead, dengan lagu-lagu kritisnya. Foto: Sapariah Saturi

Tepuk riuh dan teriakan sorak sorai penonton pecah kala yang hadir ternyata Iwan Fals. Bongkar, Hio, Seperti Matahari, Menangis Embun Pagi sampai Kesaksian tambah menyemangati perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa ini.

Penghujung konser, ditutup Superman IS Dead. Jerinx, Bobby dan Eka membawakan lagu-lagu bernada kritis tentang pentingnya melindungi lingkungan, seperti Teluk Benoa. “Para OutSIDErs dan Lady Roses siapppp?” Begitu teriak MC. Gerak penonton pun mulai tak terhenti.  Bulan Ksatria, Kuta Rock City, Sunset di Tanah Anarki, Saint of My Life, dan Jadilah Legenda menjadi ‘mesin pembakar’ dari SID menjelang tengah malam itu. Bali Tolak Reklamasi, menjadi lagu wajib yang menutup konser.

Penonton membludak di Konser Svara Bumi, hingga membuat Jerink, suhu DID (bertopi) turun tangan mengatur posisi penonton. Foto: Sapariah Saturi

Pengunjung membludak di Konser Svara Bumi, hingga membuat Jerinx, suhu SID (bertopi) turun tangan mengatur posisi penonton. Foto: Sapariah Saturi

“Bali itu tempat main kita, rumah kita. Bayangkan kalau tempat mainmu, rumahmu, rumah nenekmu dihancurkan?” Teriak Jerinx.

Navicula hadir di sesi awal,  dengan mengingatkan penguasa yang berusaha merusak keindahan Bali lewat lagu-lagu Orang Hutan, Mafia Hukum, Karena Kita Bukan Mesin dan Metropolutan. Lalu, disusul Cinta Ramlan, Djenar Maesa Ayu dan Melanie Subono, dan Olga Lidya. Tampil juga Nostress, dan Kill the DJ. Para musisi dan pengisi acara semua memakai kaos Bali Tolak Reklamasi.

Penonton berjubel. Sekitar 2.000-an orang memadati Rolling Stone. MC beberapa kali meminta penonton bergeser agar yang baru datang bisa masuk. Suhu, SID, Jerixpun harus turun tangan mengatur posisi penonton.

Olga Lidya, membawakan puisi dari Sapardi Djoko Damono kala Konser Svara Bumi. Foto: Sapariah Saturi

Olga Lidya, membawakan puisi dari Sapardi Djoko Damono kala Konser Svara Bumi. Foto: Sapariah Saturi

Perlawanan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa, bergulir sejak awal. Penolakan tambah kuat, kala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum lama ini menerbitkan peraturan presiden yang membuka peluang rencana itu berjalan mulus. Kini, mereka mendesak Presiden terpilih Joko Widodo, membatalkan aturan itu. Kekhawatiran muncul karena banyak faktor, antara lain, bencana banjir, longsor sampai abrasi pantai mengancam masyarakat sekitar; kawasan konservasi terancam; dan usaha pariwisata skala kecil warga sekitar terancam tutup.

Solidaritas berbagai elemen masyarakat, dari petani, nelayan, pekerja wisata sampai seniman dan musisi membentuk Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) guna memperkuat penolakan ini. SID dan Navicula, Walhi Bali, menjadi bagian dari itu. Dalam setiap konser di berbagai daerah, SID tak lupa menyuarakan seruan penolakan reklamasi Teluk Benoa.

Cinta Ramlan, membawakan beberapa lagu menyuarakan tentang alam,  termasuk  Teluk Benoa. Foto: Sapariah Saturi

Cinta Ramlan, membawakan beberapa lagu menyuarakan tentang alam, termasuk Teluk Benoa. Foto: Sapariah Saturi

Tepuk riuh dan teriakan sorak sorai penonton pecah kala yang hadir ternyata Iwan Fals. Bongkar, Hio, Seperti Matahari, Menangis Embun Pagi sampai Kesaksian tambah menyemangati perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa ini. Foto: Sapariah Saturi

Tepuk riuh dan teriakan sorak sorai penonton pecah kala yang hadir ternyata Iwan Fals. Bongkar, Hio, Seperti Matahari, Menangis Embun Pagi sampai Kesaksian tambah menyemangati perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa ini. Foto: Sapariah Saturi

Menalie Subono, juga tampil dalam Konser Svara Bumi, mendukung penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto: Sapariah Saturi

Melanie Subono, juga tampil dalam Konser Svara Bumi, mendukung penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Foto: Sapariah Saturi

Cinta Ramlan dan Djena Maesa Ayu, kala tampil dalam Konser Svara Bumi, buat mendukung tolak reklamasi Teluk Benoa, Bali di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Cinta Ramlan dan Djenar Maesa Ayu, kala tampil dalam Konser Svara Bumi, buat mendukung tolak reklamasi Teluk Benoa, Bali di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi


Foto: Konser Svara Bumi, Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Ada SID, Navicula sampai Iwan Fals was first posted on October 1, 2014 at 11:31 am.

Setahun Lebih Buron, Perambah Suaka Margasatwa Karang Gading Ditangkap

$
0
0
Hutan Suaka Margasatwa Karang Gading dari kejauhan masih hijau. Namun, kerusakan hutan  sudah terjadi, sekitar 5.688 hektar dari luas 15.965 hektar, berubah menjadi kebun sawit dan tambak. Foto: Ayat S Karokaro

Hutan Suaka Margasatwa Karang Gading dari kejauhan masih hijau. Namun, kerusakan hutan sudah terjadi, sekitar 5.688 hektar dari luas 15.965 hektar, berubah menjadi kebun sawit dan tambak. Foto: Ayat S Karokaro

Satpol Airud, Sumatera Utara, menangkap A Majid(58), yang diduga merambah kawasan konservasi, Suaka Margasatwa Karang Gading/Langkat Timur Laut (KG/LTL) di Kabupaten Langkat, setalah setahun buron. Majid, warga Desa Secanggang, Kecamatan Secanggang, Langkat, diamankan di kediamannya.

AKBP Dwi Asmoro, Kapolres Langkat, Senin (29/9/14), membenarkan penangkapan itu. Dia menjelaskan, penangkapan setelah mendapatkan informasi masyarakat bahwa Majid telah kembali ke rumah.  Polisi langsung menuju lokasi dan menangkap tersangka yang sempat melawan.

Penyidik menetapkan daftar pencarian orang (DPO) pada Januari 2013. Ketika akan ditangkap, Majid melawan dan berhasil melarikan diri. Baru, setelah setahun buron, berhasil diamankan.“Awal September 2014, kita amankan. Langsung ditahan di Polres Langkat untuk proses lebih lanjut, ” kata Asmoro.

Polisi mengamankan satu eskavator dari lokasi. Barang bukti ini diduga untuk merusak hutan konservasi itu. Penyidikan, katanya,  oleh Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Stabat. “Tersangka disidik lebih lanjut. Polres Langkat akan membantu mencari siapa lagi yang teribat.”

Herbert Aritonang, kepala seksi Konservasi Wilayah II Stabat, BBKSDA Sumut, menyatakan, setelah berhasil ditangkap, mereka kembali melanjutkan penyidikan. Meski tersangka melarikan diri, namun berkas tetap berjalan. Dari hasil gelar perkara, berkas Majid sudah siap ke Kejaksaan Tinggi Sumut.

Dalam penyidikan ini, tersangka merambah hutan konservasi di SM Karang Gading seluas 800 meter persegi. Lahan itu, buat membuka tambak ikan dan udang.

Awalnya, Majid mengajukan izin kepada BBKSDA Sumut agar mengukur dan memetakan lokasi lahan tambak itu. Setelah pengukuran menggunakan GPS, ternyata masuk SM Karang Gading. Balaipun membuat surat keterangan area itu, dilarang ada aktivitas yang merusak hutan.

“Tersangka mengabaikan, dan tetap membayar orang mengerjakan lahan. Ada tiga kali kita pemanggilan. Dari panggilan pertama hingga ketiga, tidak ditanggapi. Saat akan diamankan, menghilang.” Pelimpahan berkas Majid, katanya, ke Kejaksaan Tinggi Sumut pada Rabu (24/9/14).

Chandra Purnama, kepala seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sumut, membenarkan pelimpahan berkas perkara perambahan hutan SM Karang Gading ini.

Menurut dia, setelah pemeriksaan berkas sudah lengkap atau P21.“Tinggal melimpahkan berkas ke pengadilan untuk proses hukum lanjut.”  Majid terancam UU Kehutanan, UU Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya.

Data BBKSDA, kerusakan hutan SM Karang Gading mencapai 5.688 hektar dari luas 15.965 hektar. Penyebabnya,  kata Herbert, alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dan tambak.  “Ancaman kematian spesies cukup tinggi. Itu sebabnya kita memberikan pengarahan dan pemberitahuan kepada masyarakat agar tidak merambah hutan.”

Sedangkan Majid membantah merambah hutan. Menurut dia, bersama masyarakat, sudah lama  beraktivitas di lahan yang dikelola bertahun-tahun. Ketika menjadi tersangka, Majid menolak. “Saya tidak melarikan diri. Nanti di persidangan saya lakukan pembelaan. Saya tidak bersalah.”

 


Setahun Lebih Buron, Perambah Suaka Margasatwa Karang Gading Ditangkap was first posted on October 2, 2014 at 4:29 pm.

Pembangunan Jalan Maros-Bone Ancam Ekosistem Karst, Mengapa?

$
0
0

Tebing Pattunuang, sebagai titik pertama pembangunan jalan Maros-Bone. Foto: Eko Rusdianto

Antara tebing karst dan pepohonan, Indra berhenti. Dia menunjukkan tikungan tajam sembari menceritakan rencana pemerintah daerah akan membangun jalan dari Maros menuju Bone. Sepeda motor terus melaju dengan hati-hati.

Jalan ini melintas sepanjang 148 kilometer melalui pegunungan karst, dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusuraung sepanjang 11 kilometer. Pegunungan ini merupakan hamparan karst kedua terbesar di dunia.

“Iya jalan lama ini, nanti tak akan digunakan lagi. Jalan baru akan melayang di atas bukit.” Dia menunjukkan beberapa tebing karst yang akan dipangkas karena perlebaran jalan.

Indra Perdana, adalah staf Balai TN Bantimurung Bulusuraung. Sepanjang perjalanan, dia menyebut beberapa nama pohon dalam bahasa latin yang berdiri di sisi jalan.

Menurut dia, beberapa titik yang akan dilalui jalan adalah habitat  monyet endemik Sulawesi (Macaca maura) mencari makan.  “Apa pohon untuk pakan macaca? Pikus (Ficus sp). Akan kutunjukkan,” katanya.

Pikus adalah pohon berbatang kuat. Diameter bisa sampai satu meter. Akar menyembul diantara batuan karst dan beberapa memiliki akar gantung. Pikus menjulang tinggi, buah untuk pakan satwa liar seperti monyet dan burung. “Pikus makanan utama Macaca maura. Jika pohon ini hilang rantai makanan akan putus.”

Jalan lama ini sebagian dipakai dan sebagian menggunakan jalur baru, terutama melewati Taman Nasional Bantimurung, yang mengancam koridor satwa. Foto: Eko Rusdianto

Jalan lama ini sebagian dipakai dan sebagian menggunakan jalur baru, terutama melewati Taman Nasional Bantimurung, yang mengancam koridor satwa. Foto: Eko Rusdianto

Pakar Kehutanan Universitas  Hasanuddin Amran Ahmad, angkat bicara. Amran menjadi bagian tim independen Kementerian Kehutanan, bertugas menganalisis rencana pembangunan jalan. “Saya minta Amdal. Saya liat dan telisik. Itu kacau sekali. Amdal dibuat umum, tanpa ada kajian khusus untuk wilayah taman nasional. Itu tidak boleh seperti itu,” katanya.

Menurut dia, segala macam aspek dan proses ekologi harus dijaga sedemikian baik jangan sampai merusak. “Pembangunan harus menjaga lingkungan. Kita tak anti pembangunan namun harus memperhatikan efek lingkungan.”

Titik pertama pembangunan jalan layang di Desa Pattunuang. Menanjak dan memutari bukit. Kemudian masuk ke jalan lama, melayang hingga di area Karaenta–tanam nasional yang menjadi habitat monyet, ebony dan pikus tumbuh subur . “Itu jalur yang riskan.”

Awal September 2014, Amran bersama Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI, Balai TN Bantimurung Bulusaraung, Dinas Kehutanan provinsi dan Maros, serta beberapa instansi terkait, kunjungan lapangan.

Amran mengatakan, jalur jalan layang dan titik pelebaran mancapai tujuh meter, merupakan wilayah jelajah Macaca. Macaca, hidup berkelompok. Satu kelompok dari 30–40 ekor. “Pikus tak boleh ditebang. Jika ingin melebarkan jalan ambil sisi lain, jangan menerabas karst yang ditumbuhi pikus besar.”

Kelompok-kelompok Macaca ini memiliki teritori sendiri. Tak ada anggota kelompok lain dapat bergabung dengan kelompok satunya. Jika pakan satu kelompok hilang, kelompok lain tak boleh memasuki area kelompok lain. Jika terjadi akan ada pertengkaran.

Tak hanya itu, di beberapa titik jalan di tebing, dua sisi jalan berdiri pohon saling bersentuhan, sebagai koridor satwa. “Jika jalan diperlebar, semua harus diperhitungkan. Semua harus jelas. PU (Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional VI) harus menghitung ada berapa kelompok Macaca yang teritori melintasi jalan. Itu harus dibuatkan koridor masing-masing,” kata Amran.

Liukan Jalan Pattunuang - Karaengta, cukup tajam.  Foto: Eko Rusdianto

Liukan Jalan Pattunuang – Karaengta, cukup tajam. Foto: Eko Rusdianto

Aliran air bawah tanah

Ketika Amran meminta menunjukkan titik bor untuk pendirian tiang pancang jalan layang, ternyata sebagian besar di atas aliran air. “Ingat, karst tempat menyimpan air. Jika aliran air tertutup, proses ekologi akan terganggu.”

Selain itu, antara tebing-tebing karst terdapat sinkhole (jalur air dari permukaan). Jalur air ini biasa berbentuk ceruk kecil ataupun retakan kecil, yang berfungsi sebagai jalan utama saat terjadi hujan dan memasukkan ke celah karst. Lalu mengalir menuju sungai bawah tanah, atau menuju gua. “Jika jalur ini tertutup, proses krastifikasi tak akan terjadi.”

Tak hanya itu, membangun infrastruktur di permukaan karst harus memiliki perhitungan baik. Karst adalah batuan mudah retak dan patah, tak seperti batuan padat lain yang masif dan kuat. Sesekali waktu pada batuan karst bisa terjadi runtuhan kecil.

Sinkhole tak bisa dibuat manusia. Lubang air diciptakan alam dalam proses panjang. Jadi jangan dirusak.”

Saya mencoba mencari jalur air namun tak menemukan. Indra memperlihatkan gua di bawah jalan. Beberapa merupakan sumber air utama penduduk di sekitar kawasan. “Jika tiang jalan itu menerobos aliran air, akan ada perubahan besar dalam perut karst. Itu akan sangat merugikan,” kata Siti Chadidjah Kaniawati, kepala Balai TN Bantimurung Bulusaraung.

Menurut Dede, panggilan akrab Siti Chadidjah, air akan mencari celah baru dan berusaha menerobos dinding karst lain. Jika tak sanggup, akan terjadi luapan dan menyebabkan kekeringan. “Kita belum bicara tentang ekologi spesifik loh. Yang dalam gua itu, mungkin saja ada kelelawar atau hewan lain yang menjadi ciri khas.”

Sementara itu, ketika jalan mulai menerobos kawasan taman nasional, akan terjadi penurunan tingkat pembagian zona. “Jika awalnya wilayah itu zona inti dan zona rimba, saat jalan baru jadi akan menjadi zona khusus atau pemanfaatan.”

Dalam pembagian kawasan wilayah, tak dibenarkan menebang ataupun mengganggu zona inti dan rimba di luar kegiatan kehutanan. Zona khusus atau pemanfataan dibenarkan ada kegiatan wisata dan hanya pendidikan.

Apakah tak ada jalur lain untuk pembangunan jalan? Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Agus Arifin Nu’mang, punya perhitungan lain. Menurut dia, jalur yang menghubungkan Maros–Bone merupakan jalur utama perdagangan menuju Kendari, Sulawesi Tenggara. Jika ditarik garis lurus titik ini akan menghubungkan Pelabuhan Bajoe (Bone) menuju Maros lalu ke Pelabuhan Makassar. “Jika arus Maros ke Bone terputus, akan berdampak pada Sulawesi Tenggara.”

Pohon pikus yang ada di tepian dan sekitar jalan yang masuk tanam nasional bakal terkena tebang kala pembangunan jalan. Buah pohon itu, salah satu makanan utama monyet endemik Sulawesi. Foto: Eko Rusdianto

Pohon pikus yang ada di tepian dan sekitar jalan yang masuk tanam nasional bakal terkena tebang kala pembangunan jalan. Buah pohon itu, salah satu makanan utama monyet endemik Sulawesi. Foto: Eko Rusdianto

Menurut Nu’mang, setiap hari truk-truk pengangkut kebutuhan pokok dan hasil alam melewati jalur Maros–Bone. “Seperti Kakao dari Sultra, semua tertampung di Pelabuhan Makassar. Saya kira tak ada jalur lain lebih strategis selain jalur itu,” katanya.

“Jika ada lokasi memasuki taman nasional, kita kajian bersama. Di Sumatera Barat sudah ada kelok sembilan, saya kira itu akan lebih bagus. Awalnya hutan lindung.”

Dia menambahkan, ketika jalan layang dan pelebaran dilakukan di Maros  menuju Bone, pengunjung akan mendapatkan spot bagus. Berhenti di sisi jalan melihat Macaca, atau burung terbang. “Disitu akan ada nilai wisata. Kita (pemerintah daerah) tak akan merusak kekayaan alam,” kata Nu’mang.

Pembangunan sudah dimulai

Kamis (14/9/14), groundbreaking pembangunan infrastruktur di Sulsel sudah dilaksanakan.  Antara lain peletakan batu pertama pembangunan rel kereta api, underpass pertigaan bandara Sultan Hasanuddin dan peningkatan kapasitas jalan dari Maros-Bone.

Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI, Deded P. Sjamsuddin mengatakan, peningkatan kapasitas jalan untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas. “Sekarang jalur, lebar ada empat, lima dan enam meter. Sangat sempit untuk kendaraan truk besar seperti 12 roda. Selalu terjadi kemacetan.”

Saat ini, pelebaran jalan sudah berjalan di beberapa titik mencapai 20 kilometer. Sementara pelebaran belum menyentuh taman nasional. Anggaran APBN Rp80 miliar. Targetnya, tahun 2015 pembangunan awal masuk taman nasional. Untuk rencana jangka menengah, 2015–2018 total Rp1 triliun. “Kita lihat nanti (besaran anggaran), bisa naik dan bisa turun, tergantung situasi.”

Dedy Asriady, kepala seksi Balai TN Bantimurung Bulusaraung, memperkirakan hal sama. “Semua dampak akan dikaji. Bisa saja dengan laju kendaraan lebih cepat, kemungkinan besar satwa melintas akan tertabrak. Tim independen Kemenhut sudah memberikan rekomendasi. Kita menunggu.”


Pembangunan Jalan Maros-Bone Ancam Ekosistem Karst, Mengapa? was first posted on October 3, 2014 at 7:05 am.

Menjaga Hutan Mangrove Teluk Benoa ala Nelayan Wanasari

$
0
0
Ekowisata yang dibuat nelayan Wanasari, sambil memandang keindahan hutan mangrove, bisa menikmati makanan berbasis ikan laut. Foto: Anton Muhajir

Ekowisata yang dibuat nelayan Wanasari, sambil memandang keindahan hutan mangrove, bisa menikmati makanan berbasis ikan laut. Foto: Anton Muhajir

Teluk Benoa diapit jantung pariwisata Bali: Sanur sisi timur laut, Kuta di barat, dan Nusa Dua di tenggara. Sanur merupakan perintis pariwisata di Bali. Kuta, terutama pantai, menjadi kiblat pariwisat Bali. Nusa Dua menjadi magnet bagi para pemimpin dunia membuat pertemuan.

Teluk Benoa memang kawasan strategis. Tak pelak menjadi incaran investor. Salah satu yang ramai sekarang, PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Dua tahun lalu, PT Tirta Rahmat Bahari (TRB) juga berniat membangun fasilitas pariwisata di Teluk Benoa. Usaha ditolak warga dan aktivis. Perusahaan inipun batal mengelola wisata di tepatnya Taman hutan taya (Tahura) Ngurah Rai.

Di sekitar teluk terdapat titik-titik penting pariwisata, misal, Jimbaran dan Kedonganan yang terkenal dengan kuliner ikan laut. Di Tanjung Benoa, warga lokal mengelola wisata laut seperti jetsky, banana boat, diving, parasailing, dan lain-lain. Teluk seluas 1.988 hektar ini merupakan kawasan konservasi.

Ancaman teluk ini begitu banyak dari eksploitasi buat pariwisata, penebangan magrove ilegal, alih fungsi lahan, pendangkalan, penyertifikatan oleh warga, serta banyak sampah.

Bersyukur, di antara beragam ancaman itu, ada warga yang berinisiatif melestarikan hutan mangrove di teluk ini. Salah satu kelompok nelayan Wanasari di Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta, Badung.

Pesisir Tuban, di sisi timur termasuk bagian Teluk Benoa. Hutan mangrove terkenal dengan Tahura Ngurah Rai, ada pula menyebut Prapat Benoa dengan luas 1.373 hektar masuk Badung dan Denpasar.

Nelayan Wanasari Tuban mengelola 10 hektar hutan mangrove untuk ekowisata dan 25 hektar dipelihara.

Dari 90 anggota, sebagian menjadi nelayan untuk hobi atau bersenang-senang. Bukan tumpuan penghasilan dan sudah berlangsung 10 tahun terakhir. Selain tangkapan berkurang karena nelayan mengandalkan perahu tradisional kecil, juga generasi nelayan beralih menjadi pekerja kantoran atau wiraswasta.

Pengelolaan ekowisata menjadi cara nelayan setempat menjaga ekosistem mangrove. “Konsepnya memadukan pariwisata dengan pelestarian lingkungan,” kata Made Sumasa, ketua Kelompok Nelayan Wanasari.

Sumasa, perintis ekowisata di Desa Adat Tuban ini. Lahir dan besar di pesisir, mau tak mau ikut jadi nelayan. Meskipun hanya sebagai sambilan, karena bekerja penuh di tempat lain, Sumasa sesekali melaut. Dia juga beternak kepiting keramba.

Teknik yang digunakan keramba tancap. Keramba ini di tengah hutan mangrove. Kepiting hidup di lumpur. Pembatas keramba berupa anyaman bambu yang bisa dipindah-pindah.

Dengan memelihara kepiting, nelayan harus menjaga pohon-pohon mangrove. “Jika tidak ada mangrove, tidak akan ada kepiting di sini.”

Pengunjung bisa berjalan-jalan di dalam hutan mangrove, bisa juga menggunakan kano, dengan syarat memunguti sampah-sampah yang mereka temui. Foto: Anton Muhajir

Pengunjung bisa berjalan-jalan di dalam hutan mangrove, bisa juga menggunakan kano, dengan syarat memunguti sampah-sampah yang mereka temui. Foto: Anton Muhajir

Pembangunan tol Bali Mandara sejak 2011, turut merusak ekosistem di Teluk Benoa termasuk di hutan mangrove Desa Tuban. Timbunan tanah kapur membawa bahan-bahan pembangunan merusak lumpur. Begitu pula material sisa-sisa pembangunan.

Namun, proyek pembangunan ini juga melahirkan peluang baru bagi nelayan. Mereka membangun ekowisata di hutan mangrove persis di samping jalan tol itu.

“Nelayan jangan jadi penonton, apalagi cuma bengong lihat jalan tol,” kata Agus Sudiana, anggota Wanasari. Karena itulah, mereka beradaptasi terhadap pembangunan tol itu.

Awalnya, nelayan membangun jembatan dari bambu di sebelah tol dekat Bandara Ngurah Rai, Tuban. Jembatan kayu sisi selatan hutan ini dibuat melingkar dari hanya sampai di salah satu gazebo. Panjangnya kira-kira 500 meter.

Jembatan bambu melintasi hutan mangrove, termasuk keramba tancap milik nelayan. Karena itu, pengunjung bisa melihat langsung ekosistem mangrove termasuk budidaya kepiting.

Fungsi hutan mangrove tak hanya sebagai pelindung pesisir tapi media belajar. Tak heran jika banyak siswa dan mahasiswa belajar mangrove di hutan Wanasari itu.

Menurut Agus, ekowisata ini juga sebagai edukasi tentang mangrove. “Kami ingin menjadi laboratorium hidup edukasi dan konservasi.”

Selain edukasi, di ekowisata ini juga ada tempat istirahat dan bersantap. Di tengah hutan ada beberapa gazebo sebagai tempat belajar maupun istirahat. Ada restoran Kampung Kepiting dengan pemandangan hutan mangrove dan jalan tol. Nelayan juga menyediakan wisata menyusuri hutan mangrove dengan jukung ataupun kano.

Kepiting menjadi menu utama restoran milik kelompok nelayan ini. Beragam olahan makanan khas laut juga ada. Juga menu-menu berbahan baku mangrove, termasuk jus dan kue-kue.

Tiap hari ada 150-300 pengunjung ke ekowisata ini. Pendapatan per bulan berkisar Rp120 juta. Dengan pendapatan lancar tiap bulan, nelayan tergerak melestarikan hutan mangrove.

Menurut Sumasa, kelompok ini memiliki beberapa aturan menjaga mangrove. Misal, nelayan tidak boleh menebang mangrove sembarangan. Jika menebang, harus kembali menanam 30 pohon.

“Tidak hanya menanam, mereka harus merawat. Ini seperti ibu merawat anak. Setelah lahir anak tidak mungkin ditinggalkan begitu saja,” ucap Sumasa.

Aturan lain, warga maupun pengunjung yang bermain kano ke hutan mangrove harus mengambil sampah plastik yang ditemui. Sampah itu ditukar dengan jus mangrove.

Dalam mengelola keramba kepitingpun, nelayan harus beradaptasi dengan lingkungan. Bentuk keramba harus mengikuti struktur hutan agar tidak merusak.

Dengan segala aturan  itu, hutan mangrove di Tuban masih terjaga. Pohon-pohon mangrobe masih terpelihara. Tidak ada sampah di celah-celah bawah pohon. Sebaliknya, warga bisa menikmati dan belajar ekosistem mangrove. Nelayan punya tambahan pendapatan.

Senada dengan nama Wansari yang berarti hutan sumber kemakmuran, ekowisata mangrove di Desa Tuban memang menambah kesejahteraan nelayan. Menurut Sumasa, keberhasilan nelayan di Tuban seharusnya bisa menjadi contoh ekowisata serupa di tempat lain di Bali. “Agar nelayan seperti kami tidak dikorbankan demi pariwisata yang hanya menguntungkan investor, bukan warga.”

Hutan mangrove tampak lebat dari kejauhan dan diselingi keramba tancap. Nelayan memelihara kepiting tanpa merusak mangrove. Bahkan, jika mangrove rusak, kepiting malah akan sulit hidup.  Aturan pun dibuat agar tak terjadi penebangan mangrove. Foto: Anton Muhajir

Hutan mangrove tampak lebat dari kejauhan dan diselingi keramba tancap. Nelayan memelihara kepiting tanpa merusak mangrove. Bahkan, jika mangrove rusak, kepiting malah akan sulit hidup. Aturan pun dibuat agar tak terjadi penebangan mangrove. Foto: Anton Muhajir


Menjaga Hutan Mangrove Teluk Benoa ala Nelayan Wanasari was first posted on October 3, 2014 at 9:58 pm.

Soal Penetapan Hutan Adat: Pusat versus Daerah?

$
0
0

Hutan larangan di Nagari Sei Buluh, Sumbar, yang tak boleh diganggu gugat, sebagai rumah air dan menjaga daerah dari mara bahaya. Masyarakat adat mempunyai tata ruang sendiri yang mereka atur sesuai dengan kondisi alam. Foto: Sapariah Saturi

Pada 2 Oktober 2014, ratusan orang berkumpul di Hotel Royal Kuningan, Jakarta. Ada perwakilan masyarakat adat, Kementerian Kehutanan (Kemenhut), pemerintah daerah dari  gubernur sampai bupati, para organisasi masyarakat sipil dan peneliti. Mereka mengadakan dialog nasional mengenai penetapan wilayah adat. Ada 13 lokasi yang dipilih menjadi model penetapan wilayah adat dengan beragam kondisi.

Perkumpulan HuMa bersama berbagai organisasi daerah mengadakan kegiatan ini,  guna mendorong implementasi putusan Mahkamah Konstitusi No 35 yang menyebutkan hutan adat bukan hutan negara. Dari dialog itu, muncul beragam masukan,  sampai unek-unek terkait penetapan hutan adat ini.

Achmad Sodiki, mantan hakim konstitusi  mengatakan, pemulihan hak masyarakat adat merupakan masalah multi aspek, hingga penyelesaian perlu berbagai dengan pertimbangan dan melibatkan banyak pihak. “Melibatkan masyarakat adat, Kementerian Kehutanan, BPN, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, sampai swasta,” katanya dalam diskusi itu.

Hutan adat, katanya, ada yang masih utuh dan yang terbebani izin-izin seperti hak guna usaha. “Apakah lahan HGU akan dihutankan kembali atau tidak, ujung keputusan seharusnya tak merugikan masyarakat  adat. Atau setidaknya, hutan adat yang hilang bisa dikompensasi dengan adil.”

Hal serupa,  kala hutan hutan negara yang dikembalikan ke adat, tidak serta merta beralih fungsi. “Masyarakat adat bisa mengambil manfaat dari hutan sekaligus menjaga kelestarian hutan,”  ucap Sodiki.

Dari Kemenhut menegaskan, penetapan hutan adat itu daerah. San Afri Awang, kepala Litbang Kemenhut mengatakan, MK 35 keputusan paling tinggi yang tak boleh ditentang siapapun. Dia menekankan agar pemerintah daerah aktif dan progresif membuat perda. “Ketika pemda diminta buat perda, jangan tunggu apa-apa lagi. Pemda segera buat perda.”

Pemerintah pusat, katanya, tak dalam kapasitas menolak itu. “Kita hanya dalam tugas jalankan MK 35.”

Hutan di Demaisi, Pengunungan Arfak, Papua Barat, terjaga, sumber air bersih warga pun terjaga. Masyarakat memiliki tata cara sendiri dalam mengelola hutan secara turun menurun. Foto: Duma T Sanda

Tak jauh beda diungkapkan Basuki Karya Admaja, staf ahli Menteri Kehutanan bidang Keamanan Hutan. Menurut dia, Kemenhut telah mengambil langkah-langkah setelah putusan MK 35 keluar. Salah satu surat edaran menteri ke berbagai daerah menyampaikan kepada bupati dan walikota agar mendata kemungkinan  masyarakat adat di daerah mereka. Juga meminta daerah segera terbitkan peta masyarakat adat.

Saat ini, katanya, Kemenhut berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum, BPN, Kementerian Dalam Negeri guna percepatan implementasi putusan MK ini.

“Kami perlu bersama-sama, karena masalah tanah ini kan kompleks. Misal, kalau ada usulan hutan adat, dibahas bagaimana kaitan dengan tata ruang ke Kementerian PU, tentang bagaimana status tanah BPN–Kemenhut.”

Tanggapan dari daerah beragam. Ada yang sudah mulai penyusunan perda dan ada yang mengeluhkan karena desentralisasi era otonomi masih setengah hati terutama  terkait hutan adat/wilayah adat. Walaupun nanti sudah ada perda pengakuan masyarakat adat, untuk penetapan wilayah (hutan) tetap perlu persetujuan pemerintah pusat kala terkait kawasan hutan.

Junaidi Hamsyah, Gubernur Bengkulu membeberkan kondisi di provinsi itu, sekitar 46% lebih kawasan berstatus hutan lindung dan konservasi seperti Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukti Barisan Selatan. Di sana, katanya, banyak desa tertinggal bersentuhan langsung dengan hutan lindung, taman nasional, maupun cagar alam.  Namun, daerah tak bisa berbuat banyak karena kawasan hutan itu sebagian besar di bawah kewenangan Kemenhut.

Selama ini, ujar dia,  masyarakat adat sulit mendapatkan akses ke kawasan-kawasan hutan itu. “Mereka bukan merusak hutan. Justru investor yang datang ini yang merusak hutan, berkat izin Kemenhut. Pas kita mau bangun jalan susaaaah benar. Pas investor masuk mau ambil batubara, gampang….,” katanya.

Dia mengatakan, penyebab kerusakan hutan itu pengusaha dan berdampak kerugian ganda bagi daerah. Yakni, hutan rusak dan masyarakat sekitar hutan makin miskin. Dia tak sepaham jika ada anggapan warga sebagai perusak hutan.

“Seluas-luasnya masyarakat desa tebang paling satu sampai 10 hektar. Di Bengkulu, tak sampai lebih lima hektar. Kalau investor? Kadang-kadang kontribusi pada daerah tak ada.  Hutan rusak, masyarakat makin miskin. Dana CSR irit-irit, jalan rusak tak diperbaiki. Lalu apa yang bisa dihasilkan daerah? Regulasi pusat itu tak bisa untungkan daerah.”

Junaidi juga mengkritisi pelaksanaan desentralisasi setengah hati hingga daerah tak bisa memutuskan penuh, salah satu terkait hutan adat. “Pengakuan hukum adat, pengakuan bersyarat. Ayam dilepas, kaki diikat. Bungkus desentraliasi, tapi otonomi tak sepenuhnya demikian.” Menurut dia, desentralisasi itu seharusnya, penyerahan kekuasaan kepada daerah sesuai karakteristik daerah.

Bahkan, katanya, tak jarang kebijakan pusat malah merusak tatanan di daerah. Dia mencontohkan, aturan mengenai desa dulu, malah menghancurkan struktur yang ada di daerah. “Di Bengkulu ada marga, yang tatanan lebih harmonis. Ketika UU yang mengatur desa, mulai muncul perselisihan. Kadang-kadang kepala desa tak mengerti adat bahkan merusak adat. Kalau dulu kepala desa merangkap kepala marga.”

Untuk itu, katanya, perlu kesepahaman bersama agar mampu bersinergi dalam pengakuan hak masyarakat adat.

Di Bengkulu, kata Junaidi, guna percepatan penetapan hutan adat ini, mereka telah menandatangani kesepakatan dengan Yayasan Akar dan Perkumpulan HuMa yang disaksikan kepala desa dan tokoh adat beberapa bulan lalu.

M Shadiq Pasadigoe, Bupati Tanah Datar, Sumatera Barat, mengatakan, putusan MK 35 merupakan putusan penting karena mengubah pemahaman klasik Indonesia tentang hutan kawasan hutan dan posisi hutan adat.

Hutan, katanya, bagian kehidupan masyarakat adat dan menopang keseharian mereka sekaligus titipan bagi generasi mendatang. “Hutan adat kekayaan penting bagi masyarakat adat dalam menjamin kesejahteraan hidup.  Kami sangat mendukung pengakuan eksistensi masyarakat adat dengan menetapkan status hutan adat.”

Di Indonesia, kata Shadiq, antara satu UU dengan yang lain, bisa saling bertentangan. Jadi, mesti bisa mengambil sikap sesuai kondisi daerah. “Sekarang, di negera ini UU saling bertentangan. Kalo tak direspon tak akan ditanggapi dan akan tambah permasalahan banyak.”

Untuk itu, di Tanah Datar, yang memiliki luas 133.600 hektar dengan 70%  lebih penduduk di sektor pertanian, telah mengakui keberadaan masyarakat adat. Yakni, lewat Perda No 4 Tahun 2008 mengenai Nagari. Nagari itu, katanya, kesatuan masyarakat adat yang memiliki batas-batas tertentu. “Berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, basandi kitabullah. Atau berdasarkan asal usul dan adat Minangkabau yang diakui dan dihormati.”

Dia berharap, pertemuan multi pihak seperti ini bisa lebih sering agar masalah dengan Kemenhut dapat selesai dengan baik. “Agar keberadaan hutan bisa dimanfaatkan buat kesejahteraan masyarakat.”

Sarjani Abdullah, Bupati Pidie, Aceh, mengatakan,  pengelolaan hutan adat secara berkelanjutan sangat perlu karena kehidupan masyarakat sangat tergantung pada kemurahan hati alam sekitar. “Dari sawah, kebun, sungai dan laut dan lain-lain.”

Kini, katanya, masyarakat adat belum dapat mengelola alam dengan bebas. Dulu, Aceh dilanda konflik dan bencana alam tsunami membuat masyarakat adat tertindas secara sosial, politis dan ekonomis. “Belum lagi, pengelolaan sumber daya alam yang tak berpihak pada masyarakat adat. Banyak pengusaha tebang  hutan. Hutan perlu diselamatkan. Mudah-mudahan, bagaimana hutan digunakan sebaik-baiknya bagi masyarakat.”

Di Pidie, katanya,  antara satu daerah dengan daerah lain tak sama. “Jadi mereka mempunyai aturan adat sendiri terkait kearifan mereka dalam memperlakukan hutan termasuk pembagian ruang tata kelola.”

Yang jelas, katanya, manfaat hutan bagi masyarakat adat itu begitu besar, antara lain, sebagai sumber air, mencegah tanah longsor dan menjaga keberlangsungan hidup.  “Aspek ekonomi hutan sebagai sumber mata pencarian mereka. Ada rotan, madu, damar, kayu dan sesekali berburu. Aspek sosial,  hutan juga sumber obat-obatan herbal dan spiritual serta lain-lain.” 

Sumber air terjaga baik. Sungai di komunias adat Taa-Wana, Sulteng, jernih dan menjadi sumber air bagi warga sekitar. Baik buat keperluan sehari-hari maupun irigasi pertanian bagi warga sekitar, terutama yang berada di hilir. Foto: perkumpulan HuMA

Sumber air terjaga baik. Sungai di komunias adat Taa-Wana, Sulteng, jernih dan menjadi sumber air bagi warga sekitar. Baik buat keperluan sehari-hari maupun irigasi pertanian bagi warga sekitar, terutama yang berada di hilir. Foto: perkumpulan HuMA

Kebaikan percepatan hutan adat

Chalid Muhammad, ketua Board Perkumpulan HuMa mengatakan, ada berbagai kebaikan kala percepatan hutan adat terlaksana.  Pertama, negara melunasi utang konstitusi  karena hak hutan adat adalah hak konstitusional yang sudah 40 tahun diingkari negara. “Negara wajib penuhi hak itu. Pengingkaran adalah kejahatan terberat.”

Kedua, bila hutan adat terealisasi, akan manjadi koreksi terhadap salah kelola hutan yang berlangsung sejak lama, sejak UU Kehutanan Tahun 1967. “Pengelolaan hutan sudah berada di jalur salah. Konflik terjadi di banyak tempat. Hampir 33.000 desa bersentuhan di kawasan hutan dan sebagian besar konflik. Hingga percepatan pengukuhan hutana adat jadi satu instrumen penting terhadap perbaikan salah kelola itu.”

Ketiga, jika hutan adat segera, akan terjadi upaya sistematis pemulihan hutan. Pemerintah, katanya, bisa memberikan insentif buat pemulihan ini. Selama ini, urusan pemulihan hutan ke korporasi. “Hasilnya gagal.” Untuk itu, penting masyarakat adat menjadi aktor utama pemulihan kawasan hutan. “Jika 5 juta hektar berikan pengelolaan pada masyarakat adat dengan insentif, dengan mekanisme tanggung jawab dan terhindar korupsi, maka hutan-hutan itu akan segera pulih.”

Keempat, penetapan hutan adat ini akan menjadi pintu masuk guna menyelesaikan konflik-konflik tenurial yang terjadi. Dengan hutan adat, katanya, akan mendorong perbaikan dan keadilan agraria. Kelima, pemerintah harus segera memulihkan nama baik masyarakat adat pada korban kriminalisasi. “Sejak UU Kehutanan, banyak masyarakat adat dipenjarakan dan lain-lain. Kalau ingin wujudkan keadilan agraria pulihkan nama baik mereka. Kalau gak, mereka akan dikenal dengan masyarakat yang lakukan kejahatan,” katanya,

Keenam, hutan adat akan mampu berkontribusi untuk pencapaian tujuh persen pertumbuhan ekonomi. Selama ini, katanya, pertumbuhan ekonomi diletakkan kepada korporasi. “Kalau 33.000 desa didekatkan dengan pasar dan modal, maka akan sejahtera. Kalau sejahtera,  tujuh persen target Presiden Jokowi akan tercapai. Asal kekuatan tak lagi pengusaha tapi masyarakat adat.”

Ketujuh, penetapan hutan adat sebagai wjud dari kesiapsiagaan dalam perubahan iklim dan bencana ekologi. “Mengapa restorasi selama ini diberikan kepada pengusaha? Mengapa gak ke masyarakat adat? Jangan ke LSM atau pengusaha. Didorong ke arah sana. Insya Allah, hutan akan selamat dan negara makin jaya.”

Hutan adat Delang, Kalteng, tampak lebat yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar dengam beragam sumber makanan dan mata pencarian. Mudah-mudahan kehidupan masyarakat dan alam ini tetap terjaga dan pemerintah menyadari kesalahan karena telah mengeluarkan izin di kawasan kelola rakyat. Foto: Indra Nugraha


Soal Penetapan Hutan Adat: Pusat versus Daerah? was first posted on October 5, 2014 at 11:52 pm.
Viewing all 4054 articles
Browse latest View live